DISUSUN OLEH :
DIVISI HUKUM
BAWASLU KABUPATEN NATUNA
TAHUN 2020
1
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN DKPP
(DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU)
YANG BERSIFAT FINAL DAN MENGIKAT
Abstract
2
Abstrak
3
BAB I
PENDAHULUAN
Pemilihan Kepala Daerah mulai dari tingkat Presiden dan Wakil Presiden
hingga Bupati dan Wakil Bupati. Rakyat memiliki peran yang sangat esensial
Umum dilakukan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil
Umum. Dalam pelaksanaan tugas, KPU diawasi oleh Bawaslu yang dalam hal
demokratis.
4
dikhususkan untuk menjalani fungsi ini, maka dibentuklah DKPP (Dewan
penyelenggara Pemilu. DKPP terdiri dari 7 anggota yang berasal dari unsur
KPU, Bawaslu dan tokoh masyarakat yang diajukan oleh Pemerintah dan
DPR.1
perundang-undangan dan sifat putusan DKPP adalah final dan mengikat sesuai
Pemilihan Umum Pasal 458 ayat (13). Hal ini menimbulkan beberapa
permasalahan bagi jajaran pelaksana Pemilihan Umum karena tidak ada upaya
hukum lain saat putusan DKPP tersebut dinilai tidak adil. Saat suatu putusan
dinilai tidak adil, maka Penyelenggara Pemilihan tidak mempunyai pilihan lain
Final dan mengikat maka Karya Tulis Ilmiah ini akan menggali masalah
tersebut untuk memperjelas makna dibalik Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Selain itu, Karya Tulis
Ilmiah ini juga akan meneliti apakah terdapat celah untuk melakukan upaya
1
https://id.wikipedia.org./wiki/Dewan_Kehormatan_Penyelenggara_Pemilihan _Umum (diakses
pada 9 September 2020, pukul 09.01 WIB)
5
B. IDENTIFIKASI MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
D. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan untuk penulisan karya tulis ilmiah ini adalah
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyelenggara Pemilu
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum Pasal 1 ayat (5)
7
Kota Negara. DKPP terdiri dari 7 orang unsur KPU, Bawaslu, DPR, dan
dari pemerintah3.
Penyelenggara Pemilu berpedoman pada asas :
a. mandiri;
b. jujur;
c. adil;
d. kepastian hukum;
e. tertib;
f. kepentingan umum;
g. keterbukaan;
h. proporsionalitas;
i. profesionalitas;
j. akuntabilitas;
k. efisiensi; dan
l. efektivitas4.
3
http://indonesiabaik.id/infografis/tiga-lembaga-penyelenggara-pemilu-apa-saja (diakses pada
25 September 2020 Pukul 13.23 WIB)
4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum Pasal 2.
8
perkembangan pengertian tentang negara hukum (rechtsstaat) di Eropa Barat
yang mengharuskan adanya peradilan tata usaha negara. Namun,
perkembangan ide pembentukan peradilan tata usaha negara ini di Eropa Barat
memiliki sistemnya yang tersendiri, sehingga di Austria, di Jerman dan bahkan
di Perancis, misalnya, sistem peradilan tata usaha ini tidak berpuncak di
Mahkamah Agung melainkan memiliki mahkamah tertingginya sendiri. Pada
pokoknya, Mahkamah Agung Perancis atau “Courd Cassation” hanya
menangani perkara-perkara pidana dan perdata, demikian pula Mahkamah
Agung Austria dan Jerman. Untuk menangani perkara-perkara tata usaha
negara, di Perancis diadakan Dewan Negara atau “Conseil d’Etat”, sedangkan
di Jerman dan Austria dibentuk Mahkamah Administrasi Negara
“Verwaltungsgerichtshoft” yang tersendiri. Bahkan di Austria, untuk peradilan
konstitusi, pada tahun 1920 dibentuk pula Mahkamah Konstitusi atau
“Verfassungsgerichtshoft” yang merupakan lembaga peradilan konstitusi
pertama di dunia.5
Karena itu, alasan untuk menyebut adanya istilah peradilan khusus itu
dalam sejarah, hanya lah karena sudah diterimanya pengertian mengenai
peradilan umum, sehingga karenanya, yang lain dari peradilan umum itu harus
disebut sebagai peradilan khusus. Baru sesudah kita menerima ide
pembentukan peradilan tata usaha kita menambahkan satu pengertian lagi,
yaitu peradilan tata usaha negara. Karena itu, pada mulanya – seperti tercermin
dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1964, dikenal adanya tiga
macam peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Dalam UU No. 19 Tahun 1964 ini, peradilan agama
dianggap termasuk ke dalam pengertian pengadilan khusus. Pengertian
demikian ini dikoreksi pada masa Orde Baru sehingga dengan UU No. 14
Tahun 1970, peradilan agama itu dianggap merupakan lingkungan peradilan
yang tersendiri di samping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan
tata usaha negara. Selain pengertian pengadilan agama dan pengadilan militer
yang kemudian dikembangkan sebagai lingkungan peradilan yang tersendiri
5
http://www.jimly.com/makalah/namafile/161/PENGADILAN_KHUSUS_02.pdf (diakses pada 25
September pukul 16.21 WIB)
9
seperti dikemukakan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pengadilan khusus
pertama yang pernah dibentuk di Indonesia adalah Pengadilan Ekonomi pada
tahun 1955. Pengadilan Ekonomi dibentuk berdasarkan UU Darurat No. 7
Tahun 1955 untuk mengadili perkara tindak pidana di bidang perekonomian.
Kemudian dibentuk pula Pengadilan Landreform untuk mengadili perkara-
perkara pidana, perdata, dan tata-usaha negara yang timbul dalam pelaksanaan
kebijakan land-reform. Keduanya sama-sama termasuk ke dalam pengertian
peradilan umum.6
Perkembangan demikian ini terus berlangsung sampai kemudian
dilakukan konsolidasi dan penataan struktural terhadap sistem peradilan
nasional pada tahun 1970 dengan dibentuknya UU No. 14 Tahun 1970 tentang
PokokPokok Kekuasaan Kehakiman. UU ini memperkenalkan pengelompokan
peradilan ke dalam 4 lingkungan peradilan, yaitu:
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Tata Usaha Negara; dan
d. Militer.
Namun demikian, dengan struktur peradilan yang ada, kita dapat
mengkonsolidasikan semua ide tentang lembaga peradilan yang bersifat khusus
secara pasti ke dalam salah satu lingkungan peradilan yang ditentukan oleh
UUD 1945 itu. Semua bentuk dan jenis pengadilan khusus harus dikembalikan
hakikat keberadaannya dalam konteks lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan tata usaha negara, atau peradilan militer. Tentu ada kesulitan
ketika kita harus membahas mengenai bentuk kelembagaan yang bersifat
quasi-peradilan atau peradilan semu, seperti Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU), Komisi Informasi Pusat (KIP), Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan lain-lain sebagainya. Lembaga-
lembaga ni termasuk ke dalam lingkungan peradilan umumkah atau lingkungan
peradilan tata usaha negara? Pertanyaan ini tentu dapat dijawab menurut
6
Undang Undang No. 19 Tahun 1964 Pasal 7 ayat (1) Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasannya.
10
karakter bidang hukum yang ditangani oleh masingmasing lembaga quasi
peradilan ini yang tentunya perlu dibahas secara tersendiri.
Disamping lembaga-lembaga quasi-peradilan dan mekanisme
penyelesaian sengketa melalui ‘out-of-court sttlement’, dewasa ini berkembang
pula ide mengenai sistem peradilan baru yang dinamakan sistem peradilan
etika. Semua pembahasan di atas pada pokoknya berada dalam ranah dan
konteks sistem hukum dan peradilan hukum. Sistem peradilan etika merupakan
sesuatu yang sama sekali baru, yang dapat dikatakan bersifat melengkapi
terhadap sistem peradilan hukum yang sudah ada. Sekarang ada sebuah
lembaga baru yang dikategorikan sebagai lembaga pengadilan etika, yaitu
dengan nama Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).7
Semua petugas penyelenggara pemilihan umum, terutama para komisioner
Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta jajarannya di seluruh Indonesia dan
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) beserta jajarannya di seluruh
Indonesia, diharuskan oleh undang-undang untuk tunduk kepada Kode Etika
Penyelenggara Pemilu yang disusun bersama oleh DKPP, KPU, dan Bawaslu.
Undang-undang menyediakan ancaman sanksi bagi setiap aparat
penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik, yaitu berupa peringatan
mulai dari yang ringan sampai yang keras, atau jikalau terbukti pelanggaran
bersifat berat, diancam dengan sanksi pemberhentian tetap dari kedudukannya
sebagai penyelenggara pemilihan umum.
7
http://www.jimly.com/makalah/namafile/161/PENGADILAN_KHUSUS_02.pdf (Diakses Pada
26 September 2020, Pukul 09.16 WIB)
11
Pemilu hasilnya menunjukkan bahwa keberlakuan dari sifat final dan
mengikatnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Dari perspektif filosofis, Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu seharusnya mengikat semua pihak, baik individu maupun institusi.
Akan tetapi, dalam implementasinya beberapa masyarakat dan Lembaga
penyelenggara Pemilu tidak memberikan respon sebagaimana mestinya.
Kondisi seperti itu mengarah pada kesimpulan bahwa pemahaman dan
kesadaran berkonstitusi pada masyarakat dan lembaga penyelenggara pemilu
masih rendah.
Lembaga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu itu adalah saluran
konstitusional untuk Penegakkan etika penyelenggara Pemilu. Untuk itu, dalam
kerangka konstitusi, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak menerima atau
menolak putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Apapun jenis
putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu tersebut apakah itu sanski
peringatan, peringatan keras sampai pemberhentian tetap. Karena putusan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu berlaku mengikat bukan hanya
kepada para pihak yang bersengketa (inter parties), tapi juga mengikat kepada
siapa pun dan berlaku umum (erga omnes).
Kepatuhan terhadap putusan seperti Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu tidak bisa ditawar dan mencerminkan bentuk ketertundukkan warga
negara terhadap negara (obidience by law). Berdasarkan sifat final and binding
itulah Pasal 458 ayat (13) UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan
bahwa putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu bersifat final dan
mengikat. Final artinya, terhadap putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu tidak terdapat akses untuk melakukan upaya hukum dan sejak putusan
diucapkan seketika itu berkekuatan hukum tetap bagi penyelenggara Pemilu.
Seharusnya putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu hanya bersifat
rekomendasi dan tidak bersifat final and binding karena memerlukan
persetujuan administrasi lebih lanjut dari KPU dan Bawaslu. Sifat putusan
yang final and binding telah membuat DKPP menjadi lembaga superior dan
12
menghilangkan prinsip checks and balances di antara lembaga yang terkait
dengan penyelenggaraan pemilu.8
Sifat final putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
dimaksudkan agar keadilan konstitutif suatu putusan manfaatnya dapat
dirasakan secara langsung oleh warga negara dan seketika itu juga memiliki
kepastian hukum. Sedangkan binding (mengikat) artinya putusan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu berlaku mengikat bukan hanya terhadap
para pihak yang bersengketa, tetapi juga warga negara keseluruhannya,
termasuk seluruh institusi negara tidak terkecuali Presiden. Secara normatif-
yuridis, putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu bersifat final dan
mengikat sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.
Artinya, sejak memiliki kekuatan hukum tetap, tidak ada upaya hukum lanjutan
berupa banding dan kasasi, termasuk juga upaya untuk mengoreksi, putusannya
merupakan tingkat pertama sekaligus terakhir. Konsekuensinya, putusan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu tidak boleh dianulir atau bahkan
diabaikan.
Menurut Mahkamah Konstitusi sifat final dan mengikat dari putusan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu haruslah dimaknai final dan
mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun
Bawaslu dalam melaksanakan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu. Adapun keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN
yang bersifat konkrit, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan
di PTUN. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-
XI/2013 tersebut, maka secara mutatis mutandis PTUN memiliki kewenangan
untuk memeriksa atau menilai kembali putusan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu yang menjadi dasar pembuatan keputusan pejabat tata
usaha negara.9
8
Zaki Mubaroq, Kedudukan DKPP dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,(Lampung:Pasca
Sarjana Ilmu Hukum Universitas Lampung, 2013),hlm. 90.
9
https://media.neliti.com/media/publications/110419-ID-implementasi-kewenangan-dkpp-
pasca-putus.pdf (Diakses pada 26 September 2020, pukul 09.52 WIB)
13
D. Akibat Hukum Terhadap Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Penyelenggara Pemilu, subjek yang dapat menjadi pihak yang berperkara di
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dapat mencakup pengertian yang
luas dan dapat pula menyangkut pengertian sempit. Namun, dalam Peraturan
tentang Pedoman Beracara DKPP, pengertian pihak yang dapat berperkara
tersebut dibatasi, sehingga penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran kode
etik penyelenggara pemilu dapat secara realistis ditangani dan diselesaikan
oleh DKPP. Lagi pula, DKPP juga perlu memberikan dukungan penguatan
kepada KPU dan Bawaslu sendiri untuk menjalankan fungsinya tanpa harus
menangani semua urusan dugaan pelanggaran kode etik sendiri. Hal-hal yang
dapat diselesaikan sendiri oleh KPU dan Bawaslu atau pun hal-hal yang
semestinya ditangani dan diselesaikan lebih dulu oleh KPU dan Bawaslu, tidak
boleh secara langsung ditangani oleh DKPP dengan mengabaikan mekanisme
internal KPU dan Bawaslu sendiri lebih dulu.10
Oleh karena itu, idealnya, kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik
yang secara langsung dapat diajukan dan ditangani oleh DKPP dibatasi hanya
untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara
pemilu di tingkat provinsi atau tingkat pusat. Sedangkan untuk kasus-kasus
pelanggaran yang dilakukan pada tingkat kabupaten/kota lebih dulu harus
diklarifikasi dan ditangani oleh KPU Pusat atau Bawaslu Pusat. Jika pun
laporan atau pengaduan terkait diajukan langsung oleh masyarakat, oleh partai
politik atau pun oleh penyelenggara pemilu tingkat lokal kepada DKPP, maka
laporan atau pengaduan tersebut akan diperiksa dan diselesaikan lebih oleh
KPU atau Bawaslu melalui anggota anggota KPU atau anggota Bawaslu yang
duduk sebagai anggota DKPP.
Karena itu, idealnya, kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang
secara langsung dapat diajukan dan ditangani oleh DKPP dibatasi hanya untuk
kasus-kasus dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu di
10
Jimly Asshiddiqie “Pengenalan Tentang DKPP Untuk Penegak Hukum”, disampaikan dalam
forum Rapat Pimpinan Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta, Februari 2013.hlm.2
14
tingkat provinsi atau tingkat pusat. Sedangkan untuk kasus-kasus pelanggaran
yang dilakukan pada tingkat kabupaten/kota lebih dulu harus diklarifikasi dan
ditangani oleh KPU Pusat atau Bawaslu Pusat. Jika pun laporan atau
pengaduan terkait diajukan langsung oleh masyarakat, oleh partai politik atau
pun oleh penyelenggara pemilu tingkat lokal kepada DKPP, maka laporan atau
pengaduan tersebut akan diperiksa dan diselesaikan lebih oleh KPU atau
Bawaslu melalui anggota anggota KPU atau anggota Bawaslu yang duduk
sebagai anggota DKPP.
Proses pengambilan keputusan DKPP terhadap penyelenggara pemilu
adalah dalam pasal 36-40, yaitu :
a. Pasal 36
1) Rapat Pleno penetapan putusan dilakukan paling lama 10 (sepuluh) Hari
setelah sidang pemeriksaan dinyatakan ditutup.
2) Rapat Pleno DKPP dilakukan secara tertutup yang dihadiri oleh 7 (tujuh)
orang anggota DKPP, kecuali dalam keadaan tertentu dihadiri paling
sedikit 5 (lima) orang anggota DKPP.
3) Rapat pleno DKPP mendengarkan penyampaian hasil Persidangan.
4) DKPP mendengarkan pertimbangan para anggota DKPP untuk selanjutnya
menetapkan putusan.
5) Dalam hal anggota DKPP tidak dapat menghadiri Rapat Pleno DKPP,
anggota DKPP yang tidak hadir menyampaikan pendapat tertulis untuk
dibacakan dalam Rapat Pleno DKPP.
6) Dalam hal anggota DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak
menyampaikan pendapat secara tertulis, dianggap menyetujui keputusan
Rapat Pleno.
7) Penetapan keputusan dalam Rapat Pleno DKPP dilakukan secara
musyawarah untuk mufakat.
8) Dalam hal tidak tercapai musyawarah untuk mufakat dalam penetapan
keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) maka dilakukan
berdasarkan suara terbanyak.
9) Dalam hal terjadi perbedaan dalam pengambilan keputusan menyangkut
hal ikhwal yang luar biasa, setiap anggota majelis yang berpendapat
15
berbeda dapat menuliskan pendapat yang berbeda sebagai lampiran
putusan.
Pasal 37
1) Sidang pembacaan putusan dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) Hari
sejak Rapat Pleno penetapan putusan
2) Putusan yang telah ditetapkan dalam Rapat Pleno DKPP diucapkan dalam
Persidangan dengan memanggil pihak Teradu dan/atau Terlapor, pihak
Pengadu dan/atau Pelapor, dan/atau Pihak Terkait.
3) Amar putusan DKPP menyatakan: a. Pengaduan dan/atau Laporan tidak
dapat diterima; b. Teradu dan/atau Terlapor terbukti melanggar; atau c.
Teradu dan/atau Terlapor tidak terbukti melanggar.
4) Dalam hal amar putusan DKPP menyatakan Teradu dan/atau Terlapor
terbukti melanggar, DKPP menjatuhkan sanksi berupa : a. teguran tertulis;
b. pemberhentian sementara; atau c. pemberhentian tetap.
5) Dalam hal amar putusan DKPP menyatakan Pengaduan dan/atau Laporan
tidak terbukti, DKPP merehabilitasi Teradu dan/atau Terlapor.
6) Dalam hal Pengadu dan/atau Pelapor atau Pihak Terkait yang merupakan
Penyelenggara Pemilu terbukti melanggar kode etik dalam pemeriksaan
persidangan, DKPP dapat memerintahkan jajaran KPU dan/atau Bawaslu
untuk melakukan pemeriksaan.
7) DKPP dapat memberikan rekomendasi tindakan etik berdasarkan hasil
pemeriksaan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Sekretariat
Jenderal/Sekretariat KPU dan/atau Sekretariat Jenderal/Sekretariat
Bawaslu disetiap tingkatan dalam hal pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh pegawai Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU
Provinsi, Sekretariat KIP Aceh, Sekretariat KPU Kabupaten/Kota,
Sekretariat KIP Kabupaten/Kota, Sekretariat PPK, serta Sekretariat PPS
atau Sekretariat Jenderal Bawaslu, Sekretariat Bawaslu Provinsi,
Sekretariat Bawaslu Kabupaten/Kota, Sekretariat Panwaslu Kecamatan,
dan Sekretariat Panwaslu Kelurahan/Desa.
16
Pasal 38
1) Dalam hal pengaduan dan/atau laporan telah diregistrasi, sidang
pemeriksaan terhadap Teradu dan/atau Terlapor yang tidak lagi sebagai
Penyelenggara Pemilu dapat tetap dilanjutkan.
2) Teradu dan/atau Terlapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila
terbukti melakukan pelanggaran kode etik yang sanksinya pemberhentian
tetap, DKPP dapat menjatuhkan sanksi untuk tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Penyelenggara Pemilu.
Pasal 39
1) Putusan DKPP bersifat final dan mengikat.
2) Penyelenggara Pemilu wajib melaksanakan putusan DKPP paling lama 7
(tujuh) Hari terhitung sejak putusan dibacakan.
3) Dalam hal putusan DKPP menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap,
jajaran KPU dan/atau Bawaslu memberhentikan sementara sebelum surat
keputusan pemberhentian tetap diterbitkan.
4) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu
Kecamatan mengawasi pelaksanaan Putusan DKPP
Pasal 40
1) Salinan Putusan DKPP disampaikan kepada : a. Teradu dan/atau Terlapor;
b. Pengadu dan/atau Pelapor; dan c. Pihak Terkait lainnya. (2)
Penyampaian salinan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk
ditindaklanjuti.11
11
Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara
Pemilihan Umum Pasal 36-40.
17
sendiri-sendiri atau pun bersama-sama yang dipertanggung-jawabkan juga
secara individu orang per orang.
Dengan perkataan lain, yang dapat dituduh melanggar kode etik adalah
individu, baik secara sendiri-sendiri atau pun secara bersama-sama, bukan
sebagai satu institusi, melainkan sebagai orang per orang. Yang dapat dituduh
melanggar kode etik, bukan KPU atau Bawaslu sebagai institusi, tetapi orang
per orang yang kebetulan menduduki jabatan ketua atau anggota KPU atau
Bawaslu tersebut. Karena itu, pihak yang melaporkan atau yang mengadu harus
mampu membuktikan apa saja yang telah dilakukan oleh orang per orang
individu ketua atau anggota KPU atau Bawaslu yang dianggap telah melanggar
kode etik penyelenggara pemilu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Masalah penting yang sering kurang dipahami dengan baik atau kurang
mendapat perhatian dalam perkembangan modern mengenai sistem peradilan
adalah perspektif tentang keadilan restoratif (restorative justice). Pada
umumnya, proses peradilan konvensional selalu dipahami dalam konteks
paradigma keadilan retributif (retributive justice).12
Yang diutamakan dalam proses peradilan adalah sistem sanksi hukum
yang bersifat menghukum, membalas dendam, melampiaskan sakit hati, atau
menyalurkan kemarahan, baik korban dalam arti sempit ataupun korban dalam
arti luas, yaitu masyarakat pada umumnya yang tidak puas, dan bahkan benci
dan marah kepada penjahat yang telah melawan hukum dan merugikan
masyarakat Dalam hukum pidana, tersedia sistem sanksi pidana mati, pidana
penjara, pidana denda, dan sebagainya. Sedangkan dalam sistem peradilan
etika diadakan sanksi teguran dan sanksi pemberhentian dari jabatan publik.
Semua bentuk sanksi hukum maupun etika tersebut bersifat pembalasan
dengan cara menghukum dan melampiaskan amarah.
Cara pandang keadilan restoratif ini merupakan warisan umat manusia
dalam sejarah pra-modern yang cenderung mulai direvitalisasi kembali untuk
kepentingan masa kini. Oleh karena itu, jika seseorang terbukti melanggar
hukum, yang penting mendapat perhatian justru adalah nasib korban yang
12
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative of
Justice, (Bandung:Refi ka Aditama, 2009), hlm.179
18
harus dipulihkan. Masalahnya kemudian jika dikaitkan dengan peradilan
pidana dan peradilan etika penyelenggara pemilu yang tidak berkaitan dengan
proses pemilu ataupun dengan hasil pemilu, melainkan hanya dengan perilaku
etik dari aparat penyelenggara pemilu, timbul masalah yang boleh jadi belum
saatnya dipertimbangkan mengenai relevansi dan urgensinya. Misalnya, 5
orang anggota KPU suatu daerah terbukti melanggar kode etik, sedangkan
sebagai akibat langsung dari adanya pelanggaran itu, ada pasangan calon yang
digugurkan haknya oleh kelima orang anggota KPU tersebut.
Jika putusan DKPP ditetapkan mengenai hal itu masih berada dalam
jadwal, yaitu 1 hari sebelum berakhirnya jadwal tahap penetapan pasangan
calon Bupati dan Wakil Bupati oleh KPU setempat, apakah putusan DKPP itu
dapat dimanfaatkan untuk mengoreksi penetapan calon tersebut oleh KPU yang
kelima anggotanya diberhentikan oleh putusan DKPP tersebut?
Kelima anggota KPU Kabupaten setempat diberhentikan, maka
menurut undang-undang KPU setingkat di atasnya bertanggungjawab
mengambilalih pelaksanaan tugas dan kewenangan KPU setempat. Namun, ada
beberapa kendala yang ditemukan dalam praktik, misalnya karena keberadaan
DKPP sendiri masih baru dan belum dikenal luas, KPU tingkat provinsi sendiri
ataupun KPU yang bersangkutan tidak dapat diharapkan cekatan bertindak
dalam melaksanakan putusan DKPP itu, termasuk akibat hukumnya, dimana
KPU tentu saja berwenang menambahkan pasangan calon yang tadinya
dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi memenuhi syarat setelah adanya
putusan DKPP.
Untuk membantu KPU Provinsi, DKPP dapat saja menuangkan advis
hukum mengenai hal itu dalam ‘ratio-decidendi’ atau pertimbangan putusan
yang secara substantif dapat dipandang sebagai advis yang bersifat anjuran
moral kepada KPU untuk bertindak. Bahkan, agar lebih tegas dan mudah
dipahami, DKPP dapat pula berinovasi dengan menuangkan advis etik tersebut
dalam rumusan amar sehingga memiliki daya ikat dan daya bimbing yang lebih
kuat dan efektif.13
13
Zaki Mubaroq.,op.cit,hlm.65
19
Namun demikian, inovasi semacam itu sangat rawan disalah-gunakan di
satu segi, dan mudah pula mengundang kontroversi sebagai akibat reaksi pro
dan kontra terhadap putusan DKPP. Mengapa demikian? Sebabnya ialah
kesadaran mengenai pentingnya perspektif ‘restorative justice’ itu masih
sangat tipis di kalangan masyarakat. Hukum pun masih dipahami hanya
sebagai persoalan prosedur yang bersifat formal.14 Hukum hanya dipandang
sebagai kata-kata tekstual, bukan dan belum dipahami sebagai instrumen
keadilan yang bersifat substantif dengan memberikan solusi keadilan yang
pasti dan kepastian yang adil. Inovasi semacam ini juga rawan disalahgunakan
bagi pencari keadilan yang semu, yaitu DKPP rawan dimanfaatkan untuk
mencari keuntungan pribadi atau golongan dalam menghadapi keputusan KPU
yang tidak menguntungkan bagi partai politik atau pun pihak-pihak terkait.
Penyelenggara Pemilu berpedoman pada asas sebagai berikut :
1) Mandiri;
2) Jujur;
3) Adil;
4) Kepastian hukum;
5) Tertib;
6) Kepentingan umum;
7) Keterbukaan;
8) Proporsionalitas;
9) Profesionalitas;
10) Akuntabilitas;
11) Efisiensi; dan
12) Efektivitas.15
Putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Final artinya tidak tersedia
lagi upaya hukum lain atau upaya hukum yang lebih lanjut sesudah berlakunya
putusan DKPP sejak ditetapkan dan diucapkan dalam sidang pleno terbuka
DKPP terbuka untuk umum. Mengikat artinya putusan itu langsung mengikat
14
Marlina,op.cit,hlm185
15
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 2.
20
dan bersifat memaksa sehingga semua lembaga penyelenggara kekuasaan
negara dan termasuk badan-badan peradilan terikat dan wajib melaksanakan
putusan DKPP itu sebagaimana mestinya. Pelaksanaan atau eksekusi putusan
DKPP itu wajib ditindak-lanjuti sebagaimana mestinya oleh KPU, Bawaslu,
atau pun oleh Pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait.
16
Satjipto Rahardjo, “UUD 1945, Desain Akbar, Sistem Politik dan Hukum Nasional”, Makalah
disampaikan dalam Konvensi Hukum Nasional: UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional
Grand Design System dan Politik Hukum Nasional, Jakarta, 15-16 April 2008, hlm. 4-5.
21
adalah “kepastian hukum”. Dalam konteks kepastian hukum, adalah bahwa
antara penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu dan peserta
pemilu menerima secara baik dari proses tahapan, program dan jadwal waktu
penyelenggaran pemilu. Apabila ada pihak-pihak yang belum puas atas hasil
kerja yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai Penyelenggara
Pemilu, dapat mengajukan sengketanya di Mahkamah Pemilu.
Adapun dampak yang dapat dilihat secara signifikan Mahkamah Pemilu
adalah memberikan ruang hukum kepada pihak-pihak yang dirugikan dalam
penyelenggaraan Pemilu untuk mendapatkan kepastian hukum dalam
kehidupan negara demokrasi. Memang didalam Hukum Ketatanegeraan
Republik Indonesia sekarang ini, Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal
demokrasi secara kelembagaan nantinya salah satu kewenangannnya yaitu
mengemban tugas pada Perselisihan Hasil Pemilihan Umum akan dihapus dan
diselesaikan oleh Mahkamah Pemilu, dimana sengketa perolehan Hasil
Pemilihan Umum yang disengketakan oleh partai politik dengan Komisi
Pemilihan Umum atau Peserta Pemilu dengan Komisi Pemilihan Umum,
substansi dari Perselisihan Hasil Suara Pemilu hanya ruang lingkup hasil
perolehan suara pemilu termasuk proses tahapan, program dan jadwal waktu
penyelenggaran pemilu. Menurut pendapat penulis kurang tepat jika proses
tahapan, program dan jadwal waktu penyelenggaran pemilu dikaitkan dengan
Perolehan Hasil Suara Pemilu, dimana fatwa Hakim-hakim Mahkamah
Konstitusi, terkadang membuat Putusan ultra petita yang akan memperburuk
dinamika kehidupan berdemokrasi.
Hal ini mengakibatkan Putusan Mahkamah Konstitusi yang berlebihan,
untuk itu Mahkamah Konstitusi terlalu masuk kedalam perkara sengketa
Perselisihan Hasil Pemilu, dimana substasi hukumnya di belokkan terlalu jauh
oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Oleh Karena itu diperlukan
Mahkamah Pemilu yang dalam penanganan hukumnya berbeda dengan tugas
dan kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana Mahkamah Pemilu dapat
memberikan pencerahan hukum ketata negaraan di republik Indonesia. Dan
inilah salah satu contoh atas secara kelembagaan, kenapa proses pemilihan
umum baik Legislatif, Presiden dan wakil presiden, Gubernur, bupati walikota
22
dan segala persoalan hubungan depilihan langsung termasuk tika
penyelenggara pemilu, Penulis beranggapan bahwa dengan mengunakan satu
pintu kepastian hukum lebih jelas dalam penerapannya.
Topo Santoso yang menyatakan bahwa sengketa hukum dan
pelanggaran pemilu dapat dibagi menjadi enam bagian :
a. Pelanggaran Pidana Pemilu (Tindak Pidana Pemilu)
b. Sengketa dalam Proses Pemilu;
c. Pelanggaran Administrasi Pemilu;
d. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu;
e. Perselisihan (sengketa) Hasil Pemilu; dan
f. Sengketa hukum lainnya.17
17
Topo Santoso, “Peranan Peradilan dalam Kasus Pemilu”, Buletin Komisi Yudisial,Vol. III, No.5
tahun 2009. hlm. 23.
18
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP).
23
antara Tindak Pidana Pemilu yang diatur oleh KUHP dengan Tindak Pidana
Pemilu dalam Rancangan KUHP karena perbedaan yang ada hanya mengenai
jumlah denda yang diberikan saja dan khusus tentang pelanggaran pidana
menjadi kewenaganan lembaga peradilan umum, supaya sinkronisasi atas
kelembagaan bisa berjalan dengan baik.19
Sehingga dengan adanya Mahkamah Pemilu maka persoalan-persoalan
yang terjadi selama ini dimasa yang akan datang tidak terulang lagi dalam
setiap pesta demokrasi dengan kepastian hukum didasarkan pada mekanisme
hukum yang ada. Seperti Mahkamah konstitusi sering menyidangkan persoalan
tahapan dengan alasan menegakkan keadilan substantif padahal sebenarnya
melakukan perluasan kewenangan secara tidak langsung, tanpa melihat
kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak
substantif. Oleh karena itu melihat aturan paling tinggi yakni pasal 24C UUD
1945 (aturan-aturan subtantif) tanpa melihat kesalahan prosedural, maka hal
tersebut bukanlah keadilan substantif.
Sehingga dengan adanya Mahkamah Pemilu maka persoalan-persoalan
yang terjadi selama ini dimasa yang akan datang tidak terulang lagi dalam
setiap pesta demokrasi dengan kepastian hukum didasarkan pada mekanisme
hukum yang ada. Seperti Mahkamah konstitusi sering menyidangkan persoalan
tahapan dengan alasan menegakkan keadilan substantif padahal sebenarnya
melakukan perluasan kewenangan secara tidak langsung, tanpa melihat
kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak
substantif. Oleh karena itu melihat aturan paling tinggi yakni pasal 24C UUD
1945 (aturan-aturan subtantif) tanpa melihat kesalahan prosedural, maka hal
tersebut bukanlah keadilan substantif.
Oleh Karena itu diperlukan Mahkamah Pemilu yang dalam penanganan
hukumnya khusus soal hubungan dengan pemilihan umum dan pemilukada
dengan posisi kelembagaan sama dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi dengan dasar sebagai lembaga tinggi negara dalam kerangka sistem
kekuasaan kahikaman dan dapat memberikan pencerahan hukum ketata
negaraan di Republik Indonesia. Oleh karena itu menurut hemat penulis,
19
Ibid.,hlm.45
24
Pertama solusi Mahkamah Pemilu berada di ibukota negara sama dengan
konsep Mahkamah Kontitusi yang hanya berada di ibukota negara dengan
kewenangan, sengketa perselisihan hasil pemilu, dan administrasi pemilu dan
etika penyelenggara pemilu. Kedua dengan dibentuknya lebih efektif dan
efisien dalam mengadili kasus-kasus pemilu. Ketiga Pembentukan Mahkamah
Pemilu Tidak ada lagi perdebatan siapa yang memutus penyelesaian persoalan
pemilu dan lembaga yang memutus diluar kewenagan yang dimiliki memang
membutuhkankeberanian besar kepada pengabil kebijakan, akan tetapi dilihat
investasi hukum jangka panjang, maka Mahkamah Pemilu akan memberikan
alternatif hukum dalam menangani kasus-kasus pemilu memberikan kepastian
hukum kepada semua pihak. Keempat Mahkamah Pemilu merupakan salah
satu komponen dasar terciptanya kepastian hukum menuju negara demokrasi
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dibawah naungan Negara Kesatuan
Republik Indonesia .
25
BAB III
HASIL PENELITIAN
Umum Pasal 458 ayat (10) menyebutkan bahwa “DKPP” menetapkan putusan
sebagaimana dimaksud ayat (10) bersifat final dan mengikat”. kemudian diikuti
putusan DKPP yang bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat dan
untuk memiliki upaya hukum lain. Namun menurut pendapat Pakar Hukum
Tata Negara Feri Amsari, DKPP tidak bisa menyamakan putusannya dengan
20
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
21
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200807195532-12-533423/dkpp-ngotot-soal-evi-
pakar-sebut-putusan-peradilan-tertinggi (diakses pada 23 September 2020, Pukul 10.30 WIB).
26
Sedangkan peradilan konstitusi dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi yang
yang dikemukakan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DKPP yaitu Muhammad,
menyebut bahwa putusan yang dikeluarkan oleh DKPP bersifat final dan
mengikat sehingga seharusnya tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh
pihak yang terikat pada putusan itu. Lebih lanjut, Muhammad menjelaskan
bahwa sifat putusan DKPP telah diatur dalam Peraturan DKPP dan Undang-
menilai langkah tersebut adalah hak bagi setiap warga Negara24. Secara
eksplisit Muhammad menyatakan bahwa terdapat upaya hukum lain yang bisa
bahwa putusan DKPP final dan tidak memiliki upaya hukum lain, namun dilain
22
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b4f09b41a4e1/bingung-mau-berperkara-mari-
kenali-jenis-jenis-pengadilan-di-Indonesia (diakses pada 22 September 2020, Pukul 09.39 WIB).
23
https://news.detik.com/berita/d-2544800/mk-putusan-dkpp-bisa-digugat-ke-pengadilan-tata-
usaha-negara (diakses pada 23 September 2020, Pukul 10.42 WIB).
24
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/20/15260671/komisioner-kpu-bakal-gugat-ke-
ptun-dkpp-sebut-putusannya-final-dan-mengikat?page=all (Diakses pada 23 September 2020,
Pukul 10.49 WIB)
27
sisi Muhammad tetap mempersilahkan pihak terkait yang merasa keberatan
lembaga lain yang juga memiliki putusan dengan sifat yang sama, yaitu
diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam
(final and binding) Jadi, akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya
bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Demikian yang
25
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
28
dijelaskan dalam artikel Menguji Sifat ‘Final dan Mengikat’ dengan Hukum
Progresif.
secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat
memiliki makna hukum tersendiri. Frase “final” dalam Kamus Besar Bahasa
arti harafiah ini maka frase final dan frase mengikat, saling terkait sama seperti
dua sisi mata uang artinya akhir dari suatu proses pemeriksaan, telah memiliki
dibantah lagi. Hal ini memiliki arti bahwa telah tertutup segala kemungkinan
upaya Hukum26.
Disamping itu, sifat putusan final dan mengikat ini dapat juga
Arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan para pihak akan menerima putusannya secara final
26
Malik,”Telaah Makna Putusan MK yang Final dan Mengikat”. Jurnal Konstitusi. Vol. 6 Nomor 1,
2009, Hal. 81-82.
27
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa Pasal 1 angka 7.
29
merupakan putusan final dan tidak dapat diajukan banding, kasasi maupun
peninjauan kembali.
(BPSK) juga bersifat final dan mengikat. Untuk menangani dan menyelesaikan
sengketa konsumen, BPSK membentuk majelis dan putusan majelis ini final
dan mengikat28. Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah
bahwa dalam badan BPSK tidak ada upaya banding dan kasasi. Namun
Berdasarkan keterangan diatas, arti final dan mengikat adalah tidak ada
upaya hukum banding dan kasasi. Jika membandingkan sifat putusan lembaga
diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tertutupnya upaya hukum lain
penegakan hukum (law enforcement) adalah bagian dari sistem hukum. Tanpa
30
(materieel recht) niscaya menjadi tumpukan kertas (ee pupieren muur) saja.
menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu
keadilan (gerechtigkeit). Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu
Pemilu (DKPP) tidak bisa menjadi objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN). Lebih lanjut, I Dewa Gede Palguna menjelaskan bahwa yang
bisa digugat adalah kelanjutan proses itu, yaitu Keppres (Keputusan Presiden)
34
. Hal ini terjadi pada kasus Anggota KPU RI yaitu Evi Novida Ginting Manik
31
M. Laica Marzuki,Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Pikiran-Pikiran Lepas, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005, hlm. 94.
32
Sudikno Mertokusuma, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm.
140.
33
Ibid, hlm, 140
34
https://akurat.co/news/id-1160009-read-mantan-hakim-mk-putusan-dkpp-tidak-bisadijadikan-
objek-gugatan-ptun (diakses pada 23 September 2020, Pukul 14.20 WIB).
31
dengan putusan PTUN Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT. Evi Novida Ginting
Manik adalah Teradu VII pada laporan dugaan pelanggaran Kode Etik
berupa pemecatan Evi Novida Ginting Manik sebagai komisioner KPU dan
peringatan keras kepada Ketua dan empat komisioner KPU lainnya. Hal ini
pemberhentian Evi Novida Ginting Manik dari anggota KPU RI periode 2017-
2022. Keputusan Presiden inilah yang kemudian oleh Evi Novida Ginting
KPU Evi Novida Ginting Manik yang diberhentikan secara tidak hormat
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34/P Tahun 2020. Hal ini kemudian
ditanggapi oleh Anggota DKPP yaitu Ida Budhiati yang berharap Presiden
Joko Widodo bisa meluruskan hasil putusan PTUN terkait vonis DKPP
pemberhentian tetap menjadi rehabilitasi yang tentu ini belum selaras dengan
32
dikonstruksi sebagai peradilan etik dan putusannya bersifat final dan mengikat.
Terdapat dua perbedaan antara persoalan hukum dan persoalan etik. Ida
Budhiati juga mengatakan belum ada lembaga etik tertentu yang diberi tugas
Sehingga terdapat dua hal yang berbeda antara problem hukum dan problem
etik.
membatalkan vonis DKPP yang bersifat masalah etik. Menurutnya hal ini juga
diberikan otoritas untuk menerbitkan vonis yang bersifat final dan mengikat.
yang final dan mengikat yang tidak bisa dianulir peradilan hukum.
diajukan oleh eks Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik yang
tersebut menjadi batal. Selain itu, hakim memutuskan agar tergugat Presiden
Joko Widodo mencabut Keppres nomor 34/P tahun 2020 tersebut serta
35
https://news.detik.com/berita/d-5113076/dkpp-harap-jokowi-luruskan-pandangan-ptun-yang-
anulir-pemecatan-evi-novida (Diakses pada 23 September 2020, Pukul 15.00 WIB).
33
Juru bicara presiden bidang hukum Dini Shanti Purwono belum
Tahun 2020 tentang Pemberhentian dengan Tidak Hormat Anggota KPU Masa
DKPP dimana output dari Putusan ini adalah Keputusan Presiden dimana
PTUN. Secara tidak langsung, Putusan DKPP bisa diajukan upaya hukum
lainnya karena proses hukum masih bisa berlanjut walaupun tidak langsung
menggugat putusan DKPP itu sendiri namun tujuannya adalah sama. Ketika
PTUN memutuskan bahwa Keputusan Presiden harus dicabut, maka isi dari
putusan DKPP tersebut gugur dan status Evi Novida Ginting Manik kembali
36
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200807195532-12-533423/dkpp-ngotot-soal-evi-
pakar-sebut-putusan-peradilan-tertinggi (Diakses pada 24 September 2020, Pukul 09.53 WIB).
34
Putusan-putusan DKPP dan keputusan-keputusan administratif atau
tentang Penyelenggara Pemilu, putusan DKPP itu bersifat final dan mengikat.
Sifat final dan mengikat ini sudah dipahami bersama oleh Ketua dan semua
dan Pimpinan Mahkamah Agung beberapa waktu yang lalu. Bahkan hal
37
http://www.kompasiana.com/arifudin.fh.uia/pergeseran-kewenangan-dkpp-ri-studi-
kasusputusan-dewan-kehormatan-penyelenggara-pemilu-nomor-74-dkpp-pke-ii-2013-pada
perkarapelanggaran-kode-etik-oleh-anggota-kpu-provinsi-jawa-timur,Diakses Pada Tanggal 4
November 2016.
35
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Sifat “final dan mengikat” terhadap putusan DKPP saat ini seolah samar-samar
karena isi putusan tersebut bisa gugur kapanpun apabila suatu keputusan yang
diberhentikan secara tidak hormat oleh DKPP dan kemudian tertuang dalam
tersebut. Karena tidak puas terhadap putusan DKPP tersebut, maka mantan
juga ikut gugur dan mantan Anggota Bawaslu tersebut bisa kembali sebagai
memutus masalah etik namun hal ini pernah terjadi seperti kasus Anggota KPU
Evi Novida Ginting Manik dan hal ini tentu membuka peluang jika terdapat
penyelenggara Pemilu lainnya yang terjerat hal yang sama dan berakhir
36
1. Rekomendasi
a. Sifat “final dan mengikat” terhadap putusan DKPP seharusnya memiliki arti
final dan menutup segala upaya hukum lainnya layaknya putusan
Mahkamah Konstitusi;
b. Keputusan yang dikeluarkan sebagai akibat dikeluarkannya putusan DKPP
haruslah memiliki kekuatan hukum dan tidak bersifat administratif belaka;
c. Keputusan yang dikeluarkan sebagai akibat dikeluarkannya putusan DKPP
semestinya tidak bisa dijadikan objek sengketa PTUN;
d. PTUN bukanlah lembaga pemutus kode etik namun dalam hal ini
menggugurkan putusan lembaga kode etik sehingga terdapat tumpang tindih
kekuasaan;
e. Lembaga etik seperti DKPP sudah sewajarnya memiliki sifat putusan yang
final dan mengikat mengingat etik berada posisi yang lebih tinggi daripada
hukum. Namun dalam kenyataannya bisa diintervensi lembaga lain;
f. Diperlukan kepastian hukum yang tertuang dalam aturan perundang-
undangan terkait status surat keputusan yang dikeluarkan akibat putusan
DKPP.
37
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asshiddiqie Jimly, 2010, Model-Model Peradilan Konstitusi di Berbagai Negara,
Jakarta: Sinar Grafika.
. 2013, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, Jakarta:
Rajawali Press.
. 2013, Pengenalan Tentang DKPP Untuk Penegak Hukum,
Jakarta: disampaikan dalam forum Rapat Pimpinan Kepolisian Republik
Indonesia
Laica M. Marzuki, 2005, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Pikiran-Pikiran Lepas,
Jakarta: Konstitusi Press.
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep
Diversi dan Restorative of Justice, Bandung: Refika Aditama.
Mertokusuma Sudikno, 1996, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty.
Mubaroq Zaki, 2013, Kedudukan DKPP dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
Lampung: Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Lampung.
Santoso Topo, 2009, Penanganan Pelanggaran Pemilu, Jakarta: Kemitraan.
UNDANG-UNDANG
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum
Undang Undang No. 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik
Penyelenggara Pemilihan Umum
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
38
JURNAL/MAKALAH
Malik,”Telaah Makna Putusan MK yang Final dan Mengikat”. Jurnal Konstitusi.
Vol. 6 Nomor 1, 2009
Satjipto Rahardjo, “UUD 1945, Desain Akbar, Sistem Politik dan Hukum
Nasional”, Makalah disampaikan dalam Konvensi Hukum Nasional: UUD 1945
sebagai Landasan Konstitusional Grand Design System dan Politik Hukum
Topo Santoso, “Peranan Peradilan dalam Kasus Pemilu”, Buletin Komisi
Yudisial,Vol. III, No.5 tahun 2009.
WEBSITE
Detik.com (2020, 29 Juli) DKPP Harap Jokowi Luruskan Pandangan PTUN yang
Anulir Pemecatan Evi Novida. Diakses pada 23 September 2020, dari :
https://news.detik.com/berita/d-5113076/dkpp-harap-jokowi-luruskan-pandangan-
ptun-yang-anulir-pemecatan-evi-novida.
39
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b4f09b41a4e1/bingung-mau-
berperkara-mari-kenali-jenis-jenis-pengadilan-di-Indonesia.
40