Anda di halaman 1dari 5

ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI

Cindy Puspita Ayu


2340058017

Pendahuluan
Akhir-akhir ini orang kembali membicarakan hubungan antara etika dan hukum.
Hal ini setidaknya disebabkan dua hal. Pertama,maraknya pelanggaran etik yang
dilakukan oleh pejabat negara, khususnya terkait Ketua Mahkamah Konstitusi yang
mendapat sorotan dari banyak ahli hukum akibat pelanggaran etiknya. Kedua,munculnya
revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), yang dinilai mencampuradukkan antara
hukum dan etika.
Secara teoretis ataupun filosofis, etika dan hukum (dalam pendekatan
nonpositivis) adalah dua entitas yang sangat berkaitan, tetapi berbeda dalam
penegakannya. Etika adalah ladang tempat hukum ditemukan dan hukum sendiri
merupakan pengejawantahan hukum yang telah diberi sanksi dan diformalkan. Dalam
filsafat hukum, dikenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan
undang-undang. Dalam konsepsi tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas,
dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum. Implikasinya, pelanggaran etika
secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum.
Keadaan hukum di Indonesia saat ini sangat memprihatikan, hal ini dikarenakan
seseorang yang sudah jelas dan nyata bersalah, tetapi harus dibebaskan begitu saja karena
prosedural formal hukum yang tidak memadai. Atau bahkan karena ketakmampuan
peradilan menyentuh orang-orang yang memiliki power, dalam bentuk kuasa ataupun
uang. Berulang kali kita harus menyaksikan politikus-politikus korup yang melenggang
bebas dari jeratan hukum, bahkan semakin kokoh di puncak karier politiknya, padahal
jelas dan nyata sekali melakukan pelanggaran etik dan hukum yang tidak sepele.

Pembahasan
Kepemimpinan di semua lapisan cenderung hanya berorientasi populer (pop-
leaders) sebagai akibat budaya politik yang baru tumbuh dalam tradisi demokrasi yang
tertatih-tatih. Lalu ia menyebabkan timbulnya gejala keterpisahan: antara kesadaran pusat
kekuasaan yang mengklaim popularitas dukungan rakyat dengan kesadaran kelas
menengah yang memengaruhi pembentukan wacana publik dan membentuk day-today-
politics; serta antara retorika politik yang tecermin di media massa yang dijadikan ukuran
popularitas dan tindakan nyata yang memengaruhi dinamika kehidupan dalam
masyarakat.
Tokoh-tokoh dalam infrastruktur masyarakat tanpa disadari didorong pula oleh
keadaan untuk terlibat dan melibatkan diri dalam agenda-agenda politik nasional
sehingga fungsi pembinaan masyarakat terbengkalai. Masyarakat bebas semakin
berkembang tak terkendali. Akibatnya, nilai-nilai lama telah ditinggalkan, sementara nilai
baru belum terbentuk. Hal ini yang juga kemudian menjadikan perilaku masyarakat
terseret dalam ekspresi ekstrem dalam spektrum yang meluas, mulai dari kutub
konservatisme sampai ke liberalisme yang paling utopis dan ekstrem.
Di negara yang demokrasi dan hukumnya telah menyatu dengan kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, pelanggaran etik biasanya memiliki implikasi
setara dengan pelanggaran hukum. Banyak pejabat negara di negeri-negeri itu yang
memilih mengundurkan diri dari jabatannya karena terbukti atau bahkan baru diduga
melakukan pelanggaran etik. Hal ini harus kita lihat sebagai penghormatan mereka
terhadap martabat kemanusiaannya yang dihargai tidak lebih rendah daripada jabatan
semata. Namun, konteks ini belum terjadi di Indonesia. Seorang pejabat negara hanya
akan meninggalkan jabatannya jika menurut UU/peraturan dia harus diberhentikan. Tidak
berpengaruh pada seberat apa pun pelanggaran etik yang dia lakukan atau seberapa
banyak ia melakukan pelanggaran etik, jika dalam aturan tidak secara jelas menyatakan
dia harus diberhentikan, selamanya dia tidak akan berhenti.
Sekali lagi, kasus yang paling aktual untuk dijadikan contoh adalah yang
menimpa Ketua MK, AH. Meskipun telah berkali-kali melakukan pelanggaran etik yang
secara substansial sangat berat, ia tetap memilih mempertahankan jabatannya daripada
derajat kemanusiaannya. Fenomena lain yang cukup menggelitik adalah ulah DPR dan
pemerintah yang menyetujui bersama revisi atas UU MD3. Substansi UU ini dinilai
kacau dari banyak hal. Relevansinya dengan tulisan ini adalah karena dalam UU tersebut
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sejatinya adalah lembaga etik, tetapi diberi
kewenangan mencampuri masalah hukum.
Hal ini dapat dilihat dari 2 (dua) hal antara lain:
Pertama, ketentuan dalam Pasal 245 yang memberikan kewenangan kepada MKD
untuk mengeluarkan pertimbangan kepada presiden atas pemanggilan
anggota DPR yang terjerat kasus hukum.
Kedua, dalam Pasal 122 yang memberikan kewenangan kepada MKD untuk
mengambil tindakan hukum terhadap siapa saja yang merendahkan derajat
DPR dan anggota DPR.
Ketentuan ini telah mencampuradukan penegakan hukum dan penegakan etik
secara keliru. Padahal, meski keduanya saling berkaitan, cara penegakannya tidaklah
sama. Sebab, penegakan hukum sepenuhnya merupakan kewenangan aparat penegak
hukum dalam kekuasaan yudikatif.
Selain kasus Ketua MK di atas, beberapa waktu lalu sempat menjadi pemberitaan
di media mengenai pemberhentian Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Evi
Novida Ginting Manik. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah
memberikan sanksi berupa pemberhentian tetap kepada Komisioner KPU RI Evi Novida
Ginting Manik karena dinilai melanggar kode etik terkait kasus perolehan suara calon
legislatif (Caleg) Partai Gerindra Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Barat 6, Hendri
Makaluasc. Untuk melaksanakan putusan tersebut, Presiden Republik Indonesia
diberikan waktu oleh DKPP paling lambat tujuh hari sejak putusan tersebut dibacakan.
Atas dasar putusan DKPP tersebut, Presiden Joko Widodo pada tanggal 23 Maret 2020
menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34/P Tahun 2020 terkait
pemberhentian Evi Novida Ginting Manik sebagai Komisioner KPU RI. Keppres
pemberhentian itu dikeluarkan dengan mempertimbangkan surat dari DKPP. DKPP
mengusulkan agar Evi Novida Ginting Manik diberhentikan dengan tidak hormat karena
terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Namun, Evi Novida Ginting Manik keberatan
dengan putusan DKPP tersebut dan mengajukan gugatan atas Keppres Nomor 34/P
Tahun 2020 kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kemudian, PTUN
mengabulkan gugatan mantan Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik dan
menyatakan batal Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 tertanggal 23 Maret tentang
Pemberhentian dengan Tidak Hormat Anggota KPU Masa Jabatan Tahun 2017-2022.
Terhadap putusan PTUN mengenai pembatalan Keppres Nomor 34/P Tahun 2020
tersebut, Presiden Jokowi tidak mengajukan banding sehingga putusan PTUN tersebut
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Selanjutnya, untuk menindaklanjuti
putusan PTUN tersebut Presiden Jokowi memulihkan nama baik Evi Novida Ginting
Manik melalui Keppres Nomor 83/P Tahun 2020 tentang Pencabutan Keppres Nomor
34/P Tahun 2020. Bertolak dari kasus mengenai pemberhentian dan pengangkatan
kembali Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik di atas, maka menjadi menarik
untuk menjadi bahan kajian. Ada dua hal yang cukup menarik untuk didiskusikan.
Pertamaterkait dengan kasus Evi Novida Ginting Manik sampai ada dua Keppres yang
kontradiktif, yang satu memberhentikan sedangkan yang lainnya mengangkat kembali.
Sepintas, keppres yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi ini tidak konsisten. Namun,
kedua Keppres tersebut semata-mata bukan karena kehendak sendiri dari Presiden
Jokowi. Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 yang memberhentikan Evi Novida Ginting
Manik didasarkan pada perintah putusan DKPP. Sementara, Keppres Nomor 83/P Tahun
2020 yang membatalkan Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 dan mengangkat kembali Evi
Novida Ginting Manik sebagai Komisioner KPU didasarkan pada Putusan PTUN.
Jadi, kedua Keppres tersebut tidak ada masalah dan sudah benar karena
didasarkan pada perintah dari lembaga yang memang diberikan kewenangan oleh
peraturan perundang-undangan. Kemudian masalah kedua yang perlu didiskusikan adalah
menyangkut antara hukum dan etika. Memang sangat ideal menempatkan etika secara
seiring dengan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Namun, antara etika dan hukum itu ranahnya berbeda tetapi memang agak sulit untuk
memisahkan secara tegas. Memang sebaiknya dan sangat dimungkinkan untuk dilakukan
pembatasan yang tegas, meskipun di antara keduanya dapat atau malah sering saling
berkaitan. Keterkaitan tersebut tergantung pada perspektif yang digunakan dalam hukum.
Etika secara umum dapat didefinisikan sebagai nilai dan norma moral yang
menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok dalam berperilaku. Etika sebetulnya
berada di luar hukum bahkan boleh dikatakan terpisah dari hukum, namun dapat menjadi
inspirasi atau sumber dalam pembentukan hukum. Oleh karena itu, menempatkan etika
sebagai hukum tergantung pada bagaimana memberikan definisi hukum itu. Ketika
definisi hukum sebagai perintah, larangan dan sanksi yang dibuat oleh pemegang
kekuasaan yang legitimate, maka etika menjadi tidak termasuk dalam definisi hukum
tersebut. Selain itu, hukum juga dapat dibedakan sebagai hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis.
Ketika hukum didefinisikan sebagai hukum yang tertulis dalam arti peraturan
perundang-undangan maka etika tidak termasuk di dalamnya. Namun, ketika hukum
didefinisikan sebagai hukum yang tidak tertulis, maka etika termasuk di dalamnya. Pada
saat hukum didefinisikan sebagai peraturan perundang-undangan maka etika dapat
dijadikan sebagai inspirasi atau sumber dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan yang menjelma dalam perintah, larangan dan biasanya disertai dengan sanksi.

Kesimpulan
Dengan demikian, pembentukan norma atau kaidah hukum tersebut bersumberkan
pada etika sehingga etika yang pada awalnya hanya menjadi pedoman perilaku oleh
individu atau masyarakat ditransformasikan menjadi hukum positif. Transformasi dari
etika menjadi hukum positif ini berdampak pada daya laku. Ketika masih menjadi nilai
atau etika maka daya lakunya sangat terbatas, yaitu hanya pada individu atau kelompok
tertentu saja. Tetapi dengan dijadikan hukum positif dalam bentuk peraturan perundang-
undangan maka jangkauan daya lakunya menjadi lebih luas, berlaku untuk umum tidak
hanya untuk individu atau kelompok tertentu saja. Begitu juga mengenai sanksinya,
ketika masih berbentuk etika maka sanksi yang dapat dijatuhkan lebih pada sanksi moral
atau sosial dan daya paksanya relatif lebih lemah.
Namun, ketika etika sudah ditransformasi menjadi hukum tertulis dalam bentuk
peraturan perundang-undangan maka sanksinya dapat lebih tegas dan daya paksanya
lebih kuat yang dapat berwujud sanksi pidana baik berupa pidana penjara maupun denda,
sanksi perdata atau sanksi administratif. Berdasarkan pada kekuatan daya lakunya maka
banyak etika yang diberikan baju hukum (peraturan perundang-undangan). Namun, yang
harus diingat adalah ketika etika diberikan baju hukum maka etika tersebut sudah
bertransformasi menjadi hukum positif (peraturan perundang-undangan) bukan etika lagi.

Anda mungkin juga menyukai