Anda di halaman 1dari 10

TTM- 13: ANGGARAN LABA

Analisis biaya-volume-laba (dan impas) yang sangat membantu para manajer untuk dapat
menentukan tingkat penjualan dan komposisi penjualan yang diperlukan untuk mencapai laba yang
ditargetkan. Pada bab ini akan dibahas satu teknik analisis lain yang disebut analisis laba kotor
(gross profit analysis) yang dikaitkan dengan Anggaran Laba
Apabila kinerja seorang manajer pusat laba yang dinyatakan dalam laba terkendali
(controllable income) tidak mampu mencapai kinerja yang diharapkan atau bila kinerja seorang
manajer pusat investasi yang dinyatakan dalam return on investment atau residual income tidak
mampu mencapai kinerja yang diharapkan, maka diperlukan suatu analisis untuk dapat
menentukan sebab-sebab terjadinya penyimpangan yang tidak menguntungkan tersebut. Satu
teknik yang sangat membantu untuk dapat menjelaskan perubahan dalam penghasilan dan biaya
disebut analisis laba kotor (gross profit analysis).
Pembahasan analisis laba kotor pada bab ini akan difokuskan pada pembahasan yang
mencakup pengertian; analisis laba kotor atas dasar standar atau anggaran; analisis laba kotor atas
dasar data periode sebelumnya; dan manfaat analisis laba kotor bagi manajemen. Pembahasan
mencakup baik untuk perusahaan yang hanya menjual satu jenis produk (single product) maupun
yang menjual lebih dari satu jenis produk (multiple product).

PENGERTIAN
Laba kotor (gross profit) adalah selisih antara harga pokok penjualan dan penjualan. Laba
kotor atau gross profit ini sering juga disebut dengan istilah gross margin. Istilah gross margin ini
harus dibedakan dari istilah contribution margin, karena contribution margin menggambarkan
kelebihan penjualan di atas semua biaya variabel, baik biaya produksi, pemasaran maupun
administrasi umum.
Analisis laba kotor merupakan suatu proses yang kontinue (berkesinambungan) & intensif.
Analisis laba kotor dapat dilakukan dengan cara yang sama seperti yang dilakukan pada analisis
biaya standar, meskipun biaya standar atau anggaran tidak diperlukan (bukan menjadi keharusan).
Apabila biaya per unit produk semuanya variabel, seperti pada pedagang besar dan
pengecer (wholesalers and retailers), maka akan sangat berguna untuk membandingkan laba kotor
(gross profit) yang sesungguhnya dengan yang direncanakan, dan menganalisis sumber-sumber
perbedaan. Sebaliknya bagi para produsen, karena karakteristik alokasi biaya overhead pabrik
yang arbitrer, maka akan lebih berguna untuk menganalisis perbedaan antara contribution margin
yang sesungguhnya dan yang direncanakan. Perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan oleh satu
atau kombinasi dari perubahan atau perbedaan berikut ini:
1. Perubahan atau perbedaan pada harga jual per unit produk, yang disebut dengan selisih harga
jual (sales price variance)
2. Perubahan atau perbedaan pada volume produk yang dijual, yaitu selisih volume penjualan
(sales volume variance) ditambah selisih volume harga pokok (cost volume variance) yang
mencakup:
a. Perubahan atau perbedaan pada jumlah unit fisik yang dijual, yang disebut selisih volume
penjualan final (final sales volume variance) dan
b. Perubahan atau perbedaan pada jenis produk yang dijual, atau sering disebut komposisi
produk (productmix) atau komposisi penjualan (sales mix), yang disebut selisih komposisi
penjualan (sales mix variance)
3. Perubahan atau perbedaan pada elemen-elemen biaya, seperti biaya bahan, biaya tenaga kerja
dan biaya overhead, yang disebut selisih harga pokok (costprice variance)
Di dalam menganalisis perubahan laba kotor, pembandingan dapat dilakukan antara
anggaran dan realisasi untuk periode berjalan; atau antara realisasi periode berjalan dan periode
sebelumnya. Apabila anggaran dapat disusun dengan cermat, umumnya lebih disukai untuk
membandingkan antara realisasi dan anggaran. Hal ini disebabkan karena cara ini dapat digunakan
untuk mengukur kinerja dengan cara membandingkan antara apa yang sesungguhnya terjadi
dengan apa yang semestinya terjadi.

ANALISIS LABA KOTOR ATAS DASAR ANGGARAN DAN BIAYA STANDAR


Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam menganalisis perubahan laba kotor,
pembandingan dapat dilakukan antara laba kotor yang dianggarkan dan realisasi laba kotor untuk
periode berjalan. Analisis atas dasar anggaran ini dapat dilakukan baik untuk perusahaan yang
menjual satu jenis produk (single product) maupun yang menjual lebih dari satu jenis produk
(multiple product).

Analisis Anggaran Laba Kotor untuk Satu Jenis Produk (Single-Product)


Untuk analisis laba kotor ini digunakan contoh kasus PT Magista Putra yang menjual satu
jenis produk. Berikut ini disajikan data perubahan (selisih) laba kotor dan data biaya per unit PT
Magista Putra untuk tahun 2001, baik yang dianggarkan maupun yang direalisir:

Dari data ini dapat dilihat bahwa dibanding anggaran, penjualan realisasi 2,4% lebih tinggi
(naik). Sedangkan harga pokok penjualannya 2,8% lebih tinggi dibanding anggarannya (naik).
Kenaikan harga pokok penjualan lebih besar dibanding kenaikan penjualannya. Oleh karena itu
gross profit ratio mengalami penurunan dari 20% menjadi 19,70%. Penurunan laba kotor sebesar
Rp1.200,00 ini menunjukkan penurunan 0,8% dari yang dianggarkan. Jumlah laba kotor harus
cukup tinggi untuk dapat menutup biaya pemasaran, biaya administrasi umum dan biaya lainnya,
termasuk pajak. Laba kotor juga harus cukup tinggi untuk dapat menutup jumlah laba yang
terkendali (untuk pusat laba) atau jumlah laba yang terkendali pada aktiva terkendali (untuk pusat
investasi). Para manajer harus memahami betul setiap perubahan yang terjadi pada laba kotor dan
kemungkinan sebab-sebab terjadinya perubahan tersebut.
Dua angka ratio penting yang harus diperhatikan dalam hubungannya dengan perubahan
laba kotor adalah cost of sales ratio dan gross profit ratio. Cost of sales ratio adalah perbandingan
antara harga pokok penjualan dan penjualan, sedangkan gross profit ratio merupakan ratio antara
laba kotor dan penjualan (jumlah kedua ratio ini harus sama dengan 100%). Pada contoh ini tampak
bahwa situasi "buruk" potensial sedang berkembang di perusahaan tersebut, yang dapat dilihat
pada terjadinya penurunan gross profit ratio di satu sisi (dari 20% menjadi 19,70%) dan kenaikan
cost of sales ratio pada sisi lain (dari 80% menjadi 80,30%).
Setiap perubahan pada cost of sales ratio dan gross profit ratio tersebut harus dianalisis
lebih jauh ke dalam kemungkinan selisih-selisih berikut ini:
1. Selisih volume (volume variance). apabila volume penjualan mengalami perubahan, maka total
penjualan dan total harga pokok penjualan juga berubah, sehingga laba kotor berubah.
2. Selisih harga jual (sales price variance): apabila harga jual per unit mengalami perubahan,
maka total penjualan juga berubah, sehingga laba kotor berubah.
3. Selisih harga pokok (costprice variance). apabila harga pokok penjualan per unit mengalami
perubahan, maka total harga pokok penjualan juga berubah, sehingga laba kotor berubah.
Selisih volume (volume variance), selisih harga jual (sales price variance) dan selisih harga
pokok (cost variance) tersebut dihitung dengan cara sebagai berikut:

Selisih volume sebesar Rp6.000,00 tidak menguntungkan ini (karena volume yang
sesungguhnya dijual 2.000 unit lebih rendah dari yang dianggarkan) menunjukkan kegagalan
manajer departemen produksi untuk menghasilkan tingkat aktivitas produktif yang semestinya
dihasilkan, atau kegagalan manajer pemasaran untuk menghasilkan tingkat aktivitas penjualan
yang semestinya dihasilkan.

Selisih harga jual sebesar Rp48.000,00 menguntungkan ini menunjukkan keberhasilan


manajer pemasaran dalam meningkatkan total penjualan dengan cara menaikkan harga jual per
unit. Ini juga meyakinkan bahwa selisih volume penjualan Rp6.000,00 tidak menguntungkan
(karena volume yang sesungguhnya dijual 2.000 unit lebih rendah dari yang dianggarkan)
disebabkan adanya kenaikan harga jual per unit.
Selisih harga jual Rp48.000,00 menguntungkan ini cukup besar untuk dapat
mengkompensasi selisih volume penjualan Rp6.000,00 tidak menguntungkan. Dengan demikian,
untuk saat ini strategi yang digunakan oleh manajer pemasaran dengan menaikkan harga jual per
unit cukup berhasil, khususnya dalam usahanya meningkatkan total penjualan.

Selisih harga pokok sebesar Rp40.800,00 tidak menguntungkan ini menunjukkan


kegagalan manajer departemen produksi dalam menjaga pengendalian yang ketat atas biaya bahan
baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik.
Dengan demikian, total perubahan (selisih) laba kotor sebesar Rp1.200,00 menguntungkan
dapat diringkas sebagai berikut:

Analisis Laba Kotor untuk Banyak Produk (Multiple-product)


Pada contoh sebelumnya telah ditunjukkan analisis laba kotor untuk perusahaan yang
menjual satu jenis produk. Banyak perusahaan manufaktur yang membuat lebih dari satu jenis
produk, yang penjualan, harga pokok dan laba kotornya berbeda diantara produk tersebut. Analisis
laba kotor dapat dilakukan dengan cara yang sama pada contoh sebelumnya, dengan pengecualian
pada selisih volume.
Perbedaan mendasar antara analisis laba kotor pada single product dan multiple product
terletak pada selisih volume. Pada analisis untuk multiple product, selisih volume dipecah ke
dalam selisih volume final ("pure" volume variance) dan selisih komposisi ("mix" variance) jika
produk-produk tersebut adalah substitusi. Pada selisih volume final, efek perubahan volume fisik
masing-masing produk yang dijual (saling independen) dihitung. Sedangkan pada selisih
komposisi, efek perubahan volume fisik untuk produk yang lebih menguntungkan dan atau kurang
menguntungkan dihitung. Selisih volume final dan selisih komposisi tidak akan mempunyai arti
bila produk-produk tersebut bukan substitusi (tidak saling bersubstitusi), meskipun secara
matematis selisih-selisih tersebut dapat dihitung.
Untuk menjelaskan analisis laba kotor ini digunakan contoh kasus analisis perubahan laba
kotor PT Citra Bumi Damai yang memproduksi dan menjual dua macam produk, yaitu produk P
dan Q.
Anggaran laba kotor PT Citra Bumi Damai pada halaman berikut didasarkan pada
anggaran total pasar industri sebesar Rp63.000.000,00. Pada kondisi ini pangsa pasar yang
dianggarkan adalah 20% (Rp12.600.000,00/Rp63.000.000,00). Sedangkan realisasi total pasar
industri adalah Rp85.000.000,00. Pangsa pasar realisasi pada periode tersebut adalah 15%
(Rp12.750.000,00/Rp85.000.000,00).
Apabila perusahaan mampu mencapai pangsa pasar seperti yang dianggarkan, maka
dengan total pasar industri realisasi (Rp85.000.000,00) yang lebih besar dibanding pasar industri
yang dianggarkan (Rp63.000.000,00), semestinya laba kotor realisasi lebih besar dibanding laba
kotor yang dianggarkan. Kenyataannya, laba kotor yang direalisir sama dengan laba kotor yang
dianggarkan, seperti tampak pada tabel berikut:

Ralat Rp.450,00

Meskipun laba kotor yang direalisir sama dengan laba kotor yang dianggarkan, akan tetapi
analisis tetap harus dilakukan (mengingat pangsa pasar perusahaan ternyata tidak mampu
mencapai yang dianggarkan). Analisis terhadap laba kotor yang dianggarkan dan yang direalisir
secara rinci dilakukan untuk selisih-selisih sebagai berikut:
1. Selisih harga jual (sales price variance)
2. Selisih volume penjualan (sales volume variance) ditambah selisih volume harga pokok (cost
volume variance) yang dipecah ke dalam selisih:
a. Selisih volume penjualan final (final sales volume variance) dan
b. Selisih komposisi penjualan (sales mix variance)
3. Selisih harga-harga pokok (costprice variance)
Analisa:

Selisih harga jual ini dihitung dengan cara mengalikan volume realisasi dengan perbedaan
harga jual per unit masing-masing produk (perbedaan harga jual per unit adalah selisih antara harga
jual per unit anggaran dan realisasi). Dari perhitungan ini tampak bahwa selisih harga jual untuk
produk Q menguntungkan (laba), sementara untuk produk P tidak menguntungkan (rugi). Secara
keseluruhan, selisih harga jual bersifat menguntungkan.

Selisih harga pokok ini dihitung dengan cara mengalikan volume realisasi dengan
perbedaan harga pokok per unit masing-masing produk (perbedaan harga pokok per unit adalah
selisih antara harga pokok per unit anggaran dan realisasi). Dari perhitungan ini tampak bahwa
selisih harga pokok untuk produk P tidak menguntungkan (rugi), sementara untuk produk Q tidak
terjadi selisih (realisasi mampu mencapai anggaran). Secara keseluruhan, selisih harga pokok
bersifat tidak menguntungkan.

Selisih volume ini, di mana produk bersifat non-substitusi, terjadi karena volume realisasi
tidak sama dengan volume yang dianggarkan. Dengan demikian, selisih volume dihitung dengan
cara mengalikan perbedaan volume tersebut dengan laba kotor per unit anggaran masing-masing
produk. Dari perhitungan ini tampak bahwa selisih volume untuk produk P menguntungkan (laba),
sementara untuk produk Q selisihnya tidak menguntungkan. Secara keseluruhan, selisih volume
bersifat tidak menguntungkan.
Apabila produk P dan Q tersebut merupakan produk substitusi, maka selisih volume final
dapat dihitung dengan cara mengalikan antara laba kotor rata-rata anggaran dan perbedaan antara
volume dianggarkan dan volume yang direalisir. Laba kotor rata-rata anggaran dihitung dengan
cara sebagai berikut:

Sedangkan selisih volume final ("pure" final volume variance) dihitung dengan cara
sebagai berikut:

Pada satu sisi, selisih volume final untuk produk P menguntungkan, sementara pada sisi
lain selisih volume final produk Q tidak menguntungkan. Oleh karena selisih masing-masing
produk besarnya sama, tetapi berlawanan sifatnya, maka secara keseluruhan selisih volume final
ini sama dengan nol.
Selain dianalisis perbedaan total volume dari kedua jenis produk yang dijual, analisis juga
harus diarahkan untuk dapat melihat perubahan komposisi masing-masing produk tersebut. Selisih
komposisi dihitung dengan cara mengalikan antara selisih laba kotor anggaran (laba kotor rata-
rata anggaran dikurangi laba kotor per unit masing-masing produk) dan perbedaan antara volume
dianggarkan dan volume yang direalisir. Selisih komposisi produk dihitung dengan cara sebagai
berikut:

Produk yang lebih menguntungkan dan yang kurang menguntungkan dapat


ditentukan dengan cara membandin kan antara laba kotor per unit dianggarkan untuk masing-
masing produk dan laba kotor rata-rata anggaran. Apabila laba kotor per unit lebih besar dibanding
laba kotor rata-rata, maka produk tersebut menguntungkan (contoh produk Q). Sebaliknya bila
laba kotor per unit dibanding laba kotor rata-rata, maka produk tersebut kurang menguntungkan
(contoh produk P).
Selisih harga jual, harga pokok, volume penjualan, volume penjualan final dan selisih
komposisi tersebut dapat diikhtisarkan sebagai berikut (dengan asumsi produk P dan Q adalah
produk substitusi):

Selisih volume final sebesar Rp 0 tersebut lebih jauh dapat dipecah ke dalam selisih pasar
industri dan selisih bagian pasar (pangsa pasar), dengan cara perhitungan sebagai berikut:

Selisih pasar industri menguntungkan, yang berarti bahwa realisasi total penjualan industri
lebih besar dibanding total penjualan industri yang dianggarkan. Hal ini memberikan suatu indikasi
bahwa industri di mana perusahaan beroperasi dalam kondisi yang baik. Di lain pihak, selisih
bagian pasar bersifat tidak menguntungkan (dengan jumlah yang sama), yang berarti perusahaan
tidak mampu mencapai pangsa pasar yang dianggarkan. Dengan demikian, pada saat industri
dalam kondisi baik, perusahaan justru tidak mampu mempertahankan pangsa pasarnya.
Secara umum, meskipun laba kotor yang berhasil direalisir oleh perusahaan tidak
menyimpang dari apa yang telah dianggarkan, akan tetapi analisis tetap harus dilakukan, karena
tidak menyimpangnya realisasi dari anggaran bukan berarti tidak ada masalah. Ini terlihat dari
lebih besarnya pasar industri realisasi dibanding pasar industri anggaran pada satu sisi, dan lebih
rendahnya bagian pasar realisasi dibanding bagian pasar anggaran pada sisi lain.
Ketidakmampuan perusahaan untuk mencapai pangsa pasar yang dianggarkan bisa
disebabkan karena kesalahan strategi yang telah dipilih oleh manajer departemen pemasaran. Dari
selisih harga jual yang menguntungkan, dapat diduga bahwa untuk meningkatkan total penjualan,
manajer pemasaran telah menerapkan kebijakan untuk menaikkan harga jual. Sayangnya, kenaikan
harga jual ini justru berakibat tidak menguntungkan pada volume penjualan (selisih volume sama
dengan nol). Akibat selanjutnya adalah pada harga pokok per unit produk yang lebih tinggi (harga
pokok realisasi lebih besar dibanding harga pokok anggaran). Kesalahan lainnya adalah pada
penentuan komposisi produk yang dijual.

MANFAAT BAGI MANAJEMEN


Ringkasan-ringkasan dan analisis sebelumnya telah memberikan cukup motivasi bagi
manajemen untuk memulai suatu pemeriksaan, yang akan membawa kepada berbagai
kemungkinan tindakan koreksi, khususnya analisis yang menunjukkan perbedaan tidak
menguntungkan (rugi) antara anggaran dan realisasi. Sebagai contoh, bila terjadi penurunan dari
penjualan yang dianggarkan dari produk yang memiliki laba tinggi, maka perlu disarankan untuk
melakukan peningkatan biaya iklan pada periode berikutnya, agar dapat menutup kembali
penurunan penjualan tersebut.
Analisis laba kotor yang didasarkan pada anggaran atau biaya standar dapat memberikan
gambaran titik-titik kelemahan dari kinerja periode tersebut. Dengan demikian, manajemen akan
mampu untuk menguraikan tindakan-tindakan perbaikan yang diperlukan untuk mengoreksi
situasi.
Laba kotor menjadi tanggung jawab bersama dari fungsi pemasaran dan fungsi produksi.
Analisis laba kotor membawa bersama kedua fungsi tersebut dan meyakinkan perlunya dilakukan
studi lebih lanjut oleh keduanya. Fungsi pemasaran harus dapat menjelaskan perubahan-perubahan
yang terjadi pada harga jual per unit, pergeseran komposisi penjualan dan penurunan total unit
yang dijual, sementara fungsi produksi harus mempertanggungjawabkan terjadinya kenaikan
harga pokok.
Agar lebih bernilai, selisih harga pokok harus dianalisis lebih lanjut untuk dapat
menentukan selisih-selisih yang terjadi pada biaya bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya
overhead pabrik.

RINGKASAN
Pada suatu periode, seorang manajer pusat laba atau manajer pusat investasi mungkin tidak
mampu mencapai kinerja yang telah ditetapkan (dalam anggaran). Dalam kondisi seperti ini
diperlukan suatu analisis untuk dapat menentukan sebab-sebab terjadinya penyimpangan yang
tidak menguntungkan tersebut. Satu teknik yang sangat membantu untuk dapat menjelaskan sebab-
sebab terjadinya penyimpangan tersebut adalah analisis laba kotor (gross profit analysis).
Bab ini telah membahas teknik analisis laba kotor yang mencakup pembahasan tentang
pengertian laba kotor dan analisis laba kotor; prosedur analisis laba kotor baik atas dasar standar
atau anggaran maupun data periode sebelumnya. Pembahasan analisis laba kotor ini juga
difokuskan baik pada perusahaan yang menjual satu produk (single product) maupun lebih dari
satu produk (multiple product). Manfaat analisis laba kotor bagi manajemen juga dibahas pada bab
ini.

Anda mungkin juga menyukai