Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

Sebagaimana diketahui setelah melalui proses dan tahapan persiapan


akademis, pengakajian, pembahasan atau uji publik kepada pemangku kepentingan
(stakeholder) dan masyarakat, serta pembahasan antar departemen/kementerian yang
dimulai sejak tahun 2002, maka telah dihasilkan naskah Rancangan Undang-Undang
tentang Pelayaran konsep pemerintah yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui amanat Presiden RI dengan Surat
Presiden Nomor R.95/Pres./II/2005 tanggal 10 November 2005. Rancangan Undang-
Undang tersebut merupakan penyempurnaan menggantikan Undang-Undang Nomor
21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang sudah berlaku selama 16 (enam belas ) tahun.

Rancangan Undang-Undang tersebut didasarkan pada perubahan paradigma


dan lingkungan strategis baik internal maupun eksternal bangsa Indonesia.
Berdasarkan amanat Presiden tersebut setelah DPR RI, melakukan kajian-kajian
internal dan beberapa dengar pendapat dengan berbagai pihak yang terkait dan
berkepentingan, maka pada tanggal 20 Juni 2007 telah dilakukan pembahasan Tingkat I
antara Pemerintah bersama DPR RI. Pembahas antara Pemerintah dengan DPR RI
berlangsung cukup intensif, alot, panjang, dan melelahkan sesuai dengan mekanisme
yang berlaku dalam persidangan DPR, selama 55 kali persidangan dengan waktu 10
bulan 17 hari, yang pada akhirnya pada tanggal 7 Mei 2008 Rancangan Undang-
Undang tersebut disahkan dan diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008 tentang Pelayaran.

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang


Pelayaran, merupakan tonggak sejarah bagi bangsa Indonensia khususnya komunitas
pelayaran, karena banyak sekali perubahan yang prinsip dan mendasar dalam
penyelenggaraan pelayaran. Salah satu aspek yang mengalami perubahaan mendasar
adalah mengenai penyelenggaran pelabuhan. Terdapat 7 (tujuh) pilar perubahan prinsip
dan mendasar dalam penyelenggaraan pelabuhan dan salah satu pilarnya adalah
diperkenalkannya pengelolaan terminal pada pelabuhan yang sudah diusahakan secara
komersial oleh Badan Usaha Pelabuhan ( Badan Usaha Milik Negara/BUMN, Badan
Usaha Milik Daerah/BUMD atau badan swasta) melalui pemberian konsesi.

7 (tujuh) pilar perubahan mendasar aturan bidang kepelabuhanan secara lengkap dapat
disampaikan sebagai berikut :

1
1. Badan Usaha Pelabuhan (BUMN, BUMD, dan swasta diberi kesempatan untuk
mengusahakan pelabuhan secara sendiri dalam bentuk pengelolaan/pengusahaan
terminal;
2. penataan kelembagaan dengan ditetapkannya otoritas pelabuhan;
3. Otoritas Pelabuhan memberi konsesi dalam pengusahaan terminal;
4. pelaksanaan koordinasi dan peran serta pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
pelabuhan;
5. pengintegrasi pelabuhan penyeberangan dan pelabuhan laut menjadi pelabuhan;
6. pelabuhan khusus menjadi terminal khusus dan dermaga khusus menjadi terminal
untuk kepentingan sendiri; dan
7. simplikasi penetapan lokasi.

Konsesi tersebut diberikan oleh Otoritas Pelabuhan sebagai penyelenggara


pelabuhan yang merupakan kelembagaan baru yang keberadaan, peran, tugas,
tanggung jawab dan wewenangnya ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008. Otoritas Pelabuhan dibentuk pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial,
sedangkan pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial diselenggarakan
oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan yang merupakan unit pelakasana teknis pada
Kementerian Perhubungan. Otoritas Pelabuhan berperan sebagai wakil Pemerintah
dalam hal ini Menteri Perhubungan untuk memberi konsesi atau bentuk lainnya kepada
Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan pengusahaan di pelabuhan yang dituangkan
dalam kontrak/perjanjian.

Pemberian konsesi yang kemudian dituangkan dalam kontrak memerlukan


kemampuan dan keahlian tersendiri bagi para pihak yang berkaitan dengan hal
tersebut, khususnya jajaran Otoritas Pelabuhan, Badan Usaha Pelabuhan dan
Pemerintah dalam melaksanakan kegiatan di pelabuhan. Dalam Pasal 47 ayat (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, diwajibkan bagi
aparat Otoritas Pelabuhan untuk memiliki kemampuan dan kompetensi dalam bidang
kontraktual dan konsesi.

Di samping diperlukan pengetahun kontrak dan konsesi dalam pengusahaan


pelabuhan, juga masih diperlukan pemahaman materi terkait yaitu mengenai
penyelesaian sengketa yang sudah dituangkan dalam kontrak apabila para pihak ada
yang cidera janji (wanprestasi). Juga diperlukan pemahaman mengenai
keagrariaan/pertanahan dan perairan karena justru timbulnya substansi konsesi karena
tanah dan perairan dikuasai oleh negara yang dikonsesikan kepada Badan Usaha
Pelabuhan untuk mengusahakan terminal. Kesemuanya tersebut dapat
diimplementasikan secara optimal bila didukung dan ditunjang dengan kemampuan
bernegoisasi dan jiwa/semangat kewirausahaan (entrepreneurship).
Untuk itu dalam buku (tulisan) ini akan menguraikan secara berurutan teori
dan praktek mulai dari konsesi, kontrak, penyelesaian sengketa kontrak,

2
keagrariaan/pertanahan, negosiasi dan kewirausahaan yang diuraikan secara berurutan
dari Bab II sampai dengan Bab VII. Materi tersebut saling terkait sehingga perlu
diuraikan secara keseluruhan, agar mudah dipahami oleh semua pihak yang
berkepentingan baik kalangan akademisi, praktisi, jajaran birokrat khususnya dalam
pengusahaan pelabuhan maupun pengusaha di pelabuhan.
SoaI-soal :

1. Institusi/lembaga mana yang memberikan konsesi penyelenggaraan pelabuhan dan


lembaga/institusi mana yang menerima konsesi tersebut?

2. Kemampuan atau kompetensi apa saja yang diperlukan dalam menjalankan konsesi
penyelenggaraan pelabuhan?

3. Apa dasar hukum pengaturan konsesi?

4. Kapan Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran diundangkan?

5. Sebutkan pilar penting perubahan mendasar pengaturan kepelabuhan yang ada di


Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008?

3
BAB II

KONSESI DALAM PENGUSAHAAN PELABUHAN

1. Pengertian .

Konsesi berasal dari bahasa Inggris concession yang artinya izin atau
kelonggaran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia konsesi diartikan izin
membuka tambang atau hutan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena istilah konsesi
dahulunya sering digunakan pada kegiatan membuka pertambangan dan
penebangan hutan. Istilah untuk pertambangan kemudian saat ini berubah menjadi
kuasa penambangan.
Istilah atau terminologi konsesi diberikan pengertian yang berbeda oleh pakar
berdasarkan sudut pandang dan latar belakang keilmuan dan kehidupannya.
Beberapa pendapat pengertian konsesi dapat dijelaskan berikut ini :

a. Garin Nugroho berdasarkan latar belakang kehidupan politiknya mengartikan


politik konsesi yaitu kelonggaran atau kemudahan setelah melewati proses
diplomasi atau diskusi. Jadi aktivitas politik konsesi dianggap menjadi bagian
wajar dari seni berpolitik itu sendiri.
b. Prof Van Vollenhoven berpendapat bahwa konsesi adalah bila orang partikulir
setelah berdamai dengan Pemerintah, melakukan sebagian dari Pemerintah.
Telah dilakukan delegasi kekuasaan dari Pemerintah kepada seseorang/swasta
untuk melakukan pekerjaan atau tugas Pemerintah yaitu menyelenggarakan
kesejahteraan umum.
c. H.D.Wijk berpendapat bahwa konsesi merupakan sarana yang utamanya
digunakan berbagai kegiatan untuk kepentingan umum yang tidak mampu
dijalankan sendiri oleh pemerintah sehingga diserahkan kepada swasta.
d. Adrian Sutedi,SH.,MH. menyampaikan bahwa konsesi merupakan penetapan
yang memungkinkan konsesionaris mendapat dispensasi, izin, lisensi, dan juga
semacam wewenang pemerintahan. Dengan demikian konsesi harus dilakukan
dengan penuh kewaspadaan dan perhitungan yang matang.
e. E. Utrecht menyatakan bahwa konsesi adalah suatu keputusan administrasi
negara yang merupakan kewenangannya yang membolehkan/memperkenankan
setiap orang /orang perorangan atau korporasi melakukan perbuatan atau
kegiatan tertentu. Selanjutnya Utrecht menyampaikan bahwa antara izin dengan
konsesi berbeda secara nisbi (relatif) saja. Pada hakekatnya antara izin dan
konsesi tidak ada perbedaan yuridis.
f. M.M. Van Praag berpendapat bahwa pengertian konsesi dengan izin secara
sekilas tidak berbeda. Baik konsesi dan izin berisi dibolehkannya setiap orang

4
untuk melakukan suatu perbuatan atau pekerjaan tertentu. Dalam pengertian
sehari-hari kedua istilah tersebut sering digunakan secara sama. Pengertian izin
dan kosesi keduanya digunakan untuk suatu bentuk hukum yang sama dan
pemegang izin disebut juga konsesionaris. Van Praag membedakan antara izin
dan konsesi dilihat dari tindakan hukum. Izin merupakan tindakan hukum
sepihak, sedangkan konsesi merupakan kombinasi tindakan 2 (dua) pihak yang
memiliki sifat kontraktual/perjanjian. Dalam melakukan tindakan hukum berkaitan
dengan izin dan konsesi, Pemerintah melakukan/menampilkan diri dalam 2 (dua)
fungsi yaitu sebagai badan hukum umum pada saat melakukan konsesi dan
sebagai organ Pemerintah ketika mengeluarkan izin.

Berdasarkan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa meskipun antara


konsesi dan izin dianggap sama (berbeda relatif), namun terdapat perbedaan
karakter hukum. Izin merupakan perbuatan hukum sepihak yang dilakukan oleh
Pemerintah karena kewenangannya diperintah peraturan perundang-undangan.
Konsesi merupakan perbuatan hukum yang dilakukan kedua belah pihak antara
pemberi konsesi dengan penerima konsesi yang masing-masing hak dan
kewajibannya diikat dalam kontrak/perjanjian. Dengan demikian konsesi merupakan
perizinan yang diikat dalam kontraktual/perjanjian.
Istilah dan terminologi konsesi dalam pengusahaan pelabuhan telah
diperkenalkan dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Namun demikian istilah dan terminologi tersebut tidak diberikan pengertian.
Pengertian konsesi secara yuridis baru dirumuskan dalam Pasal 1 angka 30
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan yang
merupakan salah satu peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut konsesi diartikan atau
didefinisikan “suatu pemberian hak oleh penyelenggara pelabuhan kepada Badan
Usaha Pelabuhan untuk melakukan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa
kepelabuhanan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan kompensasi tertentu”.
Berdasarkan pengertian dan difinisi tersebut maka terdapat 6 (enam) unsur atau
komponen dalam konsesi yaitu :

a. terdapat penyerahan/pemberian hak;


b. penyelenggara pelabuhan sebagai yang menyerahkan/memberi hak;
c. badan usaha pelabuhan selaku penerima hak;
d. hak tersebut berupa kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa
kepelabuhanan tertentu;
e. jangka waktu tertentu; dan
f. terdapat kompensasi tertentu yang diberikan oleh Badan Usaha Pelabuhan
kepada penyelenggara pelabuhan.

5
Pengertian atau difinisi tersebut terdapat beberapa kelemahan, dalam
mengimplementasikan konsesi karena menimbulkan permasalahan sebagai berikut :

a. Konsesi merupakan penyerahan hak yang seharusnya diberikan oleh Otoritas


Pelabuhan, bukan oleh penyelenggara pelabuhan yang didalamnya termasuk
Unit Penyelenggara Pelabuhan. Konsesi diberikan terhadap pelabuhan yang
diusahakan secara komersial, sehingga konsesi diberikan oleh Otoritas
Pelabuhan kepada Badan Usaha Pelabuhan (BUMN, BUMD dan swasta) dalam
mengelola terminal. Terhadap pelabuhan yang belum diusahakan secara
komersial, Unit Penyelenggara Pelabuhan bertindak selaku regulator dan
sekaligus menjalankan sendiri fungsi pemberian pelayanan jasa termasuk
terminal.
b. Hak yang diserahkan bukan hak untuk memberikan pelayanan jasa tertentu
tetapi untuk membangun, mengoperasikan dan mengusahakan terminal.
Pembangunan, pengoperasian dan pengusahaan terminal tersebut dikonsesikan
karena menggunakan tanah/lahan dan perairan yang dikuasai oleh negara dan
merupakan cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sesuai
dengan Undang-undang Dasar 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan yang
terkandung didalamnya serta cabang produksi yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Hak penguasaan inilah yang diberikan/dikonsesikan kepada
Badan Usaha Pelabuhan, sehingga dinamakan konsesi. Untuk itulah terhadap
hak pembukaan hutan dinamakan juga konsesi karena merupakan kekayaan
alam (tanah dan hutan) yang dikuasai negara. Demikian pula terhadap
pembangunan dan pengusahaan jalan tol juga menggunakan terminologi
konsesi. Di bidang pertambangan dahulu juga dikenal dengan nama konsesi
yang kemudian berubah menjadi kuasa pertambangan.

c. Konsesi berarti adanya penyerahkan hak penyelenggaraan pelabuhan dengan


Negara mengusai lahan dan perairan sehingga dalam kebijakan yang ditempuh
berdasarkan Undang-undang 17 Tahun 2008 sudah menetapkan bahwa
pengelolaan pelabuhan yang diusahakan secara komersial di Indonesia
menganut sistem Iandlord dalam pengelolaan/penyelenggaraan pelabuhan.

2. Fungsi dan Tujuan Konsesi.

Secara umum fungsi konsesi dari sudut pandang Pemerintah hampir sama
dengan fungsi izin yaitu sebagai penertiban, dan pengaturan. Sebagai upaya
penertiban agar kegiatan yang dilakukan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum masyarakat. Sebagai upaya pengaturan agar kegiatan yang dilakukan
dapat dikendalikan/dikontrol sesuai dengan kegiatan yang sudah diizinkan.

6
Karena konsesi diikat dengan kontrak/perjanjian maka bagi Pemerintah konsesi
itu akan digunakan sebagai sarana untuk bertindak hati-hati karena Pemerintah
sebagai subjek hukum dalam kontrak tersebut. Pemerintah harus betul-betul
sadar akan kewajiban-kewajibannya yang sudah dicantumkan dalam
kontrak/perjanjian konsesi. Pemerintah akan mendapatkan nilai tambah baik
berupa kontribusi atau pendapatan bentuk lainnya sebagai imbalan atau
pendapatan atas pemberian/penyerahan hak tertentu.
Dari sudut pandang konsesioner akan menjadi alat dan kepastian hukum
dalam melakukan aktivitasnya. Konsesi akan mendudukan hak dan kewajiban
yang relatif seimbang antara pemberi konsesi dan penerima konsesi.
Secara makro ekonomi fungsi konsesi dapat mencegah praktek korupsi, suap
menyuap, dan pengaruh politik kekuasaan dan dapat lebih mengoptimalkan
objek yang dikonsesikan untuk lebih meningkatkan nilai tambahnya. Konsesi
dalam pengusahaan pelabuhan akan menjadi penggerak dan pendorong dalam
efisiensi pengelolaan terminal dan persaingan yang sehat antar terminal untuk
mewujudkan efisiensi pelabuhan di Indonesia. Dengan demikian konsesi akan
dapat menjadi sarana bagi operator pelabuhan dan regulator untuk saling bahu
membahu dalam mewujudkan pelabuhan Indonesia yang handal. Tujuan konsesi
dalam pengusahaan pelabuhan adalah :

a. terbentuknya tarif yang kompetitif;


b. meningkatkan pendapatan bagi negara dan pengelola terminal;
c. bekerja sesuai dengan kinerja yang disepakati (pelayanan terhadap kapal dan
barang/petikemas kinerjanya baik);
d. kelancaran arus lalu lintas kapal dan barang;
e. menekan biaya ekonomi tinggi di pelabuhan;
f. ditaatinya/dipenuhinya peraturan;
g. adanya kepastian hukum dan hak masing-masing;
h. persaingan yang sehat antar terminal;
i. terdapat distribusi kewenangan yang baik; dan
j. transparansi berusaha karena konsesi dilakukan melalui pelelangan.

3. Wewenang pemberian konsesi.

Sebagaimana disebutkan terdahulu bahwa konsesi merupakan perizinan


yang diikat dalam kontrak/perjanjian. Konsesi merupakan perbuatan hukum kedua
belah pihak antara pemberi konsesi dan penerima konsesi atau dapat diistilahkan
bersegi dua. Pemberi konsesi merupakan kewenangan negara atau Pemerintah
yang berfungsi ganda yaitu sebagai badan hukum umum pada saat melakukan
kontrak dan sebagai organ Pemerintah pada saat memberikan persetujuan-
pesetujuan dan persyaratan-persyaratan (izin). Kewenangan yang dilakukan oleh

7
Pemerintah tersebut dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum, pengendalian,
pengawasan, pengaturan dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah selaku
pemberi konsesi telah menyerahkan atau memberikan hak-hak publiknya kepada
setiap orang, termasuk hak penguasaan terhadap tanah, air dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya.

Dalam pengusahaan pelabuhan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17


Tahun 2008 tentang Pelayaran, kewenangan pemberian konsesi diberikan kepada
Otoritas Pelabuhan sebagai wakil Pemerintah.
Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada Otoritas Pelabuhan
disertai pula pemberian wewenang :

a. mengatur dan mengawasi penggunaan lahan daratan dan perairan;


b. mengawasi penggunaan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan
pelabuhan;
c. mengatur lalu lintas kapal keluar masuk pelabuhan melalui pemanduan kapal;
dan
d. menetapkan standar kinerja operasional pelayanan kepelabuhanan.

Dengan kewenangan tersebut maka Otoritas Pelabuhan dapat menjalankan


tugas dan tanggung jawab secara optimal. Untuk menjalankan kewenangan, tugas
dan tanggung jawab dalam memberikan konsesi kepada Badan Usaha Pelabuhan,
Otoritas Pelabuhan juga diberikan hak pengelolaan atas tanah, dan pemanfaatan
perairan. Dalam menjalankan wewenang pemberian konsesi dan kewenangan
dalam mengatur pengusahaan pelabuhan, Otoritas Pelabuhan wajib melakukan
koordinasi dengan Pemerintah Daerah sebagai otoritas pemerintahan di daerahnya.
Dalam Undang-undang nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, aparat
Otoritas Pelabuhan juga diwajibkan memiliki kualifikasi dan kompetensi di bidang
kepelabuhanan. Salah satu kewajiban kompetensi yang harus dimiliki adalah
pengetahuan kontraktual/perjanjian. Kompetensi ini sejalan dengan sifat dari konsesi
yang penuangannya secara teoritis diwadahkan dalam kontrak/perjanjian. Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009, konsesi yang diberikan oleh Otoritas
Pelabuhan juga wajib dituangkan dalam bentuk kontrak/perjanjian.

4. Objek Konsesi.

Berdasarkan definisi dan pengertian yang telah yang diuraikan terdahulu,


maka objek konsesi adalah, hak penguasaan oleh negara/Pemerintah yang
diberikan oleh undang-udang baik berupa tanah, air dan kekayaan yang terkandung
didalamnya dan cabang-cabang produksi yang penting yang diserahkan
8
pengelolaan, pengusahaan dan penggunaannya kepada swasta. Terkait dengan hak
penguasaan oleh negara tersebut, objek konsesi dapat dilakukan pada bidang :

a. penambangan;
b. pembukaan hutan;
c. penyelenggaraan jalan tol;dan
d. pengusahaan pelabuhan dalam bentuk pengelolaan terminal.

Mengingat objek yang dikonsesikan tersebut merupakan kekayaan dan


cabang produksi yang sangat penting dan strategi dalam memberikan kontribusi
bagi kesejahteraan rakyat, maka pelaksanaan konsesi harus dilakukan dengan
cermat dan hati-hati. Sekali konsesi sudah diberikan kepada pihak lain tidak mudah
ditarik kembali, karena semuanya sudah diatur hak dan kewajiban pemberi konsesi
dan penerima konsesi. Pemerintah selaku badan hukum kedudukannya sama
didepan hukum dengan penerima konsesi. Lain halnya jika berbentuk izin yang
mempunyai sifat satu segi yaitu Pemerintah bisa mencabut perizinan jika ada
pelanggaran atau persyaratan yang tidak dipenuhi. Pemerintah sebagai pemegang
kewenangan publik dapat bertindak secara sepihak mengenakan sanksi kepada
masyarakat atau warganya yang lalai atau melanggar ketentuan dan ketertiban
umum dalam rangka mengendalikan dan mengawasi prilaku warganya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 ditetapkan atau diatur
bahwa kesempatan Badan Usaha Pelabuhan (BUMN, BUMD dan swasta) dibuka
seluas-luasnya dalam mengusahakan pelabuhan dalam bentuk pengelolaan
terminal. Sesuai dengan definisi atau pengertian dalam Undang-undang Nomor 17
Tahun 2008, terminal adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas kolam sandar dan
tempat kapal bersandar, atau tambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan
naik turun penumpang, dan/atau tempat bongkar muat barang.
Dengan demikian objek yang dikonsesikan adalah pembangunan dan atau
pengusahaan/pengelolaan terminal yang infrastrukturnya disiapkan atau dikuasai
oleh Pemerintah khususnya tanah dan perairan.

5. Implementasi Konsesi dalam Pengusahaan Pelabuhan.

Pengertian atau definisi konsesi baru disebutkan dalam Peraturan Pemerintah


Nomor 61 Tahun 2009 yang disempurnakan dengan Peraturan Pemerentah Nomo
64 Tahun 2015 yang objeknya adalah kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan
jasa kepelabuhanan tertentu. Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan
adalah hak siapa saja (seseorang) untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 yang ditetapkan dan
diundangkan pada tanggal 20 Oktober 2009 yang lebih dijabarkan ke dalam

9
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 15 Tahun 2015 telah diatur ketentuan
konsesi sebagai berikut :
a. konsesi dituangkan dalam bentuk kontrak/perjanjian;
b. pemberian konsesi dilakukan melalui mekanisme pelelangan;
c. jangka waktu konsesi disesuaikan dengan pengembalian dana investasi dan
keuntungan yang wajar;
d. kontrak/perjanjian konsesi tersebut paling sedikit memuat:
1). para pihak yang melakukan perjanjian;
2). lingkup pengusahaan;
3). mulai berlaku dan masa konsesi pengusahaan;
4). besarnya pendapatan/kontribusi konsesi;
5). tarif awal dan formula penyesuaian tarif;
6). hak dan kewajiban para pihak, termasuk resiko yang dipikul para pihak
dimana alokasi resiko harus didasarkan pada prinsip pengalokasian resiko
secara efisien dan seimbang;
7). standar kinerja pelayanan serta prosedur penanganan keluhan masyarakat;
8). mekanisme pengawasan kinerja pelayanan;
9). sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi perjanjian pengusahaan;
10) pengalihan saham sebelum proyek/kegiatan beroperasi secara komersial;
11) penyelesaian sengketa;
12) pernyataan dan jaminan para pihak bahwa perjanjian sah dan mengikat
13). pemutusan atau pengakhiran perjanjian pengusahaan;
14). sistem hukum yang berlaku terhadap perjanjian pengusahaan adalah hukum
Indonesia;
15). Penyerahan fasilitas pelabuhan kepada Otoritas Pelabuhan setelah akhir
konsesi;
16). keadaan kahar; dan
17). perubahan-perubahan.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa materi
subtansial yang harus ada dalam kontrak konsesi adalah adanya kontribusi, tarif
awal dan formula penyesuaian tariff, standar kinerja pelayanan, dan jangka waktu
konsesi.
e. apabila konsesi telah berakhir, fasiltas pelabuhan hasil konsesi beralih atau
diserahkan kembali kepada Otoritas Pelabuhan. Lahan hasil konsesi beralih atau
diserahkan kepada Otoritas Pelabuhan. Lahan hasil konsesi tersebut diserahkan
kepada Otoritas Pelabuhan dilakukan sesuai dengan perjanjian yang
diperhitungkan dengan jangka waktu pemberian konsesi. Otoritas Pelabuhan
dapat pengelolaannya atau dapat diberikan kepada Badan Usaha Pelabuhan;
f. fasilitas yang sudah beralih kepada Otoritas Pelabuhan pengelolaannya
diberikan kepada Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan kerja sama
pemanfaatan melalui mekanisme pelelangan atau melalui
10
penugasan/penunjukan. Pemberian konsesi yang dilakukan melalui
penugasan/penunjukan dilakukan apabila lahan dimiliki oleh Badan Usaha
Pelabuhan dan/atau investasi sepenuhnya dilakukan oleh Badan Usaha
Pelabuhan dan tidak menggunakan pendanaan bersumber dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara /Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Lahan hasil
konsesi beralih atau diserahkan kepada penyelenggara pelabuhan sesuai
dengan perjanjian yang diperhitungkan dengan jangka waktu pemberian konsesi.
g. kerja sama pemanfaatan diberikan dalam jangka waktu paling lama 30
(tigapuluh) tahun;
h. pendapatan konsesi dan kompensasi yang diterima oleh Otoritas Pelabuhan
merupakan penerima negara bukan pajak (PNBP); dan
i. ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian dan
pencabutan konsesi diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan.

Ketentuan konsesi tersebut baru dapat diimplementasikan pada tahun 2015


pada pelabuhan eksisting yang diusahakan oleh oleh (PT. Persero) Pelabuhan
Indonesia I, II, III, dan IV. Pada saat itu dilakukan perjanjian/kontrak konsesi antara
Kepala Otoritas Pelabuhan Belawan/Medan, Tanjung Priok/Jakarta, Tanjung Perak/
Surabaya dan Makassar dengan Direktur Utama PT (Persero) Pelindo I, II, III, dan
IV, dengan mengenakan kontribusi kepada Pelindo sebesar 2,5% dari pendapatan
kotor yang merupakan pendapatan konsesi bagi Otoritas Pelabuhan yang
merupakan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Untuk dapat mengoptimalkan
implementasi konsesi yang diatur dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2008 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 diperlukan hal-hal sebagai berikut:

a. Merevisi beberapa ketentuan yang menyangkut konsesi yang diatur dalam


Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2010 dengan menegaskan yang
dikonsesikan adalah pembangunan dan pengusahaan terminal, sehingga lebih
mudah merinci hak dan kewajiban para pihak termasuk perhitungan
kontribusinya. Termasuk juga jenis-jenis pelayanan jasa yang harus dilakukan
oleh Badan Usaha Pelabuhan dan yang harus dilakukan oleh Otoritas
Pelabuhan. Revisi juga perlu dipertimbangkan terhadap Lembaga yang memberi
konsesi adalah Otoritas Pelabuhan bukan termasuk Unit Penyelenggara
Pelabuhan. Setelah habisnya masa konsesi, kemudian akan dikerjasamakan
kembali dengan pihak lain atau diperpanjang dinamakan kerja sama
pemanfaatan menurut pendapat penulis seharusnya bentuknya masih tetap
konsesi karena pengusahaan pelabuhan tetap merupakan cabang produksi yang
menguasai hidup orang banyak, dan kemungkinan terdapat perubahan terhadap
pelabuhan tersebut antara lain fungsi dan kapasitas (termasuk pengembangan)
pelabuhan.

11
b. Mempercepat penyelesaian Peraturan Menteri Perhubungan mengenai formula
perhitungan kontribusi/pendapatan konsesi, sebab yang diatur dalam Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2015 tentang Konsesi dan Bentuk Kerja
Sama Lainnya Antara Pemerintah Dengan Badan Usaha Pelabuhan di Bidang
Kepelabuhanan yang diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 166 Tahun 2015, baru mengenai mekanisme/tata cara pemberian,
pemutusan dan pengakhiran konsesi.
c. Peningkatan aparat Otoritas Pelabuhan agar dapat memenuhi kompetensi yang
ditetapkan dalam Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009.
Perilaku sebagai birokrat harus diubah menjadi birokrat yang entrepreneur yang
mampu melakukan negosiasi dengan baik agar konsesi dapat dilaksanakan.

Untuk mengimplementasikan konsesi tersebut sebagaimana diuraikan di atas telah


diterbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2015 yang diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 166 Tahun 2015. Dalam
tulisan ini Penulis tidak menyampaikan secara keseluruhan dari materi Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2015 dan perubahannya, namun hanya
materi yang terkait dengan konsesi khususnya menyangkut formula konsesi, tata
cara pemberian konsesi, dan pemutusan atau pengakhiran konsesi sebagaimana
diperintahkan oleh Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009, sebagai berikut:

a. Formula konsesi ditetapkan berdasarkan hubungan proyeksi trafik pelabuhan,


skema tariff pelabuhan, besaran investasi, jangka waktu konsesi, dan besaran
kontribusi/konsesi. Sementara formula tersebut belum dapat diterapkan dalam
bentuk besaran kontribusi/konsesi, maka berdasarkan Peraturan Menteri
Perhubungan tersebut ditetapkan besarnya kontribusi/konsesi sebesar 2,5% dari
pendapatan bruto/kotor BUP yang diberlakuan perjanjian/kontrak konsesinya
antara Otoritas Pelabuhan Belawan/Medan, Tanjung Priok/Jakarta, Tanjung
Perak/Surabaya, dan Makasaar dengan masing-masing Pelabuhan Indonesia
(Pelindo) I, II. III, dan IV. Formula sebagaimana di atas seharusnya ditetapkan
sebagai standar yang harus diacu untuk menghitung jangka waktu dan besaran
kontribusi, untuk diimplementasikan pada konsesi-konsesi berikutnya dan
mengevaluasi kembali penetapan 2,5% yang saat ini berjalan.

b. Tata cara pemberian konsesi melalui pelelangan dilakukan sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan dan tata cara pemberian konsesi
melalui penugasan/penunjukan sebagai berikut:

1) BUP mengajukan permohonan kepada Otoritas Pelabuhan untuk diteruskan


kepada Menteri Perhubungan melalui Direktur Jenderal Perhubungan Laut
dilengkapi dengan kajian hukum dan kelembagaan, kajian teknis, kajian

12
kelayakan proyek, kajian lingkungan dan sosial, kajian bentuk kerja sama
dalam penyediaan infrastruktur, dan kajian kebutuhan pemerintah dan/atau
jaminan pemerintah.

2) Direktur Jenderal melakukan penilaian dan menyampaikan hasil penilaian


terhadap pemenuhan pra studi kelayakan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap, dan apabila
permohonan belum lengkap Direktur Jenderal mengembalikan permohonan
tersebut secara tetulis kepada pemohon.

3) Berdasarkan hasil penelitian apabila persyaratan dipenuhi, Direktur Jenderal


menyampaikan hasil evaluasi kepada pemohon untuk melanjutkan ke tahap
studi kelayakan.

4) Selanjutnya pemohon menyampaikan studi kelayakan kepada Menteri


melalui Direktur Jenderal dan Direktur Jenderal melakukan penilaian dan
menyampaikan hasil penilaian studi kelayakan tersebut dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan.

5) Apabila hasil penelitian studi kelayakan tidak terpenuhi, Direktur Jenderal


mengembalikan permohonan studi kelayakan kepada pemohon secara
tertulis, dan apabila terpenuhi, Direktur Jenderal menyampaikan hasil
evaluasi kepada pemohon untuk melanjutkan sesuai tahapan
pembangunan/pengembangan pelabuhan .

c. Tata cara pengajuan dan persetujuan perjanjian/kontrak konsesi dilakukan


sebagai berikut:

1) Otoritas Pelabuhan bersama Badan Usaha Pelabuhan menyusun dan


membahas draf/konsep perjanjian/kontrak konsesi yang isinya paling sedikit
berisi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 seperti
uraian terdahulu dengan melibatkan unit kerja Kementerian Perhubungan
(unsur Sekretariat jenderal dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut) dan
dapat mengikutsertakan tenaga ahli sesuai kebuthan..

2) Konsep perjanjian/kontrak konsesi yang telah dibahas dan disepakati


bersama antara BUP dan Otoritas Pelabuhan diajukan ke Menteri
Perhubungan melalui Direktur Jenderal untuk mendapatkan persetujuan.

3) Direktur Jenderal menilai dan menyampaikan hasil penilaian kepada Menteri


Perhubungan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak
permohonan secara lengkap diterima.

13
d. Pemutusan dan pengakhiran perjanjian/kontrak konsesi dilakukan sebagai
berikut:

1) Pemutusan/pengakhiran dilakukan apabila BUP tidak melaksanaakan


kewajibannya sesuai dengan perjanjian/kontrak konsesi berdasarkan
evaluasi Otoritas Pelabuhan dan apabila BUP tidak memenuhi standar
kinerja yang ditentukan dalam perjanjian konsesi.

2) Pemutusan/pengakhiran dilakukan setelah Otoritas Pelabuhan memberikan


peringatan secara tertulis 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1
(satu) bulan.

3) Dalam hal perjanjian/kontrak konsesi akan berakhir, Otoritas Pelabuhan


memberitahukan secara tertulis dalam jangka waktu 6 (enam bulan) sebelum
perjanjian/kontrak berakhir.

4) Dengan berakhirnya perjanjian/kontrak konsesi fasilitas pelabuhan yang


dikonsesikan diserahkan kepada Otoritas Pelabuan yang dituangkan dalam
dokumen serah terima.

4) Menteri Perhubungan memberi arahan dan/atau persetujuan terhadap


konsep perjanjian/kontrak konsesi dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari
kerja sejak diterima hasil penilaian dari Direktur Jenderal.

5) Konsep/draf perjanjian/kontrak konsesi harus menggunakan bahasa


Indonesia dan apabila diperlukan dapat menggunakan bahasa asing, dan
apabila terdapat perbedaan penafsiran dalam penggunaan bahasa tersebut,
yang berlaku adalah bahasa Indonesia.

6. Bentuk Lainnya di Luar Konsesi.

Dalam Pasal 82 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 di samping


diatur mengenai konsesi juga diatur bentuk lainnya, yang dimaksud “bentuk
lainnya” antara lain persewaan lahan, pergudangan, dan penumpukan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 bentuk lainnya, diterjemahkan
menjadi kerjasama. Kerjasama yang dilakukan bukan antara Otoritas Pelabuhan
dengan Badan Usaha Pelabuhan, tetapi antara penyelenggara pelabuhan (termasuk
Unit Penyelenggara Pelabuhan) dengan orang perseorangan warga negara
Indonesia dan/atau badan usaha. Dengan demikian penulis berpendapat, jika
konsesi dilakukan dalam bentuk pengusahaan terminal, maka bentuk lainnya adalah
kegiatan yang sifatnya parsial yang bisa diberikan oleh Otoritas Pelabuhan kepada
Badan Usaha Pelabuhan atau badan usaha lain untuk melakukan kerjasama antara

14
lain persewaan atau pemanfaatan perairan, persewaan (lahan, gudang, dan
lapangan penumpukan), pengelolaan reception facilities dan lain sebagainya.
Kerja sama bentuk lainnya di luar konsesi tersebut dterjemahkan dan diatur
berbeda dengan maksud dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 melalui
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2015.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan tersebut bentuk lain selain konsesi
adalah pengelolaan fasilitas pelabuhan yang telah dibangun dan/atau dioperasikan
(eksisting) terhadap pengelolaan fasilitas yang dibangun/dikembangkan oleh
Pemerintah dan belum ditetapkan sebagai Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada
BUMN kepelabuhanan dan fasilitas pelabuhan yang dibangun/dikembangkan
dengan menggunakan dana campuran APBN, APBD, dan BUP. Penulis
berpendapat terhadap pelabuhan eksisting yang akan dikembangkan baik melalui
PMN atau dana campuran namanya tetap konsesi, karena konsesi seharusnya
sudah dilakukan dan terjadi juga pada pelabuhan eksisting, sehingga
pengembangannya dengan dana apapun akan menjadi bagian dari investasi yang
diperhitungkan.

Soal-soal:
1. Mengapa beberapa pakar berbeda pendapat dalam memberikan pengertian
tentang konsesi?
2. Apa perbedaan prinsip pengertian konsesi antara pendapat Garin Nugroho
dengan Prof. H.D Wijk dilihat dari aspek kepentingannya?
3. Siapakah yang membedakan antara izin dengan konsesi dilihat dari sifat
tindakan hukumnya?
4. Sebutkan perbedaan prinsip antara konsesi dengan perizinan?
5. Untuk menjadi landasan hukum yang kuat, wadah hukum apa yang diperlukan
terhadap materi konsesi?
6. Sebutkan pengertian konsesi yang telah dirumuskan dalam Pasal 1 Angka 30
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan?
7. Sebutkan kelemahan definisi konsesi yang diatur dalam Pasal 1 Angka 30
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009?
8. Sebutkan fungsi konsesi penyelenggaraan/pengusahaan pelabuhan?
9. Mengapa Pemerintah/Otoritas Pelabuhan harus hati-hati dalam memberikan
konsesi?
10. Sebutkan tujuan konsesi penyelenggaraan/pengusahaan pelabuhan?
11. Sebagai konsekwensi Otoritas Pelabuhan diberikan kewenangan membuat
konsesi penyelenggaraan/pengusahaan pelabuhan, maka Otoritas Pelabuhan
juga diberikan kewenangan lain dalam menjalankan/mendukung plaksanaan
konsesi, sebutkan wewenang apa saja yang diberikan berdasarkan Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2008?

15
12. Sebutkan objek konsesi apa saja yang diberikan oleh Negara, selain dalam
penyelenggaraan/pengusahaan pelabuhan berdasarkan peraturan perundang-
undangan?
13. Sebutkan materi yang sangat substansial yang harus masuk dalam kontrak
konsesi?
14. Setelah selesai/habis masa perjanjian/kontrak konsesi, bagaimana status lahan
konsesi?
15. Berapa besarnya kontribusi/pendapatan konsesi yang diberikan oleh masing-
masing PT (persero) Pelindo sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP)
yang disetor ke kas negara?
16. Bagaimana formula kontribusi/pendapatan yang harus diberikan oleh PT
(pesero)?
17. Bagaimana tata cara pemberian konsesi melalui pelelangan yang diataur dalam
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2015?
18. Bagaimana tata cara pengajuan dan penetapan perjanjian/kontrak konsesi?
19. Bagaimana pemutusan dan pengakhiran perjanjian/kontrak konsesi?
20. Sebutkan bentuk lainnya di luar konsesi berdasarkan Undang-undang Nomor 17
Thun 2008?
21. Bagaimana pendapat saudara mengenai pelabuhan eksisting yang
dikembangkan melalui penyertaan modal Negara (PMN) atau dana campuran
(apakah namanya konsesi atau pengelolaan fasilitas), sebutkan alasannya?

BAB III

KONSESI PENGUSAHAAN PELABUHAN DALAM KONTRAK


16
1. Pengertian, Fungsi, dan Biaya Kontrak.

Sesuai dengan Undang undang Nomor 17 Tahun 2008 bahwa konsesi


pengusahaan pelabuhan harus dituangkan dalam kontrak. Dengan demikian aparat
Otoritas Pelabuhan harus memahami hal ihwal mengenai kontrak/perjanjian. Kontrak
merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris yaitu contract. Kontrak adalah sebagai
aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.
Dalam ensiklopedia Indonesia yang melihat dari aspek ruang lingkup
pengaturannya, menyamakan pengertian kontrak/perjanjian dengan persetujuan,
padahal antara keduanya berbeda. Kontrak/perjanjian merupakan salah satu sumber
perikatan, sedangkan persetujuan merupakan salah satu syarat sahnya kontrak
seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pengertian kontrak/perjanjian
dalam Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.
Pengertian kontrak/perjanjian adalah kaidah hukum yang mengatur hubungan
hukum antara pihak berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Dari pengertian/definisi tersebut maka terdapat unsur-unsur kontrak/perjanjian
sebagai berikut :
a. adanya kaidah hukum;
b. adanya subjek hukum (rechtsperson) sebagai pendukung hak dan kewajiban;
c. adanya prestasi dalam wujud memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak
berbuat sesuatu;
d. adanya kata sepakat (konsensus) yang merupakan persesuaian pernyataan
kehendak antar pihak; dan
e. mempunyai akibat hukum.

Kontrak/perjanjian mempunyai fungsi yuridis dan ekonomis. Fungsi yuridis kontrak


adalah dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Sedangkan fungsi
ekonomis adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan
yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi. Melihat fungsi penting dalam
kontrak, maka dalam setiap membuat kontrak/perjanjian diperlukan biaya antara
lain:
a. biaya penelitian yang dapat meliputi biaya penentuan hak milik yang diinginkan
dan biaya penentuan bernegosiasi;
b. biaya negosiasi (biaya penyiapan, penulisan kontrak, biaya tawar menawar
yang lebih rinci);
c. biaya monitoring yaitu biaya penyelidikan tentang objek;
d. biaya pelaksanaan (rapat-rapat, persidangan, arbitrase); dan
e. biaya kekeliruan hukum.

17
2. Jenis Kontrak/Perjanjian.

Para pakar dibidang kontrak/perjanjian belum menyepakati pembagian jenis


kontrak/perjanjian. Para pakar ada yang membagi jenis kontrak berdasarkan
sumber hukumnya, ada yang didasarkan pada namanya, bentuknya, aspek
kewajibannya, sifatnya, alas hak yang membebani maupun aspek larangannya.

a. Menurut sumber hukumnya.


Pembagian kontrak/perjanjian ini didasarkan atas asal hukum yang
mengaturnya yang dapat dibagi 5 (lima) jenis yaitu :
1). bersumber dari hukum keluarga (perkawinan);
2). bersumber dari kebendaan (peralihan, hak milik);
3). bersumber dari obligator (menimbulkan kewajiban);
4). bersumber dari hukum acara; dan
5). bersumber dari hukum publik.

b. Menurut namanya.
Pembagian jenis ini terdiri atas 3 (tiga) macam kontrak yaitu :
1). nominaat (bernama) yaitu kontrak yang sudah dikenal dalam KUH Perdata
antara lain jual beli, tukar menukar, sewa, persekutuan perdata, hibah,
penitipan barang, pinjam pakai, pemberian kuasa, penanggungan utang
perdamaian;
2). innominaat (tidak bernama) yaitu kontrak yang timbul, tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal dalam KUH
Perdata, yaitu leasing, beli sewa, franchise, joint venture, kontrak karya,
keagenan, production sharing; dan
3). campuran yaitu kontrak gabungan antara yang sudah diatur dalam KUH
Perdata dan kontrak yang tak diatur dalam KUH Perdata, misalnya kontrak
sewa penyewa kamar hotel dan penyediaan fasilitas keperluan penyewa
kamar hotel.

c. Menurut bentuknya.
Dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu tertulis dan tidak tertulis.
Tertulis dibagi dalam bentuk akta di bawah tangan (dibuat dan ditandatangani
para pihak) dan akta notaris (otentik).

d. Menurut timbal balik/kewajibannya.


18
Jenis ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak.

e. Menurut alas hak yang membebani.


Jenis ini dilihat karena adanya keuntungan yang hanya diperoleh satu pihak.

f. Menurut sifatnya.
Perjanjian ini dibagi atas perjanjian kebendaan dan obligator. Perjanjian menurut
sifatnya juga dapat dibagi menjadi perjanjian pokok dan perjanjian accesoir.
Perjanjian pokok merupakan perjanjian utama misalnya pinjam meminjam uang,
sedangkan accesoir merupakan perjanjian tambahan, misalnya pembebanan hak
tanggungan atau fidusia.

g. Menurut larangannya.
Pembagian jenis kontrak/perjanjian ini karena adanya aspek tidak
diperkenankannya para pihak yang membuat perjanjian bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Bertentangan dengan
Undang-undang misalnya perjanjian oligopoli (penggunaan produksi dan
pemasaran, penetapan harga dan lain sebagainya). Bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum misalnya bila terdapat perjanjian/kontrak
pengiriman tenaga kerja wanita untuk keperluan tidak benar dan
perjanjian/kontrak membuat kegiatan yang dapat menimbulkan kerusuhan.

3. Asas Kontrak/Perjanjian.

Dalam hukum kontrak/perjanjian dikenal 5 (lima) asas penting dalam


berkontrak yaitu :
a. Asas kebebasan berkontrak/berjanji.
Para pihak bebas untuk :
1). membuat atau tidak membuat kontrak/perjanjian;
2). mengadakan kontrak/perjanjian dengan siapapun;
3). menentukan isi kontrak/perjanjian;
4). menentukan bentuk kontrak/perjanjian (tertulis) atau tidak .
Asas ini tercermin dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa “semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuat”.
b. Azas konsensualisme.
Secara tersurat asas ini dicantumkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata
yang disebutkan bahwa salah satu sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan
para pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian kehendak dan pernyataan
para pihak.

19
c. Asas pacta sunt servanda.
Disebut juga sebagai asas kepastian hukum, asas tersebut tercermin dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang disebutkan bahwa “perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang para pihak“. Hakim atau pihak
ketiga harus menghormati substansi kontrak para pihak.

d. Asas itikad baik (goede trouw).


Para pihak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan
atau keyakinan atau kemauan baik para pihak. Asas ini dapat disimpulkan dalam
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi“ perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik”.

e. Asas kepribadian (personalitas).


Seseorang yang akan melakukan kontrak/perjanjian hanya berlaku untuk
kepentingan perseorangan saja. (Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH perdata).
Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian
selain untuk dirinya. Perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya.
Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu Pasal 1317 KUH
Perdata bahwa perjanjian dapat untuk kepentingan pihak ketiga dengan syarat
tertentu.

4. Syarat Sahnya Kontrak/Perjanjian.

Syarat sahnya kontrak/perjanjian berdasarkan hukum kontrak Indonesia (KUH


Perdata) ada 4 (empat) yaitu :

a. Adanya kesepakatan para pihak.


Kesepakatan merupakan syarat yang pertama dan utama sahnya
kontrak/perjanjian. Kesepakatan merupakan persesuaian pernyataan kehendak
para pihak. Yang disesuaikan adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak
dapat dilihat atau diketahui orang lain. Pernyataan yang disesuaikan dapat
diwujudkan dengan :
1). bahasa yang baik dan benar dalam bentuk tertulis;
2). bahasa yang baik dan benar dalam bentuk lisan;
3). bahasa yang tidak baik dan benar, namun dapat dapat dimengerti oleh para
pihak; dan
4). bahasa isyarat asal dapat diterima para pihak.

Seyogyanya dalam kontrak/perjanjiaan digunakan dengan bahasa yang baik dan


benar dalam bentuk tertulis, agar memberikan kenyamanan dan kepastian

20
hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti jika terjadi sengketa dikemudian
hari.

b. Adanya kecakapan bertindak (kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum


yang dapat menimbulkan akibat hukum).
Kecakapan bertindak berarti seseorang harus mempunyai hak dan wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum (orang dewasa/usia 21 tahun atau lebih atau
sudah kawin). Anak di bawah umur dan dibawah pengampuan tidak berwenang
melakukan perbuatan hukum.

c. Adanya objek kontrak/perjanjian.


Objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah merupakan
kewajiban salah satu pihak dan merupakan hak pihak lain yang dapat terdiri dari
perbuatan positif dan negatif dan dapat terdiri atau memberi sesuatu, berbuat
sesuatu, dan/atau tidak berbuat sesuatu.

d. Adanya kausa yang halal


Kausa yang halal apabila kontrak/perjanjian yang dibuat sesuai atau tidak
bertentangan dan tidak melanggar dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum.

Syarat sahnya kontrak/perjanjian, terhadap syarat huruf a dan huruf b dapat


dikatagorikan sebagai syarat subjektif, karena menyangkut kepentingan para pihak
yang mengadakan/kontrak. Syarat huruf c dan huruf d merupakan syarat objektif
karena bukan menyangkut kepentingan para pihak tapi menyangkut objek
kontrak/perjanjian. Apabila syarat huruf a dan huruf b dilanggar/tidak dipenuhi maka
perjanjian dapat dibatalkan, yaitu para pihak dapat mengajukan kepada pengadilan
untuk membatalkan kontrak/perjanjian yang sudah dibuat namun apabila para pihak
tidak keberatan dan tidak mengajukan ke pengadilan maka kontrak/perjanjian tetap
dianggap sah. Apabila para pihak tidak memenuhi syarat huruf c dan huruf d maka
perjanjian batal demi hukum. Jadi kontrak/perjanjian sejak awal dianggap tidak ada.

Sebagai perbandingan dalam hukum kontrak/perjanjian di Amerika Serikat juga


ditentukan syarat sahnya kontrak/perjanjian. Syarat sahnya kontrak/perjanjian
berdasarkan hukum Amerika Serikat juga ada 4 (empat) yaitu :
a. Adanya penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance).
Setiap kontrak/perjanjian dimulai dengan adanya penawaran dan penerimaan.
Penawaran merupakan suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu secara khusus pada masa yang akan datang. Penawaran ditujukan
kepada setiap orang. Setiap orang yang melakukan penawaran harus layak dan
memahami syarat yang harus dipenuhi antara lain adanya konsiderasi/prestasi,
21
tidak bertentangan dengan undang-undang, sesuai doktrin hukum, berdasarkan
kebajikan.
b. Persesuaian kehendak (mething of minds).
Persesuaian kehendak harus dilakukan secara jujur. Apabila kontrak/perjanjian
dilakukan adanya penipuan, kesalahan, paksaan, dan penyalahgunaan
keadaan, maka kontrak/perjanjian menjadi tidak sah (dapat dibatalkan).
c. Adanya konsiderasi (consideration).
Ada ahli yang mengatakan konsiderasi adalah motif atau alasan untuk membuat
kontrak dan ada yang mengartikan adanya prestasi secara timbal balik.
d. Adanya kemampuan hukum para pihak dan pokok persoalan yang sah
(competent paries and legal subject matter).

Kemampuan hukum adalah legalitas seseorang untuk melakukan


kontrak/perjanjian. Orang yang dapat membuat kontrak/perjanjian harus cukup
umur yang masing-masing negara bagian berbeda. Ada negara bagian yang
mensyaratkan 21 tahun untuk semua jenis kelamin, ada negara bagian yang
mensyaratkan umur 21 tahun untuk lelaki dan umur 18 tahun untuk perempuan.
Orang yang tidak mempunyai kompeten untuk membuat kontrak/perjanjian
adalah orang di bawah umur dan orang gila. Pokok persoalan yang sah adalah
apabila kontrak/perjanjian dilaksanakan tidak bertentangan dengan kepentingan
umum.

5. Bentuk Kontrak.

Bentuk kontrak/perjanjian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu tertulis


dan lisan (tidak tertulis/cukup kesepakatan para pihak). Dalam kontrak/perjanjian
tertulis terdapat 3 (tiga) bentuk yaitu :

a. Kontrak/perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani para pihak.


Kontrak/perjanjian tersebut hanya mengikat para pihak dan tidak mempunyai
kekuatan mengikat pihak lain. Jika pihak lain menyangkal kontrak/perjanjian
tersebut, maka para pihak berkewajiban mengajukan bukti untuk
membuktikan bahwa keberatan pihak lain tidak berdasar/tidak dapat dibenarkan.
b. Kontrak/perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para
pihak.
Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-mata hanya untuk
melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak. Kesaksian notaris tersebut tidak
mempengaruhi kekuatan hukum isi perjanjian.
b. Kontrak/perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta
notariel.

22
c. Akta notariel adalah akta yang dibuat dihadapan dan dimuka pejabat yang
berwewenang untuk itu (notaris, camat, PPAT, dan lain-lain). Kontrak/perjanjian
ini merupakan alat bukti yang sempurna.

Ada 3 (tiga) fungsi akta notariel (akta autentik) yaitu :

a. sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan


kontrak/perjanjian tertentu;
b. sebagai bukti bagi para pihak bahwa yang tertulis dalam kontrak/perjanjian
adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak; dan
c. sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu, kecuali jika
ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan isi perjanjian
adalah sesuai dengan kehendak para pihak.
Akta notariel merupakan bukti prima facie mengenai fakta yang ditulis dalam
kontrak/perjanjian.

6. Sewa Menyewa.

Sewa menyewa adalah persetujuan para pihak yaitu pihak yang satu
mengikatkan diri untuk memberi kenikmatan suatu barang kepada pihak lain selama
waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak yang
terakhir (Pasal 1548 KUH Perdata). Sementara ada pakar yang
mengartikan/mendefinisikan sewa menyewa adalah persetujuan untuk pemakaian
sementara suatu benda baik bergerak maupun tidak bergerak, dengan pembayaran
harga tertentu. Sewa menyewa pada dasarnya harus dilakukan untuk waktu tertentu.
Sewa menyewa tanpa batas waktu tertentu, tidak dibolehkan. Persewaan tidak
berakhir dengan meninggalnya orang yang menyewakan atau penyewanya. Begitu
pula jika barang dipindahtangankan tidak menghapus sewa menyewa yang telah
dilakukan. Di sini berlaku asas bahwa jual beli tidak memutuskan sewa menyewa.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud


sewa menyewa memenuhi unsur sebagai berikut :

a. adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa;


b. adanya konsensus antara pihak;
c. adanya objek sewa menyewa (barang/benda baik bergerak maupun tidak
bergerak);
d. adanya kewajiban pihak yang menyewakan untuk menyerahkan kenikmatan
kepada penyewa atas suatu barang /benda;
e. adanya kewajiban pihak penyewa untuk menyerahkan uang pembayaran
kepada yang menyewakan;

23
Dengan demikian sewa menyewa merupakan salah satu jenis dari
kontrak/perjanjian nominaat. Apabila dilingkungan masyarakat ada yang menyebut
kontrak rumah, pada dasarnya maksudnya adalah sewa menyewa rumah yang
dituangkan dalam kontrak/perjanjian. Sewa menyewa juga sering kali dan sudah
terjadi pada kontrak/perjanjian sewa tanah dan atau perairan untuk kegiatan
kepelabuhan seperti pergudangan/penumpukan, sewa tanah dan lain sebagainya, di
luar konsesi yang merupakan hal yang baru.

7. Ketentuan Prinsip Dalam Kontrak/Perjanjian.

Dalam kontrak/perjanjian terdapat ketentuan umum dan penting yang perlu dipahami
agar para pihak menyadari akibat hukum dari suatu kontrak/perjanjian. Beberapa
ketentuan umum dan penting serta istilah yang perlu diketahui adalah :
a. somasi;
b. cidera janji (wanprestasi);
c. ganti rugi;
d. keadaan memaksa (overmacht); dan
e. resiko.

Somasi atau dapat diartikan pernyataan lalai. Somasi adalah teguran dari
pemberi hutang/si berpiutang (kreditur) kepada si berhutang (debitur) agar
memenuhi prestasinya sesuai dengan isi kontrak/perjanjian yang telah disepakati.
Somasi timbul karena debitur tidak memenuhi prestasi sesuai dengan yang
diperjanjikan. Ada 3 (tiga) sebab terjadinya somasi yaitu :

a. debitur melaksanakan prestasi yang keliru;


b. debitur tidak melaksanakan/memenuhi prestasi pada hari yang telah
ditentukan;atau
c. prestasi yang dilaksanakan oleh debitur sudah tidak lagi bermanfaat bagi kreditur
setelah lewat waktu yang diperjanjikan.
Somasi ini merupakan instrumen hukum untuk mendorong debitur memenuhi
prestasinya. Dalam KUH Perdata somasi diatur dalam Pasal 1238 dan Pasal 1243.

Cidera janji (wanprestasi) adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan


kewajiban yang disepakati oleh para pihak. Wanprestasi ini mempunyai hubungan
yang erat dengan somasi. Seorang debitur dikatakan wanprestasi apabila telah
melalui proses diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi minimal telah
dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali. Apabila somasi tidak diindahkan maka kreditur
dapat membawa persoalan ke pengadilan untuk diputuskan bahwa debitur
melakukan wanprestasi dan dapat dilakukan tindakan penyitaan. Akibat adanya
wanprestasi dapat terjadi 4 (empat) kondisi yaitu :

24
a perikatan tetap ada;
b, debitur membayar ganti rugi kepada kreditur;
c. beban resiko beralih menjadi kerugian debitur; dan
d. jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri
dari kewajibannya memberikan kontra prestasi.

Apabila debitur wanprestasi maka dapat dilakukan tindakan berupa:

a. kreditur dapat meminta pemenuhan prestasinya saja dari debitur;


b. kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur;
c. kreditur dapat menuntut dan meminta ganti rugi (hanya untuk kerugian karena
kelambatan);
d. kreditur dapat menuntut/meminta pembatalan kontrak/perjanjian; dan
e. kreditur dapat menuntut/meminta pembatalan kontrak/perjanjian disertai ganti
rugi kepada debitur, berupa pembayaran uang denda.

Wanprestasi sesuai dengan hukum kontrak Amerika Serikat dapat dilakukan


tindakan berupa kontrak tidak dapat dilaksanakan/batal (total breachts) atau
kontrak/perjanjian masih mungkin dilaksanakan (partial breachts). Sanksi utama
terhadap breacht of contract adalah pembayaran ganti rugi yang terdiri atas biaya
dan demages serta tuntutan pembatalan kontrak/perjanjian.

Ganti rugi dapat terjadi karena wanprestasi atau akibat perbuatan melawan
hukum. Ganti rugi akibat wanprestasi diatur dalam KUH Perdata Pasal 124 s.d.
Pasal 1252. Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang
dibebankan kepada salah satu pihak yang tidak memenuhi isi perjanjian. Sedangkan
ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Ganti rugi karena melawan hukum dikarenakan adanya kesalahan, bukan karena
adanya perjanjian.

Keadaan kemaksa (overmacht) diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245
KUH Perdata. Debitur tidak harus dikenakan sanksi mengganti biaya, kerugian atau
bunga apabila dapat membukti bahwa wanprestasi tersebut disebabkan oleh
sesuatu yang tidak terduga yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ketentuan
tersebut memberi kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan penggantian
biaya, ganti rugi, dan bunga kepada kreditur, dikarenakan adanya keadaan yang
berada di luar kekuasannya.

Ada 3 (tiga) hal yang menyebabkan debitur tidak membayar akibat wanprestasinya
yaitu :
a. adanya suatu hal yang tak terduga sebelumnya;

25
b. terjadi secara kebetulan; dan/atau
c. keadaan memaksa.

Resiko dapat terjadi pada kontrak/perjanjian sepihak atau timbal balik. Dalam
kontrak/perjanjian yang menanggung resiko tergantung dari jenis kontraknya. Pada
kontrak/perjanjian jual beli, resiko atas musnahnya barang menjadi tanggung jawab
pembeli. Sedangkan dalam kontrak/perjanjian tukar menukar resiko musnahnya
barang menjadi gugur, apabila musnahnya barang diluar kesalahan pemilik.

8. Pembentukan dan Anatomi Kontrak/Perjanjian.

Dalam mengadakan/membuat kontrak/perjanjian para pihak harus


memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :

a. kewenangan hukum para pihak (kemampuan);


b. memahami perpajakan (para pihak harus mampu memperingan pajak akibat
transaksi bisnis) dan disarankan berkonsultasi dengan konsultan pajak;
c. alas hak yang sah atas objek kontrak/perjanjian;
d. memahami masalah pertanahan/keagrarian;
e. dapat memberikan pilihan hukum yang menguntungkan;
f. harus dapat memberikan solusi dalam penyelesaian sengketa;
g. memahami masa berakhirnya kontrak/perjanjian dan cara pengakhirannya; dan
h. memahami bentuk standar kontrak/perjanjian, karena standar kontrak merupakan
kontrak/perjanjian yang sudah dipilih oleh salah satu pihak, biasanya yang
mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi sudah menyiapkan formulir standar
kontrak.

Standar kontrak/perjanjian yang hidup dan berkembang dalam masyarakat


jumlahnya sangat banyak, karena masing-masing perusahaan atau lembaga selalu
memiliki standar baku dalam membuat kontrak/perjanjian. Menurut Mariam Darus
Badrulzaman membagi jenis kontrak/perjanjian baku menjadi 4 (empat) jenis yaitu :
a. perjanjian baku sepihak yaitu kontrak/perjanjian yang isi dan bentuknya
ditentukan/disiapkan oleh salah satu pihak yakni pihak yang mempunyai posisi
tawar yang lebih tinggi;
b. perjanjian baku timbal balik yaitu kontrak/perjanjian yang isi dan bentuknya
dibuat dan disepakati para pihak;
c. perjanjian baku yang ditetapkan oleh Pemerintah yaitu kontrak/perjanjian yang
isi dan bentuknya ditentukan standardisasinya oleh masing-masing kementerian,
lembaga pemerintah non kementerian atau instansi pemerintah lainnya, misalnya
kontrak/perjanjian projek dan masalah pertanahan; dan

26
d. perjanjian baku yang diberlakukan di lingkungan notariat atau advokat yaitu
kontrak/perjanjian yang disusun dan dibuat oleh Notaris atau Advokat sesuai
dengan kaidah-kaidah yang sudah baku dilaksanakan.

Dalam pembentukan/penyusunan kontrak/perjanjian harus semaksimal


mungkin mengikuti tahap-tahap penyusunannya agar hasilnya lebih teliti dan benar.
Langkah/tahap tersebut sebagai berikut :

a. membuat draf awal yang meliputi judul kontrak/perjanjian, pembukaan (berisi


tanggal pembuatan kontrak), pihak-pihak dalam kontrak/perjanjian, penjelasan
resmi/latar belakang terjadinya kontrak/perjanjian (racital), isi kontrak/perjanjian
(hak dan kewajiban), penutup (tata cara pengesahannya);
b. saling menukar draf kontrak/perjanjian;
c. revisi;
d. penyelesaian akhir; dan
e. penandatangan.

Secara garis besar anatomi kontrak/perjanjian dapat digolongkan menjadi 3


(tiga) bagian besar yang meliputi pendahuluan, isi, dan penutup.

a. Pendahuluan yang terdiri atas :


1). pembuka (sebutan atau nama kontrak/perjanjian dan penyingkatannya,
tanggal dibuat dan ditandatangi, dan tempat dibuat dan ditandatangani);
2). identitas para pihak (kapasitasnya sebagai apa disebut dengan jelas, dan
pendefinisian pihak yang terlibat); dan
3). penjelasan (mengapa para pihak melakukan kontrak/perjanjian yang sering
disebutkan bagian premis) .

b. Isi yang terdiri atas :


1). definisi;
2). klasula transaksinya;
3). klasula spesifiknya; dan
4). klasula ketentuan umum ( domisili hukum, penyelesaian sengketa, pilihan
hukum, pemberitahuan, keseluruhan dari kontrak/perjanjian).

c. Penutup yang terdiri atas :


1). kata penutup menerangkan bahwa kontrak/perjanjian tersebut dibuat dan
ditandatangani para pihak yang memiliki kapasitas untuk itu (para pihak akan
terikat dalam kontrak/perjanjian);

27
2). penempatan tandatangan.

9. Kontrak/Perjanjian Konsesi Dalam Pengusahaan Pelabuhan.

Kontrak/perjanjian konsesi merupakan ketentuan dan istilah baru dalam


pengusahaan pelabuhan,yang baru diwadahi landasan hukumnya berdasarkan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun
2009 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2015. Kontrak konsesi
baru dapat dilakukan dan berjalan setelah dikeluarkannya peraturan menteri
perhubungan tersebu. Kontrak/perjanjian konsesi pengusahaan pelabuhan ini
merupakan jenis kontrak/perjanjian innominaat, karena timbul adanya kebijakan baru
dalam penyelenggaraan pelabuhan yang tidak lagi bersifat monopoli oleh PT.
(Persero) Pelabuhan Indonesia, tapi diberi kesempatan kepada Badan Usaha
Pelabuhan untuk mengusahakan terminal dengan bentuk konsesi yang diberikan
oleh Otoritas Pelabuhan.

Sebagai kontrak/perjanjian innominaat maka kontrak/perjanjian konsesi


memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dalam memperjanjikan prestasinya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 isi kontrak/perjanjian hanya
dibatasi subtansi minimalnya saja yaitu ada 11 (sebelas) butir. Substansi atau isi
kontrak/perjanjian tergantung dari kebutuhan dan kondisi infrastruktur yang
disiapkan masing-masing pelabuhan. Bentuknya tergantung juga dengan jenis kerja
samanya yaitu apakah tanah dan beberapa fasilitas infrastuktur dibangun oleh
Badan Usaha Pelabuhan atau tidak, atau apakah semua tanah perairan dan
infrastruktur dasar sesuai dengan undang-undang dan peraturan pemerintah
tersebut diwajibkan kepada Otoritas Pelabuhan yang variasi polanya sangat banyak
yang dapat menentukan waktu kontrak, kontribusi, kewajiban pemeliharaannya,
serta hak dan kewajiban lainnya.

10. Latihan penerapan anatomi kontrak dengan subtasi kontrak rumah dengan
subsbtansi sebagai berikut:
a. Ahmat mengontrakkan rumahnya kepada Ali selama 3 tahun di Jalan
Sudirman Nomor 3 Surabaya. Ahmat sebagai PNS beralamat di Jalan Hayam
Wuruk Selatan Nomor 43 Surabaya, dan Ali penduduk Desa Grojokan Pare
Jawa Timur sedang bekerja di Perusahaan Pertambangan Jalan Raya Darmo
Nomor 3 Surabaya. Luasa tanah 200 meter, luas bangunan 100 meter
dengan 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, 1 ruang tamu dan 1 ruang dapur.
Rumah yang dikontrakkan selama 3 (tiga) tahun seharga Rp. 40.000.000,-
yang harus dibayar pada saat penandatanganan kontrak di Surabaya dengan
pembayaran melalui tunai.

28
b. Fasilitas rumah yang digunakan dan tanggung jawab Ali adalah tilpun, air
PAM, dan listrik.
c. Apabila Ali ingin memperpanjang kontraknya dapat dilakukan apabila
dilakukan minimal untuk 2 tahun ke depan dan permintaan perpanjangan
harus disampaikan dalam waktu 1 bulan sebelum masa kontrak berakhir.
d. Ali harus bertanggung jawab atas kebersihan dan perawatan rumah dan
kemungkinan apabila terjadi kebakaran karena kelalaiannya.
11. Contoh suatu addendum.

ADDENDUM KONTRAK JUAL BELI MOBIL

Pada hari ini (hari, tanggal, tahun) telah terjadi kontrak jual beli kendaraan antara
:

1. Nama :
Pekerjaan :
Alamat :
Dalam hal ini bertindak dalam jabatannya selaku direktur untuk dan atas
nama perseroan terbatas PT .......... berkedudukan di .......... dan beralamat di
Jalan .........., selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.

2. Nama :
Usia :
Alamat :
Bertindak atas nama sendiri yang selanjutnya disebut PIHAK KEDUA

Para pihak menerangkan terlebih dahulu sebegai berikut :

Bahwa PIHAK PERTAMA sebagai pihak yang hendak menjual kendaraan


kepada PIHAK KEDUA sebagaimana PIHAK KEDUA telah bersedia membeli
kendaraan yang berupa:

1. Jenis kendaraan :
2. Merek/Tipe :
3. Nomor Polis :
4. Nomor Rangka/Tahun :
5. Nomor mesin :
6. Warna :
7. Nomor BPKB :

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas Para Pihak telah sepakat untu
mengadakan penambahan dan perubahan atas Kontrak Jual Beli Mobil dengan

29
mengubah bagian tertentu dari Kontrak Jual Beli Mobil yaitu sebagai berikut:

1. Mengubah/menambah pada bagian premis akta Kontrak Jual Beli Mobil,


sedemikian rupa sehingga tertulis dan harus dibaca sebagai
berikut ..................
2. Mengubah/menambah Ketentuan Pasal .......... kontrak Jual Beli Mobil,
sehingga tertulis dan harus dibaca sebagai berikut..........

Pasal 1

3. Segala sesuatu yang tersebut dalam Kontrak Jual Beli Mobil yang tidak
diubah dengan kontrak ini, dinyatakan berlaku dan mengikat Para Pihak.
4. Mengenai Kontrak ini segala akibatnya serta pelaksanaannya memilih tempat
tinggal hukum yang tetap dan umum di kantor Panitera Pengadilan Negeri
di ........

Demikian Kontrak ini dibuat dan ditandatangani pada hari ini......... tanggal...........
bulan.......... tahun..........

PIHAK PERTAMA PIHAK KEDUA

30
31
32
33
34
35
36
37
38
Soal-soal:
1. Sebutkan fungsi yuridis dan ekonomi dari suatu perjanjian/kontrak?
2. Sebutkan jenis perjanjian/kontra berdasarkan namanya?
3. Sebutkan nama perjanjian/kontrak innominaat (tidak bernamana)?
4. Sebutkan asas perjanjian/kontrak?
5. Sebutkan asas kebebasan dalam melakukan perjanjian/kontrak?
6. Sebutkan syarat sahnya suatu perjanjian/kontrak?
7. Mengapa syarat adanya objek perjanjian/kontrak dan adanya kausa halal dikatagorikan
sebagai syarat objektif?
8. Sebutkan syarat subjektif terhadap syarat sahnya suatu perjanjian/kontrrak.
9. Sebutkan syarat perjanjian/kontrak bisa batal demi hukum?
10. Sebutkan perbedaan yang sangat penting syarat sahnya perjanjian/kontrak antara hukum
Indonesia (HUHPer) dengan Hukum Amerika?
11. Sebutkan langkah yang harus dilakukan apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi
(wanprestasi)?

39
12. Meskipun tidak terdapat standar baku suatu perjanjian/kontrak, akan tetapi berdasarkan
kondisi perkembangan dalam masyarakat terdapat 4 (empat) jenis standar perjanjian konterak.
Sebutkan standar dimaksud?
13. Bagaimana anatomi suatu perjanjian/kontrak?

40
BAB IV

PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK/PERJANJIAN

Penyelesaian sengketa dalam kontrak/perjanjian dapat dilakukan melalui


pengadilan (letigasi) atau di luar pengadilan (alternatif penyelesaian sengketa/alternatif
dispute resolution yang disingkat dengan ADR), tergantung pilihan hukum para pihak.
Pilihan penyelesaian sengketa bisa dicantumkan dalam kontrak/perjanjian.

1. Penyelesaian melalui pengadilan (litigasi).

Penyelesaian litigasi dilakukan melalui proses pengajuan gugatan ke


pengadilan. Penyelesaian melalui litigasi terdapat keuntungan dan kekurangannya.
Keuntungan letigasi adalah :

a. dapat meminimalisir intervensi kekuasaan;


b. dapat menggali lebih dalam pokok persoalan para pihak dengan memberikan
kesempatan seluas-luasnya para pihak menyampaikan fakta-fakta hukum; dan
c. penerapan nilai-nilai masyarakat dalam menentukan putusan yang dilakukan
oleh hakim.

Dengan demikian penyelesaian litigasi tidak hanya menyelesaikan sengketa, tapi


dapat menunjukkan adanya mekanisme dalam penegakkan hukum dan ketertiban
umum.
Namun demikian litigasi juga banyak kekurangannya. Kekurangan ini tidak
hanya terjadi pada sistem dan praktek peradilan di Indonesia, namun juga peradilan
di negara-negara lain. Amerika serikat sendiri yang sistem dan praktek hukumnya
sudah cukup baik juga terdapat beberapa kendala sebagai berikut :

a. mendudukkan posisi ekstrim bagi para pihak sebagai penggugat dan tergugat;
b. menyita waktu dan biaya;
c. mempertajam sengketa (tidak memulihkan keadaan bagi para pihak); dan
d. tidak ada pilihan lain karena putusan hakim harus dilaksanakan.

Para pelaku bisnis internasional mengalami trauma bila berperkara dihadapan


pengadilan. Pelaku bisnis mengalami putusan pengadilan yang berlarut-larut
memakan atau menyita waktu yang relatif lama. Keadaan ini juga terjadi dalam
sistem dan praktek peradilan di Indonesia. Di Indonesia berdasarkan pendapat
Sudargo Gautama rata-rata penyelesaian sengketa perdata bisa menghabiskan
waktu 8 (delapan) sampai 9 (Sembilan) tahun sampai pada waktu tahap kekuatan

41
hukum yang tetap (dapat dijalankan melalui eksekusi). Lamanya berperkara ini
antara lain tahap penyelesaian sengketa dipengadilan sekurang-kurangnya ada 3
(tiga) atau 4 (empat) tahap yaitu pengadilan negeri, pengadilan tinggi (banding),
mahkamah agung (kasasi), dan peninjauan kembali.

2. Penyelesaian di luar pengadilan (alternatif penyelesaian sengketa/ alternatif dispute


resolution yang selanjutnya disingkat ADR).

ADR adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui


prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan
cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Pengertian ADR
tersebut sesuai dengan yang diatur dalam pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Mengenai
ADR ini terdapat 2 (dua) pendapat. Pertama berpendapat bahwa Arbitrase terpisah
dari ADR. Kedua berpendapat bahwa arbitrase merupakan ADR.
Undang-undang nomor 30 Tahun 1999 menggunakan pendekatan kombinasi
(combination of processes) yang memadukan pandangan tersebut. Undang-undang
tersebut mengakui adanya 2 (lembaga) yaitu Arbitrase dan ADR. Arbitrase berdiri
sendiri dan juga dapat merupakan bagian ADR. Untuk itu dalam undang-undang
tersebut di samping didefinisikan mengenai ADR juga didefinisikan mengenai
arbitrase. Sesuai dengan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
yang dimaksud arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Frank Alkoury dan Eduar Elkoury mengartikan arbitrase adalah suatu proses
yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela, yang ingin
agar perkaranya diputus oleh juru sita yang netral sesuai dengan pilihan mereka,
dimana putusan mereka didasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut.

Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 penyelesaian sengketa melalui


ADR dapat ditempuh dengan 5 ( lima) cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi
atau penilaian ahli. Dalam Undang undang tersebut tidak diatur secara rinci baik
pada normanya maupun pada penjelasan undang-undang tersebut. 5 (lima) cara
tersebut juga tidak dirinci mengenai cara, proses, prosedur dan penetapannya.
Beberapa literatur telah memberikan gambaran pengertian mengenai konsiliasi dan
mediasi karena sudah terjadi praktek di beberapa negara termasuk Indonesia.

Konsiliasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti suatu usaha untuk
mempertemukan keinginan para pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan
dan menyelesaikan perselisihan tersebut. Konsiliasi adalah menyerahkan

42
penyelesaian sengketa kepada sebuah komisi, dan keputusan komisi tersebut tidak
mengikat para pihak. Para pihak dapat menyetujui atau menolak keputusan tersebut.
Mediasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mengikutsertakan pihak
ketiga dalam proses penyelesaian sengketa. Pihak ketiga dalam hal ini bertindak
sebagai penasehat. Steven Rosenberg, Esg. mengartikan mediasi adalah metode
penyelesaian sengketa yang dilakukan secara suka rela, rahasia dan biasanya
kooperatif (tidak ada unsur paksaan). Sedangkan Joy Folberg mengartikan mediasi
sebagai proses nogosiasi yang dibantu secara netral dalam upaya mencapai
konsensus dan penyelesian sengketa.

Berdasarkan uraian tersebut , maka unsur mediasi terdiri atas :

a. adanya proses negoisasi ;


b. merupakan metode penyelesaian masalah;
c. dilaksanakan secara sukarela;
d. bersifat netral, rahasia, kooperatif dan tidak ada unsur paksaan; dan
e. mencapai kesepakatan/konsensus;

Dengan demikian tujuan mediasi adalah konsensus para pihak yang bersengketa
dan bukan untuk menghakimi salah atau benar, namun lebih memberi kesempatan
para pihak untuk :

a. menemukan jalan keluar;


b. menghilangkan kesalahpahaman ;
c. menentukan kepentingan yang utama;
d. mencarikan atau menemukan bidang-bidang yang dapat dikonsensuskan; dan
e. menyatukan bidang-bidang tersebut menjadi jalan keluar yang disusun dan
disepakati para pihak.

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa arbitrase bisa merupakan lembaga


yang berdiri sendiri dan bisa menjadi bagian dari ADR. Sebagai lembaga yang
berdiri sendiri dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 diatur mengenai
arbitrase secara lengkap dan rinci yang menyangkut syarat arbitrase, pengangkatan
arbitrase dan hak ingkar hukum acara pada mejelis arbitrase, pelaksanaan putusan
arbiter, berakhirnya tugas arbiter, dan biaya arbiter.

Berdasarkan definisi arbitrase yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor


30 Tahun 1999 dan pandangan para pakar maka arbitrase memiliki unsur:

a. merupakan lembaga sengketa perdata di luar pengadilan umum;

43
b. berdasarkan perjanjan arbitrase (klasula arbitrase yang ada dalam
kontrak/perjanjian maupun tidak ada dalam klasula kontrak/perjanjian namum
para pihak sepakat membawa ke arbitrase);
c. bentuk perjanjiannya tertulis;
d. disepakati para pihak;
e. prosesnya mudah dan sederhana; dan
f. para pihak sepakat putusannya adalah final dan mengikat.

Para pebisnis internasional dan pihak-pihak yang mengikatkan diri dalam


bentuk kontrak/perjanjian lebih menyukai memilih ADR, khususnya arbitrase
dibanding litigasi karena :

a. terdapat kebebasan, jaminan kepercayaan, dan keamanan;


b. ditangani oleh orang yang ahli (expertise);
c. cepat dan hemat biaya;
d. bersifat rahasia;
e. terdapat kepekaan dari arbiter; dan
f. putusan mudah dilaksanakan karena bersifat final dan tidak dapat dibanding
kecuali atas dasar hal-hal yang sangat khusus.

Lembaga arbitrase terdiri atas arbitrase ad hoc dan arbitrase intitusional.


Arbitrase adhoc adalah arbitrase yang dibentuk untuk kasus tertentu untuk satu kali
penunjukan. Arbitrase institusional adalah lembaga arbitrase yang bersifat
tetap/permanen. Arbitrase institusional berdasarkan undang-undang arbitrase
Indonesia, berdasarkan sifatnya dibagi atas arbitrase nasional dan arbitrase
internasional. Arbitrase nasional dibentuk untuk kepentingan bangsa Indonesia
sendiri yang para pihak atau salah satu pihaknya warga negara Indonesia. Lembaga
arbitrase nasional yang ditetapkan di Indonesia adalah Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia. Arbitrase internasional
sesuai dengan maksud dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah putusan
arbitrase yang telah dijatuhkan di luar wilayah hukum Indonesia. Berdasarkan
ketentuan undang-undang tersebut maka yang berwenang menangani pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Putusan arbitrase internasional hanya diakui dan dapat dilaksanakan di
wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat:
a. putusan arbirase internasional tersebut dilakukan oleh arbiter atau lembaga
arbitrase yang mempunyai ikatan perjanjian (bilateral atau multilateral) dengan
Indonesia;
b. yang diputuskan merupakan lingkup hukum perdagangan;
c. tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
d. dapat dilaksanakan di Indonesia, setelah memperoleh eksekuatur dari pusat; dan

44
e. apabila menyangkut negara Indonesia, putusan arbitrase hanya dapat
dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung yang
selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pada prinsipnya tidak semua sengketa dapat atau boleh diselesaikan melalui
lembaga arbitrase. Sengketa yang dapat diputus melalui arbitrase adalah:

a. sengketa bidang perdagangan;


b. mengenai hal yang menurut hukum dan peraturan peraturan perundang-
undangan sepenuhnya dikuasai oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Sengketa yang tidak dapat diputus oleh lembaga arbitrase adalah sengketa yang
tidak dapat diadakan perdamaian. Sengketa yang dapat diajukan pada lembaga
arbitrase adalah :

a. apabila dalam pejanjian sudah dicantumkan adanya penyelesaian sengketa


melalui arbitrase (pactum de compromittendo); atau
b. belum dicantumkan dalam kontrak/perjanjian, namun apabila terjadi sengketa,
para pihak sepakat menyelesaikannya melalui lembaga arbitrase yang dibuat
dalam akta notariel (akta kompromis).
Apabila dalam perjanjian sudah dicantumkan adanya penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, maka jika ada pihak yang mengajukan ke peradilan umum untuk
menyelesaikan sengketa dalam kontrak/perjanjian maka pengadilan tidak
berwenang mengadili masalah tersebut.

Mengingat kontrak/perjanjian konsesi pengusahaan pelabuhan merupakan


kontrak mengenai bisnis/perdagangan yang memerlukan penyelesaian sengketa
secara cepat dan hemat biaya dan putusannya bersifat final, maka apabila terjadi
sengketa dalam kontrak maka penulis berpendapat agar diselesaikan melalui
arbitrase. Sengketa konsesi pengusahaan pelabuhan harus diperlukan putusan yang
cepat agar tidak mengganggu proses kelancaran pelayanan arus lalu lintas kapal
dan barang yang pada akhirnya dapat mengganggu roda perekonomian. Untuk itu
sejak awal dalam kontrak/perjanjian konsesi pengusahaan pelabuhan harus sudah
diarahkan adanya klasula pactum de compromittendo, yaitu klasula yang dibuat
sebelum terjadinya perselisihan. Dalam klasula ini para pihak menyetujui apabila
terjadi sengketa/perselisihan akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Klasula
tersebut dibuat bersamaan atau menjadi satu dengan kontrak/perjanjian pokok.
Apabila terdapat sengketa/perselisihan maka berdasarkan Pasal 8 ayat (1)
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, pemohon harus memberitahukan dengan
surat tercatat, telex, facsimile, e-mail, atau buku ekspedisi kepada termohon bahwa
syarat arbitrase yang diadakan antara pemohon dengan termohon berlaku. Surat

45
pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase tersebut sesuai Pasal 8 ayat (2)
memuat dengan jelas mengenai :
a. nama dan alamat para pihak;
b. penunjukan atas klasula atau kontrak/perjanjian arbitrase yang berlaku;
c. kontrak/perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
d. dasar tuntutan atau jumlah yang dituntut, bila ada;
e. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
f. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila
tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu pemohon dapat mengajukan usul
tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.

Soal-soal:
1. Bagaimana cara penyelesaian sengketa yang terbaik bila terdapat
perselisihan/wanprestasi dalam kontrak konsesi?
2. Mengapa arbitrase merupakan langkah yang harus ditempuh dalam menyelesaikan
perselisihan/wanprestasi dalam perjanjian/kontrak yang mempunyai aspek ekonomi?
3. Sebutkan dasar hukuh penyelesaian yang didasarkan pada arbitrase?
4. Bagaimana tata cara dalam mengajukan arbitrase?
5. Bagaimana cara yang harus ditempuh dalam menyelesaikan sengketa dalam
perjanjian/kontrak?
6. Sebutkan unsur-unsur dari arbitrase?
7. Sebutkan keuntungan dan kekurangan/kendala penyelesaian sengketa yang
dilakukan melalui proses litigasi (di pengandilan)?
8. Sebutkan persyaratan suatu perselisihan sengketa yang diperbolehkan dilakukan
melalui arbitrase?
9. Apa perselisihan sengketa yang tidak boleh diputuskan oleh arbitrase?
10. Sebutkan jenis-jenis penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui alternative
dispute resolution (ADR)?

46
BAB V

PERTANAHAN DAN PERAIRAN DALAM KONSESI


PENGUSAHAAN PELABUHAN

1. Hak Atas Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok
Agraria (UUPA).

Tanah dan perairan merupakan unsur mutlak dan utama dalam


penyelenggaraan pelabuhan. Dalam Pasal 1 angka 16 Undang-undang 17 tahun
2008 tentang Pelayaran, definisi atau pengertian “pelabuhan adalah tempat yang
terdiri atas daratan dan/ atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat
kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai
tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang,
berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta
sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi“. Daratan dan/atau
perairan dengan batas-batas tertentu yang dimaksud adalah Daerah Lingkungan
Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan. Setiap
pelabuhan memiliki DLKr dan DLKp pelabuhan untuk kepentingan penyelenggaran
pelabuhan. Batas DLKr dan DLKp ditetapkan dengan batas koordinat geografis
untuk menjamin kegiatan kepelabuhanan.

DLKr pelabuhan terdiri atas :

a. wilayah daratan yang digunakan untuk kegiatan fasilitas pokok dan fasilitas
penunjang ; dan
b. wilayah perairan yang digunakan untuk kegiatan alur pelayaran, tempat labuh,
tempat alih muat antar kapal, kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan
olah gerak kapal, dan kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan.

DLKp pelabuhan merupakan perairan pelabuhan di luar DLKr perairan, yang


digunakan untuk alur pelayaran dari dan ke pelabuhan, keperluan keadaan darurat,
pengembangan pelabuhan jangka panjang, penempatan kapal mati, percobaan
berlayar, kegiatan pemanduan, fasilitas pembangunan, dan pemeliharaan kapal.

Daratan dan/atau perairan pelabuhan yang sudah diusahakan secara


komersial yang ditetapkan sebagai DLKr dan DLKp pelabuhan dikuasai negara dan
diatur oleh Otoritas Pelabuhan. Pada DLKr pelabuhan yang telah ditetapkan
tersebut, dapat diberikan hak pengelolaan atas tanah dan/atau pemanfaatan
perairan sesuai dengan peraturan perundangan.
47
Untuk itu diperlukan pemahaman dan pengetahuan mengenai pertanahan
dan penguasaan perairan baik menyangkut hukum pertanahan dan perairan, tata
guna tanah (land use), dan pengelolaannya bagi kepentingan kepelabuhanan. Untuk
memahami hukum pertanahan dan/atau penggunaan perairan perlu memahami
Undang-undang nomor 5 Tahun 1960 tentang pokok-pokok Agraria (UUPA) dan
peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Dalam UUPA dikenal
beberapa hak atas tanah sebagai berikut :

a. Hak Milik.
Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dimiliki
oleh orang dengan tanpa melupakan fungsi sosial dari tanah itu sendiri.
Turun temurun artinya bahwa pemegang Hak Milik dapat mewariskan,
menghibahkan, menghadiahkan kepada ahli waris/generasi penerus atau kepada
orang yang dikehendaki. Hak Milik atas tanah dapat diberikan kepada setiap
warga negara Indonesia atau badan hukum tertentu.
Terkuat artinya bahwa Hak Milik adalah paling kuat dibandingkan dengan hak-
hak lain seperti Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB),
karena Hak Milik, dimiliki dengan tanpa batas waktu.
Terpenuh artinya bahwa pemegang Hak Milik dapat berbuat apa saja terhadap
hak miliknya sepanjang tidak merugikan orang lain. Hak Milik dapat diperoleh
melalui 4 (empat) cara yaitu :

1). peralihan hak (jua beli, waris, hibah, hadiah dan lain sebagainya);
2). menurut hukum adat (hak ulayat);
3). penetapan Pemerintah (melalui permohonan oleh perorangan atau badan
hukum kepada Pemerintah); dan
4) berdasarkan Undang-undang (konversi hak atas tanah tertentu menjadi Hak
Milik);

b. Hak Guna Usaha (HGU).


HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara (tanah negara) dalam waktu tertentu paling lama 25 tahun sampai
dengan 35 tahun menurut jenis usahanya yang masih bisa diperpanjang lagi
selama 25 tahun.Tanah dimaksud diusahakan untuk pertanian, perikanan, dan
peternakan degan luas minimal 5 (lima) hektar.

c Hak Guna Bangunan (HGB).


HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah
bukan milik sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat
diperpanjang 20 tahun lagi.

48
d. Hak Pakai.
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah
yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain, dengan memberi
wewenang atau kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang atau dalam pejanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah.

e. Hak Sewa.
Hak Sewa adalah hak seseorang atau badan hukum untuk menggunakan tanah
milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar sejumlah uang
tertentu sebagai uang sewa kepada pemilik tanah yang bersangkutan.
Hak Sewa mempunyi sifat khusus yaitu :
1). adanya kewajiban penyewa untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada
pemiliknya;
2). bersifat sementara.

Terhadap tanah negara yang diberikan Hak Pakai atau Hak Sewa, diberikan
untuk jangka waktu 10 tahun. Jika tanahnya milik orang lain, jangka waktu
diberikan menurut kesepakatan antara penyewa dengan pemilik atau para pihak
yang bersangkutan. Hak Pakai atau Hak Sewa dapat diberikan kepada warga
negara Indonesia, warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia, badan
hukum Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

f. Hak Membuka tanah.


Hak membuka tanah adalah hak yang berhubungan dengan hak ulayat, yaitu hak
yang dimiliki warga negara atau anggota masyarakat hukum adat tertentu untuk
membuka tanah dalam wilayah hukum adat tersebut.

g. Hak Memungut Hasil Hutan.


Hak memungut hasil hutan adalah hak yang dimiliki oeh warga negara atau
anggota masyarakat hukum tertentu untuk memungut hasil hutan yang termasuk
wilayah masyarakat hukum tersebut. Orang yang akan memungut hasil hutan
harus mendapatkan izin dari kepala persekutuan hukum yang bersangkutan atau
kepala adat dan luas tanah tidak lebih dari 2 (dua) hektar. Terhadap tanah yang
dikuasai seluas 5 hektar harus izin Bupati setempat.
Selain mengatur hak atas tanah, UUPA juga mengatur dan mengenal hak
atas air dan ruang angkasa. Hak Guna Air adalah hak memperoleh air untuk
keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air di atas tanah orang lain. Hak Guna
Air tidak sama dengan pengertian penggunaan perairan, karena pengertian
penggunaan perairan adalah pemanfaatan wilayah tertentu di perairan untuk
kegiatan terminal atau kegiatan-kegiatan lain (ship to ship transfer).
49
2. Hak Pengelolaan Atas Tanah Dalam Pengusahaan Pelabuhan.

Hak atas tanah sesuai dengan UUPA yang terkait dengan kebutuhan
penyelenggaraan pelabuhan /terminal, pada umumnya adalah Hak Pengeloalaan
(HPL), HGB, Hak Pakai dan Hak Sewa.
HPL merupakan hak atas tanah yang tidak diatur dalam UUPA. HPL untuk
keperluan pelabuhan mulai dikenal dalam Keputusan Bersama Menteri
Perhubungan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 191 Tahun 1969 dan SK.
83/D/1969 tentang Penyediaan dan Penggunaan Tanah Untuk Keperluan Pelabuhan
( tanggal 27 Desember 1969 ). Keputusan Bersama tersebut telah memberikan
landasan hukum perlunya disediakan tanah untuk penyelenggaraan pelabuhan
umum kepada penyelenggara pelabuhan dengan memberikan hak penguasaan
tanah di dalam DLKr dan DLKp. DLKr dan DLKp ini harus dimiliki oleh setiap
pelabuhan yang penetapannya pada waktu itu ditetapkan pula dalam bentuk
keputusan bersama antara Menteri Perhubungan dengan Menteri Dalam Negeri.
Dalam pasal 4 Keputusan Bersama Menteri Perhubungan dan Menteri Dalam Negeri
tersebut dinyatakan “ tanah-tanah yang terletak di dalam DLKr pelabuhan dapat
diberikan HPL kepada Departemen Perhubungan “.
HPL tersebut harus didaftarkan kepada Kantor Pendaftaran tanah untuk
mendapatkan sertifikat HPL. Selanjutnya pemegang HPL diberikan wewenang
untuk :

a. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dengan


memperhatikan rencana tata guna tanah;
b. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugas instansi yang
mengurus pelabuhan yang bersangkutan; dan
c. memberikan tanah di atas HPL dengan Hak Pakai kepada pihak ketiga.

Pengaturan HPL selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri


Nomor 6 Tahun 1972, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977. Peraturan-peraturan tersebut
menyatakan kewenangan pemegang HPL sebagai berikut:

a. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;


b. menggunakan tanah tersebut untuk pelaksanaan usahanya; dan
c. menyerahkan bagian-bagian dari tanah HPL tersebut kepada pihak ketiga
menurut persyaratan yang ditentukan oleh pemegang hak, yang meliputi segi
peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangan, dengan ketentuan bahwa
pemberi hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh

50
pejabat yang berwenang, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Dalam peraturan-peraturan tersebut juga diatur beberapa hal mengenai HPL


sebagai berikut.

a. HPL dapat diberikan kepada departemen/kementerian dan jawatan Pemerintah,


dan badan hukum. Berdasarkan Undang-undang Rumah Susun diatur bahwa
yang dapat diberikan HPL adalah Badan Usaha Milik Negara yang seratus
persen modalnya milik negara.
b. HPL dapat diberikan untuk keperluan kegiatan kepelabuhanan, daerah industri,
perumahan, pariwisata, peternakan, perikanan, bandar udara, kereta api dan
lain-lain usaha yang berkaitan dengan itu.
c. Untuk mendapatkan/memperoleh HPL harus dimintakan permohonan HPL
kepada Badan Pertanahan, selanjutnya atas dasar penetapan tersebut dilakukan
pengukuran untuk didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat untuk
memperoleh “ sertifikat HPL”.
d. Pemohon hak, membayar uang pemasukan dan 50 % dana land reform, wajib
tahunan, dan administrasi yang merupakan pendapatan/penerimaan negara
bukan pajak (PNBP). Uang pemasukan ditetapkan dengan rumus luas tanah X
seperempat uang pemasukan untuk pemberian Hak Milik. ( luas tanah X 60/100
X harga dasar untuk daerah kabupaten /Kota).
e. HPL diberikan untuk jangka waktu selama tanah tersebut masih digunakan
(waktunya tidak terbatas).
f. Di atas HPL dapat diberikan kepada pihak ketiga Hak Milik, HGB, dan Hak Pakai.
Tanah HPL yang diberikan oleh pemegang HPL kepada pihak ketiga, tidak bisa
diberikan sendiri oleh pemegang HPL, namun harus diusulkan kepada instansi
/pejabat pertanahan yang berwenang. Bagi pihak ketiga juga diwajibkan
membayar uang pemasukan dan 50 % untuk dana landreform kepada pemegang
HPL.
g. Pemberian HPL oleh pemegang HPL kepada Pihak ketiga harus dibuat
perjanjian yang isinya :
1). identitas para pihak ;
2). letak, batas-batas dan luas tanah yang dimaksud;
3). jenis penggunaan;
4). macam/jenis hak yang akan diberikan kepada pihak ketiga, jangka waktu,
serta kemungkinan untuk memperpanjang hak tersebut;
5). jenis bangunan yang akan didirikan dan ketentuan status bangunan setelah
berakhirnya hak atas tanah yang diberikan; dan

51
6). jumlah uang dan syarat pembayaran serta persetujuan lain yang dianggap
perlu (kemungkinan HGB dan Hak Pakai dialihkan ke pihak lain, kemungkinan
untuk dianggunkan/jaminan kredit).

Untuk dapat memperoleh HPL, wajib ditempuh prosedur sebagai berikut :

a. permohonan/pengajuan HPL disertai dengan rencana peruntukan pematangan


tanah dengan berpedoman pada rencana induk pelabuhan /zoning;
b. permohonan diajukan ke kantor pertanahan kabupaten/kota dengan melampiri
formulir permohonan dengan kelengkapannya, uang muka pengukuran, dan
fatwa tata guna tanah;
c. panitia tanah bersidang/ memeriksa;
d. kantor pertanahan kabupaten/kota mengesahkan fatwa tata guna tanah dan
memeriksa permohonan ke Badan Pertanahan Nasional Propinsi;
e. meneruskan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), dengan melampiri segala
berkas dan fatwa tata guna tanah;
f. menerbitkan surat keputusan pemberian HPL oleh Kepala BPN;
g. membayar uang administrasi; dan
h. mengajukan permohonan sertifikat tanah ke kantor pertanahan kabupaten/kota.
i. sertifikat HPL diterbitkan.

Hampir seluruh tanah pelabuhan yang dikelola oeh PT (Persero) Pelabuhan


Indonesia I, II, III, dan IV sudah memperoleh sertifikat HPL sehingga asetnya sudah
dicatat sebagai aset PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia, termasuk aset-aset
infrastruktur yang lain yang sudah dijadikan sebagai penyertaan modal negara,
kecuali beberapa aset yang relatif baru.

Terhadap pelabuhan yang sudah diusahakan oleh PT (Persero) Pelindo, aset tanah
dan beberapa infrastruktur yang dibangun dan/atau sudah menjadi aset PT
(Persero) Pelabuhan Indonesia, menjadi nilai tambah tersendiri dalam membuat
kontrak konsesi. Aset-aset tersebut menjadi bagian yang sangat diperhitungkan
dalam menetapkan konsesi baik menyangkut jangka waktu, besarnya kontribusi,
dan bentuk/model-model kerjasama yang akan disepakati. Otoritas Pelabuhan
sebagai wakil pemerintah tidak bisa sepihak menetapkan konsesinya.

Pemahaman ketentuan pertanahan juga menjadi prioritas yang harus


diberikan kepada aparat Otoritas Pelabuhan, khususnya terhadap pelaksanaan
konsesi yang akan dilakukan pada pembangunan lokasi pelabuhan baru.
Pemahaman pertanahan sangat penting karena akan menentukan cepat, lancar,
dan efisiennya pelaksanaan pembangunan dan pengusahaan pelabuhan yang akan
dikonsesikan.
52
Soal-soal:
1. Sebutkan hak atas tanah berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA)?
2. Sebutkan hak atas tanah yang terkuat berdasarkan UUPA?
3. Hak atas tanah apa yang diperlukan dalam menyelenggarakan pelabuhan?
4. Siapakah yang dapat diberikan Hak Pengelolaan (HPL)?
5. Kapan batas/jangka waktu berlakunya HPL?
6. Sebutkan untuk kegiatan apa saja yang diperbolehkan terhadap tanah yang
diberikan HPL?
7. Sebutkan wewenang pemegang HPL?
8. Sebutkan hak atas tanah yang dapat diberikan di atas tanah HPL?
9. Sebutkan beberapa dasar hukum dari HPL?
10. Sebutkan manfaat HPL yang didapatkan bagi penyelenggara pelabuhan/

BAB VI

STRATEGI DAN TEKNIK BERNEGOSIASI


DALAM PEMBERIAN KONSESI/KONTRAK

53
Negoisasi berasal dari bahasa Inggris negotiation dan berdasarkan Kamus
Besar Bahasa Inggris-Indonesia berarti perundingan dan musyawarah. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia negosiasi adalah tawar-menawar melalui perundingan untuk
menerima atau memberi demi mencapai kesepakatan. Juga bisa berarti penyelesaian
sengketa yang ditempuh melalui damai. Bill Scott menyatakan negosiasi adalah suatu
bentuk pertemuan antara dua pihak untuk mencapai sasaran yang kebanyakan untuk
mencapai persetujuan. Selanjutnya disebutkan bahwa negosiasi merupakan
keterampilan seseorang sebagai usaha kreatif mencari hasil yang baik. Salim HS.
mengartikan negosiasi merupakan sarana bagi para pihak untuk mengadakan
komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan sebagai akibat
adanya perbedaan pandangan terhadap sesuatu hal dan dilatarbelakangi oleh
kesamaan/ketidaksamaan kepentingan diantara mereka.

Berdasarkan pandangan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pada


prinsipnya suatu negosiasi mempunyai unsur-unsur :

1. suatu proses kegiatan berkomunikasi/dialog untuk merundingkan satu atau


beberapa persoalan yang diangkat bersama (disepakati sebagai isu perundingan);
2. antara dua pihak atau lebih;
3. melalui media formal atau informal, namun hasil akhirnya harus dalam bentuk
kesepakatan formal;
4. mencapai kesepakatan bersama yang saling menguntungkan atau win-win solotion;
dan
5. dilakukan oleh pihak-pihak yang terampil.

Berdasarkan praktek-praktek negosiasi pada umumnya terdapat 3 (tiga) jenis


negosiasi yaitu :

1. Negosiasi Saling Mengalah (Position Bargainer).

Negosiasi dilakukan untuk lingkungan kekerabatan atau keluarga untuk


membina hubungan baik. Jenis negosiasi ini biasanya cepat menghasilkan
kesepakatan, namun mempunyai resiko yang besar terjadinya posisi menang-kalah
(win-lose). Negosiasi ini lebih menekankan perasaan untuk mengalah dalam
menghindari perpecahan keluarga atau kekerabatan, sehingga kemungkinan resiko
win-lose kemungkinan besar bisa terjadi.

2. Negosiasi Keras (Hard Position Bargainer).

Negosiasi yang sudah terbentuk diawali masing-masing sudah menetapkan


posisinya. Negosiasi ini mempunyai resiko besar menemui kebuntuan (deadlock)
54
karena masing-masing pihak memang sudah menyiapkan tujuan masing-masing
harus terpenuhi. Apalagi masing-masing pihak sejak awal sudah mendapatkan
tekanan dan ancaman dari kelompoknya masing-masing. Negosiasi ini juga bisa
terjadi antara kelompok keras dengan kelompok keras lainnya.

3. Negosiasi Perpaduan Untuk Menghasilkan Win-Win


Negosiasi ini merupakan kombinasi antara keras dan lunak (principled
negotiation/interest based negotiations). Negosiasi ini didasari atau dilandasi pada
prinsip keras dalam permasalahan tetapi lunak terhadap orang (hard on the merits,
soft on the people). Negosiasi jenis kombinasi ini menekankan pentingnya
pemisahan antara orang dan masalah, memfokuskan penyelesaian masalah, bukan
menyerang orang dan selalu menyampaikan alternatif-alternatif. Alternatif-alternatif
yang disampaikan akan mendapat respon positif jika dilandasi oleh kriteria objektif.
(scientific judgement, peraturan perundang-undangan, dan nilai pasar). Jenis
negosiasi ini dalam beberapa praktek yang terjadi sering berhasil dan efektif
digunakan berbagai negosiasi.
Dalam tulisan terdahulu telah diuraikan bahwa konsesi diberikan oleh Otoritas
Pelabuhan kepada Badan Usaha Pelabuhan dalam mengoperasikan/
mengusahakan terminal di pelabuhan yang dituangkan dalam kontrak yang
dilakukan melalui mekanisme pelelangan. Untuk dapat menghasilkan suatu
kesepakatan pemberian atau penyerahan konsesi dan kontrak yang optimal, win-win
dan efisien, dilakukan suatu negosiasi antara pemberi dan penerima konsesi.

Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam negosiasi, tidak cukup hanya dengan
keterampilan saja, namun harus dibutuhkan juga strategi dan teknik bernegosiasi
yang tepat. Untuk dapat membuat dan melaksanakan strategi dan teknik
bernegosiasi paling tidak terdapat 4 (empat) hal atau tahapan dalam negosiasi yaitu
persiapan bernegosiasi, iklim negosiasi, proses tawar menawar dan ekstensifikasi
negosiasi, serta keputusan srategik dan membentuk negosiator yang baik.

14. Persiapan Bernegosiasi.

Persiapan bernegosiasi merupakan tahap yang sangat penting menuju hasil


yang optimal. Persiapan yang matang akan memberikan hasil yang baik. Persiapan
yang matang akan menumbuhkan rasa percaya diri dalam pelaksanaan negosiasi.

Beberapa persiapan yang dilakukan sebagai berikut :

55
a. Mempelajari dengan baik materi negosiasi, dan karena yang dinegosiasikan
menyangkut konsesi dalam kontrak maka harus menguasai:
1). masalah hukum antara lain kontrak bisnis, penyelesaian
perselisihan/sengketa, keperdataan dan berbagai peraturan perundangan-
undangan;
2). masalah pertanahan, termasuk tata guna tanah;
3). rencana induk pelabuhan baik yang sudah ditetapkan dengan produk legalitas
maupun belum;
4). operasional pelabuhan/ kinerja pelayanan atau operasional pelabuhan;
5). ekonomi makro dan mikro untuk menghitung dampak ekonomi internal, dan
eksternal, termasuk untuk mewujudkan kompetisi yang sehat antar terminal;
6). perkembangan industri dan perdagangan di sekitar lokasi (hinterland); dan
7). menghitung tarif yang kompetitif.
b. Berupaya mencari data dalam memahami betul keinginan pihak lawan.
c. Mengidentifikasi poin-poin yang berpotensi menjadi masalah atau
dipermasalahkan.
d. Mengantisipasi alternatif penyelesaiannya.
e. Membentuk tim negosiasi yang mewakili keahlian masing-masing.
f. Mempersiapkan tempat dan waktu yang dapat menciptakan suasana yang serius
tapi santai.
g. Mempelajari budaya, kebiasaan, dan aturan dari pihak lawan.
h. Punya rasa optimis negosiasi dapat diselesaikan dengan target waktu.
i. Mempersiapkan target/sasaran sebanyak-banyaknya, meskipun sudah
dipersiapkan target/sasaran akhir yang dikehendaki.

2. Iklim Negosiasi

Dalam melakukan pembuka pelaksanaan negosiasi diupayakan dengan


menciptakan proses pembuka yang responsif dan iklim/suasana yang kondusif
dengan cara :
a. berbuat ramah/akrab;
b. ciptakan pembuka dengan tawaran positif kerja sama;
c. memberikan indikasi-indikasi bahwa proses negosiasi dapat dilaksanakan
dengan lancar;
d. selalu menjaga komunikasi dengan baik; dan
e. lakukan pendekatan-pendekatan bisnis.

3. Proses Tawar Menawar dan Ekstensifikasi Negosiasi.


Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan negosiasi yang sangat menuntut
segala kemampuan untuk menghasilkan kesepakatan-kesepakatan.

56
Dalam tahap ini dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut.
a. Sedapat mungkin memimpin negosiasi, apalagi jika prakarsa waktu dan tempat
kita yang menyiapkan.
b. Mencari tahu siapa yang dihadapi, baik secara individu maupun secara tim dan
mengukur kekuatan dengan menanyakan berbagai hal pada saat awal-awal
negosiasi.
c. Orientasi pembahasan selalu dikembalikan pada sasaran yang sudah disiapkan
dalam persiapan negosiasi.
d. Apabila masing-masing sudah saling menukar materi yang
dinegosiasikan/kontrak, maka hendaknya pembahasan dimulai dengan yang
masih ada perbedaan.
e. Point-point yang sangat penting harus ditawarkan dengan tawaran yang
maksimal (call) tinggi, meskipun sudah ada batasan yang sudah dapat
dinegosiasikan/disepakati.
f. Memulai negosiasi dengan butir-butir yang mudah untuk diselesaikan/disepakati
dan menunda (pending) hal-hal yang rumit untuk diselesaikan.
g. Memberikan argumentasi yang logis serta menganalogkan untuk menjelaskan
pandangan/posisi atau dengan melakukan upaya-upaya yang simpatik untuk
memengaruhi lawan negoisasi .
h. Penerapan emosi sesuai situasi dan kondisi yaitu saat kapan bersikap tegas dan
keras dan saat kapan bersikap lunak. Dalam negosiasi ini dapat menggunakan
prinsip “ kita harus keras tapi tidak kasar dan bersikap lunak tapi tidak lemah”.
Cairkan situasi jika sudah memuncak/tegang dengan menyampaikan juk-juk
segar atau keluar dari sidang atau hentikan sementara negosiasi dengan lobby.
i. Apabila terdapat butir yang sulit atau tidak bisa terselesaikan jangan terburu-buru
untuk diselesaikan sehingga terjebak dalam substansi tersebut.
j. Tidak menggambil keputusan yang buru-buru apabila dalam perkembangan
negosiasi terdapat materi yang terkait dengan bidang pihak lain, dan untuk itu
harus dikonsultasikan dengan pihak tersebut.
k. Melakukan tawaran-tawaran yang tidak perlu mempengaruhi pokok-pokok yang
dinegosiasikan, sebagai wujud perluasan/ekstensifikasi negosiasi agar dapat
memperoleh pokok negosiasi yang diinginkan. Ekstensifikasi negosiasi ini
dimungkinkan dan dapat menjadi kesepakatan sepanjang saling menguntungkan
para pihak. Dalam setiap negosiasi, kondisi semacam ini sejak awal harus
diantisipasi. Negosiasi yang dilakukan oleh tim, jika menghadapi adanya
ekstensifikasi seluruh anggota tim, harus sudah dipersiapkan oleh masing-
masing anggota tim.
l. Selalu berorientasi pada penyelesaian negosiasi (kesepakatan).
m. Saling memberi dan menerima, sebagai prisnsip untuk kelancaran negoisasi.

4. Keputusan Strategik dan Membentuk Negosiator yang Baik.


57
Keputusan strategiik dalam negosiasi bisa dilakukan pada saat sebelum
negosiasi, pada saat berlangsungnya negosiasi, dan setelah selesai negosiasi.
Membentuk negosiator yang baik dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman-
pemahaman sebelum negosiasi atau memberikan berbagai pengalaman atau
kesempatan sebanyak mungkin dalam proses negosiasi.
Keputusan strategik dalam negosiasi dilakukan dengan mempertimbangkan
beberapa latar belakang sebagai berikut :

a. Kemampuan Ulangan.
Kemampuan ulangan dilakukan jika negosiasi tidak hanya dilakukan satu kali,
tapi kemungkinan dilakukan untuk beberapa kali dengan suatu lingkup yang
sama tapi tempat berbeda. Misalnya pihak lawan terdapat kemungkinan bisa
bertemu ulang dengan negosiator (kita) pada tempat yang berbeda (pelabuhan/
terminal lain) karena adanya kesempatan yang dibuka dalam lelang. Dengan
adanya kemungkinan ketemu dalam negosiasi yang lain maka kita harus
membangun hubungan baik dengan pihak lawan. Negosiator harus membangun
sampai pada hubungan pribadi, karena negosiasi akan dilakukan berulang-ulang.
Jika negoisasi hanya dilakukan untuk satu kali saja maka tidak perlu terlalu
difokuskan membangun kemauan baik. Dengan demikian pertimbangan
strategik, jika negoisasi kemungkinan dilakukan beberapa kali dilakukan dengan
pihak lawan maka harus dibangun kemampuan ulangan dari negosiasi.

b. Kekuatan Pihak Lawan (counterpart).


Dalam menilai kekuatan pihak lawan, pihak kita (negosiator) harus dapat
mengetahui apakah pihak lawan (counterpart) merupakan satu-satunya yang ada
atau tidak terdapat pesaing atau pelanggan lain. Jika satu-satunya maka tidak
ada pilihan lain, sehingga pihak kita (negosiator) melihat pihak lawan
(counterpart) sebagai pihak yang kedudukannya kuat. Jika masih ada pelanggan
atau pesaing lainnya, kekuatannya menjadi lemah. Kekuatan pihak lawan
(counterpart) juga dilihat dari gaya dan pribadi dalam bernegosiasi. Gaya dan
pribadi ini juga menentukan strategik negosiasi.

c. Kekuatan Pihak Kita (Negosiator).


Kekuatan kita (negosiator) sebenarnya juga bisa diukur kebalikan kekuatan
lawan (counterpart). Jika kita (negosiator) menguasai pasar maka posisinya
menjadi kuat. Otoritas Pelabuhan sebagai negosiator sudah pasti akan
menduduki posisi ini karena Otoritas Pelabuhan mendapatkan hak penguasaan
pelabuhan berdasarkan undang-undang, yang kedudukannya akan memberikan
konsesi. Namun demikian Otoritas Pelabuhan tetap harus bersikap sebagai

58
negosiator/perunding yang baik dan selalu berorientasi pada sikap
kewirausahaan (entrepreneur) atau bisnis.

d. Arti Penting Objek yang Dinegosiasikan.


Dalam mengukur kekuatan pihak kita (negosiator) secara umum perlu pula
dipertimbangkan beberapa hal penting dari maksud dan tujuan negosiasi itu
sendiri sehingga kita dapat menetapkan strategi negosiasi yang baik yaitu :
1). Objek yang Dinegosiasikan.
Apabila objeknya besar atau objek baru maka akan berbeda menetapkan
strategiknya terhadap objek yang sudah biasa dinegosiasikan dan objek yang
biasa-biasa saja.
2). Skala Waktu.
Apabila betul-betul sudah dibatasi waktu (cepat) akan berbeda dapat
menerapkan strategiknya bila dibanding dengan waktu yang normal dan tidak
ada desakan waktu yang menjadi beban.
3). Sumber Daya Negosiasi.
Apabila sumber daya baik sumber daya manusia (negosiator) maupun
sumber daya lainnya terbatas harus menerapkan strategi yang efisien dan
efektif, tidak boleh berlarut-larut dalam bernegosiasi karena masih banyak
objek yang dinegosiasikan.

Berdasarkan orientasinya negosiator dapat dibagi atas negosiator yang


berorientasi pada tugas dan berorientasi pada orang. Berorientasi pada tugas berarti
negosiator menaruhkan perhatian seluruhnya untuk mencapai tujuan organisasi dan jika
lingkupnya dipersempit maka orientasinya untuk mencapai tujuan bisnis. Negosiator
semcam ini cenderung keras, ulet, pelawan yang cenderung menggunakan taktik dan
strategik negosiasi, bahkan bisa dengan tipu muslihat. Berorientasi pada orang berarti
negosiator sangat memperhatikan kesejahteraan semua pihak di lingkungan
organisasinya. Negosiator semacam ini cenderung melupakan tujuan bisnis dari suatu
negosiasi. Negosiator yang baik adalah kombinasi antara yang berorientasi penuh pada
tugas dan berorientasi penuh pada orang.

Berdasarkan pandangan tersebut maka tipe atau gaya negosiator dalam


praktek yang terjadi, pada umumnya dapat terdiri atas :

1. Tipe Pejuang.
Mempunyai orientasi yang tinggi dan kuat pada tugas.
2. Tipe Kolaborator.
Mempunyai tujuan untuk memperoleh segalanya di tempat terbuka, menghadapi
berbagai masalahnya dan membuat transaksi yang kreatif.
59
3. Tipe Kompromi.
Selalu berusaha mencari kompromi untuk menyelesaikan persoalan.
Negosiator yang baik harus bisa mengkombinasikan atau menerapkan tipe-tipe
tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang pada saat negosiasi.

Belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut, maka untuk bisa menjadi


negosiator yang baik di samping dibutuhkan bakat keterampilan yang dimiliki, juga
harus dilatih dalam berbagai situasi dan keadaan bernegosiasi, sehingga dapat berfikir
secara sistematis. Inilah yang disebut negosiator bakat yang sudah disistimatisir.
Dengan berbagai pengalaman tersebut maka diperoleh negosiator yang baik, ulung dan
berkarakter. Negosiator atas dasar bakat yang disistimatisir, cenderung menjadi pribadi
yang sangat menonjol, pandai melakukan improvisasi, intuitif dalam pemikirannya,
karismatik dalam kepribadiannya, luas penguasaan keilmuannya, serta sangat
komunikatif.

Khusus dalam berkomunikasi yang efektif harus dapat mengatasi berbagai


perbedaan pandangan dan hambatan alamiah dalam proses komunikasi. Langkah
praktis yang dimiliki dan selalu dijalankan oleh negosiator yang baik, ulung dan
berkarakter biasanya ada 5 (lima) langkah :

1. menciptakan kondisi yang tepat;


2. mengusahakan agar skala waktunya efektif dan efisien ( tepat waktu);
3. menyiapakan dan mengemukakan informasi secara efektif;
4. mendengarkan secara efektif; dan
5. mengatasi hambatan penggunaan bahasa.

Dalam komunikasi bernegosiasi, sering dikenal dengan anggapan bahwa


mendengar lebih baik dari pada bicara. Anggapan tersebut ada benarnya, namun tidak
boleh dijadikan pertimbangan yang mutlak. Mendengar saja belum cukup dalam
bernegoisasi. Jika kita melihat situasi lawan negoisasi kita lebih banyak diam maka kita
patut mencurigai agar hambatan komunikasi segera diatasi agar negosiasi dapat
berjalan/berhasil dengan baik. Lawan negosiasi kita lebih banyak berdiam belum tentu
yang bersangkutan menjadi pendengar yang baik karena kemungkinan dapat terjadi :

1. apa yang kita katakan belum tentu didengar ;


2. apa yang didengar belum tentu dimengerti; dan
3. apa yang dimengerti belum tentu diterima.

Dengan demikian kita mungkin tidak dapat mengetahui apa yang telah
didengar, dimengerti dan diterima oleh lawan negoiasi kita. Secara teoritis berdasarkan
60
hasil penelitian/test terhadap 100 orang pendengar, diperoleh hasil kurang dari 50 %
pesan yang disampaikan didengarkan dan dipahami oleh pendengar. Dalam
mendengarkan suatu pesan para pendengar hanya mendengar sepertiga dari pesan
tersebut, sepertiga diputarbalikkan isinya, dan sepertiga lainnya sama sekali tidak
didengarkan. Kondisi dan penelitian ini dapat menjadi pegangan para negosiator untuk
mengatasi hambatan proses negosiasi dengan teknik dan cara-cara tertentu untuk
melihat tingkat daya serap, pemahaman, dan respon balik dalam bernegosiasi.

Soal-soal:
1. Bagaimana langkah yang diperlukan dalam melaksanakan strategi dan teknik
bernegosiasi?
2. Sebutkan langkah awal persiapan yang sangat penting yang diperlukan dalam
melaksanakan negosiasi kontrak konsesi?
3. Sebutkan unsur-unsur dari negosiasi?
4. Jelaskan jenis-jenis negosiasi secara umum berdasarkan praktek yang ada dan
tipe/gaya negosiator yang ada dalam praktek?
5. Sebutkan jenis negosiasi yang menekankan perasaan untuk mengalah?
6. Sebutkan jenis negosiasi yang sering berhasil dan efektif saat melakukan
negosiasi?
7. Dalam proses tawar menawar setelah diidentifikasi terdapat 10 butir
substansi/materi. Jelaskan bagaimana negosiasi tersebut dilakukan agar berjalan
secara efektif, efisien, dan maksimal?.
8. Bagaimana dalam menyusun keputusan strategik yang harus dilakukan sebelum
dilakukan, pada saat dilakukan, dan setelah dilakukan negosiasi?
9. Bagaimana untuk dapat menjadi negosiator yang baik, ulung dan berkarakter?
10. Salah satu kunci keberhasilan dalam melaksanakan negosiasi melakukan
komunikasi yang efektif. Bagaimana cara menghadapi hambatan berkomunikasi
dalam negosiasi?
BAB VII

KEWIRAUSAHAAN ( ENTREPRENEURSHIP)

A. Berkembangnya Kewirausahaan Birokrasi di Amerika Serikat.


Pada Abad ke-19 dan ke-20 terjadi berbagai perubahan radikal dan perubahan
revolusioner di berbagai belahan dunia yaitu Eropah Timur dengan telah
menyatunya Jerman Timur dan Jerman Barat yang ditandai dengan runtuhnya
tembok Berlin, terpecahnya negara Uni Soviet, berakhirnya perang dingin antara
timur dan barat, Eropa Barat bergerak menuju penyatuan ekonomi, Asia menjadi
pusat kekuatan ekonomi baru dunia, Polandia sampai Afrika Selatan menuju proses
demokratisasi, telah menjadi pemicu para pemikir Amerika untuk menyampaikan

61
gagasan untuk menata ulang pemerintahan Amerika Serikat yang juga sudah mulai
dilanda kritis birokrasi dan ekonomi.
Gagasan menata ulang pemerintahan tersebut nampaknya merupakan
gagasan yang berani bagi konsep pemapanan pemerintahan yang seolah sesuatu
yang tidak berubah. Perubahan dibelahan dunia di atas dan kondisi Amerika Serikat
pada waktu itu mengalami masalah defisit dan lemahnya birokrasi dalam
menggerakkan pemerintahan mendorong gagasan baru dunia baru.
Di penghujung tahun 1980-an, majalah Time pada sampul mukanya
menanyakan “ sudah matikah pemberitaaan (Amerika Serikat) ? (David Osborne
dan Ted Gaebler, Kewirausahaan Birokrasi : 1996 : 1). Jawaban muncul di tahun
1992 sebagian besar menyatakan “Ya”. Sekolah-sekolah negeri di Amerika Serikat
adalah yang terburuk diantara negara-negara maju. Sistem pemeliharaan
kesehatan tidak terkendali. Pengadilan dan rumah tahanan begitu sesak, sehingga
banyak narapidana menjadi bebas. Banyak kota dan negara-negara yang
dibanggakan benar-benar pailit.
Kepercayaan terhadap pemerintahan telah menurun. Dari hasil survei hingga
akhir tahun 1980-an hanya lima persen orang Amerika Serikat yang menyatakan
akan memilih jabatan dalam pemerintahan sebagai karier dan hanya tiga belas
persen dari pegawai tinggi federal yang merekomendasikan karier pegawai negeri
(David Osborne dan Ted Gaebler : 1). Kemudian pada tahun 1990, dasar
kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan runtuh. Seolah-olah pada saat yang
sama pemerintah menemui jalan buntu. Negara bagian berjuang dengan defisit
multi milyaran dolar. Kota-kota memberhentikan ribuan pekerja Defisit pemerintahan
federal membengkak sampai 350 milyar dolar Amerika Serikat. Kondisi yang
demikian tersebut membuat masyarakat geram namun tidak bisa berbuat apa-apa.
Rakyat Amerika Serikat tidak bisa melakukan revolusi seperti perubahan radikal
yang telah terjadi dibelahan bumi yang menggulingkan kekuatan birokrasi.
Akan tetapi perlahan tapi pasti dengan tenang jauh dari sorotan publik, muncul
berbagai lembaga kemasyarakatan baru. Kelompok/lembaga-lembaga tersebut
cukup ramping terdesentralisasi dan inovatif, fleksibel, dapat mempelajari cara-cara
baru untuk berubah. Mereka memanfaatkan kompetisi, pilihan konsumen, dan
mekanisme non birokrasi lain untuk menjalankan segala sesuatu dengan se-kreatif
dan se-efektif mungkin.
Komunitas-komunitas itu muncul pada beberapa negara bagian yang
dipelopori oleh California tepatnya di Visalia. Di bawah tekanan finansial yang
hebat, para pemimpin daerah dan negara-negara bagian tidak punya pilihan kecuali
mengubah cara berfikirnya. Para Wali Kota dan Gubernur menjalankan sistem “
kemitraan negeri – swasta” dan mengembangkan cara alternatif untuk memberi
pelayanan. Kota-kota membantu tumbuhnya kompetisi antara penyedia jasa dari
menciptakan sistem anggaran baru. Para manajer pemerintahan mulai
membicarakan “manajemen perusahaan”, organisasi pengetahuan dan kota
62
swadaya. Beberapa negara bagian mulai melakukan restrukturisasi sistem
pelayanan mereka yang sebelumnya berbiaya mahal seperti biaya pendidikan,
pemeliharaan kesehatan, dan kesejahteraan. Pemerintah diberikan kesempatan
langsung berkompetisi dengan perusahaan swasta dalam menjalankan berbagai
sektor pelayanan.
Pada akhirnya secara perlahan dan pasti pemerintah dan para birokratnya
mempunyai pandangan yang sama, mengapa pemerintahan tak bisa dijalankan
seperti sebuah bisnis, namun ada beberapa kemiripan, sehingga beberapa prinsip
bisnis bisa diambil dalam menjalankan pemerintahan dan para birokrat harus
mempunyai pemikiran sebagai entrepreneur dalam menjalankan pemerintahan.
Dalam menjalankan pemerintahan para birokrat harus bertindak adil, demokrasi
namun juga harus efektif dan efisien serta mampu mendorong dan bekerjasama
dengan sektor swsasta. Perbedaan dalam mengelola bisnis dan pemerintahan
dapat diambil kesimpulan bahwa kemiripan-kemiripan yang ada dalam bisnis bisa
diterapkan dalam roda pemerintahan.

B. 10 (sepuluh) Prinsip Kewirausahaan Birokrasi yang digagas di Amerika


Serikat.
10 (sepuluh) prinsip kewirausahaan yang digagas Amerika Serikat tersebut
belajar dari beberapa kemiripan-kemiripan dalam mengelola bisnis yang bisa
dipakai. Untuk itu Pemerintah Amerika mengubah cara berfikir yaitu harus
mengubah lembaga birokrasi menjadi lembaga wirausaha yaitu siap menghilangkan
segala inisiatif lama, bersedia melakukan lebih banyak dengan sumber daya yang
lebih sedikit, dan lebih banyak menyerap gagasan-gagasan baru. Untuk itu 10
(sepuluh) prinsip kewirausahaan inilah yang ditulis oleh David Osborne dan Ted
Gaebler yaitu sesuatu perestrika Amerika untuk mengubah wajah birokrasi yang
entrepreneur.
10 (sepuluh) prinsip yang dapat dikembangkan untuk mengubah pola pikir
sebagai birokrat yang wirausaha yang digagas David Osborne dan Ted Gaebler,
yaitu :
1. bersikap cenderung mengarahkan dan mulai meninggalkan hanya sebagai
pelaksana tugas;
2. lebih banyak memberikan wewenang atau kesempatan kepada masyarakat;
3. lebih banyak memberi kesempatan dan peluang bagi terciptanya persaingan
yang sehat (kompetitif);
4. mempunyai visi dan misi dalam struktur organisasi.
5. berorientasi hasil dan bukan masukan;
6. berorientasi pada pelanggan;
7. menghasilkan, ketimbang membelanjakan;
8. mencegah daripada mengobati;

63
9. selalu mendistribusikan kewenangan untuk meningkatkan kinerja desentralisasi;
dan
10. sebagai motor perubahan dengan dengan mendongkrak perubahan melalui
pasar.
1. Bersikap cenderung mengarahkan dan mulai meninggalkan hanya sebagai
pelaksana tugas.
Prinsip pertama yang digagas agar bersikap cenderung mengarahkan dan mulai
meninggalkan fungsi birokrasi sebagai pelaksanaan adalah sebagai berikut.
a. Berusaha mendefinisikan ulang kepenguasaan dimana pada waktu itu
pemerintah/birokrasi hanya memiliki dimensi mengumpulkan pajak dan
memberikan pelayanan maka perannya didefinisikan menjadi.
1) sebagai katalisator dan fasilitator;
2) berbagai masalah dicari jalan keluarnya dengan menyusun sumber daya
untuk digunakan oleh pihak lain dalam menghadapi masalah tersebut; dan
3) menjalin sumberdaya pemerintah dan swasta yang langka untuk mencapai
tujuan masyarakat.
b. Menyehatkan semua institusi yang ada dalam masyarakat dengan
memperkuat infrastruktur warganya dengan memberikan wewenang kepada
masyarakat untuk memecahkan setiap masalah sendiri sehingga fungsi
pengambilan keputusan tidak bertumpu pada birokrat / pemerintah. Dengan
demikian institusi pemerintah menjadi lebih kecil tapi lebih kuat.
c. Mengalihkan fungsi/sistem yang memisahkan keputusan kebijakan
(mengarahkan) dari pemberian pelayanan yang sebelumnya
birokrasi/pemerintah memberikan pelayanan (mengayuh).
d. Mentransformasi pegawai birokrat kepada sektor swasta dengan jaminan
keidupan yang lebih baik dan kepuasan kerja yang kreatif.
e. Menciptakan organisasi pengarah yang berfungsi menetapkan kebijakan,
memberikan dana kepada badan-badan operasional baik pemerintah maupun
swasta dan menilai kinerja.
f. Untuk menghindari intervensi yang terlalu kuat (campur tangan) pemerintah
dalam bisnis dan sebaiknya bisnis tidak mempunyai kepentingan terhadap
pemerintahan maka dibentuk “sektor ketiga” atau bisa dinamakan juga
“institusi nirlaba” atau ”sukarela”.
g. Swastanisasi adalah hanya satu alternatif dan bukan satu-satunya solusi.
2. Lebih banyak memberikan wewenang atau kesempatan kepada masyarakat.
Prinsip yang kedua digagas agar memberi kewenangan atau kesempatan
kepada masyarakat maka dilakukan:
a. Mengalihkan kepemilikan dari birokrasi kepada masyarakat dengan jalan
memberikan kebebasan yang besar dan kuat bagi masyarakat melakukan
fungsi kontrol segala aspek kehidupan dan mendirikan perumahan umum
untuk dimiliki masyarakat.
64
b. Pemberian wewenang kepada masyarakat melalui demokrasi partisipasi (tidak
hanya wewenang memberikan pelayanan tapi partisipasi dalam mengontrol
jalannya pemerintahan.
3. Lebih banyak memberi kesempatan dan peluang bagi terciptanya
persaingan yang sehat (kompetitif).
Prinsip ketiga yang digagas agar :
a. terjadi efisiensi;
b. menghapus monopoli yang dilakukan oleh pemerintah atau swasta untuk
merespon kebutuhan pelanggannya;
c. menghargai inovasi, karena sifat monopoli adalah membuat masyarakat tidak
inovatif dan kreatif; dan
d. membangkitkan rasa harga diri dan semangat juang birokrasi.
Untuk itu jenis-jenis kompetisi yang diciptakan adalah:
a. pemerintah dengan swasta;
b. swasta dengan swasta; dan
c. pemerintah dengan pemerintah.
4. Mempunyai visi dan misi dalam struktur organisasi.
Prinsip keempat yang digagas karena didasarkan pada pandangan bahwa
organisasi yang digerakkan oleh visi dan misi akan memberikan kebebasan
anggota organisasi dalam mencapai visi dan misi menggunakan metode yang
paling efektif yang dapat mereka temukan. Hal ini merupakan keunggulan yang
nyata karena ;
a. Lebih efisien dan efektif.
b. Lebih inovatif.
c. Lebih fleksibel; dan
d. Lebih tinggi semangat / motivasinya.
5. Berorientasi hasil dan bukan masukan.
Prinsip kelima yang digagas tersebut diilhami adanya kasus dan upaya rumah
sakit agar pasien lama dirawat sehingga menambah pendapatan bagi rumah
sakit tersebut, namun sasaran akhir dari rumah sakit itu adalah untuk
membebaskan semaksimal mungkin pasien dari biaya rumah sakit. Untuk itu
digunakan konsep untuk mengukur hasil adalah dengan pengukuran atau
standar kinerja sehingga dapat diketahui tujuan dapat tercapai atau tidak dan
dapat mencari jalan keluar dari kegagalan pencapaian kinerja.
6. Berorientasi pada pelanggan.
Prinsip keenam yang digagas tersebut dilakukan dengan cara ;
a. Mendekatkan diri pada pelanggan.
b. Menggunakan metode mutu terpadu dengan pengendalian mutu terpadu yang
menekankan pengukuran yang konstan dan perbaikan mutu.
c. Menempatkan pelanggan dikursi pengemudi, yaitu adalah menempatkan
sumber daya ditangan pelanggan dan membiarkan memilih, hal ini merupakan
65
cara terbaik untuuk merespon kebutuhan pelanggan atas pemberian jasa
publik.
d. Mengubah perhatian pemerintah yang berorientasi pada lembaga publik,
karena sumber daya tidak hanya berada di tangan pelanggan, namun juga
terdapat penyedia jasa yaitu publik yang didanai oleh publik.
e. Menjalin keakraban dengan pengguna, membuka keterbukaan dan pemberian
pelayanan yang holistik serta terintegratif.
7. Menghasilkan, ketimbang membelanjakan.
Prinsip ketujuh yang digagas tersebut didasarkan pada keadaan banyak sekali
biaya dikeluarkan untuk belanja barang, namun tidak ada hasilnya. Untuk itu
pemerintah diminta agar biaya dikeluarkan dengan dasar ada hasilnya (produk)
yang menguntungkan. Untuk mengimplementasikan hal tersebut, maka
dikemukakan pandangan sebagai berikut :
a. Mengubah laba menjadi penggunaan publik.
b. Menghasilkan uang melalui pembebanan biaya.
c. Membelanjakan untuk menabung dengan melakukan investasi untuk
mendapatkan hasil.
d. Mengubah manajer menjadi wirausaha.
8. Pemerintah antisipatif dan melakukan tindakan mencegah daripada
mengobati.
Prinsip Kedelapan. Prinsip kedelapan tersebut dillhami dari pandangan ekonom
Ernst Schumacher yang menyatakan bahwa “Orang yang cerdas memecahkan
masalah, orang jenius mencegah/menghindari masalah”. Konsep yang dijalankan
dari perubahan birokrasi adalah pandangan sebagai berikut:
a. Melakukan pencegahan, lebih memecahkan masalah dari pada memberi jasa
dan konsep ini dikembangkan pada penanganan pencegahan kebakaran,
perawatan kesehatan, dan perlindungan lingkungan.
b. Mengantisipasi masa depan dengan membentuk komite masa depan dan
perencanaan strategis.
Proses perencanaan stategis yang berbeda mempunyai keahlian inovasi yang
berbeda, namun pada umumnya langkah dasar yang ditempuh adalah:
1) Melakukan analisis situasi, internasional dan eksternal.
2) Melakukan diagnosis, atau identifikasi isu-isu kunci yang dihadapi organisasi.
3) Membuat definisi dari misi yang mendasar dari organisasi.
4) Mengungkapkan sasaran dasar organisasi.
5) Menciptakan visi : seperti apa keberhasilan itu.
6) Mengembangkan strategi untuk mewujudkan Visi dan Misi.
7) Mengembangkan jadwal dari sasaran.
8) Mengukur dan mengevaluasi hasil.
9. Selalu mendistribusikan kewenangan untuk meningkatkan kinerja
desentralisasi.
66
Pemerintahan desentralisasi (Dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja).
Prinsip kesembilan yang digagas tersebut berisi :
a. Desentralisasi organisasi publik melalui manajemen partisipasi.
b. Membentuk organisasi tim kerja.
c. Menciptakan juara kelembagaan bagi inovasi dari bawah.
d. Melakukan investasi untuk karyawan.
10. Pemerintahan berorientasi pasar untuk mendongkrak perubahan melalui
pasar.
Prinsip kesepuluh yang digagas karena adanya hambatan-hambatan sebagai
berikut:
a. Pemerintah mengalami kesulitan dalam menjalankan pemerintahannya
berdasarkan program.
b. Pemerintah kesulitan dalam merestrukturisasi pasar terhadap sektor publik
(kelola pasar bekerja maka biasanya disebut sistem).
c. Pemerintah kesulitan menyeimbangkan pasar dan komunitas.

Soal-soal:
1. Jelaskan secara singkat apa yang melatarbelakangi gagasan David Osborne
danTed Geabler dalam menuliskan bukunya tentang Mewirausahakan Birokrasi
(reinventing government)?
2. Bagaimana akhirnya secara pelan-pelan masyarakat Amerika Serikat keluar dari
keterpurukannya mengatasi problem negaranya tanpa melakukan
revolusi/perubahan radikal seperti yang terjadi dinegara-negara lain, seperti yang
ditulis oleh David Osborne dan Ted Geabler?
3. Sebutkan prinsip-prinsip kewirausahaan birokrasi yang dijalankan oleh
masyarakat Amerika Serikat yang ditulis oleh David Osborne dan Ted Geabler?
4. Bagaimana mewujudkan kesempatan dan peluang menciptakan persaingan yang
sehat (kompetitif) sesuai tulisan David Osborne?
5. Bagaimana pendapat saudara tulisan David Osborne diimplementasikan pada
birokrasi di Indonesia? (contohkan 2 prinsip yang di implementasikan di
Indonesia)?

67
DAFTAR PUSTAKA

Andrian Sutedi. 2010. Hukum Perizinan: Dalam Sektor Pelayanan Publik. Cetakan
Pertama. Jakarta: Sinar Grafika

Gaebler, Ted dan Osborne, David (diterjemahkan oleh Abdul Rosyid). 1999.
Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government). Cetakan Kelima. Jakarta:
PT. Pustaka Binaman Pressindo.

J. Winardi. 2003. Entrepreneur dan Entrepreneurship. Cetakan Ke-3. Jakarta: Kencana


Prenada Media Grup.

Masriani Yulies Tiena. 2009. Pengantar Hukum Indonesia. Cetakan Ke-5. Jakarta:
Sinar Grafika

Parlindungan, A.P. 1994. Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA. Cetakan Kedua.
Bandung: Mandar Maju.

R. Heru Kristanto. 2009, Kewirausahaan (Entrepreneurship) Pendekatan Manajemen


dan Praktek. Cetakan I. Yogyakarta: Graha Ilmu.

68
Rini Pamungkas. 2009. 101 Draf Surat Perjanjian (Kontrak). Cetakan ke-1.
Yogyakarta:Gradien Mediatama.

Salim H.S. 2009. Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan
Keenam. Jakarta: Sinar Grafika.

Scott, Bill. 1984. Strategi dan Teknik Negoisasi. Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Pustaka
Binaman Pressindo.

Sudargo Gautama. 1999. Undang-Undang Arbitrase Baru 1999. Cetakan Ke-1.


Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Tim Prima Pena. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Gitamedia Press.

Terjemahan Subekti, R.1978. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer/


Burgerlijk Wetboek). Cetakan Kesepuluh. Jakarta: Pradnya Paramita.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan sebagaimana


diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 63 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Otoritas Pelabuhan.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2015 tentang Konsesi dan Bentuk
Kerja Sama Lainnya Antara Pemerintah dengan Badan Usaha Pelabuhan Di
Bidang Kepelabuhanan sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 166 Tahun 2015.

69

Anda mungkin juga menyukai