Space Hotel (Hotel Ruang Angkasa) Ini merupakan rancangan yang diusulkan oleh Morvan
untuk dikembangkan di Barcelona, Spanyol. Desain hotel ini memicu kontroversi karena tidak
sesuai dengan langgam arsitektur lokal dan dianggap tidak sejalan dengan visi kota di Catalunya
itu. Light Park merupakan karya hasil kompetisi Skyscraper eVolo milik Ting Xu Chen dan
Xinmin. Karya ini berupa gedung pencakar langit yang mengadopsi konsep mengambang
seringan filosofi cahaya (light).(www.evolo.us) 2. Light Park Light Park merupakan karya hasil
kompetisi Skyscraper eVolo milik Ting Xu Chen dan Xinmin. Karya ini berupa gedung pencakar
langit yang mengadopsi konsep mengambang seringan filosofi cahaya (light). 3. Asia Cairns
Filosofi rancangan Vincent adalah(www.designboom.com) Vincent Callebaut mengusulkan
rancangan untuk dikembangkan di kota Shenzen, China. Desainnya mengakomodasi
permasalahan populasi akut akibat migrasi urban. Filosofi rancangan Vincent adalah "eco-
vision". Ia memanfaatkan tenaga matahari, angin dan juga air sebagai kekuatan energi yang
dapat dikonsumsi penghuninya. 4. Blue Plan (Tredje Natur) Ini merupakan rancangan yang dari
serangkaian pulau buatan bernama Blue Plan. Desain pulau ini komprehensif dan membantu
proyek pembangunan kota agar dapat dikelola dengan memanfaatkan kondisi alam, seperti
memanfaatkan air hujan. Proyek ini menawarkan berbagai strategi pragmatis dengan cara
"merebut" kembali 20 persen dari luas jalan dengan mengoptimalkan infrastruktur dan tempat
parkir sesuai dengan standar saat ini. Karya MVRDV ini pernah menjadi isu yang heboh
dan(www.bustler.net) 5. Peruri 88 Karya MVRDV ini pernah menjadi isu yang heboh dan
"panas" di Jakarta. Pencakar langit ini menempati lokasi di lahan aset Peruri di Blok M, Jakarta
Selatan. Proyek ini mengintegrasikan hunian, kantor, hotel, dan ruang komersial lainnya dalam
masa bangunan yang saling "bertabrakan".
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "5 Karya Unik Arsitek Dunia ",
https://properti.kompas.com/read/2013/06/18/1508157/5.Karya.Unik.Arsitek.Dunia..
Penulis : Hilda B Alexander
Jenis Konsep Arsitektur
2 Komentar
Dalam kesempatan ini saya mau mebahas tentang macam-macam konsep dalam arsitektur.
Konsep merupakan hal yang paling penting dalam mendesain. Dengan konsep, desain yang akan
dirancang menjadi lebih bermakna dan berarti.
Oke langsung saja kita cek apa aja sih konsep dalam arsitektur?
1. METAFORA
Konsep metafora adalah konsep yang menggunakan ungkapan “bagaikan” atau “seperti” untuk
mengidentifikasikan suatu hubungan antara benda tertentu dengan desain.
Contoh :
Busan Opera House by OODA. Bangunan ini menggabungkan bentuk cangkang dan kerangka
ikan sebagai ide desainnya.
2.PRAGMATIK
Contoh:
ANALOGI
Konsep analogi adalah konsep yang mengidentifikasi hubungan sifat khas suatu benda dengan
desain.
Konsep yang mengandung pengertian aspek yang paling penting & intrinsik dalam desain.
Konsep ini merupakan hasil penemuan & identifikasi pokok masalah.
Contoh:
5.UTOPIA
Contoh:
Skip to content
About
Our Programs
o The Maduranese
o The Maduranese
discussion
Arsitektur: Antara Pragmatis dan Idealistis,
atau Tidak Keduanya
September 17, 2013 gitahastarika 2 Comments
Sepi. Tidak ada gambar arsitektur. Tidak ada foto bangunan, tidak pula maket gedung. Mungkin
itulah hal-hal yang terbersit di benak pengunjung Pameran Ruang: Dari, Di, dan Ke.
Sebuah pameran arsitektur memang tidak selalu menyajikan gambar teknis atau sketsa proyek,
foto-foto bangunan atau pun maket. Bila kita lihat pameran-pameran arsitektur di laur negeri,
seperti Venice Architecture Biennale misalnya, pameran arsitektur memang lebih banyak
mempresentasikan ide-ide. Sayangnya referensi pameran arsitektur di Indonesia sangat minim,
sehingga orang sering mengira sebuah pameran arsitektur harus memamerkan bangunan.
Arsitek memang jarang bicara tentang hal-hal di luar hasil praktik arsitektur. Selain itu, saat
berbicara tentang masalah dalam konteks yang lebih luas, arsitek pun hampir selalu berbahasa
melalui karya arsitekturnya, baik itu berupa gambar, foto, atau pun maket. Hal ini seperti harga
mati, sebagai medium atau tujuan, wujud plastis berupa maket atau citraan bangunan wajib hadir
dalam sebuah presentasi arsitektur.
Namun, sebagian kalangan arsitektur selalu merindukan peran-peran yang lebih luas daripada
memroduksi bangunan. Melepaskan diri dari segala bentuk dan citraan “bangunan” memang
sudah beberapa kali dilakukan arsitek. Di era kontemporer, banyak arsitek dilibatkan ke dalam
pameran senirupa, misalnya pada CP biennale 2005, Imagining Jakarta, Jakarta Biennale, dsb.
Dan pameran ini juga merupakan jawaban atas kerinduan tersebut.
Seperti kata kuratornya, Gunawan Tjahjono, pameran ini bermaksud mengangkat sisi arsitektur
yang bersifat maknawi, dan itu jarang diinisiasi oleh kalangan arsitektur. Buktinya contoh-
contoh pameran yang saya sebut tadi merupakan pameran senirupa yang menganggap asitektur
merupakan bagian dari visual art. Tidak pernah sebaliknya.
Namun dari pameran ini, saya malah berpikir jangan-jangan kita memang harus mengakui jika
arsitektur memang bidang yang pragmatis. Ada kesan miskin ide jika kita melihat pameran yang
diselenggarakan atas kerjasama IAI dan Galeri Nasional ini. Mungkin karena pesertanya terlalu
sedikit. Yang pasti, beberapa ide yang dipresentasikan tidak benar-benar baru, dan bisa dikatakan
kurang berhasil memperlihatkan keunggulan craftsmanship seorang ahli ruang (jika tak mau
disebut ahli bangunan).
Contohnya adalah Urbane yang membuat sebuah perjalanan dari terang menjadi gelap, yang
kemudian di akhiri dengan terang lagi. Urbane adalah sebuah firma arsitektur besar dengan
karya-karya arsitektur berskala kota. Namun pada karya ini, kentara sekali kalau mereka awam
terhadap medium instalasi. Pemilihan material dan keputusan-keputusan desainnya pun tidak
jelas fungsinya. Mengapa harus memakai koran? Apa makna yang ingin disampaikan melalui
cabikan-cabikan koran tersebut? Mengapa teknik yang dipakai adalah memotong dan
menempelkan lembar-lembar koran tersebut secara kacau, bukan membuatnya menjadi pola
tertentu seperti detail-detail indah yang sering mereka ciptakan pada proyek mereka? Apa pula
fungsi bambu-bambu yang diletakkan sebagai pijakan di akses keluar dan masuknya?
Sementara itu Budi Pradono membawa instalasi yang sudah pernah ia pamerkan di Jakarta
Architecture Triennale, tetapi dengan judul berbeda, yaitu “Mountain Series (2.0)”. Struktur
kayunya tetap sama, toples-toplesnya pun sama, hanya isinya yang diubah menjadi tanah atau
pasir, menyesuaikan judul yang ia sematkan pada karya ini. Menarik, apabila kita membaca
teksnya. Lalu mengapa tidak sekalian menggunakan medium teks?
Sesungguhnya mengapa kualitas craftsmanship seorang arsitek Indonesia berubah saat membuat
karya yang bebas fungsi? Seakan-akan arsitek hanya bisa membuat konsep, tapi kedodoran
dalam hal material dan konstruksi.
Memang bukan hanya Urbane dan Budi Pradono yang terjebak dalam medium instalasi. Hal
seperti ini juga pernah terjadi pada pavilion karya Junya Ishigami di Venice Architecture
Biennale 2010 yang roboh pada hari pertama instalasi tersebut dipasang. Lucunya, karya yang
bahkan tak bisa berdiri ini malah mendapat penghargaan dari juri. Apakah instalasi arsitektur
juga mengamini jika craftsmanship tak lagi diutamakan seperti di senirupa kontemporer?
Acara lain yang menunjukkan kekakuan tangan arsitek saat bekerja merespon material atau
permasalahan juga terlihat pada sebuah workshop mahasiswa arsitektur pada JAT 2012 lalu.
Mahasiswa-mahasiswa ini diharapkan merespon sebuah permukiman kumuh di sepanjang Kali
Cikini, yang berada tepat di belakang Pasar Cikini. Hasilnya? Mahasiswa-mahasiswa ini
mengubah sampah, menjadi sampah yang lain: gerbang jembatan, dan hiasan melayang di atas
WC umum.
Sebenarnya jika benar arsitek jagoan dalam berkonsep, banyak sekali yang dapat direspon dari
site tersebut. Hanya dalam satu kali kedatangan kita bisa menyadari betapa chaos-nya kawasan
ini. Maka membuat penanda atau pengarah jalan bisa menjadi alternative. Atau amati kebiasaan
menjemur nasi basi di masing-masing atap seng, lalu respon hal tersebut menjadi suatu karya
arsitektural. Namun kembali, alasan mepetnya waktu mengharuskan kita maklum atas
munculnya karya-karya ornamental yang dipertanyakan keindahannya ini.
Memang alasan tidak idealnya penyelenggaraan seperti minimnya waktu dan dana selalu terkuak
belakangan. Alasan seperti ini bukan hanya muncul pada pameran ini, tapi juga di pameran-
pameran lain yang melibatkan arsitek seperti Biennale Jakarta, atau festival triennale arsitektur,
seakan-akan keterlibatan arsitek dalam sebuah pameran hanyalah sebuah kecelakaan. Arsitek
yang selalu punya gagasan monumental harus gigit jari di saat dana yang disediakan panitia
bahkan tak mencukupi setengah dari anggarannya.
Namun tanpa ada alasan dana pun, harus diakui banyak arsitek yang belum siap atau tertarik
pada pameran yang sering dibilang idealistis ini. Gunawan mengakui arsitek yang memasukkan
karyanya sangat terbatas. Bahkan ketika beberapa arsitek secara khusus diundang sebagai peserta
pun, beberapa di antaranya terpaksa ia tolak karena terlalu jauh menyimpang dari kuratorialnya.
Fenomena instalasi di dunia arsitektur dengan senirupa memang berbeda. Jika ada yang
mengatakan pelukis hijrah dari kanvas ke instalasi karena takut dianggap kurang kontemporer,
mungkin hadirnya instalasi arsitektur dikarenakan para arsitek sering merasa arsitektur terlalu
rigid dan sulit merespon lingkungan. Dalam sebuah sketsa satir profesi bahkan digambarkan
sebagai orang yang berdiam di awan alias tidak membumi dengan permasalah riil yang dihadapi
sehari-hari oleh manusia biasa. Sadar akan rigidnya medium arsitektur, arsitek pun ingin ikut
berbicara, merespon lingkungan, meski mereka tak selamanya bisa memberi solusi.
Lalu apa bedanya arsitek dengan seniman jika memang demikian? Dari cara praktiknya,
seniman, saat ia memasuki wilayah yang bukan zona nyamannya, umumnya juga dibantu
seorang atau beberapa orang artisan. Dan hal ini jelas terjadi pada arsitek, karena arsitek toh
tidak pernah membuat ciptaannya dengan tangannya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Saya jadi teringat pada sebuah perbincangan dengan Perupa Sunaryo. Ia pernah mengatakan,
salah satu yang membedakan desainer dengan seniman adalah dorongan pada proses kreasinya.
Jika pada seniman dorongan dalam berkarya datang dari dalam dirinya, sebaliknya, dalam
berkarya, seorang desainer selalu membutuhkan dorongan dari luar dirinya. Apakah mungkin
dorongan pada pameran ini kurang kuat, sehingga saat diajak memikirkan ulang tentang
permasalahan ruang secara maknawi, bukan mempublikasikan proyek-proyeknya, para arsitek
menjadi kurang berminat? Sehingga saat beban-beban sosial yang biasa mereka keluhkan tak
ada, mereka justru tidak menemukan alasan untuk membuat karya instalasi terbaik seperti yang
tertulis pada undangan pamerannya? Atau memang kembali lagi, arsitek memang sudah terlanjur
terdidik sebagai praktisi, yang cuma bisa berpikir praktis dan pragmatis, sehingga hal-hal
maknawi yang ditawarkan oleh Gunawan ini dinilai kurang menggugah selera berkreasi?
Lalu apakah pameran arsitektur yang bersifat konseptual ini bernilai untuk diselenggarakan?
Menurut saya tetap ya, karena upaya sang kurator untuk membawa arsitek keluar dari kotak
praktisnya layak diapresiasi. Setidaknya, pameran ini berhasil mengundang pertanyaan-
pertanyaan dan kritik.
Yang menarik, kritik yang tajam justru datang dari salah satu peserta pameran, yaitu Adi
Purnomo yang sering dipanggil Mamo. Mamo seakan-akan memandang pameran ini sebagai
kesia-siaan. Kandang-kandang ayam kosong yang ditumpuk dan disusun melingkar yang ia
konsepkan hampir tidak mengesankan apa-apa. Kosong. Tak ada yang spesial. Dan, rupanya
judul karya ini memang “Omong Kosong”.
“Brief yang mengawang penuh cita-cita tinggi, dan kenyataan diumumkan beberapa hari saja.
Emerging architect, instalasi arsitektur terbaik, …. Terdengar klise sekali. Bagaimana mungkin
dengan beberapa hari saja menghasilkan karya terbaik? Atau mungkin memang seperti ini cara
kerja kita?” tulis Mamo pada presentasinya.
Untuk menegaskan hal ini, ia menuliskan data-data proses kreasi instalasi yang seharusnya
terbaik ini. Ia hanya membutuhkan waktu 4 jam untuk merancang dan 4 jam membangunnya.
Sebagai imbalannya? Ia harus menempuh 294 menit perjalanan pulang pergi, yang sama dengan
8,6 kali waktu instalasi itu dirancang dan dibangun. Belum lagi jika ia harus menghitung berapa
banyak jejak karbon yang ia tinggalkan untuk membuat “Omong Kosong” ini. Lebih banyak
usaha daripada hasil?
Peserta yang terlihat menikmati keterlibatannya dalam pameran ini adalah Ary Indra. Melalui
karyanya “Menatap Dulu Melihat Nanti”, ia berbicara tentang proses manusia mengarungi ruang
yang berawal dari citraan atau kulit terluar seperti pakaian dan penampilan fisik, yang terkadang
membuat kita dangkal. Ini mengapa karyanya memakai medium cermin yang saling
memantulkan, sehingga kita bisa ‘melihat’ seluruh diri kita dari atas, depan, bawah, hingga
belakang. Satu hal yang ia anggap menjadi identitas karya seorang arsitek adalah karyanya harus
bisa dialami. “Jika hanya bisa dilihat, dipegang, menurut saya belum arsitektur.” Agak berbeda
dengan Ary, bagi Mamo yang membedakan instalasi arsitektur dengan instalasi lainnya adalah
pada masalah tektonis.
Karya SHAU “Ruang Senar” juga cukup menarik. Dengan berbicara tentang perjalanan di dalam
ruang yang tidak pernah mengulang pergerakan dan rute yang sama saat berpindah. Sayang, pada
instalasinya mereka menentukan batas-batas yang tetap sehingga rute perjalanan menjadi
berulang.
Dari sisi penonton, mengunjungi pameran ini memang berhasil membuat saya berpikir dan
memikirkan ulang masalah-masalah arsitektur, walaupun tidak persis seperti yang digiring oleh
kuratornya. Lima instalasi yang hadir pada pameran ini pun belum sepenuhnya menjawab atau
menanggapi tantangan si kurator. Belum ada instalasi yang mengaitkan ruang dengan elemen
waktu, seperti yang tertulis dalam pengantar kuratorialnya, “Manusia meruangkan waktu
sehingga acara terperistiwakan dan jadwal tertempati. Namun manusia juga mewaktukan ruang
sehingga peristiwa teracarakan dan tempat terjadwalkan.”
Si kurator juga menantang para arsitek untuk membuat karya yang menyatakan keberadaan, yang
menerjemahkan seluruh cerapan seorang arsitek atas lingkungan keberadaan selama ini. Namun
karya-karya yang ada belum sepenuhnya berhasil menyampaikan pandangan personal tersebut
karena cenderung terlalu umum. Apakah ini diakibatkan sifat arsitek yang biasa berjarak dan ini
rupanya juga berlaku termasuk pada dirinya sendiri? Bisa juga, tapi tidak pasti.
Yang pasti medium instalasi yang temporer ini seharusnya dimanfaatkan benar oleh para arsitek
sebagai media pencarian diri, untuk merenungkan kembali alasan-alasan mereka berkarya:
Mengapa harus menjadi arsitek? Mengapa idenya harus direalisasikan? Dan apa yang ia perbuat
untuk lingkungannya? Pertanyaan-pertanyaan yang katanya dirindukan oleh seorang arsitek.
Paling tidak karena tidak ada ruang riil yang harus ia ubah, tidak ada pula uang dan kepentingan
klien yang dikalahkan. Namun, dari pameran ini juga, para arsitek sebaiknya jujur, jika
pencarian-pencarian dirinya selalu bersifat pragmatis, maka wajar dan terimalah jika pameran-
pameran arsitektur yang ada kebanyakan bersifat showcase.
ADVERTISING
Advertisements
Report this ad
Report this ad
Share this:
Twitter
Facebook
Related
Post navigation
Previous PostRobert Venturi & Denise Scott BrownNext PostSeru-seruan di Pusat Jakarta
2 thoughts on “Arsitektur: Antara Pragmatis dan Idealistis, atau Tidak Keduanya”
1. r12410
asik..
Reply
1. gitahastarika
sok kritis gitu, ya, gue… hehehe… Padahal nulisnya sambil cengengesan.
Reply
Leave a Reply
Archives
September 2014 (1)
February 2014 (8)
January 2014 (31)
December 2013 (7)
November 2013 (1)
October 2013 (5)
September 2013 (19)
August 2013 (20)
July 2013 (12)
June 2013 (8)
May 2013 (18)
April 2013 (8)
Author
dsetiadi
gitahastarika
Advertisements
Report this ad
discussion
portfolio
o 2013
o 2012
o 2011
o 2010
o 2009
o 2008
o 2007
o 2006
o 2005
o 1976
profile
neighborhood
heritage
workspace
events
o World Architecture Festival 2013
o Tangan Jepara #2
Categories
Categories
Categories
1970-an (2)
1976 (1)
2001 (1)
2005 (5)
2006 (3)
2007 (2)
2008 (1)
2009 (6)
2010 (9)
2011 (14)
2012 (18)
2013 (34)
Anyaman Dayak (2)
Dari Teman (1)
discussion (13)
event (1)
events (12)
heritage (2)
initiative (1)
neighborhood (6)
Our Programs (2)
portfolio (97)
profile (2)
quotes (5)
Tangan Jepara #2 (5)
The Maduranese (1)
Uncategorized (1)
video (4)
workspace (1)
World Architecture Festival 2013 (8)
Yogyakarta (1)
Recent Posts
Orang Madura: Membongkar. Mengurai. Memproduksi.
Circuit Stool
Menambah Nilai Keset
Mainan Masa Kecil
Masih adakah yang baru di bawah matahari yang sama?
Top Posts & Pages
Zamrud Khatulistiwa
Orang Madura: Membongkar. Mengurai. Memproduksi.
Pola Bunga Tanjung
Mebel-Mebel Di Prawirotaman
Serial Kotak Pensil
Author
dsetiadi
gitahastarika
Archives
September 2014 (1)
February 2014 (8)
January 2014 (31)
December 2013 (7)
November 2013 (1)
October 2013 (5)
September 2013 (19)
August 2013 (20)
July 2013 (12)
June 2013 (8)
May 2013 (18)
April 2013 (8)
our friends
Prawirotaman 2
Gitahastarika's Weblog
Abie Abdillah
Adhi Nugraha
Aida Rattan
aksesori
aluminium
alumunium
Alvin Tjitrowirjo
Anastasia Sulemantoro
anyaman Dayak
arsitektur
bambu
Bayu Edward
BC KOBO
besi
Cirebon
clock
credenza
cushion
Denny R. Priyatna
desain
Diaz Adisastomo
elektronik
elektronika
Fitorio Leksono
furniture
Harry Maulana
HDMI
Himpunan Desainer Mebel Indonesia
Imam Buchori
Ivan Christianto
jam
Jenggala
Jepara
Kamal Furniture
Kandura
kayu
kayu bekas
kayu jati
kayu jati doreng
kayu mahogani
kayu mahogany
kayu pinus
kayu sonokeling
keramik
kriya
kursi
laminated wood
lampu
laser cut
lighting
Mariska Adriana
mebel
Michelle Nathania
Mutia D. Pratiwi
Nadia Pramudita
Pirnas
public furniture
rempah rumah karya
rotan
rotan alami
rotan sintetis
Singgih S. Kartono
Singgih Susilo Kartono
stationery
stoneware
stool
Sunaryo
tableware
Tangan Jepara
Tangan Jepara #2
tempat lilin
Veny Lydiawati
white oak
wooden radio
World Architecture Festival 2013
Recent Comments
Fahmi (catperku) on Perbedaan/Persamaan Manusia da…
facebook
Blog at WordPress.com.
Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy