Anda di halaman 1dari 2

I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara alami Kabau (Archidendron bubalinum (Jack) I.C. Nielsen) tumbuh di Myanmar,
Thailand, Semenanjung Malaysia, dan Sumatera (Nielsen 1992; GBIF 2016). Kabau
merupakan kerabat dekat jengkol yang memiliki nama lokal yang berbeda-beda pada
setiap daerah seperti jering kabau (Sumatera Barat), jering utan (Riau), kabau
(Jambi dan Palembang), kabeu (Bengkulu), dan julang-jaling (Lampung) (Heyne 1927;
Nielsen 1992; Hanum 1998; Lim 2012; Ghazalli et al. 2014).
Kabau termasuk tumbuhan indigenous Indonesia yang banyak ditemukan di Pulau
Sumatera. Kabau mempunyai buah polong yang ukurannya lebih kecil jika dibandingkan
dengan buah jengkol. Sebagian masyarakat memanfaatkan biji kabau sebagai obat
antidiabetes herbal (Komariah & Hartana, 2016). Biji kabau tua biasa digunakan
sebagai bahan masakan sedangkan biji muda sebagai lalapan (Rahayu et al., 2007).
Selain menghasilkan biji, kabau juga menghasilkan kayu yang biasanya dimanfaatkan
oleh masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) dan masyarakat Tanjung Jabung Barat, Jambi
sebagai kayu bakar dan tiang rumah. Kayu kabau juga dimanfaatkan sebagai bahan
pembuatan lemari, peralatan rumah tangga, dayung, kano, dan bahan kontruksi
dikarenakan kayu ini mempunyai stuktur yang keras dan juga tahan lama (Heyne 1927;
Burkill 1935; Lim 2012). Kulit buah pohon ini juga dimanfaatkan oleh suku Rejang
Lebong yang berada di Bengkulu sebagai salah satu alternatif pengendali hama pada
tanaman (Asmaliyah et al., 2006; Utami & Haneda, 2010) sehingga pohon ini sangat
berpotensi untuk dikembangkan sebagai tanaman budidaya dengan sistem tumpang sari
dalam sistem agroforestri karet (Lehébel-Péron et al., 2011).
Pada saat ini penelitian tentang pemuliaan tanaman dan teknik budidaya mengenai
tanaman kabau masih terbatas. Hal ini dapat dilihat dari minimnya publikasi dan
referensi mengenai tanaman kabau. Di Sumatera, kabau biasanya ditemukan di
pekarangan penduduk dan juga kebun karet rakyat, namun banyaknya aktivitas
masyarakat yang mengubah kebun karet menjadi perkebunan kelapa sawit membuat
populasi kabau semakin berkurang. Salah satu cara yang
bisa dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan membudidayakannya mulai dari
sekarang.
Sebelum melakukan penanaman di lapangan, bibit yang berkualitas terlebih dahulu
dipersiapkan melalui pembibitan secara generatif dengan media yang banyak
mengandung bahan organik serta unsur hara yang tersedia dan cukup sesuai dengan
yang dibutuhkan tanaman (Durahim, 2001). Oleh sebab itu media tumbuh di pembibitan
menjadi aspek yang sangat penting bagi bibit sebelum siap tanam dilapangan
(Kurniaty et al., 2006). Untuk memenuhi kebutuhan unsur hara bagi tanaman dapat
dilakukan dengan pemberian pupuk pada media (Desiana et al., 2013). Salah satu
alternatif yang bisa digunakan untuk meningkatkan ketersediaan, kecukupan, dan
efisiensi serapan hara bagi tanaman yaitu menggunakan pupuk organik cair yang
berasal dari urine sapi yang mudah didapatkan secara gratis. Kurniadinata (2007),
menambahkan bahwa penggunaan urine sapi sebagai pupuk organik lebih mudah
diaplikasikan terhadap tanaman.
Pemberian pupuk dalam kegiatan persemaian sangat penting dilakukan karena
ketersediaan unsur hara dari pupuk mampu memacu pertumbuhan pada akar dan tunas,
meningkatkan daya tahan terhadap kekurangan air (water stress), suhu yang rendah,
dan tahan terhadap serangan penyakit (Oliet et al., 2004). Dari segi kadar haranya,
kotoran sapi berupa urine memiliki kandungan hara yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kotoran padatannya. Hadi (2006) mengatakan kandungan kimia yang terdapat di
dalam urine sapi mengandung N= 1,4% sampai 2,2%, P= 0,6% sampai 0,7%, dan K= 1,6%
sampai 2,1%. Sedangkan di dalam kotoran sapi mengandung 0,53 N, 0,35 P, 0,41 K,
0,28 Ca, 0,11 Mg, 0,05 S, 0,004 F (Setiawan, 2006). Selain itu pupuk urine sapi
juga mengandung hormon yang berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan dan
perkembangan tanaman (Aisyah et al., 2011). Menurut Chantika (2009) Urine sapi juga
bisa dimanfaatkan sebagai salah satu bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan
kompos, baik secara anaerob maupun secara aerob. Pupuk organik cair dapat digunakan
dengan cara menyiramkannya ke akar ataupun disemprot langsung ke tanaman sehingga
dapat menjaga kelembaban tanah. Pupuk organik cair dalam pemupukan akan lebih
merata dan tidak akan terjadi penumpukan pupuk disuatu tempat
dikarenakan pupuk organik cair 100 % larut sehingga masalah defesiensi unsur hara
dan pencucian unsur hara dapat secara cepat diatasi (Priangga et al., 2013).
Dalam kegiatan pemupukan waktu pengaplikasian juga menentukan pertumbuhan tanaman
(Soetejo dan Kartasapoetra, 1991). Berbedanya waktu pengaplikasian akan memberikan
hasil yang berbeda terhadap pertumbuhan tanaman. Pengaplikasian pupuk dengan
interval pemberian yang terlalu sering menyebabkan pemborosan pupuk dan dapat
menyebabkan tanaman keracunan. Sebaliknya, bila interval pemberian dilakukan
terlalu jarang akan menyebabkan tanaman kekurangan unsur hara. Berdasarkan hasil
penelitian Malwani (2014), pemberian dosis 75 ml urine sapi/500 ml air/tanaman pada
bibit Trembesi (Samanea saman) memberikan pengaruh terhadap diameter tanaman,
jumlah daun, jumlah cabang, dan panjang akar dan dosis tersebut merupakan dosis
yang tepat untuk memberikan pertumbuhan yang terbaik pada bibit trembesi. Hasil
penelitian Kiswanto (2014), pemberian dosis 20 ml/tanaman dengan empat kali
pengulangan merupakan pertumbuhan yang optimum pada bibit Kakao (Theobroma cacao)
tetapi tidak terdapat interaksi antara interval penyiraman dan dosis urine sapi.
Selain itu, hasil penelitian Kusuma (2015) menunjukkan bahwa pemberian dosis 40
ml/tanaman dengan interval pemberian 14 hari sekali merupakan dosis yang tepat
untuk pertumbuhan Karet (Hevea brasiliensis).
Minimnya pengetahuan tentang pemanfaatan dan cara penggunaan pupuk urine sapi, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Pemberian Urine Sapi
dengan Dosis dan Interval yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Bibit Kabau
(Archidendron bubalinum (Jack) I.C.Nielsen)”.
1.2 Tujuan Penelitian
1. Menganalisis pengaruh interaksi antara dosis dan interval pemberian urine sapi
terhadap pertumbuhan bibit kabau (Archidendron bubalinum).
2. Menganalisis dosis dan interval pemberian urine sapi yang terbaik terhadap
pertumbuhan bibit kabau (Archidendron bubalinum).
1.3 Manfaat Penelitian
Salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar
sarjana (S1) di Program studi Kehutanan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Jambi dan diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
acuan dalam pengembangan ilmu, pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan
pengaruh pemberian urine sapi dengan dosis dan interval yang berbeda terhadap
pertumbuhan bibit kabau (Archidendron bubalinum (Jack) I. C. Nielsen).
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang dikemukakan pada penelitian ini yaitu:
1. Terdapat Interaksi dosis dan interval pemberian pupuk cair urine sapi memberikan
pengaruh terhadap pertumbuhan bibit kabau (Archidendron bubalinum).
2. Terdapat dosis dan interval yang terbaik untuk pertumbuhan bibit kabau
(Archidendron bubalinum).

Anda mungkin juga menyukai