Anda di halaman 1dari 9

TERAPI OKSIGEN

A. Definisi Hipoksia dan Hipokesemia


Hipokesemia merupakan penurunan tekanan parsial oksigen di daldam darah,
sedangkan hipoksia adalah suatu kondisi terjadinya kekurangan oksigen pada tingkat
jaringan. Hantaran oksigen kejaringan tergantung dari ventilasi yang adekuat, pertukaran
gas, dan sirkulasi. Apabila dalam 4 menit terjadi gangguan di antara ketiga hal tersebut
dapat menyebabkan terjadinya hipoksia. Target dari oksigenasi yang tepat adalah
kemampuan untuk memberikan pasokan oksigen yang adekuat kejaringan.
B. Tujuan Terapi Oksigen
Pemberian oksigen dengan konsentrasi lebih dari 21% dapat meningkatkan tekanan
oksigen alveolar sehingga dapat mengatasi hipoksemia. Selain itu itu pemberian terapi
oksigen dapat mengurangi usaha napas dan menurunkan kerja miokardium (Suryawan,
2013).
C. Indikasi Pemberian Terapi Oksigen
Terapi oksigen Rekomendasi pemberian terapi oksigen menurut American College of
Chest Physicians and National Heart Lung and Blood institute (Suryawan, 2013):
- Henti jantung dan henti napas
- Hipoksemia (PaO2 < 60 mmHg, SaO2
- Tanda-tanda gangguan sirkulasi
- Asidosis metabolik (bikarbonat <18 mmol/L)
- Distres pernapasan, apnea dan bradipnea
- Anemia berat
D. Metode Pemberian Oksigen
Oksigen merupakan obat yang harus diberikan dengan dosis dan cara pemberian yang
tepat serta diperlukan pemantauan selama terapi. Pemberian oksigen harus dimulai dari
pemilihan alat, ukuran dan tujuan akhir terapi oksigen yang disesuaikan dengan
kebutuhan pasien. Terdapat dua sistem pemberian terapi oksigen yaitu aliran rendah dan
aliran tinggi. Sistem aliran rendah menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung aliran
inspirasi pasien sedangkan aliran tinggi menghasilkan FiO2 yang sesuai dengan aliran
inspirasi pasien. (Suryawan, 2013)

a. Sistem aliran oksigen tinggi


Pada sistem ini, alat yang digunakan yaitu sungkup venti atau venturi yang
mempunyai kemampuan menarik udara kamar pada perbandingan tetap dengan
aliran oksigen sehingga mampu memberikan aliran total gas yang tinggi dengan
FiO2 yang tetap. Keuntungan alat ini adalah FiO2 yang diberikan stabil dan
mampu mengendalikan suhu dan humidifikasi udara inspirasi, sedangkan
kelemahannya adalah alat ini mahal, mengganti seluruh alat apabila ingin
mengubah FiO2 dan tidak enak bagi pasien.

Gambar 1. Venturi Mask

b. Sistem aliran oksigen rendah


Sebagian dari volume tidal berasal dari udara kamar. Alat ini memberikan FiO2
21%-90%, teragantung dari aliran gas oksigen dan tambahan asesoris seperti
kantong penampung. Alat yang umum gunakan dalam sistem ini adalah: nasal
kanul, nasal kateter, dan sungkup muka tanpa atau dengan kantong penampung.
Alat ini digunakan pada pasien dengan kondisi stabil, volume tidalnya berkisar
antara 300-700 ml (dewasa) dan pola nafasnya teratur.

1. Kanul Nasal
Kanul nasal disebut juga dengan nasal prong. Kanul nasal merupakan yang
paling sederhana dan nyaman untuk pemakaian jangka panjang tetapi sulit
menentukan FiO2, dapat menciptakan PEEP tergantung ukuran kanul nasal
dan flow. Nasal kanul terdiri dari sepasang tube dengan panjang kurang lebih
dua cm yang dipasangkan pada lubang hidung pasien dan tube dihubungkan
secara langsung menuju oxygen flow meter. Alat ini dapat menjadi alternatif
bila tidak terdapat sungkup muka.
Gambar 2. Kanul Nasal

2. Kateter Nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 secara kontinu
dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi 24 – 44%. Kateter berukuran 6
atau 8 FG yang dimasukkan ke dalam lubang hidung hingga melewati bagian
belakang rongga hidung. Tempatkan kateter dengan jarak dari sisi cuping
hidung hingga ke bagian tepi dalam dari alis anak. Pasang aliran oksigen 1–2
liter/menit. Tidak perlu pelembapan.

Gambar 3. Kateter Nasal


3. Kateter Nasofaring
Kateter dengan ukuran 6 atau 8 FG dimasukkan ke dalam faring tepat di
bawah uvula. Letakkan kateter pada jarak dari sisi cuping hidung hingga ke
arah telinga. Jika alat ini diletakkan terlalu ke bawah, anak dapat tersedak,
muntah dan kadang-kadang dapat timbul distensi lambung. Beri aliran
sebanyak 1 – 2 liter/menit, yang memberikan kadar-oksigen inspirasi 45 –
60%. Perlu diperhatikan kecepatan aliran tidak berlebih karena dapat
menimbulkan risiko distensi lambung. Perlu dilakukan pelembapan.

Gambar 4. Pemasangan Kateter Nasofaring

4. Sungkup muka sederhana


Sungkup muka sederhana menggunakan udara ruangan sehingga aliran
oksigen harus diberikan paling sedikit 6 liter per menit untuk mendapatkan
konsentrasi oksigen yang diinginkan dan mencegah CO2 dihisap kembali.

Gambar 5. Sungkup Muka Sederhana


5. Sungkup muka rebreathing parsial
Suatu teknik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80% dengan
aliran 8 – 12 L/mnt. Sungkup muka rebreathing parsial mendapat oksigen
ditambah udara ekspirasi dengan jumlah kurang lebih sama dengan volume
ruang rugi anatomis pasien.

6. Sungkup non rebreathing


Sungkup non-rebreathing dilengkapi dengan katub satu arah untuk mencegah
terhisapnya kembali udara ekspirasi, sehingga udara inspirasi tidak akan atau
sedikit sekali tercampur dengan CO2 .

Gambar 6. Sungkup rebreathing parsial (kiri), sungkup non-rebreathing


Menurut WHO metode yang digunakan untuk pemberian oksigen harus aman,
sederhana, efektif dan murah. Metode pemberian oksigen berupa metode yang bersifat non-
invasif (melalui face mask, head box, atau incubator) atau semi-invasif (nasal prong atau
kateter ke dalam saluran napas bagian atas). Metode semi-invasif lebih murah daripada
metode non-invasif. Nasal prong dan kateter nasofaring memiliki efek baik pada fungsi paru-
paru, karena menghasilkan positive end expiratory pressure (PEEP) hingga 5 cm H 20 untuk
meningkatkan oksigenasi.

Face-masks, head boxes, dan inkubator tidak disarankan karena dapat


membuat oksigen terbuang dan berpotensi berbahaya. Metode yang
direkomendasikan untuk neonatus, bayi dan anak-anak adalah nasal prong, kateter
hidung dan kateter nasofaring. Nasal prong adalah metode pemberian oksigen yang
memiliki keseimbangan optimal antara keamanan, efektivitas dan efisiensi. Salah satu
kekurangannya adalah biaya pemasangan nasal prong saat ini lebih tinggi daripada
biaya pemasangan kateter. Inilah mengapa nasal kateter sering digunakan di negara
berkembang. Nasal prong adalah metode terbaik untuk pemberian oksigen pada bayi
dan anak-anak dengan croup atau pertusis (batuk rejan) untuk menghindari provokasi
batuk paroksismal.
Gambar 7. Head Box Neonatus

E. Evaluasi dan Monitoring


Setelah terapi oksigen dimulai, anak harus diperiksa dalam waktu 15–30 menit untuk
mengamati apakah pengobatan berhasil. Pada anak-anak hipoksemia berat, koreksi
oksigen mungkin kurang baik dan tanda klinis mungkin tetap ada, atau SpO2 mungkin
masih rendah. Hal ini tidak berarti bahwa terapi oksigen telah gagal.. Anak-anak lain akan
memburuk dengan cepat atau lambat meskipun menerima oksigen. Ada beberapa
kemungkinan penyebab kurangnya respons: (Sockrider et al., 2019)
- Pengiriman oksigen tidak memadai. Periksa bahwa:
a. oksigen mengalir (letakkan ujung selang di bawah air dalam gelas kimia dan
lihat adakah gelembung, atau pegang ujungnya dekat dengan tangan Anda untuk
merasakan aliran udara);
b. tabung oksigen tidak bocor;
c. nasal prong atau kateter hidung dipasang dengan benar dan tidak tersumbat; dan
d. jika oksigen dikirim dari konsentrator, konsentrasi oksigen yang diberikan cukup
(> 85%). Saat menggunakan konsentrator, penting untuk memiliki alat
penganalisis oksigen untuk mengukur fraksi oksigen dan laju aliran.
- Kemungkinan penyebab lainnya, seperti

a. efusi pleura: dengarkan dengan stetoskop untuk suara pernapasan di kedua sisi
dada; lakukan rontgen dada;
b. pneumotoraks: dengarkan dengan stetoskop untuk suara pernapasan di kedua sisi
dada; lakukan rontgen dada;
c. obstruksi jalan napas atas (misalnya dari croup atau benda asing): dengarkan
stridor;
d. bronkospasme (misalnya asma berat): dengarkan dengan stetoskop untuk
mengetahui mengi;
e. penyakit jantung sianotik atau gagal jantung kongestif;
f. kegagalan ventilasi: upaya pernapasan anak tidak memadai, atau anak
mengalami pernapasan lambat atau dangkal dan lesu.

- Jika nasal prong digunakan pada aliran maksimum (4 L / menit untuk infant dan
hingga 8 L / menit) dan anak masih hipoksemia:

a. Mulai CPAP jika peralatan tersedia atau pertimbangkan ventilasi mekanis jika
rumah sakit memiliki unit perawatan intensif.
b. Jika CPAP tidak tersedia,

 Jika tersedia, berikan sumber oksigen kedua melalui masker oksigen (idealnya dengan
Reservoir bag) untuk meningkatkan konsentrasi fraksional oksigen inspirasi.
 Jika masker oksigen tidak tersedia, masukkan nasofaring kateter untuk memberikan
konsentrasi fraksional oksigen inspirasi yang lebih tinggi. Tapi tidak pernah gunakan
nasal prong dan kateter nasofaring secara bersamaan. (Sockrider et al., 2019)

F. Risiko Jangka Panjang


Terdapat tiga klasifikasi risiko penggunaan jangka panjang terapi oksigen yaitu: fisik,
fungsional, dan sitotoksik.
a. Risiko fisik
Penggunaan jangka panjang dari terapi oksigen secara fisik dapat mengakibatkan luka
lecet pada hidung dan wajah yang timbul dari pemakaian nasal kateter dan sungkup.
Kulit kering dan pengelupasan kulit dapat muncul dengan penggunaan gas yang
kering tanpa proses humidifikasi.
b. Risiko fungsional
Terapi oksigen dapat menyebabkan hipoventilasi pada pasien dengan COPD. Dalarn
prakteknya, terapi oksigen aliran rendah, memiliki risiko yang kecil untuk
menyebabkan hipoventilasi tersebut.
c. Risiko kerusakan sitotoksik
Pemberian oksigen dapat menyebabkan kerusakan struktural pada paruparu.
Perubahan proliferasi dan perubahan fibrosis akibat toksisitas oksigen terbukti setelah
dilakukannya otopsi pada pasien COPD yang diterapi dengan oksigen jangka
panjangv Namun perubahan ini tidak menimbulkan pengaruh yang signifikan pada
pexjalanan klinis atau kelangsungan hidup pasien yang diterapi dengan oksigen.
Sebagian besar kerusakan yang texjadi diakibatkan oleh hasil hyperoksia dari
pemberian FiO2 tinggi pada kondisi akut.

Daftar Pustaka

Dieckmann, R. A., Brownstein, D. dan Gausche-Hill, M. (2010) “The pediatric assessment


triangle: A novel approach for the rapid evaluation of children,” Pediatric Emergency
Care, 26(4), hal. 312–315. doi: 10.1097/PEC.0b013e3181d6db37.

Horeczko, T. et al. (2013) “The Pediatric Assessment Triangle: Accuracy of Its Application
by Nurses in the Triage of Children,” Journal of emergency nursing: JEN : official
publication of the Emergency Department Nurses Association, 39(2), hal. 182. doi:
10.1016/J.JEN.2011.12.020.

Sockrider, M. et al. (2019) “Oxygen therapy for children,” American Journal of Respiratory
and Critical Care Medicine, 199(3), hal. P5–P6. doi: 10.1164/rccm.1993p5.

Suryawan, A. dan kawan kawan (2013) Best Practices: Pediatrics, Autism Spectrum
Disorders. doi: 10.1093/med/9780195371826.003.0086.

Anda mungkin juga menyukai