Anda di halaman 1dari 9

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

II. LANDASAN TEORI


A. Tinjauan Pustaka

1. Buaya Muara

Bentuk kepala buaya muara umumnya lebar dan menonjol. Rata-rata

buaya muara jantan memiliki panjang 3-4m dan berat 200-300kg. Sedangkan

panjang tubuh buaya muara betina tidak lebih dari 3,5 m dan berat hingga 150kg.

Buaya muara memiliki otot yang sangat kecil dan lemah untuk membuka rahang.

Buaya muara memiliki moncong yang lebar dibandingkan dengan sebagian besar

buaya lainnya. Sisik berbentuk oval dan scutesnya kecil dibandingkan dengan

spesies lain. Buaya muara memiliki garis rahang tidak rata dengan gigi bulat

berukuran tidak beraturan. Buaya muara juga dikenal sebagai perenang yang

fantastis dan mampu menempuh jarak jauh melalui laut sekitar 900 km

(Queensland Government, 2021).

Buaya muara remaja berwarna kuning pucat dengan bintik-bintik hitam

dan garis-garis di tubuh dan ekornya. Pewarnaan pada kulit buaya ini berlangsung

selama beberapa tahun sampai hewan-hewan ini mencapai kedewasaan. Buaya

muara dewasa cenderung memiliki warna hijau yang lebih gelap, meskipun ada

beberapa varian mulai dari yang relatif pucat hingga hampir hitam. Mirip dengan

buaya muara remaja, buaya muara dewasa juga memiliki bintik-bintik gelap di

tubuh mereka dan pita gelap di ekornya, sementara bagian bawahnya berwarna

putih atau kuning. Buaya muara memiliki gigi yang tajam dan seperti pasak

beradaptasi dengan baik untuk mencengkeram mangsa dengan erat, tetapi tidak

7
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

untuk merobek daging. Oleh karena itu, hewan mangsa dengan ukuran kecil

hanya ditelan utuh, sementara hewan mangsa yang lebih besar diseret ke air yang

dalam dan ditenggelamkan atau dihancurkan. Buaya muara kemudian merobek

potongan daging yang bisa diatur melalui sentakan kepala secara tiba-tiba atau

menggunakan teknik yang disebut death roll. Death roll merupakan perilaku

buaya berputar berulang kali untuk memelintir potongan daging. Buaya muara

termasuk pemalas dan menggunakan sedikit energi sepanjang hari, sehingga dapat

bertahan hidup berbulan-bulan tanpa makan. Buaya muara ini lebih suka berburu

di malam hari dan menghabiskan sebagian besar hari tidak aktif di air atau

berjemur di bawah sinar matahari di darat (Yates, 2020).

Klasifikasi buaya muara secara taksonomi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Classis : Reptilia

Ordo : Crocodilia

Familia : Crocodylidae

Genus : Crocodylus

Spesies : Crocodylus porosus (Jeyamogan etc, 2020).

Beberapa perilaku harian utama pada buaya yang diamati dalam penelitian

ini adalah perilaku bergerak, makan, istirahat, dan sosial. Perilaku bergerak pada

buaya muara seperti berenang (berpindah tempat dari satu titik air ke titik badan

8
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

air lainnya), menyelam (terapung di air, namun perlahan tenggelam), ambil nafas

(terapung dipermukaan air dengan bagian moncong buaya hingga dorsal masih

terlihat), berjalan tinggi (berjalan dengan perut tidak diseret di tanah), berderap

(berjalan tinggi dengan cepat), merayap (berjalan dengan perut terseret di tanah),

belly run (merayap dengan cepat). Perilaku makan pada buaya dapat diamati dari

cara berburu yaitu diam di permukaan dan menyelam, selain itu buaya juga

menerkam mangsa dari bagian kepala, bagian badan, dan bagian lainnya, serta

tempat makan buaya bisa di daratan maupun perairan. Perilaku istirahat pada

buaya yaitu seperti berjemur, misalnya berjemur di permukaan air dan mengambil

nafas di atas air, di bawah kanopi (jika terdapat kanopi pada kandang), ataupun

hanya diam di tanah terbuka. Perilaku sosial pada buaya yaitu seperti berkelahi

antara dua individu, vokalisasi (mengeluarkan bunyi suara gertakan), dominansi

(tingkah laku bertujuan untuk menguasai tempat ataupun sarangnya), dan menjaga

anak (buaya muara terus berada di sarang yang terdapat telur sampai telur tersebut

berhasil menetas dan bertahan hidup) (Rinda dkk., 2018).

Buaya memiliki otak paling berkembang dibandingkan reptil lainnya.

Buaya yang hidup di alam bebas dapat mempelajari pola dan kebiasaan mangsa.

Perilaku Buaya betina saat makan yaitu menggunakan strategi menerkam tiba tiba

mangsanya di perairan. Buaya betina menunggu mangsanya di dalam air dan

berkamuflase dengan mata telinga dan nostril tetap di permukaan air lalu

menerkam mangsa ketika lengah untuk kemudian ditarik masuk ke dalam air

hingga tenggelam. Pada buaya jantan juga memiliki strategi yaitu dengan cara
9
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menyelam dan menerkam tiba-tiba, lalu mangsa di lempar ke udara (dengan

bantuan gravitasi) dan perlahan mangsa pun ditelan (Maria dan Rahi, 2019).

2. Konservasi Buaya Muara

Buaya muara termasuk dalam Appendix II CITES berarti secara

internasional perdagangan buaya muara hanya dapat dibenarkan jika berasal dari

hasil penangkaran. Dalam hal ini pemerintah telah menetapkan kawasan

konservasi seperti Taman Nasional, Suaka Margasatwa, dan Cagar Alam. Selain

sebagai tempat berlindung satwa liar, kawasan konservasi tersebut juga

dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian, pendidikan, pariwisata, dan rekreasi

(Kurniati, 2002).

Kasus kematian reptil sering terjadi karena adanya konflik antara manusia

dengan satwa liar. Masalah yang mempengaruhi konservasi buaya adalah konflik

manusia dengan buaya. Penyebab paling umum dari serangan buaya adalah

penurunan habitat alami buaya, penurunan populasi mangsa buaya,dan aktivitas

manusia yang tinggi di kisaran habitat buaya. Selain itu, buaya adalah predator

oportunistik (dapat mengubah pola pakannya berdasarkan ketersediaan pakan di

habitatnya) sehingga manusia tidak dikecualikan akan menjadi salah satu mangsa

alternatif bagi buaya ketika mangsa alami mereka berkurang atau bahkan habis

dalam habitatnya (Ramdani dkk., 2021).

Konflik dapat terjadi jika ada kontak langsung antara manusia dan buaya

yang membawa dampak negatif pada buaya atau manusia dan bahkan keduanya.

Meningkatnya aktivitas manusia dan pemukiman yang lebih dekat dengan habitat
10
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

buaya adalah salah satu penyebab kontak langsung antara manusia dan buaya.

Selain itu alasan yang menyebabkan buaya mendekat ke pemukiman masyarakat

adalah kebiasaan orang yang sering membuang limbah organik rumah tangga,

limbah perikanan, dan ternak limbah ke sungai. Hasil klasifikasi potensi konflik

antara manusia dengan buaya menunjukkan bahwa potensi tinggi diperoleh di

pemukiman dengan kegiatan kurang dari satu kilometer jarak dari sungai dan

pantai. Semakin jauh jarak dari sungai dan pantai, potensi konflik adalah menjadi

moderat dan berangsur-angsur menurun (Ramdani dkk., 2021).

Adanya konflik buaya dengan manusia tergolong penurunan kesejahteraan

hidup buaya. Hal tersebut karena dapat mengancam kehidupan buaya yaitu

kelaparan dan tidak nyaman di lingkungannya sendiri. Untuk menghindari

masalah tersebut maka diperlukan penangkaran buaya untuk meningkatkan

kesejahteraan hidup buaya. Penangkaran adalah suatu kegiatan yang bertujuan

untuk mengembangbiakkan jenis satwa liar dan tumbuhan alam yang untuk

memperbanyak populasi satwa atau tumbuhan tersebut dengan cara

mempertahankan jenisnya, sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam dapat

dipertahankan (Ramdani dkk., 2021).

Menurut P.9/IV-SET/2011 Bagian Kedua Prinsip Kesejahteraan Satwa

Pasal 6 ayat 3, standar minimum kesejahteraan satwa antara lain meliputi:

(1) bebas dari rasa lapar dan haus;

(2) bebas dari ketidaknyamanan lingkungan;

(3) bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit;


11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(4) bebas dari rasa takut dan tertekan;

(5) bebas untuk berperilaku alami.

Kelima standar tersebut merupakan kriteria yang dijadikan indikator terhadap

kesejahteraan hidup satwa di suatu lembaga konservasi (PHKA, 2011).

Suatu tempat untuk habitat satwa di tempat konservasi baik kebun binatang

maupun kebun binatang harus memiliki standar kualifikasi yang didasarkan atas

pertimbangan: Batas jumlah populasi jenis satwa hasil penangkaran,

profesionalisme kegiatan penangkaran, tingkat kelangkaan jenis satwa yang

ditangkarkan. Kandang untuk penangkaran sebagai habitat tiruan juga harus

memenuhi prinsip utama kendang meliputi keamanan, kenyamanan, sehat, sesuai

perilaku satwa, konstruksi kandang. Ada lima macam kandang untuk penangkaran

buaya dengan fungsi kandang yang berbeda-beda antara lain sebagai berikut :

a. Kandang Showroom

Kandang yang berfungsi untuk tempat memamerkan jenis buaya yang

terdapat pada penangkaran.

b. Kandang Anakan Buaya (hatchling pen)

Kandang yang berfungsi untuk tempat anakan buaya yang baru menetas

sampai berumur 6 bulan.

c. Kandang Buaya Muda (juvenile pen)

Kandang yang berfungsi untuk tempat pemeliharaan buaya setelah

dipindahkan dari kandang anakan berumur 6 bulan sampai 1 tahun.

d. Kandang Remaja atau Pembesaran (rearing pen)


12
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kandang yang berfungsi untuk tempat membesarkan buaya muda yang

berumur diatas satu tahun sampai mencapai ukuran siap potong yaitu umur dua

sampai empat tahun yang panjang tubuhnya kurang lebih 1,80 - 2,20 m dengan

lebar dada 45 -50 cm. Selain itu kandang ini juga berfungsi untuk membesarkan

calon indukan buaya.

e. Kandang induk atau pembiakan (breeding pen)

Kandang yang berfungsi untuk buaya induk yang berumur 8 tahun.

Dikandang ini indukan buaya akan membuat sarang, kawin dan bertelur

(Simorangkir dkk, 2019).

3. Faktor Keberhasilan Konservasi

Dalam suatu konservasi terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi

keberhasilan konservasi buaya muara sehingga kesejahteraan satwa dapat terjaga

meliputi kandang, pakan, dan cuaca. Faktor yang pertama adalah kandang.

Kandang merupakan hal yang penting dalam melakukan konservasi ex-situ karena

semakin banyak kelahiran atau banyak individu buaya maka seharusnya semakin

banyak pula kandang. Buaya dengan umur dan ukuran berbeda tidak dapat

ditempatkan dalam satu kandang hal tersebut untuk menghindari konflik fisik

berupa perkelahian yang mengakibatkan kematian. Faktor yang kedua adalah

pakan, pemberian pakan buaya muara seharusnya tidak terdapat kendala dalam hal

jenis, bentuk ataupun jadwal pemberian pakan. Jika terjadi suatu sistem

pembentukan koloni kecil buaya muara, maka pemimpin harus makan terlebih

dahulu, yang lain tidak boleh makan. Hal tersebut juga memicu pertengkaran yang
13
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terjadi akibat memperebutkan makanan sehingga mengakibatkan kematian.

Terkadang ada kasus di tempat konservasi yang kurang memperhatikan

pemberian pakan, maka buaya muara yang tidak mendapat makan dan akhirnya

mati. Faktor yang ketiga adalah cuaca. Cuaca hanya terjadi dalam waktu singkat

yang disebabkan oleh adanya perbedaan suhu dan kelembaban. Cuaca hujan

sangat mempengaruhi penetasan buaya muara. Jika penetasan telur gagal karena

telur membusuk yang diakibatkan tanah basah oleh air hujan disertai air kolam

meluap sehingga mengakibatkan sarang buaya terendam air dalam kurun waktu

yang cukup lama. Suhu yang diperlukan untuk penetasan telur buaya muara

berkisar antara 30ºC sampai 34ºC dengan kelembaban antara 40% sampai 68%,

serta pH 7 (Setyowati dkk., 2019).

B. Kerangka Berpikir

Pada tahun ke tahun terjadi penurunan habitat buaya muara yang

disebabkan oleh pembalakan liar, dari kejadian tersebut maka diperlukan adanya

konservasi buaya muara, salah satunya konservasi di TST Jurug, Surakarta.

Konservasi tersebut selain sebagai bentuk penyelamatan habitat buaya muara,

juga diperlukan sebagai sarana edukasi, penelitian, dan rekreasi. Informasi

mengenai konservasi di TST Jurug masih sangat kurang, maka diperlukan studi

perilaku harian buaya muara di TST Jurug.

14
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Penurunan habitat buaya


muara.

Konservasi buaya muara di


Taman Satwataru Jurug.

Kurangnya informasi
mengenai konservasi buaya
muara di Taman Satwataru

Studi perilaku harian buaya


muara dan faktor apa saja
yang mempengaruhi perilaku
harian buaya muara.
Gambar 1. Kerangka Berpikir

15

Anda mungkin juga menyukai