Anda di halaman 1dari 51

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Diabetes Mellitus

1. Definisi

American Diabetes Association (ADA) tahun 2018, diabetes melitus adalah

suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan adanya hiperglikemia yang terjadi

karena pankreas tidak mampu mensekresi insulin, gangguan kerja insulin, ataupun

keduanya. Dapat terjadi kerusakan jangka panjang dan kegagalan pada berbagai

organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung, serta pembuluh darah apabila dalam

keadaaan hiperglikemia kronis (ADA, 2018).

World Health Organization tahun 2018, Diabetes Mellitus adalah penyakit

kronik yang terjadi baik saat pankreas tidak menghasilkan cukup insulin atau bila

tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan. Insulin

adalah hormon penting yang diproduksi di kelenjar pankreas, yang mengatur

transport gula darah dari aliran darah ke sel tubuh dengan mengubah glukosa

menjadi energi. Kurangnya insulin atau ketidakmampuan sel untuk merespon

insulin menyebabkan kadar glukosa darah tinggi atau hiperglikemia, yang

merupakan ciri khas diabetes. Hiperglikemia, jika dibiarkan tidak terkendali maka

bisa menyebabkan kerusakan pada sistem tubuh, yang mengarah pada komplikasi

kesehatan yang mengancam jiwa seperti penyakit kardiovaskular, neuropati,

nefropati, dan penyakit mata.

13
Diabetes melitus merupakan defisiensi insulin absolut atau relatif dan

gangguan fungsi insulin. Diabetes melitus diklasifikasikan atas DM tipe 1, DM

tipe 2, DM tipe lain, dan DM pada kehamilan. Diabetes melitus tipe 2 (DMT2)

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia, terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-

duanya (Decroli, 2019).

Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai

oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Insulin yaitu suatu

hormone yang diproduksi pankreas, yang berfungsi untuk mengendalikan kadar

glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya. Pada

diabetes mellitus kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin menurun atau

pancreas tidak dapat menghasilkan insulin. Keadaan ini menimbulkan

hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolic akut seperti

diabetes ketoasidosis, sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK),

dan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan komplikasi mikrovaskuler dan

makrovaskuler (Brunner & Suddarth, 2017).

Donelly 2015, mengatakan bahwa Diabetes Melitus adalah kondisi kronis

yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa darah disertai munculnya

gejala utama yang khas yaitu urine yang berasa manis dan jumlah yang besar.

Diabetes melitus merupakan penyakit yang heterogonik, baik karena

manifestasinya maupun karena jenisnya. Diabetes melitus adalah sindrom


14
disebabkan oleh terganggunya insulin di dalam tubuh sehingga menyebabkan

hiperglikemia disertai abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.

2. Klasifikasi

Menurut International Diabetes Federation (IDF) tahun 2018 Diabetes

Melitus diklasifikasikan menjadi 4 yaitu:

a. Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes tipe 1 disebabkan oleh reaksi autoimun dimana sistem kekebalan

tubuh menyerang sel beta penghasil insulin di pankreas. Akibatnya, tubuh tidak

menghasilkan insulin atau kekurangan insulin yang dibutuhkan. Penyebab dari

proses destruktif ini tidak sepenuhnya diketahui tetapi kombinasi kerentanan

genetik dan lingkungan seperti infeksi virus, toksin atau beberapa faktor makanan

bisa menjadi faktor pemicunya. Penyakit ini bisa berkembang pada semua usia

tetapi diabetes tipe-1 paling sering terjadi pada anak-anak dan remaja.

Orang dengan diabetes tipe-1 memerlukan suntikan insulin setiap hari agar

bisa mempertahankan kadar glukosa dalam kisaran yang normal. Tanpa insulin

pasien tidak akan bisa bertahan hidup. Orang dengan kebutuhan pengobatan

insulin sehari-hari, pemantauan glukosa darah secara teratur dan pemeliharaan diet

sehat dan gaya hidup sehat bisa menunda atau menghindari terjadinya komplikasi

diabetes.

b. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes tipe-2 adalah diabetes yang paling umum ditemukan, terhitung

sekitar 90% dari semua kasus diabetes. Pada diabetes tipe-2, hiperglikemia adalah

15
hasil dari produksi insulin yang tidak adekuat dan ketidakmampuan tubuh untuk

merespon insulin, yang didefinisikan sebagai resistensi insulin. Selama keadaan

resistensi insulin, insulin tidak efektif yang awalnya meminta untuk meningkatkan

produksi insulin untuk mengurangi peningkatan glukosa darah tetapi semakin lama

keadaan relative tidak adekuat pada perkembangan produksi insulin. Diabetes tipe-

2 paling sering terjadi pada orang dewasa, namun remaja dan anak-anak bisa juga

mengalaminya karena meningkatnya tingkat obesitas, ketidakefektifan aktivitas

fisik dan pola makan yang buruk.

c. Gestational Diabetes Mellitus (GDM)

Hiperglikemia (peningkatan kadar glukosa darah) yang pertama kali

dideteksi saat kehamilan bisa diklasifikasikan sebagai Gestational Diabetes

Mellitus (GDM) atau hiperglikemia pada kehamilan. GDM dapat didiagnosis pada

trimester pertama kehamilan tetapi dalam kebanyakan kasus diabetes

kemungkinan ada sebelum kehamilan, tetapi tidak terdiagnosis.

d. Impaired glucose tolerance and impaired fasting glucose

Meningkatnya kadar glukosa darah di atas batas normal dan dibawah

ambang diagnostik diabetes merupakan kriteria dari gangguan toleransi glukosa

(IGT) dan gangguan glukosa puasa (IFG). Kondisi ini juga disebut intermediate

hiperglikemia atau pradiabetes. Di IGT, kadar glukosa lebih tinggi dari biasanya,

tetapi tidak cukup tinggi untuk membuat diagnosis diabetes yaitu antara 7,8-11,0

mmol/L (140-199 mg/dl) pada dua jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral

(TTGO). IFG adalah keadaan ketika kadar glukosa puasa lebih tinggi dari biasanya
16
yaitu antara 6,1-6,9 mmol/ L (110-125 mg/dl). Orang dengan pradiabetes berisiko

tinggi untuk berkembang menjadi diabetes tipe 2.

Tabel 1
Kadar Glukosa Darah sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis
Diabetes Melitus

Keterangan Bukan Belum Pasti DM


DM DM

Kadar Glukosa Darah Sewaktu :

Plasma vena <110 110-199 >200


(mg/dl)

Darah Kapiler <90 90-199 >200


(mg/dl)

Kadar Glukosa Darah Puasa :

Plasma vena <110 110-125 >126


(mg/dl)

Darah Kapiler <90 90-109 >110


(mg/dl)
Sumber : (Krisnatuti et al., 2014)

Tabel 2

Perbedaan Antara Penderita Diabetes Melitus Tipe I dan Tipe II

Diabetes Melitus Tipe I Diabetes Melitus Tipe II

Kerusakan terdapat pada sel penghasil Bersifat familial/ keuturnan


insulin

Sel β pankreas rusak sehingga insulin Sering terjadi resistensi insulin


tidak terbentuk

Sering terjadi ketosis (koma) Jarang terjadi ketosis

Kebutuhan insulin untuk mengendalikan Insulin dalam darah cukup, namun sel-sel
glukosa kurang tubuh tidak bereaksi dengan baik

Penderita DM tipe I umumnya berubuh Penderita DM tipe II umumnya bertubuh


17
kurus gemuk

Umumnya berusia muda Umumnya berusia lebih dari 40 tahun.


Sumber : (Syamsiyah, 2017)

3. Manisfestasi Klinis

Menurut International Diabetes Federation, 2018 tanda dan gejala klinis

Diabetes Melitus sebagai berikut :

a. Diabetes tipe-1

Selalu merasa haus dan mulut kering (polidipsia), sering buang air kecil

(poliuria), kekurangan tenaga, kelelahan, selalu merasa lapar (polifagia),

penurunan berat badan, penurunan daya penglihatan.

b. Diabetes tipe-2

Gejala diabetes tipe-2 mungkin sama dengan diabetes tipe-1 namun

seringkali kurang dapat diketahui atau bisa juga tidak ada gejala awal yang

muncul dan penyakit ini terdiagnosis beberapa tahun setelah onsetnya atau

saat komplikasi sudah ada. Berikut adalah gejala diabetes tipe-2: Selalu

merasa haus (polidipsia), sering buang air kecil (poliuria), kelelahan,

penyembuhan luka yang lambat dan sering infeksi, sering kesemutan atau

mati rasa di tangan dan kaki, penglihatan kabur.

c. Gestational Diabetes Mellitus (GDM)

Biasanya gejala hiperglikemia yang berlebihan selama kehamilan jarang

terjadi dan mungkin sulit untuk diketahui, untuk itu perlu dilakukan tes

toleransi glukosa oral (OGTT) antara minggu ke- 24 dan 28 kehamilan,

tetapi untuk perempuan yang berisiko tinggi bisa dilakukan skrining lebih

18
awal.

Secara umum menurut PERKENI (2017) keluhan Diabetes Mellitus

bisa dikategorikan sebagai berikut :

a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskansebabnya.

b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi

ereksi pada pria, serta pruritus vulva padawanita.

4. Epidemoilogi

Diabetes melitus tipe 2 meliputi lebih 90% dari semua populasi

diabetes. Prevalensi penderita Diabetes Mellitus di seluruh dunia sangat tinggi

dan cenderung meningkat setiap tahun. Jumlah penderita DM di seluruh dunia

mencapai 422 juta penderita pada tahun 2014. Jumlah penderita tersebut jauh

meningkat dari tahun 1980 yang hanya 180 juta penderita. Jumlah penderita

DM yang tinggi terdapat di wilayah South- East Asia dan Western Pacific

yang jumlahnya mencapai setengah dari jumlah seluruh penderita DM di

seluruh dunia. Satu dari sebelas penduduk adalah penderita DM dan 3,7 juta

kematian disebabkan oleh DM maupun komplikasi dari DM (World Health

Organization, 2016).

Penderita diabetes di Indonesia adalah pasien dengan rentang usia 20-

79 tahun yaitu sekitar 10 juta orang dan 5.286.200 orang diantaranya tidak

terdiagnosa. Jumlah penderita diabetes akan terusbertambah setiap tahunnya,

bahkan pada tahun 2040 diperkirakan jumlah penderita diabetes meningkat

19
hingga 16,2% (IDF, 2017).

5. Patofisiologi

Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada

metabolisme karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat bekerja

secara optimal, jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau

keduanya. Gangguan metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu

pertama karena kerusakan pada sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari

luar seperti zat kimia, virus dan bakteri. Penyebab yang kedua adalah

penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas dan yang ketiga karena

kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer. Insulin yang disekresi oleh sel

beta pankreas berfungsi untuk mengatur kadar glukosa darah dalam tubuh.

Kadar glukosa darah yang tinggi akan menstimulasi sel beta pankreas untuk

mengsekresi insulin (Fatimah,2018).

Sel beta pankreas yang tidak berfungsi secara optimal sehingga

berakibat pada kurangnya sekresi insulin menjadi penyebab kadar glukosa

darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta pankreas sangat banyak seperti

contoh penyakit autoimun dan idiopatik. Gangguan respons metabolik

terhadap kerja insulin disebut dengan resistensi insulin. Keadaan ini dapat

disebabkan oleh gangguan reseptor, pre reseptor dan post reseptor sehingga

dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari biasanya untuk mempertahankan

kadar glukosadarah agartetap normal. Sensitivitas insulin untuk menurunkan

glukosa darah dengan cara menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan otot


20
dan lemak serta menekan produksi glukosa oleh hati menurun. Penurunan

sensitivitas tersebut juga menyebabkan resistensi insulin sehingga kadar

glukosa dalam darah tinggi. Kadar glukosa darah yang tinggi selanjutnya

berakibat pada proses filtrasi yang melebihi transpor maksimum. Keadaan ini

mengakibatkan glukosa dalam darah masuk ke dalam urin (glukosuria)

sehingga terjadi diuresis osmotik yang ditandai dengan pengeluaran urin yang

berlebihan (poliuria). Banyaknya cairan yang keluar menimbulkan sensasi

rasa haus (polidipsia). Glukosa yang hilang melalui urin dan resistensi insulin

menyebabkan kurangnya glukosa yang akan diubah menjadi energi sehingga

menimbulkan rasa lapar yang meningkat (polifagia) sebagai kompensasi

terhadap kebutuhan energi. Penderita akan merasa mudah lelah dan

mengantuk jika tidak ada kompensasi terhadap kebutuhan energi tersebut

(Fatimah, 2018).

Schwartz (2019) telah menyampaikan jika tidak hanya otot, juga hepar,

serta sel beta pankreas saja yang mempunyai peran sentral dalam proses

patogenesis penyandang DM tipe II tetapi terdapat delapan organ lain yang

berperan, disebut sebagai the egregious eleven.

21
Gambar 1
The Egregious Eleven, delapan organ lain yang berperan pada
Penyandang DM tipe II

6. Faktor Resiko

Menurut World Health Organization tahun 2018 berikut adalah faktor

risiko dari DM:

a. Riwayat keluarga diabetes ataugenetika

b. Usia yang lebihtua

c. Obesitas atau kenaikan berat badan yang berlebihan selama

kehamilan.

d. Pola makan dan nutrisi yang buruk

e. Kurangnya aktivitasfisik

f. Riwayat Diabetesgestasional.

g. Merokok, infeksi dan pengaruhlingkungan.

22
h. Faktor-faktor lain termasuk asupan buah dan sayuran yang tidak

memadai, serat makanan dan asupan makanan yang tinggi lemak

jenuh.

7. Penatalaksanaan

Menurut PERKENI, (2017) tujuan penatalaksanan secara umum

adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan

penatalaksanaan meliputi:

a. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki

kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.

b. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas

penyulit mikroangiopati danmakroangiopati.

c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas

DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilaku kan pengendalian

glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui

pengelolaan pasien secara komprehensif. Penatalaksanaan DM dimulai

dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik)

bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan obat antihiperglikemia

secara oral dan atau suntikan.

Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI, 2017),

ada 5 pilar manajemen DM tipe 2, meliputi : manajemen diri (self

management), latihan fisik, pemantauan kadar glukosa darah, terapi dan

23
edukasi :

a. Self Management (Manajemen Diri)

Self Management adalah strategi inti bagi penderita diabetes tipe

2 untuk mendapatkan kontrol glikemik dan mencegah komplikasi

terkait diabetes. Self Management merupakan cara yang

direkomendasikan untuk keberhasilan manajemen diri bertujuan

memberdayakan pasien dan komplikasi terkait diabetes (Aweko

et.al,2018).

b. Latihan Fisik

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan

secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45

menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak

lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan untuk melakukan

pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar

glukosa darah <100 mg/dl pasien harus mengkonsumsi karbohidrat.

c. Pemantauan Kadar Glukosa Darah

Gula merpakan bentuk karbohidrat yang paling sederhana yang

diabsorbsi kedalam darah melaluisistimpencernaan. Kadar gula darah

ini akan meningkat setelah makan, dan biasanya akan turun pada

level terendah pada pagi hari sebelum orang makan. Kadar gula

darah diatur melalui umpan balik negatif untuk mempertahankan

keseimbangan didalam tubuh (Price & Wilson,2006; meltzer, 2008)

24
Konsentrasi gula darah sangat penting dipertahankan pada kadar

yang stabil, sekitar 70 -120 mg/dl untuk mempertahankan fungsi

otak dan suplai jaringan secara optimal. Kadar glukosa darah juga

perlu dijaga agar tidak meningkat terlalu tinggi (hiperglikemia),

mengingat gula juga berperan terhadap tekanan osmotik cairan ekstra

seluler ( Robbins, 2007). Pada penderita diabetes diperlukan

pemantauan kadar gula darah, dan bila memungkinkan pemantauan

dilakukan secara mandiri. Cara ini memungkinkan deteksi dan

pencegahan secara dini terhadap peningkatan atau penurunan kadar

glukosa darah. Pemantauan secara mandiri dengan benar akan

mengurangi komplikasi yang ditimbulkan dari DM tipe 2.

d. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan

makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis

terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat antihiperglikemia

oral dibagi menjadi 5 golongan:pemacu sekresi insulin (insulin

Secretagogue; seperti sulfonylurea dan glinid), peningkat sensitivitas

terhadap insulin; seperti metformin dan tiazolidindion (TZD),

penghambat Absorbsi Glukosa di saluran pencernaan; seperti

penghambat alfa glukosidase, penghambat DPP-IV (Dipeptidyl

Peptidase-IV); seperti sitagliptin dan linagliptin, penghambat SGLT-

2 (Sodium Glucose Co-transporte 2); seperti canagliflozin dan

empagliflozin.
25
e. Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu

dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan

bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistic.

Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi

edukasi tingkat lanjutan. Materi edukasi pada tingkat awal

dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Primer yang meliputi: materi

tentang perjalanan penyakit DM, penyulit DM dan risikonya,

interaksi antara asupan makanan, aktivitas, dll. Materi edukasi pada

tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Sekunder atau

Tersier yang meliputi: penatalaksanaan DM selama menderita

penyakit lain, pemeliharaan atau perawatan kaki, dll.

8. Kriteria Diagnosis

Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus adalah sebagai berikut (American

Diabetes Association, 2018) :

a. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak

ada asupan kalori minimal 8jam.

b. Glukosa plasma 2 jam setelah makan ≥ 200 mg/dL. Tes Toleransi

Glukosa Oral (TTGO) adalah pemeriksaan glukosa setelah mendapat

pemasukan glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrat yang


26
dilarutkan dalamair.

c. Nilai A1C ≥ 6,5% . Dilakukan pada sarana laboratorium yang telah

terstandardisasi dengan baik.

d. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan

klasik. Dengan tidak adanya hiperglikemia yang jelas, hasilnya harus

dikonfirmasi dengan melakukan tesulang.

9. Komplikasi

Berikut adalah komplikasi DM menurut International Diabetes

Federation (2018):

a. Diabetic Eye Disease (DED)

Penyakit mata diabetes (DED) terjadi secara langsung akibat kadar

glukosa darah tinggi kronis yang menyebabkan kerusakan kapiler

retina, yang mengarah ke kebocoran dan penyumbatan kapiler.

Akhirnya menyebabkan hilangnya penglihatan sampai kebutaan. DED

terdiri dari diabetic retinopathy (DR), diabetic macular edema (DME),

katarak, glukoma, hilangnya kemampuan fokus mata atau penglihatan

ganda.

b. Chronic Kidney Disease (CKD)

Diabetes adalah salah satu penyebab utama gagal ginjal, namun

frekuensinya bervariasi antar populasi dan juga terkait dengan tingkat

keparahan dan lamanya penyakit. CKD pasien diabetes bisa disebabkan


27
oleh nefropatik diabetik, polineuropati disfungsi kandung kemih,

peningkatan kejadian infeksi kandung kemih atau macro vascular

angiopath

c. Penyakit jantung

Faktor risiko penyakit jantung pada penderita DM meliputi merokok,

tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi dan obesitas. Komplikasi

yang bisa terjadi seperti angina, coronary artery diseases (CADs),

myocardial infarction, stroke, peripheral arteri disease (PAD), gagal

jantung.

d. Neuropati diabetic

Neuropati diabetic mungkin merupakan komplikasi DM yang paling

umum. Faktor risiko utama dari kondisi ini adalah tingkat dan durasi

peningkatan glukosa darah. Neuropati dapat menyebabkan kehilangan

fungsi otonom, motorik, dan sensorik pada tubuh. Neuropati diabetik

dapat menyebabkan perasaan abnormal dan mati rasa progresif pada

kaku yang menyebabkan timbulnya ulkus karena trauma eksternal atau

tekanan internaltulang. Neuropati juga menyebabkan disfungsi ereksi,

masalah saluran pencernaan dan saluran kencing, serta disfungsi

otonom jantung.

e. Oral Health

Penderita diabetes mengalami peningkatan risiko radang gusi

(periodontitis) atau hyperplasia gingiva jika glukosa darah tidak


28
dikelola dengan benar. Kondisi mulut terkait diabetes lainnya termasuk

pembusukan gigi, kandidiasis, gangguan neurosensorik (burning mouth

syndrome), disfungsi saliva.

B. Konsep Self Management

1. Definisi Self Management

Self Management adalah sebuah proses dimana seseorang mampu

merubah sikap atau sifat mereka sendiri dengan suatu strategi agar menjadi

lebih baik. Lebih lanjut self management berarti perubahan dari dalam diri

tentang tingkah laku yang menggunakan strategi atau teknik tertentu.

Kemampuan individu dalam mengelola kehidupan sehari-hari,

mengendalikan serta mengurangi dampak penyakit yang dideritanya dikenal

dengan self-management. Menurut Konsensus Pengendalian dan Pencegahan

DM Tipe 2 di Indonesia tahun 2017, perilaku sehat yang merepresentasikan

self-management pada pasien DMT2 antara lain mengikuti pola makan sehat,

meningkatkan kegiatan jasmani, menggunakan obat DMT2 dan obat-obat pada

keadaan khusus secara aman dan teratur, melakukan pemantauan kadar gula

darah serta melakukan perawatan kaki secara berkala (Perkumpulan

Endokrinologi Indonesia, 2017).

Untuk mendapatkan kontrol glikemik dan mencegah komplikasi terkait

diabetes. Self Management merupakan cara yang direkomendasikan untuk

keberhasilan manajemen diri bertujuan memberdayakan pasien dan komplikasi

terkait diabetes (Aweko et.al,2018).

29
Self-management merupakan suatu perilaku yang berfokus pada peran

dan tanggung jawab individu dalam pengelolaan penyakitnya. Self-

management diabetes merupakan suatu tindakan individu dalam mengontrol

diabetes termasuk melakukan pengobatan dan pencegahan komplikasi. Tujuan

self- management, yaitu untuk mencapai kadar glukosa darah optimal

(Mulyani,2016).

Self-management didefinisikan sebagai suatu konteks kesejahteraan

keluarga yang menuju kedinamisan dan berkelanjutan dalam hal kontrol diri,

evaluasi, serta merubah perspektif mengenai kondisi sakit menjadi sehat.

Beberapa bukti saat ini menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam

perilaku self-managemment terbukti dapat meningkatkan kesehatan mereka.

Bentuk dasar dari Self-management dan perawatan diabetes membutuhkan

pengetahuan, keterampilan, serta motivasi, karena program ini berisi

modifikasi diet, monitoring dari kadar glukosa dalam darah, serta peningkatan

olahraga yang dilakukan (Carolan,2017).

Seperangkat perilaku manajemen diri (self management) yang dilakukan

oleh penderita DM Tipe 2 untuk mengelola kondisi mereka yaitu termasuk :

pengaturan pola makan yang berfungsi untuk menekan asupan karbohidrat,

lemak yang berlebih agar kadar glukosa dalam darah dapat seimbang dengan

kerja hormon insulin, aktivitas fisik/olahraga membantu mengontrol berat

badan, sehingga glukosa dalam darah dibakar menjadi energi dalam tubuh yang

menyebabkan sel-sel tubuh menjadi lebih sensitif terhadap insulin (Amerta

Nutr, 2019).
30
Selain itu, perawatan diri/kaki juga dapat membantu menjaga kesehatan

kaki serta meminimalisir resiko timbulnya luka kaki pada pasien DM Tipe 2

yang dapat berkembang menjadi ulkus diabetik, kandungan yang terdapat pada

obat anti-diabetik seperti jenis obat derivate sulvunilurea dapat membantu

penyerapan glukosa dalam darah serta jenis biguanida untuk menghambat

proses pembentukan glukosa, sedangkan perilaku monitoring gula darah rutin

dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk melihat keberhasilan dari

penanganan diabetes yang telah dilakukan, dan dapat dijadikan sebagai

motivasi untuk dapat menjaga kadar gula darah agar tetap dalam batas normal,

karena seseorang dengan diabetes perlu mengetahui pemahaman dalam

pengelolaan penyakitnya (Amerta Nutr, 2019). Jadi, self management adalah

suatu program yang dapat meningkatkan keterampilan yang dimiliki oleh

pasien dengan diabetes melitus dalam hal mengontrol dan mengatur penyakit

mereka.

2. Tujuan Self Management

Tujuan utama dalam Self Management DM Tipe 2 adalah

menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah tanpa terjadinya

hipoglikemi dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien dalam upaya

untuk mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler dan neuropati.

3. Prinsip Diabetes Self Management

Prinsip utama DSME menurut Funnell et.al. (2018) adalah pendidikan DM

efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup pasien meskipun dalam
31
jangka pendek, DSME telah berkembang dari model pengajaran primer menjadi

lebih teoritis yang berdasarkan pada model pemberdayaan pasien, tidak ada

program edukasi yang terbaik namun program edukasi yang menggabungkan

strategi perilaku dan psikososial terbukti dapat memperbaiki hasil klinis,

dukungan yang berkelanjutan merupakan aspek yang sangat penting untuk

mempertahankan kemajuan yang diperoleh pasien selama program DSME, dan

penetapan tujuan perilaku adalah strategi efektif mendukung selfcare behavior.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Diabetes Self Management

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi diabetes self-

management seseorang, faktor-faktor ini dijelaskan oleh (Kisokanthet.all,

2018) sebagi berikut:

a. Kebudayaan

Kebudayaan sangat berpengaruh dalam kesehatan serta dapat

mempengaruhi tujuan dari kesembuhan DMT2. Beberapa jenis etnis

tertentu dan kelompok minoritas disuatu daerah biasanya akan dapat

mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai terkait kesehatan

(Kisokanth et.all 2018).

b. Dukungan Keluarga

Ketika keluarga terlibata dalam proses self-management mereka dapat

memberikan dukungan yang nantinya akan dapat membantu mencapai

tujuan pengobatan. Pasien dengan tingkat dukungan keluarga yang baik

menunjukkan perilaku self- management yang baik (Aklima et.all 2012).

32
Karakter dari keluarga yang sehat meliputi komunikasi yang baik,

perilaku saling mendukung seperti memberikan kepercayaan, menghibur

dan bermain, berbagi tanggung jawab, bersedia menolong anggota

keluarga lainnya dalam menyelesaikan masalahnya. Anggota keluarga

dapat mendukung kegiatan self-management pasien dengan

meningkatkan kesadaran pasien dan membantu pasien dalam menentukan

tujuan dari pengobatan serta rencana yang akan dilakukan.

c. Informasi Kesehatan

Kisokanth et.all, 2018 menjelaskan bahwa self-management dipengaruhi

beberapa hal seperti faktor dari pasien itu sendiri, tim medis, dukungan

sosial. Semua faktor itu harus dikaji demi tercapainya pelaksanaan

DMT2. Penelitian kualitative yang dilakukan menunjukkan bahwa

informasi yang diterima oleh pasien membingungkan. Kurangnya

kesadaran dalam mencapai target kadar glukosa darah dan tekanan darah

merupakan hambatan yang besar untuk meningkatkan self-management

dari DMT2 (Kisokanth et.all, 2018) sebagai berikut:

1) Tingkat Pengetahuan Pasien

Kurangnya tingkat pengetahuan merupakan penghalang bagi pasien

DMT2 dalam mengelola self-management. Pengetahuan mengenai

perawatan DMT2 harus berhubungan dengan aktivitas seperti

meminum obat, diet, latihan, monitor gula darah. pasien dengan

tingkat pengetahuan rendah mengenai penyakit mereka akan

kesusahan untuk mempelajari skill yang dibutuhkan dalam


33
perawatana DMT2 untuk tetap dapat mengontrol glukosa darah.

2) Motivasi dan Faktor Psikologis

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa motivasi merupakan

penghalang terbesar untuk melakukan self-management DMT2.

Motivasi merupakan faktor ekstrinsik yangmeliputitipe motivasi

yang disediakan oleh tim medis. Beberapa penelitian menunjukkan

mengenai efek negatif terhadap individu dalam mengurus diri

mereka. Pasien menjadi tidak tertarik dan tidak ingin membuat

keputusan untuk mampu menyelesaikan pengobatan (Kisokanth

et.all, 2018).

d. Faktor Emosional

Stress, takut, cemas, dan gangguan mood dikatakan dapat menjadi

hambatan dalam melakukan self- management (Green et all., 2017). Pada

individu yang merasa sedih dan takut terhadap penyakitnya akan

memiliki self-management yang lebih rendah dari pada individu yang

memiliki penerimaan diri baik, yaitu menerima seutuhnya keadaan yang

dialami (Dhamayanti,2018).

e. Faktor Pola Hidup

Pengalaman self-management, kemampuan dalam menciptakan self-

management yang rutin, dan adanya transisi dalam kehidupan merupakan

faktor lain yang dapat memengaruhi self-management (Green et

all.,2017).

f. Faktor Sosial Ekonomi


34
Faktor sosial ekonomi berpengaruh terhadap self management diabetes.

Hubungan yang terjadi adalah hubungan positif. Penyakit DMT2

merupakan penyakit yang membutuhkan biaya yang cukup mahal dalam

perawatannya pasien DMT2 dengan sosial ekonomi yang lebih tinggi

akan lebih peduli terhadap manajemen diridiabetes untuk mencapai

tujuan terkontrolnya kadar gula darah (Green et all., 2017).

g. Faktor Lama Menderita DMT2

Pasien yang sudah terdiagnosa lama menderita DMT2 akan lebih

mengaplikasikan manajemen diri diabetes daripada pasien yang baru

terdiagnosa menderita DMT2. Pasien yang sudah lama menderita DMT2

akan lebih banyak memiliki pengetahuan mengenai DMT2 dalam

kehidupan sehari-hari (Green et all., 2017).

h. Efikasi Diri

Seseorang yang hidup dengan diabetes tipe II yang memiliki tingkat

efikasi diri yang lebih tinggi lebih berpartisipasi dalam perilaku

manajemen diri diabetes. Efikasi diri yang lebih tinggi lebih mungkin

untuk menunjukkan pengaturan diet secara optimal, olahraga,

monitoring glukosa darah mandiri, dan perawatan kaki (Green et all.,

2017).Klien yang memiliki keyakinan kuat bahwa aktifitas self

management diabetes merupakan tindakan yang efektif dalam pengelolaan

diabetes maka klien akan melakukan perilaku self management dalam

kehidupannya sehari- hari. Perilaku self management diabetes tersebut


35
akan menjadi tanggung jawab klien dalam mengelola penyakitnya

sehingga klien akan selalu memperhatikan self management diabetes.

i. Komunikasi Petugas Kesehatan

Peningkatan komunikasi kesehatan antara klien dan petugas kesehatan

akan meningkatkan kepuasan, kepatuhan terhadap perencanaan

pengobatan yang harus dijalankan dan meningkatkan status kesehatan.

Meningkatkan partisipasi klien dalam pengambilan keputusan dan

meningkatkan komunikasi petugas kesehatan akan meningkatkan self

management. Komunikasi petugas kesehatan merupakan faktor yang

paling dominan berpengaruh terhadap self management DM. Komunikasi

petugas kesehatan berpengaruh terhadap self management terutama

berkaitan dengan pengaturan makan (diet). Komunikasi yang dijalankan

oleh petugas kesehatan berkaitan dengan pendidikan kesehatan tentang

bagaimana tindakan yang harus dilakukan oleh klien dalm kehidupan

sehari- hari agar gula darah dapat terkontrol sehingga komplikasi akibat

DM dapat diminimalkan.

5. Tugas-tugas Self Management Diabetes Mellitus

Pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 harus memahami tugas yang

perlu dilakukan dalam manajemen diri untuk mengontrol diabetes. Tugas-

tugas manajemen diri diabetes (PERKENI, 2017) yaitu:

a. Pengaturan Pola Makan (Diet)

Pengaturan pola makan atau sering disebut terapi gizi medis merupakan

36
bagian penting untuk mengontrol DMT2. Prinsip pengaturan pola makan

pada pasien DMT2 hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat

umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori

dan zat gizi masing- masing individu.

- Adapun tujuan dari terapi diet DM yang dilakukan adalah sebagai

berikut:

1. Memperbaiki kesehatan umum dari penderita DM

2. Mengontrol berta badan untuk menuju normal dan ideal sesuai

perhitungan status gizi penderita

3. Mempertahankan glukosa darah dalam batas normal

4. Menekan atau menunda timbulnya penyakit komplikasi seperti

penyakit pada jantung atau pembuluh darah otak, dan penyakit ginjal

5. Memberikan modifikasi diet dan penentuan makan sesuai dengan

kondisi penderita yang disertai dengan penyakit lain, dan sebagainya.

6. Menjadikan kehidupan sosial penderita DM sama dengan

kehidupan sosial orang lain yang hidup tanpa diabetes (Tandra, 2013).

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan

anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan

sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.

Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya


37
keteraturan 3J yaitu Jadwal makan, Jenis dan Jumlah kandungan kalori,

terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi

insulin atau terapi insulin itu sendiri (PERKENI, 2015). IDF (2017)

merekomendasikan diet yang sehat sebagai berikut:

1. Memilih air, sebagai pengganti kopi, teh, juz buah, soda dan minuman

manis lainnya.

2. Makan tiga kali sehari dengan makan sayuran dan buah setiap

harinya.

3. Memilih kacang, sepotong buah segar atau yogurt yang tidak manis

untuk camilan.

4. Menghindari minum alcohol Memilih daging yang mengandung

sedikit lemak, daripada unggas atau seafood.

5. Memilih mentega kacang daripada cokelat.

6. Memilih makan nasi merah daripada nasi putih.

7. Memilih minyak rendah lemak daripada mentega, minyak hewani

atau minyak kelapa.

Dalam menjalankan diet DM, pengetahuan tentang jenis bahan makanan

yang boleh maupun yang tidak boleh sangat diperlukan guna mencapai

kesehatan yang optimal pada penderita DM.

- Bahan makanan yang dianjurkan :

1. Sumber karbohidrat kompleks, seperti nasi, roti, mie, kentang,

singkong, ubi, dan sagu.

38
2. Sumber protein rendah lemak, seperti ikan, ayam tanpa kulit, susu

skim, tempe, tahu, dan kacang-kacangan.

3. Sumber lemak dalam jumlah terbatas, yaitu bentuk makanan yang

mudah dicerna, dan terutama diolah dengan cara dikukus, direbus, dan

dipanggang.

- Bahan makanan yang tidak dianjurkan sebaiknya dibatasi/ dihindari

1. Mengandung banyak gula sederhana seperti gula pasir, gula jawa,

gula sirup, selai, jeli, buah-buahan yang diawetkan dengan gula,

susu kental manis, soft drink, es krim, kue-kue manis, dan

sebagainya.

4. Mengandung banyak lemak seperti makanan siap saji, daging

dengan lemak, goring-gorengan, dan lain-lain.

5. Mengandung banyak natrium seperti ikan asin, telur asin,

makanan yang diawetkan

Sumber: (Almatsier, 2005)

Prinsip pengaturan makan bagi penderita diabetes adalah prinsip 3J,

yaitu jadwal, jenis, dan jumlah, dalam arti pendrita diabetes harus mengatur

jadwal makan, mengatur jenis sumber energi, dan mengatur jumlah

kebutuhan energi (PERKENI, 2017).

1. Jadwal

Secara umum, makanan siap saji dengan jumlah kalori dan komposisi

yang terhitung, dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%),

siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-

39
15%) diantaranya (PERKENI, 2017).

2. Jenis

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari: karbohidrat yang

dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi terutama karbohidrat yang

berserat tinggi, asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan

kalori, protein dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energi, anjuran

asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang sehat yaitu

<2300 mg perhari, penyandang DM.

dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan, buah dan

sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, pemanis aman

digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily

Intake/ ADI) (PERKENI, 2017).

3. Jumlah

Jumlah makanan yang dikonsumsi oleh penderita diabetes harus

sesuai dengan kebutuhan energy hariannya. Kelebihan asupan

energy secara berangsur-angsur dapat menyebabkan kegemukan,

dan kekurangan asupan energy secara berangsur-angsur juga dapat

menurunkan berat badan pada penderita diabetes. Besarnya

kebutuhan energy bagi penderita diabetes dapat dihitung setelah

diketahui Berat Badan Ideal (BBI) dan indeks masa tubuhnya,

(PERKENI, 2017):

- Penentuan Berat Badan Ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang

40
dimodifikasi:

(1) Berat badan ideal= 90% x (TB dalam cm-100) x 1 kg

(2) Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita

di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi:

Berat Badan Ideal (BBI) = (TB dalam cm-100) x 1 kg BB

Normal: BB ideal ±10%

Kurus: kurang dari BBI -10% Gemuk: lebih dari BBI +10%

- Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks Massa Tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT= BB (kg)/

TB (m2)

Klasifikasi IMT:

(1)BB kurang <18,5

(2) BB Normal 18,5-22,9

(3) BB Lebih ≥23,0 =

o Dengan risiko 23-24,9

o Obes I 25-29,9

o Obes II ≥30

b. Latihan Fisik

Latihan fisik merupakan salah satu faktor penting untuk mengelola DMT2

dan mengontrol kadar gula darah yang lebih baik. Latihan dilakukan

41
apabila pasien tidak mempunyai gangguan nefropati. Latihan fisik yang

dilakukan berupa latihan jasmani. Latihan jasmani dilakukan secara teratur

3-5 kali perminggu selama 30-45 menit dengan total 150 menit perminggu.

Hal ini bertujuan untuk menjaga kebugaran dan dapat menurunkan berat

badan dan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga dapat memperbaiki

kendali glukosa darah. Sebelum melakukan latihan jasmani dianjurkan

untuk memeriksa kadar glukosa darah terlebih dahulu. Apabila kadar

glukosa darah <100 mg/dl maka dianjurkan untuk makan terlebih

dahulu dan bila >250 mg/dl dianjurkan untuk menunda latihan. Latihan

jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik

dengan intensitas sedang seperti jalan cepat bersepeda santai jogging dan

berenang.

c. Minum Obat

Penyakit DM tipe II tidak dapat disembuhkan secara total tetapi dapat

dikontrol.Kontrol gula darah dapat dilakukan dengan terapi non-

farmakologis seperti pengaturan pola makan, latihan fisik, dan monitoring

gula darah mandiri. Tetapi sebagian besar pasien DMT2 memerlukan

terapi farmakologis. Obat yang bisa diberikan untuk DMT2 yaitu obat oral

dan obat suntikan. Pemberian obat bisa secara tunggal atau secara

kombinasi. Apabila terapi menggunakan obat oral tidak bekerja, maka

terapi suntik insulin merupakan satu- satunya cara untuk mengontrol

hiperglikemia. Kepatuhan pasien dalam minum obat merupakan hal

penting dalam mencapai sasaran pengobatan.


42
d. Monitoring Gula Darah Mandiri

Monitoring gula darah mandiri merupakan hal penting dalam manajemen

diri pasien dengan diabetes. Monitoring gula darah mandiri biasanya

dilakukan dengan mengambil darah kapiler. Waktu yang dianjurkan untuk

melakukan monitoring gula darah mandiri yaitu sebelum makan, 2 jam

sesudah makan, waktu menjelang tidur, dan diantara siklus tidur untuk

melihat hipoglikemia nocturna yang sering ditandai tanpa gejala.

Monitoring gula darah mandiri dilakukan 3 atau 4 kali sehari untuk pasien

yang menggunakan suntikan insulin, sedangkan pasien terapi non- insulin

monitoring gula darah mungkin berguna untuk mencapai kontrol gula

darah.

e. Perawatan Ulkus Pada Kaki

Komplikasi dari DM tipe II salah satunya adalah terjadinya resiko ulkus

kaki, sehingga pasien DM tipe II harus memahami dasar-dasarperawatan

ulkus kaki. Pendidikan perawatan kaki sangat efektif dalam pencegahan

ulkus kaki diabetes. Komponen penting dalam managemen ulkus kaki

diabetik meliputi pengendalian keadaan metabolik, pengendalian asupan

vaskular, pengendalian terhadap infeksi, pengendalian luka dengan cara

membuang jaringan nekrosis dengan teratur, mengurangi tekanan pada

kaki, dan penyuluhan agar pasien melakukan perawatan kaki secara

mandiri (PERKENI, 2017).

6. Aspek-aspek Self Management

43
1) Pendorong Diri (Self Motivation) merupakan adanya sebuah dorongan yang

terdapat dalam diri seseorang yang bisa menambah semangat sehingga

nantinya seseorang dapat melakukan berbagai kegiatan untuk mencapai

tujuan yang diinginkan. Dengan adanya dorongan diri pada individu itu

sendiri, maka dalam diri individu akan tumbuh minat dan keinginan kuat

untuk memperoleh kesenangan atau sesuatu yang diinginkannya.

2) Penyusunan Diri (Self Organization) adalah sebuah aturan terhadap segala

sesuatu yang beraikaitan dengan diri seseorang sehingga dapat tercapainya

efisiensi dalam kehidupan individu. Dapat dikatakan juga sebagai

pengorganisasian diri. Jadi individu mampu mengatur segala sesuatu yang

berkaitan dengan pikiran, tenaga, waktu maupun lainnya yang dapat

membantu pembentukan self management.

3) Pengendalian Diri (Self Control) adalah suatu kemampuan yang dimiliki

seseorang untuk mengendalikan dirinya sendiri secara sadar sehingga dapat

tercapainya sebuah keinginan serta tidak merugikan orang lain.

4) Pengembangan Diri (Self Development) adalah suatu kegiatan untuk

meningkatkan kesadaran diri untuk mengembangkan sebuah potensi. Dengan

adanya pengembangan diri seseorang dapat meningkatkan kemampuan dan

potensi yang dimilikinya.

7. Tahap-tahap Self Management

1) Tahap Monitor Diri atau Observasi Diri Observasi diri merupakan respon

individu berupa pemanfaatan yang sistematis terhadap hasil kerjanya. Hal

44
yang perlu diperhatikan dalaam obsevasi diri yaitu mencatat tingkah laku

seseorang.

2) Tahap Evaluasi Diri Evaluasi diri merupakan suatu kemampuan

mengetahui dengan tepat keadaan seseorang. Sehingga nantinya dapat

tercapainy sebuah keinginan.

3) Tahap Pemberian Penguatan Pemberin penguatan merupakan upaya untuk

mengatur dirinya sendiri, dan mampu memberikan penguatan pada diri

sendiri.

C. Konsep Tingkat Stres dalam Menjalani Diet DM

1. Definisi Stress

Stres adalah ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh

mental, fisik, emosional dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat

mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut. Keadaan ini dialami oleh

pasien ketika menjalani program diet yang dianjurkan. Diabetes tidak dapat

disembuhkan secara total, sehingga dibutuhkan kedisiplinan, kepatuhan dan

motivasi yang kuat untuk menaatipolamakan menu seimbang. Akibatnya

berbagai kendala dan kesulitan selama menjalankan diet dapat menimbulkan

kejenuhan dan stres (Widodo, 2017).

Stres emosional yang terjadi pada penderita diabetes dapat meningkatkan

kadar gula darah bagi penderita DM melalui peningkatan stimulus simpato

adrenal. Stres juga dapat meningkatkan selera makan dan membuat penderita
45
sangat lapar khususnya pada makanan kaya karbohidrat dan lemak, sehingga

stres dapat menjadi musuh yang paling berbahaya bagi pelaksanaan diet.

Oleh karena itu, penderita perlu selalu memahami bahwa stres merupakan

pemicu kenaikan kadar glukosa darah sehingga mereka harus selalu berupaya

untuk meredamnya (Widodo, 2017).

Penatalaksanaan diet yang telah diprogramkan oleh dokter ataupun ahli

gizi seharusnya tidak dianggap sebagai beban dalam menjalankannya, karena

untuk keberhasilan penderita sendiri dalam mengendalikan kadar gula darah

mereka serta meminimalkan komplikasi yang dapat terjadi. Mereka dapat

memodifikasi diet, akan tetapi tetap memperhatikan aturan- aturan yang

dianjurkan, misalnya menetapkan menu sehari-hari sesuai dengan makanan

yang disenangi tetapi tetap memperhatikan aturan diet yang dianjurkan

dengan jalan berkonsultasi dengan perawat, dokter atau ahli gizi. Berbagi

pengalaman dengan penderita lain yang berhasil mematuhi diet juga akan

bermanfaat bagi penderita diabetes. Disamping itu penderita diabetes juga

harus menggunakan cara-cara yang positif untuk mengatasi rasa stres, seperti

mengikuti kegiatan positif, misalnya dengan ikut symposium tentang

diabetes, beribadah, aktivitas fisik, atau rekreasi dan berpikir positif untuk

kesehatan tubuhnya dengan menerima penyakitnya dengan rasional dan

optimis, segera merubah pola hidup semula dengan pola hidup DMT2 dengan

harapan kesehatannya akan dapat dipertahankan untuk menjamin

kesejahteraannya di hari tua.

Adapun dukungan yang positif kepada penderita akan dapat membantu


46
keberhasilan penderita diabetes dalam mematuhi diet yang dianjurkan,

misalnya membantu penderita dalam memodifikasi menu sehari-hari sehingga

tidak membuat penderita merasa jenuh dan terbebani dalam melaksanakan

diet (Widodo,2017).

Stres pada pasien DMT2 merupakan ungkapan perasaan

ketidakmampuan dalam mengatasi masalah yang dialami baik fisik maupun

mental selama menderita DMT2. Stres mencakup keseluruhan situasi yang

menyangkut fisik, cedera atau sakit atau masalah mental, seperti masalah

dalam pernikahan, pekerjaan, kesehatan, atau keuangan (Setyorini, 2017).

2. Penyebab Stress Pada Pasien Diabetes Mellitus

Stres baru nyata dirasakan apabila keseimbangan diri terganggu. Artinya

kita baru bisa mengalami stres manakala kita mempersepsi tekanan dari

stresor melebihi daya tahan yang kita punya untuk menghadapi tekanan

tersebut. Jadi selama kita memandangkan diri kita masih bisa menahankan

tekanan tersebut (yang kita persepsi lebih ringan dari kemampuan kita

menahannya) maka cekaman stres belum nyata. Akan tetapi apabila tekanan

tersebut bertambah besar (baik dari stresor yang sama atau dari stresor yang

lain secara bersaman) maka cekaman menjadi nyata, kita kewalahan dan

merasakan stres (Musradinur, 2016).

Gambar 2

Persepsi Daya Tahan dan Tekanan

47
Stres itu meningkatkan adrenalin, dan adrenalin akan meningkatkan

gula dalam tubuh dengan sangat cepat. Hanya dalam hitungan menit.

Kondisi stress yang dialami seseorang akan memicu tubuh memproduksi

hormon Epinephrine atau yang juga dikenal sebagai adrenalin. Epinephrine

ini dihasilkan oleh kelenjar adrenal yang terletak di atas ginjal. Hormon

epinephrine biasa dihasilkan tubuh sebagai respon fisiologis ketika

seseorang berada dalam kondisi tertekan, seperti saat akan dalam bahaya,

diserang, dan berusaha bertahan hidup. Kondisi ini disebut fight-or-flight

response. Dengan kehadiran epinephrine ini, tubuh akan mengalami

kenaikan aliran darah ke otot atau jantung sehingga berdetak lebih kencang,

serta pembesaran pupil mata. Selain itu, epinephrine menaikkan gula darah

dengan cara meningkatkan pelepasan glukosa, gugus gula paling sederhana,

dari glikogen yang beredar dalam darah. Setelah itu, epinephrine juga

meningkatkan pembentukan glukosa dari asam amino atau lemak yang ada

pada tubuh.

Begitu gula darah melonjak drastis, pankreas akan otomatis

menghasilkan insulin untuk mengendalikan gula darah. Nah kalau sering

mengalami kondisi seperti ini, insulin pada pankreas akan habis atau jadi

48
bermasalah. Kondisi stres yang terus berlangsung dalam rentang waktu

yang lama, membuat pankreas menjadi tidak dapat mengendalikan produksi

insulin sebagai hormon pengendali gula darah. Kegagalan pankreas

memproduksi insulin tepat pada waktunya ini yang menyebabkan rangkaian

penyakit metabolik seperti diabetes mellitus. Bila ditambah dengan gaya

hidup yang buruk, kurang olahraga, serta memiliki faktor risiko diabetes,

maka bukan tidak mungkin penyakit yang diidentikkan dengan penyakit

perkotaan tersebut akan terjadi. Gula memang menjadi penyebab diabetes,

tapi stres, bisa jadi pemicu terjadinya diabetes lebih cepat. Jadi sebenarnya

konsumsi gula itu bukannya dihilangkan, tapi dikurangi. Sedangkan kalau

bisa, hindari hal yang dapat membuat stres akut (Musradinur, 2016).

Berikut adalah beberapa penyebab stres pada pasien Diabetes Mellitus

Tipe 2 menurut Setyorini (2017):

a. Penurunan kondisi kesehatan seperti badan terasa lemas dan semakin

kurus.

b. Munculnya manifestasi klinis poliuri, polidipsi, poliphagi, penurunan

berat badan.

c. Stres perkembangan atau situasional: perubahan dalam peran keluarga

atau sosial, tekanan dari pasangan, dan kematian anggotakeluarga.

d. Keharusan pasien DMT2 mengubah pola hidupnya agar gula darah dalam

tubuh tetap seimbang.

49
3. Faktor – faktor Stress

Berikut adalah beberapa faktor risiko yang bisa mengembangkan stres

pada pasien DMT2 menurut Robinson (2018):

1) Perempuan

Perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami depresi,

kecemasan, dan stres daripada laki-laki (Rehman dan Kazmi,2017).

2) Remaja atau dewasa muda dan orang dewasa yang lebih tua Anak-anak

dan remaja dengan DM tipe 2 memiliki risiko yang signifikan untuk

masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, gangguan makan

dan gangguan perilaku. Risikonya meningkat secara signifikan selama

masa remaja. Studi menunjukkan bahwa gangguan kesehatan mental

diprediksi dengan adanya manajemen dan kontrol diabetes yang buruk

dan buruknya hasil medis. Seperti kontrol glikemik memburuk, karena

kemungkinan masalah kesehatan mental meningkat (Robinson, 2018).

3) Kemiskinan, stres kehidupan, dan kurangnya dukungan sosial

4) Kontrol glikemik yang buruk, terutama hipoglikemia berulang

5) Beban penyakit yang lebih tinggi dan lamanya durasi diabetes

6) Adanya komplikasi jangka panjang

Pasien DMT2 dengan komplikasi lebih merasakan stres dan cemas

daripada pasien DMT2 yang tidak memiliki komplikasi (Rehman, 2015).

4. Tingkatan Stress

Klasifikasi stres dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu stres ringan, sedang

50
dan berat.

1) Stres ringan

Pada tingkat stres ringan adalah stres yang tidak merusak aspek fisiologis

dari seseorang. Stres ringan umumnya dirasakan oleh setiap orang misalnya

lupa, ketiduran, dikritik, dan kemacetan. Stres ringan sering terjadi pada

kehidupan sehari- hari dan kondisi dapat membantu individu menjadi

waspada. Situasi ini tidak akan menimbulkan penyakit kecuali dihadapi terus

menerus.

2) Stres sedang

Stres sedang terjadi lebih lama, dari beberapa jam hingga beberapa hari.

Respon dari tingkat stres ini didapat gangguan pada lambung dan usus

misalnya maag, buang air besar tidak teratur, ketegangan pada otot, gangguan

pola tidur, perubahan siklus menstruasi, daya konsentrasi dan daya ingat

menurun. Contoh dari stresor yang menimbulkan stres sedang adalah

kesepakatan yang belum selesai, beban kerja yang berlebihan, mengharapkan

pekerjaan baru, dan anggota keluarga yang pergi dalam waktu yang lama.

3) Stres berat

Stres berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu sampai

beberapa tahun. Respon dari tingkat stres ini didapat gangguan pencernaan

berat, debar jantung semakin meningkat, sesak napas, tremor, persaan cemas

dan takut meningkat, mudah bingung dan panik. Contoh dari stresor yang

dapat menimbulkan stres berat adalah hubungan suami istri yang tidak

harmonis, kesulitan finansial, dan penyakit fisik yang lama.


51
5. Tahapan Stress Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2

Gejala-gejala stres pada diri seseorang seringkali tidak disadari, karena

perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat. Dan mengganggu

fungsi kehidupannya sehari-hari bahwa tahapan stres dibagi sebagai berikut

(Putri, 2019).

1) Stres tahap I (pertama)

Merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya disertai

perasaan-perasaan semangat bekerja yang besar dan berlebihan (over

acting), merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya

tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki dan rasa gugup yang

berlebihan, penglihatan menjadi tajam tidak sebagaimana mestinya.

2) Stres tahap II (kedua)

Dalam tahap ini dampak stres yang semula menyenangkan mulai

menghilang dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena

cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari. Keluhan-keluhan

yang sering dikemukakan oleh orang yang berada pada stres tahap II

adalah merasa letih waktu bangun pagi yang seharusnya merasa segar,

merasa lekas capek pada saat menjelang sore, merasa mudah lelah

setelah makan, tidak dapat rileks (santai), lambung atau perut tidak

nyaman, detakan jantung lebih keras dan berdebar-debar, otot tengkuk

dan punggung tegang.

52
3) Stres tahap III (ke tiga)

Bila seseorang tetap memaksakan diri dan tidak menghiraukan

keluhan-keluhan yang dirasakan maka yang bersangkutan akan

menunjukkan keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu,

yaitu gangguan lambung, dan usus semakin nyata (misalnya keluhan

maag, buang air besar tidak teratur), ketegangan otot semakin terasa,

perasaan ketidak tenangan dan ketegangan emosional semakin

meningkat, gangguan pola tidur (insomnia), koordinasi tubuh terganggu

(badan terasa oyong dan serasa mau pingsan). Pada tahapan ini

seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk memperoleh

terapi, atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh

memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai

energi yang mengalami defisit.

4) Stres tahap IV (ke empat)

Tidak jarang seseorang pada waktu memeriksakan diri ke dokter

sehubungan dengan keluhan-keluhan stres tahap III di atas, oleh dokter

dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik

pada organ tubuhnya. Bila hal ini terjadi dan yang bersangkutan terus

memaksakan diri untuk bekerja tanpa mengenal istirahat, maka gejala

stres tahap IV akan muncul : tidak mampu untuk bekerja sepanjang hari

(loyo), aktifitas pekerjaan terasa sulit dan membosankan, respon tidak

adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur disertai mimpi-

mimpi yang menegangkan, sering menolak ajakan karena tidak


53
semangat dan tidak bergairah, konsentrasi dan daya ingat menurun,

timbul ketakutan dan kecemasan.

5) Stres tahap V (ke lima)

Bila keadaan berlanjut, maka seseorang akan jatuh dalam stres

tahap V yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental yang semakin

mendalam, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang

ringan dan sederhana, gangguan sistem pencernaan semakin berat,

timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin meningkat,

bingung dan panik.

6) Stres tahap VI (ke enam)

Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami

serangan panic dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang

mengalami stres tahap ini berulang kali dibawa ke IGD bahkan ke ICCU

meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan-

kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stres tahap VI ini adalah

debaran jantung teramat keras, sesak nafas, badan gemetar dingin dan

berkeringat, loyo dan pingsan (kolaps).

6. Koping Stress Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2

Koping stres dalam melaksanakan diet DMT2 merupakan cara yang

dilakukan oleh pasien DMT2 dalam menyelesaikan masalah dan berespon

terkait pelaksanaan manajemen diet bagi pasien DMT2. Ada beberapa hal

yang biasa dijadikan pilihan koping oleh pasien DMT2 dalam mendukung

54
pelaksanaan dietnya, yaitu dengan terapi farmakologi, modifikasi diet,

berfikir positif, patuh terhadap pola makan, serta ada pula kategori yang

muncul terkait ketidakpatuhan pola makan (melanggar pantangan atau

anjuran pola makan karena beberapa alasan yaitu ketidakpatuhan pola makan

yang dilakukan saat hari raya, serta ada hajatan, dan karena memang makanan

atau minuman itu mereka sukai). Koping ini mengarahkan individu untuk

dapat langsung mendefinisikan masalah, mencari berbagai alternatif,

mengukur alternative pemecahan masalah dari keuntungan dan

kerugianyangdidapat, memilih diantara alternative tersebut, dan dapat

langsung melaksanakan tindakan (Setyorini, 2017).

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses munculnya strategi koping

dapat berasal dari faktor internal yang turut mempengaruhi seperti

karakteristik/ kepribadian individu, keyakinan (hardiness), negativity,

optimis, psychological control, tingkat religiusitas, motivasi, kesabaran,

kondisi keparahan penyakit serta faktor demografi seperti usia dan jenis

kelamin, sedangkan faktor eksternal seperti, pendidikan, peran dan dukungan

keluarga, peran ahli medis, tuntutan pekerjaan, serta kondisi lingkungan sosial

dan ekonomi sangat memberikan pengaruh dalam penggunaan strategi coping

(Setyorini, 2017).

7. Strategi Mengurangi Stress Pada Pasien

Ada beberapa strategi untuk mengurangi stres yaitu (Putri, 2019).

1. Beri kesempatan pasien untuk mempertahankan identitas.

55
2. Berikan informasi yang dibutuhkan oleh pasien. Stres yang dialami oleh

pasien sering disebabkan kurangnya informasi yang diterima oleh pasien.

3. Berikan kesempatan pada pasien untuk dapat mengungkapkan perasaan

dan fikirannya.

4. Beri reinforcement tentang aspek positif yang dapat dilakukan oleh

pasien

5. Rencanakan kunjungan dengan pasien lain yang mempunyai masalah

yang sama. Hal ini dapat dilakukan agar pasien dapat saling tukar

informasi dan berbagai pengalaman dalam upayanya menurunkan stres.

8. Stress dalam melaksanaakan Diet Diabetes Mellitus Tipe 2

Stres adalah ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh

mental, fisik, emosional dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat

mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut. Keadaan ini dialami oleh

pasien ketika menjalani program diet yang dianjurkan. Diabetes tidak dapat

disembuhkan secara total, sehingga dibutuhkan kedisiplinan, kepatuhan dan

motivasi yang kuat untuk menaati pola makan menu seimbang. Akibatnya

berbagai kendala dan kesulitan selama menjalankan diet dapat

menimbulkan kejenuhan dan stres (Widodo, 2017). Stres emosional yang

terjadi pada penderita diabetes dapat meningkatkan kadar gula darah

melalui peningkatan stimulus simpatoadrenal. Stres juga dapat meningkatkan

selera makan dan membuat penderita sangat lapar khususnya pada makanan

kaya karbohidrat dan lemak, sehingga stres dapat menjadi musuh yang

56
paling berbahaya bagi

pelaksanaan diet. Oleh karena itu, penderita perlu selalu memahami bahwa

stres merupakan pemicu kenaikan kadar glukosa darah sehingga mereka harus

selalu berupaya untuk meredamnya (Widodo, 2012).

Penatalaksanaan diet yang telah diprogramkan oleh dokter ataupun ahli

gizi seharusnya tidak dianggap sebagai beban dalam menjalankannya, karena

untuk keberhasilan penderita sendiri dalam mengendalikan kadar gula darah

mereka serta meminimalkan komplikasi yang dapat terjadi. Mereka dapat

memodifikasi diet, akan tetapi tetap memperhatikan aturan- aturan yang

dianjurkan, misalnya menetapkan menu sehari-hari sesuai dengan makanan

yang disenangi tetapi tetap memperhatikan aturan diet yang dianjurkan

dengan jalan berkonsultasi dengan perawat, dokter atau ahli gizi. Berbagi

pengalaman dengan penderita lain yang berhasil mematuhi diet juga akan

bermanfaat bagi penderita diabetes. Disamping itu penderita diabetes juga

harus menggunakan cara-cara yang positif untuk mengatasi rasa stres, seperti

mengikuti kegiatan positif, misalnya dengan ikut symposium tentang

diabetes, beribadah, aktivitas fisik, atau rekreasi dan berpikir positif untuk

kesehatan tubuhnya dengan menerima penyakitnya dengan rasional dan

optimis, segera merubah pola hidup semula dengan pola hidup DM dengan

harapan kesehatannya akan dapat dipertahankan untuk menjamin

kesejahteraannya di hari tua. Adapun dukungan yang positif kepada penderita

akan dapat membantu keberhasilan penderita diabetes dalam mematuhi diet

yang dianjurkan, misalnya membantu penderita dalam memodifikasi menu


57
sehari-hari sehingga tidak membuat penderita merasa jenuh dan terbebani

dalam melaksanakan diet (Widodo, 2017).

D. Hubungan Self Management Diabetes Terhadap Tingkat Stress Pada

Penderita Diabetes Melitus Saat Menjalani Diet

Hasil analisis dengan uji korelasi rank spearmen menunjukkan adanya

hubungan antara self management diabetes dengan tingkat stres menjalani

diet penderita DM di Surabaya. Self management diabetes dengan tingkat

stres menjalani diet penderita DM memilik hubungan yang negative (-).

Artinya semakin tinggi self management diabetes semakin rendah tingkat

stres pada penderita DM dalam menjalani diet DM, dan sebaliknya semakin

rendah self management diabetes semakin tinggi tingkat stres pada penderita

DM dalam menjalani diet DM.

Pengobatan diabetes yang paling utama adalah mengubah gaya hidup

terutama mengatur pola makan yang sehat dan seimbang. Penerapan diet

merupakan salah satu komponen utama dalam keberhasilan penatalaksanaan

diabetes, akan tetapi sering kali menjadi kendala dalam pelayanan diabetes

karena dibutuhkan kepatuhan dan motivasi dari pasien itu sendiri. Perubahan

pola hidup dan diet merupakan hal yang sulit dilakukan karena sama saja

dengan merubah kebiasaan-kebiasaan yang telah pasien lakukan selama

berpuluh-puluh tahun yang lalu. Bagi penderita DM perubahan pola hidup

dan diet bukanlah hal yang mudah, dan dapat membuat individu mengalami

stres, serta dapat menimbulkan kejenuhan karena mereka harus menaati


58
program diet yang dianjurkan selama hidupnya.

Stres dan Diabetes Mellitus memiliki hubungan yang sangat erat dan

berbagai penyakit yang sedang diderita menyebabkan penurunan kondisi

seseorang hingga memicu terjadinya stres (Nugroho dan Purwanti, 2010).

Stres merupakan gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh

perubahan dan tuntutan kehidupan (Nasir dan Muhith, 2011). Takut, cemas,

malu, dan marah merupakan bentuk lain emosi kehidupan yang penuh dengan

stress akan berpengaruh terhadap fluktuasi glukosa darah meskipun telah

diupayakan diet, latihan fisik maupun pemakaian obat- obatan dengan

secermat mungkin. UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study)

menemukan dengan berjalannya waktu kadar glukosa darah penderita DM

diperlihatkan akan tetap terus meningkat secara progresif, meskipun

intervensi sudah dilakukan melalui perubahan gaya hidup, diet, olahraga dan

obat-obatan (Trisnawati, 2018).

Penderita diabetes mudah mengalami stres dalam melaksanakan program

diet sehingga cara penanganan yang dilakukan penderita dalam menangani

stres ketika menjalani diet dapat mempengaruhi keberhasilan mereka dalam

mematuhi program diet serta pengendalian kadar gula darah (Setyorini,

2017). Dari data penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar

penderita DM memiliki self management yang sedang dan mempunyai

tingkat stres yang tinggi dalam menjalankan anjuran diet DM. Stres yang

tinggi pada penderita DM selain disebabkan dari anjuran diet yang

menyusahkan sehingga menyebabkan banyak makan atau memilih makanan


59
yang tidak sehat, kesulitan menahan godaan untuk memakan makanan yang

tidak sehat dan stres menyebabkan pasien cenderung untuk tidak tepat waktu

dalam jadwal makan.

Stres dua kali lebih mudah menyerang orang dengan diabetes

dibandingkan dengan orang yang tidak mengidap diabetes. Stres yang

timbul dan lamanya stres ditentukan oleh berbagai kesulitan yang dialami

pasien diabetes selama melaksanakan diet terutama berhubungan dengan

jumlah makanan yang harus diukur, pembatasan jenis makanan, pola

kebiasaan makan yang salah sebelum sakit serta selama menderita diabetes.

Self-management sangat diperlukan dalam pengendalian stress pada

penderita Diabetes Melitus Tipe 2, karena Self-management merupakan

kemampuan individu dalam mengelola kehidupan sehari-hari, mengendalikan

serta mengurangi dampak penyakit yang dideritanya. Tidak hanya itu, Self-

management juga memungkinkan pasien untuk meningkatkan keyakinan diri

(self-efficacy), mengembangkan keterampilan dalam memecahkan masalah

serta mendukung aplikasi pengetahuan dalam kehidupan nyata. Dengan

adanya keterampilan penderita dalam memecahkan masalah penyakit DMT2,

maka memungkinkan bagi pasien untuk membuat suatu keputusan tentang

pengelolaan pola hidup yang baik untuk dirinya sendiri (Lin, 2017).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Aikens (2012) yang

menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara self management

dengan diabetes distress, yang ditunjukkan dengan peningkatan HbA1c,

ketidakpatuhan konsumsi obat, dan ketidakpatuhan diet dan aktifitas fisik.


60
Didukung juga dengan penelitian Gonzalez (2008) yang menyatakan bahwa

terdapat hubungan negative antara gejala depresi dengan perawatan diri

diabetes, dimana semakin rendah perawatan diri pasien maka tingkat stres

penderita DM akan lebih besar.

Ditinjau dari keempat domain pada self management diabetes yaitu

mengenali kebutuhan jumlah kalori, memilih makanan sehat, mengatur jadwal

atau perencanaan makan, dan mengatur tantangan perilaku diet menunjukkan

hasil bahwa tiap domain memiliki total skor yang berbeda. Dimana total skor

tertinggi pada domain mengatur jadwal atau perencanaan makan. Sehingga

pada penelitian ini menunjukkan bahwa self management diabetes penderita

DM mengenai pengaturan jadwal atau perencanaan makan lebih baik daripada

domain yang lainnya. Banyak responden yang mengetahui jarak interval

antara makan makanan besar dan makanan selingan, karena kebanyakan dari

responden lebih berhati- hati dalam pengaturan pola makan untuk menjaga

kadar gula, terutama dalam mengurangi makanan selingan atau camilan.

Anjuran diet DM yang harus dilakukan pasien DM adalah tepat jadwal,

jenis, dan jumlah. Pasien dengan manajemen diri yang baik akan lebih berhati-

hati untuk menjaga kesehatannya dan berusaha untuk melakukan perilaku yang

dianjurkan seperti patuh untuk menjalankan diet diabetes. Sehingga dengan

manajemen diri yang bagus diharapkan dapat mencapai hasil akhir yang

maksimal, baik dalam mengontrol status glikemik dan mencegah serta

meminimalkan terjadinya komplikasi akibat diabetes. Tetapi sebaliknya jika

manajemen diri pasien DM buruk, maka dalam mengikuti anjuran pengaturan


61
dan perencanaan pola makan yang harus tepat jumlah, jenis, dan jadwal dapat

menimbulkan penderita diabetes merasa jenuh, bosan, dan merasa kesulitan

dalam pengelolaannya. Hal ini jika terus berlanjut akan menyebabkan pasien

merasa stres untuk mengikuti perencanaan diet yang dianjurkan dan bisa

menyebabkan peningkatan kadar gula darah bahkan terjadinya komplikasi.

1. Kerangka Konsep

Tingkat Stress dalam


Self Management Diabetes Menjalani Diet

Bagan 1
Kerangka Konsep

2. Hipotesis

Hipotesi yang dilakukan oleh peneliti adalah :

Ada Hubungan Self Management diabetes terhadap tingkat stress dalam

menjalani diet pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Siti

Aisyah Kota Lubuklinggau.

62
63

Anda mungkin juga menyukai