Anda di halaman 1dari 3

YAYASAN UNIVERSITAS SILIWANGI

UNIVERSITAS PERJUANGAN TASIKMALAYA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH
DASAR
Jalan Pembela Tanah Air (PETA) No. 177 Kota
Tasikmalaya, Kode Pos 46115
Telepon (0265) 326058, laman: http://www.unper.ac.id

JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER

Mata Kuliah : Karawitan


Jurusan/Prodi : PGSD Non-Reguler
Nama Mahasiswa : Euis Fitriani (No. Absen: - )

ARTIKEL
Degung Sebagai Kesenian Musik Tradisional

Oleh : Euis Fitriani


Written on 10 Mei 2023

Ada yang menyebutkan Degung berasal dari kata “Deg ngadeg ka nu Agung” yang
mengandung pengertian kita harus senantiasa menghadap (beribadah) kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Dalam bahasa Sunda banyak terdapat kata-kata yang berakhiran gung yang artinya
menunjukan tempat/kedudukan yang tinggi dan terhormat misalnya : Panggung, Agung,
Tumenggung, dsbnya. Sehingga Degung memberikan gambaran kepada orang Sunda sebagai
sesuatu yang agung dan terhormat yang digemari oleh Pangagung.
Mula mula Degung merupakan karawitan gending, penambahan waditrapun berkembang dari
jaman ke jaman. Pada tahun 1958 barulah dalam bentuk pergelarannya degung menjadi bentuk
sekar gending, dimana lagu-lagu Ageung diberi rumpaka, melodi lagu dan bonang kadangkala
sejajar kecuali untuk nada-nada yang tinggi dan rendah apabila tidak tercapai oleh Sekar.
Banyaknya kreasi-kreasi dalam sekar, tari, wayang menjadikan degung seperti sekarang ini.
Degung juga salah satu kesenian musik tradisional khas Sunda, yang biasanya dimainkan pada
acara hajatan. Sayang, saat ini tidak banyak orang yang mengenal kesenian tradisional ini.
Seperti banyak kesenian Nusantara lainnya, keberadaan degung kalah pamor dibanding
kesenian modern.
Seiring waktu, istilah degung kemudian digunakan untuk menyebut seperangkat gamelan.
Awalnya, gamelan tersebut berlaras degung, tetapi kemudian ditambahkan dengan nada sisipan
sehingga berkembang menjadi laras lain, bisa laras Madenda/Nyorog atau laras
mandalungan/Kobongan/Mataraman.
Alat musik ini pernah populer di kalangan masyarakat. Degung digunakan sebagai musik
pengiring/pengantar. Instrumen yang digunakan antara lain gendang, goong, kempul, saron,
bonang, kacapi, suling, dan rebab.
Iringan musik degung selalu digunakan dalam setiap acara hajatan yang masih menganut adat
tradisional. Degung juga digunakan sebagai musik pengiring hampir pada setiap pertunjukan
seni tradisional Jawa Barat lainnya.
Adapun mengenai waktu kemunculannya belum ada literatur yang akurat selain yang dibahas
dalam kamus H.J. Oosting. Namun sebagaimana Jaap Kunst, Enip Sukanda pun berpendapat
dalam karya penelitiannya tentang Dedegungan pada Tembang Sunda Cianjuran, bahwa
ketika kamus itu dicetak berarti gamelan Degung-nya sudah ada terlebih dahulu, katakanlah
sekitar 100 tahun sebelumnya (Sukanda, 1984:15).
Ada pendapat lain yaitu dari Atik Soepandi, dalam tulisannya mengenai Perkembangan Seni
Degung Di Jawa Barat, bahwa gamelan Degung adalah istilah lain dari Goong Renteng,
mengingat banyak persamaan antara lagu-lagu Degung Klasik dengan lagu-lagu goong renteng
(Soepandi, 1974). Perbedaannya adalah apabila Goong Renteng kebanyakan ditemukan di
kalangan masyarakat petani (rakyat), maka gamelan Degung ditemukan di lingkungan
bangsawan (menak).
Kesenian degung mengalami perkembangan pesat pada era 1950-an sampai 1960-an. Masa itu
bisa dibilang merupakan masa keemasan degung. Diciptakanlah berbagai kreasi kesenian
degung. Musik tradisional ini juga hadir hampir di setiap acara perayaan masyarakat Sunda.
Ketika itu muncul seniman Sunda yang berperan besar dalam mengembangkan seni degung,
yaitu Raden Arya Adipati Wiranatakusuma ke-5 yang menjabat sebagai Bupati Bandung. Lalu
muncul juga tokoh-tokoh populer, seperti Encar Carmedi, Djuju Sain dan lainnya dengan lagu
yang ditampilkan berjudul Pajajaran, Galatik Manggut, Bima Mobos.
Di era 1980-1990, seni degung berkembang menjadi degung kawih. Seniman degung
terpopuler pada era ini adalah Nani Suratno. Sampai kini, karya-karyanya masih
diperdengarkan dan dimainkan.
Seiring berkembangnya musik modern, popularitas seni degung mengalami penurunan. Kini
bahkan sulit menemukan generasi muda yang mau menekuni seni degung. Kesenian ini juga
semakin terpinggirkan. Degung semakin jarang ditampilkan di panggung rakyat karena kalah
pamor dengan pertunjukan musik modern.
Meski kurang populer di tanah kelahirannya sendiri, beberapa perguruan tinggi seni dan musisi
di luar Indonesia justru mengembangkan musik tradisional ini. Di antaranya Lingkung Seni
Pusaka Sunda University of California (Santa Cruz, USA), musisi Paraguna (Jepang), serta
Evergreen, John Sidal (Kanada).
Di Melbourne, Australia, ada satu set gamelan degung milik University of Melbourne yang
sering digunakan sebuah komunitas pencinta musik Sunda untuk latihan dan pementasan di
festival-festival.
Sudah selayaknya, kekayaan kesenian tradisional ini dijaga jangan sampai punah. Beberapa
upaya bisa dilakukan, seperti mengembangkannya atau memadu-padankannya dengan alat
musik lainnya. Hal ini sudah dilakukan oleh beragam alat musik tradisional Nusantara lainnya.
Dengan cara ini, degung mampu menyesuaikan diri dan bertahan dalam gempuran budaya
modern.

Anda mungkin juga menyukai