Tugas 2 Kania Sistem Hukum Indoneisa
Tugas 2 Kania Sistem Hukum Indoneisa
TUGAS 2
1. Penjelasan :
1. Buktikan bahwa ada permasalahan mengenai eksistensi grasi dalam UU tentang Grasi.
Grasi sebenarnya bukanlah upaya hukum, namun merupakan hak Kepala Negara untuk
memberikan pengampunan kepada warganya yang dijatuhi putusan oleh pengadilan.
Pemberian Grasi oleh Presiden selaku Kepala Negara bukan sebagai Kepala Pemerintahan
(eksekutif) atau yudikatif, tetapi merupakan hak prerogatif Presiden untuk memberikan
pengampunan.
Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi: “Grasi adalah
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.” Penjelasan undang-
undang tersebut dikatakan, pemberian Grasi dapat merubah, meringankan, mengurangi
atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan. Hal ini tidak
berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap pidana.
Pemberian grasi bukan isu kepastian hukum, tetapi cerminan Tingkat kearifan hukum
presiden dan juga masyarakat. Dengan adanya pertimbangan dari Mahkamah Agung, dan
berbagai faktor sosial serta respon dari kelompok tertentu, pemberian grasi mencerminkan
kearifan hukum dari presiden. Mungkin kita lupa bahwa pemberian grasi adalah juga
tempat dimana kita memberikan tempat bagi hati nurani kemanusiaan kita.
Bagi pemohon yang dijatuhi pidana mati, grasi merupakan persoalan hidup dan mati.
Melalui pemberian grasi, mungkin saja seseorang yang dijatuhi pidana mati dapat menjadi
penjara seumur hidup atau pidana penjara dalam waktu tertentu. Hal seperti ini akan terasa
lebih arif. Karena terpidana akan mempunyai kesempatan untuk memperbaiki dirinya.
Berbeda dengan pidana mati yang tidak memberikan kesempatan bagi terpidana untuk
memperbaiki kesalahannya.
Penbahasan :
Menurut Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Ade Kusmanto, Annas
mengajukan grasi dengan alasan kemanusiaan. "Pertimbangannya adalah berusia di atas 70
tahun. Saat ini yang bersangkutan berusia 78 tahun dan menderita sakit berkepanjangan,"
Namun Keputusan Jokowi ini dinilai mencoreng rasa keadilan masyarakat. Pasalnya,
masyarakat adalah pihak yang paling merasakan dampak dari korupsi tersebut.
Tidak bisa dibuktikan bahwa ada permasalahan mengenai eksistensi grasi dalam UU tentang
Grasi sebab dalam pengambilan keputusan oleh presiden terkait Grasi bukanlah sekedar
mengambil keputusan tanpa meneliti kasus yang sedang berlangsung. Pemberian grasi
merupakan suatu koreksi atas putusan hakim dengan dasar alasan-alasan yang telah
diketahui setelah hakim menjatuhkan putusannya.
Undang- undang tidak mengatur secara eksplisit yang merinci mengenai alasan dari
pemberian grasi. Jan Remmelink mengemukakan alasan-alasan pemberian grasi sebagai
berikut :
Jika setelah vonis berkekuatan hukum pasti terpidana menghadapi suatu keadaan khusus
yang sangat tidak menguntungkan baginya. Misalnya terpidana menderita penyakit tidak
tersembuhkan atau keluarganya terancam akan tercerai berai;
mengakibatkan penjatuhan pidana yang jauh lebih rendah. Patut dicermati bahwa hal
ini bukanlah alasan untuk memohonkan peninjauan kembali. Terpikirkan juga sejumlah
kesalahan hakim lainnya yang tidak membuka peluang bagi permohonan peninjauan
kembali;
Jika semenjak putusan berkekuatan hukum pasti, ternyata situasi kemasyarakatan telah
berubah total, misalnya deklarasi perihal situasi darurat sipil karena tiadanya pangan
telah dicabut atau pandangan politik yang dulu berlaku telah mengalami perubahan
mendasar;
Jika ternyata telah terjadi kesalahan hukum yang besar. Terbayangkan di sini putusan-
putusan pengadilan terhadap para pelaku kejahatan perang, yang di periksa dan diadili
setelah perang usai. Melalui grasi , putusanputusan yang nyata sangat tidak adil masih
dapat diluruskan.
Grasi dalam hukum pidana, tidak hanya mengenai ampunan atau pengurangan hukuman
terhadap putusan hakim saja. Kita perlu melihat grasi dari sisi lainnya, yakni grasi sebagai
hak warga negara.
2. Buktikan bahwa grasi merupakan kewenangan konstitusional dan hak prerogatif dari
presiden.
Kewenangan Presiden dalam pemberian Grasi kepada terpidana termaktub dalam Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 menempatkan kedudukan yang dimiliki Presiden pada posisi dua
fungsi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yaitu fungsi sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan. Dalam praktiknya kekuasaan Presiden Republik Indonesia sebagai
kepala negara disebut dengan istilah Hak Prerogatif Presiden†atau Hak Mutlak yang
dimiliki Presiden bersifat mandiri diartikan sebagai kekuasaan penuh dan hak istimewa
Presiden yang tidak dapat diganggu oleh lembaga negara tertentu. Pemberian grasi kepada
terpidana merupakan kewenangan konstitusional Presiden yang diberikan oleh Pasal 14
ayat
(1) UUD Tahun 1945, dengan merujuk pada Pasal 11 UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi
sebagaimana telah diubah dengan UU No 5 Tahun 2010, Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 27
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang pada dasarnya Presiden dalam
pemberian grasi walaupun diharuskan memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung,
Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana,
dengan demikian pertimbangan tersebut tidak mengikat dan tidak mutlak mempengaruhi
hak penuh Presiden. Permasalahan dalam pemberian grasi adalah mengenai eksistensi
Grasi dalam UUD 1945 dan perundang-undangan berkaitan dengan Grasi tidak mengatur
secara eksplisit dan merinci mengenai alasan dan batasan permohonan grasi yang diberikan
oleh Presiden, yang tersirat hanya mengatur mengenai prinsip-prinsip umum tentang grasi
serta tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi. Untuk itu, Presiden dalam
memutus mengabulkan atau menolak permohonan grasi kepada terpidana selayaknya
mempunyai dasar atau kriteria yang jelas dalam pemberian grasi.
2. Penjelasan :
Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang kemudian dibatalkan oleh orang tuanya
dianggap sebagai anak sah, karena pembatalan perkawinan tersebut tidak berdampak
retroaktif pada status anak. Oleh karena itu, anak tersebut tetap memiliki hak waris dari
kedua orang tuanya dan tetap memiliki hubungan kekeluargaan dengan kedua orang
tuanya. Dengan demikian, status anak tersebut tetap diakui dan dilindungi oleh hukum,
serta memiliki pengakuan penuh baik dari pemerintah maupun dari orang tua mereka,
meskipun perkawinan orang tua dianggap tidak pernah terjadi secara hukum (batal demi
hukum), karena anak tersebut lahir dari perkawinan yang sah. Hal ini diatur dalam Pasal 42
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 75 dan 76 KHI.
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan
orang tuanya dan status anak dari perkawinan yang orang tuanya melakukan pembatalan
perkawinan adalah tetap sebagai anak yang sah dari kedua orang tuanya, ia juga berhak
kekeluargaan dengan keluarga si ayah ataupun ibu. Anak hasil perkawinan yang putus akibat
adanya penghalang perkawinan tetap memiliki kedudukan waris seperti anak pada
umumnya dan berhak atas harta waris orang tua selama orang tua belum melaksanakan
perkawinan lain, apabila orang tua kemudian melakukan perkawinan selanjutnya, maka
anak berhak atas harta warisan orang tua sebelum melakukan perkawinan selanjutnya.
3. Jawab :
Pemberian vaksin kepada keluarga pejabat yang tidak masuk dalam prioritas vaksinasi
merupakan bentuk maladministrasi pelayanan publik. Maladministrasi dalam program
vaksinasi melukai rasa keadilan public.
Sesuai petunjuk teknis vaksinasi yang dimuat dalam Keputusan Dirjen P2P No.HK.02.02/4/1/
2021 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam rangka Penanggulangan Pandemi
Covid-19, proses vaksinasi ada empat tahap.
Tahap I diperuntukkan bagi tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan, tenaga penunjang,
serta mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan profesi kedokteran yang bekerja pada
fasilitas pelayanan kesehatan.
Tahap IIa adalah untuk petugas pelayanan publik, yaitu TNI/Polri, aparat hukum, dan petugas
pelayanan publik lainnya yang meliputi petugas di bandara/pelabuhan/stasiun/terminal,
perbankan, perusahaan listrik negara, dan perusahaan daerah air minum, serta petugas lain
yang terlibat langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tahap IIb adalah vaksinasi
untuk kelompok lanjut usia (60 tahun ke atas).
Sasaran vaksinasi Covid-19 tahap III adalah masyarakat rentan dari aspek geospasial, sosial,
dan ekonomi. Selanjutnya tahap IV adalah untuk masyarakat dan pelaku perekonomian
lainnya dengan pendekatan kluster sesuai dengan ketersediaan vaksin.
Namun, dalam pelaksanaannya, ada kelompok-kelompok yang tidak termasuk dalam skala
prioritas mendapatkan vaksin lebih awal. Beberapa di antaranya adalah keluarga anggota
Dewan Perwakilan Rakyat RI dan keluarga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
DKI Jakarta.
Sesuai Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi dari Kemenkes, anggota DPR dan DPRD
merupakan bagian dari pelayan publik yang menjadi sasaran vaksinasi Covid-19 tahap II. Akan
tetapi, anggota keluarganya bukan sasaran dalam program tersebut dan tidak berhak ikut
vaksinasi lewat jalur itu.
Robert (salah satu anggota Ombudsman RI) mengatakan, pemberian vaksin kepada keluarga
pejabat melanggar prinsip keadilan dan prioritas yang telah dibuat pemerintah sendiri. Dari
aspek keadilan, vaksinasi kepada keluarga pejabat merupakan bentuk ketidakadilan karena
mengakibatkan masyarakat yang bukan dari kalangan tersebut tidak mendapatkan vaksin.
Adapun dari segi prioritas, tindakan tersebut merupakan bentuk ketidakkonsistenan
pemerintah dalam menegakkan peta jalan program vaksinasi sesuai skala prioritas yang telah
ditentukan. Pemerintah seakan menutup mata peristiwa tersebut yang sesungguhnya telah
melanggar prioritas dalam kebijakan yang dibuat sendiri.
Menurut dia, peluang untuk melakukan tindakan maladministrasi selalu ada. Namun,
keteladanan moral pejabat publik untuk tidak melanggar asas kepatutan, keadilan, dan skala
prioritas yang menjadi kebijakan pemerintah harus tetap dijaga. "Krisis keteladanan bisa
merusak sistem yang sudah dibuat. Jika pejabat di tingkat pusat memberikan contoh buruk,
maka bisa menjadi pembenaran bagi pejabat di daerah bahkan hingga tingkat desa melakukan
hal serupa," ucap Robert.
Maladministrasi adalah sebuah perbuatan melanggar hukum. Terdapat beberapa jenis tindakan
maladministrasi yang sering terjadi. Pertama, penundaan berlarut, yaitu dalam proses
pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat publik secara
berkali-kali menunda atau menulur waktu sehingga proses administrasi tersebut
tidak tepat waktu sebagaimana yang telah ditentukan, sehingga mengakibatkan
pelayanan publik yang tidak ada kepastian. Kedua, penyalahgunaan wewenang
yaitu tindakan seorang pejabat publik yang menggunakan wewenangnya (hak
dan kekuasannya untuk bertindak) melebihi apa yang seharusnya dilakukan
sehingga tindakan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, serta
menjadikan pelayanan publik tidak dapat diterima secara baik oleh masyarakat.
Ketiga, penyimpangan prosedur yaitu dalam proses pelayanan publik ada
tahapan kegiatan yang dilalui untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik,
namun dalam proses pelayanan publik seringkali terjadi pejabat publik tidak
mematuhi tahapan yang telah ditentukan dan secara patut sehingga masyarakat
tidak memperoleh pelayanan publik secara baik.