Sedangkan manfaat atau kegunaan dari Break Even Point menurut Bustami dan Nurlela
(2006:208) adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui jumlah penjualan minimum yang harus dipertahankan perusahaan
agar tidak mengalami kerugian.
2. Mengetahui jumlah penjualan yang harus dicapai untuk memperoleh tingkat
keuntungan tertentu.
3. Mengetahui seberapa jauh berkurangnya penjualan agar perusahaan tidak menderita
kerugian.
4. Mengetahui bagaimana efek perubahan harga jual, biaya dan volume penjualan.
5. Menentukan bauran produk yang diperlukan untuk mencapai jumlah laba yang
ditargetkan.
Sedangkan menurut Mulyadi (2000:260-261), asumsi yang mendasari break even point
adalah:
1. Variabilitas biaya dianggap akan mendekati pola perilaku yang diramalkan. Biaya tetap
akan selalu konstan dalam kisar volume yang dipakai dalam perhitungan break even
point, sedangkan biaya variabel berubah sebanding dengan perubahan volume
penjualan.
2. Harga jual produk dianggap tidak berubah-ubah pada berbagai tingkat kegiatan. Jika
dalam usaha menaikkan volume penjualan dilakukan penurunan harga jual atau dengan
memberikan potongan harga, maka hal ini mempengaruhi hubungan biaya-volume-
laba.
3. Kapasitas produksi pabrik dianggap secara relatif konstan. Penambahan fasilitas
produksi akan berakibat pada penambahan biaya tetap dan akan mempengaruhi
hubungan biaya-volume-laba.
4. Harga faktor-faktor produksi dianggap tidak berubah. Jika harga bahan baku dan tarif
upah menyimpang terlalu jauh dibanding data yang dipakai sebagai dasar perhitungan
break even point, maka hal ini akan mempengaruhi hubungan biaya-volume-laba.
5. Efisiensi produk dianggap tidak berubah. Apabila terjadi penghematan biaya karena
adanya penggunaan bahan pengganti yang harganya lebih rendah atau perubahan
metode produksi, maka hal ini akan mempengaruhi hubungan biaya-volume-laba.
6. Perubahan jumlah sediaan awal dan akhir dianggap tidak signifikan.
7. Komposisi produk yang dijual dianggap tidak berubah. Jika perusahaan menjual lebih
dari satu macam produk, maka meskipun volume penjualan sama tetapi apabila
komposisinya berbeda, maka hal ini akan mempunyai pengaruh terhadap pendapatan
penjualan.
Contoh:
Penjualan (1.000 x Rp 3.000) Rp3.000.000
Biaya variabel (1.000 x Rp1800) (1.800.000)
Marjin kontribusi 1.200.000
Biaya tetap (720.000)
Laba operasi 480.000
Jika X adalah unit yang dijual pada titik impas, maka persamaan laba operasinya
adalah: 0 = 3.000X - 1.800 X - 660.000
1.200X = 720.000
X = 600
Jadi titik impas tercapai pada penjualan sebanyak 600 unit produk. Hal ini juga
dapat dibuktikan dari perhitungan berikut ini:
Penjualan (600 x Rp 3.000) 1.800.000
Biaya variabel (600 x Rp1.800) (1.080.000)
Marjin kontribusi 720.000
Biaya tetap (720.000)
Laba operasi 0
Dengan asumsi bahwa biaya tetap tidak berubah, rasio marjin kontribusi dapat
digunakan untuk menentukan dampak perubahan pendapatan penjualan terhadap laba,
yaitu dengan mengalikan rasio marjin kontribusi dengan perubahan penjualan. Rasio
marjin kontribusi merupakan bagian penjualan yang tersedia untuk menutupi biaya
tetap dan menghasilkan bagian laba. Contoh di atas menunjukkan rasio marjin
kontribusi 40%, artinya dalam setiap Rp1 penjualan tersedia Rp0,40 yang dapat
digunakan untuk menutup biaya tetap dan menghasilkan laba. Titik impas akan
dicapai pada penjualan Rp1.800.000,00.
Titik impas = Rp720.000/0,40 = Rp1.800.000
Misalnya margin of safety ditemukan 30%, artinya realisasi penjualan dipertahankan jangan
sampai turun lebih dari 30%. Apabila realisasi penjualan turun lebih dari 30%, maka perusahaan
akan menderita kerugian, sedang bila penurunan sampai 30% perusahaan dalam kondisi Break
even yang digunakan untuk mencari tingkat keamanan atau MoS adalah sebagai berikut.
1.penjualan MoS yang direncanakan
MoS = Penjualan per budget x 100
Penjualan per titik impas
2. Penjualan MoS
MoS = penjualan per budget – penjualan per titik impas x 100
penjualan per budget
Mencari Margin of safety :
sales budget/rencana penjualan = 50 juta
penjualan per BEP = 37,5 juta
= 133,33 %
Hal ini berarti bahwa tingkat penjualan perusahaan tersebut tidak boleh turun lebih dari 33,33 %
dari penjualan break even.
33,33 % X Rp 37 500 000= Rp 12.500.000,-
Realisasi penjualan tidak boleh turun lebih dari Rp. 12.500.000,- dari penjualan yang
direncanakan.
Contoh :
Suatu perusahaan menghasilkan dua macam produk yaitu Produk A dan B. dimana data
keuangannya sebagai berikut :
Pertanyaan :
a. BEP Total (Produk A dan B) ?
b. BEP (unit dan Rp) produk A dan BEP (unit dan Rp) produk B ?
Jawab :
Jadi Produk mix dalam satuan Unit (A: B) sesudah BEP = 12.000 Unit : 4.800 Unit = 2,5 : 1.
Sedangkan Produk mix dalam satuan Unit (A: B) sebelum BEP = 2,5 : 1.
Kesimpulan : Produk mix (Unit) sebelum dan sesudah BEP tetap konstan