Anda di halaman 1dari 4

Menabur Cinta Ibu di Atas Tulang Bapak

Maafkan aku. Aku tidak berada di samping Ibu saat-saat terakhirnya. Aku tidak tahu jika Ibu
sudah lama sakit.

Oleh
MAULIDIA

I WAYAN DIANA

Aku telah mengeluarkan abu pembakaran Ibuku dari dalam kendi yang baru ia tinggali
semalam. Kupindahkan ke dalam sebuah botol plastik dan kumasukkan ke dalam tas
ranselku.

Kendi itu lalu kuisi dengan tanah sisa pembakaran kayu. Warna dan tekstur abu keduanya
memang terlihat berbeda. Semoga tidak ada yang curiga dengan abu kremasi ibu yang telah
kuganti. Setelah menggantinya, kendi itu kukemas sebaik mungkin, kutempatkan di tempat
semula, sejajar dengan dupa dan sesajen-sesajen lain.

Pagi-pagi sekali, sebelum banyak orang beraktivitas, aku harus pergi ke tempat yang sudah
lama tidak kukunjungi. Berangkat dengan sebuah perahu dan sepotong kayu sebagai dayung,
aku menyusuri Danau Batur. Tas ransel tempat menyimpan botol berisi abu Ibu tidak lupa
kubawa. Air danau yang dingin menyelimuti kegamanganku melakukan semua sendiri.
Berkali-kali aku meyakinkan diriku menentang adat.
Di atas perahu kecil yang kunaiki ini, pikiranku melayang saat pertama kalinya menyusuri
Danau Batur. Aku, tetua adat, dan beberapa orang lainnya mengangkut tubuh Bapak yang
kaku dengan sebuah boat yang biasa dipakai wisatawan. Bukan hendak mengajakku untuk
mengelilingi danau, tapi boat itu bergerak mengantarkanku pada duka.

Waktu itu juga, pertama kalinya aku menggelaburkan tanganku untuk menyucikan diri usai
mengubur airkan Bapak. Air Danau Batur yang teramat dingin tidak ada apa-apanya
dibanding tanganku yang sudah kaku. Awalnya, aku menolak untuk menyucikan diri, namun
tetua adat bersikukuh menyuruhku. Katanya, akan ada petaka jika aku tidak patuh dengan
adat. Dalam garis-garis pola tanganku masih tertinggal bau Bapak, karena itulah aku tidak
ingin menghilangkannya dengan air manapun.

Kita adalah orang Bali Trunyan yang tinggal di desa tertua di Bali. Kita harus percaya bahwa
leluhur langsung turun dari langit untuk memberi kehidupan di Desa Trunyan. Itulah
mengapa, kelahiran dan kematian adalah hal yang sama. Kematian adalah kehormatan yang
harus diterima sebagai manusia, sama seperti kelahiran. Begitu yang sering Bapak katakan
padaku jika sudah membahas tentang kematian, entah apa pertandanya Bapak bercerita,
ternyata aku memang mengalami dua kematian dalam waktu dekat.

”Tidak usah kau bawakan apapun untuk Bapak. Bapak akan tidur dengan tenang.” Begitu
yang sering aku dengar dari Bapak.

”Bagaimana bisa aku yakin Bapak akan tenang jika aku tidak membawakan bekal?”

”Tidak usah, kita tidak punya harta benda sebagai bekal. Sesuatu yang berharga bagi Bapak
hanya kau dan Ibu.”

Dialog-dialog antara aku dan Bapak masih menggema dalam otakku hingga tidak terasa
perahu kecil yang kunaiki sudah berada di tengah danau. Lenganku rasanya mau tanggal
karena mengayuh seorang diri. Sedikit lagi akan sampai.

Aku kembali memikirkan risiko rencana ini, apakah aku nantinya akan diusir dari kampung?
Tapi, aku memang sudah merantau sejak satu tahun yang lalu dan akan kembali bekerja di
sana. Apalagi Ibu dan Bapak sudah tiada, maka tidak akan ada yang bisa menahanku pergi.
Tapi, aku ingin tetap mengunjungi keduanya. Aku akan datang sesekali ke Desa Trunyan
untuk sekadar menemui Bapak di seme wayah. Lalu, jika aku ketahuan, apakah aku akan
diizinkan kembali datang ke kampung ini? Ah, sudahlah, semua ini demi Bapak.

Seme wayah sudah terlihat. Aku parkirkan perahu dan kutancapkan sebuah kayu yang
dililitkan tali agar perahu tidak terbawa arus danau. Antara Danau Batur dan Gunung Api, di
sinilah kami menaruh tubuh Bapak yang kaku di atas tanah, di bawah udara terbuka,
bermandikan semerbak wanginya taru menyan. Dikelilingi ancak saji menyilang, guna
melindungi tubuh Bapak dari hewan-hewan yang kelaparan. Kami kubur anginkan Bapak di
tempat yang sepi berdampingan dengan sepuluh makam lainnya.

Tidak ada bau tidak sedap yang mengepung tempat ini. Padahal orang-orang yang
mendiami seme wayah sudah berada di sini sejak hari pertama mengembuskan napas
terakhirnya.
Akar sebuah pohon di seme wayah telah menjalar ke mana-mana. Pohon inilah yang
menyerap bau busuk di pemakaman seme wayah, kami menyebutnya taru menyan. Di bawah
pohon tersebut, beberapa tengkorak berjejer menyambut kedatangan para pelayat dan
wisatawan. Siapapun yang berkunjung boleh memegangnya asal menaruhnya kembali. Tidak
jauh dari jejeran tengkorak yang tersusun, terlihat sebelas makam yang dilindungi kayu-kayu
menyilang, termasuk makam Bapak.

Aku pun beralih mendekati makam Bapak. Hanya tempat Bapaklah yang bersih tanpa bekal.
Sepuluh makam lain, terlihat menyimpan macam-macam bekal yang dibawa oleh keluarga
mereka, mulai dari pakaian, aksesori, bahkan uang. Bekal-bekal itu pun sudah bertebaran di
mana-mana.

Aku lihat, raga Bapak mulai hancur, tidak seperti Bapak yang dulu. Kulit Bapak sudah copot
dari dagingnya, entah digerogoti hewan apa. Hingga yang tampak masih utuh hanya tulang-
belulang Bapak dan sedikit daging yang menempel pada tulang. Gigi-gigi Bapak pun sama
hancurnya dengan kulit.

Bapak, maafkan aku tidak bisa menjaga Ibu seperti Bapak. Tetesan air mengalir di pipiku.
Sejak Bapak sudah tiada, Ibu memang tidak bisa sepenuhnya menerima takdir. Aku terpaksa
meninggalkan Ibu sendiri untuk mencari uang, bekerja menjadi pelayan di sebuah restoran di
Lombok. Ibu hidup sendiri karena tidak mau aku bawa. Ibu tidak ingin meninggalkan Bapak.
Begitulah cara Ibu menolak setiap aku mengajaknya pergi.

Maafkan aku. Aku tidak berada di samping Ibu saat-saat terakhirnya. Aku tidak tahu jika Ibu
sudah lama sakit. Ia memendamnya sendiri tanpa mengabarkannya padaku. Mungkin, hanya
Bapak tempat Ibu mencurahkan isi hati dan rasa sakit yang ia derita. Waktu itu, saat aku
membawa Bapak ke sini, Ibu ingin ikut bersamaku. Tapi, tetua adat melarangnya karena
perempuan tidak boleh datang ke seme wayah, takut akan mendapat petaka.

Kini, aku benar-benar sendiri. Ibu lebih memilih ikut bersama Bapak dan meninggalkanku.
Aku masih ingat yang Bapak katakan, bahwa kita orang tidak berpunya dan tidak ada apapun
yang bisa kita bawa sebagai bekal. Meskipun begitu, aku yakin Bapak pasti sedih karena
kulihat teman-teman Bapak di sini membawa bekal yang banyak.

Aku tidak ingin memisahkan Bapak dengan Ibu. Aku tidak akan membawa Ibu pergi ikut
bersamaku atau meninggalkannya lagi sendiri di rumah. Aku tidak akan mengubur airkan
Ibu. Aku tidak ingin melihat Ibu terkatung-katung di tengah danau atau perlahan mengendap
di dasar danau menyatu dengan pasir. Kali ini, maukah Bapak tetap menjaga Ibu di sini?

Kuambil botol plastik berisi abu ibu dari dalam ransel. Kutuangkan abunya di telapak tangan
dan pelan-pelan kutaburkan. Butiran-butiran abu itu lalu perlahan jatuh menyelimuti tulang-
tulang Bapak dan masuk ke dalam rongga kepala juga dada Bapak.

Usai menaburkan abu Ibu, aku pun pergi meninggalkan seme wayah, sebelum orang-orang
mencariku karena ada satu tugas lagi yang harus kulakukan. Melepas abu palsu Ibu di Danau
Batur untuk mengubur airkannya.

Keterangan: 

1. Seme wayah: tempat pemakaman bagi laki-laki Trunyan yang meninggal secara wajar.
2. Taru menyan: nama pohon besar yang dijadikan asal nama desa di Bali yaitu Desa
Trunyan. Taru artinya pohon, menyan artinya wangi.

3. Ancak saji: suatu anyaman dari irisan bambu yang dijadikan sebagai pagar untuk
melindungi makam di seme wayah.

Maulidia,Penulis tinggal di Setiabudi, Jakarta Selatan.

I Wayan Diana,Lahir di Gianyar, 12 Desember 1977. Telah berpameran di berbagai


tempat, di antaranya Arma Museum; Museum Puri Lukisan; Neka Museum; Pesta Puri dan
Siyu Taksu Jakarta; dan Biennale Seni Lukis Bali #1 (2009). Sejumlah lukisannya juga
masuk dalam buku-buku penting Seni Lukis Bali atau sebagai sampul buku. Meraih
penghargaan sebagai Finalis Jakarta Art Award 2008 dan 2009; Finalis UOB Painting of
the Year tahun 2011, 2012, 2013, dan 2014. 

Anda mungkin juga menyukai