PENDAHULUAN
Teori heckscher-ohlin yang sampai sekarang masih diakui sebagai salah satu teori
fundamental dalam ilmu ekonomi internasional. Asumsi pertamannya adalah menlonggarkan
teori perdagangan yang dipelajari di bab sebelumnya. Yakni bahwa didunia ini hanya ada dua
Negara, dua komoditi, dan dua factor produksi – agar kita memperluas pembahasan dengan
mencakup lebih dari dua Negara, lebih dua komoditi dan lebih dari dua factor produksi.
Asumsi kedua dari teori ini yakni kedua Negara memiliki tingkat teknologi produksi yang
sama – sebenarnya memang harus dilakukan mengingat asumsi itu sendiri, sama halnya
dengan asumsi pertama, kurang logis karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Tingkat
teknologi yang dimiliki dan digunakan oleh masing-masing Negara berbeda-beda. Namun
teknologi itu sendiri dapat dianggap sebagai salah satu jenis factor produksi sehingga
perdagangan yang didasarkan pada variasi tingkat teknologi antarnegara masih dapat
dianggap tercakup. Asumsi ketiga, yakni bahwa komoditi X merupakan sebuah komoditi
padat L atau padat tenaga kerja, sedangkan Y adalah komoditi padat K atau padat modal
mengisyaratkan bahwa perubahan intensitas factor dalam masing-masing komoditi tidak
memungkinkan. Asumsi keempat bahwa skala hasil senatiasa konstan. Padahal, dalam
kenyataannya perdagangan internasional antara lain terjadi atas skala hasil yang meningkat.
Namun konsep skala hasil yang meningkat itu dapat dipandang sebagai aspek komplementer
atau penunjang bagi teori hackscher-ohlin. Asumsi kelima dalam model ini adalah adanya
spesialisasi yang tidak menyeluruh dimasing-masing Negara. Seandainya saja perdagangan
dapat menyempurnakan spesialisasi produksi di salah satu Negara, maka dengan sendirinya
harga-harga relative komoditi di kedua Negara tersebut akan sama, namun harga factor
produksi akan tetap berbeda. Asumsi keenam mengenai keseragaman selera agaknya akan
sulit dibuktikan secara empiris. Dalam kenyataannya selera tentu saja bervariasi sehingga dari
sebuah Negara kita dapat menemukan begitu banyak selera tergantung pada kesediaan fisik
factor-faktor produksi yang selanjutnya juga dapat dikemukakan untuk menjelaskan
berbedanya harga relative komoditi antarnegara yang menjadi landasan berlangsungnya
perdagangan antar Negara. Asumsi ketujuh mengenai persaingan sempurna di semua pasar
produk dan pasar factor produksi nampaknya lebih sulit dilakukan. Dalam kenyataannya
sekitar separuh dari seluruh transaksi perdagangan manufaktur di antara Negara-negara
industry maju didasarkan pada diferensiasi produk dan skala ekomonis. Selajutnya asumsi
kedelapan mengenai ketiadaan mobilitas factor produksi internasional masih dapat kita
lakukan tanpa menggangu keberlakuan atau keabsahan model ini. Jika adanya mobilitas
factor produksi internasional, meskipun tidak sempurna, maka volume perdagangan yang
dibutuhkan untuk menyamakan harga-harga komoditi dan factor produksi di semua Negara
akan lebih kecil. Artinya denga relative sedikit hubungan perdagangan, proses penyamaan
harga komoditi dan factor produksi antar satu Negara dengan Negara lain sudah dapat
berlangsung. Sedangkan asumsi kesembilan, yakni mengenai ketiadaaan biaya transportasi
dan hambatan-hambatan arus perdagangan dalam bentuk apa pun memang harus ditinggalkan
karena sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dalam prakteknya, adanya biaya
transportasi dan berbagai bentuk hambatan/restriksi itu telah terbukti telah menyusutkan
volume perdagangan internasional dan memperkecil keuntungan-keuntungan yang akan
dibuahkan. Penghapusan asumsi ini hanya akan sedikit memodifikasi teorema heckscher-
ohlin tanpa meruntuhkan keberlakuannya. Dan asumsi kesepuluh, yakni dengan menganggap
segenap sumber daya yang tersedia tidak terkerahkan secara penuh, sehingga pemanfaatan
keunggulan komparatif tidak sesempurna yang digambarkan oleh teori tersebut. Pelonggaran
asumsi kesebelas yakni mengatakan bahwa perdagangan internasional senatiasa berjalan
seimbang (artinya masing-masing Negara akan mengekspor sebanyak impornya) akan
membawa kita pada kenyataan bahwa suatu Negara selalu menghadapi kemungkinan
mengalami deficit perdagangan. Bahkan ada kalanya suatu Negara mengimpor komoditi yang
keunggulan komparatifnya lebih ia kuasai.
Sebagai rangkuman kita dapat menyimpulkan bahwa asumsi pelonggaran tersebut adalah
sebagian besar asumsi dasar teori heckscher-ohlin hanya dimodifikasi tanpa menganggu
keberlakuanya. Jika ingin memahami terjadinya perdagangan internasional yang didasarkan
pada selisih perubahan atau kemajuan teknologi yang terjadi dari waktu ke waktu di berbagai
Negara, maka kita harus mencari teori perdagangan yang baru karena teori ini tidak dapat
menjelaskannya. Ada 2 alasan utama mengapa Negara-negara melakukan spesialisasi
produksi dan terlibat dalam perdagangan internasional. Alasan pertama, Negara-negara itu
berbeda-beda satu sama lain, baik sumber daya yang masing-masing mereka punya maupun
dalam tingkat penguasaan teknologi dan mereka berspesialisasi dalam rangka memproduksi
sesuatu dengan cara yang lebih baik. Alasan kedua, untuk menggapai skala ekonomis, atau
prinsip hasil yang meningkat yang memungkinkan setiap Negara untuk meraih keuntungan
melalui spesialisasi dalam produksi atas pada beberapa barang dan jasa saja.
B. Skala Ekonomis dan Perdagangan Internasional
Salah satu asumsi model Hecksher-Ohlin menyatakan bahwa kedua komoditi diproduksikan
atas dasar skala hasil yang konstan di kedua negara. Perdagangan di antara dua negara yang
faktor – faktor produksinya maupun komoditi andalannya yang identik tidak akan dapat
dijelaskan melalui model Heckscher-Ohlin.
Dalam bab terdahulu, model–model keunggulan atau keunggulan komparatif yang telah
disajikan senantiasa didasarkan pada asumsi atau prinsip “skala hasil yang konstan”. Artinya,
kita dapat mengasumsikan bahwa jika input untuk suatu industri di lipatduakan, maka output
industri tersebut juga akan berlipat dua. Namun dalam kenyataannya, banyak industri atau
sektor ekonomi yang beroperasi atas dasar skala ekonomis, sehingga semakin besar skala
produksinya, akan semakin besar pula produktivitasnya. Sebagai contoh sederhana, untuk
memproduksi 10 unit produk, missalnya diperlukan 15 jam kerja, sedangkan untuk
memproduksi 25 unit diperlukan 30 jam kerja. Adanya skala ekonomis dapat dilihat dari
kenyataan bahwa dengan melipatduakan input tenaga kerja dari 15 menjadi 30 jam kerja
menyebabkan output industri tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat, yakni dari 10
menjadi 25 unit. Dalam kenyataannya, dengan pelipatan input, output dapat meningkat
dengan kelipatan 2,5. Demikian pula halnya, keberadaan skala ekonomis itu dapat dilihat
dengan mengamati rata-rata jumlah tenaga kerja yang dikerahkan untuk menghasilkan setiap
unit output : jika output yang ada hanya 5 unit, maka rata-rata kebutuhan input tenaga kerja
adalah 2 jam, sedangkan apabila outputnya 25 unit, maka kebutuhan rata-rata akan input
tenaga kerjanya pun segera turun menjadi 1,2 jam. Dari contoh tersebut dapat dilihat
mengapa skala ekonomis mampu memberikan ransangan tersendiri bagi berlangsungnya
hubungan-hubungan internasional.
Perdagangan memungkinkan setiap negara untuk menghasilkan dan memperoleh
variasi barang yang terbatas serta meraih keunggulan skala ekonomis tanpa mengorbankan
keragaman konsumsinya. Perdagangan internasional akan meningkatkan keragaman barang
yang tersedia.
Peradagangan yang saling menguntungkan bisa terus meningkat berkat bekerjanya
prinsip skala ekonomis. Setiap negara mengkhususkan diri dalam memprokduksi barang
barang tentu saja, yang memungkinkannya memproduksi barang - barang tersebut lebih
efisien daripada jika negara yang bersangkutan memproduksi sendiri segalanya,
perekonomian yang melakukan spesialisasi produksi ini selanjutnya berdagang satu sama lain
agar dapat menkonsumsi seluruh jenis barang.
Pada dasarnya skala ekonomis atau pun skala hasil yang meningkat menandakan
bahwa input yang dibutuhkan per unit produksi semakin kecil denagn semakin banyaknya
output yang di produksi.
Untuk menganalisis dampak skala ekonomis terhadap struktur pasar, kita memang
mebutuhkan kejelasan tentang peningkatan produksi seperti apa yang diperlukan untuk
menurunkan biaya rata rata. Skala ekonomis eksternal (external economies of scale) akan
tercipta apabila jumlah biaya per unit sudah tergantung pada besarnya industri, tidak perlu
besarnya satu perusahaan.
Selanjutnya skala ekonomis internal (internal economies of scale) muncul jika biaya
per unit tergantung pada besarnya satu perusahaan, sehingga hal itu tidak perlu dikaitkan
dengan besarnya industri yang bersangkutan. Perbedaan antara skala ekonomis eksternal dan
skala ekonomis internalakan dapat dilukiskan dengan contoh hipotesis sebagai berikut.
Suatu industri yang pada awalnya yang hanya terdiri dari 10 perusahaan, yang masing
masing menghasilkan 100 unit output. Kini pertimbangkan dua kasus. Pertama, katakanlah
ukuran industri tersebut, karena sesuatu dan lain sebab, berlipat dua, sehingga kini terdapat
20 perusahaan, yang masing-masing akan menghasilkan 100 unit output.
Pada sisi lain, misalkan output dari industri yang bersangkutan tidak berubah, tetapi
jumlah perusahaan susut separuh, sehingga setiap perusahaan akan menghasilkan 200 unit
output. Jika dalam kasus in efisiensi mengalami peningkatan, maka terdapat skala ekonomis
internal; suatu perusahaan lebih efisien jika outputnya lebih banyak.
Skala ekonomis eksternal dan internal tersebut masing - masing menimbulkan
implikasi-implikasi berbeda terhadap struktur industri. Suatu industri dimana skala
ekonomisnya sepenuhnya bersifat eksternal biasanya akan terdiri dari perusahaan kecil, dan
strukturnya akan berkembang menjadi persaingan sempurna. Sebaliknya, jika skala ekonomis
internal memberikan perusahaan- perusahaan berukuran besar suatu keunggulan biaya atas
perusahaan - perusahaan kecil, maka hal ini pada akhirnya dapat menciptakan struktur pasar
persaingan tidak sempurna.
Penelitian-penelitian yang terbaru mengenai peranan skala ekonomis dalam
perdagangan internasional ternyata menemukan dua alasan yaitu pertama, skala ekonomis
internal lebih mudah di identifikasikan dalam praktek dibandingkan dengan skala ekonomi
eksternal. Alasan kedua, penelitian tersebut kebanyakan memusatkan perhatiannya pada skala
ekonomis internal adalah, karena perkembangan perdagangan internal yang timbul dari
model-model perdagangan dengan skala ekonomis internal yang banyak dikembangkan
akhir-akhir ini lebih sederhana dan mudah di pahami apabila dibandingkan dengan
perkembangan yang muncul dari model-model yang bertumpu pada skala ekonomis
eksternal.
Konsep skala hasil meningkat mengacu pada situasi produksi dimana output
bertambah lebih proporsional ketimbang peningkatan input atau fakto-faktor produksinya.
Artinya, seandainya semua input di lipatdua kan, maka output akan bertambah lebih dua kali
lipat. Demikian pula jika semua input di tambah hingga tiga kali lipat dari pada sebelumnya,
maka outputnyapun akan bertambah lebih tiga kali lipat. Skala hasil yang meningkat ini dapat
terjadi karena operasi yang lebih besar cenderung meningkatkan pembagian kerja dan
spesialisasi sehingga setiap unit faktor produksi akan membuahkan hasil yang lebih besar.
Pada dasamya, besar kecilnya atau tingkatan atau volume perdagangan intra-industri
dapat diukur atau dihitung berdasarkan indeks perdagangan intra-industri (intra-industry trade
index) yang diberi simbol T. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut: T = 1 - X dan M
masing-masing melambangkan nilai ekspor dan impor dari suatu industri atau kelompok
komoditi tertentu, sedangkan garis-garis vertikal pada pembilang di dalam Rumus (6-1)
menunjukkan bahwa nilai-nilai yang “dipagarinya” adalah angka-angka absolut (senantiasa
positif). Nilai T atau indeks perdagangan intra-industri itu sendiri bervariasi; yakni dari 0
hingga 1. T akan sama dengan 0 apabila sebuah negara hanya mengekspor atau hanya
mengimpor suatu produk (artinya dia tidak terlibat dalam perdagangan intra-industri yang
bersifat dua arah itu). Di lain pihak jika ekspor dan impornya sama besar, maka untuk Negara
itu T = 1 (perdagangan intra-industri yang dilangsungkannya mencapai tingkatan
maksimal). Namun ternyata ada kelemahan serius dalam penggunaan indeks T untuk
mengukur tingkatan perdagangan intra-industri. Nilai-nilai T yang muncul acapkali lebih dari
satu, dan satu sama lain berbeda sehingga kita sulit menentukan mana T yang paling tepat.
Hasill perhitungannya juga mudah berubah kalau kita sedikit saja menggeser cakupan
industri atau kelompok produk yang menjadi objek perhitungan. Secara lebih spesifik bisa
dikatakan bahwa semakin luas cakupan dari suatu sektor industri, maka akan semakin besar
nilai T. Alasannya adalah, semakin luas cakupan sektor industri tersebut, maka akan semakin
besar kemungkinan negara yang bersangkutan akan mengekspor produk-produk
terdiferensiasi dalam varietas atau jenis yang lebih banyak. Oleh sebab itu, penggunaan
indeks T harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengakibatkan salah tafsir. Di satu sisi
indikator tersebut memang dapat sangat berguna dalam mengukur jangkauan atau tingkatan
perdagangan intra-industri yang dilakukan oleh masing-masing negara industri maju serta
jangkauan dari sektor-sektor industrinya yangi terlibat, dan cukup bisa diandalkan pula guna
menaksir berbagai perubahan dalam perdagangan intra-industri tersebut untuk sektor industri
yang sama dari waktu ke waktu. Di sisi lain, kita harus konsisten dalam menentukan cakupan
suatu sektor industri agar nilai-nilai T yang muncul memiliki cakupan yang sama, sehingga
hasil-hasil perhitungannya dapat saling diperbandingkan.
F. Model Formal Perdagangan Intra-Industri
Gambar 6-2 berikut ini menyajikan sebuah model formal mengenai perdagangan
intra-industri. Dalam gambar tersebut, D melambangkan kurva permintaan yang dihadapi
oleh sebuah perusahaan penjual produk-produk yang terdiferensiasi. Karena banyak
perusahaan lain yang menjual produk-produk yang mirip, maka kurva permintaan yang
dihadapi oleh perusahaan tersebut bersifat cukup elastis (kemiringan atau kecondongan D
relatif kecil). Itu berarti, perubahan harga yang kecil saja, sudah dapat menimbulkan
perubahan yang besar dalam volume penjualan perusahaan tersebut. Bentuk atau organisasi
pasar yang memiliki banyak perusahaan yang semuanya menjual berbagai produk yang mirip
satu sama lain (semuanya terdiferensiasi) dan akses keluar masuk perusahaan-perusahaan
baru ke dalam sektor atau pasar tersebut tidak terlampau sulit, biasa disebut sebagai pasar
atau ekonomi persaingan monopolistik (monopolistic cotltpetition nutrket/econonty). Karena
setiap perusahaan yang ada di Opasar itu harus menurunkan harga untuk semua unit
komoditinya apabila ia ingin meningkatkan penjualan, maka kurva pendapatan marginal
perusahaan tersebut (MR) lebih rendah ketimbang kurva permintaannya (D), sehingga MR
lebih kecil dari P. Sebagai contoh, D memperlihatkan bahwa perusahaan itu dapat menjual
produknya sebanyak dua unit berdasarkan P = 4,50 dolar sehingga ia akan mendapatkan total
.pendapatan sebanyak 9 dolar. Atau, ia bisa menjual tiga unit namun atas dasar harga P = 4
dolar sehingga total pemasukan yang diperolehnya adalah 112 dolar. Dengan demikian,
perubahan dalam total pendapatan atau MR = 3 dolar, mengiringi perubahan harga untuk unit
ketiga dari komoditi yang dijual itu,. yakni P = 4 dolar.
D adalah kurva pemintaan untuk produk yang dijual oleh sebuah perusahaan,
sedangkan MR adalah kurva pendapatan marginalnya. D mengarah ke bawah karena produk
itu terdiferensiasi. Sebagai akibatnya MR lebih kecil daripada P. Tingkat output yang terbaik,
atau yang paling menguntungkan, bagi perusahaan yang bersifat kompetitif monopolistik
tersebut adalah tiga unit, dan hal itu dilambangkan oleh titik E, di mana MR sama dengan
MC. Pada output atau Q = 3, maka harga yang ber{aku adalah P = AC = 14 (titik A) dan pada
titik tersebut perusahaan tadi mengalami titik impas jumlah yang diperolehnya persis sama
dengan jumlah yang telah dikeluarkannya sebagai biaya-biaya produksi dan investasi. AC
adalah kurva biaya rata-rata bagi perusahaan tersebut. AC ini mengarah ke bawah karena
berlakunya prinsip skala ekonomis (economics of scale).
Terlepas dari perbadaan-perbedaan dalam ketersediaan relatif aneka sumber daya atau factor
produksi seperti tenaga kerja , modal dan sumber daya alam ( yang sangat di tekankan oleh
teori Heckscher-Ohlin ) serta adanya skala ekonomis dan difrensiasi produk, perubahan-
perubahan dinamis dalam teknologi juga dapat menjadi factor pendorong tersendiri dalam
memunculkan perdagangan internasional.
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa teori Heckscher-Ohlin dan teori-teori
perdagangan yang baru itu sesungguhnya bersifat komplementer atau saling mendukung
dalam menjelaskan perdagangan internasional. Kesimpulan di atas membawa kita pada
kesimpulan berikutnya, yakni semakin berbeda kelimpahan faktor antara negara-negara yang
terlibat dalam perdagangan, maka semakin besar kemungkinan, bahwa mayoritas
perdagangan itu merupakan perdagangan antar industri. Demikian pula sebaliknya, semakin
mirip kelimpahan faktor di antara negara-negara yang terlibat dalam perdagangan maka
semakin besar kemungkinan bahwa itu merupakan perdagangan intra-industri.
Jelaslah pula bahwa pemakaian masing-masing model industry itu harus dibedakan kasus
perkasus. Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui kapan masing –
masing model atau teori tersebut dapat diterapkan. Yakni :
1. Model kelimpahan faktor Heckscher-Ohlin harus diterapkan demi menjelaskan
berlangsungnya perdagangan untuk komoditi primer, bahan – bahan mentah, aneka produk
pertanian dan berbagi produk manufaktur yang bersifat padat karya pada umumnya.
2. Teori-teori baru mengenai perdagangan yang didasarkan pada skala ekonomis dan
diferensiasi produk harus dikedepankan untuk menjelaskan berlangsungnya perdagangan
intra-industri yang biasanya meliputi aneka produk manufaktur padat modal dan berteknologi
tinggi. Meskipun kita masih memerlukan pengujian empiris yang lebih banyak untuk
membakukan generalisasi ini, secara umum kita sudah dapat menggunakan untuk memahami
berbagai kasus perdagangan antar negara.
Biaya transportasi ternyata memberikan pengaruh langsung yang sangat besar terhadap
perdagangan internasional, yakni dengan meningkatkan harga atau komoditi yang
diperdagangkan, baik itu bagi negara pengekspor maupun bagi negara pengimpor. Disamping
itu, biaya transportasi juga memberikan pengaruh tidak langsung terhadap lokasi
penyelenggaraan produksi dan pusat-pusat industri secara internasional.