Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN HIDROLOGI

DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

BAB II
METODE PERHITUNGAN

2.1. UMUM

Analisis hidrologi dihitung untuk lokasi rencana Embung Kedungbenda, Embung


Adirejawetan, Embung Ciwuni, Embung Planjan, Embung Wangon, Embung
Jalatunda.
Kegiatan ini dilakukan untuk mengkaji analisa hidrologi yang ini meliputi :

2.2. VALIDASI DATA HUJAN

Ketersediaan data curah hujan disuatu daerah studi sangat terbatas serta
pencatatan data yang tidak continue maka dalam penentuan data yang akan
digunakan untuk perhitungan dapat dipilih dari stasiun yang terdekat dengan
tahun data yang continue dan data yang terbaru.
Sebelum digunakan untuk analisa hidrologi, data hujan tersebut haruslah diuji
secara statistik untuk mendapatkan data hujan yang layak untuk digunakan dalam
analisa selanjutnya. Menurut CD Soemarto (1987) data yang akan digunakan
dalam analisa hidrologi harus bersifat acak, tidak mempunyai trend dan homogen.
Sedangkan menurut Soewarno (1995) data hidrologi yang akan digunakan harus
bersifat konsisten dan homogen. Analisa statistik yang digunakan untuk
memastikan bahwa data hujan tersebut layak digunakan untuk analisa selanjutnya
meliputi:

2.2.1. Uji Konsistensi Data


Uji konsistensi berarti menguji kebenaran data lapangan yang tidak dipengaruhi
oleh kesalahan pada saat pengiriman atau saat pengukuran, data tersebut harus
betul-betul menggambarkan fenomena hidrologi seperti keadaan sebenarnya
dilapangan. Dengan kata lain data hidrologi disebut tidak konsisten apabila
terdapat perbedaan antara nilai pengukuran dan nilai sebenarnya. Sebagai
contoh:
1. Selama pengukuran debit sungai dari suatu pos duga air terjadi perubahan
tinggi muka air lebih dari 3 cm dan tidak dilakukan perhitungan koreksi tinggi
muka air, maka data yang diperoleh dapat dikatakan tidak konsisten
(Inconsistency).
2. Pada suatu pos iklim dilakukan pengukuran penguapan dengan panci
penguapan kelas A, rumput-rumput disekitar panci tersebut secara perlahan-
lahan tumbuh subur oleh karena tidak dilakukan pembersihan rumput

II-1
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

disekitar panci penguapan maka akan dapat mempengaruhi keseimbangan


radiasi (radiation balance) dan akan dapat mempengaruhi konsistensi hasil
pengukuran penguapan, sehingga data yang diperoleh dapat dikatakan
sebagai data yang tidak konsisten.
Uji konsistensi pada analisa ini akan menggunakan metode statistik RAPS
(Rescaled  Adjusted Partial Sums) (Buishand,1982). Pengujian konsistensi
dengan menggunakan data dari stasiun itu sendiri yaitu pengujian dengan
komulatif penyimpangan terhadap nilai rata-rata dibagi dengan akar komulatif
rerata penyimpangan kuadrat terhadap nilai reratanya,
Dengan melihat nilai statistik diatas maka dapat dicari nilai Q/n dan R/n. Hasil
yang di dapat dibandingkan dengan nilai Q/n syarat dan R/n syarat, jika lebih
kecil maka data masih dalam batasan konsisten.
Pengujian konsistensi dengan menggunakan data dari stasiun itu sendiri yaitu
pengujian dengan komulatif penyimpangan terhadap nilai rata-rata dibagi dengan
akar komulatif rerata penyimpangan kuadrat terhadap nilai reratanya, lebih jelas
lagi bisa dilihat pada rumus dibawah:

S0  0

dg k = 1,2,3,...,n

nilai statistik Q dan R

Q = maks  
0 k  n

R = maks - min
0kn 0kn
Dimana:
Sk* = Nilai Kumulatif Penyimpangan
Dy = Standar Deviasi
Sk** = Rescaled Adjusment Partial Sums (RAPS)/Kepanggahan
Q = Penguji Kepanggahan
R = Range

Dengan melihat nilai statistik diatas maka dapat dicari nilai Q/n dan R/n. Hasil
yang di dapat dibandingkan dengan nilai Q/n syarat dan R/n syarat, jika lebih
kecil maka data masih dalam batasan konsisten.

II-2
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Tabel 2. 1. Nilai Kritik Q dan r

n Q/n0.5 R/n0.5
90% 95% 99% 90% 95% 99%
10 1.05 1.14 1.29 1.21 1.28 1.38
20 1.10 1.22 1.42 1.34 1.43 1.60
30 1.12 1.24 1.48 1.40 1.50 1.70
40 1.31 1.27 1.52 1.44 1.55 1.78
100 1.17 1.29 1.55 1.50 1.62 1.85
Sumber: Sri Harto, Tabel 2.2 Hal 41; 2009

2.2.2. Uji Homogenitas Data (Uji Ketidakadaan Tren)


Deret berkala yang nilainya menunjukkan gerakan yang berjangka panjang dan
mempunyai kecenderungan menuju ke satu arah, arah naik atau turun disebut
dengan pola atau trend. Umumnya meliputi gerakan yang lamanya lebih dari 29
tahun. Deret berkala yang datanya kurang dari 29 tahun kadang-kadang sulit
untuk menentukan gerakan dari suatu trend. Hasilnya dapat meragukan, karena
gerakan yang diperoleh hanya mungkin menunjukkan suatu sikli (cyclical time
series) dari suatu trend. Sikli merupakan gerakan tidak teratur dari suatu trend.
Apabila dalam deret berkala menunjukkan adanya trend maka datanya
tidak disarankan untuk digunakan untuk beberapa analisis hidrologi, misalnya
analisis peluang dan simulasi. Untuk deret berkala yang menunjukkan adanya
trend maka analisis hidrologi harus mengikuti garis trend yang dihasilkan, misal
analisa regresi dan moving average (rata-rata bergerak).
Analisa trend sendiri sebenarnya dapat digunakan untuk menentukan ada atau
tidaknya perubahan dari variabel hidrologi akibat pengaruh manusia atau faktor
alam. Beberapa metode statistik yang dapat digunakan untuk menguji ketiadaan
trend dalam deret berkala antara lain : Spearman-mann and Whitney Cox and
Stuart. Dalam pekerjaan ini metode yang digunakan adalah metode Spearman.
Karena metode Spearman dapat bekerja untuk satu jenis variabel hidrologi saja,
dimana dalam hal ini adalah hujan tahunan atau curah hujan maksimum. Metode
Spearman menggunakan sistem koefisien korelasi peringkat sebagai berikut :

dimana :
KP = koefisien korelasi peringkat Spearman
N = jumlah data
t = selisih  Rt dangan Tt 
Tt = peringkat dari waktu
Rt = peringkat dari variabel hidrologi dalam deret berkala.
T = nilai distribusi t, pada derajat kebebasan (n-2) untuk derajat
kepercayaan tertentu (umumnya 5%)

II-3
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Uji - T digunakan untuk menentukan apakah variabel waktu dan variabel hidrologi
itu saling tergantung (dependent) atau tidak bergantung (independent). Dalam hal
ini yang diuji adalah Tt dan Rt. Berikut ini disampaikan contoh penerapannya.
Tabel 2. 2. Tabel Distribusi Student’s

Sumber : Soewarno, Hidrologi-Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data Jilid II,Tabel I-1Hal 77,
1995

2.2.3. Uji Stationer


Setelah dilakukan pengujian ketidak-adaan trend. Apabila deret berkala tersebut
tidak menunjukan adanya trend sebelum data trend berkala digunakan analisis
lanjutan harus dilakukan uji stasioner. Apabila menunjukkan adanya trend maka
deret berkala tersebut dapat dilakukan analisis menurut garis trend yang
dihasilkan. Analisis garis trend dapat menggunakan analisis regresi. Model
matematik yang digunakan untuk analisis regresi tergantung dari kecenderungan
garis trend yang dihasilkan.
Apabila menunjukkan tidak ada garis trend maka uji stasioner dimaksudkan untuk
menguji kestabilan nilai varian dan rata-rata dari deret berkala.

II-4
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Pengujian nilai varian dari deret berkala dapat dilakukan dengan Uji-F,
menggunakan persamaan dibawah. Data deret berkala dibagi menjadi dua
kelompok atau lebih, setiap dua kelompok atau lebih, setiap dua kelompok diuji
menggunakan Uji-F. Apabila hasil pengujian hipotesis nol ditolak, berarti nilai
varian tidak stabil atau tidak homogen berarti deret berkala yang nilai variannya
tidak homogen tersebut tidak stasioner, dan tidak perlu melakukan pengujian
lanjutan.

F=

Akan tetapi bila hipotesis nol untuk nilai varian tersebut menunjukan stasioner,
maka pengujian selanjutnya adalah menguji kestabilan nilai rata-ratanya. Untuk
rata-rata deret berkala bila datanya dianggap sebuah populasi maka dapat
dilakukan pengujian menggunakan Uji-t. Seperti dalam pengujian kestabilan nilai
varian, maka dalam pengujian nilai rata-rata, data deret berkala dibagi menjadi
dua kelompok atau lebih. Setiap pasangan dua kelompok diuji. Apabila dalam
pengujian ternyata hipotesis nol ditolak, berarti nilai rata-rata dua kelompok tidak
homogen dan deret berkala tersebut tidak stasioner pada derajat keperayaan
tertentu.

2.2.4. Uji Persistensi


Anggapan bahwa data berasal dari sampel acak (random) haruslah diuji, yang
umumnya merupakan persyaratan dalam analisis distribusi peluang. Persistensi
(persistence) adalah ketidaktergantungan dari setiap nilai dalam deret berkala.
Untuk melaksanakan pengujian persistensi harus dihitung besarnya koefisien
korelasi serial. Salah satu metode untuk menentukan koefisien korelasi serial
metode Spearman dapat dirumuskan sebagai berikut :

Dimana:
Ks = koefisien korelasi peringkat Spearman
n = jumlah data
m = n-1
i = selisih  peringkat t
Tt = peringkat dari waktu
Rt = peringkat dari variabel hidrologi dalam deret berkala.

II-5
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

T = nilai hitung uji T

2.2.5. Uji Inlier-Outlier


Outlier adalah data yang menyimpang cukup jauh dari trend kelompoknya.
Keberadaan outlier biasanya mengganggu pemilihan jenis distribusi suatu sampel
data, sehingga outlier ini perlu dibuang. Untuk estimasi CMB, outlier bawah dapat
langsung dibuang namun outlier atas harus dipertimbangkan masak-masak.
Tabel 2. 3. Nilai Kn untuk Uji Inlier-Outlier

Sumber: Panduan Perencanaan Bendungan Urugan, Departemen


Pekerjaan Umum, Tabel 2.2 Hal. 8, 1999

Dimana:
XH = Nilai Ambang Atas
XL = Nilai Ambang Bawah
x = Nilai Rata-rata
S = Simpangan Baku
Kn = Besaran yang Tergantung pada Jumlah Sampel Data (lihat tabel)

2.3. ANALISA HUJAN RANCANGAN

Untuk mengetahui curah hujan rancangan dalam perhitungannya, dapat dilakukan


dengan menggunakan metode Analisis Distribusi Frekwensi sebagai berikut :
 EJ. Gumbel Type 1,
 Metode Log Pearson Type III,
 Metode Log Normal dan

II-6
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

 Metode Normal.
Secara sistematis perhitungan hujan rancangan ini dilakukan secara berurutan
sebagai berikut.
1. Penentuan Parameter Statistik
2. Pemilihan Jenis Sebaran
3. Perhitungan Hujan Rancangan

2.3.1. Penentuan Parameter Statistik


Parameter yang digunakan dalam perhitungan analisis frekuensi meliputi
parameter nilai rata-rata (X bar), simpangan baku (Sd), koefisien variasi (Cv)
koefisien kemiringan (Cs) dan koefisien kurtosis (Ck).
Perhitungan parameter tersebut didasarkan pada data catatan tinggi hujan harian
maksimum tahun-tahun terakhir dan untuk memudahkan perhitungan maka
proses analisisnya dilakukan secara matriks dengan menggunakan tabel.
Sementara untuk memperoleh harga parameter statistik dilakukan perhitungan
dengan rumus dasar sebagai berikut.
Lima parameter statistik di atas akan menentukan jenis agihan yang akan
digunakan dalam analisis frekuensi.
Nilai Rata-rata (X bar)

Nilai Simpangan Baku (Sd)

Koefisien Variasi (Cv)

Koefisien Kemiringan (Cs)

Koefisien Kurtosis (Ck)

II-7
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Dimana :
x = Nilai Rata-rata
S = Standar Deviasi
x1, x2,.....,xn = Nilai x ke….
n = Jumlah data

Pemilihan Jenis Sebaran


Penentuan jenis sebaran akan digunakan untuk analisis frekuensi dilakukan
dengan beberapa asumsi sebagai berikut.
 Jenis sebaran Normal, apabila Cs = 0 dan Ck = 3
 Jenis sebaran Log Normal, apabila Cs (lnx) = 0 dan Ck (lnx) = 3
 Jenis sebaran Pearson type III, apabila Cs > 0 dan Ck = 1,5 Cs 2 +3
 Jenis sebaran Log Pearson type III, apabila Cs (lnx) > 0 dan
 Ck (lnx) = 1½(Cs (Lnx)2)2 +3
 Jenis sebaran Gumbel, apabila Cs = 1,14 dan Ck = 5,40
Dari parameter statistik yang ada, apabila tidak dapat memenuhi kondisi untuk
kelima jenis agihan atau sebaran seperti tersebut di atas maka selanjutnya dipilih
yang paling mendekati.

Perhitungan Hujan Rancangan


Analisa curah hujan rancangan atau distribusi frekuensi ini dimaksudkan untuk
mendapatkan besaran curah hujan rancangan yang ditetapkan berdasarkan
patokan perancangan tertentu. Untuk keperluan analisa ditetapkan curah hujan
dengan periode ulang 5, 10, 20, 25, 50, 100, 200, 500 dan 1000 tahun.

Analisa Distribusi Frekuensi E.J Gumbel Type I


Metode E.J. Gumbel Type I dengan persamaan sebagai berikut :
X = Xr + K.Sx

II-8
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

dengan :
X = Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rancangan
untuk periode ulang pada T tahun.
Xr = Harga rerata dari data
Sx = Standart deviasi
K = Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang
YT = Reduced variate sebagai fungsi periode ulang T
= - Ln [ - Ln (T - 1)/T]
Yn = Reduced mean sebagai fungsi dari banyaknya data n
Sn = Reduced standart deviasi sebagai fungsi dari banyaknya data n
T = Kala ulang (tahun)

Dengan mensubstitusikan ketiga persamaan diatas diperoleh :

Jika :
(1/a) = (Sx/Sn)
b = X - (Sx/Sn)Yn
Persamaan diatas menjadi :
XT = b + (1/a). YT
Dengan :
XT = Debit banjir dengan kala ulang T tahun
YT = Reduced variate

Analisa Distribusi Frekuensi Log Pearson Type III


Persamaan yang digunakan adalah :
Nilai rerata :
=

Standar Deviasi :

dimana :
X = curah hujan (mm)

II-9
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

= rerata Log X
K = faktor frekuensi
Tabel 2. 4. Faktor Frekuensi Log Pearson Type III Koefisien Asimetri Cs
Koefisien Kala Ulang
Skewness 1,01 1,05 1,11 1,25 2 5 10 20 25 50 100 200 1000
(Cs)
99 95 90 80 50 20 10 5 4 2 1 0,5 0,1
1,0 -1,588 -1,317 -1,128 -0,852 -0,164 0,758 1,340 1,809 2,043 2,542 3,022 3,489 4,540
0,9 -1,660 -1,353 -1,147 -0,854 -0,148 0,769 1,339 1,792 2,018 2,498 2,957 3,401 4,395
0,8 -1,733 -1,388 -1,166 -0,856 -0,123 0,780 1,336 1,774 1,993 2,453 2,891 3,312 4,250
0,7 -1,806 -1,423 -1,183 -0,857 -0,166 0,790 1,333 1,756 1,967 2,407 2,824 3,223 4,105
0,6 -1,880 -1,458 -1,200 -0,857 -0,099 0,800 1,328 1,735 1,939 2,359 2,755 3,132 3,960
0,5 -1,955 -1,491 -1,216 -0,856 -0,083 0,808 1,323 1,714 1,910 2,311 2,686 3,041 3,815
0,4 -2,029 -1,524 -1,231 -0,855 -0,066 0,816 1,317 1,692 1,880 2,261 2,615 2,949 3,670
0,3 -2,104 -1,555 -1,245 -0,853 -0,050 0,824 1,309 1,669 1,849 2,211 2,544 2,856 3,525
0,2 -2,175 -1,586 -1,258 -0,850 -0,033 0,830 1,301 1,646 1,818 2,159 2,472 2,763 3,380
0,1 -2,252 -1,616 -1,270 -0,846 -0,017 0,836 1,292 1,621 1,785 2,107 2,400 2,670 3,235
0,0 -2,326 -1,645 -1,282 -0,842 0,000 0,842 1,282 1,571 1,715 2,054 2,326 2,576 3,090
-0,1 -2,400 -1,673 -1,292 -0,842 0,017 0,846 1,270 1,567 1,716 2,000 2,252 2,484 3,950
-0,2 -2,472 -1,700 -1,301 -0,836 0,033 0,850 1,258 1,539 1,680 1,945 2,178 2,388 2,810
-0,3 -2,544 -1,726 -1,309 -0,830 0,050 0,853 1,245 1,510 1,643 1,890 2,104 2,294 2,675
-0,4 -2,615 -1,750 -1,317 -0,824 0,066 0,855 1,231 1,481 1,606 1,834 2,029 2,207 2,540
-0,5 -2,686 -1,774 -1,323 -0,816 0,083 0,856 1,216 1,450 1,567 1,777 1,955 2,108 2,400
-0,6 -2,755 -1,797 -1,328 -0,808 0,099 0,857 1,200 1,419 1,528 1,720 1,880 2,016 2,275
-0,7 -2,824 -1,819 -1,333 -0,800 0,116 0,857 1,183 1,386 1,488 1,663 1,806 1,926 2,150
-0,8 -2,891 -1,839 -1,336 -0,790 0,132 0,856 1,166 1,354 1,448 1,606 1,733 1,837 2,035
-0,9 -2,957 -1,858 -1,339 -0,780 0,148 0,854 1,147 1,320 1,407 1,549 1,660 1,749 1,910
-1,0 -3,022 -1,877 -1,340 -0,769 0,164 0,852 1,128 1,287 1,366 1,492 1,588 1,664 1,800

Sumber: Hidrologi, Sri Harto BR, Tabel 9.4 Hal. 276, 2009.

2.3.2. Uji Kesesuaian Distribusi


Pemeriksaan uji kesesuaian ini dimaksudkan untuk mengetahui suatu kebenaran
hipotesa distribusi frekuensi.Dengan pemeriksaan uji ini akan diketahui :
1. Kebenaran antara hasil pengamatan dengan model distribusi yang
diharapkan atau yang diperoleh secara teoritis
2. Kebenaran hipotesa diterima atau ditolak
Uji Smirnov Kolmogorov
Uji kesesuaian Smirnov Kolmogorov, sering juga disebut uji kecocokan non
parametrik (non parametric test), karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi
distribusi tertentu. (Soewarno, 1995 : 198).
Prosedurnya adalah sebagai berikut :
1. Mengurutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan juga besarnya
peluang dari masing-masing data tersebut

II-10
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

2. Menentukan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran


data (persamaan distribusinya)
3. Dari kedua nilai peluang ditentukan selisih terbesarnya antara peluang
pengamatan dengan peluang teoritis
4. Berdasarkan tabel nilai kritis Smirnov Kolmogorov Test, bisa ditentukan
harga Do
Apabila D lebih kecil dari Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk
menentukan persamaan distribusi dapat diterima, apabila D lebih besar dari Do
maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi
tidak dapat diterima.
Tabel 2. 5. Nilai kritis Do untuk uji Smirnov-Kolmogorov
a
N
0.2 0.1 0.05 0.01
5 0.45 0.51 0.56 0.67
10 0.32 0.37 0.41 0.49
15 0.27 0.30 0.34 0.40
20 0.23 0.26 0.29 0.36
25 0.21 0.24 0.27 0.32
30 0.19 0.22 0.24 0.29
35 0.18 0.20 0.23 0.27
40 0.17 0.19 0.21 0.25
45 0.16 0.18 0.2 0.24
50 0.15 0.17 0.19 0.23
N>50 1,07/(N0,5) 1,22/(N0,5) 1,36/(N0,5) 1,63/(N0,5)
Sumber: Hidrologi Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data Jilid 1, Soewarno, Tabel
3.42, Hal. 199, 1995

Metode Chi-Kuadrat
Pada penggunaan Uji Smirnov-Kolmogorov, meskipun menggunakan perhitungan
metematis namun kesimpulan hanya berdasarkan bagian tertentu (sebuah variat)
yang mempunyai penyimpangan terbesar, sedangkan uji Chi-Kuadrat menguji
penyimpangan distribusi data pengamatan dengan mengukur secara metematis
kedekatan antara data pengamatan dan seluruh bagian garis persamaan distribusi
teoritisnya.
Uji Chi-Kuadrat dapat diturunkan menjadi persamaan sebagai berikut :

Dimana :
X2 = harga Chi-Kuadrat
Ef = frekuensi (banyaknya pengamatan) yang diharapkan, sesuai dengan
pembagian kelasnya
Of = frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama

II-11
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Nilai X2 yang terhitung ini harus lebih kecil dari harga X2cr (dari tabel).
Derajat kebebasan ini secara umum dapat dihitung dengan :
DK = K – (h + 1)
Dimana :
DK = derajat kebebasan
K = banyaknya kelas
h = banyaknya keterikatan atau sama dengan banyaknya parameter, yang
untuk sebaran Chi-Kuadrat adalah sama dengan 2 (dua).

Tabel 2. 6. Nilai Kritis Untuk Distribusi Chi-Kuadrat


a derajat kepercayaan
dk
0.995 0.99 0.975 0.95 0.05 0.025 0.01 0.005
1 0.0000393 0.000157 0.000982 0.00393 3.841 5.024 6.635 7.879
2 0.0100 0.0201 0.0506 0.103 5.991 7.378 9.210 10.597
3 0.0717 0.115 0.216 0.352 7.815 9.348 11.345 12.838
4 0.207 0.297 0.484 0.711 9.488 11.143 13.277 14.860
5 0.412 0.554 0.831 1.145 11.070 12.832 15.086 16.750

6 0.676 0.872 1.237 1.635 12.592 14.449 16.812 18.548


7 0.989 1.239 1.690 2.167 14.067 16.013 18.475 20.278
8 1.344 1.646 2.180 2.733 15.507 17.535 20.090 21.955
9 1.735 2.088 2.700 3.325 16.919 19.023 21.666 23.589
10 2.156 2.558 3.247 3.940 18.307 20.483 23.209 25.188

11 2.603 3.053 3.816 4.575 19.675 21.920 24.725 26.757


12 3.074 3.571 4.404 5.226 21.026 23.337 26.217 28.300
13 3.565 4.107 5.009 5.892 22.362 24.736 27.688 29.819
14 4.075 4.660 5.629 6.571 23.685 26.119 29.141 31.319
15 4.601 5.229 6.262 7.261 24.996 27.488 30.578 32.801

16 5.142 5.812 6.908 7.962 26.296 28.845 32.000 34.267


17 5.697 6.408 7.564 8.672 27.587 30.191 33.409 35.718
18 6.265 7.015 8.231 9.390 28.869 31.526 34.805 37.156
19 6.844 7.633 8.907 10.117 30.144 32.852 36.191 38.582
20 7.434 8.260 9.591 10.851 31.410 34.170 37.566 39.997

21 8.034 8.897 10.283 11.591 32.671 35.479 38.932 41.401


22 8.643 9.542 10.982 12.338 33.924 36.781 40.289 42.796
23 9.260 10.196 11.689 13.091 36.172 38.076 41.638 44.181
24 9.886 10.856 12.401 13.848 36.415 39.364 42.980 45.558
25 10.520 11.524 13.120 14.611 37.652 40.646 44.314 46.928

26 11.160 12.198 13.844 15.379 38.885 41.923 45.642 48.290


27 11.808 12.879 14.573 16.151 40.113 43.194 46.963 49.645
28 12.461 13.565 15.308 16.928 41.337 44.461 48.278 50.993
29 13.121 14.256 16.047 17.708 42.557 45.722 49.588 52.336
30 13.787 14.953 16.791 18.493 43.773 46.979 50.892 53.672

Sumber: Hidrologi Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data Jilid 1, Soewarno, Tabel III-7,
Hal. 222, 1995

Untuk mengetahui suatu kebenaran hipotesa distribusi frekuensi, maka dilakukan


pemeriksaan uji kesesuaian distribusi, dalam hal kajian ini dapat memakai dua
metode uji yaitu uji Smimov Kolmogorov dan uji Chi- square.

II-12
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

2.3. ANALISA DEBIT ANDALAN

Debit andalan (dependable flow) adalah debit minimum sungai untuk


kemungkinan terpenuhi yang sudah ditentukan yang dapat dipakai untuk berbagai
kebutuhan (irigasi, air baku dan lain-lain).
Besarnya debit andalan yang diambil untuk mengoptimalkan penggunaan air di
beberapa macam proyek adalah sebagai berikut :
Tabel 2. 7. Probabilitas Debit Andalan untuk Berbagai Kegunaan
Kegunaan Probabilitas
1. Penyediaan air minum 90 - 95 %
2. Penyediaan air indutri 95 – 98 %
3. Penyediaan air irigasi untuk
- Daerah iklim setengah lembab 75 – 85 %
- Daerah iklim kering 80 – 95 %
4. Pembangkit listrik tenaga air 85 – 90 %
Sumber : (CD.Soemarto,1986:214)

Adapun metode perhitungan debit andalan untuk pekerjaan ini menggunakan


metode MOCK.
Curah hujan rerata bulanan di daerah pengaliran sungai dihitung berdasarkan
data pengukuran curah hujan dan evapotranspirasi, kelembaban tanah dan
tampungan air tanah, yang sebenarnya dari data meteorologi (metode Penman)
dan karakteristik vegetasi. Perbedaan antara curah hujan dan evapotranspirasi
mengakibatkan limpasan air hujan langsung (direct run off), aliran dasar (air
tanah) dan limpasan air hujan lebat (storm run off).

Metodologi
Pada metode Mock ini, untuk setiap bulannya pertama-tama dihitung
penyimpangan kelembaban tanah (soil moisture storage = SMS) pada akhir bulan.
Jika SMS akhir lebih besar dari kelembaban tanah (soil moisture capacity = SMC),
maka akan ada kelebihan air (Water Surplus = WS). Dan jika SMS akhir lebih kecil
dari SMC, maka WS = 0. Walaupun tidak terjadi kelebihan air (WS = 0), aliran
langsung tetap dapat terjadi akibat limpasan hujan lebat (storm run off). Besarnya
aliran dan penyimpanan air tanah (ground water storage) diperoleh dengan
menghitung infiltrasi dari volume penyimpanan, dimana faktor infiltrasi (I), resesi
aliran tanah (k) dan aliran hujan lebat (PF) ditentukan.

Evapotranspirasi Terbatas
Curah hujan bulanan (P) dalam mm dan jumlah hari hujan (n) yang terjadi pada
bulan yang bersangkutan.
Evapotranspirasi terbatas adalah evapotranspirasi aktual dengan
mempertimbangkan kondisi vegetasi dan permukaan tanah serta frekuensi curah
hujan.
E = Ep * (d/30) * m

II-13
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

dengan :
E = Perbedaan antara evapotranspirasi potensial dengan evapo-
transpirasi terbatas.
Ep = Evapotranspirasi potensial
d = Jumlah hari kering atau tanpa hujan dalam 1 bulan
m = Prosentase lahan yang tak tertutup vegetasi, ditaksir dari peta tata
guna tanah
m = 0 % untuk lahan dengan hutan lebat
m = 0 % pada akhir musim hujan, dan bertambah 10 % setiap bulan
kering untuk lahan denga hutan sekunder
m = 10 - 40 % untuk lahan yang tererosi
m = 30 - 50 % untuk lahan pertanian yang diolah (misal sawah, ladang)
Berdasarkan frekuensi curah hujan di Indonesia dan sifat infiltrasi dan penguapan
dari tanah permukaan di dapat hubungan :
d = 1,5 (18 - n) atau d = 27- 1,5n
n = jumlah hari hujan dalam sebulan
Sehingga dari kedua persamaan diperoleh :
E/Ep = (m/20)(18-n)
Et = Ep - E
Et = Evapotranspirasi terbatas
Soil surplus adalah volume air yang masuk ke permukaan tanah.
Soil surplus = (P - Et) - soil storage, dan = 0 jika defisit (P - Et) > dari soil storage.
Initial storage adalah volume air pada saat permulaan mulainya. Diperkirakan
sesuai dengan keadaan musim, seandainya musim hujan bisa sama dengan soil
moisture capacity dan lebih kecil dari pada musim kemarau.

Keseimbagan Air di Permukaan Tanah


Air hujan yang mencapai permukaan tanah dapat dirumuskan sebagai berikut :
s = P – Et
Bila harga s positif (P > Et), maka air akan masuk kedalam tanah bila kapasitas
kelembaban tanah belum terpenuhi, dan sebaliknya akan melimpas bila kondisi
tanah jenuh.
Bila harga s negatif (P < Et), sebagian air tanah akan keluar dan terjadi
kekurangan (defisit).
Perubahan kandungan air tanah (Soil Storage) tergantung dari harga s.

II-14
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Bila harga s negatif, maka kapasitas kelembaban tanah akan berkurang dan bila
harga s positif akan menambah kekurangan kapasitas kelembaban tanah bulan
sebelumnya.
Kapasitas kelembaban tanah (Soil Moisture Capacity)
Perkiraan kapasitas kelembaban tanah awal diperlukan pada saat dimulainya
simulasi, dan besarnya tergantung dari kondisi porositas lapisan tanah atas
daerah pengaliran.
Biasanya diambil 50 s/d 250 mm, yaitu kapasitas kandungan air dalam tanah per
m2. Jika porositas tanah lapisan atas tersebut makin besar, maka kapasitas
kelembaban tanah akan semakin besar pula.
Untuk kapasitas kelembaban tanah (Soil Moisture Capacity) diambil 200 mm.

Aliran dan Penyimpanan Air Tanah (Run Off and Groundwater Storage)
a. Koefisien Infiltrasi (I)
Koefisien infiltrasi ditaksir berdasarkan kondisi porositas tanah dan
kemiringan daerah pengaliran.
Lahan yang porous misalnya pasir halus mempunyai infiltrasi lebih tinggi
dibandingkan tanah lempung berat. Sedangkan lahan yang terjal, dimana air
tidak sempat infiltrasi kedalam tanah, maka koefisien infiltrasi akan kecil.
Batasan koefisien infiltrasi adalah 0 – 1.0
b. Penyimpanan Air Tanah (Groundwater Storage)
Pada permulaan simulasi harus ditentukan penyimpangan awal (initial
storage) yang besarnya tergantung dari kondisi geologi setempat dan waktu,
sebagai contoh: dalam daerah pengaliran kecil, dimana kondisi geologi
lapisan bawah adalah tidak tembus air dan mungkin tidak ada air di sungai
pada musim kemarau, maka penyimpanan air tanah menjadi nol.
Maka untuk permulaan simulasi penyimpanan awal (initial storage) di daerah
aliran sungai Polanggua diambil sebesar 200 mm.
Rumus yang digunakan :

dimana :
Vn = volume air tanah
k = qt/qo = faktor resesi aliran tanah
qt = aliran air tanah pada waktu t (bulan ke-t)
qo = aliran air tanah pada awal (bulan ke-0)
ln = koefisien infiltrasi bulan ke-n
Vn = Vn – Vn-1

II-15
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Vn = perubahan volume aliran air tanah


Vn = volume air tanah bulan ke-n
Vn-1 = volume air tanah bulan ke – (n-1)
Faktor resesi aliran air tanah (k) adalah 0 – 1,0.
Harga k yang tinggi akan memberikan resesi yang lambat seperti pada
kondisi geologis lapisan bawah yang sangat lulus air (permeable).
c. Aliran (Run Off)
Aliran dasar : Infiltrasi dikurangai perubahan
volume aliran air dalam tanah.
Aliran permukaan (langsung) : kelebihan air (water surplus –
infiltrasi)
Aliran : aliran dasar + aliran langsung
Debit Andalan : aliran sungai dinyatakan dalam
m3/bulan

Aliran Hujan Lebat (Storm Run Off)


Selama bulan-bulan kering, dimana intensitas hujan melampaui harga infiltrasi
tanah, sejumlah kecil debit aliran air dalam tanah dapat terjadi akibat hujan lebat
pada bulan basah sebelumnya. Debit aliran ini adalah beberapa persen dari curah
hujan (P) sebelumnya dikurangi evapotranspirasi terbatas (Et) dan akan terlihat
pada debit aliran langsung (Direct Run Off).
Ada beberapa cara untuk menentukan debit andalan, masing-masing cara
mempunyai ciri khas tersendiri. Pemilihan metode yang sesuai umumnya
didasarkan atas pertimbangan data yang tersedia, jenis kepentingan dan
pengalaman. Metode-metode untuk analisis debit andalan tersebut antara lain
sebagai berikut :
a. Metode karakteristik aliran (flow characteristic)
Perhitungan debit andalan dengan metode ini antara lain memakai data
yang di dapat berdasarkan karakteristik aliran.
Metode ini umumnya dipakai untuk :
1. Daerah Aliran sungai (DAS) dengan fluktuasi debit maksimum dan
minimumnya relatif besar dari tahun ke tahun.
2. Kebutuhan yang relatif tidak konstan sepanjang tahun.
3. Data yang tersedia cukup panjang.
b. Metode tahun penentu (Basic year)
Penentuan debit andalan dengan menggunakan metode ini antara lain
dengan menentukan suatu tahun tertentu sebagai dasar perencanaan.
c. Metode bulan penentu

II-16
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Metode ini seperti pada karakteristik aliran tetapi bulan tertentu sebagai
dasar perencanaan.
d. Metode Q rata-rata minimum
Penentuan debit andalan dengan metode ini berdasar data debit rata-rata
bulanan yang minimum dari tiap-tiap tahun yang tersedia. Metode ini
biasanya dipakai untuk DAS dengan fluktuasi debit maksimum dan
minimum tidak terlalu besar dari tahun ke tahun. Kebutuhan relatif konstan
sepanjang tahun.
Untuk pengamatan debit juga dianalisis berdasarkan data hujan yang
terjadi di dan sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) tersebut dengan metode
MOCK dengan skema/Bagan Alir sebagai berikut :

Gambar 2.1. Diagram Alir Analisis Metode Mock


Keterangan :
SMC : Kapasitas kelembaban tanah
SMS : Penyimpanan kelembaban tanah
I : Koefisien infiltrasi
k : Faktor resesi aliran air tanah

II-17
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

PF : Faktor aliran hujan lebat


GS : Keseimbangan air tanah

2.4. ANALISA DEBIT BANJIR RENCANA

Analisis debit banjir rancangan mengacu pada SNI 03-3432-1994, Tata Cara
Penetapan Banjir Rencana dan Kapasitas Pelimpah untuk Bendungan. Debit
banjir rancangan untuk perencanaan banjir dihitung dengan kala ulang 2, 5, 10,
25, 50, 100, 1000 tahun dan PMF. Untuk desain pelimpah dihitung dengan kala
ulang 1000 tahun dan PMF (diambil debit yang terbesar). Perhitungan banjir
rancangan dilakukan dengan :
 Metode Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu
 Metode Hidrograf Satuan Gama 1
 Metode Hidrograf Satuan Soil Conservation Service (SCS)
Distribusi Hujan Jam-jaman
Distribusi hujan (agihan hujan) jam-jaman ditetapkan dengan cara pengamatan
langsung terhadap data pencatatan hujan jam-jaman pada stasiun yang paling
berpengaruh pada DAS. Bila tidak ada maka bisa menirukan perilaku hujan jam-
jaman yang mirip dengan daerah setempat pada garis lintang yang sama.
Distribusi tersebut diperoleh dengan pengelompokan tinggi hujan ke dalam range
dengan tinggi tertentu. Dari data yang telah disusun dalam range tinggi hujan
tersebut dipilih distribusi tinggi hujan rancangan berdasarkan hasil analisis
frekunsi dan frekuensi kemunculan tertinggi pada distribusi hujan jam-jaman
tertentu. Selanjutnya prosentase hujan tiap jam terhadap tinggi hujan total pada
distribusi hujan ditetapkan.
Pada pekerjaan ini distribusi curah hujan akan di analisa menggunakan metode
PSA 007.
Metode PSA 007
Hubungan antara tinggi-durasi hujan untuk durasi 1 hingga 24 jam pada curah
hujan CMB/PMP disajikan pada Tabel 2.8. Sedangkan distribusi hujan untuk
durasi 1 hingga 12 jam dan 1 hingga 24 jam ditabelkan pada PSA-007. Kutipan
kedua tabel tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.9. dan Tabel 2.10.. Bentuk
hubungan tinggi-durasi hujan yang dihasilkan adalah intensitas hujan yang tinggi
pada awal hujan dan berangsur-angsur mengecil selama berlangsungnya hujan.
Di Inggris, agihan hujannya merupakan pola agihan yang lebih rata dan kurang
ekstrim di bagian awal hujannya. Secara normal profil hujan yang digunakan di
Inggris adalah profil yang simetris “berbentuk genta (bell shaped)”.

Tabel 2. 8. Hubungan Antara Durasi Dan Kedalaman Curah Hujan


Maksimum Boleh Jadi (CMB/PMP)

II-18
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Durasi hujan
1 2 3 4 5 6 8 12 16 20 24
(jam)
Persentase curah
34 45 52 60 65 68 75 88 92 96 100
hujan (%)
Sumber : Panduan Perencanaan Bendungan Urugan, Departemen Pekerjaan Umum,
Tabel 3.12 Hal. 38, 1999

Tabel 2. 9. Distribusi Hujan Untuk Durasi 12 Jam


Durasi hujan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
(jam)
Durasi hujan
8 16 25 33 41 50 58 66 75 83 91 100
(%)
Persentase
curah hujan 44 60 68 75 82 88 90 92 94 96 98 100
(%)
Sumber : Panduan Perencanaan Bendungan Urugan, Departemen Pekerjaan Umum,
Tabel 3.13 Hal. 39, 1999

 Penentuan Profil Curah Hujan


Profil curah hujan ditinjau berdasarkan metode pada PSA-007 dan metode
inggris. Diperkirakan hubungan yang ada dalam PSA-007 lebih sesuai untuk
Indonesia, dimana curah hujan paling lebat terjadi di awal hujan. Akan tetapi
agihan Inggris, jika intensitas puncaknya ditempatkan di tengah-tengah
periode hujan dengan profil simetris, akan sedikit memperbesar kenaikan
muka air bendungan.
 Agihan PSA-007 (Intensitas tertinggi di awal)
Profil curah hujan menurut PSA-007 ditunjukkan pada Tabel 2.8, Tabel 2.9
dan Tabel 2.10. Untuk memformulasikan agihan menurut PSA-007 untuk
curah hujan 12 jam dengan interval waktu satu jam, maka setiap jam akan
setara dengan 8,33% durasi hujannya. Dengan menggunakan tabel
hubungan (Tabel 2.10.) maka dapat dijelaskan sebagai berikut :
Setelah satu jam (8,33% durasi), jumlah curah hujan 44% dari totalnya jadi
selama jam ke 1 curah hujan yang terdistribusi adalah 44%. Setelah dua jam
(16,67% durasi), jumlah curah hujan 60% dari totalnya, jadi selama jam ke 2
curah hujan yang terdistribusi adalah 16%. Setelah tiga jam (25% durasi),
jumlah curah hujan 68% dari totalnya jadi pada jam ke 3 curah hujan yang
terdistribusi adalah 8% dan seterusnya seperti yang disajikan pada Tabel
2.10.
Profil curah hujan ini ditunjukkan pada Gambar 2.2. Pemilihan durasi hujan
kritis (Critical Storm Duration), pada prinsipnya tergantung pada luas DPS
dan pengaruh-pengaruh lain seperti luas genangan embung dan konfigurasi
bangunan pelimpah, sehingga untuk setiap embung walaupun memiliki luas
DPS yang sama belum pasti durasi hujan kritisnya sama.
Pemilihan durasi hujan dengan pola distribusinya sangat berpengaruh pada
hasil banjir desain yang diperhitungkan. Curah hujan yang sama yang
terdistribusi dengan dengan curah hujan yang panjang akan menghasilkan

II-19
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

puncak banjir yang lebih rendah dibanding dengan yang terdistribusi dengan
durasi yang pendek.
Bila data hidrograf banjir dari pos duga air otomatis dan data distribusi hujan
jam-jaman dari stasiun hujan otomatis tidak tersedia, pola distribusi hujan
dapat ditetapkan dengan mengacu pada Tabel 4.10 yang diambil dari PSA
007.

Gambar 2.2. Distribusi Hujan 12 Jam


Sumber : PSA 007, Kementerian Pekerjaan Umum
Tabel 2. 10. Intensitas Hujan Dalam % Yang Disarankan PSA 007
Kala
Durasi Hujan
Ulang
Tahun ½ jam ¾ jam 1 jam 2 jam 3 jam 6 jam 12 jam 24 jam
5 32 41 48 59 66 78 88 100
10 30 38 45 57 64 76 88 100
25 28 36 43 55 63 75 88 100
50 27 35 42 53 61 73 88 100
100 26 34 41 52 60 72 88 100
1000 25 32 39 49 57 69 88 100
CMB 20 27 34 45 52 64 88 100
Sumber : Panduan Perencanaan Bendungan Urugan, Departemen Pekerjaan Umum,
Tabel 3.11 Hal. 38, 1999

Untuk mendapatkan curah hujan kritis selanjutnya sesuai dengan PSA 005,
distribusi hujan disusun dalam bentuk genta, dimana hujan tertinggi
ditempatkan di tengah, tertinggi kedua di sebelah kiri, tertinggi ketiga di
sebelah kanan dan seterusnya.
Gambar 2.3 memperlihatkan distribusi hujan dengan durasi 12 jam yang
telah disusun dalam bentuk genta. Tabel 4.9 memperlihatkan total CMB
dalam % untuk durasi 24, 48 dan 72 jam.

II-20
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Gambar 2.3. Distribusi Hujan Dengan Durasi 12 Jam Dalam Bentuk Genta
Sumber : PSA 007, Kementerian Pekerjaan Umum

Tabel 2. 11. Total Curah Hujan Maksimum Boleh Jadi Dalam % Untuk
Durasi 24, 48 dan 72 Jam
Durasi hujan (jam) 24 48 72
Curah hujan % 100 150 175
Sumber : Panduan Perencanaan Bendungan Urugan, Departemen Pekerjaan Umum,
Tabel 3.14 Hal. 39, 1999

 Faktor Kehilangan Horton


Selama hujan turun, sebagian dari hujan akan meresap ke dalam tanah dan
sebagian lagi akan mengalir ke permukaan. Besarnya kehilangan hujan
sesuai didistribusikan sukar untuk diperkirakan dengan teliti, sebagai
pendekatan digunakan Metode Horton atau persamaan Horton.
Menurut Horton, kehilangan hujan akan berupa kurve eksponensial.
Sebagian besar jumlah hujan yang meresap akan mengakibatkan kawasan
unsaturated sub-surface menjadi cepat penuh. Akibatnya besarnya resapan
berkurang sesuai dengan rumus sebagai berikut:
Fp = fc + ( fo-fc) e –kt
dimana :
fo = kapasitas infiltrasi permulaan yang tergantung dari hujan
sebelumnya, dapat diperkirakan 50 – 80% dari curah hujan total
fc = harga akhir dari infiltrasi
fp = kapasitas infiltrasi pada waktu t ( mm )
k = konstanta yang tergantung tekstur tanah
t = waktu sejak hujan mulai

II-21
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Gambar 2.4. Grafik Metode Horton

Tabel 2. 12. Nilai fc


No. Group Tanah fc ( in/hr ) Fc ( mm/hr )

1 High ( sandy soil ) 0.50 – 1.00 12.50 – 25.00


2 Intermediate ( loam, clay, silt) 0.10 – 0.50 2.50 – 12.50
3 Low ( clay, clay loam ) 0.01 – 0.10 0.25 – 2.50

Sumber: Hydrology ( forth edition ), warren viessman, Jr.

Tabel 2. 13. Cover Faktor ( k )

No. Cover Cover faktor


1 Permanent Forest and Good ( 1 in. humus ) 3.0-7.5
grass
Medium ( ¼ - 1 in. humus) 2.0-3.0
Poor ( < ¼ in. humus ) 1.2-1.4
Good 2.5-3.0
2 Medium 1.6-2.0
Close-growing crops
Poor 1.1-1.3
Good
1.3-1.5
Medium
3 1.1-1.3
Row crops Poor
1.0-1.1
Sumber: Hydrology ( forth edition ), warren viessman, Jr.

II-22
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Tabel 2. 14. Nilai Nilai Yang Mewakili Harga K, fc Dan fo Untuk Jenis Tanah
Yang Berbeda
Type tanah Fo fc k
Pertanian gundul 280 6 - 22 1,6
Standar berumput 900 20 - 29 0,8
Tanah gemuk/gambut 325 2 - 20 1,8
Lempung gundul berpasir 210 2 - 25 2,0
Halus berumput 670 10 - 30 1,4

Sumber : PSA 007, Kementerian Pekerjaan Umum

Contoh hasil perhitungan distribusi hujan jam-jaman menggunakan metode


PSA 007 dengan durasi hujan 12 jam adalah sebagai berikut:
Tabel 2. 15. Pola Distribusi Hujan Jam-jaman PSA
Rasio Kumulatif
No Jam ke
[%] [%]
1 1.0 2.0 2.0
2 2.0 2.0 4.0
3 3.0 6.0 10.0
4 4.0 7.0 17.0
5 5.0 16.0 33.0
6 6.0 44.0 77.0
7 7.0 8.0 85.0
8 8.0 7.0 92.0
9 9.0 2.0 94.0
10 10.0 2.0 96.0
11 11.0 2.0 98.0
12 12.0 2.0 100.0
Sumber : PSA 007, Kementerian Pekerjaan Umum

Distribusi Hujan

50
44.0
45
Prosentase Hujan (%)

40
35
30
25
20 16.0
15
10 7.0 8.0 7.0
6.0
5 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
waktu ( jam )

Gambar 2. 5. Pola Distribusi Hujan 12 Jam

II-23
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

 Hujan Netto (Efektif)


Hujan netto adalah bagian hujan total yang menghasilkan limpasan
langsung (direct run-off). Limpasan langsung ini terdiri atas limpasan
permukaan (surface run-off) dan interflow (air yang masuk ke dalam lapisan
tipis dibawah permukaan tanah dengan permeabilitas rendah, yang keluar
lagi ditempat yang lebih rendah dan berubah menjadi limpasan permukaan).
Dengan menganggap bahwa proses tranformasi hujan menjadi limpasan
langsung mengikuti proses linier dan tidak berubah oleh waktu, maka hujan
netto (Rn) dapat dinyatakan sebagai berikut :
Rn = C x R
dengan:
Rn = hujan netto (efektif)
C = koefisien limpasan
R = intensitas curah hujan

2.4.1. Metode Rasional


Persamaan Rasional dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa curah hujan
yang terjadi mempunyai intensitas seragam dan merata di seluruh daerah
pengaliran selama paling sedikit sama dengan waktu konsentrasi (t) (Suripin,
2004). Persamaan Rasional adalah sebagai berikut :
Q = C. I . A
Untuk kepentingan kepraktisan dalam penentuan satuan, maka :
Qp = 0.278 . C . I . A
Dimana :
Qp = debit puncak (m3/det)
C = koefisien limpasan
I = Intensitas hujan dengan durasi sama dengan waktu konsentrasi
banjir (mm/jam)
A = luas daerah aliran sungai (km2)

Koefisien Aliran Permukaan ( C )


Merupakan suatu harga rasio antara aliran permukaan dengan intensitas hujan
untuk suatu daerah tangkapan tertentu. Pada kenyataannya, koefisien ini
dihitung dari besarnya hambatan atau kehilangan dari curah hujan sehingga
menjadi aliran permukaan. Besarnya kehilangan ini tergantung pada kondisi
vegetasi, infiltrasi, kolam–kolam permukaan dan evapotranspirasi. Harga
koefisien limpasan (C) dapat dilihat pada tabel.

II-24
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Tabel 2. 16. Koefisien Limpasan (C)

Waktu Konsentrasi (Tc)


Yang dimaksud dengan waktu konsentrasi ialah waktu perjalanan yang
diperlukan oleh air dari tempat yang paling jauh (hulu DAS) sampai ke titik
pengamatan aliran air (Outlet) (Imam Subarkah, 1978).

Dimana :
Tc = Waktu konsentrasi (m)
L = Panjang sungai/lereng (m)
S = Kemirimgan lereng (m/m)
Intensitas Hujan ( I )
Yang dimaksud dengan Intensitas Hujan adalah tinggi curah hujan dalam
periode tertentu yang dinyatakan dalam mm/jam. Untuk menentukan besar
intensitas hujan dipergunakan rumus Mononobe (Joesron Loebis,1992) yaitu:

Dimana :
I = Intensitas hujan (mm/jam)
R24 = Curah hujan harian maksimum (mm)
T = Waktu curah hujan (jam)

2.4.2. Metode Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu


Terdapat beberapa parameter-parameter daerah aliran sungai yang diperlukan
untuk membuat hidrograf sintetik. Adapun parameter daerah aliran sungai
meliputi :
1. Waktu konsentrasi untuk mengetahui waktu mulai hujan dari pusat hujan
pada hietograf hingga mulai kenaikan air bankir,
2. Waktu untuk mencapai puncak hidrograf,

II-25
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

3. Waktu dasar (time base) hidrograf yaitu waktu yang diperlukan dari mulai
banjir hingga akhir waktu banjir,
4. Panjang sungai utama,
5. Kemiringan daerah aliran sungai,
6. Luas daerah aliran sungai,
7. Koefisien aliran dan sebagainya.
Hidrograf satuan sintetik Nakayasu (Shynthetic Unit Hydrograph DR. Nakayasu),
telah membuat rumus hidrograf satuan sintetik Nakayasu sebagai berikut:

dimana:
Qp = debit puncak banjir (m3/detik)
Ro = hujan satuan (mm)
Tp = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T0.3 = waktu yang diperlukan penurunan debit, dari debit puncak sampai
30% dari debit puncak (jam)
Nilai tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir Tp, dihitung
dengan persamaan:
Tp = tg + 0.8 tr
Dimana:
tg = waktu konsentrasi (jam)
Untuk L < 15 km nilai tg = 0.21 L0.7
Untuk L > 15 km nilai tg = 0.4 + 0.058 L
tr = waktu hujan efektif (jam)
tr = 0.50tg sampai tg (jam)
waktu yang diperlukan penurunan debit T0.3 dihitung dengan persamaan :
T0.3 = α x tg
Nilai α merupakan faktor koefisien yang ditetapkan berdasarkan bentuk hidrograf
banjir yang terjadi pada daerah aliran sungai.
- Untuk daerah aliran α = 2.0
- Untuk bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian menurun yang cepat α
= 1.5
- Untuk bagian naik hidrograf yang cepat dan bagian menurun yang lambat α
= 3.0
Namun tidak tertutup kemungkinan untuk mengambil harga  yang bervariasi
guna mendapatkan hidrograf yang sesuai dengan hasil pengamatan.

II-26
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Bagian lengkung naik (rising limb) hidrograf satuan mempunyai persamaan:


Tp ≤ t ≤ Tp ≤ T0.3

Tp + T0.3 ≤ t ≤ Tp ≤ T0.3 + 1.5 T0.3

t ≥ Tp + T0.3 + 1.5 T0.3

Berdasarkan persamaan tersebut diatas maka segmen hidrograf satuan sintetik


Nakayasu dapat dilihat pada gambar dibawah:

Gambar 2.6. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu


Sumber: (Aplikasi Hidrologi, Dr.Ir.Drs. Nugroho Hadisusanto, Dipl.H.)

2.4.3. Metode Hidrograf Satuan Sintetik Soil Conservation Services (SCS)


Metode hidrograf satuan sintetik tidak berdimensi ini dikembangkan berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh The US Soil Conservation Service (SCS) pada
tahun 1972. Dimana ordinat debit diekspresikan sebagai rasio antara debit q
dengan debit puncak qp dan absis waktu diekspresikan sebagai rasio waktu t
dengan waktu puncak tp, dimana waktu Tp dapat diekspresikan sebagai bagian
dari waktu puncak tp dan lamanya hujan efektif tr, rumus tersebut juga
merupakan bagian notasi pada rumus hidrograf satuan sintetik Snyder’s,

Apabila ditetapkan rasio debit dengan debit puncak (q/qp) = 1.0 dan rasio waktu
dengan waktu puncak (t/tp) = 1.0 maka koordinat hidrograf satuan sintetik SCS
tidak berdimensi dapat diberikan seperti pada tabel 4.50, dimana tabel tersebut
juga dapat digunakan untuk pengembangan ordinat dan absis pada hidrograf
satuan sintesis Snyder’s.

II-27
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Berdasarkan review dari hasil beberapa penelitian hidrograf satuan, The US Soil
Conservation Service (SCS) memberikan saran bahwa waktu resesi (time of
recession) dapat diperkirakan sebesar 1.67 tp, ini dimaksudkan agar volume
hidrograf satuan sama dengan 1 cm aliran langsung, sehingga dapat dibuat
persamaan sebagai berikut:

Dimana:
qp = debit puncak (m3/detik)
C = nilai koefisien (2.08)
A = luas daerah aliran sungai (km2)
Pada penelitian hidrograf satuan untuk sejumlah daerah aliran sungai di
perkotaan yang besar maupun yang kecil, dapat diindikasikan bahwa waktu
tenggang (lag time) tp ≈ 0.60 Tc, dimana Tc = waktu konsentrasi.
Lama waktu kelambatan (lag time):
tp = 0,6 Tc
dimana:
tp = waktu kelambatan yaitu waktu antara titik berat curah hujan hingga
puncak hidrograf (jam)
Tc = waktu konsentrasi yang dapat dihitung dengan rumus KIRPICH
(1940)
Tc = 0,01947 L0,77 S-0,385
Tc = waktu konsentrasi (menit)
L = panjang maksimum lintasan air (m)
S = kemiringan (slope) DPS =H/L
H = perbedaan ketinggian antara titik terjauh di DPS dengan tempat
pelepasan (outlet)
Waktu naik (time of rise)

Tp = waktu naik (jam)


tr = lama terjadinya hujan efektif (jam)
tp = waktu kelambatan (jam)
Langkah perhitungan:
1. Ambil durasi hujan tr dari data hujan yang tersedia
2. Hitung waktu konsentrasi tc
3. Hitung lama waktu kelambatan tp

II-28
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

4. Hitung waktu naik Tp


5. Hitung puncak hidrograf satuan qp
6. Hidrograf tak berdimensi dapat diperoleh dengan mengalihkan sumbu
horisontal dengan Tp dan sumbu vertikal dengan qp serta basis hidrograf tb
= 2,67 Tp

2.4.4. Metode Hidrograf Satuan Sintetik Gamma I


Hidrograf Satuan sintetik Gama I dibentuk oleh tiga komponen dasar yaitu waktu
naik (TR), debit puncak (Qp) dan waktu dasar (TB) dengan uraian sebagai berikut.
1. Waktu Naik

TR = 0,43 + 1,0665 SIM + 1,2775

dengan
TR = waktu naik (jam)
L = panjang sungai (km)
SF = faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah panjang
sungai tingkat 1 dengan jumlah panjang sungai semua tingkat
SIM = faktor simetri ditetapkan sebagai hasil kali antara faktor lebar
(WF) dengan luas relatif DAS sebelah hulu (RUA)
WF = faktor lebar adalah perbandingan antara lebar DPS yang diukur
dari titik di sungai yang berjarak ¾ L dan lebar DPS yang di-
ukur dari titik yang berjarak ¼ L dari titik tempat pengukuran
2. Debit Puncak
Qp = 0,1836 A0,5886 JN0,2381TR-0,4008
dengan
TR = waktu naik (jam)
JN = jumlah pertemuan sungai

3. Waktu Dasar
TB = 27,4132 TR0,1457 S-0,0956 SN0,7344 RUA0,2574
Dengan,
TB = waktu dasar (jam)
S = Landai sungai rata-rata
SN = frekuensi sumber yaitu perbandingan antara jumlah segmen
sungai-sungai tingkat 1 dengan jumlah sungai semua tingkat
TR = waktu naik (jam)
RUA = luas DPS sebelah hulu (km2)

II-29
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Sketsa Penetapan WF Sketsa Penetapan RUA

Gambar 2.7. Hidrograf Satuan Sintetik Metode Gamma I

Hujan efektif didapat dengan cara metode  indeks yang dipengaruhi


fungsi luas DAS dan frekuensi sumber SN dirumuskan sebagai berikut.
 = 10,4903 – 3,589.10-6 A2 + 1,6985.10-13 (A/SN)4
Dengan:
 = indeks  (mm/jam)
A = luas DAS (km2)
SN = frekuensi sumber
Waktu konsentrasi atau lama hujan terpusat dirumuskan sebagai berikut.
t = 0,1 L0,9 i-0, 3
dengan:
t = waktu konsentrasi / lama hujan terpusat (jam)
L = panjang sungai (km)
i = kemiringan sungai rata-rata

II-30
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

2.5. ANALISA EROSI LAHAN

Proses erosi bermula dengan terjadinya penghancuran agregat-agregat tanah


sebagai akibat pukulan air hujan yang mempunyai energi lebih besar daripada
daya tahan tanah. Begitu air hujan mengenai kulit bumi, maka secara langsung
hal ini akan menyebabkan hancurnya agregat tanah. Pada keadaan ini,
penghancuran agregat tanah dipercepat dengan adanya daya penghancuran dan
daya urai dari air itu sendiri. Hancuran dari agregat tanah ini akan menyumbat
pori-pori tanah, sehingga kapasitas infiltrasi akan berkurang. Sebagai akibat lebih
lanjut, akan mengalir di permukaan tanah, yang disebut sebagai limpasan
permukaan tanah (run off). Air yang mengalir pada permukaan kulit bumi ini
mempunyai energi untuk mengikis dan mengangkut partikel-partikel yang telah
hancur, baik oleh air hujan maupun oleh adanya limpasan permukaan itu sendiri.
Selanjutnya jika tenaga aliran permukaan sudah tidak mampu lagi untuk
mengangkut bahan-bahan hancuran tersebut, maka bahan yang terangkut akan
diendapkan. Dengan demikian didalam proses erosi akan ada 3 proses yang
bekerja secara berurutan, yaitu penghancuran, pengangkutan dan pengendapan.
Untuk menduga laju erosi dapat digunakan rumus yang umum, yaitu Persamaan
Umum Kehilangan Tanah (PUKT) atau dalam istilah aslinya dikenal dengan
Universal Soil Loss Equation (USLE).).
PUKT ini dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) dimana pengukuran
atau pengamatan dilakukan pada faktor-faktor yang mempengaruhi erosi,
kemudian erosi dihitung dari faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju erosi adalah :
a). Erosivitas Hujan
b). Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)
c). Faktor Erodibilitas Tanah
d). Faktor Pengelolaan Tanah
e). Faktor Pengelolaan dan Konservasi Tanah
f). Pendugaan Erosi Potensial (Epot) dan Erosi Aktual (Eakt)

2.5.1. Metode Analisa Erosi


Penentuan erosi yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) ditentukan dengan
menggunakan model USLE (Universal Soil Loss Equation) yang dikembangkan
oleh Wichmeier dan Smith (1978).
Model ini telah lama dikembangkan oleh USDA dan banyak dipakai secara praktis
untuk mengestimasi besarnya erosi permukaan suatu kawasan. Faktor yang
digunakan meliputi faktor erosivitas hujan, faktor erodibilitas tanah, faktor panjang
dan kemiringan lereng, faktor penutupan lahan dan faktor pengelolaan tanah.
Erosi merupakan hasil perkalian kelima faktor tersebut diatas yang secara
matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

II-31
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

A = R x K x LS x C x P
dimana:
A = Jumlah tanah tererosi (ton/ha/th)
R = Faktor erosivitas hujan
K = Faktor erodibilitas tanah
LS = Faktor panjang dan kemiringan lereng
C = Faktor penutupan lahan
P = Faktor pengelolaan lahan
Cara Penentuan faktor-faktor erosi tersebut adalah sebagai berikut :
2.5.1.1. Erosivitas Hujan (R)

Erosivitas hujan atau faktor hujan dan limpasan, yakni jumlah satuan indeks
erosi hujan yang merupakan perkalian antara energi kinetik hujan total (E)
dengan intensitas hujan maksimal (I30).
Erosivitas hujan ditentukan dengan menggunakan rumus Bols (Utomo,1987) :
Rm = 6,119(Rain)1,21 x (Days)-0,47 x (Max P)0,53
dimana:
Rm = Erosivitas curah hujan bulanan rata-rata (EI30);
Rain = Jumlah curah hujan bulanan rata-rata dalam cm;
Days = Jumlah hari hujan bulanan rata-rata pada bulan tertentu;
Max P = Curah hujan harian rata-rata maksimal pada bulan tertentu dalam
cm.
2.5.1.2. Erodibilitas Tanah (K)

Erodibilitas merupakan ketidaksanggupan tanah untuk menahan pukulan butir-


butir hujan. Tanah yang mudah tererosi pada saat dipukul oleh butir-butir hujan
mempunyai erodibilitas yang tinggi. Erodibilitas dapat dipelajari hanya kalau
terjadi erosi. Erodibilitas dari berbagai macam tanah hanya dapat diukur dan
dibandingkan pada saat terjadi hujan.
Tanah yang mempunyai erodibilitas tinggi akan tererosi lebih cepat, bila
dibandingkan dengan tanah yang mempunyai erodibilitas rendah. Erodibilitas
tanah merupakan ukuran kepekaan tanah terhadap erosi, dan hal ini sangat
ditentukan oleh sifat tanah itu sendiri, khususnya sifat fisik dan kandungan
mineral liatnya.
Faktor kepekaan tanah juga dipengaruhi oleh struktur dan teksturnya, dan
semakin kuat bentuk agregasi tanah dan semakin halus butir tanah, maka
tanahnya tidak mudah lepas satu sama lain sehingga menjadi lebih tahan
terhadap pukulan air hujan.
Erodibilitas tanah dapat dinilai berdasarkan sifat-sifat fisik tanah sebagai berikut :

II-32
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

 Tekstur tanah yang meliputi :


fraksi debu (ukuran 2 - 50 μm)
fraksi pasir sangat halus (50 - 100 μm)
fraksi pasir (100 - 2000 μm)
Kadar bahan organik yang dinyatakan dalam %
 Permeabilitas yang dinyatakan sebagai berikut :
sangat lambat (< 0,12 cm/jam)
lambat (0,125 - 0,5 cm/jam)
agak lambat (0,5 - 2,0 cm/jam)
sedang (2,0 - 6,25 cm/jam)
agak cepat (6,25 - 12,25 cm/jam)
cepat (> 12,5 cm/jam)
 Struktur dinyatakan sebagai berikut :
granular sangat halus = tanah liat berdebu
granular halus = tanah liat berpasir
granular sedang = lempung berdebu
granular kasar = lempung berpasir
 Erodibilitas tanah dapat ditentukan dengan menggunakan rumus :
K = 2,713 M 1,14(10-4)(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3)
100
dimana :
M = (%debu + %pasir sangat halus) (100 - %lempung)
a = bahan organic tanah (%C x 1,724)
b = kode struktur tanah
c = kode permeabilitas tanah
Selain menggunakan rumus di diatas erodibilitas tanah dapat juga ditentukan
dengan menggunakan Nomogram. Nilai K untuk beberapa jenis tanah yang ada
di Indonesia telah dikeluarkan oleh Puslitbang Pengairan, sebagaimana disajikan
pada Tabel 2.17.
Tabel 2. 17. Jenis Tanah dan Nilai Faktor Erodibilitas ( K )
Kode Tipe Tanah Nilai K
1 Tanah Eutropik Organik 0,301
2 Tanah Hidromorphic Alluvial 0,156
3 Tanah abu-abu alluvial 0,259
4 Tanah alluvial cokelat keabu-abuan 0,315

II-33
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Kode Tipe Tanah Nilai K


5 Alluvial abu-abu dan alluvial coklat keabu-abuan 0,193
6 Kompleks tanah alluvial abu-abu dan tanah humic rendah abu-abu 0,205
7 Kompleks tanah alluvial abu-abu dan tanah humic rendah abu-abu 0,202
8 Komplek tanah hidromorphic abu-abu dan planosol cokelat keabu- 0,301
abuan
9 Planosol Cokelat keabu-abuan 0,251
10 Komplek tanah litosol dan tanah mediteran merah 0,215
11 Regosol abu-abu 0,304
12 Komplek regosol abu-abu dan litosol 0,172
13 Regosol cokelat 0,346
14 Regosol cokelat kekuning-kuningan 0,331
15 Regosol abu-abu kekuning-kuningan 0,301
16 Komplek regosol dan litosol 0,302
17 Andosol Cokelat 0,278
18 Andosol Cokelat kekuning-kuningan 0,223
19 Komplek andosol cokelat dan regosol cokelat 0,271
20 Komplek rensinas, litosol dan tanah hutan cokelat 0,157
21 Grumosol abu-abu 0,176
22 Grumosol abu-abu hitam 0,187
23 Komplek grumosol, regosol dan tanah mediteran 0,201
24 Komplek tanah mediteran cokelat dan litosol 0,323
25 Komplek tanah mediteran dan grumosol 0,275
26 Komplek tanah mediteran cokelat kemerahan dan litosol 0,188
27 Latosol cokelat 0,175
28 Latosol cokelat kemerahan 0,121
29 Latosol cokelat hitam kemerahan 0,058
30 Latosol cokelat kekuningan 0,082
31 Latosol merah 0,075
32 Latosol merah kekuningan 0,054
33 Kompleks latosol cokelat dan regosol abu-abu 0,186
34 Kompleks latosol cokelat dan kekuningan 0,091
35 Kompleks latosol cokelat kemerahan dan latosol cokelat 0,067
36 Kompleks latosol merah dan latosol cokelat kemerahan dan litosol 0,062
37 Kompleks latosol merah dan latosol cokelat kemerahan 0,061

II-34
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Kode Tipe Tanah Nilai K


38 Kompleks latosol merah kekuningan , latosol cokelat kemerahan 0,064
dan latosol
39 Kompleks latosol cokelat kemerahan dan litosol 0,075
40 Kompleks latosol merah kekuningan, latosol cokelat podzolik 0,116
merah kekuningan dan litosol
41 Tanah podzolik kuning 0,167
42 Tanah Podzolik merah kekuningan 0,166
43 Tanah podzolik merah 0,158
44 Komplek podsilik kuning dan tanah hydromorphic abu-abu 0,249
45 Komplek tanah podsolik kuning dan regosol 0,158
46 Komplek tanah podsolik kuning, podsolik merah kekuningan dan 0,175
regosol
47 Komplek lateritik merah kekuningan dan tanah podsolik merah 0,175
kekuningan

Sumber : Puslitbang Pengairan Bandung dalam Hendrawan (2004 )

2.5.1.3. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (Ls)

Dari penelitian-penelitian yang telah ada, dapat diketahui bahwa proses erosi
dapat terjadi pada lahan dengan kemiringan lebih besar dari 2%. Derajat
kemiringan lereng sangat penting, karena kecepatan air dan kemampuan untuk
memecah/melepas dan mengangkut partikel-partikel tanah tersebut akan
bertambah besar secara eksponensial dari sudut kemiringan lereng.
Secara matematis dapat ditulis :
Kehilangan tanah = c . Sk
dengan :
c = konstanta
k = konstanta
S = kemiringan lereng (%)
Pada kondisi tanah yang sudah dibajak tetapi tidak ditanami, eksponen K
berkisar antara 1,1 sampai dengan 1,2.
Menurut Weischmeier dengan kawan-kawan di Universitas Purdue (Hudson
1976) menyatakan bahwa nilai faktor LS dapat dihitung dengan menggunakan
rumus :
Untuk kemiringan lereng lebih kecil 20% :
LS = L / 100 ( 0,76 + 0,53 + 0,076 S2 )
Dalam sistem metrik rumus tersebut berbentuk :

II-35
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

LS = L / 100 ( 1.38 + 0,965 S + 0,138 S2 )


Untuk kemiringan lereng lebih besar dari 20% :
L S
LS = ( ----------- ) 0,6 x ( ------- ) 1,4
22,1 9
dimana :
L = panjang lereng (m)
S = kemiringan lereng (%)
Nilai faktor LS sama dengan 1 jika panjang lereng 22 meter dan kemiringan
lereng 9%.
Panjang lereng dapat diukur pada peta topografi, tetapi untuk menentukan batas
awal dan ujung dari lereng tersebut mengalami kesukaran. Atas dasar
pengertian bahwa erosi dapat terjadi dengan adanya run off (overland flow)
maka panjang lereng dapat diartikan sebagai panjang lereng overland flow.
2.5.1.4. Faktor Konservasi dan Pengelolaan Tanaman

Faktor pengelolaan tanaman dapat diartikan sebagai rasio tanah yang tererosi
pada suatu jenis tanah dengan vegetasi penutup tertentu, yang meliputi :
1. Faktor Indeks Konservasi Tanah (Faktor P)
Nilai indeks konservsi tanah dapat diperoleh dengan membagi kehilangan
tanah dari lahan yang dibri perlakuan pengawetan, terhadap tanah tanpa
pengawetan.
2. Faktor indeks pengelolaan tanaman (C), merupakan angka perbandingan
antara erosi dari lahan yang ditanami sesuatu jenis tanaman dan
pengelolaan tertentu dengan lahan serupa dalam kondisi dibajak tetapi tidak
ditanami.
3. Faktor Indeks Pengelolaan Tanaman dan Konservasi Tanah (Faktor CP).
Jika faktor C dan P tidak bisa dicari tersendiri, maka faktor indeks C dan P
digabung menjadi faktor CP.
Nilai faktor pengelolaan tanaman juga dapat ditentukan dengan menggunakan
tabel nilai penutupan lahan (Tabel 2.19)
Tabel 2. 18. Petunjuk Menentukan Beberapa Nilai Penutupan Lahan C
Berdasarkan Jenis Penggunaan Lahan dan Vegetasi
Nilai
No Penggunaan Lahan / Tanaman
Faktor C
1. Tanah kosong, tanpa diusahakan 1,000
2. Sawah irigasi 0.010
3. Sawah tadah hujan 0.050
4. Tegalan tanpa tanaman khusus 0.700
5. Singkong 0.800
6. Kacang buncis 0.600
7. Kentang 0.400
8. Padi 0.500

II-36
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Nilai
No Penggunaan Lahan / Tanaman
Faktor C
Tebu
9.
Pisang 0.200
10.
Kopi dengan penutup lahan 0.600
11.
Rempah-rempah (cabe, jahe) 0.200
12.
Kebun campuran dengan macam-macam penutup tanah 0.900
13.
 kerapatan tinggi
 kerapatan sedang 0.100
 kerapatan rendah 0.300
0.500
14. Perkebuanan dengan penutup tanah sedikit
 karet
0.800
 teh
0.500
 kelapa sawit
0.500
 kelapa
0.800
15. Hutan alami dengan pertumbuhan yang baik:
0.001
 banyak seresah / rerumputan
0.005
 sedikit seresah / rerumputan
16. Hutan produksi
0.500
 memotong dengan merobohkan
0.200
 tebang pilih 0.001
17. Kolam ikan 0.300
18. Semak belukar
19. Acniara sp. (untuk ternak) 0.300
 tahun pertama 0.020
 tahun berikutnya 0.170
20.
Kacang tanah 0.180
21.
Campuran ubi kayu kedelai 0.450
22.
Padi, jagung 0.570
23.
Tembakau 0.560
24.
Serewangi 0.660
25.
Jagung 0.610
26.
Jagung, tembakau 0.890
27.
Kedelai 0.020
28.
Alang-alang (imperata cylindrical) 0.060
29.
Alang-alang yang dibakar setiap tahun 0.002
30.
Rumput bede tahun kedua
Sumber : Sub Balai RLKT Brantas, Th. 1988

2.5.1.5. Faktor Pengelolaan Lahan (P)

Faktor pengelolaan tanah adalah rasio antara tanah yang tererosi pada suatu
lahan dengan konservasi tanah terhadap tanah yang tererosi pada lahan yang
sama tanpa praktek konservasi tanah apapun. Tindakan konservsi tanah pada
suatu wilayah ditentukan berdasarkan peta penggunaan lahan dan pengamatan
langsung di lapangan. Konservasi hasil pengamatan dengan indeks konservasi
tanah sebagaimana yang disajikan pada Tabel 2.20

II-37
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Tabel 2. 19. Penentuan Faktor Pengelolaan Lahan (P)


No Bentuk konservasi Nilai P
1 Teras bangku:
 Konstruksi baik 0.04
 Konstruksi sedang 0.15
0.35
 Konstruksi kurang baik
0.40
2  Teras tradisional baik 0.40
3 Strip tanaman rumput (padang rumput)
Pengelolaan tanah dan penanaman menurut garis kontur 0.50
 kemiringan 0 – 8% 0.75
 kemiringan 9 – 20% 0.90
4  kemiringan lebih 20% 1.00
Tanpa tindakan konsevasi
Sumber : Arsyad, S (1989)

2.5.2. Laju Erosi Potensial (E-Pot)


Erosi potensial adalah erosi maksimum yang mungkin terjadi di suatu tempat
dengan keadaan permukaan tanah gundul sempurna, sehingga terjadinya proses
erosi hanya disebabkan oleh faktor alam ( tanpa adanya keterlibatan manusia
maupun faktor penutup permukaan tanah, seperti tumbuhan dan sebagainya),
yaitu iklim, khususnya curah hujan, sifat-sifat internal tanah dan keadaan topografi
tanah.
Dengan demikian, maka erosi potensial dapat dinyatakan sebagai hasil ganda
antara faktor-faktor curah hujan, erodibilitas tanah dan topografi (kemiringan dan
panjang lereng). Pendugaan erosi potensial dapat dihitung dengan pendekatan
rumus berikut:
E - pot = R x K x LS x A
dengan :
E-pot = Erosi potensial ( ton/tahun )
R = Indeks erosivitas hujan
K = Erodibilitas tanah
LS = Faktor panjang dan kemiringan lereng
A = Luas daerah aliran sungai (Ha)

2.5.3. Laju Erosi Aktual (E-Akt)


Erosi aktual terjadi karena adanya campur tangan manusia dalam kegiatannya
sehari-hari, misalnya pengolahan tanah untuk pertanian dan adanya unsur-unsur
penutup tanah, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang dibudidayakan
oleh manusia.
Penutupan permukaan tanah gundul dengan tanaman, akan memperkecil
terjadinya erosi, sehingga dapat dikatakan bahwa laju erosi aktual selalu lebih
kecil dari pada laju erosi potensial. Ini berarti bahwa adanya keterlibatan manusia,
misalnya dengan usaha pertanian, akan selalu memperkecil laju erosi potensial.

II-38
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Dapat dikatakan bahwa erosi aktual adalah hasil ganda antara erosi potensial
dengan pola penggunaan lahan tertentu, sehingga dapat dihitung dengan rumus
(Weischmeier dan Smith, 1958 ) berikut :
E-Akt = E-pot x CP
dimana:
E-Akt = Erosi aktual di DAS ( ton/ha/th )
E-pot = Erosi potensial ( ton/ha/th)
CP = Faktor tanaman dan pengawetan tanah

2.5.4. Analisa Tingkat Bahaya Erosi (TBE)


Tingkat bahaya erosi merupakan suatu perkiraan jumlah tanah hilang maksimum
yang akan terjadi pada sebidang lahan, bila pengelolaan dan konservasi tanah
tidak mengalami perubahan dalam jangka panjang. Untuk menentukan TBE,
Dirjen RLKT (Departemen Kehutanan) menggunakan pendekatan tebal solum
tanah yang sudah ada dan besarnya erosi sebagai dasar. Makin dangkal solum
tanahnya, berarti makin sedikit tanahnya yang tererosi, sehingga TBEnya sudah
cukup besar meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar (Hardjowigeno,
2003: 203). Pada tabel 2.21. disajikan penilaian TBE berdasarkan atas tebal
solum tanah dan besarnya laju erosi.
Tabel 2. 20. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi
Kedalaman Solum
Kelas Bahaya Erosi (ton/ha/thn)
Tanah
(cm) I II III IV V
  <15 15 – 60 60 -180 180 - 480 > 480
a. Dalam (> 90) SR R S B SB
b. Sedang (60-90) R S B SB SB
c. Dangkal (30-60) S B SB SB SB
d. Sangat dangkal (<30) B SB SB SB SB
Sumber : Utomo, 1994: 59

Keterangan : SR = Sangat Ringan R = Ringan


S = Sedang B = Berat
SB = Sangat Berat

2.6. ANALISA KEBUTUHAN AIR

2.6.1. Analisa Kebutuhan Air Baku

Air baku pada umumnya adalah air yang digunakan untuk berbagai keperluan
meliputi air irgasi, air rumah tangga, industri, penggelontoran kota, pengendalian
polusi serta penggunaan lainnya.

II-39
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

2.6.1.1. Analisa Perkembangan Penduduk

Dalam merencanakan jumlah kebutuhan air bersih terlebih dahulu harus ditinjau
jumlah penduduk yang ada pada saat ini serta proyeksi jumlah penduduk pada
masa mendatang. Hasil dari analisa perkembangan penduduk akan digunakan
sebagai dasar dalam perhitungan perencanaan pengembangan sistem
penyediaan air bersih. Beberapa faktor yang mempengaruhi proyeksi penduduk
adalah:
 Jumlah populasi dalam satu wilayah
 Kecepatan pertambahan penduduk
 Kurun waktu proyeksi

1. Metode Aritmatik
Perkembangan penduduk menurut metode Aritmatik dirumuskan sebagai
berikut (Muliakusuma, 2000:254) :
Pn = Po ( 1 + r.n )
Dimana :
Pn = jumlah penduduk pada tahun n (jiwa)
Po = jumlah penduduk pada tahun awal dasar (jiwa)
R = angka pertumbuhan penduduk (%)
n = periode waktu (tahun)
2. Metode Geometrik
Metode ini adalah metode rumus bunga berganda, dimana pertumbuhan rata-
rata penduduk berkisar pada prosentase r yang konstan setiap tahun, dengan
rumus sebagai berikut (Muliakusuma, 2000 : 254)

Dimana :
Pn = jumlah penduduk pada tahun n (jiwa)
Po = jumlah penduduk pada tahun awal dasar (jiwa)
r = angka pertumbuhan penduduk (%)
n = periode waktu (tahun)
3. Metode Eksponensial
Perkembangan penduduk menurut metode Eksponensial dirumuskan sebagai
berikut (Rusli, 1996 : 115)

Dimana :
Pn = jumlah penduduk pada tahun n (jiwa)

II-40
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Po = jumlah penduduk pada tahun awal dasar (jiwa)


r = angka pertumbuhan penduduk (%)
n = periode waktu (tahun)
e = bilangan logaritma natural yang besarnya sama dengan 2,71828
4. Uji Kesesuaian Metode Proyeksi
Pemilihan kedua metode di atas berdasarkan cara pengujian statistik yakni
berdasarkan pada koefisien korelasi yang mendekati +1, dimana angka ini
sebagai indikasi bahwa korelasi antara 2 variabel berarti positif atau kuat
sekali. Adapun rumus untuk menentukan besarnya koefisien korelasi adalah
sebagai berikut (Dajan, 1986 : 376) :

Dimana :
r = koefisien korelasi
X = jumlah penduduk data (jiwa)
Y = jumlah penduduk hasil koreksi (jiwa)
2.6.1.2. Kebutuhan Air Bersih

Setiap jamnya jumlah pemakaian air pada suatu sistem jaringan distribusi air
bersih tidak sama, begitu juga antara satu hari dengan hari lainnya. Perbedaan
tersebut terjadi dikarenakan kebutuhan air bersih pelanggan berubah terus
menerus yang dipengaruhi oleh faktor lokasi dan waktu.
1. Fluktuasi Kebutuhan Air
Besarnya pemakaian air bersih pada suatu daerah tidaklah konstan, tetapi
mengalami fluktuasi. Hal ini tergantung pada aktifitas keseharian dalam
penggunaan air oleh masyarakat. Pada saat-saat tertentu terjadi peningkatan
aktivitas penggunaan air, sehingga memerlukan pemenuhan kebutuhan air
bersih lebih banyak dari kondisi normal, sementara pada saat-saat tertentu
juga terdapat aktivitas yang tidak memerlukan air. Pada umumnya tingkat
kebutuhan air pada masyarakat dibagi tiga kelompok sebagai berikut :
 Kebutuhan air rata-rata, yaitu kebutuhan air rata-rata yang dikonsumsi
setiap orang dalam setiap harinya.
 Kebutuhan harian maksimum, yaitu kebutuhan air yang terbesar dari
kebutuhan rata-rata harian dalam satu minggu. Kebutuhan harian
maksimum digunakan untuk menghitung kebutuhan air bersih pada pipa
transmisi.

II-41
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

 Kebutuhan air pada jam puncak, yaitu kebutuhan puncak pada jam-jam
tertentu dalam satu hari. Kebutuhan air pada jam puncak digunakan
untuk menghitung kebutuhan air pada pipa distribusi.
Kebutuhan air harian maksimum dan kebutuhan air pada jam puncak dihitung
berdasarkan kebutuhan air harian rata-rata dengan menggunakan
pendekatan sebagai berikut (DPUD Jenderal Cipta Karya Direktorat Air
Bersih, 1987) :
1. Kebutuhan harian maksimum = 1,15 x kebutuhan air rata-rata
2. Kebutuhan air pada jam puncak = 1,56 x kebutuhan air rata-rata

Tabel 2. 21. Nilai Parameter Kebutuhan Air Baku


KATEGORI KOTA BERDASARKAN JUMLAH JIWA

NO URAIAN > 1.000.000 500.000 s/d 100.000 s/d 20.000 s/d < 20.000
1.000.000 500.000 100.000
METRO BESAR SEDANG KECIL DESA
1 Konsumsi unit sambung an rumah (SR) l/o/h > 150 120 - 150 90 - 120 80 - 120 60 - 80
2 Konsumsi unit hidran umum (HU) l/o/h 20 - 40 20 - 40 20 - 40 20 - 40 20 - 40
3 Konsumsi unit non domestik l/o/h (%) 20-30 20-30 20-30 20-30 20-30
4 Kehilangan air (%) 20-30 20-30 20-30 20-30 20-30
5 Faktor hari maksimum 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15
6 Faktor jam puncak 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5
7 Jumlah jiwa per SR 5 5 5 5 5
8 Jumlah jiwa per HU 100 100 100 100 100
9 Sisa tekan di penyediaan distribusi (mka) 10 10 10 10 10
10 Jam operasi 24 24 24 24 24
11 Volume reservoir (% max day demand) 15 - 25 15 - 25 15 - 25 15 - 25 15 - 25
12 SR : HR 50:50 s/d 50:50 s/d 80:20 70:30 70:30
80:20 80:20
13 Cakupan pelayanan (%) *) 90 90 90 90 **) 70

Sumber : Kriteria Perencanaan Air Baku, Ditjen Cipta Karya, 1996 .

Tabel 2. 22. Faktor Pengali (Load Factor) Terhadap Kebutuhan Harian


Jam 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
LF 0,30 0,37 0,45 0,64 1,15 1,40 1,53 1,56 1,42 1,38 1,27 1,20
Jam 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
LF 1,14 1,17 1,18 1,22 1,31 1,38 1,25 0,98 0,62 0,45 0,37 0,25
Sumber : Grafik Fluktuasi Pemakaian Air DPUD Jenderal Cipta Karya Direktorat Air
Bersih, 1987

2. Kebutuhan Domestik
Kebutuhan domestik merupakan kebutuhan air bersih yang digunakan untuk
keperluan rumah tangga dan sambungan kran umum. Jumlah kebutuhan
tersebut ditentukan berdasarkan karakteristik dan perkembangan konsumen

II-42
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

pengguna air bersih. Sehingga semakin luas wilayah yang harus dilayani
maka akan semakin besar pula kebutuhan air bersih yang digunakan oleh
masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada besarnya nilai kebutuhan air bersih
untuk tingkatan kota yang berbeda.

3. Kebutuhan Non Domestik


Kebutuhan non domestik merupakan kebutuhan air bersih yang digunakan
selain untuk keperluan rumah tangga dan sambungan kran umum, seperti
pemakaian air untuk perkotaan, perdagangan, industri, serta fasilitas sosial
diantaranya seperti tempat ibadah, sekolah, hotel, rumah sakit, militer, serta
pelayanan jasa umum lainnya. Besarnya prosentase kebutuhan non domestik
terhadap kebutuhan domestik juga harus memperhatikan perkembangan
tingkat kebutuhan dari tahun ke tahun.
4. Kehilangan Air
Kehilangan air merupakan kehilangan air pada pipa distribusi dan tidak
termasuk dalam katagori pemakaian air, akan tetapi dalam perencanaannya
besarnya angka kehilangan air harus diperhitungkan. Faktor kehilangan air
dibedakan menjadi dua, yaitu (DPUD Jenderal Cipta Karya Direktorat Air
Bersih, 1987) :
 Kehilangan air akibat faktor teknis
 Adanya lubang atau celah pada pipa atau pada sambungan
 Pipa pada jaringan distribusi pecah
 Meter yang dipasang pada pipa konsumen kurang baik
 Kehilangan air pada instalasi pengolahan
 Pemasangan perpipaan yang kurang baik
 Kehilangan air akibat faktor non teknis
 Kesalahan membaca meter teknis
 Kesalahan dalam penjumlahan atau pengurangan data
 Kesalahan pencatatan hasil pembacaan meter air
 Pencurian air atau pemasangan sambungan air

2.6.2. Analisa Kebutuhan Air untuk Pemeliharaan Sungai


Pemeliharaan sungai bertujun untuk:
a. Perlindungan aliran pemeliharaan sungai ditujukan untuk menjaga ekosistem
sungai.
b. Menjaga ekosistem sungai dilakukan mulai dari hulu sampai muara sungai.
Pemelharaan sungai dilakukan dengan cara:
a. Perlindungan aliran pemeliharaan sungai dilakukan dengan mengendalikan
ketersediaan debit andalan 95% (sembilan puluh lima persen).

II-43
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Yang dimaksud dengan “aliran pemeliharaan sungai” adalah aliran air


minimum yang harus tersedia di sungai untuk menjaga kehidupan ekosistem
sungai.
b. Dalam hal debit andalan 95% (sembilan puluh lima persen) tidak tercapai,
pengelola sumber daya air harus mengendalikan pemakaian air di hulu.
Yang dimaksud dengan debit andalan 95% (sembilan puluh lima persen)
adalah aliran air (m/detik) yang selalu tersedia dalam 95% (sembilan puluh
lima persen) waktu pengamatan, atau hanya paling banyak 5% (lima persen)
kemungkinannya aliran tersebut tidak tercapai

2.6.3. Kebutuhan Air Irigasi


Penyediaan air direncanakan untuk memenuhi kebutuhan air irigasi yang
didasarkan pada perhitungan Pola Tata Tanam yang direncanakan. Awal Pola
Tata Tanam direncanakan pada bulan Nopember Periode I.
Perhitungan kebutuhan air irigasi meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
2.6.3.1. Curah Hujan Efektif

Tinggi hujan yang dinyatakan dalam mm menentukan saat mulai tanam pertama
dan menentukan pula kebutuhan air irigasi. Untuk perencanaan kebutuhan air
irigasi, curah hujan efektif.
Perhitungan curah hujan efektif didasarkan pada curah hujan tengah bulanan (15
harian), berdasarkan persamaan curah hujan efektif harian untuk padi:

Reff = 0.7 x

sedangkan curah hujan efektif harian untuk palawija diambil dari KP-01
berdasarkan curah hujan bulanan, kebutuhan air tanaman bulanan dan
evapotranspirasi bulanan.
2.6.3.2. Kebutuhan Air untuk Penyiapan Lahan

Air yang dibutuhkan selama masa penyiapan lahan untuk menggenangi sawah
hingga mengalami kejenuhan sebelum transplantasi dan pembibitan. Kebutuhan
air untuk penyiapan lahan termasuk pembibitan adalah 250 mm, 200 mm
digunakan untuk penjenuhan dan pada awal transplantasi akan ditambah 50 mm
untuk padi, untuk tanaman ladang disarankan 50-100 mm (KP-01). Waktu yang
diperlukan pada masa penyiapan lahan dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja,
hewan penghela dan peralatan yang digunakan serta faktor sosial setempat.
Kebutuhan air selama jangka waktu penyiapan lahan dihitung berdasarkan rumus
V.D Goor-Ziljstra (1968). Metode tersebut didasarkan pada kebutuhan air untuk
mengganti kehilangan air akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang sudah
dijenuhkan selama periode penyiapan lahan 30 hari, dengan tinggi genangan air
250 mm atau 8.33 mm/hari. (KP- Penunjang, 1986, Standar Perencanaan Irigasi,
hal. 5).

II-44
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Nilai rata-rata untuk Indonesia diperoleh berdasar persamaan sebagai berikut:

Dengan:
IR = kebutuhan air di sawah (mm/hari)
M = E0 + P = (1,1 ET0 + P) (mm/hari), ini adalah kebutuhan air puncak
(evaporasi + perkolasi)
Eo = Evaporasi air terbuka diambil 1,1 x evapotranspirasi (ETo) selama
masa penyiapan lahan (mm/hari)
P = Perkolasi (mm/hari)
MxT
k =
S
T = jangka waktu penyiapan lahan (hari)
S = kebutuhan air untuk penjenuhan ditambah dengan 50 mm

Kebutuhan air untuk penyiapan lahan palawija berbeda dengan kebutuhan untuk
tanaman padi. Biasanya untuk tanaman palawija disediakan air 75 mm setelah
pembajakan. Pada kasus dengan tipe tanah lempung (clay) sangat kering,
sehingga air irigasi 75 mm digunakan untuk pembajakan (lihatpublikasi dari FAO).
2.6.3.3. Kebutuhan Air Untuk Penggunaan Konsumtif

Kebutuhan air tanaman adalah sejumlah air yang dibutuhkan untuk mengganti air
yang hilang akibat penguapan.
Besarnya kebutuhan air tanaman (consumptive use) dihitung berdasarkan
persamaan sebagai berikut.
ETc = Kc x Eto dengan :
Etc = evapotranspirasi tanaman, mm / hari
Eto = evapotranspirasi tanaman acuan, mm / hari
Kc = koefisien tanaman
Harga koefisien tanaman padi dan tanaman non padi dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 2. 23. Nilai Koefisien Tanaman Padi

II-45
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

Sumber : KP 01 (Lampiran 1)

2.6.3.4. Perkolasi dan Infiltrasi

Perkolasi adalah gerakan air ke bawah dari daerah tidak jenuh ke daerah jenuh.
Laju perkolasi lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
1. Tekstur Tanah
Tanah dengan tekstur halus mempunyai angka perkolasi kecil, sedang tekstur
yang kasar mempunyai angka perkolasi yang besar.
2. Permeabilitas Tanah
Permeabilitas tanah merupakan gaya untuk merembes lewat ruang antar butir
tanah. Permeabilitas tanah besar daya perkolasi besar, sedangkan
permeabilitas tanah kecil perkolasi tanah kecil.
3. Tebal Lapisan Tanah Bagian Atas
Semakin tipis lapisan tanah bagian atas, semakin kecil daya perkolasinya.
4. Letak permukaan air tanah
Lindungan tumbuh-tumbuhan yang padat menyebabkan daya inflitrasi
semakin besar, yang berarti daya perkolasi juga besar. Berdasarkan kondisi
daerah lokasi pekerjaan, maka besarnya nilai perkolasi diperkirakan sebesar
2 mm / hari.
2.6.3.5. Penggantian Lapisan Air

Pergantian lapisan air (Water Level Requirement) sangat erat hubungannya


dengan kesuburan tanah dan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan air yang
terputus akibat kegiatan di sawah dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Setelah pemupukan usahakan untuk menjadwalkan dan mengganti lapisan air
menurut kebutuhan.
2. Jika tidak ada penjadwalan semacam itu, lakukan sebanyak 2 kali, masing-
masing 50 mm selama sebulan dan dua bulan setelah transplantasi.
Pergantian lapisan air hanya diperlukan untuk tanaman padi sedangkan pada
tanaman palawija proses ini tidak diperlukan

II-46
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

2.6.3.6. Kebutuhan Air di Sawah

Perhitungan kebutuhan bersih air di sawah untuk tanaman padi pada daerah
persawahan diperoleh dengan persamaan sebagai berikut.

Kebutuhan air irigasi untuk tanaman padi:

Kebutuhan air irigasi untuk tanaman palawija:

dengan:
NFR = Kebutuhan air di sawah (mm / hari)
ET = Kebutuhan air tanaman (mm / hari)
P = Perkolasi
Reff = Curah hujan efektif (mm / hari)
WLR = Penggantian lapisan air (mm / hari)
η = Efisiensi irigasi (%)
2.6.3.7. Efisiensi Irigasi

Efisiensi irigasi adalah angka perbandingan dari jumlah air irigasi nyata yang
terpakai untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman dengan jumlah air yang keluar
dari pintu pengambilan (intake). Agar air yang sampai pada tanaman sesuai
jumlahnya, maka air yang dikeluarkan dari pintu pengambilan harus lebih besar
dari kebutuhan. Kehilangan air yang diperhitungkan untuk operasi irigasi meliputi:
1. Kehilangan air di tingkat tersier
2. Kehilangan air di tingkat sekunder
3. Kehilangan air di tingkat primer
Perkiraan besarnya efisiensi irigasi pada masing - masing saluran adalah sebagai
berikut (Sumber, KP-03).
1. Kehilangan air di saluran tersier 12.5 – 20 %, diambil efesiensi 85 %
2. Kehilangan air di saluran Sekunder 5 – 10 %, diambil efesiensi 93 %
3. Kehilangan air di saluran Primer 5 – 10 %, diambil efesiensi 93 %
2.6.3.8. Pola Tata Tanam

Awal pola tanam disesuaikan dengan periode awal musim hujan. Untuk
pemanfaatan air secara optimal perlu dilakukan penyelidikan pola tata tanam
dengan variasi awal tanam sehingga dapat diketahui kebutuhan air yang optimal.

II-47
LAPORAN HIDROLOGI
DETAIL DESAIN EMBUNG/TELAGA WS SERAYU BOGOWONTO

II-48

Anda mungkin juga menyukai