Anda di halaman 1dari 26

UJI TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL 96%ALGA COKLAT (Padina australis)

DENGAN METODE BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)

Penelitian Eksperimental Laboratoris

Azmil Karimah

201904300

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH

SURABAYA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Perairan laut yang luas
menghubungkan pulau-pulau tersebut. yang terdiri dari laut dan berada di garis
khatulistiwa kaya akan sumber daya laut. Selain kehidupan laut yang beragam, juga
banyak ditemukan tumbuhan laut seperti alga, yang digunakan dalam makanan, obat-
obatan, dan bahan farmasi. Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan
produk dari sektor kelautan khususnya dalam pemanfaatan rumput laut yang berkaitan
dengan kesehatan dan obat-obatan (Putri et al., 2018).
Produksi rumput laut di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya dengan rata-
rata 22,25% per tahun (KKP 2018). Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi
produksi rumput laut yang cukup tinggi adalah Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2017
produksi rumput laut mencapai 630 ribu ton dengan nilai lebih dari Rp.560 miliar yang
tersebar di berbagai daerah antara lain Kabupaten Kupang, Sabu Raijua, Rote Ndao,
Flores Timur, Sumba Timur, dan Kabupaten Manggarai Barat (Lewokeda 2017). Alga
atau yang biasa disebut dengan rumput laut ini dibagi kedalam 3 kelas besar yaitu Alga
merah (Rodhopyceae), Alga Hijau (Chloropyceae) dan Alga Coklat (Phaeocyceae).
Alga coklat adalah salah satu jenis rumput laut yang berukuran besar. Tumbuhan
ini membentuk hutan lebat, antara daun dan batangnya terletak di dalam dan di
permukaan laut, habitat alga coklat adalah laut, dan hanya sebagian kecil yang hidup di
muara. Struktur tubuh umumnya multiseluler, dan tubuh dapat dibedakan menjadi
untaian (lamina) menyerupai bentuk akar (hapleta), batang, dan pangkal. Alga coklat
mengandung senyawa utama yaitu alginat, dan juga senyawa lain seperti protein, vitamin
C, tannin, iodin dan fenol. Alginat banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan rumah
tangga, bahan tambahan atau bahan baku dalam industri farmasi, kosmetik, tekstil, dan
lain-lain (Bijang et al, 2018). Terdapat 28 spesies alga coklat di perairan Indonesia yang
berasal dari 6 jenus yakni Sargassum, Padina, Turbinaria, Dyctyota, Hormophysa dan
Hydroclathrus (Ode & Wasahua, 2014).
Alga telah banyak dibudidayakan dibeberapa daerah antara lain Kepulauan Riau,
Lampung, Selat Sunda Kepilauan Seribu, Karimunjawa, Bali, Lombok, Sumbawa,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Pulau Poteran. Pulau Poteran, disebut sebagai
pulau Talango yang merupakan salah satu pulau kecil yang dekat dengan pulau Madura,
tepatnya berada di kabupaten Sumenep, Madura. Pulau tersebut banyak ditumbuhi alga,
baik jenis alga hijau, alga merah dan alga cokelat. Salah satu alga cokelat yang banyak di
Talango adalah Padina australis (Nurrahman et al,2020).
Padina australis memiliki kandungan senyawa kimia diantaranya terdapat fenol
dan turunannya (flavonoid), β- karoten, diadinoksantin, diatoksantin, fukosantin, klorofil
a dan klorofil c. Senyawa fukosantin diketahui memiliki aktivitas sebagai sitotoksik
(antikanker), sedangkan fenol dan turunannya sebagai antibakteri dan antioksidan
(Handayani & Zuhrotun, 2017). Pada penelitian sebelumnya terkait uji toksisitas alga
coklat Sargassum duplicatum yang diekstak menggunakan air panas dan H2SO4 terbukti
memiliki sifat toksik dengan nilai LC 50 berturut-turut 444,14 ppm dan 446,23 ppm
(Sandapare et al, 2015). Penelitian lain yang diperoleh melalui uji toksisitas sampel
ekstrak Padina australis dengan etanol 96% menggunakan metode BSLT menghasilkan
nilai LC50 177,83 gr/ml (Haryani et al., 2019).
Uji toksisitas pada alga coklat Padina autralis bertujuan untuk mengetahui efek
toksik dari suatu senyawa yang ditentukan dengan rentang waktu yang cukup singkat
selama 24 jam dari pemberian dosis uji. Senyawa ini memiliki kapasitas mengikat radikal
bebas dan kemampuan untuk berinteraksi dengan protein, umumnya senyawa bioaktif
hampir selalu toksik pada dosis tinggi. Toksisitas alga berkaitan dengan senyawa-
senyawa metabolit sekunder yang ada di dalamny (Nurud, 2020).
Metode yang biasa digunakan yaitu BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)
sebuah metode yang memanfaatkan udang air asin (Artemia salina Leach), sebagai
bioassay sederhana untuk penelitian produk. Selain itu, metode BSLT dipilih karena
metode ini sering digunakan untuk pra-skrining terhadap senyawa aktif yang
terkandung dalam ekstrak tumbuhan karena sederhana, cepat, murah, mudah, dapat
dipercaya, dan hasilnya representative (Kurniawan, 2012).
Prosedur dilakukan dengan menentukan nilai LC50 senyawa aktif dari ekstrak
dalam media air garam. Aktivitas dari berbagai macam senyawa aktif yang diketahui
dimanifestasikan sebagai toksisitas ke udang. Hasil uji toksisitas dengan metode ini
terbukti memiliki korelasi dengan daya sitotoksik senyawa antikanker (Meyer et al,
1982). Nilai LC50 merupakan angka yang menunjukkan konsentrasi suatu bahan
penyebab kematian sebesar 50% dari jumlah hewan coba. Pengujian efek toksik dengan
larva Artemia salina, dihitung dengan metode LC50 yang mana kematian setelah 6 jam
pemaparan dimasukkan kedalam kategori LC50 akut dan pemaparan setelah 24 jam
digolongkan LC50 kronis, akan tetapi dalam pengerjaannya biasanya digunakan
perhitungan LC50 setelah 24 jam. (Nurrahman et al,2020).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang muncul dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana uji toksisitas ekstrak etanol 96% Alga Coklat (Padina australis)
menggunakan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) ?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis toksisitas ekstrak etanol 96% Alga Coklat (Padina australis)
menggunakan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Diharapkan hasil penelitian ini dapat diperbarui untuk percobaan selanjutnya
untuk meningkatkan pengetahuan dan menjadi referensi peneliti terkait uji
toksisitas ekstrak etanol 96% Padina australis menggunakan metode BSLT
(Brine Shrimp Lethality Test)

1.4.2 Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi terkait
uji toksisitas ekstrak etanol 96% Padina australis.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Alga Coklat (Padina australis)


2.1.1 Klasifikasi Alga Coklat (Padina australis)
Alga Coklat (Padina australis) salah satu jenis makroalga dengan klasifikasi sebagai
berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Phaeophyta
Kelas : Phaeopyceae
Ordo : Dictyotales
Famili : Dictyotaceae
Genus : Padina
Spesies : Padina australis Hauck

2.1.2 Morfologi Alga Coklat (Padina australis)


Alga ini berbentuk multiseluler dan mengandung klorofil serta pigmen-pigmen
berwarna coklat untuk melangsungkan proses fotosintesis. Adapun pigmen lainnya yaitu
karoten dan xantofil. Pigmen yang paling dominan adalah pigmen xantofil yang
menyebabkan alga berwarna coklat ( Kasim, 2016).
Padinna australis tumbuh dan menempel didaerah terumbu karang yang merata,
alat perekat yang digunakan oleh Padina Australis berupa cakram yang biasanya terdiri
dari cuping pupih. Alga ini berwarna coklat-kekuningan. Namun, kadang-kadang
berwarna putih yang disebabkan oleh perkapuran di permukaan daun. Thallusnya
berbentuk kipas berupa segmen-segmen lembaran tipis dan memiliki garis-garis
serambut radial pada permukaan daun. Padina Australis memiliki tubuh yang terdiri
dari hold fast (seperti akar), stipe (seperti batang), blade seperti daun) (Nurrahman et al,
2020).
2.1.3 Habitat dan Distribusi Alga Coklat (Padina australis)
Untuk penemuannya dapat dengan mudah ditemukan di beberapa dasar perairan
dangkal hingga kedalaman tertentu dimana spectrum cahaya penuh masih tersedia.
Sebagian besar tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu
terendam air (subtidal) melekat pada substrat di dasar perairan yang berupa karang batu
mati, karang batu hidup, batu gamping atau cangkang molusca dan dalam hal
penyebaran spora (Aslan, 1998). Rumput laut hidup dengan cara menyerap unsur hara
dari air dan melakukan fotosintesis (Poncomulyo, 2006).

2.1.4 Kandungan Alga Coklat (Padina australis)


Alga coklat Padina australis memiliki kandungan senyawa kimia antara lain
alkaloid, flavonoid, steroid, terpenoid, fenol dan turunannya (flavonoid), β- karoten,
diadinoksantin, diatoksantin, fukosantin, klorofil a dan klorofil c. Senyawa fukosantin
diketahui memiliki aktivitas sebagai sitotoksik (antikanker), sedangkan fenol dan
turunannya sebagai antibakteri dan antioksidan (Handayani & Zuhrotun, 2017).
2. 2 Tinjauan Tentang Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahan bahan padat atau cair dengan menggunakan
pelarut. Jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi dapat mempengaruhi
jumlah zat aktif yang diperoleh dari bahan tumbuhan. Menggunakan pelarut terbaik
selalu meningkatkan optimasi ekstraksi sampel. Proses ekstraksi menggunakan pelarut
dengan kepolaran masing masing ekstrak (Yuliani & Rasyid, 2019).

2.2.1 Metode Ekstraksi


Metode ekstraksi yang umum digunakan adalah maserasi, perkolasi, reflux,
soxhletasi, destilasi, ultrasonic, dan lain-lain.
a. Maserasi
Maserasi adalah proses perendaman simplisia dengan menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengadukan pada temperatur kamar. Secara teknologi termasuk
ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan.
Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan secara terus-menerus. Remaserasi
berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan
maserat pertama, dan seterusnya. (Ditjen POM, 2000).
b. Perlokasi
Perkolasi adalah metode ekstraksi sederhana yang menggunakan pelarut baru di
mana pelarut mengalir melalui fasilitas sampai senyawa terekstraksi sepenuhnya,
yang membutuhkan waktu lebih lama dan lebih banyak pelarut. Untuk memastikan
perkolasi selesai, perkolasi dapat diuji keberadaan metabolitnya dengan pereaksi
tertentu. (Hanani, 2014)
c. Refluks
Refluks adalah ekstraksi pada pelarut pada temperature titik didihnya, selama waktu
tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relative konstan dengan adanya pendingin
balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali
sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. (Ditjen POM, 2000).
d. Soxhletasi
Soxhletasi adalah ekstrasi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya
dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah
pelarut relative konstan dengan adanya pendingin balik. (Ditjen POM, 2000).

2.3 Tinjauan Parameter Standardisasi

2.3.1 Definisi Standardisasi


Standarisasi merupakan serangkaian parameter, pengukuran unsur-unsur terkait
paradigma mutu yang memenuhi syarat standar. Standarisasi juga memiliki pengertian
yaitu serangkaian proses yang akan melibatkan berbagai metode analisis kimiawi
berdasarkan data farmakologis, juga akan melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi yang
didasarkan dengan kriteria umum keamanan atau toksikologi terhadap suatu ekstrak alam
(Saifudin et al., 2011; Mustapa et al, 2020). Standarisasi juga dilakukan sebagai upaya
peningkatan mutu dan keamanan produk yang diharapkan dapat lebih meningkatkan
kepercayaan terhadap manfaat obat yang berasal dari bahan alam, mutu dalam artian
memenuhi syarat standard (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas)
stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya (Dewoto, 2007; Mustapa et al, 2020).
Standarisasi terdiri dari parameter spesifik dan parameter non spesifik

2.3.2 Klasifikasi Parameter Standardisasi

a. Parameter Standarisasi Spesifik


Standarisasi parameter spesifik merupakan aspek yang berfokus pada
senyawa atau golongan senyawa. Adapun parameter spesifik itu meliputi identitas
ekstrak, organoleptik, kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu dan kadar
kandungan kimia. Kelebihan paramter spesifik yaitu, identitas ekstrak lebih
khusus, kandungan kimia yang terkandung dalam tanaman tersebut lebih khusus
digunakan terhadap aktivitas farmakologis (Saifudin dkk, 2011; Mustapa et al,
2020)
1) Identitas Ekstrak
Tujuannya ialah memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari
senyawa identitas. Parameter identitas ekstrak meliputi :
I. Deskripsi tata nama :
3 Nama ekstrak (generik, dagang, paten)
4 Nama latin tumbuhan (sistematika botani)
5 Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, dsb)
6 Nama Indonesia tumbuhan
II. Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas, artinya senyawa tertentu
spesifik dengan metode tertentu (Parameter standar, 2000).
2) Organoleptik
Tujuannya yaitu pengenalan awal yang sederhana seobyektif mungkin dengan
menggunakan panca indera. Parameter oganoleptik sebagai berikut:
1. Bentuk : padat, kental, cair, serbuk-kering
2. Warna : kuning, coklat, dll
3. Bau : aromatic, tidak berbau, dll
4. Rasa : pahit, manis, kelat, dll (Parameter standar, 2000).
3) Senyawa Terlarut Dalam Pelarut Tertentu
Prinsipnya ialah melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol atau air)
untuk ditentukan jumlah senyawa kandungan secara gravimetri. Dalam hal
tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain seperti methanol,
heksana, diklorometan dll (Parameter standar, 2000).
b. Parameter Standarisasi Non Spesifik
Standarisasi parameter non spesifik merupakan parameter yang tidak
berhubungan langsung dengan aktivitas farmakologis tetapi dapat mempengaruhi
aspek keamanan dan stabilitas ekstrak serta sediaan yang dihasilkan. Parameter
non spesifik ini merupakan parameter yang berfokus pada aspek kimia, dan fisis
meliputi penentuan susut pengeringan, bobot jenis, kadar air, kadar abu total dan
kadar abu tidak larut asam (Mustapa et al., 2020)
1) Susut Pengeringan
Tujuannya ialah memberikan Batasan maksimal (rentang) tentang
besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Prinsip parameter
susut pengeringan yaitu pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada
temperature 105 0C selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang
dinyatakan sebagai nilai prosen (Parameter standar, 2000).
2) Bobot Jenis
Tujuannya yaitu memberikan Batasan tentang besarnya masa per
satuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak
pekat (kental) yang masih dapat dituang. Prinsip parameter bobot jenis adalah
masa per satuan volume pada suhu kamar tertentu 25 0C yang ditentukan
dengan alat khusus piknometer ataupun alat lainnya (Parameter standar,
2000).
3) Kadar Air
Tujuannya memberikan Batasan minimal atau rentang besarnya
kandungan air di dalam bahan. Prinsipnya dengan pengukuran kandungan air
yang berada di dalam bahan dan dilakukan dengan cara yang tepat seperti cara
titrasi, destilasi atau gravimetri (Parameter standar, 2000).
4) Kadar Abu
Tujuannya memberikan gambaran kandungan mineral internal dan
eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak.
Prinsipnya bahan dipanaskan pada temperature dimana senyawa bahan
organik dan turunannya menguap, sehingga tinggal unsur mineral organik
(Parameter standar, 2000).
5) Sisa Pelarut
Tujuannya ialah memberikan jaminan bahwa selama proses tidak
meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada.
Sedangkan untuk esktrak cair menunjukkan jumlah pelarut (alkohol) sesuai
yang telah ditetapkan. Prinsipnya dengan menentukan kandungan sisa pelarut
tertentu (yang memang ditambahkan) yang secara umum dengan kromatografi
gas (Parameter standar, 2000).
6) Cemaran Mikroba
Tujuannya memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung
mikroba patogen maupun non patogen melebihi batas yang telah ditetapkan
karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi
Kesehatan. Prinsipnya dengan cara menentukan (identifikasi) adanya mikroba
secara analisis mikrobiologi (Parameter standar, 2000).
2.4 Tinjauan Tentang Skrining Fitokimia
2.4.1 Alkoloid
Merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Alkoloid
mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom
nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai system siklik. Alkoloid sering
bersifat racun bagi manusia dan banyak mempunyai sifat fisiologis yang
menonjol, jadi digunakan secara luas dalam bidang kesehatan (Nikmatul et al
2013)
2.4.2 Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu polifenol, dimana senyawa ini dapat berperan
sebagai antioksidan dalam menangkal radikal bebas, mekanisme kerja
flavonoid sebagai antioksidan adalah menekan pembentukan Reactive Oxygen
Species (ROS) dengan menghambat enzim dalam pembentukan ROS dan
meningkatkan regulasi serta proteksi dari antioksidan. (Amin, 2017)
2.4.3 Tanin
Tanin merupakan senyawa yang mempunyai berat molekul 500-3000 dan
mengandung sejumlah besar gugus hidroksi fenolik yang memungkinkan
membentuk ikatan silang yang efektif dengan protein dan molekul-molekul
lain seeperti, polisakarida, asam amino, asam lemak, dan asam nukleat
(N.hidayah).
2.4.4 Saponin
Saponin merupakan senyawa sekunder. Keberadaan saponin dapat dicirikan
dengan adanya rasa pahit, Secara umum pada tanaman yang sama, tanaman
yang belum matang memiliki kandungan saponin yang lebih tinggi
dibandingkan yang sudah matang. Saponin terdiri atas gula yang biasanya
mengandung glukosa, berbagai pentosa, atau asam uronat. Asimetri
hidrofibik-hidrofilik yang berarti senyawa ini mampu menurunkan tegangan
permukaan dan bersifat seperti sabun.
2.4.5 Terpenoid
Terpenoid merupakan salah satu senyawa organik yang hanya tersebar di
alam, yang terbentuk dari sat-uan isoprena (CH3=C(CH3)-CH=CH2).
Senyawa terpenoid termasuk senyawa hidrokarbon yang dibedakan berdasar
jumlah satuan isoprena penyusunnya, group metil yang di ingatnya.
( nikmatul et al )

2.5 Tinjauan Parameter Standardisasi

2.5.1 Definisi Standardisasi

Standarisasi merupakan serangkaian parameter, pengukuran unsur-unsur terkait


paradigma mutu yang memenuhi syarat standar. Standarisasi juga memiliki pengertian
yaitu serangkaian proses yang akan melibatkan berbagai metode analisis kimiawi
berdasarkan data farmakologis, juga akan melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi yang
didasarkan dengan kriteria umum keamanan atau toksikologi terhadap suatu ekstrak alam
(Saifudin et al., 2011; Mustapa et al, 2020). Standarisasi juga dilakukan sebagai upaya
peningkatan mutu dan keamanan produk yang diharapkan dapat lebih meningkatkan
kepercayaan terhadap manfaat obat yang berasal dari bahan alam, mutu dalam artian
memenuhi syarat standard (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas)
stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya (Dewoto, 2007; Mustapa et al, 2020).
Standarisasi terdiri dari parameter spesifik dan parameter non spesifik

2.5.2 Klasifikasi Parameter Standardisasi

c. Parameter Standarisasi Spesifik


Standarisasi parameter spesifik merupakan aspek yang berfokus pada
senyawa atau golongan senyawa. Adapun parameter spesifik itu meliputi identitas
ekstrak, organoleptik, kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu dan kadar
kandungan kimia. Kelebihan paramter spesifik yaitu, identitas ekstrak lebih
khusus, kandungan kimia yang terkandung dalam tanaman tersebut lebih khusus
digunakan terhadap aktivitas farmakologis (Saifudin dkk, 2011; Mustapa et al,
2020)
4) Identitas Ekstrak
Tujuannya ialah memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari
senyawa identitas. Parameter identitas ekstrak meliputi :
III. Deskripsi tata nama :
2 Nama ekstrak (generik, dagang, paten)
3 Nama latin tumbuhan (sistematika botani)
4 Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, dsb)
5 Nama Indonesia tumbuhan
IV. Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas, artinya senyawa tertentu
spesifik dengan metode tertentu (Parameter standar, 2000).
5) Organoleptik
Tujuannya yaitu pengenalan awal yang sederhana seobyektif mungkin dengan
menggunakan panca indera. Parameter oganoleptik sebagai berikut:
2 Bentuk : padat, kental, cair, serbuk-kering
3 Warna : kuning, coklat, dll
4 Bau : aromatic, tidak berbau, dll
5 Rasa : pahit, manis, kelat, dll (Parameter standar, 2000).
6) Senyawa Terlarut Dalam Pelarut Tertentu
Prinsipnya ialah melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol atau air)
untuk ditentukan jumlah senyawa kandungan secara gravimetri. Dalam hal
tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain seperti methanol,
heksana, diklorometan dll (Parameter standar, 2000).
d. Parameter Standarisasi Non Spesifik
Standarisasi parameter non spesifik merupakan parameter yang tidak
berhubungan langsung dengan aktivitas farmakologis tetapi dapat mempengaruhi
aspek keamanan dan stabilitas ekstrak serta sediaan yang dihasilkan. Parameter
non spesifik ini merupakan parameter yang berfokus pada aspek kimia, dan fisis
meliputi penentuan susut pengeringan, bobot jenis, kadar air, kadar abu total dan
kadar abu tidak larut asam (Mustapa et al., 2020)
7) Susut Pengeringan
Tujuannya ialah memberikan Batasan maksimal (rentang) tentang
besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Prinsip parameter
susut pengeringan yaitu pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada
temperature 105 0C selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang
dinyatakan sebagai nilai prosen (Parameter standar, 2000).
8) Bobot Jenis
Tujuannya yaitu memberikan Batasan tentang besarnya masa per
satuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak
pekat (kental) yang masih dapat dituang. Prinsip parameter bobot jenis adalah
masa per satuan volume pada suhu kamar tertentu 25 0C yang ditentukan
dengan alat khusus piknometer ataupun alat lainnya (Parameter standar,
2000).
9) Kadar Air
Tujuannya memberikan Batasan minimal atau rentang besarnya
kandungan air di dalam bahan. Prinsipnya dengan pengukuran kandungan air
yang berada di dalam bahan dan dilakukan dengan cara yang tepat seperti cara
titrasi, destilasi atau gravimetri (Parameter standar, 2000).
10) Kadar Abu
Tujuannya memberikan gambaran kandungan mineral internal dan
eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak.
Prinsipnya bahan dipanaskan pada temperature dimana senyawa bahan
organik dan turunannya menguap, sehingga tinggal unsur mineral organik
(Parameter standar, 2000).
11) Sisa Pelarut
Tujuannya ialah memberikan jaminan bahwa selama proses tidak
meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada.
Sedangkan untuk esktrak cair menunjukkan jumlah pelarut (alkohol) sesuai
yang telah ditetapkan. Prinsipnya dengan menentukan kandungan sisa pelarut
tertentu (yang memang ditambahkan) yang secara umum dengan kromatografi
gas (Parameter standar, 2000).
12) Cemaran Mikroba
Tujuannya memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh
mengandung mikroba patogen maupun non patogen melebihi batas yang telah
ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya (toksik)
bagi Kesehatan. Prinsipnya dengan cara menentukan (identifikasi) adanya
mikroba secara analisis mikrobiologi (Parameter standar, 2000).
2. 6 Toksisitas

2.6.1 Pengertian Uji Toksisitas

Uji toksisitas dirancang untuk menggambarkan efek toksik dan kejadian atau
untuk menilai batas keamanan yang terkait dengan penggunaan suatu senyawa.
Pengukuran toksisitas dapat ditentukan secara kuantitatif yang menunjukkan tingkat
keamanan dan tingkat bahaya suatu zat. Uji toksisitas dibagi menjadi 3 kategori : uji
toksisitas akut, uji toksisitas subakut, dan uji toksisitas subkronis.
2.6.2 Klasifikasi Uji Toksisitas

a. Uji toksisitas akut

Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksis yang
muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang diberikan secara oral
dalam dosis tunggal, atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu 24 jam. Tujuanya
adalah untuk mendeteksi intriksi suatu zat, menentukan organ sasaran, kepekaan
spesies, memperoleh informasi bahaya setelah paparan suatu zat secara akut,
memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk menetapkan tingkat dosis.
( BPOM RI, 2020)

e. Uji Toksisitas Subkronis


Uji toksisitas subkronis adalah pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang
terjadi setelah dosis berulang setelah produk uji untuk hewan uji tertentu, selama 1
sampai 3 bulan. Selama waktu pemberian sediaan uji, hewan uji harus diamati setiap
hari bertujuan untuk menentukan adanya toksisitas. Selama sebagian dari kehidupan
atau umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10% umur hewan. (BPOM RI, 2020)

f. Uji Toksisitas Kronis


Uji toksisitas Kronis adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang
muncul setelah pemberiaan sediaan uji secara berulang selama sebagian besar hewan
uji. Tujuan dari uji toksisitas kronis adalah untuk mengetahui profil efek toksis setelah
pemberian sediaan uji secara berulang selama waktu yang panjang, dan untuk
menetapkan tingkat dosis yang tidak menimbulkan efek toksik. (BPOM RI, 2020)

2.6 Larva Udang Artemia salina Leach

2.6.1 Klasifikasi Artemia salina Leach

Menurut (Kanwar, 2007) klasifik


asi Artermia salina Leach adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Anthropoda
Kelas : Crustacea
Ordo : Anostraca
Family : Artemiidae
Genus : Artemia
Spesies : Artemia salina Leach
2.6.2 Morfologi Artemia salina Leach
Artemia salina Leach memiliki panjang total sekitar 8-10 mm pada jantan
dewasa dan 10-12 mm pada betina, dan lebar sekitar 4 mm pada kedua jenis kelamin.
Tubuhnya terbagi atas kepala, dada, dan perut. Kepala terdiri dari satu prostoma dan
lima segmen metameric, yang berurutan, median dan mata majemuk, dan labrum,
diikuti oleh antena pertama dan kedua, rahang bawah, maksila pertama, dan maksila
kedua.
Dada terdiri dari sebelas ruang yang masing-masing dilengkapi dengan
sepasang kaki untuk berenang, sedangkan perut terdiri dari 8 segmen. Dalam kondisi
alami, Artemia hidup di danau dan air asin. Oleh karena itu Artemia disebut juga
udang renik asin (brine shrimp). Namun secara fisik, Artemia tidak memiliki
pelindung tubuh. Oleh karena itu kemampuan Artemia 15 untuk hidup di danau
dengan salinitas tinggi merupakan system pertahanan alami terhadap musuh
pemangsanya. Artemia dapat hidup pada temperatur Artemia 25-30º C (Vena, 2021)
2.6.3 Habitat Artemia salina Leach
Populasi Artemia ditemukan di sekitar 500 danau garam, garam alami dan
buatan yang tersebar di seluruh zona iklim tropis, iklim subtropis dan sedang, di
sepanjang garis pantai dan distribusi Artemia tidak kontinyu, tidak semua biotop
dengan kandungan garam tinggi dihuni oleh Artemia.
Meskipun udang air asin berkembang dengan sangat baik di air laut alami,
mereka tidak dapat bermigrasi dari satu biotop saline ke lainnya melalui laut, karena
mereka bergantung pada adaptasi fisiologis mereka terhadap salinitas tinggi untuk
menghindari predasi dan persaingan dengan pengumpan filter lainnya. Adaptasi
fisiologisnya terhadap salinitas tinggi memberikan pertahanan ekologis yang sangat
efisien terhadap predasi, seperti yang dimiliki oleh udang air asin (Stappen, 2006).
2.6.4 Siklus Hidup Artemia salina Leach
Bedasarkan cara berkembang biaknya Artemia salina Leach dibedakan menjadi
dua golongan. Diantaranya perkembangbiakan biseksual dan partenogenetik, sedangkan
pada ovipar Artemia salina anaknya berupa telur yang bercangkang tebal yang
dinamakan siste (Mudjiman, 1995)
2.6.5 Alasan Penggunaan Artemia salina Leach sebagai Hewan Uji
Metode bioassay yang mudah dan murah untuk skrinning toksisitas ekstrak
tumbuhan aktif menggunakan hewan uji Artemia salina Leach. Artemia biasanya
digunakan dalam berbagai bioassay seperti peptisida,polutan,mikotoksin, anestesi,
komponen seperti morfin, karsinogenesitas, dan uji toksisitas. Air laut pengujian pada
organisme ini cocok untuk aktifitas farmokologis dalam ekstrak tumbuhan, dimana
diantaranya bersifat toksik. Penelitian menggunakan Artemia salina memiliki beberapa
keunggulan antara lain cepat, sederhana, murah, dan mudah (Meyer et al., cit
Wahyuni,S.,2002).
2.7 Tinjauan Tentang BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)
BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) merupakan salah satu metode yang banyak
digunakan untuk menguji senyawa toksik suatu ekstrak tanaman dengan menggunakan
larva udang Artemia salina Leach. Metode ini mudah dikerjakan, murah, cepat, dan
cukup akurat. Larva Artemia salina Leach dapat mewakili organisme zoologis untuk uji
kematian secara in vivo. Uji BSLT dilakukan dengan mengamati tingkat kematian yang
ditimbulkan setelah diberi ekstrak terhadap larva udang jenis A. salina setelah diinkubasi
selama 1x24 jam. Kemudian hasil yang diperoleh dihitung sebagai nilai LC50 (Lethal
Concetration) ekstrak, dimana konsentrasi ekstrak yang dapat menyebabkan kematian A.
salina sebanyak 50%. (Dewi, 2020)
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Uraian Kerangka Konseptual


Produksi rumput laut di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya dengan rata-
rata 22,25% per tahun (KKP, 2018). Alga coklat mengandung senyawa yang banyak
dimanfaatkan sebagai bahan makanan rumah tangga, bahan tambahan atau bahan baku
dalam industry farmasi, kosmetik, tekstil, dan lain-lain (Bijang et a.l, 2018). Padina
Australis memiliki kandungan senyawa kimia diantaranya terdapat fenol dan turunannya
(flavonoid), β- karoten, diadinoksantin, diatoksantin, fukosantin, klorofil a dan klorofil c.
Senyawa fukosantin diketahui memiliki aktivitas sebagai sitotoksik (antikanker),
sedangkan fenol dan turunannya sebagai antibakteri dan antioksidan (Handayani &
Zuhrotun, 2017). Pada penelitian sebelumnya uji toksisitas sampel ekstrak Padina
australis dengan etanol 96% menggunakan metode BSLT menghasilkan nilai LC50 177,83
gr/ml (Haryani et al., 2019).
Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) merupakan sebuah metode yang
memanfaatkan udang air asin (Artemia salina Leach), sebagai bioassay sederhana
untuk penelitian produk. Prosedur dengan menentukan nilai LC50 dalam μg/ml senyawa
aktif dan ekstrak dalam media air garam. Nilai LC50 merupakan angka yang
menunjukkan konsentrasi suatu bahan penyebab kematian sebesar 50% dari jumlah
hewan coba (Nurrahman et al.,2020).

3.2 Kerangka Konseptual

Produksi rumput laut di Indonesia


meningkat dengan rata-rata 22,25% per
tahun (KKP, 2018)

Alga coklat mengandung senyawa yang banyak


dimanfaatkan bahan baku dalam industry farmasi,
kosmetik, tekstil, dan lain-lain (Bijang et a.l, 2018).
Padina Australis memiliki kandungan senyawa kimia
diantaranya terdapat fenol dan turunannya (flavonoid), β-
karoten, diadinoksantin, diatoksantin, fukosantin, klorofil a
dan klorofil c (Handayani & Zuhrotun, 2017).

Senyawa fukosantin diketahui memiliki aktivitas


sebagai sitotoksik (antikanker) (Handayani &
Zuhrotun, 2017).

Pada penelitian sebelumnya uji toksisitas sampel ekstrak Padina


australis dengan etanol 96% menggunakan metode BSLT
menghasilkan nilai LC50 177,83 gr/ml (Haryani et al., 2019).

Uji toksisitas Alga Coklat (Padina australis)


menggunakan pelarut etanol 96% dengan metode
BSLT memiliki aktivitas sitotoksik

3.3 Hipotesis
Hipotesis pada penelitian uji toksisitas Alga Coklat (Padina australis) menggunakan
pelarut etanol 96% dengan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) adalah ekstrak etanol
96% Alga Coklat (Padina australis) memiliki aktivitas sitotoksik.
BAB 4

4.1 Rancangan Penelitian


4.1.1 Desain Penelitian

Uji toksisitas ekstrak etanol 96% alga coklat Padina australis terhadap larva
udang Artemia salina Leach ini bersifat penelitian eksperimental laboratoris.

4.1.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan yaitu memberikan perlakuan pada hewan uji pada
waktu tertentu.

4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel


4.2.1 Populasi

Populasi berupa larva udang Artemia salina Leach sebagai hewan coba yang
diperoleh dari Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah

4.2.2 Sampel

Sampel berupa Larva udang Artemia salina Leach dan harus memenuhi kriteria
sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi
Larva udang berumur ± 48 jam yang bergerak aktif
b. Kriteria Eksklusi
Larva udang yang tidak menetas selama penetasan
4.2.3 Besar Sampel
Artemia salina Leach yang digunakan sebanyak 10 ekor setiap perlakuan. Pada
penelitian ini menggunakan lima konsentrasi yaitu masing-masing 200ppm, 400ppm,
600ppm, 800ppm, dan 1000ppm serta satu kelompok control negatife. Jadi, jumlah
total sampel larva udang Artemia salina Leach yang digunakan yaitu 300 ekor larva
udang.
4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel
Sampel diambil secara simple random sampling. Larva udang Artemia salina
Leach menggunakan jenis serta cara penyediaan yang sama sehingga memiliki
kesempatan yang sama untuk diseleksi menjadi sampel. Hal ini dikarenakan anggota
populasi telah bersifat homogen.
4.3 Variabel Penelitian
4.3.1 Variabel Penelitian
4.3.1.a Variabel Bebas

Variabel bebas (independent variable) merupakan variable yang menjadi penyebab atau
berdampak bagi variable lain. Pada penelitian ini variabel bebas yang digunakan yaitu ekstrak
etanol 96% alga coklat Padina australis.

4.3.1.2 Variabel Terikat

Variabel Terikat (dependent variable) merupakan variable yang disebabkan oleh adanya
pengaruh dari variabel bebas. Pada penelitian ini variable terikat yang digunakan adalah tingkat
kematian terhadap larva udang Artemia salina Leach.

4.4 Alat dan Bahan


4.4.1 Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu Erlenmeyer, beaker glass,
penangas, corong kaca, batang pengaduk kaca, desikator, toples kaca, tabung reaksi,
aluminium foil, Labu ukur, vial, gelas ukur kaca, gelas arloji, pipet, dishmeel
(penggiling), krus porselin, oven, furnace, freeze dry, rotary evapator, vortex,
corong, buchner, dan kertas saring.
4.4.2 Bahan

a. Bahan uji
Pada penelitian ini digunakan bahan uji ekstrak etanol 96% dari alga
coklat Padina asutralis yang diperoleh di daerah Madura jawa timur.

b. Bahan Kimia

Pada penelitian ini digunakan pelarut etanol etanol 96%, Aquadest, HCL
2%, Reagen Dragendorf, Reagen mayer, Reagen Wagner, Logam Mg, HCL
pekat, Kloroform, asam asetat anhidrat, H2SO4 pekat, dan FeCl3.

4.5 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Farmasi dan Laboratorium
Kimia Analisis Universitas Hang Tuah Surabaya dari bulan Februari – Juni 2023.
4.6 Prosedur Pengambilan atau Pengambilan Data
Data yang di ambil berupa total kematian larva udang Artemia salina Leach.
Penelitian uji toksisitas menggunakan metode BSLT digunakan waktu selama ±48jam
terhadap kematian larva udang Artemia salina Leach.
4.7 Manajemen Data
Pada penelitian ini data yang telah ada diolah secara statistika. Analisis data
dilakukan untuk mencari nilai LC50 dengan analisa probit menggunakan program
SPSS Statistics 26 dengan tingkat kepercayaan 95% dan margin eror 5%.
4.8 Prosedur Pelaksanaan
4.8.1 Uji Determinasi
Uji taksonomi dilakukan di Laboratorium ……………..untuk
mengidentifikasi tentang klasifikasi dari Padina australis.
4.8.2 Preparasi Sampel

Sampel alga coklat Padina australis yang didapatkan dari daerah pesisir Desa
Cabbiya, Kecamatan Talango,Kabupaten Sumenep sebanyak 18,4 kg sampel basah,
dicuci bersih dan disortasi. Kemudian sampel tersebut dikeringkan pada suhu ± 40°C
selama 7 hari. Alga coklat Padina asutralis yang telah kering, dihaluskan dengan cara
digiling.

4.8.3 Ekstraksi Sampel

Sampel alga coklat Padina asutralis yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak
200 gram dan di ekstraksi secara maserasi menggunakan pelarut etanol 96% sebanyak
2000 mL selama 3 x 24 jam sambal sesekali. Setelah itu rendaman disaring dengan kertas
saring dan corong buchner dan didapatkan antara ampas dan hasil filtrasinya. Ampas
yang diperoleh dimaserasi kembali selama 1x24 jam dengan pelarut dan perlakuan yang
sama. Ekstrak yang sudah ditampung kemudian dipekatkan dengan rotary vacuum
evaporator tekanan rendah pada suhu tidak lebih dari 70°C. Setelah itu ekstrak kental tadi
dikeringkan dalam alat freeze dryer pada suhu ± 30°C dengan suhu kondensor ±80°C.
Rendemen dapat dihitung menggunakan rumus :

berat ekstrak
Rendemen (b/b) : x 100 %
berat simplisiauji
4.8.4 penetapan susut pengeringan

Ekstrak kering dari alga coklat Padina australis, Timbang saksama 1 hingga 2
gram simplisia dalam botol timbang dangkal tertutup yang sebelumnya telah dipanaskan
pada suhu 105°C selama 30 menit dan telah ditara. Ratakan bahan dalam botol timbang
dengan menggoyangkan botol hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5 hingga
10 mm. Kemudian masukkan dalam ruang pengering, buka tutupnya, keringkan pada
suhu penetapan hingga bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, biarkan botol dalam
keadaan tertutup mendingin dalam desikator hingga suhu ruang.

Susut pengeringan dihitung berdasarkan rumus:

bobot awal−bobot akhir


Susut pengeringan (b/b) : x 100%
bobot sampel
4.8.5 Penetapan kadar air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode gravimetri. Timbang saksama
kurang lebih 10 gram sampel, masukkan kedalam wadah yang telah ditara. Keringkan
pada suhu 105°C selama 5 jam, dan timbang. Lanjutkan pengeringan dan timbang pada
selang waktu 1 jam sampai perbedaan antara dua penimbangan berturut-turut tidak lebih
dari 0,25%. Kadar air dihitung berdasarkan rumus :

W 1−W 2
Kadar air : x 100%
W 1−W 0

Keterangan :

W0 = bobot konsran krus kosong (g)

W1 = bobot krus + sampel sebelum dipanaskan (g)

W2 = bobot konstan krus + sampel sesudah dipanaskan (g)

4.8.6 Penetapan kadar abu total


4.8.7 Uji skrining fitokimia Ekstrak etanol 96% alga coklat Padina asutralis

Uji fitokimia merupakan suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui kandungan
senyawa aktif yang terdapat pada alga coklat Padina australis. Uji fitokimia dilakukan
meliputi uji alkaloid, flavonoid, tripenoid/steroid, saponin dan tannin.

Anda mungkin juga menyukai