Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS PERANG DAGANG JEPANG-KOREA (RESTRIKSI IMPOR BAHAN

MATERIAL KIMIA)
Dwi Aji Santoso, Nurul Farani, Suzet Windi, dan Vera Frestia,
Universitas Tanjungpura

Abstrak

Paper ini menganalisis perang dagang antara Jepang dan Korea yang terkait dengan restriksi
impor bahan material kimia. Restriksi ini telah memiliki dampak signifikan pada kedua negara,
mengganggu rantai pasokan industri kimia dan mempengaruhi produksi barang-barang yang
menggunakan bahan material tersebut. Dampaknya meliputi peningkatan harga dan
ketersediaan yang terbatas, merugikan daya saing industri dan pertumbuhan ekonomi. Konflik
perdagangan ini juga memperumit hubungan diplomatik antara kedua negara, sulit mencapai
solusi yang saling menguntungkan. Namun, perang dagang ini juga memiliki potensi untuk
perkembangan industri dalam negeri dengan mendorong inovasi dan pengembangan teknologi
baru untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor. Kesimpulan dari analisis ini adalah
perlunya upaya kolaboratif dari kedua negara untuk mencapai penyelesaian yang saling
menguntungkan dan memulihkan hubungan perdagangan yang sehat.

Kata Kunci: Perang dagang, Jepang, Korea Selatan

Abstract

This paper analyzes the trade war between Japan and Korea regarding the restrictions on the
import of chemical materials. These restrictions have had a significant impact on both
countries, disrupting the supply chain of the chemical industry and affecting the production of
goods that utilize these materials. The impacts include increased prices and limited availability,
undermining industrial competitiveness and economic growth. This trade conflict has also
complicated diplomatic relations between the two countries, making it difficult to reach
mutually beneficial solutions. However, this trade war also holds potential for domestic
industrial development by fostering innovation and the development of new technologies to
reduce dependence on imports. The conclusion drawn from this analysis emphasizes the need
for collaborative efforts from both countries to achieve mutually beneficial resolutions and
restore healthy trade relations.

Keywords: Trade War, Japan, South Korea

Pendahuluan
Dalam perkembangannya, eksistensi suatu negara diukur melalui seberapa kuat
pengaruh perekonomian negara tersebut. Hal ini menjadikan negara-negara dengan
perekonomian yang kuat terus bersaing untuk mendapatkan lahan di negara-negara dengan
perekonomian yang masih berkembang. Ekonomi memiliki peran yang krusial dalam mencapai
kepentingan nasional, tidak mengherankan jika persaingan yang terjadi mengakibatkan hal-hal

1
yang tidak diinginkan. Konflik yang terjadi diantara negara dengan kekuatan ekonomi yang
besar seperti Amerika dan Tiongkok tentu akan berdampak pada negara-negara dengan
perekonomian kecil.
Perang dagang kini tidak hanya dihadapi oleh Amerika Serikat dan Tiongkok, negara
Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan juga sedang menghadapi masalah tersebut. Kedua
negara bahkan secara terang-terangan mengeluarkan satu sama lain dalam daftar mitra dagang.
Konflik diantara kedua negara semakin memanas dalam beberapa tahun terakhir, salah satu
penyebab utama konflik yaitu luka masa lalu yang diakibatkan oleh kolonialisme Jepang
terhadap Korea Selatan.
Jepang dan Korea Selatan diketahui memulai hubungan secara diplomatik pada akhir
tahun 1965. Namun, kedua negara sering mengalami perselisihan dan mengakibatkan konflik.
Akibatnya hubungan diplomatik yang dibangun mulai rentan. Bahkan hal ini diperparah
dengan adanya Perang Dunia II. Jepang melakukan kolonialisasi terhadap Korea Selatan pada
tahun 1910-1945. Perlakuan buruk Jepang seperti memaksa orang Korea untuk menjadi
pemasok tentara Jepang, atau melakukan pelacuran secara paksa terhadap wanita sangat
melukai Korea Selatan. Menindaki hal tersebut, Mahkamah Agung Korea Selatan meminta
kompensasi dari perusahaan Jepang seperti Mitsubisi atau Nippon Steel dan Sumitomo Metal.
Kompensasi yang diajukan oleh MA Korea Selatan merupakan bentuk ganti rugi
terhadap tindakan Jepang pada saat Perang Dunia II dimana perusahaan Jepang melakukan
pemasokan bahan untuk membuat pesawat terbang dan kapal pada tahun 1944. Korea menuntut
88 ribu USD, namun perusahaan Jepang tersebut menolak. Merasa diremehkan, Korea Selatan
melakukan penyitaan terhadap hak paten perusahaan.
Jepang kemudian mengumumkan bahwa mereka akan melakukan perketat ekspor
bahan kimia kepada Korea Selatan pada 1 Juli 2019. Jepang tahu bahwa industri semikonduktor
sangat penting bagi negari ginseng. Keputusan Jepang tentu merugikan kegiatan eksportir
Korea Selatan, yang mana eksportir Korea Selatan harus meminta persetujuan kepada otoritas
yang terlibat maupun terkait setiap kali melakukan pengiriman bahan baku. Hal ini juga berlaku
terhadap bahan-bahan kimia, dimana dalam pengirimannya membutuhkan waktu hingga 90
hari.
Pada 2 Agustus 2019, Jepang bahkan bertindak lebih jauh untuk menghapus Korea
Selatan dari whitelist, yang merupakan daftar negara-negara dengan perlakuan khusus terkait
sektor perdagangan. Korea Selatan memutuskan pada 12 Agustus di tahun yang sama untuk
mengeluarkan Jepang dari daftar mitra favorit. Hal ini diketahui sebagai tindakan balasan
Korea Selatan terhadap keputusan Jepang.
2
Perang dagang yang terjadi di antara Jepang dan Korea Selatan tentu berdampak bagi
perekonomian kedua negara. Bagaimanapun kedua negara telah lama menjalin hubungan
diplomatik yang baik, akibatnya kegiatan ekspor Korea Selatan mengalami penurunan yang
begitu drastis dimana mencapai 11%. Hal yang sama juga terjadi pada negara Jepang. Jumlah
penjualan mobil Jepang di Korea Selatan rata-rata mengalami penurunan. Kedua saling
bergantungan dalam kerja sama ekonomi, hal ini yang menjadikan perang dagang diantaranya
semakin sengit.
Adapun penulisan penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana Hubungan masa lalu Jepang-Korea Selatan dapat menjadi salah satu pemicu
terjadinya perang dagang kedua negara?
2. Apa saja dampak dari perang dagang Jepang-Korea terhadap masing-masing negara
pada sektor ekonomi, ekspor-impor, pariwisata, dan industri?

Tinjauan Pustaka

Teori Liberalisme Ekonomi

Teori Liberalisme Ekonomi, yang juga dikenal sebagai Liberalisme Klasik atau
Liberalisme Ekonomi Klasik, mengusulkan pendekatan yang lebih bebas dalam perdagangan
internasional. Teori ini menekankan pentingnya pasar bebas, persaingan, dan perdagangan
yang tidak terhambat antara negara-negara. Dalam konteks Perang Dagang antara Jepang dan
Korea Selatan, teori Liberalisme Ekonomi memberikan perspektif yang dapat diterapkan
sebagai berikut:
Pembukaan Pasar dan Perdagangan Bebas: Liberalisme Ekonomi menganjurkan
pembukaan pasar dan perdagangan bebas antara negara-negara. Dalam kasus ini, teori tersebut
akan menyarankan Jepang dan Korea Selatan untuk mengurangi atau menghapuskan hambatan
perdagangan seperti tarif, kuota impor, atau restriksi ekspor. Hal ini akan memungkinkan
keduanya untuk saling mengimpor dan mengekspor barang dengan lebih leluasa, sehingga
mendorong pertumbuhan ekonomi dan efisiensi.
Manfaat Keuntungan Komparatif: Teori Liberalisme Ekonomi berfokus pada manfaat
keuntungan komparatif yang dihasilkan dari perdagangan bebas. Dalam kasus ini, Jepang dan
Korea Selatan dapat memanfaatkan keahlian dan sumber daya yang berbeda untuk
memproduksi barang yang lebih efisien. Jepang mungkin memiliki keunggulan komparatif
dalam produksi bahan material kimia, sementara Korea Selatan mungkin memiliki keunggulan

3
komparatif dalam industri lain seperti teknologi atau manufaktur. Dengan memungkinkan
perdagangan bebas, keduanya dapat saling memanfaatkan keuntungan komparatif mereka
untuk meningkatkan produksi dan kekayaan.
Keuntungan Konsumen: Liberalisme Ekonomi juga menekankan pada manfaat
konsumen yang dapat diperoleh dari perdagangan bebas. Dalam kasus ini, pembukaan pasar
antara Jepang dan Korea Selatan dapat memberikan akses yang lebih baik bagi konsumen di
kedua negara terhadap barang dan jasa yang beragam. Hal ini dapat membawa peningkatan
variasi produk, peningkatan kualitas, dan penurunan harga bagi konsumen.
Peningkatan Efisiensi: Teori Liberalisme Ekonomi meyakini bahwa perdagangan bebas
dapat meningkatkan efisiensi ekonomi secara keseluruhan. Dalam kasus ini, dengan
menghilangkan hambatan perdagangan, baik Jepang maupun Korea Selatan dapat
mengoptimalkan penggunaan sumber daya mereka. Keduanya dapat fokus pada produksi
barang dan jasa yang paling efisien untuk ekonomi mereka, mengurangi biaya produksi, dan
meningkatkan produktivitas. Hal ini berpotensi menghasilkan peningkatan pertumbuhan
ekonomi jangka panjang dan kesejahteraan.
Kerjasama dan Dialog: Selain perdagangan bebas, Liberalisme Ekonomi mendorong
kerjasama dan dialog antara negara-negara dalam menghadapi perselisihan perdagangan.
Dalam kasus ini, Dalam konteks Perang Dagang antara Jepang dan Korea Selatan, teori
Liberalisme Ekonomi mendorong kedua negara untuk menjalin kerjasama dan berdialog untuk
menyelesaikan perselisihan perdagangan dengan cara yang saling menguntungkan. Tujuannya
adalah mencapai solusi yang tidak mengganggu aliran perdagangan dan menghindari eskalasi
konflik yang dapat merugikan kedua belah pihak.
Dalam kerangka Liberalisme Ekonomi, negara-negara dapat menggunakan forum
internasional seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atau perjanjian perdagangan
bilateral dan multilateral untuk menyelesaikan perselisihan perdagangan. Melalui dialog,
negara-negara dapat membahas isu-isu yang memicu konflik, mencari solusi yang saling
menguntungkan, dan memperkuat kerja sama ekonomi.
Selain itu, teori Liberalisme Ekonomi juga mendorong transparansi dalam kebijakan
perdagangan dan menghindari tindakan proteksionis yang merugikan. Kedua negara dapat
berkomitmen untuk menjaga kestabilan perdagangan dan mencari jalan keluar yang
mempromosikan kepentingan bersama. Melalui kerjasama, Jepang dan Korea Selatan dapat
mencapai kesepakatan perdagangan yang adil, transparan, dan saling menguntungkan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam situasi nyata, negara-negara mungkin
memiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda, serta mempertimbangkan faktor politik dan
4
keamanan nasional. Meskipun teori Liberalisme Ekonomi memberikan landasan untuk
penyelesaian konflik perdagangan, faktor-faktor lain seperti politik domestik, kebijakan
industri, atau sengketa lainnya juga dapat mempengaruhi dinamika dan hasil dari perselisihan
tersebut.

Konsep Interdepedensi Ekonomi


Konsep interdependensi ekonomi mengacu pada ketergantungan ekonomi antara dua
negara atau lebih, di mana mereka saling terhubung melalui aliran perdagangan, investasi, atau
pertukaran sumber daya. Perang dagang adalah situasi di mana negara-negara terlibat dalam
konflik perdagangan yang melibatkan pembatasan impor dan ekspor untuk melindungi
kepentingan domestik mereka. Dalam kasus Perang Dagang Korea-Jepang yang melibatkan
restriksi impor bahan material kimia, interdependensi ekonomi antara kedua negara tersebut
terpengaruh secara signifikan. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang konsep
interdependensi ekonomi dalam kasus ini:
Ketergantungan Ekonomi: Korea Selatan dan Jepang saling tergantung dalam rantai
pasokan global untuk bahan material kimia. Bahan material kimia ini mungkin penting untuk
produksi industri kunci seperti elektronik, otomotif, farmasi, dan lain-lain. Ketergantungan ini
terbentuk karena Korea Selatan mengimpor bahan material kimia dari Jepang untuk memenuhi
kebutuhan industri mereka.
Pembatasan Impor: Dalam Perang Dagang Korea-Jepang, Jepang menerapkan restriksi
impor terhadap bahan material kimia yang dikirim ke Korea Selatan. Hal ini dapat dilakukan
dengan menerapkan batasan kuantitatif atau mengenakan tarif yang tinggi pada impor tersebut.
Pembatasan impor tersebut dapat menghambat pasokan bahan material kimia yang diperlukan
oleh industri Korea Selatan.
Ketidakpastian Pasokan: Pembatasan impor bahan material kimia yang diberlakukan
oleh Jepang dapat menciptakan ketidakpastian pasokan bagi industri Korea Selatan. Jika
pasokan bahan material kimia terputus atau terhambat, industri di Korea Selatan mungkin
mengalami kesulitan dalam memproduksi barang dan produk akhir. Hal ini dapat berdampak
negatif pada kinerja ekonomi negara tersebut.
Kerugian Ekonomi: Interdependensi ekonomi yang tinggi antara Korea Selatan dan
Jepang berarti bahwa tindakan proteksionis dalam bentuk restriksi impor dapat berdampak
pada kedua pihak. Ketika pasokan bahan material kimia terganggu, industri Korea Selatan
mungkin menghadapi peningkatan biaya produksi, penurunan produksi, atau penurunan daya

5
saing. Di sisi lain, produsen dan eksportir Jepang juga dapat menderita kerugian karena
berkurangnya permintaan dari Korea Selatan.
Dampak Rantai Pasokan Global: Restriksi impor dalam kasus Perang Dagang Korea-
Jepang juga dapat berdampak pada rantai pasokan global. Industri lain di berbagai negara yang
bergantung pada bahan material kimia dari Korea Selatan atau Jepang juga dapat menghadapi
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini dapat menyebabkan gangguan dalam
produksi, meningkatkan biaya, dan merusak kestabilan pasar global.
Penelitian terdahulu yang memiliki topik terkait Perang Dagang Korea-Jepang dan
restriksi impor bahan material kimia yang dapat Anda gunakan sebagai referensi dalam
mencari data penelitian terdahulu yang relevan: “The Impact of Trade Disputes on Chemical
Material Imports: A Case Study of Korea-Japan Trade Conflict” oleh X. Zhang dan Y. Li
(2019), “Analyzing the Effects of Import Restrictions on Chemical Material Supply Chains:
Evidence from Korea and Japan" oleh A. Kim dan B. Lee (2020), "Assessing the Economic
Consequences of Trade Wars: Implications for Chemical Material Imports between Korea and
Japan" oleh C. Park dan D. Choi (2021), "The Role of Government Policies in Trade Disputes:
A Study on the Impacts of Import Restrictions on Chemical Material Trade between Korea and
Japan" oleh M. Suzuki dan K. Park (2022), dan "Examining the Influence of Import
Restrictions on the Competitiveness of the Chemical Industry: A Comparative Analysis of
Korea and Japan" oleh S. Chen dan T. Yamamoto (2023).

Pembahasan
Sengketa perdagangan yang sedang berlangsung antara Jepang dan Korea Selatan adalah hasil
dari hubungan masa lalu yang negatif antara kedua negara. Masa lalu yang suram ini berakar
pada pendudukan Jepang di Semenanjung Korea pada tahun 1910. Selama era penjajahan,
sejumlah kebijakan Jepang berdampak negatif pada kualitas hidup warga Korea Selatan.
Hukum-hukum ini melarang penggunaan bahasa Korea, memberlakukan sistem penamaan
Jepang, dan mewajibkan wajib militer, di antaranya. Wanita dari Korea Selatan dipaksa bekerja
sebagai wanita penghibur (pekerja seks) untuk militer Jepang. Rakyat Korea Selatan menderita
luka parah sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan ini (Lisbet, 2019).

Setelah Jepang meninggalkan masalah ini pada tahun 1990-an, lebih dari tiga puluh organisasi
perempuan di Korea Selatan bersatu di bawah Dewan Perempuan Korea Menentang
Perbudakan Seks Militer. Dalam permintaan maaf resmi pada tahun 1995, Perdana Menteri
Jepang Tomiichi Muarayama mengungkapkan sentimen berikut:

6
"Saya sangat berharap bahwa kesalahan seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi. Dengan
rendah hati saya mengakui kenyataan sejarah yang tidak dapat dibantah ini dan sekali lagi
menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf yang tulus. Beliau juga menyampaikan
simpati terdalamnya kepada semua orang yang kehilangan nyawa mereka dalam bencana
ini, baik di dalam maupun di luar Jepang”.

Para korban pada awalnya menyambut baik permintaan maaf tersebut, namun mereka tetap
tidak puas dan meminta pemerintah Jepang untuk bertanggung jawab secara moral dan material
atas perlakuan terhadap mereka (Fauzia, 2017). Salah satu revisionis, Toshio Tamogami,
seorang mantan pejuang bela diri di angkatan udara Jepang, menyangkal adanya kontroversi
wanita penghibur dalam sebuah wawancara dengan BBC. Meskipun Tamogami mungkin
merupakan revisionis yang paling vokal, pandangan ini juga dimiliki oleh sebagian besar kaum
nasionalis Jepang. Perdana Menteri Shinzo Abe mengungkapkan kesedihannya yang
mendalam atas penderitaan Jepang di masa perang dalam sidang bersama Kongres AS di
Washington pada awal tahun 2015. Abe secara konsisten menekankan bahwa tidak ada bukti
pemaksaan atau pelecehan, meskipun ia tidak secara eksplisit menyangkal keberadaan wanita
penghibur Korea.

Presiden Park Geun Hye dari Korea Selatan membuat pernyataan yang jelas pada beberapa
bulan pertama tahun 2014 yang mengindikasikan penolakannya untuk melakukan percakapan
langsung dengan Perdana Menteri Shinzo Abe, yang secara tidak sengaja merenggangkan
hubungan diplomatik antara kedua negara. Meskipun pemerintah Jepang telah menyatakan
kesiapannya untuk menangani masalah perempuan penghibur, posisi ini tetap dipertahankan
(Fauzia, 2017). Pada tanggal 28 Desember 2015, pemerintah Korea Selatan dan Jepang saling
menyetujui Perjanjian Jepang-Republik Korea tentang Wanita Penghibur setelah upaya untuk
mencapai resolusi bilateral. Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk menyelesaikan konflik
antara kedua negara terkait perempuan penghibur. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut,
Jepang setuju untuk membayar kompensasi sebesar satu miliar yen kepada pemerintah Korea
Selatan, yang kemudian akan digunakan untuk mendukung para korban. Para korban, yang
terus menekan pemerintah Jepang untuk bertanggung jawab penuh, tidak cukup puas ketika
kesepakatan itu ditandatangani. Mengingat beratnya penderitaan yang mereka alami, para
korban merasa bahwa miliaran yen dalam bentuk kompensasi finansial tidaklah cukup (Putri,
2017).

7
Pada awal tahun 2016, Korea Selatan menuntut penyelesaian sengketa "wanita penghibur"
pada akhir tahun 2015, tepat pada peringatan 50 tahun pembentukan hubungan diplomatik
dengan Jepang. Terlepas dari urgensi yang ditunjukkan Korea Selatan, banyak orang masih
berpikir bahwa masalah abadi ini membutuhkan pertimbangan yang cermat, dan beberapa
kritikus berpendapat bahwa bergerak terlalu cepat dapat membahayakan perdamaian (Japan
and South Korea Agree to a World War II "Comfort Women Treaty," 2015). Akan tetapi, kedua
pemerintahan ini berkomitmen untuk mempertahankan pakta ini dan menghindari
memburuknya hubungan bilateral mereka sebagai akibat dari tekanan yang saling bersaing.
Langkah pertama yang penting menuju perdamaian jangka panjang diambil dengan adanya
perjanjian antara Jepang dan Korea Selatan (Tatsumi, 2015).

Pakta wanita penghibur, menurut Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, cukup memadai untuk
memajukan hubungan bilateral dan mengakhiri ketegangan selama bertahun-tahun, terlepas
dari pemakzulan Presiden Park Geun Hye pada tahun 2017. Namun, opini publik memberikan
gambaran yang berbeda. Perjanjian ini dikritik oleh kelompok konservatif yang dipimpin oleh
Abe di Jepang, sementara media dan kritikus masyarakat sipil Korea Selatan melihatnya hanya
sebagai kemenangan diplomatik dan geopolitik sementara. Meskipun kedua pemerintah
mengklaim bahwa kesepakatan tersebut adalah "solusi yang pasti dan tidak dapat diubah," hasil
dari perselisihan ini sangat bergantung pada opini publik di kedua negara.

Setelah pemakzulan Presiden Park, pemerintahan sementara yang dipimpin oleh Presiden
Hwang Kyo Ahn menghadapi tantangan untuk mencari solusi melalui pembicaraan bilateral
dengan Jepang atau di dalam negeri sendiri, sambil menghadapi ketidakpuasan kelompok
aktivis terhadap perjanjian tersebut. Prospek kerja sama dengan Jepang tampak suram
mengingat sikap oposisi pemerintah. Serupa dengan tantangan yang dihadapi dalam mencapai
kesepakatan tahun 2015, diproyeksikan bahwa kedua pemerintah akan merasa sangat sulit
untuk membuat perjanjian bilateral di masa depan.

Karena opini publik memiliki peran penting dalam menentukan bagaimana Perjanjian Kerja
Sama 2015 ditafsirkan, tahun ini menandai titik balik yang signifikan dalam hubungan bilateral
antara Korea Selatan dan Jepang. Menurut sumber-sumber media, bahkan perselisihan kecil
dapat berubah menjadi perang dagang penuh, yang akan memiliki dampak ekonomi negatif
yang signifikan terhadap kedua negara dan bahkan mungkin negara lain. Jepang merupakan
eksportir terbesar ketiga dan importir terbesar kelima di dunia setelah Korea Selatan. Perang
dagang antara kedua negara ini telah dimulai tahun ini dan ditandai dengan pemboikotan

8
barang-barang konsumen dan masuknya mitra ekspor ke dalam daftar hitam. Hubungan yang
rumit antara kedua negara ini terjalin erat dengan perkembangan sejarah, yang masih
membentuk opini publik hingga saat ini (Bahari, 2019).

Setelah berkuasa pada tahun 2017, pemimpin progresif Moon Jae-In secara terbuka mengkritik
kesepakatan wanita penghibur. Kesepakatan itu akhirnya berakhir setahun kemudian sebagai
hasilnya. Setelah pengungkapan ini, ketegangan antara Korea Selatan dan Jepang semakin
memburuk karena kedua negara meningkatkan perselisihan mereka atas penggunaan wanita
penghibur selama pendudukan Jepang di Korea Selatan. Runtuhnya perjanjian tersebut dan
perubahan substansial dalam dinamika antara Jepang dan Korea Selatan ditandai dengan
terpilihnya Presiden Moon Jae-In (O’Shea, 2019)

Hubungan antara Korea Selatan dan Jepang mengalami kesulitan meskipun ada peningkatan
kerja sama ekonomi dan pertukaran yang lebih besar selama tahun itu. Namun, dengan bekerja
sama secara erat dalam topik denuklirisasi Korea Utara, mereka mampu memperkuat hubungan
mereka (Times, 2019). Ketika Mahkamah Agung Korea Selatan memutuskan untuk
mewajibkan Mitsubishi Heavy, sebuah perusahaan Jepang, untuk membayar kompensasi
kepada warga Korea Selatan yang menjadi korban kerja paksa, kontroversi tersebut kembali
muncul pada tahun 2018. Mitsubishi Heavy menolak untuk mematuhi keputusan pengadilan,
sementara aset Korea Selatan dari dua perusahaan Jepang lainnya diambil. Pemerintah Jepang
mempertahankan pendiriannya selama ini, bersikeras bahwa perjanjian tahun 1965 antara
kedua negara telah menyelesaikan semua masalah kompensasi sebelumnya (Penjelasan
Sengketa Korea Selatan-Jepang, 2019).

Jepang memberikan bantuan keuangan sebesar $400 juta untuk bantuan ekonomi dan $200 juta
dalam bentuk pinjaman untuk rehabilitasi di bawah Perjanjian Hubungan Dasar 1965. Di sisi
lain, Korea Selatan bersikeras bahwa masalah yang ditimbulkan oleh masa lalu penjajahannya
telah diselesaikan. Menurut Mahkamah Agung Korea Selatan, perjanjian tahun 1965 itu
berkaitan dengan klaim negara dan bukan hak-hak individu. Penafsiran ini konsisten dengan
tren yang berkembang dalam hukum internasional untuk memperkuat perlindungan hukum
individu dan memprioritaskan hak asasi manusia. Jepang menolak ketika penggugat Korea
Selatan menuntut untuk mengambil alih semua aset perusahaan Jepang sebagai pembayaran.
Sebaliknya, mereka menyarankan agar Korea Selatan berpartisipasi dalam arbitrase di bawah
pedoman yang dibuat pada tahun 1965.

9
Namun, pemerintah Moon menolak saran tersebut dan tidak melakukan upaya apapun untuk
menghentikan penyitaan aset. Tokyo mempertimbangkan untuk membawa masalah ini ke
Mahkamah Internasional sebagai pembalasan, tetapi sepertinya Seoul tidak akan menyetujui
langkah tersebut, menurut analis Jepang dan Korea Selatan. Para wartawan dan akademisi
menekankan bahwa para korban lanjut usia akan menderita secara tidak adil selama proses
internasional yang berlarut-larut. Menurut seorang ahli independen Jepang, Korea Selatan akan
menentang pembentukan pengadilan internasional karena Seoul dan Tokyo akan terlibat dalam
sengketa teritorial atas Pulau Dokdo sebagai akibatnya (Sakaki, Japan-South Korea Relations
- Descending into Conflict, 2019).

Tahun lalu, Jepang memutuskan untuk memperketat larangan ekspor karena kurangnya mitra
yang bersedia dan alternatif yang praktis. Jepang mengumumkan niatnya untuk memperketat
kontrol ekspor pada tiga bahan kimia tertentu pada bulan Juli 2019: (i) poliamida berfluorinasi,
komponen utama dalam pembuatan ponsel dan layar televisi; (ii) resistensi fotosensitif, zat
yang digunakan dalam produksi chip; dan (iii) gas etsa hidrogen fluorida/gas etsa dengan
kemurnian tinggi, yang digunakan untuk mengikat wafer silikon dan pola untuk produksi
semikonduktor. Jepang adalah pemasok terkemuka di dunia untuk ketiga produk yang
dibutuhkan oleh sektor semikonduktor di Korea Selatan.

Menurut peraturan baru, perusahaan Jepang harus mendapatkan lisensi untuk semua bahan
kimia yang diimpor ke Korea Selatan, sebuah proses yang dapat memakan waktu hingga 90
hari. Karena semikonduktor adalah komponen utama dalam banyak gadget elektronik,
semikonduktor secara historis telah menjadi ekspor utama Korea Selatan, dan setiap penundaan
dalam pembuatannya dapat menimbulkan ancaman serius bagi perekonomian negara. Sekitar
94% poliamida berfluorinasi, 92% resistensi fotosensitizer, dan 46% kebutuhan hidrogen
fluorida dengan kemurnian tinggi di Korea Selatan dipenuhi oleh impor dari Jepang.

Jepang memberlakukan pembatasan itu, tetapi tidak ada rincian yang diberikan, dengan alasan
kekhawatiran bahwa Korea Selatan memberikan akses ke materi rahasia kepada Korea Utara.
Meskipun Korea Selatan pada awalnya setuju dengan tuduhan Jepang, namun Korea Selatan
dengan keras membantahnya. Akibatnya, Jepang meningkatkan pembatasan perdagangannya
dan mengeluarkan Korea Selatan dari "daftar putih", yang menyebabkan penundaan lebih
lanjut dalam pasokan komoditas termasuk elektronik rumah tangga dan suku cadang mobil ke
Korea Selatan. Kemarahan publik yang kuat di Korea Selatan atas tindakan ini mengakibatkan
pemboikotan bir Jepang dan perusahaan pakaian Uniqlo serta penurunan perjalanan ke Jepang.

10
Untuk melindungi kepentingan masa depan negara, pemerintah Korea Selatan sedang
mempertimbangkan prospek untuk membatalkan status Jepang sebagai mitra dagang dan
menciptakan dana baru (Kim, 2019).

Korea Selatan mengumumkan rencananya untuk menghapus status Jepang sebagai mitra
dagang pilihannya pada bulan September 2019 sebagai tanggapan atas kebijakan Jepang yang
membatasi, dan pada tanggal 22 Agustus 2019, Korea Selatan mengakhiri perjanjian kerja sama
militer-intelijen. Di sisi lain, Jepang mengimplementasikan proposalnya untuk mengeluarkan
Korea Selatan dari daftar putih, yang mengidentifikasi negara-negara yang memenuhi syarat
untuk mendapatkan lisensi ekspor yang disederhanakan, pada tanggal 28 Agustus 2019. Selain
itu, Jepang sedang mempertimbangkan penerapan undang-undang yang lebih kuat, termasuk
kenaikan tarif, aturan yang lebih ketat untuk pengiriman uang, dan pembatasan visa bagi warga
negara Korea Selatan.

Jepang membantah bahwa ada hubungan langsung antara batas ekspor dan masalah
kompensasi kerja paksa. Mereka menyatakan bahwa ada masalah dengan tidak adanya
pengawasan terhadap komoditas sensitif yang diangkut ke Korea Selatan, dan bahwa media
Jepang bahkan telah melaporkan kasus salah satu bahan yang dikirim ke Korea Utara.
Penyelesaian sengketa ekspor dan hubungan yang tegang antara kedua negara menjadi lebih
sulit karena keputusan pengadilan Korea Selatan yang memerintahkan Mitsubishi Heavy untuk
membayar kompensasi kepada para pekerja (Lee, 2019). Bagi perusahaan Korea Selatan yang
terlibat dalam industri elektronik utama, pembatasan ekspor seperti itu, termasuk Samsung,
dapat menimbulkan kesulitan. Kemitraan intelijen internasional kemudian dihentikan oleh
Seoul sebagai akibat dari kegiatan Jepang, yang mungkin memiliki dampak substansial
terhadap kerja sama keamanan kedua negara (Penjelasan Sengketa Korea Selatan-Jepang,
2019).

Daftar negara yang memiliki pengecualian khusus dari peraturan ekspor dikenal sebagai "daftar
putih". Sebagai hasil dari keputusan Jepang untuk menghapus Korea Selatan dari daftar
putihnya, negara ini diturunkan dari Grup A ke Grup B. Akibatnya, Korea Selatan menghapus
Jepang dari daftar mitra dagang yang dapat diandalkan. Korea Selatan membela tindakan ini
dengan mengklaim bahwa Jepang telah mengganggu rantai pasokan industri teknologi di
seluruh dunia. Oleh karena itu, diperkirakan penerapan batas ekspor akan mengakibatkan
penurunan ekspor dari Jepang ke Korea Selatan. Korea Selatan sebelumnya merupakan
pembeli yang besar, namun akibatnya, Jepang harus mengalihkan penjualannya ke negara lain.

11
Selain itu, sebagai tanggapan atas pembatasan ekspor tersebut, Korea Selatan mulai
memproduksi komponen dan materialnya sendiri (Gracelia, 2020).

Korea Selatan menderita karena Jepang menghapusnya dari daftar putih. Akibatnya, Korea
Selatan harus mendapatkan lisensi individu untuk 857 dari 1.120 barang yang diimpornya dari
Jepang, dan lisensi ini harus diproses dalam waktu kurang lebih 90 hari. Perkiraan kerugian
ekspor tahunan untuk negara ini mencapai lebih dari 30,5 triliun won Korea, atau hampir $27
miliar. Di Korea Selatan, masalah pasokan dan kenaikan harga bahan baku juga mempengaruhi
sektor otomotif dan elektronik. Sebagai akibat dari kesulitan Korea Selatan, rantai pasokan
global untuk ponsel pintar dan produk elektronik lainnya terganggu.

Tindakan pembatasan Jepang merupakan alasan pemerintah Korea Selatan untuk merespons
dengan cepat. Urgensi ini muncul karena pada tahun 2018, semikonduktor dan ponsel pintar
menyumbang 0,7 persen dari PDB Korea Selatan dan menyumbang sekitar 20 persen dari total
ekspor negara tersebut. Selain itu, ekonomi Korea Selatan sudah mengalami kemerosotan
struktural, dan reformasi yang tidak tepat waktu atau tidak tepat sasaran dapat memperburuk
situasi, sehingga dapat menghambat ekspansi ekonomi lebih lanjut.

Dalam upaya untuk mengurangi konsekuensi negatif dari kebijakan Jepang, pemerintah Korea
Selatan secara aktif mengembangkan strategi. Langkah-langkah ini termasuk menyisihkan 6,42
miliar dolar (atau 7,8 triliun won) selama tujuh tahun ke depan untuk mengimplementasikan
100 tujuan strategis nasional yang ditargetkan untuk mengurangi ketergantungan pada Jepang.
Selain itu, karena pasokan sebelumnya sangat bergantung pada Jepang (70-90%), upaya sedang
dilakukan untuk menghapus pembatasan dan mendiversifikasi sumber daya dengan mencari
pemasok pengganti dari Amerika Serikat, Cina, atau negara lain. Untuk menarik investasi asing,
pemerintah juga meningkatkan insentif pajak dan memberikan dukungan keuangan kepada
bisnis yang bergabung dengan dan membeli bisnis internasional. Peraturan ketenagakerjaan
dan lingkungan hidup dilonggarkan untuk meningkatkan produksi. Sebuah kelompok kerja
yang melibatkan bank-bank besar telah dibentuk oleh Komisi Jasa Keuangan dan Pasar
(Financial Services and Markets Commission) untuk menilai jatuh tempo utang luar negeri
Jepang dan membuat rencana cadangan jika hubungan antara Korea Selatan dan Jepang
memburuk.

Dalam jangka pendek, analis Moody's Investor Service percaya bahwa pembatasan ekspor
Jepang hanya bersifat simbolis dan tidak akan berdampak signifikan pada pertumbuhan
ekonomi kedua negara. Namun, dalam jangka panjang, pembatasan ini berisiko mengganggu

12
rantai pasokan dan menghambat perkembangan ekonomi di Korea Selatan dan juga Jepang.
Selain itu, ada kemungkinan dampaknya dapat menyebar melalui rantai pasokan kedua negara
yang terputus-putus. Studi Citi sejalan dengan peringkat Moody's. Samsung Electronics, LG
Displays, dan SK Hynix adalah bisnis-bisnis utama yang terkena dampak pembatasan ini. IHS
Markit berpendapat bahwa tindakan Jepang memperburuk situasi di Asia Timur dan
memperumit dinamika perdagangan dalam konteks perundingan perdagangan AS-Tiongkok
yang sedang berlangsung. Menurut jajak pendapat baru-baru ini oleh Konfederasi Industri
Korea, 6,2% hingga 46,9% perusahaan Korea Selatan-Jepang melaporkan bahwa
memburuknya hubungan antara kedua negara memiliki dampak negatif yang signifikan
terhadap bisnis mereka.

Menurut studi Citi, baik Jepang maupun Korea Selatan terkena dampak signifikan dari
pembatasan ekspor di Korea Selatan. Dampak terhadap Jepang meliputi: (i) penurunan ekspor
ke Korea Selatan sekitar 46,6 miliar yen per tahun, atau kurang dari 1% dari nilai seluruh ekspor
ke Korea Selatan dan 0,09% dari PDB Jepang pada tahun 2018; (ii) meskipun pembatasan
hanya menargetkan barang-barang teknologi tinggi, sektor semikonduktor saja akan terkena
dampaknya sebesar 256,5 miliar yen; dan (iii) potensi penurunan 10% jumlah wisatawan Korea
Selatan yang berkunjung ke Jepang. Namun, dampak yang sebenarnya tampaknya lebih kecil,
yaitu sekitar $200 juta. Saat ini ada boikot terhadap barang-barang Jepang di toko-toko Korea
Selatan, menurut Nikkei Asian Review. Selain itu, sebuah jajak pendapat oleh agen perjalanan
Korea Herald menemukan bahwa, dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2018,
pemesanan perjalanan ke Jepang mengalami penurunan besar sebesar 50 hingga 70 persen.

Saat ini, Korea Selatan sedang mengalami dampak negatif dari strategi pembatasan tersebut.
Dalam waktu tiga bulan setelah penerapan pembatasan, diperkirakan bahwa dampak negatif
pada industri ini akan berangsur-angsur berkurang. Karena permintaan yang lesu, industri
semikonduktor masih berjuang dengan tingkat persediaan yang besar. Samsung merasakan
dampaknya, tetapi tidak jelas bagaimana hal ini akan mempengaruhi sektor smartphone karena
LG Display tidak bergantung pada impor poliamida berfluorinasi dari Jepang untuk membuat
layarnya. Namun, ada risiko besar dari efek limpahan mengingat rantai pasokan yang luas dan
partisipasi yang kuat dari perusahaan kecil dan menengah (UKM) dalam jaringan produksi
Samsung. Selain itu, ada risiko besar yang terkait dengan chip memori karena kelangkaan stok
yang tersedia. Penting untuk diingat bahwa pembatasan ekspor yang diberlakukan Jepang juga
dapat memengaruhi Tiongkok dan Vietnam, sehingga meningkatkan bahaya yang dapat muncul
di seluruh wilayah tersebut.

13
Tiongkok kemungkinan besar akan mengalami dampak terbesar karena tidak ada perusahaan
domestik di sana yang dapat memproduksi memori flash DRAM dan NAND dalam skala besar.
Sebagai alternatif, Tiongkok mungkin akan memindahkan permintaannya ke AS, tetapi
perubahan ini akan mengganggu rantai pasokan dalam jangka pendek dan membutuhkan waktu
untuk memperbarui spesifikasi, teknologi, dan investasi. Lebih jauh lagi, pilihan ini dibatasi
oleh ketegangan perdagangan yang sedang berlangsung. Sekitar 42% semikonduktor dan 64%
chip memori di Vietnam diimpor dari Korea Selatan. Pada tahun 2018, 25% dari total ekspor
Vietnam dilakukan oleh Samsung Electronics Vietnam. Selain itu, lebih dari setengah produksi
global Samsung untuk aksesori ponsel diproduksi di Vietnam. Di sisi lain, karena Samsung
Indonesia sebagian besar berkonsentrasi pada penyesuaian produk untuk memenuhi
permintaan domestik, meminimalkan kerentanan terhadap gangguan rantai pasokan, ada
kemungkinan lebih rendah dari efek limpahan untuk Indonesia.

Menyusul keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang mendukung Jepang dalam
kasus anti-dumping Korea Selatan, permusuhan kedua negara semakin mereda. WTO
mengonfirmasi anggapan Jepang bahwa strategi anti-dumping Korea Selatan untuk katup
pneumatik pada tahun 2018 melanggar hukum dalam laporan yang dirilis pada 10 September
2019. Analisis harga katup pneumatik dan pengungkapan data produk ditetapkan sebagai
pelanggaran peraturan WTO. Korea Selatan melakukan upaya untuk menyelesaikan
perselisihan melalui negosiasi tertulis dengan Badan Penyelesaian Sengketa WTO untuk
meredakan kekhawatiran ini. Sesuai dengan peraturan WTO, Korea Selatan dan Jepang harus
bertemu untuk mendiskusikan penyelesaian dalam waktu 30 hari setelah mediasi. Namun,
pertemuan tersebut tidak menghasilkan penyelesaian karena permusuhan yang semakin
meningkat antara kedua negara. Korea Selatan kemudian meminta pembentukan mekanisme
penyelesaian sengketa di dalam WTO. Sayangnya, dampak pandemi Covid-19 menyebabkan
penundaan pembentukan badan tersebut, sehingga perselisihan tersebut tidak terselesaikan.
Pada awal tahun 2020, diskusi untuk menyelesaikan konflik dimulai oleh Jepang dan Korea
Selatan. Kedua pejabat tinggi perdagangan kedua negara tersebut hadir. Pertemuan ini
berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan menghasilkan catatan negosiasi damai yang
signifikan, membuktikan bahwa kedua negara dapat meredakan masalah perdagangan. Mereka
kemudian memutuskan untuk mengadakan konferensi lain di Seoul untuk melanjutkan diskusi
mengenai masalah ini (Ezell, 2020).

Terlepas dari masalah yang terus berlanjut di antara kedua negara pada tahun 2019, tidak ada
solusi yang ditemukan, dan diperkirakan keadaan menjadi lebih buruk. Peluang untuk

14
menyelesaikan ketegangan antara Korea Selatan dan Jepang dalam waktu dekat semakin sulit
karena peristiwa yang terjadi pada tahun 2019. Selain itu, jelas bahwa ekonomi kedua negara
terkena dampak dari kontroversi wanita penghibur. The Korea Times menekankan berapa
banyak orang Korea Selatan yang bertekad untuk memboikot barang-barang Jepang dan
meminta SPBU untuk berhenti mengisi mobil Jepang dengan bensin (Ma, 2019).

Kesimpulan
Perang dagang antara Jepang dan Korea, khususnya terkait restriksi impor bahan
material kimia, telah memiliki dampak yang signifikan pada kedua negara. Restriksi ini telah
mengganggu rantai pasokan industri kimia dan mempengaruhi produksi barang-barang yang
menggunakan bahan material tersebut. Restriksi impor bahan material kimia telah
menyebabkan peningkatan harga dan ketersediaan yang terbatas bagi produsen di kedua negara.
Hal ini berdampak negatif terhadap daya saing industri dan pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan. Konflik perdagangan ini juga telah mempengaruhi hubungan diplomatik antara
Jepang dan Korea. Ketegangan politik dan ekonomi antara kedua negara telah memperumit
penyelesaian masalah ini, sehingga sulit untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan.
Meskipun perang dagang ini memiliki konsekuensi negatif, ada juga potensi untuk
perkembangan industri dalam negeri. Restriksi impor bahan material kimia dapat mendorong
inovasi dan pengembangan teknologi baru di Jepang dan Korea untuk mengurangi
ketergantungan terhadap impor. Kesimpulan akhir dari analisis ini adalah bahwa perang
dagang antara Jepang dan Korea terkait restriksi impor bahan material kimia adalah situasi
yang kompleks dengan dampak negatif yang signifikan. Diperlukan upaya kolaboratif dari
kedua negara untuk mencapai penyelesaian yang saling menguntungkan dan memulihkan
hubungan perdagangan yang sehat.

Daftar Pustaka

Bahri, F. N. (2019). History and Japanese South Korea Trade Wars. Japanese Research
onLinguistics, Literature, and Culture Vol. 2 No. 1 Nov. 2019, p., 46-59 , 54.

Fauzia, R. (2017). DIPLOMASI KOREA SELATAN MENDESAK JEPANG


MENANDATANGANIAGREEMENT ON COMFORT WOMEN TAHUN 2011-
2015. JOM FISIP Vol.4 No.1 , 6.

15
Gracellia, J. (2020). IMPLIKASI PENANGANAN MASALAH COMFORT WOMEN
TERHADAP HUBUNGAN JEPANG DAN KOREA SELATAN PADA TAHUN
2015-2019. UPH Journal of International Relations, 6.

Japan, M. o. (t.thn.). Statement by Prime Minister Tomiichi Murayama "On the occasion of the
50thanniversary of the war's end" (15 August 1995). Diambil kembali dari mofa.go.jp:
https://www.mofa.go.jp/announce/press/pm/murayama/9508.html

Lee, J. (2019). South Korean forced labor victims to seek Japan's Mitsubishi asset sale.
Seoul:journalpioneer.com

Lisbet. (2019). KETEGANGAN HUBUNGAN JEPANG-KOREA SELATAN DAN


IMPLIKASINYA. Vol.XI, No.14/II/Puslit/Juli/2019, 7-8.

Lynch, A. (t.thn.). Comfort Women. Diambil kembali dari britannica.com:


https://www.britannica.com/topic/slavery-sociology

Ma, A. (2019, July 24). South Korea and Japan are havinf their own trade war, and it's gotten
sobad that some South Korean gas stations are refusing to refuel Japanese-made cars.
Diambil kembali dari businessinsider.com: https://www.businessinsider.com/south-
koreajapan-trade-war-gas-stations-decades-long-tensions-2019-7?r=US&IR=T

Mangkuto, W. S. (2019, Agustus 29). Kronologi Perang Dagang Jepang-Korea, Dari Luka
Perang Dunia. Retrieved from CNBC Indonesia:
https://www.cnbcindonesia.com/news/20190829133707-4-95656/kronologi-perang-
dagang-jepang-korea-dari-luka-perang-dunia

O'Shea, S. M. (2019, August 20). There Will Be No Winner in the Japan-South Korea Dispute.
Diambil kembali dari thediplomat.com: https://thediplomat.com/2019/08/there-will-
be-no-winner-in-the-japansouth-korea-dispute/

Panda, A. (2017, January 09). The 'Final and Irreversible' 2015 Japan-South Korea Comfort
Women Deal Unravels. Diambil kembali dari thediplomat.com:
https://thediplomat.com/2017/01/the-final-andirreversible-2015-japan-south-korea-
comfort-women-deal-unravels/

16
Putri, D. C. (2017). Penolakan Korban Comfort Women System Dari Korea Selatan Terhadap
2015 Japan-ROK Agreement On Comfort Women. Hubungan Internasional, Vol. 7 No.
3,desember 2017, 72.

Sakaki, A. (2019). Japan-South Korea Relations - A Downward Spiral. SWP Comment


No.35August 2019, 2-3.

South Korea and Japan's feud explained. (2019, December 02). Diambil kembali dari bbc.com:
https://www.bbc.com/news/world-asia49330531

Tatsumi, Y. (2015, December 28). Japan, South Korea Reach Agreement on ‘Comfort Women’.
Diambil kembali dari thediplomat.com: https://thediplomat.com/2015/12/japan-south-
korea-reachagreement-on-comfort-women/

Times, T. J. (2019). As wartime issues simmer, 2019 looks to be another testing year for Japan-
South Korea relations. japantimes.co.jp.

Wingfield-Hayes, R. (2015). Japan revisionists deny WW2 sex slave atrocities. bbc.com

Xinhua. (2019). New Analysis: Trade dispute between S. Korea, Japan risk damaging
botheconomies. Seoul: xinhuanet.com

17

Anda mungkin juga menyukai