Anda di halaman 1dari 2

Menepis Prasangka Mengikis Kekeliruan

Indonesia merupakan salah satu negara hukum yang tentunya tidak akan lepas dari politik.
Membicarakan politik di negeri ini tentunya tidak akan pernah sepi. Politik di Indonesia
selalu ramai dan gaduh. Seperti halnya, pada kasus perpolitikan yang menimpa Basuki Tjahja
Purnama atau Ahok atas tuduhan penistaan agama Islam. Peristiwa dugaan penistaan agama
ini bermula saat Ahok melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada Selasa, 27
September 2016. Saat berpidato di hadapan warga, Ahok menyatakan tidak memaksa warga
untuk memilih dirinya pada Pilkada 2017. Pernyataan itu disertai kutipan surat Al-Ma’idah
ayat 51 yang menuai reaksi publik yang menganggap bahwa mencampurkan agama kedalam
politik. Untuk mengupas lebih dalam kita simak ulasan berikut ini dengan tema Menepis
Prasangka Mengikis Kekeliruan.
Relevan dengan kasus atas dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja
Purnama atau Ahok menuai reaksi dari masyarakat. Banyak anggapan bahwa kasus yang
dilakukan Ahok merupakan diskriminasi agama dan ada pula yang beranggapan bahwa
pemimpin itu lebih baik muslim atau Islam padahal Indonesia sendiri merupakan negara
Pancasila yang seharusnya tidak perlu membeda-bedakan agama dalam kepemimpinan.
Namun disamping itu, banyak juga yang beranggapan bahwa apabila agama dicampurkan
dengan sebuah politik maka politik itu akan rusak. Dan, apabila politik dicampurkan dengan
agama maka agama itu akan rusak. Keadaan ini menggambarkan seakan akan kedua hal
tersebut bertolak belakang. Kenapa? Karena agama selalu mengajarkan kebaikan,
mengajarkan pada kemaslahatan dan sebagainya sedangkan sebagian "politisi" dalam
kenyataannya bertolak belakang dengan itu. Jadi, tidak usah memasukan agama ke dalam
politik, tidak usah juga memasukan politik ke dalam agama.
Bisa jadi ada orang yang menggunakan agama untuk meraih tujuan politik, meraih
kekuasaan. Itu tidak benar. Dalam prakteknya hal itu kerap sekali terjadi tidak hanya di
Indonesia saja tetapi dimanapun orang akan menghalalkan segala cara dan medium apapun
termasuk agama yang sangat mudah untuk di bongkar pasang di tafsirkan macam-macam
untuk kepentingan diri sendiri. Karena kenyataan itu demikian maka agamawan datang
berkata “Hai, hati-hati berpolitik, politik itu candu”.
Tapi sebenarnya agama dan politik dapat berjalan sejalan dan seirama. Kita lihat saja, Islam
itu tidak bertentangan dengan politik. Bahkan di dalam ajaran Islam sendiri tentunya ada
politik. Tetapi politik dalam pengertiannya tidak seperti yang tadi karena ini maksudnya
hikmah. Mungkin suatu ajaran yang mengajarkan bagaimana cara masuk ke wc, bersin dan
hal-hal kecil diaturnya padahal dia tidak mengatur menyangkut negara dan masyarakat. Jadi,
oleh karena itu tidak bisa kita bicara bahwa Islam tidak mengenal politik.
Tapi di sisi lain, politik dalam kenyataannya itu sering kali bertentangan langkah-langkahnya
dengan langkah-langkah yang diinginkan islam. Dari sini orang lantas berkata kalau begitu
agama bertentangan dengan politik. Jadi tergantung lagi apa pengertian kita terhadap politik.
Karena sebenarnya itu politisinya bukan politiknya dan sebagian politisinya yang
menggunakan siasat bukan hikmah.
Oleh karena itu, jangan campurkan agama dengan politik karena agama terlalu suci, tetapi
kita dudukan dulu politiknya, hikmah politik upaya untuk meraih kemaslahatan bersama,
politik adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk suatu kemaslahatan bersama, itu agama pasti
mendukung. Namun jika politisi yang memanfaatkan agama itulah yang tidak dibenarkan
oleh agama.
Tentunya dari kasus Ahok tadi memicu terjadinya perpecahan yang berujung pada demo dan
kerusuhan untuk menuntut Ahok dimana menyebabkan fasilitas umum dan keresahan pada
masyarakat. Hal itu ditimbulkan atas rasa kekhawatiran dan tidak percaya. Mereka
menginginkan pamimpin yang ideal, akan tetapi hanya karena Islam yang disalah pahami dan
kedangkalan pengetahuan menyebabkan emosi keagamaan yang terlalu meluap-luap sehingga
banyaknya kekeliruan. Seperti halnya jika kita merenovasi rumah yang bocor maka jangan
hanya fokus kepada masalah kebocoran tersebut tapi waktu kita melakukan renovasi juga
melihat kedasar dasarnya, landasannya tetap ada. Apa yang bocor kita tutupi dengan sesuatu
yang baru apa yang rusak kita perbaiki.
Bagaimana caranya agar negara ini memiliki pemimpin pemimpin yang baik? Dan memiliki
warga negara yang mempunyai kemampuan untuk mewujudkan bangsa dan negara dan dapat
melihat dan memilih pemimpin negara yang baik dan benar?
Kalau anda memilih pemimpin yang baik maka akan lahir pemimpin yang baik. Nabi sudah
memberikan gambaran bahwa sebagaimana keadaan kalian begitulah pemimpin kalian
dibentuk. Kita pasti akan memilih yang baik maka jadilah dia pemimpin. Kalau kita buruk,
pasti akan terpilih yang buruk. Jadi pemimpin itu cerminan dari masyarakat sekaligus
pemimpin harus berusaha mewujudkan kehendak masyarakat sekaligus pemimpin harus
berusaha mewujudkan kehendak masyarakat. Maka dalam Islam disebut Amir artinya yang
memerintah dan diperintah. Bahkan menurut Sayyidina Ali pemimpin yang baik adalah
pemimpin yang sebelum jadi pemimpin dia telah membaur dengan masyarakatnya,
membimbing mereka. Seakan akan dialah pemimpinnya tetapi ketika dia menjadi pemimpin,
dia membaur dengan masyarakatnya seakan akan dia bukan pemimpinya tapi salah seorang
dari mereka. Jadi dia ada pembauran menyerap aspirasi dari masyarakat kemudian berusaha
meyakinkan mereka dan mengikuti bimbingan-bimbingan.
Bukankah di negara kita juga telah menggabungkan unsur agama dalam politik? ada jabatan-
jabatan dan kondisi yang perlu kita meyakinkan masyarakat sekaligus perlu disadari oleh
yang bersumpah bahwa sumpahnya itu harus benar-benar ditepati. Apabila ada politisi yang
bersumpah pada jabatannya dan dia mengingkari sumpahnya maka yang pertama kali dia
hadapi adalah Tuhan.
Di dalam Al-Qur’an sendiri bisa kita lihat bahwa hendaknya sebisa mungkin menghindari
sumpah, karena seseorang yang bersumpah itu disebabkan oleh ketidak percayaan pada diri
sendiri. Pada prinsipnya begitu. Lalu bagaimana setiap pejabat yang dilantik pasti itu ada
sumpah yang diucapkan, kemudian di atas kepalanya kemudian diletakan kitab suci dan ia
mengucapkan sumpah yang berat. Apa sih makna sesungguhnya ketika Al-Qur’an sudah
diletakan diatas kepala seseorang? Dan seseorang itu mengucapkan sumpah atas jabatan yang
akan diembannya. Sumpah yang dibuat itu juga berawal dari kekhawatiran masyarakat,
dilakukan karena untuk meyakinkan masyarakat sekaligus perlu disadari oleh yang
bersumpah bahwa sumpahnya itu harus benar-benar ditepati.
Oleh karena itu, ketika dia bersumpah sebenarnya dia sudah menyatakan kepada Tuhan akan
kesiapannya untuk berani menerima konsekuensi dari Tuhan jika mengingkari sumpahnya
dan disitulah bahayanya bersumpah.

Anda mungkin juga menyukai