Anda di halaman 1dari 4

PONTIANAK

Kerajaan Pontianak atau Kesultanan Kadryiah Pontianak adalah kerajaan yang didirikan pada 1771 di
Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Kesultanan Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, putra dari Habib Husein Alkadrie yang
merupakan ulama dari Hadramaut, Yaman.

Proses berdirinya Kesultanan Pontianak bermula ketika Habib Husein, seorang ulama asal Hadramaut,
Yaman, diundang oleh Opu Daeng Manambun, Raja Mempawah.

Sebelumnya, Habib Husein Alkadrie adalah hakim agama di Kerajaan Matan. Ia pindah ke Mempawah
karena tidak puas dengan Sultan Muhammad Muazzudin dari Matan yang tidak menghormati hukum.

Di Mempawah, Habib Husein diberikan rumah dan langgar di sekitar aliran Kuala Mempawah.

Putranya yang bernama Syarif Abdurrahman Alkadrie kemudian dinikahkan dengan putri Raja Opu
Daeng Manambung yang bernama Utin Candramidi.

Sebelum wafat pada 1770, Habib Husein Alkadrie berpesan kepada putranya untuk mencari kediaman
baru.

Pada tanggal 24 Rajab 1181 Hijriah yang bertepatan pada tanggal 23 Oktober 1771 Masehi, rombongan
Syarif Abdurrahman Alkadrie membuka hutan di persimpangan tiga Sungai Landak Sungai Kapuas Kecil
dan Sungai Kapuas untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal dan tempat tersebut diberi
nama Pontianak.

[25/4 11.02] Annisa: Kesultanan ini berlangsung selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1771 hingga
tahun 1950. Selama kesultanan ini masih eksis terdapat delapan sultan yang pernah berkuasa.
Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid
Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis,
Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.

Pada 1819, Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Syarif Kasim.

Meski kekuasaan sultan diperkecil, sektor pendidikan di Pontianak berkembang pesat.

Berbagai institusi pendidikan di bawah organisasi Islam, misi Katolik, maupun Protestan dapat
berkembang. Sultan Syarif Muhammad (1895-1944) pun mendirikan Perguruan Alkadriyah sebagai
sarana pendidikan bagi keluarga kesultanan.

Selain itu, sultan juga mendorong pendirian lembaga-lembaga pendidikan untuk mencerdaskan
rakyatnya.

[25/4 11.02] Annisa: Perdagangan merupakan kegiatan yang menopang kehidupan ekonomi di Kerajaan
Pontianak. Kegiatan perdagangan berkembang pesat karena letak Pontianak yang berada di
persimpangan 3 sungai. Pontianak juga membuka pelabuhan sebagai tempat interaksi dengan pedagang
luar.

Komoditas utamanya antara lain :

-Garam, berlian, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, gambir,,pinang, sarang burung,
kopra, lada, dan kelapa.

Pontianak memiliki hubungan dagang yang luas. Selain dengan VOC, pedagang Pontianak melakukan
hubungan dagang dengan pedagang dari berbagai daerah. Kerajaan Pontianak kemudian menerapkan
pajak bagi pedagang dari luar daerah yang berdagang di Pontianak. Tidak sedikit dari para pendatang
yang kemudian bermukim di Pontianak. Mereka mendirikan perkampungan untuk bermukim sehingga
nama-nama perkampungan lebih menunjukkan ciri ras dan etnis.

Sektor perekonomian dan perkebunan juga berkembang di Pontianak, di mana para petani Melayu dan
Tionghoa berhasil memajukan perkebunan karet sebagai salah satu komoditi ekspor. Sementara itu,
orang-orang Bugis berperan dalam memajukan perkebunan kelapa di wilayah Sungai Kakap, Sungai
Rengas, Jungkat, dan Petini.

[25/4 11.02] Annisa: Masyarakat Pontianak dikelompokkan secara sosial berdasarkan identitas
kesukuan, agama, dan ras. Pengelompokan berdasarkan suku, yaitu: pertama, komunitas suku Dayak
yang tinggal di daerah pedalaman. Komunitas ini dikenal tertutup, lebih mengutamakan kesamaan dan
kesatuan sosio-kultural. Kedua, komunitas Melayu, Bugis, dan Arab, yang dikenal sebagai penganut
Islam terbesar di daerah ini yang lebih menekankan aspek sosio-historis sebagai kelas penguasa. Ketiga,
imigran Cina yang tinggal di daerah pesisir, yang dikenal sebagai satu kesatuan sosio-ekonomi.

Penduduk asli daerah ini adalah Suku Dayak.

Setelah Pontianak berdiri, beberapa suku dari daerah-daerah lain berdatangan.

Mulai dari dalam hingga luar wilayah Kalimantan Barat.

Pembagian wilayah Pontianak menimbulkan tendensi sistem pelapisan sosial.

Sebelah timur cenderung berdasarkan agama dan keturunan.

Sementara di barat, penguasa cenderung dipandang sebagai lapisan atas; lalu para alim ulama, tokoh
masyarakat, serta orang-orang kaya sebagai golongan menengah; kemudian petani, pedagang kecil,
buruh, dan lainnya menempati golongan bawah.

Agama menjadi salah satu dasar budaya yang penting.


Sebagai koridor dalam melaksanakan hidup, unsur ini sangat penting bagi masyarakat lokal agar
kebahagiaan material dan spiritual dapat tercapai.

Sebagian besar penduduk kota dan pedesaan di Kalimantan Barat beragama Islam.

Sementara mayoritas penduduk pedalaman menganut kepercayaan tradisional atau kepercayaan lama.

Kedatangan Agama Islam di Kalimantan Barat bermula dari Johor dan Bintan.

Kemudian memasuki aliran Sungai Sambas dan berpusat di Kerajaan Sambas.

Baru dari Sambas penyebarannya sampai di Singkawang, Mempawah, lalu Pontianak.

Perkembangan kehidupan dua kepercayaan (Islam dan kepercayaan lokal) ini berlangsung damai dan
berjalan tenang.

Dengan kata lain, Kalimantan Barat memiliki sistem kebudayaan yang terbagi atas sistem budaya
penduduk asli, penganut Hindu atau Buddha, dan Islam.

Anda mungkin juga menyukai