PENDAHULUAN
Factor Conditions
Factor Conditions mengacu pada input yang digunakan sebagai faktor produksi seperti
tenaga kerja, sumber daya alam, modal dan infrastruktur. Kunci utama faktor produksi adalah
diciptakan bukan diperoleh dari warisan. Lebih jauh, kelangkaan sumber daya (factor
disadvantage) seringkali membantu negara menjadi kompetitif. Terlalu banyak sumber daya
memiliki kemungkinan disia-siakan, ketika langka dapat mendorong inovasi.
Demand Conditions
Demand Conditions mengacu pada tersedianya pasar domestik yang siap berperan
menjadi elemen penting dalam menghasilkan daya saing. Pasar seperti ini ditandai dengan
kemampuan untuk menjual produk-produk superior, yang didorong oleh adanya permintaan
barang dan jasa berkualitas, serta adanya kedekatan hubungan antara perusahan dan
pelanggan.
Related and Supporting Industries
Related and Supporting Industries mengacu pada tersedianya serangkaian dan adanya
keterkaitan kuat antara industri pendukung dan perusahaan, hubungan dan dukungan ini
bersifat positif yang berujung pada peningkatan daya saing perusahaan. Porter
mengembangkan model dari faktor kondisi semacam ini dengan industrial clusters atau
agglomeration, yang memberi manfaat adanya potential technology knowledge spillover,
kedekatan dengan consumer, sehingga semakin meningkatkan market power.
C. Hyper Competitive
Proses liberalisasi perdagangan dunia baik secara regional maupun internasional yang
berlangsung hingga saat ini, telah menyebabkan persaingan global yang semakin ketat,
bahkan menuju kepada hyper competitive. Hal ini dibuktikan, antara lain oleh adanya
persaingan dan ancaman dari Korea, Taiwan. Singapura, dan lainnya. Persaingan dan
ancaman tersebut dihadapi oleh industri elektronik dan otomotif Jepang, AS dan Eropa yang
selama ini menguasai pasar dunia.
Selain itu, persaingan yang sangat ketat juga terjadi di antara sesama negara yang sedang
berkembang, khususnya untuk produk-produk industri ringan, seperti tekstil dan produk
tekstil, sepatu, agro industri, dan lain-lain.
Kondisi persaingan global yang hyper competitive tersebut memaksa setiap
negara/perusahaan untuk memikirkan/menemukan suatu strategi yang tepat. Strategi yang
tepat tersebut berupa perencanaan dan kegiatan operasional terpadu yang mengkaitkan
lingkungan eksternal dan internal, sehingga dapat mencapai tujuan jangka pendek dan jangka
panjang dengan disertai keberhasilan dalam mempertahankan/meningkatkan sustainable real
income secara efektif dan efisien. Strataegi ini dikenal sebagai Sustainable Competitive
Advantage ( SCA, yaitu keunggulan daya saing berkelanjutan (terus-menerus). Namun
menurut Richard D’Aveni (1994), pada situasi hyper competitive, tidak ada lagi
perusahaan/negara yang dapat memiliki keunggulan daya saing berkelanjutan ( SCA).
Sehubungan dengan pendapat Richard D’Aveni ini, perlu dikemukakan beberapa catatan
(H. Hady, 1996) sebagai berikut.
Pada situasi hyper competitive, keunggulan daya saing suatu perusahaan/negara tetap
didasarkan kepada keunggulan kompetitif dinamis, walaupun dengan jangka waktu
yang relatif pendek.
Pengertian SCA atau keunggulan daya saing berkelanjutan harus diartikan sebagai
keunggulan yang diperoleh karena invention dan innovation secara terus-menerus,
sehingga tetap unggul dari pesaing.
Invention dan inovasi diperoleh dari hasil research & development, baik yang bersifat
scientific maupun applied.
Sustainable competitive advantage ini relatif lebih tepat dan paling menguntungkan
untuk dilakukan dalam sektor agro industri karena sumber atau resource base-nya
dapat diperbaharui.
Dengan demikian, selama suatu negara masih memiliki sustainable competitive
advantage, maka negara tersebut akan dapat terus mengekspor produknya, dan tentunya akan
lebih baik untuk mengimpor produk lainnya.
D. Teori Rivalitas Strategis Global (Competitive Liberalization regional integration)
Pada tahun 1980-an muncul teori persaingan strategis global, dan didasarkan pada karya
ekonom Paul Krugman dan Kelvin Lancaster. Teori mereka berfokus pada perusahaan
multinasional dan upaya mereka untuk mendapatkan keunggulan kompetitif terhadap
perusahaan global lainnya dalam industri mereka. Perusahaan akan menghadapi persaingan
global dalam industri mereka dan untuk mencapai kemakmuran, mereka harus
mengembangkan keunggulan kompetitif.
Keinginan masing-masing negara untuk dapat bekerja secara produktif, efisien, dan
efektif agar dapat bersing di pasar global pada dekade terakhir ini, telah mendorong
terjadinya competitive liberalization terutama di kawasan Asia Pasifik, khususnya di bidang
perdagangan dan investasi.
Competitive Liberalization (persaingan liberalisasi) ini dilakukan karena masing-masing
negara berusaha untuk membuat situasi dan kondisi ekonominya menjadi menarik bagi
investor/penanam modal uang asing.
Persaingan liberalisasi yang dilakukan oleh masing-masing negara yang didasarkan
kepada comparative advantage dinamis dan atau competitive advantage menurut diagram
“diamond” Porter’s akan menyebabkan suatu negara dapat mengekspor atau lebih baik
mengimpor produk tertentu. Sebaliknya, negara lain lebih baik mengimpor dan mengekspor
produk tertentu, sehingga akan terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan bagi
masing-masing negara.