Anda di halaman 1dari 23

I.

PENDAHULUAN

Perdagangan kerapkali menciptakan pihak-pihak yang dirugikan dan pihak yang


diuntungkan. Pengertian ini sangat penting untuk diresapi jika kita berkeinginan memahami
latar belakang apa sebenarnya yang menentukan kebijakan perdagangan perdagangan dari
suatu negara dalam lingkungan perekonomian dunia modern. Ada dua cara untuk meninjau
kebijakan perdagangan (atau kebijakan pemerintah). Yakni, yang pertama, dengan
mendasarkan penbahasan pada tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai melalui penerapan
kebijakan perdagangan. Contoh, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah? Apakah yang
dimaksud dengan kebijakan perdagangan yang optimal? Cara yang kedua adalah langsung
menyoroti langkah-langka yang ditempuh oleh pemerintah dari dari berbagai Negara dalam
praktek memberlakukan kebijakan perdagangan ini. Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh
kegiatan perdagangan internasional terhadap distribusi pendapatan merupakan suatu hal
penting dalam meninjau persoalan dengan cara pertama, dan bahkan lebih penting lagi untuk
cara kedua.
Pada dasarnya terdapat tiga alasan pokok mengapa kalangan ekonom pada umumnya
tidak terlalu menekankan perhatian mereka pada dampak distribusi pendapatan dari
perdagangan.
1) Dampak distribusi pendapatan bukan persoalan khas (hanya ada pada) perdagangan
internasional. Setiap perubahan di dalam perekonomian nasional, termasuk perubahan yang
terjadi sehubungan dengan adanya suatu kemajuan teknologi, cenderung menggeser prefensi
konsumen, tergantikannya sumber-sumber daya yang lama dengan yang baru, dan
sebagainya, senantiasa memberikan dampak terhadap kondisi ditribusi pendapatan dalam
masyarakat yang bersangkutan.
2) Apapun kelemahannya, selalu akan lebih baikjika perdagangan dimungkinkan berlangsung
secara benar-benar bebas (perkara hal itu akan merugikan pihak-pihak yang lemah, lagipula
ada banyak cara untuk membantu mereka serta mengkompensasikan kerugiannya). Meskipun
tidak mudah dan murah, langkah seperti ini masih lebih baik daripada tindakan melarang atau
menghalang-halangi berlangsungnya perdagangan.(ini berlaku juga untuk bentu-bentuk lain
dari perubahan ekonoomi).
3) Pihak–pihak yang mengalami kerugian dari peningkatan hubungan perdagangan biasanya
lebih terorganisir dibandingkan dengan pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dari
perdagangan. Ketidakseimbangan ini acapkali menciptakan suatu bias dalam proses politik
sehingga memelukan langkah-langkah pengimbang.
Dengan demikian, sebenarnya meskipun mereka mengakui adanya dampak negatif yang
ditimbulkan oleh perdagangan internasional terhadap distribusi pendapatan, sebagian besar
ekonom tetap meyakini bahwa lebih penting untuk menonjolkan keuntungan potensial dari
perdagangan daripada persoalan daripada mempermasalahkan kemunginan kerugian dari
sementara kelompok di dalam suatu negara. Sikap ini perlu diperhatikan karna para ekonom
situ tidak jarang memiliki kekuatan suara dalam memutuskan kebijakan ekonomi, khususnya
kala pertentangan kepentingan terus menerus berkecamuk dengan sengitnya.
Biasanya kelompok-kelompk ysng memperoleh keuntungan dari perdagangan untuk
produk-produk tertentu adalah kelompok yang kurang terkonsentrasi, kurang terdidik secara
politik dan juga kurang teroranisir bila dibandingkan dengan pihak-pihak yang menderita
kerugian akibat perdagangan.
Sebuah contoh yang baik mengenai adanya perbedaan yang mencolok antara kedua kubu
tersebut adalah di industry gula di Amerika Serikat. Pemerintah AS terlalu membatasi impor
gula selama bertahun-tahun. Pada waktu itu, harga gula di pasaran domestik AS kira-kira
empat kali lipat dari harga yang berlaku di pasaran dunia. Banyak perkiraan menunjukkan,
biaya yang dibebankan kepada konsumen barang kebutuhan pokok yang impornya dibatasi
sejak permulaan decade 1970-an ini mencapai lebih dari satu milyar Dola pertahun – atau
sekitar 5 Dolar per orang; baik itu laki-laki maupun perempuan dewasa maupun anak-anak
penggemar gula-gula. Akan tetapi, jumlah keuntungan (rente kuota) yang diterima oleh para
produsen gula domestik ternyata lebih kecil, yakni kurang dari separuh nilai kerugiannya itu.
I. PEMBAHASAN
A. Model Heckscher-Ohlin dan Teori-teori Perdagangan

Teori heckscher-ohlin yang sampai sekarang masih diakui sebagai salah satu teori
fundamental dalam ilmu ekonomi internasional. Asumsi pertamannya adalah menlonggarkan
teori perdagangan yang dipelajari di bab sebelumnya. Yakni bahwa didunia ini hanya ada dua
Negara, dua komoditi, dan dua factor produksi – agar kita memperluas pembahasan dengan
mencakup lebih dari dua Negara, lebih dua komoditi dan lebih dari dua factor produksi.
Asumsi kedua dari teori ini yakni kedua Negara memiliki tingkat teknologi produksi yang
sama – sebenarnya memang harus dilakukan mengingat asumsi itu sendiri, sama halnya
dengan asumsi pertama, kurang logis karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Tingkat
teknologi yang dimiliki dan digunakan oleh masing-masing Negara berbeda-beda. Namun
teknologi itu sendiri dapat dianggap sebagai salah satu jenis factor produksi sehingga
perdagangan yang didasarkan pada variasi tingkat teknologi antarnegara masih dapat
dianggap tercakup. Asumsi ketiga, yakni bahwa komoditi X merupakan sebuah komoditi
padat L atau padat tenaga kerja, sedangkan Y adalah komoditi padat K atau padat modal
mengisyaratkan bahwa perubahan intensitas factor dalam masing-masing komoditi tidak
memungkinkan. Asumsi keempat bahwa skala hasil senatiasa konstan. Padahal, dalam
kenyataannya perdagangan internasional antara lain terjadi atas skala hasil yang meningkat.
Namun konsep skala hasil yang meningkat itu dapat dipandang sebagai aspek komplementer
atau penunjang bagi teori hackscher-ohlin. Asumsi kelima dalam model ini adalah adanya
spesialisasi yang tidak menyeluruh dimasing-masing Negara. Seandainya saja perdagangan
dapat menyempurnakan spesialisasi produksi di salah satu Negara, maka dengan sendirinya
harga-harga relative komoditi di kedua Negara tersebut akan sama, namun harga factor
produksi akan tetap berbeda. Asumsi keenam mengenai keseragaman selera agaknya akan
sulit dibuktikan secara empiris. Dalam kenyataannya selera tentu saja bervariasi sehingga dari
sebuah Negara kita dapat menemukan begitu banyak selera tergantung pada kesediaan fisik
factor-faktor produksi yang selanjutnya juga dapat dikemukakan untuk menjelaskan
berbedanya harga relative komoditi antarnegara yang menjadi landasan berlangsungnya
perdagangan antar Negara. Asumsi ketujuh mengenai persaingan sempurna di semua pasar
produk dan pasar factor produksi nampaknya lebih sulit dilakukan. Dalam kenyataannya
sekitar separuh dari seluruh transaksi perdagangan manufaktur di antara Negara-negara
industry maju didasarkan pada diferensiasi produk dan skala ekomonis. Selajutnya asumsi
kedelapan mengenai ketiadaan mobilitas factor produksi internasional masih dapat kita
lakukan tanpa menggangu keberlakuan atau keabsahan model ini. Jika adanya mobilitas
factor produksi internasional, meskipun tidak sempurna, maka volume perdagangan yang
dibutuhkan untuk menyamakan harga-harga komoditi dan factor produksi di semua Negara
akan lebih kecil. Artinya denga relative sedikit hubungan perdagangan, proses penyamaan
harga komoditi dan factor produksi antar satu Negara dengan Negara lain sudah dapat
berlangsung. Sedangkan asumsi kesembilan, yakni mengenai ketiadaaan biaya transportasi
dan hambatan-hambatan arus perdagangan dalam bentuk apa pun memang harus ditinggalkan
karena sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dalam prakteknya, adanya biaya
transportasi dan berbagai bentuk hambatan/restriksi itu telah terbukti telah menyusutkan
volume perdagangan internasional dan memperkecil keuntungan-keuntungan yang akan
dibuahkan. Penghapusan asumsi ini hanya akan sedikit memodifikasi teorema heckscher-
ohlin tanpa meruntuhkan keberlakuannya. Dan asumsi kesepuluh, yakni dengan menganggap
segenap sumber daya yang tersedia tidak terkerahkan secara penuh, sehingga pemanfaatan
keunggulan komparatif tidak sesempurna yang digambarkan oleh teori tersebut. Pelonggaran
asumsi kesebelas yakni mengatakan bahwa perdagangan internasional senatiasa berjalan
seimbang (artinya masing-masing Negara akan mengekspor sebanyak impornya) akan
membawa kita pada kenyataan bahwa suatu Negara selalu menghadapi kemungkinan
mengalami deficit perdagangan. Bahkan ada kalanya suatu Negara mengimpor komoditi yang
keunggulan komparatifnya lebih ia kuasai.
Sebagai rangkuman kita dapat menyimpulkan bahwa asumsi pelonggaran tersebut adalah
sebagian besar asumsi dasar teori heckscher-ohlin hanya dimodifikasi tanpa menganggu
keberlakuanya. Jika ingin memahami terjadinya perdagangan internasional yang didasarkan
pada selisih perubahan atau kemajuan teknologi yang terjadi dari waktu ke waktu di berbagai
Negara, maka kita harus mencari teori perdagangan yang baru karena teori ini tidak dapat
menjelaskannya. Ada 2 alasan utama mengapa Negara-negara melakukan spesialisasi
produksi dan terlibat dalam perdagangan internasional. Alasan pertama, Negara-negara itu
berbeda-beda satu sama lain, baik sumber daya yang masing-masing mereka punya maupun
dalam tingkat penguasaan teknologi dan mereka berspesialisasi dalam rangka memproduksi
sesuatu dengan cara yang lebih baik. Alasan kedua, untuk menggapai skala ekonomis, atau
prinsip hasil yang meningkat yang memungkinkan setiap Negara untuk meraih keuntungan
melalui spesialisasi dalam produksi atas pada beberapa barang dan jasa saja.
B. Skala Ekonomis dan Perdagangan Internasional

Salah satu asumsi model Hecksher-Ohlin menyatakan bahwa kedua komoditi diproduksikan
atas dasar skala hasil yang konstan di kedua negara. Perdagangan di antara dua negara yang
faktor – faktor produksinya maupun komoditi andalannya yang identik tidak akan dapat
dijelaskan melalui model Heckscher-Ohlin.
Dalam bab terdahulu, model–model keunggulan atau keunggulan komparatif yang telah
disajikan senantiasa didasarkan pada asumsi atau prinsip “skala hasil yang konstan”. Artinya,
kita dapat mengasumsikan bahwa jika input untuk suatu industri di lipatduakan, maka output
industri tersebut juga akan berlipat dua. Namun dalam kenyataannya, banyak industri atau
sektor ekonomi yang beroperasi atas dasar skala ekonomis, sehingga semakin besar skala
produksinya, akan semakin besar pula produktivitasnya. Sebagai contoh sederhana, untuk
memproduksi 10 unit produk, missalnya diperlukan 15 jam kerja, sedangkan untuk
memproduksi 25 unit diperlukan 30 jam kerja. Adanya skala ekonomis dapat dilihat dari
kenyataan bahwa dengan melipatduakan input tenaga kerja dari 15 menjadi 30 jam kerja
menyebabkan output industri tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat, yakni dari 10
menjadi 25 unit. Dalam kenyataannya, dengan pelipatan input, output dapat meningkat
dengan kelipatan 2,5. Demikian pula halnya, keberadaan skala ekonomis itu dapat dilihat
dengan mengamati rata-rata jumlah tenaga kerja yang dikerahkan untuk menghasilkan setiap
unit output : jika output yang ada hanya 5 unit, maka rata-rata kebutuhan input tenaga kerja
adalah 2 jam, sedangkan apabila outputnya 25 unit, maka kebutuhan rata-rata akan input
tenaga kerjanya pun segera turun menjadi 1,2 jam. Dari contoh tersebut dapat dilihat
mengapa skala ekonomis mampu memberikan ransangan tersendiri bagi berlangsungnya
hubungan-hubungan internasional.
Perdagangan memungkinkan setiap negara untuk menghasilkan dan memperoleh
variasi barang yang terbatas serta meraih keunggulan skala ekonomis tanpa mengorbankan
keragaman konsumsinya. Perdagangan internasional akan meningkatkan keragaman barang
yang tersedia.
Peradagangan yang saling menguntungkan bisa terus meningkat berkat bekerjanya
prinsip skala ekonomis. Setiap negara mengkhususkan diri dalam memprokduksi barang
barang tentu saja, yang memungkinkannya memproduksi barang - barang tersebut lebih
efisien daripada jika negara yang bersangkutan memproduksi sendiri segalanya,
perekonomian yang melakukan spesialisasi produksi ini selanjutnya berdagang satu sama lain
agar dapat menkonsumsi seluruh jenis barang.
Pada dasarnya skala ekonomis atau pun skala hasil yang meningkat menandakan
bahwa input yang dibutuhkan per unit produksi semakin kecil denagn semakin banyaknya
output yang di produksi.
Untuk menganalisis dampak skala ekonomis terhadap struktur pasar, kita memang
mebutuhkan kejelasan tentang peningkatan produksi seperti apa yang diperlukan untuk
menurunkan biaya rata rata. Skala ekonomis eksternal (external economies of scale) akan
tercipta apabila jumlah biaya per unit sudah tergantung pada besarnya industri, tidak perlu
besarnya satu perusahaan.
Selanjutnya skala ekonomis internal (internal economies of scale) muncul jika biaya
per unit tergantung pada besarnya satu perusahaan, sehingga hal itu tidak perlu dikaitkan
dengan besarnya industri yang bersangkutan. Perbedaan antara skala ekonomis eksternal dan
skala ekonomis internalakan dapat dilukiskan dengan contoh hipotesis sebagai berikut.
Suatu industri yang pada awalnya yang hanya terdiri dari 10 perusahaan, yang masing
masing menghasilkan 100 unit output. Kini pertimbangkan dua kasus. Pertama, katakanlah
ukuran industri tersebut, karena sesuatu dan lain sebab, berlipat dua, sehingga kini terdapat
20 perusahaan, yang masing-masing akan menghasilkan 100 unit output.
Pada sisi lain, misalkan output dari industri yang bersangkutan tidak berubah, tetapi
jumlah perusahaan susut separuh, sehingga setiap perusahaan akan menghasilkan 200 unit
output. Jika dalam kasus in efisiensi mengalami peningkatan, maka terdapat skala ekonomis
internal; suatu perusahaan lebih efisien jika outputnya lebih banyak.
Skala ekonomis eksternal dan internal tersebut masing - masing menimbulkan
implikasi-implikasi berbeda terhadap struktur industri. Suatu industri dimana skala
ekonomisnya sepenuhnya bersifat eksternal biasanya akan terdiri dari perusahaan kecil, dan
strukturnya akan berkembang menjadi persaingan sempurna. Sebaliknya, jika skala ekonomis
internal memberikan perusahaan- perusahaan berukuran besar suatu keunggulan biaya atas
perusahaan - perusahaan kecil, maka hal ini pada akhirnya dapat menciptakan struktur pasar
persaingan tidak sempurna.
Penelitian-penelitian yang terbaru mengenai peranan skala ekonomis dalam
perdagangan internasional ternyata menemukan dua alasan yaitu pertama, skala ekonomis
internal lebih mudah di identifikasikan dalam praktek dibandingkan dengan skala ekonomi
eksternal. Alasan kedua, penelitian tersebut kebanyakan memusatkan perhatiannya pada skala
ekonomis internal adalah, karena perkembangan perdagangan internal yang timbul dari
model-model perdagangan dengan skala ekonomis internal yang banyak dikembangkan
akhir-akhir ini lebih sederhana dan mudah di pahami apabila dibandingkan dengan
perkembangan yang muncul dari model-model yang bertumpu pada skala ekonomis
eksternal.
Konsep skala hasil meningkat mengacu pada situasi produksi dimana output
bertambah lebih proporsional ketimbang peningkatan input atau fakto-faktor produksinya.
Artinya, seandainya semua input di lipatdua kan, maka output akan bertambah lebih dua kali
lipat. Demikian pula jika semua input di tambah hingga tiga kali lipat dari pada sebelumnya,
maka outputnyapun akan bertambah lebih tiga kali lipat. Skala hasil yang meningkat ini dapat
terjadi karena operasi yang lebih besar cenderung meningkatkan pembagian kerja dan
spesialisasi sehingga setiap unit faktor produksi akan membuahkan hasil yang lebih besar.

Penjelasan gambar 6-1


Ada beberapa aspek dari analisis mengenai gambar 6-1 yang harus dijelaskan lebih
jauh. Pertama, tidak ada faktor penyebab yang pasti untuk mendorong kedua negara itu
berspesialisasi dalam produksi komoditi X maupun komoditi Y. Kedua, meskipun dikatakan
identik, kedua negara tersebut tidak mungkin sama persis dalam semua aspek ekonominya.
Ketiga, jika skala ekonomis itu terdapat pada berbagai tingkatan output, maka satu atau
beberapa perusahaan di masing-masing negara lambat laun akan dapat menguasai seluruh
pasar bagi produk tertentu sehingga menjurus pada terciptanya monopoli atau oligopoli.
Jadi, skala ekonomis atau skala hasil yang meningkat tersebut merupakan sesuatu
yang bersifat internal dalam perusahaan.
Konsep lain yang cukup penting dan berkaitan dengan skala ekonomis adalah
hipotesis yang dikemukakan oleh Linder pada tahun 1961, yang pada intinya menyatakan
bahwa suatu negara mengekspor produk produk manufaktur yang di dukung oleh pasar
domestik yang cukup besar. Menurut hipotesis “ kemiripan prefensi ”atau dapat pula disebut
sebagai hipotesis“ permintaan yang tumpang tindih “ tersebut, perkembangan manufaktur
cenderung terjadi di kalangan negara-negara yang selera dan tingkat pendapatannya setara.

C. Konsep Persaingan Tidak Sempuma dan Perdagangan Intemasional.


Pada bagian pembahasan ini kita akan menelaah hubungan yang sangat penting antara
persaingan tidak Sempurna dan perdagangan internasional. Dalam sebuah perekonomian atau
pasar persaingan sempurna, perusahan-perusahaan yang ada tidak bisa mempengaruhi harga
(price-taker). Artinya penjual barang harus selalu menerima kenyataan bahwa mereka dapat
menjual sebanyak mungkin yang mereka kehendaki asalkan berdasarkan pada harga yang
berlaku, dan mereka sama sekali tidak dapat mempengaruhi harga yang mereka terima atas
produk yang mereka jual. Akan tetapi, jika hanya sedikit sekali perusahaan yang
menghasilkan suatu barang, maka masalahnya pun menjadi sangat berbeda. Pada Perusahaan
monopolis biasanya menghadapi kurva permintaan yang bentuknya melengkung ke bawah
dari kiri atas ke kanan bawah. Bentuk kurva permintaan demikian menunjukkan bahwa
perusahaan tersebut bisa menghasilkan lebih banyak output hanya jika harganya turun.
Seperti yang telah kita ketahui dari teori dasar mikroekonomi, pada kurva permintaan adalah
kurva pendapatan atau kurva penerimaan marjinal (marginal revenue). Pendapatan marjinal
adalah pendapatan tambahan yang diperoleh dari penjualan satu unit tambahan. Pendapatan
marjinal bagi perusahaan monopolis selalu lebih rendah dari harga seluruh unit (jadi tidak
hanya unit tambahannya saja). Karena itu bagi sebuah perusahaan monopolis, kurva
penerimaan marjinalnya selalu terletak di bawah kurva permintaan. Seandainya bentuk
kurvanya sangat datar, maka perusahaan monopolis tersebut akan dapat menjual satu unit
tambahan dengan hanya menurunkan harga sedikit saja, dan banyak, sehingga pendapatan
marjinal akan mendekati harga per unit. Di sisi lain, jika kurva permintaan berbentuk sangat
curam, maka untuk menjual satu unit tambahan, perusahaan itu harus mengadakan penurunan
harga secara tajam sehingga menyebabkan pendapatan marjinal semakin lebih rendah dari
harga. Tingkat output yang memaksimumkan keuntungan perusahaan monopolis tercapai
ketika pendapatan marjinal (pendapatan yang diperoleh dari penjualan satu unit tambahan)
sama dengan biaya marjinal (biaya ekstra yang diperlukan untuk memproduksi satu unit
output tambahan tersebut). Secara grafis, hal tersebut merupakan titik perpotongan antara
kurva biayamarjinal atau MC dan dengan kurva penerimaan marjinal atau MR. Harga yang
diminta perusahaan pada suatu tingkat output tertentu yakni yang menjamin tercapainya
keuntungan maksimum biasanya lebih besar dari biaya rata-rata. Seandainya harga lebih
besar daripada biaya rata-rata, maka perusahaan monopolis tersebut akan memperoleh
sejumlah keuntungan monopolis (monopolistic profits). Adanya keuntungan monopoli jarang
sekali terbebas dari aneka bentuk tentangan atau kecaman. Suatu perusahaan yang
memperoleh keuntungan tinggi biasanya menciptakan sejumlah pesaing yang akan terus
menentangnya. Karena itu keadaan monopoli murni jarang dijumpai dalam kenyataan.
Struktur pasar yang lazim ditemui di berbagai sektor industri yang dicirikan oleh skala
ekonomis internal adalah struktur oligopoli: yakni keberadaan beberapa perusahaan dominan,
masing-masing dari mereka cukup besar untuk mempengaruhi harga akan tetapi tidak ada
satu pun yang mampu meraih status sebagai monopolis yang tidak memiliki saingan ! sama
sekali. Dalam model-model persaingan monopolistik (monopolistic competition) kita
bertumpu pada dua asumsi di seputar persoalan saling ketergantungan (interdependensi).
Asumsi yang pertama, setiap perusahaan dianggap mampu membedakan produknya dari
produk-produk saingannya. Artinya, para konsumen tidak akan langsung berbondong-
bondong membeli produk produk perusahaan lain hanya karena sedikit selisih harga. Adanya
perbedaan dan penganekaragaman produk (product differentiation) satu jenis produk dibuat
sedemikian rupa sehingga masing-masing merek nampak unik dan berbeda dari yang lain- ini
menjamin bahwa setiap perusahaan memiliki monopoli dalam produk khas di dalam suatu
industri, atau punya pasar sendiri, sehingga mereka agak terisolasi dari tekanan persaingan.
Sedangkan asumsi yang kedua, setiap perusahaan menganggap harga yang ditetapkan oleh
para pesaingnya sebagai sesuatu yang tetap (given) -artinya ia mengabaikan dampak dari
harga yang ditetapkannya terhadap harga perusahaan-perusahaan yang lain. Dengan
demikian, model persaingan monopolistik ini mengasumsikan bahwa meskipun setiap
perusahaan dalam prakteknya menghadapi tekanan persaingan dari perusahaan-perusahaan
yang lain, namun ia cenderung bertindak sebagaunana layaknya sebuah perusahaan
monopolis -karena itulah model ini disebut, sebagai model persaingan “monopolistik”. Akan
tetapi sebelum kita dapat menelaah kaitannya dengan perdagangan, kita perlu
mengembangkan suatu model dasar dari persaingan monopolistik. Untuk itu mari kita
bayangkan suatu industri yang dihuni oleh beberapa perusahaan yang saling bersaing.
Perusahaan-perusahaan ini menghasilkan produk-produk yang berbeda artinya, barang barang
yang tidak persis sama, namun bisa merupakan pengganti (substitusi) satu sama lain. Karena
itu setiap perusahaan sampai batas tertentu merupakan monopolis dalam artian ia merupakan
satu-satunya perusahaan yang menghasilkan jenis barang tertentu. Tetapi permintaan untuk
barang tersebut juga ditentukan oleh jumlah produk lain yang mirip yang tersedia di pasar
dan oleh harga barang-barang yang dihasilkan perusahaan-perusahaan lain di sektor industri
yang sama. Semakin banyak perusahaan yang ada, akan semakin tajam persaingan di antara
perusahaan-perusahaan tersebut, sehingga sebagai akibatnya mereka menetapkan harga yang
lebih rendah lagi. Model persaingan monopolistik juga mampu menangkap elemen-elemen
pokok tertentu dari suatu pasar yang mengandung skala ekonomi dan karenanya merupakan
pasar persaingan tidak sempurna. Namun, hanya sedikit industri yang tergambarkan dengan
baik oleh persaingan monopolistik; sedangkan kebanyakan struktur pasar yang ada di dalam
kenyataan adalah struktur oligopoli dengan sejumlah kecil perusahaan saja yang secara aktif
terlibat dalam persaingan monopolistik. Dalam struktur yang sesungguhnya, anggapan bahwa
masing-masing perusahaan itu akan berperilaku seolah-olah ia merupakan monopolis tulen,
mungkin tak berlaku lagi. Sebaliknya mereka biasanya sadar sepenuhnya bahwasanya
tindakan-tindakan mereka akan mempengaruhi tindakan-tindakan perusahaan lain, dan
mereka akan senantiasa memperhitungkan kemungkinan dan risiko interdependensi ini. Ada
dua perilaku penting yang acapkali muncul dalam keadaan oligopoli yang seringkali tidak
diperhitungkan dalam model persaingan sempurna. Pertama adalah perilaku persekongkolan
(collusive behavior). Setiap perusahaan senantiasa mungkin tergoda (dan kenyataannya
memang sering terjadi) untuk menetapkan harga lebih tinggi daripada tingkat harga yang bisa
menjamin keuntungan maksimum, sebagai bagian dari suatu kesepakatan bahwa perusahaan-
perusahaan lain akan bertindak serupa; karena setiap keuntungan perusahaan akan lebih
tinggi jika pesaing-pesaingnya menetapkan harga tinggi, kesepakatan demikian dapat
meningkatkan keuntungan semua perusahaan (atas beban konsumen) secara sekaligus.
Perilaku penentuan harga dengan kesepakatan seperti ini bisa diatur melalui kesepakatan
terang-terangan (dilarang di Amerika Serikat), atau dengan strategi yang dikoordinasikan
secara sembunyi¬sembunyi, seperti rekayasa agar satu perusahaan tertentu bertindak sebagai
pemandu harga bagi sektor industri yang bersangkutan secara keseluruhan. Perusahaan
perusahaan oligopolistik juga menempuh perilaku “strategis” yakni, mereka bisa melakukan
sesuatu yang tampaknya mengurangi keuntungan, akan tetapi sebetulnya dimaksudkan
mempengaruhi perilaku pesaing-pesaing sedemikian rupa persis seperti yang diinginkannya,
sehingga akan memberinya keuntungan lebih besar dalam jangka panjang. Sebagai contoh,
suatu perusahaan mungkin membangun kapasitas tambahan, bukan untuk meningkatkan
produksi, melainkan sekedar untuk menghalangi masuknya perusahaan perusahaan baru yang
berpotensi untuk menjadi saingan ke dalam sektor industri oligopolistik itu. Selalu
terbukanya kemungkinan bagi adanya tindakan persekongkolan maupun rekayasa “strategis”
di antara perusahaan-perusahaan oligopolistik ini membuat analisis mengenai oligopoli
menjadi tambah rumit.

D. Perdagangan Berdasarkan Diferensiasi Produk


Hampir semua perekonomian modern di berbagai negara tidak lagi menghasilkan produk-
produk homogen, melainkan aneka produk yang satu sama lain sangat bervariasi. Bahkan
untuk satu jenis produk pun variasi tetap dapat dilakukan. Pada dasarya ada empat hal
terpenting yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pola perdagangan ini, yakni sebagai
berikut: 1) Perdagangan antar-industri lebih didasarkan pada keunggulan komparatif. Pola
perdagangan antar-industri itu adalah sebagai berikut: Negara yang kaya akan modal
merupakan pengekspor barang-barang manufaktur yang memang bersifat padat modal dan
pengimpor neo makanan yang padat karya. Itu berarti keunggulan komparatif menempati
kedudukan yang sangat penting dalam jenis perdagangan ini. Inilah sesungguhnya yang
menjadi intisari teori perdagangan Heckscher-Ohlin. 2) Sedangkan hubungan perdagangan
intra-industri ternyata tidak terlalu didasarkan pada konsep keunggulan / keunggulan
komparatif. Walaupun negara-negara yang berdagang memiliki nisbah atau rasio modal
tenaga kerja keseluruhan yang sama, perusahaan¬perusahaan mereka akan tetap
menghasilkan produk-produk yang berbeda, (Ian permintaaan konsumen akan produk produk
yang dibuat di luar negeri akan tetap ada sehingga selalu menimbulkan perdagangan intra-
industri. Adalah skala ekonomis yang menyebabkan setiap negara tidak memproduksi semua
jenis produk sendirian; dengan demikian skala ekonomis dapat merupakan sumber
perdagangan internasional yang independen, khususnya bagi hubungan perdagangan intra-
industri. 3) Pola perdagangan intra-industri itu sendiri tidak dapat diduga sebelumnya. Kita
sama sekali belum dapat menyebutkan secara pasti negara mana yang menghasilkan barang
manufaktur jenis apa di dalam sektor manufaktur, dikarenakan model ini tidak dapat
menerangkan kepada kita mengenai hal tersebut. Yang kita ketahui hanyalah bahwa negara-
negara tersebut akan sama-sama memproduksi produk-produk manufaktur, hanya saja
masing-masing produk sengaja dibuat nampak berbeda. Karena unsur-unsur sejarah dan
peristiwa yang bersifat kebetulan acapkali menentukan arah dan pola perdagangan yang
berlangsung, maka unsur ketidaktentuan pola perdagangan merupakan karakteristik yang
penting bagi perdagangan intra-industri. 4) Arti penting relatif perdagangan intra-industri dan
perdagangan antar-industri bergantung pada seberapa jauh kesamaan kelimpahan faktor
produksi di negara-negara yang terlibat dalam perdagangan itu sendiri.
Pada dasarnya perdagangan intra-industri tersebut bertolak dari motif untuk meraih
keuntungan yang bersumber dari skala ekonomis produksi. Maksudnya, persaingan
internasional mendorong setiap perusahaan atau pabrik untuk membatasi model atau tipe
produknya agar ia dapat mengerahkan segenap sumber dayanya demi menghasilkan beberapa
jenis produk saja namun dengan kualitas terbaik dan harga yang bersaing. Sementara itu
kebutuhan konsumen atas gaya atau model yang lain akan diimpor dari negara lain.
Hubungan perdagangan intra-industri ini akan menguntungkan konsumen karena terciptanya
lebih banyak pilihan dengan kualitas yang lebih baik, sedangkan harganya pun akan menjadi
lebih murah berkat meningkatnya skala ekonomis produksi. Dari waktu ke waktu, negara-
negara industri maju tersebut semakin banyak memiliki kesamaan dalam tingkat teknologi
produksi, serta dalam kepemilikan modal dan tingkat kualitas para pekerjanya. Karena
negara-negara yang mendominasi perdagangan dunia itu semakin mirip dalam penguasaan
teknologi dan kepemilikan sumber-sumber daya, maka keunggulan komparatif di dalam suatu
sektor industri menjadi tidak begitu jelas (untuk negara mana), dan oleh karena itulah
kegiatan perdagangan internasional di antara sesama negara industri mau lebih banyak : yang
terwujud berupa pertukaran du a arah di dalam industri-industri yang sama -mungkin dalam
banyak aspek, hal ini dipacu oleh usaha pencapaian skala ekonomis ketimbang spesialisasi
antar-industri yang bertumpu pada keunggulan komparatif. Akan tetapi atas dasar fakta apa
kegiatan perdagangan intra-industri itu dapat mengubah kesimpulan-kesimpulan yang telah
kita peroleh sebelumnya? Pertama-tama, terciptanya hubungan perdagangan intra-industri
menghasilkan keuntungan-keuntungan tambahan dari perdagangan internasional, yang
nilainya lebih besar daripada yang dapat dihasilkan oleh perdagangan yang didasarkan pada
keunggulan komparatif. Hal ini dikarenakan kegiatan perdagangan intra-industri tersebut
mampu menciptakan pasar yang lebih besar. Sebagaimana yang telah kita pelajari, dengan
melibatkan diri dalam hubungan perdagangan intra-industri, maka suatu negara secara
serentak dapat mengurangi jenis-jenis produk yang dihasilkannya dan meningkatkan
keanekaragaman barang yang tersedia bagi konsumen domestik. Dengan memproduksi lebih
sedikit ragam barang, masing-masing negara dapat memproduksi setiap barang dengan skala
yang lebih besar, dengan produktivitas yang lebih tinggi dan dengan biaya produksi yang
lebih rendah. Pada saat yang sama, konsumen juga beruntung karena barang yang tersedia
lebih beragam dan lebih murah. Konsumen domestik akan menjumpai bahwa perdagangan
intra-industri bisa memperluas pilihan-pilihan mereka, meningkatkan kualitas produk, dan
juga menurunkan harga. Dalam analisis kita terdahulu mengenai distribusi keuntungan
perdagangan, ada nuansa pesimisme terhadap kemungkinan bahwa setiap orang akan
memperoleh keuntungan dari berlangsungnya perdagangan internasional. Dalam model-
model yang telah kita bahas sebelumnya, dampak-dampak perdagangan terjadi melalui
perubahan harga-harga relatif, dan berbagai perubahan pada harga-harga relatif ini
berpengaruh sangat kuat terhadap distribusi pendapatan. Hal ini memang akan terjadi apabila:
1) Negara-negara yang berdagang sedikit banyak mempunyai kesamaan faktor-faktor
produksi sehingga kadar perdagangan antar-industri di antara mereka akan berkurang, dan
digantikan oleh perdagangan intra-industri.2) Skala ekonomis dan diferensiasi produk
menjadi faktor penting, sehingga keuntungan, dari skala yang membesar dart semakin
banyaknya pilihan terhitung besar. Dalam keadaan demikian, dampak perdagangan
intemasional terhadap distribusi pendapatan akan menjadi lebih kecil dan akan banyak
keuntungan tambahan yang dibuahkan oleh adanya; perdagangan intra-industri. Walaupun
berpengaruh pada distribusi pendapatan, namun hasil perdagangan tersebut begitu besar
sehingga akan membuat semua orang akan tetap memperoleh keuntungan (walaupun besar-
kecilnya keuntungan untuk setiap orang berbeda- beda. Ada beberapa pertimbangan penting
yang harus dikemukakan berkenaan dengan model-model perdagangan intra-industri yang
dikembangkan oleh sejumlah ekonom terkemuka Helpman, Krugman, Lancaster, dan
beberapa tokoh lainya sejak tahun 1979. Pertama, perdagangan dalam model Heckscher-
Ohlin didasarkan pada keunggulan komparatif atau perbedaan dalam kelimpahan faktor
produksi (tenaga kerja, modal, sumber daya alam, dan teknologi produksi) di antara negara-
negara yang terlibat dalam hubungan dagang itu. Akan tetapi dalam prakteknya,
perdagangan intra-industri itu lebih didasarkan pada diferensiasi produk dan skala ekonomis.
jadi, kalau volume perdagangan yang didasarkan ada keunggulan komparatif akan lebih besar
seandainya perbedaan dalam kelimpahan faktor di antara negara-negara yang terlibat di
dalamnya lebih besar, maka transaksi perdagangan intra-industri itu akan meningkat jika
ukuran perekonomian dan praporsi faktor produksi yang ada (di kalangan negara negara
industri) lebih mirip satu sama lain. Di sini kita melihat satu hal yang kontras. Elemen-
elemen yang cenderung membatasi perdagangan biasa (antar-industri), ternyata justru
mendorong perdagangan intra-industri. Kedua, semakin banyak produk-produk yang
terdiferensiasi berkat meningkatnya akal, ekonomis, maka harga-harga relatif sebelum
terjadinya perdagangan tidak akurat lagi dalam memprediksikan pola perdagangan yang akan
terjadi. Secara spesifik, sebuah negara besar akan dapat memproduksi suatu komoditi dengan
biaya yang lebih murah dibandingkan negara lain yang lebih kecil (dalam kondisi tanpa
perdagangan) karena negara besar tersebut merniliki A skala ekonomis yang lebih besar pula.
Namun setelah perdagangan itu terjadi, setiap negara dapat memanfaatkan peluang
peningkatan skala ekonomis yang sama besarnya (karena semua pasar melebur menjadi satu)
sehingga negara yang kecil itu pun bisa saja melakukan produksi secara lebih efisien
sehingga ia mampu menjual produk dengan harga lebih murah ketimbang negara besar yang
menjadi mitra dagangnya. Ketiga, tidak seperti model Heckscher-Ohlin yang
memprediksikan bahwa perdaganganq akan menurunkan tingkat hasil bagi faktor produksi
yang langka, maka berlangsungnya perdagangan intra-industri yang didasarkan pada
peningkatan skala ekonomis itu dapat meningkatkan pendapatan atau harga semua faktor
produksi yang terkait. Hal ini nampaknya dapat menjelaskan mengapa pembentukan Uni
Eropa dan proses liberalisasi perdagangan internasional yang berlangsung secara besar-
besaran sejak Perang Dunia kedua, khususnya dalam produk-produk manufaktur itu, tidak
memperoleh hambatan yang berarti dari kelompok I kelompok kepentingan/politik yang ada
di masing-masing negara. Hal tersebut rnengisyaratkan bahwa perdagangan intra-industri
memang dapat meningkatkan pendapatan bagi semua pemilik faktor produksi, sehingga tidak
perlu ada pihak yang harus merasa dirugikan. Sebaliknya, liberalisasi perdagangan antar-
industri yang biasanya berlangsung antara negara maju dan negara berkembang, banyak
mendapat tentangan, khususnya dari serikat-serikat buruh terorganisir di negara-negara maju
yang merasa khawatir bahwa peningkatan perdagangan antar-industri tersebut akan
merugikan mereka (menurunkan tingkat upah, atau melenyapkan lapangan kerja). Secara
teoritis hal itu memang dapat dibuktikan. Peningkatan perdagangan antar-industri, khususnya
dalam produk-produk manufaktur, cenderung menurunkan tingkato upah bagi para pekerja
yang ada di negara-negara maju. Jika perdagangan itu terus diliberalisasikan, maka bukan
hanya para pekerja itu saja yang kehilangan pekerjaan, namun sektor-sektor industri tertentu
di negara maju tidak akan dapat bersaing dengan produk imporf dari negara berkembang
sehingga mereka pun terancam bangkrut. Yang terakhir, perdagangan intra-industri
nampaknya berkaitan erat dengan lonjakan perdagangan internasional untuk suku cadang dan
aneka komponen dari sebuah produk Artinya, yang diperdagangkan bukan produk yang siap
pakai, melainkan elemen-elemen atau komponennya yang harus dirakit atau diolah lebih
lanjut sehingga menghasilkan produk jadi yang siap pakai. Kecenderungan itu juga
bersesuaian dengan meningkatnya peran perusahaan- perusahaan multinasional. Perusahaan
internasional seperti itu biasanya mengadakan kegiatan-kegiatan produksi tidak di satu
tempat saja. Mereka membuat komponen tertentu di suatu negara, sedangkan komponen lain
ia buat di negara-negara lain. Semua ini dilakukan. Dalam rangka meminimalkan biaya
produksi. Sebagai contoh, mesin untuk mobil-mobil Ford Fiestas dibuat di Inggris, sistem
transmisinya dibuat di Perancis, komponen-komponen penunjangnya di buat di Spanyol, dan
semuanya akan dirakit di Jerman. Hal yang sama juga terjadi dalam kamera-kamera buatan
Jerman yang acapkali dirakit di Singapura atau negara lain yang tenaga kerja yang lebih
murah. Pemanfaatan keunggulan komparatif di banyak negara secara sekaligus seperti itu
dalam rangka meminimalkan total biaya produksi dapat pula dipandang sebagai perluasan
dari model dasar Heckscher-Ohlin terhadap kondisi-kondisi produksi moderen. Pola produksi
dan perdagangan seperti itu juga memunculkan sejumlah besar lapangan kerja di negara-
negara berkembang. Kesimpulan sementara yang dapat kita tarik di sini adalah bahwa faktor
penyebab utama bagi berlangsungnya perdagangan antar - industri adalah keunggulan
komparatif, sedangkan perdagangan intra - industri lebih bertumpu pada skala ekonomis yang
ditunjang oleh diferensiasi produk. Kedua jenis perdagangan ini berlangsung dalam waktu
bersamaan. Semakin berlainan kelimpahan faktor produksi (seperti antara negara berkembang
dan negara maju) antara dua negara yang berdagang, akan semakin penting konsep
keunggulan komparatif bagi mereka dan akan semakin besar pula volume perdagangan antar-
industri yang terjadi di antaranya. Di lain pihak, semakin mirip kelimpahan faktor di antara
negara-negara yang terlibat perdagangan, maka akan semakin penting konsep peningkatan
skala ekonomis dan diferensiasi produk bagi mereka, mengingat sebagian besar perdagangan
yang akan terjadi di negara-negara tersebut so adalah perdagangan intra-industri. Kesimpulan
ini nampaknya didukung dengan kenyataan yang ada. Sebagian besar perdagangan di antara
sesama negara maju ternyata adalah perdagangan intra-industri. Meskipun demikian, hal
tersebut tidak berarti bahwa konsep keunggulan komparatif tidak relevan untuk memahami
berlangsungnya perdagangan intra-industri. Sebagaimana dikemukakan oleh Lancaster dari
penelitiannya (1980), sekalipun perdagangan yang berlangsung di antara negara-negara
tertentu adalah perdagangan intra-industri, industri, hal itu tetap berpijak pada keunggulan
jkeunggulan komparatif. Oleh sebab itu, mungkin akan lebih tepat jika kita mengatakan kalau
perdagangan antar-industri mencerminkan keunggulan komparatif alamiah di antara negara-
negara yang terlibat di dalamnya, sedangkan perdagangan intra-industri lebih didasarkan
pada keunggulan komparatif buatan (sesuatu yang dicapai melalui upaya atau rekayasa
manusia secara sengaja).
E. Perhitungan Atas Perdagangan Intra-Industri.

Pada dasamya, besar kecilnya atau tingkatan atau volume perdagangan intra-industri
dapat diukur atau dihitung berdasarkan indeks perdagangan intra-industri (intra-industry trade
index) yang diberi simbol T. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut: T = 1 - X dan M
masing-masing melambangkan nilai ekspor dan impor dari suatu industri atau kelompok
komoditi tertentu, sedangkan garis-garis vertikal pada pembilang di dalam Rumus (6-1)
menunjukkan bahwa nilai-nilai yang “dipagarinya” adalah angka-angka absolut (senantiasa
positif). Nilai T atau indeks perdagangan intra-industri itu sendiri bervariasi; yakni dari 0
hingga 1. T akan sama dengan 0 apabila sebuah negara hanya mengekspor atau hanya
mengimpor suatu produk (artinya dia tidak terlibat dalam perdagangan intra-industri yang
bersifat dua arah itu). Di lain pihak jika ekspor dan impornya sama besar, maka untuk Negara
itu T = 1 (perdagangan intra-industri yang dilangsungkannya mencapai tingkatan
maksimal). Namun ternyata ada kelemahan serius dalam penggunaan indeks T untuk
mengukur tingkatan perdagangan intra-industri. Nilai-nilai T yang muncul acapkali lebih dari
satu, dan satu sama lain berbeda sehingga kita sulit menentukan mana T yang paling tepat.
Hasill perhitungannya juga mudah berubah kalau kita sedikit saja menggeser cakupan
industri atau kelompok produk yang menjadi objek perhitungan. Secara lebih spesifik bisa
dikatakan bahwa semakin luas cakupan dari suatu sektor industri, maka akan semakin besar
nilai T. Alasannya adalah, semakin luas cakupan sektor industri tersebut, maka akan semakin
besar kemungkinan negara yang bersangkutan akan mengekspor produk-produk
terdiferensiasi dalam varietas atau jenis yang lebih banyak. Oleh sebab itu, penggunaan
indeks T harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengakibatkan salah tafsir. Di satu sisi
indikator tersebut memang dapat sangat berguna dalam mengukur jangkauan atau tingkatan
perdagangan intra-industri yang dilakukan oleh masing-masing negara industri maju serta
jangkauan dari sektor-sektor industrinya yangi terlibat, dan cukup bisa diandalkan pula guna
menaksir berbagai perubahan dalam perdagangan intra-industri tersebut untuk sektor industri
yang sama dari waktu ke waktu. Di sisi lain, kita harus konsisten dalam menentukan cakupan
suatu sektor industri agar nilai-nilai T yang muncul memiliki cakupan yang sama, sehingga
hasil-hasil perhitungannya dapat saling diperbandingkan.
F. Model Formal Perdagangan Intra-Industri
Gambar 6-2 berikut ini menyajikan sebuah model formal mengenai perdagangan
intra-industri. Dalam gambar tersebut, D melambangkan kurva permintaan yang dihadapi
oleh sebuah perusahaan penjual produk-produk yang terdiferensiasi. Karena banyak
perusahaan lain yang menjual produk-produk yang mirip, maka kurva permintaan yang
dihadapi oleh perusahaan tersebut bersifat cukup elastis (kemiringan atau kecondongan D
relatif kecil). Itu berarti, perubahan harga yang kecil saja, sudah dapat menimbulkan
perubahan yang besar dalam volume penjualan perusahaan tersebut. Bentuk atau organisasi
pasar yang memiliki banyak perusahaan yang semuanya menjual berbagai produk yang mirip
satu sama lain (semuanya terdiferensiasi) dan akses keluar masuk perusahaan-perusahaan
baru ke dalam sektor atau pasar tersebut tidak terlampau sulit, biasa disebut sebagai pasar
atau ekonomi persaingan monopolistik (monopolistic cotltpetition nutrket/econonty). Karena
setiap perusahaan yang ada di Opasar itu harus menurunkan harga untuk semua unit
komoditinya apabila ia ingin meningkatkan penjualan, maka kurva pendapatan marginal
perusahaan tersebut (MR) lebih rendah ketimbang kurva permintaannya (D), sehingga MR
lebih kecil dari P. Sebagai contoh, D memperlihatkan bahwa perusahaan itu dapat menjual
produknya sebanyak dua unit berdasarkan P = 4,50 dolar sehingga ia akan mendapatkan total
.pendapatan sebanyak 9 dolar. Atau, ia bisa menjual tiga unit namun atas dasar harga P = 4
dolar sehingga total pemasukan yang diperolehnya adalah 112 dolar. Dengan demikian,
perubahan dalam total pendapatan atau MR = 3 dolar, mengiringi perubahan harga untuk unit
ketiga dari komoditi yang dijual itu,. yakni P = 4 dolar.
D adalah kurva pemintaan untuk produk yang dijual oleh sebuah perusahaan,
sedangkan MR adalah kurva pendapatan marginalnya. D mengarah ke bawah karena produk
itu terdiferensiasi. Sebagai akibatnya MR lebih kecil daripada P. Tingkat output yang terbaik,
atau yang paling menguntungkan, bagi perusahaan yang bersifat kompetitif monopolistik
tersebut adalah tiga unit, dan hal itu dilambangkan oleh titik E, di mana MR sama dengan
MC. Pada output atau Q = 3, maka harga yang ber{aku adalah P = AC = 14 (titik A) dan pada
titik tersebut perusahaan tadi mengalami titik impas jumlah yang diperolehnya persis sama
dengan jumlah yang telah dikeluarkannya sebagai biaya-biaya produksi dan investasi. AC
adalah kurva biaya rata-rata bagi perusahaan tersebut. AC ini mengarah ke bawah karena
berlakunya prinsip skala ekonomis (economics of scale).

G. Perdagangan yang Didasarkan pada Perbedaan Teknologi Dinamis dan Sintesis


Teori-teori Perdagangan.

Terlepas dari perbadaan-perbedaan dalam ketersediaan relatif aneka sumber daya atau factor
produksi seperti tenaga kerja , modal dan sumber daya alam ( yang sangat di tekankan oleh
teori Heckscher-Ohlin ) serta adanya skala ekonomis dan difrensiasi produk, perubahan-
perubahan dinamis dalam teknologi juga dapat menjadi factor pendorong tersendiri dalam
memunculkan perdagangan internasional.

6.5a Model Kesenjangan Teknologi dan Model Siklus Produk


Model kesenjangan teknologi ( technological gap model ) untuk pertama kalinya
dikembangkan oleh Posner pada tahun 1961. Menurut teori ini, sejumlah besar perdagangan
di antara Negara-negara industri maju ternyata di dasarkan pada munculnya produk-produk
baru oleh proses-proses produksi ( teknologi ) yang baru. Adanya proses produksi dan produk
baru itulah yang sering kali memberikan kedudukan monopoli yang bersifat sementara bagi
perusahaan-perusahaan atau negara tertentu di pasaran internasional. Kedudukan monopoli
sementara ( temporary monopoly ) itu sendiri di dasarkan pada hak paten atau hak cipta yang
memberi keistimewaan bagi pemiliknya untuk memanfaatkan apa yang di lindungi oleh hak
paten itu secara ekslusif.
Namun model ini pun di liputi kelemahan yakni ia tidak dapat menjelaskan berapa besar
kecilnya kesenjangan teknologi atau sebab-sebabnya. Di samping itu,model tersebut juga
tidak mengungkapkan alas an munculnya kesenjangan teknologi itu sendiri atau latar
belakang proses pengerjaran teknologi oleh pihak, produsen, atau negara-negara tertentu yang
semula tertinggal.
Kelemahan-kelemahan itu selanjutnya memunculkan suatu genelisasi dan pengembangan
lanjutan atas model kesenjangan teknologi yang selanjutnya terkenal dengan nama model
siklus produk ( product cycle ). Model ini untuk pertama kalinya di rumuskan oleh
Raymond Vernon pada tahun 1966. Menurut model ini, pada tahap awal penciptaan sebuah
produk dan pengenalan ke pasar, biasa prose produksinya mensyaratkan tenaga kerja
terampil.
Vernon juga mengemukan bahwa produk-produk yang bernilai tinggi dan menghemat tenaga
kerja cenderung akan di pilih sebagai produk andalan ekspor di negara-negara industri yang
kaya. Hal itu dikarenakan:
1. Peluang terbesar untuk menciptakan produk-produk seperti itu memang ada di Negara-negara
indutri maju yang banyak memiliuki faktor produksi modal yang merupakan input utama bagi
produk-produk bernilai tinggi.
2. Pengembangan produk-produk baru seperti itu membutuhkan kemiripan pasar atau
kesesuaian pasar ( proximity ), sehingga dapat diharapkan munculnya umpan balik dari
konsumen dalam rangka proses modifikasi dan menyempurnakan produk yang bersangkutan.
3. Kebutuhan akan pelayanan dalam proses pengenalan dan kegiatan-kegiatan purna jual
memang paling dimungkinkan di Negara-negara maju tadi. Kalau model kesenjangan
teknologi menekankan pada perbedaan waktu dalam proses peniruan atau imitasi, maka
model siklus produk lebih menekankan pada pentingnya proses standarisasi. Namun kedua
model ini sama-sama berpendapat bahwa Negara-negara industri yang paling maju cenderung
mengekspor aneka produk non standar yang mengandung tekonologi paling maju, dan di lain
pihak akan mengimpor produk-produk standar yang diproduksi bias secara masal dan
kandungan teknologinya lebih kecil ( ini akan dibuat di negara berkembang ).
H. Ilustrasi Model Siklus Produk
Model siklus produk dapat divisualisasikan dalam 5 tahapan:
Pada tahap I ( rentang waktu OA ), sebuah produk baru mulai diperkenalkan dan baru
dikonsumsi oleh penduduk di negara asal inovasinya ( negara penemu ).
Kemudian pada tahap II ( rentang waktu AB ), proses produksinya disempurnakan di Negara
asal inovasi guna meningkatkan output dalam rangka memenuhi lonjakan permintaan di pasar
domestic dan luar negeri. Pada tahap III ( BC ), produk itu menjadi standar dan sudah dibuat
secara masal, sehingga Negara peniru mulai dapat memproduksinya untuk keperluan
konsumsi domestik.
Pada tahap IV ( CD ), Negara peniru mulai dapat menjual produk itu ke pasar internasional
dengan harga yang lebih murah.
Kemudian pada tahap V ( titik D ), output produk baru di Negara asal inovasi mulai turun,
sedangkan output di negara-negara peniru justru bertambah. Sejak saat itu keuntungan
komparatif dari produk tersebut berpindah tangan dari negara penemu ke negara peniru.

I. Sintesis Teori-teori Perdagangan


Kesimpulan – kesimpulan yang dapat kita tarik berkenaan dengan relevansi empiris atas
teori-teori perdagangan yang telah kita bicarakan di atas, adalah sebagai berikut :
1. Sebagian besar perdagangan antara Negara maju dan berkembang adalh perdagangan antar
industri yang didasarkan pada variasi atau perbedaan kelimpahan factor ( termasuk pula
teknologi ), sebagaimana dipostulasikan atau dirumuskan oleh teori Heckscher-Ohlin.
2. Perdagangan antara sesame Negara industry maju semakain lama semakin banyak yang
berupa perdagangan intra-industri yang didasarkan pada skala ekonomis dan diferensiasi
produk, sebagaimana yang dirumuskan oleh teori-teori perdagangan yang baru.

Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa teori Heckscher-Ohlin dan teori-teori
perdagangan yang baru itu sesungguhnya bersifat komplementer atau saling mendukung
dalam menjelaskan perdagangan internasional. Kesimpulan di atas membawa kita pada
kesimpulan berikutnya, yakni semakin berbeda kelimpahan faktor antara negara-negara yang
terlibat dalam perdagangan, maka semakin besar kemungkinan, bahwa mayoritas
perdagangan itu merupakan perdagangan antar industri. Demikian pula sebaliknya, semakin
mirip kelimpahan faktor di antara negara-negara yang terlibat dalam perdagangan maka
semakin besar kemungkinan bahwa itu merupakan perdagangan intra-industri.
Jelaslah pula bahwa pemakaian masing-masing model industry itu harus dibedakan kasus
perkasus. Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui kapan masing –
masing model atau teori tersebut dapat diterapkan. Yakni :
1. Model kelimpahan faktor Heckscher-Ohlin harus diterapkan demi menjelaskan
berlangsungnya perdagangan untuk komoditi primer, bahan – bahan mentah, aneka produk
pertanian dan berbagi produk manufaktur yang bersifat padat karya pada umumnya.
2. Teori-teori baru mengenai perdagangan yang didasarkan pada skala ekonomis dan
diferensiasi produk harus dikedepankan untuk menjelaskan berlangsungnya perdagangan
intra-industri yang biasanya meliputi aneka produk manufaktur padat modal dan berteknologi
tinggi. Meskipun kita masih memerlukan pengujian empiris yang lebih banyak untuk
membakukan generalisasi ini, secara umum kita sudah dapat menggunakan untuk memahami
berbagai kasus perdagangan antar negara.

J. Biaya Transportasi, Standar Lingkungan, dan Perdagangan Internasional

Biaya transportasi ternyata memberikan pengaruh langsung yang sangat besar terhadap
perdagangan internasional, yakni dengan meningkatkan harga atau komoditi yang
diperdagangkan, baik itu bagi negara pengekspor maupun bagi negara pengimpor. Disamping
itu, biaya transportasi juga memberikan pengaruh tidak langsung terhadap lokasi
penyelenggaraan produksi dan pusat-pusat industri secara internasional.

K. Biaya Transportasi dan Komoditi-komoditi yang Tidak Diperdagangkan


Biaya transportasi meliputi ongkos pengapalan, biaya bongkar muat di pelabuhan,
premi asuransi, serta aneka pungutan pada saat komoditi yang diperdagangkan itu disimpan
di suatu tempat sementara (transit). Jadi, kita menggunakan istilah biaya transportasi untuk
mencakup semua jenis biaya pemindahan barang dari suatu tempat atau negara ke negara atau
tempat lain. Perdagangan internasional juga bisa dibatasi oleh rasio atau nisbah berat produk
terhadap nilai yang terlalu tinggi, seperti semen (artinya, produk yang bersangkutan
sedemikian berat sehingga biaya transportasinya sangat mahal bila dibandingkan dengan
nilainya sendiri). Itu sebabnya selama memang masing memungkinkan suatu negara biasa
memproduksi semen sendiri ketimbang mengimpornya, sekalipun semen dapat diproduksi
lebih murah di luar negeri). Banyak barang yang tidak diperdagangkan secara internasional
karena tiadanya keunggulan efisien biaya operasional yang kuat dalam produksinya, atau
karena biaya pengangkutannya yang terlampau mahal. Pada prinsipnya, suatu barang yang
homogen akan diperdagangkan secara internasional hanya apabila selisih harga untuk barang
tersebut di kedua negara lebih besar daripada biaya transportasi barang tersebut dari suatu
negara ke negara yang lain. Adanya biaya transportasi itulah yang memunculkan sejumlah
barang dan jasa yang tidak (menguntungkan kalau) diperdagangkan.
Secara umum harga komoditi-komoditi yang tidak diperdagangkan secara
internasional itu ditentukan oleh kondisi-kondisi permintaan dan penawaran domestik.
Ada dua cara untuk menganalisis biaya transportasi :

1. Analisis keseimbangan umum, yang menggunakan kurva batas-batas kemungkinan


produksi atau kurva tawar-menawar suatu negara dan menyatakan biaya transportasi
tersebut dalam satuan harga relatif komoditi.
2. Analisis keseimbangan parsial, menganalisis biaya transportasi dalam satuan
absolute (berupa jumlah uang).
Satu hal penting adalah pengertian istilah keseimbangan umum dan parsial dalam konteks ini
sedikit berbeda dengan yang telah kita gunakan pada bagian-bagian pembahasan lainnya.
Selain itu kita juga memakai asumsi tambahan. Asumsi-asumsi yang dipergunakan di sini
adalah kurs antara dua mata uang dari negara-negara yang mengadakan perdagangan
senantiasa konstan, tingkat pendapatan dari kedua belah pihak juga senantiasa konstan,
demikian pula dengan indikator-indikator ekonomi lainnya kecuali tingkat konsumsi,
produksi, dan perdagangan dari komoditi yang dipertukarkan anatara kedua negara tersebut.

L. Biaya Transportasi dan Lokasi Industri


Biaya transportasi juga memperngaruhi arus perdagangan internasional secara tidak
langsung, yakni melalui pengaruh yang ditimbulkannya terhadap pemilihan lokasi produksi
dan pusat-pusat kegiatan industri. Secara umum, jenis industri bial dikaitkan dengan
penentuan lokasinya bisa digolongkan menjadi tiga, yakni :
1) Industri yang berorientasi pada sumber daya (resource oriented industries).
2) Industri yang berorientasi pasar (market oriented industries).
3) Industri yang bersifat lincah (footloose industries).
Secara umum, industri footloose cenderung berada pada tempat-tempat yang menyediakan
berbagai input yang memungkinkan dilakukannya penghematan biaya manufaktur secara
maksimal.

M. Standar Lingkungan Hidup, Lokasi Industri, dan Perdagangan Internasional


Lokasi industri dan pola perdagangan internasional juga dipengaruhi oleh aneka standar
lingkungan hidup yang kini kian banyak. Standar lingkungan mengacu pada tingkat
persyaratan tertentu yang harus dipenuhi dalam mengelola pencemaran udara, polusi air,
polusi thermal (panas) dan berbagai polusi lainnya yang bersumber dari limbah. Dalam
kenyataannya, karena selama ini cara-cara yang paling murah dalam menjalankan kegiatan-
kegiatan produksi, konsumsi, atau pembuangan limbahnya, memang cenderung merusak atau
setidaknya membahayakan kelestarian lingkungan hidup.
Para ahli ilmu ekonomi lingkungan (environmental economist) sejak lama telah
menyarankan digunakannya mekanisme pasar untuk mebatasi praktek-praktek polusi atau
pencemaran lingkungan secara efisien.
Industri-industri pembakit pencemaran lingkungan itu biasanya merupakan industri
yang banyak menyerap sumber daya alam atau tenaga kerja, dank arena itu industri-industri
tersebut cocok dengan kebutuhan pada tahap awal pembangunan ekonomi yang tengah
dihadapi oleh sebagian besar negara berkembang. Dalam kenyataannya seiring dengan
kemajuan suatu negara, pencemaran lingkunga biasanya kian dapat ditekan karena kegiatan
produksi pada umumnya semakin mampu dalam melangsungkan proses atau aktivitas
produksi yang bersih dan bebas polusi.

Anda mungkin juga menyukai