Anda di halaman 1dari 2

Nama: Dhamar Jagad Gautama

NIM: 032011133282

Persaingan eksistensi KPU dan DKPP: Melihat Putusan Nomor: 123-PKE-DKPP/X/2020 dengan Lebih
Sederhana

Dalam kerangka penyelanggaraan pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum terdapat tiga lembaga yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan
Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi
penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPR dan
DPRD. Ketiga lembaga tersebut saling bertalian untuk mewujudkan pemilu yang langsung, bebas,
rahasia, jujur, dan adil guna memfasilitasi campur tangan rakyat dalam sebuah sistem demokrasi.
Sebuah sistem yang dianut dan nampaknya akan terus diperjuangkan karena dianggap sebagai sistem
ideal untuk menjalankan sebuah negara.

Secara sederhana Komisi Pemilihan Umum atau KPU memiliki tugas untuk mempersiapkan dan
melaksanakan pemilu. Termasuk di dalamnya adalah mencakup teknis pada lingkup kebutuhan untuk
penyelenggaraan pemilu. Sedangkan Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu bertugas untuk mengawasi
penyelenggaraan pemilu (yang disiapkan oleh KPU) agar terlaksana sesuai dengan perencanaan atau
kesepakatan nilai yang dibangun di awal. Secara teori fungsi pengawasan Bawaslu berpatokan pada
peraturan hukum yang mengatur penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Contoh simpelnya adalah ketika
pemilu sudah berlangsung dan kemudian terjadi sebuah pelanggaran pemilu seperti politik uang maka
Bawaslu bisa turun tangan terhadap masalah itu. Lalu di manakah letak Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu atau DKPP? DKPP sendiri secara khusus memiliki peran untuk mengurusi etika
dari lembaga penyelenggara pemilu (KPK, Bawaslu dan DKPP ). Hal yang perlu digaris bawahi adalah
tindakan etik dari ketiga lembaga tersebut. Hal inilah yang menjadi akar masalah dalam persoalan
putusan DKPP Nomor: 123-PKE-DKPP/X/2020 yang menyeret nama ketua KPU yakni Arief Budiman.

Premis dari kronologi kasus tersebut adalah Arief Budiman selaku Ketua KPU mendampingi Evi Novida
Ginting Manik seorang mantan anggota KPU yang telah diberhentikan DKPP untuk melayangkan gugatan
ke PTUN Jakarta. Tindakan dari Arief Budiman dinilai oleh DKPP sebagai tindakan yang melanggar etik
penyelenggara pemilu. Ditambah Arief juga menerbitkan surat KPU RI Nomor 663/ SDM.13-
SD/05/KPU/VIII/2020 yang dianggap melewati batas kewenangan dan memuat pengaktifan kembali Evi
Novida sebagai anggota KPU. Perlu diketahui bahwa surat itu diterbitkan setelah turun Keppres Nomor
83/P TAHUN 2020 tentang pencabutan keputusan Presiden Nomor 34/P TAHUN 2020 yang sebelumnya
memutus pemecatan secara tidak hormat Eva Novida. Dari putusan DKPP 123/2020 berakhir memutus
pemecatan Arief Budiman dan sebagai peringatan terakhir.

Melihat DKPP yang berlebihan dengan tidak berlebihan

Jika melihat kronologi dan keterangan ahli yang tercantum pada putusan DKPP 123/2020 apa yang
dilakukan oleh Arief Budiman sebenarnya tidak melanggar etik penyelenggara pemilu secara brutal atau
memiliki kesalahan yang berat seperti pada lingkup yang berhubungan dengan peserta pemilu seperti
secara terang-terangan mendukung salah satu pasangan calon—yang mana seharusnya KPU netral.
Tindakan mendampingi seseorang untuk menggugat atau menuntut haknya seharusnya dimaknai
dengan kacamata motif yang bernilai empati sebagai sesame kawan sejawat yang telah bekerja bersama
sebelum-sebelumnya. Seorang Arief Budiman dalam penggalan kronologis yang mana ia hanya
menemani Evi benar-benar untuk memberikan dukungan moril.

Perihal surat KPU RI Nomor 663/ SDM.13-SD/05/KPU/VIII/2020 yang dikeluarkan oleh Arief yang
dianggap melampaui wewenang sebenarnya juga masih membuka ruang perdebatan jika sampai hal
tersebut sampai memutus pemecatan Arief sebagai ketua KPU. Surat tersebut sebenarnya tidak
memiliki kekuatan hukum apa-apa karena pemberhentian dan pengangkatan anggota KPU berada
pada wewenang Presiden. Toh, surat yang dikeluarkan Arief juga ada setelah keluarnya pencabutan
Keppres pemecatan Evi. Dalam hal ini apa yang diputuskan oleh DKPP jelas berlebihan. Pemaknaan
pelanggaran etika sendiri sebenarnya juga bisa menjadi bumerang untuk mematikan kemandirian
penyelenggaran pemilu karena sangat subjektif. Hal yang menyebabkan konflik kepentingan bisa
sekali terlibat di dalamnya.

Secara psikologi, tindakan yang diambil DKPP untuk memecat Arief bisa dikaitkan dengan teori harga
diri (Self-Esteem) yang menurut ahli Coopersmith (dalam Rahmawati, 2006: 4) harga diri bisa
didefinisikan sebagai suatu penilian yang dilakukan oleh individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian
tersebut mencerminkan sikap penerimaan dan penolakan serta menunjukkan seberapa jauh individu
percaya bahwa dirinya penting, dan berharga. Menurut Coopersmith juga ada beberap aspek harga
diri salah satunya adalah kekuatan (power). Kekuatan menunjuk pada adanya kemampuan seseorang
untuk dapat mengatur dan mengontrol tingkah laku dan mendapat pengakuan atas tingkah laku
tersebut dari orang lain. Dalam kasus DKPP, lembaga tersebut telah memecat seorang Evi dan
kemudian Presiden mengabulkan gugatan Evi sehingga ia batal untuk dipecat. Membuat keputusan
untuk memecat untuk kesalahan yang tidak terlalu berat (berat seperti masuk pada lingkup peserta
pemilu seperti ketidaknetralan atau menerima gratifikasi) lalu dibatalkan adalah semacam
penurunan kehormatan dan harga diri DKPP. Mengingat memutuskan sesuatu butuh pertimbangan
dan bukti yang kuat. Orang-orang yang mengisi posisi DKPP tentu bukan sembarangan orang. Mereka
bisa dianggap sebagai orang yang memiliki kapabilitas dalam menjalankan fungsi lembaga ters ebut.
Letak harga diri pada aspek kekuasaan dapat memicu DKPP untuk memutus pemecatan Arief. Harga
diri melambangkan eksistensi. Dengan demikian apa yang dilakukan oleh DKPP teramat berlebihan
dan cenderung bernuansa persaingan eksistensial saja. Terlebih secara fungsional sendiri DKPP
berada di atas KPU.

Kesimpulan

Memang apa yang dilakukan oleh DKPP dalam Putusan Nomor: 123-PKE-DKPP/X/2020 benar setelah
melalui pembuktian di pengadilan tata usaha negara bahwa Arief melampaui wewenang tetapi surat
keputusan yang memutus dipecatnya Arief Budiman sebagai ketua KPU adalah sesuatu yang berlebihan
dan lebih berat kepada persoalan eksistensial saja pada DKPP yang harga dirinya “direndahkan” ketika
putusannya digugat dan dikabulkan oleh Presiden.

Anda mungkin juga menyukai