TINJAUAN PUSTAKA
3
4
signifikan terhadap volume ekspor kopi Indonesia, dan volume ekspor kopi
tersebut bersifat elastis terhadap produksi kopi di Indonesia, mengindikasikan
bahwa peningkatan produksi kopi sampai batas tertentu mungkin masih akan
diikuti oleh peningkatan ekspor kopi di Indonesia. Oleh karena itu kebijakan pada
tingkat produksi hendaknya diarahkan pada program-program intensifikasi dalam
meningkatkan produktivitas dan tetap menjaga bahkan meningkatkan mutu kopi.
Hasil penelitian juga memberi indikasi bahwa peningkatan ekspor kopi Vietnam
sebagai salah satu pesaing berdampak negatif terhadap ekspor kopi Indonesia.
Untuk itu diperlukan koordinasi AEKI dengan perdagangan Indonesia di luar
negeri untuk meningkatkan daya saing dengan menggali potensi pasar di luar
negeri, serta melakukan berbagai kerjasama dan promosi.
Purnamasari et al (2014) dalam penelitian berjudul “Analisis Daya Saing
Ekspor Kopi Indonesia di Pasar Dunia“ mengemukakan Kolombia diikuti Brazil
dan Vietnam memiliki keunggulan komparatif pada semua periode. Sedangkan
Indonesia masih berada pada peringkat ke empat. Indonesia harus menghadapi
kompetisi kuat antara Brazil dan Kolombia dalam pasar United State of America
(USA), Jerman, Italia dan Jepang. Terlebih lagi, 90% produk kopi Indonesia
adalah kopi Robusta yang memiliki kualitas rendah. Hal ini menyebabkan
Indonesia mendapat harga lebih rendah dibandingkan negara lainnya.
Soviandre et al (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Volume Ekspor Kopi Dari Indonesia Ke Amerika Serikat
(Studi Pada Volume Ekspor Kopi Periode Tahun 2010-2012)” mengemukakan
bahwa Harga Kopi Internasional, dan Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dollar
secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Volume Ekspor Kopi dari
Indonesia ke Amerika Serikat. Pada hasil uji parsial (uji t), variabel Produksi Kopi
Domestik, dan Harga Kopi Internasional secara parsial berpengaruh signifikan
terhadap variabel terikat. Sedangkan pada variabel Nilai Tukar Rupiah terhadap
US Dollar secara parsial berpengaruh tidak signifikan terhadap variabel terikat.
Setiawan (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Daya Saing dan Faktor
Penentu Ekspor Kopi Indonesia ke Malaysia Dalam Skema CEPT-AFTA”
mengemukakan bahwa kopi Indonesia di Pasar Malaysia memiliki daya saing
(nilai RCA>1) namun mengalami penurunan daya saing setelah diberlakukannya
CEPT-AFTA. Hasil estimasi analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kopi Indonesia ke pasar Malaysia adalah
produksi kopi Indonesia, harga ekspor kopi Indonesia ke Malaysia, dan nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika. Sedangkan nilai RCA dan dummy CEPT-AFTA
tidak berpengaruh.
Chandra (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Prospek Perdagangan
Kopi Robusta Indonesia Di Pasar Internasional” mengemukakan bahwa volume
ekspor kopi Robusta Indonesia pada sepuluh tahun mendatang memiliki prospek
baik. Oleh karena itu, pemerintah harus mendukung terwujudnya kondisi ekspor
yang baik di masa mendatang, dengan merumuskan kebijakan yang berorientasi
kepada kesejahteraan petani melalui penghargaan terhadap hasil produksi kopi
petani yang berkualitas, penyediaan infrastruktur yang memadai, dan peningkatan
daya saing kopi Robusta Indonesia. Sehingga pada akhirnya posisi Indonesia di
pasar dunia lebih kuat sebagai salah satu negara produsen kopi Robusta.
5
tiga variabel bebas lainnya, variabel PDB memberi pengaruh yang paling besar.
Nilai koefisien regresi minimum terjadi pada variabel harga kopi sebagai barang
substitusi teh (PC) yaitu sebesar 0.133667, yang artinya jika dibandingkan dengan
tiga variabel bebas lainnya, variabel PC memberi pengaruh yang paling kecil.
Putri (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Strategi Pemasaran
Keripik Pisang Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Di Kecamatan
Cilongok, Kabupaten Banyumas” mengemukakan bahwa posisi usaha home
industry berada di Kuadran I sehingga diusahakan untuk dapat memperkuat
lingkungan internal untuk memanfaatkan peluang yang ada dengan semaksimal
mungkin.
Arminsyurita (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Strategi
Pemasaran Jamur Rimba Jaya Mushroom” mengemukakan bahwa hasil
identifikasi faktor lingkungan internal perusahaan yaitu mampu memproduksi
bibit jamur secara maksimal, lahan masih luas, fasilitas produksi baik, tenaga
kerja kompeten, kualitas produk baik, lokasi strategis dan harga jamur mampu
bersaing. Hasil faktor lingkungan eksternal yaitu keberadaan lembaga asosiasi,
kenaikan harga, peningkatan permintaan jamur, meningkatnya pengetahuan
masyarakat, industri jamur diarahkan untuk ketahanan pangan dan pengembangan
teknologi kesehatan, pasar domestik masih terbuka, pasokan jamur tiram yang
masih terbatas dan peningkatan harga BBM dan impor jamur, ancaman pendatang
baru, serta peningkatan persaingan.
Sugiharta (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Strategi Pemasaran
Benih Padi Pada UD Tani Sejati di Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar”
mengemukakan bahwa identifikasi faktor internal UD Tani Sejati kekuatannya
yaitu citra perusahaan yang baik, akan tetapi kelemahannya yaitu jaringan
pemasaran kurang, sedangkan pada faktor eksternal UD Tani Sejati peluangnya
yaitu kebijakan pemerintah memberikan pelatihan pembenihan dan ancaman yang
dimiliki harga bahan baku meningkat. Hasil dari matriks SWOT didapatkan
strategi alternatif diantaranya strategi S-O meningkatkan volume pengadaan dan
penyaluran untuk melayani permintaan yang semakin meningkat, serta
bekerjasama dengan pemerintah dalam pengadaan benih dan memperluas pangsa
pasar guna memenuhi kebutuhan benih padi dengan perkembangan teknologi.
Sundari, S. (2015) mengemukakan bahwa untuk memperoleh produk
bermutu, perusahaan-perusahaan perlu menerapkan konsep kendali mutu dan
jaminan mutu. Kendali mutu mengandung arti setiap produk harus diproduksi
sesuai dengan permintaan, dengan pendekatan Manajemen Mutu Terpadu yang
memaksimumkan partisipasi karyawan dan daya saing organisasi melalui
perbaikan terus menerus.
Sebagai tanda suatu kegiatan usaha telah menerapkan sistem mutu secara
berkesinambungan, maka Heras, I. (2016) mengemukakan bahwa kegiatan usaha
akan diberi suatu sertifikat oleh badan sertifikasi. Rata-rata profitabilitas ekonomi
perusahaan yang bersertifikat ISO lebih besar dibandingkan perusahaan yang
tidak bersertifikat ISO. Dengan sertifikat, produk yang dihasilkan suatu negara
lebih mudah diterima di negara lain, sehingga dapat dikatakan bahwa ISO adalah
bahasa internasional untuk mutu.
7
2.2 Agribisnis
Pengertian agribisnis dapat dijelaskan dari unsur kata yang membentuknya,
yaitu: “agri” yang berasal dari kata agriculture (pertanian) dan “bisnis” yang
berarti usaha. Jadi “agribisnis” adalah usaha dalam bidang pertanian. Baik mulai
dari produksi, pengolahan, pemasaran atau kegiatan lain yang berkaitan
(Soekartawi, 1993).
Agribisnis sebagai suatu sistem merupakan hasil perpaduan subsistem-
subsistem berikut (1) subsistem input, (2) subsistem usaha tani/produksi (3)
subsistem pengolahan dan pemasaran, dan didukung oleh (4) subsistem sarana
pendukung fasilitas. Disamping itu pendekatan agribisnis dalam pembangunan
pertanian tidak akan memperoleh hasil yang maksimal tanpa memperhatikan
aspek lingkungan dari wilayah yang akan dikembangkan. Dalam arti kata bahwa
mutlak diperlukan mekanisme keterpaduan antara pembangunan pertanian
pendekatan agribisnis dan pembangunan wilayah secara umum, sehingga
dihasilkan satu sinergi yang kuat untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional
(Andriani, 2007).
Menurut Arifin (2004) membangun agribisnis memang perlu secara integral
dilakukan pada seluruh subsistem, dengan prioritas yang dapat lebih dicerna oleh
para pelaku. Hal itu tidaklah harus diterjemahkan bahwa agribisnis akan bersifat
eksklusif dan memiliki privilis tertentu. Sistem dan usaha agribisnis yang berdaya
saing, berkerakyatan dan berkelanjutan dilaksanakan secara terdesentralisasi.
Pembangunan sistem dan usaha agribisnis ke depan berbeda dengan masa lalu
yang sangat sentralistik dan top down. Ke depan, pembangunan sistem dan usaha
agribisnis akan dilakukan secara terdesentralisasi dan lebih mengedepankan
kretivitas pelaku agribisnis daerah (Saragih, 2001).
Strategi pengembangan agribisnis bukan semata-mata persoalan manajemen
bisnis di tingkat mikro, namun sangat terkait dengan formasi kebijakan di tingkat
makro serta kemampuan mensiasati dan menemukan strategi di tingkat
enterpreneur. Keterpaduan formasi makro-mikro ini sangat diperlukan mengingat
agribisnis adalah suatu rangkaian sistem usaha berbasis pertanian dan sumberdaya
lain dari hulu sampai hilir (Arifin, 2004).
pergerakan organisasi. Faktor eksternal yang dibahas dalam penelitian ini adalah
lingkungan mikro, lingkungan industri dan lingkungan makro.
model pengambilan keputusan yang lainnya. Alat utama dalam model AHP ini
adalah sebuah hierarki fungsional dengan input utamanya berupa persepsi
manusia. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dan tidak terukur dipecah
ke dalam kelompok-kelompoknya dan kemudian kelompok-kelompok tersebut
diatur menjadi sebuah bentuk hirarki (Brojonegoro, 1992).
Analytical Hierarchy Process memberikan kemungkinan bagi para pembuat
keputusan untuk merepresentasikan interaksi faktor-faktor yang
berkesinambungan di dalam situasi yang kompleks dan tidak terstruktur. Alat
analisis ini membantu para pembuat keputusan untuk mengidentifikasikan dan
sekaligus membuat prioritas berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, pengetahuan
yang dimiliki, dan pengalaman yang mereka miliki untuk masing-masing masalah
yang dihadapi (Saaty, 2000). Kelebihan model AHP dibandingkan model
pengambilan keputusan lainnya terletak pada kemampuan AHP untuk
memecahkan masalah yang multiobjectives dan multicriterias. Hal ini disebabkan
karena metode ini memiliki fleksibilitas yang tinggi, terutama dalam pembuatan
hirarkinya, sehingga model AHP dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa
kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hirarki. Bahkan AHP mampu
memecahkan masalah-masalah yang memiliki tujuantujuan yang berlawanan,
kriteria-kriteria yang berlawanan, dan tujuan serta kriteria yang berlawanan dalam
sebuah model. Karenanya, keputusan yang diambil melalui model AHP sudah
akan mempertimbangkan berbagai tujuan dan berbagai kriteria yang berbeda atau
bahkan saling bertentangan (Saaty, 2000). Kelebihan lain yang dimiliki AHP
adalah, dalam hal perencanaan pembangunan, model ini dapat memungkinkan
terjaringnya aspirasi masyarakat melalui pengisian kuisioner, sehingga diharapkan
aspirasi masyarakat ini dapat ditangkap oleh para pembuat kebijakan dan
diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan. Namun, model AHP ini juga
memiliki kelemahan. Model ini sangat tergantung dengan input yang berupa
persepsi ahli, sehingga apabila persepsi ahli keliru tentang sebuah permasalahan,
maka hasil dari metode AHP ini tidak akan berguna.
Menurut Bambang PS. Brojonegoro (1992), dalam melakukan analisis
dengan menggunakan AHP terdapat 4 aksioma yang harus diperhatikan, yaitu
aksioma resiprokal (reciprocal comparison), aksioma homogenitas (homogenity),
aksioma ketergantungan (independence), dan aksioma ekspektasi (expectation).
Aksioma-aksioma tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Aksioma Resiprokal (Reciprocal Comparison): matriks perbandingan
berpasangan yang terbentuk harus bersifat kebalikan. Artinya bisa dibuat
perbandingan dan dinyatakan preferensinya, dimana preferensi tersebut harus
memenuhi syarat resiprokal, yaitu kalau A lebih disukai daripada B dengan
skala x, maka B lebih disukai daripada A dengan skala 1/x;
2. Aksioma Homogenitas (Homogenity): aksioma ini memiliki arti bahwa
preferensi seseorang harus dapat dinyatakan dalam skala terbatas, atau
dengan kata lain elemen-elemennya dapat diperbandingkan satu sama lain.
Apabila aksioma ini tidak terpenuhi, maka elemen-elemen yang
diperbandingkan tersebut tidak homogen, dan harus dibentuk suatu “cluster”
(kelompok elemen-elemen) yang baru;
15
terpenting dalam penyusunan model AHP, karena dari langkah inilah sebuah
validitas dan keampuhan model dapat diuji (Brojonegoro, 1992).
gangguan yang ditimbulkan salah satu bilangan yang terlalu besar atau terlalau
kecil. Setelah matriks perbandingan selesai diisi, kemudian dilakukan penetapan
prioritas yang akan dilakukan dengan metode eigen vector dan eigen value. Dari
eigen vector yang diperoleh, ditentukan local priority, yaitu prioritas untuk satu
level. Global priority diperoleh dengan mengalikan prioritas elemen pada level di
atasnya sampai level terakhir.
Dalam hirarki tiga level, akan diperoleh indeks konsistensi untuk matriks
perbandingan level dua dan indeks konsistensi dari setiap matriks perbandingan
pada level tiga dengan memperhatikan hubungan dengan setiap unsur-unsur level
dua. Dengan demikian pada level tiga tersebut akan diperoleh sejumlah angka
indeks konsistensi yang banyaknya sama dengan unsur-unsur dalam level dua.
Langkah selanjutnya adalah melakukan perkalian vektor antara vektor prioritas
level dua sebagai vektor baris dengan vektor indeks konsistensi dari level tiga
sebagai vektor kolom. Hasil perkalian ini merupakan satu angka yang kemudian
ditambah dengan indeks konsistensi level dua dan hasilnya disebut M, selanjutnya
dihitung indeks random secara keseluruhan dengan cara yang sama, hanya setiap
indeks konsistensi diganti dengan indeks random yang besarnya tergantung
ukuran matriks. Dari operasi ini diperoleh indeks random hirarki secara
keseluruhan yang dilambangkan dengan M‟, dengan demikian akan diperoleh
rasio konsistensi secara keseluruhan dengan membagi indeks konsistensi
18
keseluruhan (M) dengan indeks random keseluruhan (M‟), yang secara singkat
dapat ditulis:
CRH = M/M‟
Dimana:
M = CI level dua + (bobot prioritas level dua)(CI level tiga)
M‟ = RI level tiga + (bobot prioritas level dua)(CI level tiga)
RI = Random Indeks
Setelah melalui tahap penyusunan hirarki, menetapkan prioritas dan menghitung
konsistensi, langkah selanjutnya dapat dilakukan analisa sensitivitas.
1. Model AHP mampu melakukan analisis dari data yang kuantitatif diolah
menjadi kualitatif;
2. AHP mempertimbangkan analisis permasalahan yang melibatkan banyak
pelaku (multi actor), banyak kriteria (multi criterias), dan banyak obyek
(multi object);
3. AHP menghasilkan output perencanaan yang diinginkan;
4. AHP memasukkan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis.
Proses ini bergantung pada imajinasi pengalaman dan pengetahuan untuk
menyusun hirarki suatu masalah dan bergantung pada logika intuisi dan
pengalaman untuk memberi pertimbangan;
5. AHP menunjukkan bagaimana menghubungkan elemen-elemen dari
bagian lain untuk memperoleh hasil penggabungan.
Sementara, AHP juga memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:
1. Permodelan AHP sulit dikerjakan secara manual, terutama bila
matriksnya terdiri dari tiga elemen atau lebih, sehingga harus dibuat
suatu program komputer untuk memecahkannya;
2. Belum adanya batasan expert sebagai responden pada masing-masing
kasus juga dapat merupakan kelemahan dari metode AHP, namun hal ini
dapat diantisipasi dengan pemberian bobot yang berbeda dalam tabulasi
kuisioner hasil isian responden.