Anda di halaman 1dari 1

Sejak Gus Yahya memimpin PBNU, beliau berusaha keras memisahkan politik praktis dari NU.

Walaupun hal itu jelas tak mudah.

Sebagaimana kita tahu, pasca reformasi, NU sepakat membentuk sebuah partai politik bernama
PKB, yang mewadahi aspirasi warga NU.

Tujuannya agar NU tetap menjadi ormas yang bisa gesit bergerak memberdayakan umat,
sementara urusan politik warga NU biar PKB yang menangani.

Namun rupanya pemisahan NU dan PKB tak berjalan mulus. Akhir-akhir ini gerak langkah NU
banyak "kesrimpet" manuver-manuver politik para pengurusnya.

Karena terlalu banyaknya pejabat struktural NU terlibat politik praktis secara langsung, bisa-bisa
orang tidak bisa lagi membedakan, mana NU, mana PKB, sami mawon.

Bila dibiarkan, tentu ini sebuah kerugian. NU akan terus terseret ke pusaran politik praktis yang
lambat laun akan mengkerdilkan NU.

Namun, PKB nampaknya tidak cukup representative menjadi satu-satunya tunggangan politik
warga NU . Tingkah laku elit-elit PKB yang “njelehi” juga semakin membuat warga NU illfeel lalu
menitipkan suaranya ke partai lain

Kenyataan di lapangan memang layak membuat PKB ketar-ketir. Berdasarkan survei Litbang
Kompas pada 17 hingga 30 Januari 2022, elektabilitas PKB berada diurutan 5 dengan angka 5,5
persen, di bawah PKS yang melesat dengan 6,8 persen.

Jadi pada kemana suara warga NU? Pertanyaan ini pasti terus menggelayut di fikiran cak Imin.
Maka, ketika Gus Yahya mau membuat batas yang jelas antara NU dan PKB tentu dia tambah
puyeng.

Jadi ketika adiknya Gus Yahya didholimi dan difitnah, Cak Imin tak mau membela, justru malah
ikut-ikutan menyalahkan. Entah dia tak faham atau memang pura-pura tak faham

Urusan penentuan cawapres pada pemilu yang lalu sebagai contohnya. Ruwet dan penuh
drama. Cerita di belakang layarnya sungguh seru, terjadi tarik menarik dan "rebutan" disebut
sebagai "NU tulen". Kenapa bukan PKB tulen?

Anda mungkin juga menyukai