Anda di halaman 1dari 49

Membran DMFC (Direct Methanol Fuel Cell)

‘’Asam Amino yang : Difungsionalkan (Ditambahkan / dengan


Penguatan dari) Graphene Berbasis Membran Elektrolit
Nanocomposite untuk Direct Methanol Fuel Cell’’

Amino acid functionalized graphene oxide based nanocomposite


membrane
electrolytes for direct methanol fuel cells

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teknologi Membran


Dosen Pengampu :
Eka Cahya Muliawati

Disusun oleh:
Ilawati Soleha (08.2020.1.01879)
Rizky Pravitasari (08.2022.1.90299)
Yusuf Almusana (08.2022.1.90300)

TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI ADHI TAMA SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunianya
sehingga kami masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah Teknologi Membran semoga makalah ini
dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi para pembaca.

Dalam penulisan makalah ini, saya tentu saja tidak dapat menyelesaikannya sendiri tanpa
bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada dosen
pengampu Ibu Eka Cahya Muliawati. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna karena masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami dengan segala
kerendahan hati meminta maaf dan megharapkan kritik serta saran yang membangun guna
perbaikan dan penyempurnaan ke depannya.

Akhir kata kami ucapkan terimakasih dan semoga materi yang ada dalam makalah ini
dapat bermanfaat sebagaimana mestinya bagi para pembaca.

ii
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
BAB 2 Dasar Teori :
2.1 Konsep Proton Exchange Membran (PEM) .......................................... 3
2.2 Dirrect Methanol Fuel Cell (DMFC) .................................................... 4
2.3 Transport Proton dalam Cell ................................................................. 7
2.4 Konduktivitas Proton dalam Cell .......................................................... 10
2.5 Mekanisme Transport Proton dalam Membran Elektrolit ................... 10
2.6 Metode Mengamati Mekanisme DinamikaTransport Proton............... 11
2.7 Membran Nafion ................................................................................... 12
BAB 3 Review Jurnal DMFC : ‘’Asam Amino Difungsikan Graphene Berbasis
Membran Elektrolit Nanocomposite untuk Direct Methanol Fuel Cell’’
3.1 Latar Belakang (Pengenalan) Jurnal ..................................................... 19
3.2 Struktur Bahan dasar, Karakteristik raw Material ............................. 21
3.3 Metode Pembuatan Membran ............................................................... 26
3.4 Pembahasan Jurnal ............................................................................... 27
3.5 Kesimpulan . ........................................................................................... 41
Daftar Pustaka .................................................................................................. 42

i
BAB 1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Transpor proton (proton transport, PT) dalam lingkungan kompleks adalah menarik
karena perannya yang sentral dalam perangkat rekayasa, seperti dalam sel bahan bakar (Voth,
2006). Pada level paling dasar, proses transpor proton dan yang dipengaruhinya merupakan
topik penting untuk diketahui (Cukierman, 2006). Proses transpor proton umumnya terjadi
melalui molekul air yang berpindah melintasi membran sel (Shepherd dan Morrison, 2010).
Di sistem sel bahan bakar (fuel cell), mekanisme transpor proton menjadi faktor pada kinerja
membran.
Membran penukar proton, atau membran polimer elektrolit (polymer-electrolyte
membrane; PEM), adalah sebuah membran semipermeabel yang secara umum dibuat dari
ionomer dan dirancang untuk menghantarkan proton ketika berperan sebagai suatu insulator
listrik dan penghalang reaktan, seperti untuk gas oksigen dan hidrogen. Ini merupakan fungsi
penting mereka ketika dimasukkan ke dalam membran elektrode perakitan (bahasa Inggris:
membrane electrode assembly; MEA) dari sel bahan bakar membran penukar proton atau
dari suatu elektroliser membran penukar proton: pemisahan reaktan dan pengangkutan proton
sambil menghalau jalur listrik langsung melalui membran. (wikipedia)
Sel bahan bakar membran penukar proton (proton-exchange membrane fuel
cells; PEMFC) diyakini sebagai jenis sel bahan bakar yang paling menjanjikan untuk
bertindak sebagai pengganti sumber tenaga kendaraan untuk mesin pembakaran dalam bensin
dan solar. Sel bahan bakar ini sedang dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada mobil karena
biasanya memiliki suhu operasi yang rendah (~80 °C) dan waktu mulai yang cepat, termasuk
dari kondisi beku. PEMFC beroperasi pada efisiensi 40-60% dan dapat memvariasikan output
agar sesuai dengan permintaan. Pertama kali digunakan pada 1960-an untuk Proyek Gemini
NASA, PEMFC saat ini sedang dikembangkan dan didemonstrasikan dari daya listrik ~100
kW pada mobil hingga pembangkit listrik berdaya 59 MW. PEMFC memiliki kelebihan
dibandingkan jenis sel bahan bakar lainnya seperti sel bahan bakar oksida padat (SOFC).
PEMFC beroperasi pada suhu yang lebih rendah, lebih ringan dan lebih kompak, yang
membuatnya ideal untuk aplikasi seperti mobil. Namun, beberapa kekurangannya adalah:
suhu operasi ~80 °C terlalu rendah untuk kogenerasi seperti di SOFC, dan bahwa elektrolit
untuk PEMFC harus jenuh air. (wikipedia)
Kemampuan dilewati proton atau hantaran proton menjadi kriteria penting membran.
Kemampuan ini disebut konduktivitas proton. Apabila suatu membran memiliki
konduktivitas proton tinggi, maka kemungkinan kehilangan transfer proton dari anoda ke
katoda dapat diperkecil dan bahkan dapat dihindari (Mikhailenko dkk., 2005). Membran juga
harus mengandung banyak gugus fungsi pengalir proton yang memungkinkan proton
berpindah dari satu gugus ke gugus lainnya. Sifat konduktivitas proton dari membran dapat
diperoleh dari penggunaan asam sulfat pada tahap post-polimerisasi pembentukan matriks
membran (Robertson dkk., 2003).
Direct Methanol Fuel Cell (DMFC) merupakan jenis sel bahan bakar yang
menggunakan membran penukar proton (proton exchange membrane, PEM) sebagai
penghubung antara reaksi di anoda dan katoda. Pada DMFC, anoda secara langsung bertindak

1
sebagai katalis untuk mempercepat reaksi metanol (Ladelta, 2007). Pada anoda reaksi yang
terjadi adalah oksidasi metanol menjadi karbon dioksida (CO 2). Transpor proton pada DMFC
perlu mendapatkan perhatian khusus dan detail. Proton berpindah dari anoda ke katoda
melalui membran polimer elektrolit dan berkombinasi dengan oksigen dan elektron untuk
membentuk air.
Studi terhadap pengembangan material penyusun membran konduksi proton telah
banyak dikembangkan, salah satunya adalah pengembangan membran komposit. Membran
komposit tersusun dari material polimer dan material anorganik (Cui dkk., 2007), sebagai
contoh asam fosfat-terdoping polibenzimidasol (Xiao dkk., 2005), dan polisulfon/asam
heteropoli (Smitha dkk.,2005b). Selain berfungsi sebagai kajian material baru membran
konduksi proton, pengembangan membran komposit juga dilakukan agar dapat mengontrol
sifat kimia dan fisika membran yang dihasilkan dari kombinasi perbedaan sifat kedua
komponen tersebut. Dalam penelitian Smitha dkk. (2004) dilaporkan bahwa membran
konduksi proton dapat diperoleh dari pembentukan polyelectrolyte complexes (PEC), yakni
penggabungan polyions bermuatan berlawanan (polikation dengan polianion) karena dapat
berinteraksi secara elektrostatik.

2
BAB 2
DASAR TEORI

2.1 Konsep Proton Exchange Membran (PEM)


Sel bahan bakar merupakan perangkat elektrokimia yang mengkonversi energi kimia
yang tersimpan dalam bahan bakar menjadi energi listrik (Ma dan sahai, 2013). Pada susunan
perangkat sel bahan bakar, anoda dan katoda dipisahkan oleh suatu membran lapisan tipis
yang bersifat semipermeabel atau permeabel sebagai konduktor proton (Mulder, 1996). Pada
sel bahan bakar, khususnya Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC) maupun
DMFC, PEM atau membran penukar proton merupakan membran tipis atau penghalang
bermuatan negatif yang bersifat permeabel terhadap kation atau proton. Anion tidak dapat
melewati membran ini, dikarenakan adanya gaya coulombic dalam membran
Proton internal dapat bertukar tempat dengan proton lainnya yang berada di luar fasa
kontak dengan membran. PEM yang mengalami kontak dengan spesies ionik secara
elektrostatis menarik ion positif dan menolak ion negatif. Muatan negatif yang ada pada
membran mengabsorbsi ion positif (proton) tetapi menolak ion negatif (anion) yang dikenal
dengan eksklusi Donan. Hal ini disebabkan oleh kesetimbangan termodinamik
(kesetimbangan Donnan) antara ion yang berada di larutan elektrolit dengan ion pada
membran.
(Rautenbach, 1989).
Proton ditarik kembali ke dalam larutan oleh anion yang ada di dalam larutan agar
kenetrealan muatan tetap terjaga. Hasilnya, terjadi akumulasi proton di sekitar area membran-
permukaan larutan, sehingga meningkatkan potensial listrik proton tersebut yang dikenal
dengan potensial Donnan. Pada PEM potensial Donnan secara efektif menarik proton ke
dalam membran sementara anion ke dalam larutan. Konsep serupa di atas diaplikasikan oleh
Grubb pada tahun 1959, yang mengusulkan penggunaan PEM sebagai polimer elektrolit
padat di dalam sel elektrokimia (Lee dkk., 2005). Fungsi PEM sebagai pemisah antara katoda
dan anoda. Kriteria PEM yang digunakan dalam sel bahan bakar harus memiliki karakteristik
berikut (Kerres dkk., 2002):
(1) memiliki konduktivitas proton yang tinggi,
(2) sebagai pemisah antara bahan bakar (hidrogen atau metanol) dan oksigen,
(3) tingkat permeabilitas bahan bakarnya (metanol untuk DMFC) rendah,
(4) kekuatan mekanik yang tinggi dan stabil pada suhu kerja,
(5) memiliki tingkat elektro-osmotik terhadap aliran air rendah, dan
(6) memiliki resistensi tinggi terhadap oksidasi, reduksi dan hidrolisis
Kriteria konduktivitas proton yang tinggi pada PEM sangat penting untuk menghindari
kehilangan transfer proton dari anoda ke katoda (Mikhailenko dkk., 2005). PEM harus
mengandung banyak gugus fungsi pengalir proton yang memungkinkan proton untuk
berpindah dari satu gugus ke gugus lainnya. Konduktivitas proton dari kebanyakan
polielektrolit pada PEM didapatkan dari asam sulfat dengan post-polimerisasi sulfonasi
dengan asam sulfur atau sintesis monomer sulfat (Robertson dkk., 2003). Membran elektrolit
adalah material penukar ion yang pada umumnya terdiri dari polimer di mana gugus asam
sulfat diperoleh melalui proses sulfonasi. Oleh karena itu membran jenis ini dikenal sebagai
polymer electrolyte membrane atau membran polimer elektrolit. Pada membran ini, molekul
asam diperoleh dari polimer yang tidak dapat keluar, sementara proton dari gugus asam dapat
bebas berpindah melalui membran. Kelompok sulfat yang diikat dapat menahan air yang
relatif tinggi karena meningkatnya kapasitas antifouling dan menguntungkan membran
hidrodinamik, yang juga merupakan mekanisme penting pada konduksi proton.
Dalam aplikasi sel bahan bakar, membran polielektrolit berperan mengatur difusi cairan
dan menentukan besarnya konduktivitas proton melalui jumlah proton yang bergerak
melewati
3
membran dari anoda menuju katoda. Jika proton yang bergerak melewati membran
jumlahnya sedikit, maka kinerja dari sel bahan bakar menurun. Gambar 2.1 memperlihatkan
skema perpindahan proton dalam struktur polimer PEM.

Gambar 2. 1 Skema Perpindahan Proton pada Polimer PEM (Liwei dkk., 2012)
Berdasarkan bahan bakar dan larutan elektrolit yang digunakan, PEM dibagi menjadi
beberapa jenis (Mond dan Langer dkk., 2011), yakni: Direct Metanol Fuel Cell (DMFC),
Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC), High Temperature PEMFC (HT-
PEMFC), Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC), Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC), Solid
Oxide Fuel Cell (SOFC), dan Alkaline Fuel Cell (AFC).

2.2 Dirrect Methanol Fuel Cell (DMFC)


DMFC merupakan jenis sel bahan bakar yang menggunakan PEM sebagai penghubung
antara reaksi di katoda dan anoda. Berbeda dengan sel bahan bakar hidrogen cair, asam
fosfat, maupun larutan alkalin, sel bahan bakar ini langsung memanfaatkan metanol untuk
menghasilkan energi tanpa mengubah terlebih dahulu menjadi bentuk lain. Pada DMFC
katoda secara langsung bertindak sebagai katalis untuk mempercepat terjadinya reaksi
perubahan metanol di anoda (Ladelta, 2007).

Gambar 2. 2 Skema Kerja DMFC (Ye dkk., 2012)

Gambar 2.2, menunjukkan bahwa metanol diumpankan pada anoda sesuai reaksi (2.1)
dan reaksi berlangsung dari oksidasi metanol menjadi karbon dioksida (CO2), proton dan
elektron sesuai dengan yang ditunjukkan pada reaksi (2.3). Elektron yang terbentuk
berpindah

4
keluar di mana energi listriknya dapat dimanfaatkan. Proton berpindah dari anoda ke katoda
melalui membran polimer elektrolit dan bereaksi dengan oksigen dan elektron untuk
membentuk air.

Anoda : CH3OH + H2O → CO2 + 6H+ + 6e- (2.1)


Katoda : 3/2 O2 + 6H+ + 6e- → 3H2O (2.2)
CH3OH + 3/2 O2 → CO2 + 2H2O (2.3)
Direct methanol fuel cell (DMFC) merupakan perangkat elektro kimia yang
mengubah energi kimia dari cairan berupa methanol secara langsung menjadi suber listrik.
DMFC dapat menghasilkan listrik dan panas secara kontinyu selama methanol dan oksigen
tersedia. Sebagai methanol yang mana mudah untuk dii simpan dan oksigen yang banyak
tersedia. Sebagai methanol yang mudah di simpan dan di pindahkan memiliki densitas energi
yang sangat tinggi, DMFC menampilkan dan melekat keuntungan dalam hal menghasilkan
sejumlah yang sangat banyak daya listrik dengan cairan fuel yang di simpan dalam volume
tetap. Densitas energi dari hidrogen adalah sebesar 520 Wh/L volum (in case silinder gas
dengan tekanan 2000 psi). sedangkan Methanol memiliki energi densitas sebesar 4817 Wh/L
semenjak ruang dan berat nya premium dalam kebanyakan transportasi, DMFC secara atraktif
dapat di aplikasikan untuk sistem transportasi. (Masakazu, 2013)
Di lain pihak, market smartphone berkembang secara pesat dalam rentan tahun ini.
Kapasitas dari battray ke dua yang termasuk di dalam smarth phone tidak cukup untuk
operasi harian dalam beberapa kasus. Hal ini di harapkan untuk jenis peralatan elektronik
mobile, juga dan DMFC bisa di di developkan dalam ukuran yang kecil. (Masakazu, 2013)
Prinsip dasar DMFC, oksidasi fuel cell secara langsung dalam sebuah unit cell yang
terdiri dari tumpukan Membran-electrode assembly (MEA) di antara separator, MEA
terdiri dari membran elektrolit polimer solid yang di tumpuk di antara sebuah anoda dan
katoda, dan di setiap dari anoda dan katoda terdiri dari lapisan katalis dan lapisan difusi.
Seperti hal nya oksidasi secara langsung fuel cell yang menghasilkan daya dari menyediakan
fuel dan air menuju anoda dan mensuplai oksidan dalam katoda seperti di gambar berikut:

Daya yang lebih tinggi dapat di hasilkan dengan memperbaiki (meningkatkan) luasan
ukuran MEA, atau menyusun unit cell ini. Namun, kelebihan jumlah susunan (stack) akan
menyebabkan biaya yang lebih tinggi dan reliabilitas yang rendah. Jadi, dengan memperluas
MEA merupakan cara yang ter efektif untuk menghasilkan fuel cell dengan output data yang
tinggi. (Masakazy, 2013)

5
Ada banyak cara seperti mengoptimalkan katalis dan polimer elektrolit,
mengoptimalkan struktur dari lapisan katalis menggunakan methode printing, memperbaiki
konduktifitas listrik dari tiap material, mengurangi reisitansi kontak elektrik antara tiap
komponen dan meng optimalkan kecepeatan feed dari fuel dan oksidan, mengoptimalkan
sistem secara keseluruhan juga merupakan hal penting. Rekasi kimi dari power generation ini
merupakan reaksi exothermal. Dimana mengatur panas juga merupakan salah satu issue yang
penting. (Masakazy, 2013)
Fujikura Ltd, Tokyo, telah mendevelop sistem DMFC dengan performa daya yang
tinggi. Dimana ada banyak issu untuk di pertimbangkan dalam menyelesaikan
pengembangan miniatur feed sistem fuel cell. Issu ini terkait liquid fuel storage, air supply,
pengiriman fuel, menejemen air (water), dan menejemen thermal, orientasi pengoperasian
dan stabilitas. Sistem DMFC fujikura meliputi dari aspek aspek tersebut. (Masakazu, 2013)
Development output DMFC 1 kW, sistem daya output 1 kW di kembangkan oleh
Fujikura di bawah naungan New Energi and Industrial Technology Development
Organization (NEDO). Sistem ini memuluku fitur dengan ukuran miniatur dan kapabilitas
dari 50oC air panas di hasilkan dengan menggunakan panas sisa hasil reaksi dari fuel cell. Air
panas dapat di aplikasikan untuk layanan air panas dalam kendaraan transportasi seperti
untuk keperluan hand wash dalam toilet di pesawat. (Masakazu, 2013)
Secara umum, DMFC cocok untuk miniaturisasi dari perbandingan ukuran dengan fuel
cell lain seperti hydrogen fuel cell. Namun, dalam kasus bahwa target daya output yang
besar.
Sistem desain miniatur DMFC nya sebagai berikut :

Progres kekinian pada high power DMFC prototype telah di fokuskan dalam sub sistem
fuel delivery dan gas liquid separator yang dapat di lihat dari skema di atas. Figur 2
menunjukkan skematik dari desai DMFC, dimana terdiri dari fuel cell stack, fuel tank, gas
liquid separator dan subsistem fuel delivery. Methanol dengan konsentrasi tinggi di antarkan
dengan menggunakan pompa dari fuel tank menuju gas liquid separator. Methanol di larutkan

6
menjadi 3% sampai dengan 5% kadar dari volume separator ini, dan kemudian di alirkan ke
dalam stack DMFC dengan pompa. Karbon di oksida (CO 2) sebagai produk, air dan methanol
yang tidak bereaksi dari sisi anoda dari fuel cell di alirkan kembali menuju gas-liquid
separator yang sebelum nya melewati heat exchanger yang akan menghasilkan air panas yang
bisa di manfaatkan untuk layanan air hangat seperti yang di jelaskan di atas tadi. Juga
temperatur dari fuel cell dapat di jaga dengan stabil tanpa adanya panas yang hilang.
(Masakazu, 2013)
Di lain pihak, CO2, air, dan methanol yang tidak bereaksi di hilangkan dari stack
DMFC harus di separasikan secara tuntas sehingga methanol dan air dapat di recycle kan.
Separasi dari gas dalam liquid dalam sistem fase campuran dilakukan secara tradisional yang
bergantung pada gravity. Namun metode grafity secara langsung bergantun dan karenanya
dalam adequate di dalam konteks fuel cell, dimana separasi harus terjadi di dalam semua
arah. Fujikura telah mengembangkan separator gas-liquid yang menggunakan membran
polimer gas permeable untuk memisahkan CO2 dari air dan campuran methanol (figur 3).
Separator memiliki 2 outlet, yang pertama terhubung dengan sub sistem delivery dan yang
kedua adalah exhaust CO2. (Masakazu, 2013)

2.3 Transport Proton dalam Cell


Ada 2:
a. Mekanisme vehicullar
b. Mekanisme Grotthus
Dalam memahami transpor proton secara detail, diperlukan pehamanan terlebih dahulu
tentang absorbsi air melalui membran, karena konduktivitas proton dari material polimer
sangat tergantung pada kondisi air. Proses transpor proton dalam air terjadi dalam dua proses
yang berbeda. Pertama, proses difusi larutan bebas atau sering disebut mekanisme
transportasi seperti tampak pada Gambar 2.3, di mana proton dan air yang terhidrasi
melakukan difusi melalui fasa cair. Mekanisme ini melibatkan air bebas di mana proton
berpindah melalui jalan yang berhubungan. Mekanisme ini dikenal dengan “mekanisme
vehicular”.

7
Gambar 2. 3 Arah Transpor Proton Melalui Difusi Larutan Bebas (Dhuhita dkk., 2010)
Proses yang kedua adalah loncatan proton (proton hopping) di mana proton berpindah
dengan urutan langkah yang melibatkan pembentukan / formasi dan pemutusan ikatan
hidrogen pada molekul air (Luduena dkk., 2010). Proses ini dikenal dengan mekanisme
Grotthuss pada Gambar 2.4. Loncatan proton dari H3O+ ke molekul H2O yang berdekatan
menyebabkan terlepasnya salah satu proton yang digunakan untuk membentuk ikatan
hidrogen dengan proton yang berdekatan. Maka, proton meloncat dari satu molekul air ke
molekul yang lainnya. Langkah loncatan proton ini mengakibatkan perpindahan proton
melalui molekul air menjadi sangat efektif. Difusi proton melalui membran terhidrasi dapat
melibatkan air bebas dan air terikat sekaligus. Bagaimana pun, difusi melalui air bebas
berjalan lebih lambat dibandingkan melalui air terikat. Di sisi lain, loncatan proton pada
mekanisme Grotthus dapat berlangsung pada air bebas dan air terikat juga.
Secara keseluruhan, perpindahan air dan proton meningkat seiring dengan
meningkatnya kandungan air (Devanathan dkk, 2013). Meningkatnya pergerakan proton
menyebabkan meningkatnya konduktivitas, ini merupakan hal yang penting dalam operasi
DMFC dimana tingginya perpindahan elektro osmotik pada air dalam membran memperbesar
perpindahan metanol. Hal ini memotivasi kita untuk lebih mengerti mengenai pengikatan air
pada membran sel bahan bakar.

Gambar 2. 4 Arah Transpor Proton Melalui Mekanisme Grotthus Modifikasi dari


Dhuhita dkk. (2010) dan Cukierman (2006)
Kedua mekanisme transpor proton di atas juga berlaku dalam polimer elektrolit
membran, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Deluca dkk. (2006) dan Luduena
dkk. (2010) yang menjelaskan bahwa transpor proton dalam matriks polimer secara umum
dijelaskan dari salah satu dua pokok mekanisme "proton hopping" atau "mekanisme
Grotthus" dan "mekanisme difusi" yang menggunakan air sebagai media berpindahnya atau
"mekanisme vehicle". Pada rantai polimer, proton bergerak “melompat” melalui gugus fungsi
ataupun atom yang bermuatan negatif. Pada mekanisme Grotthus, hopping proton yang
bergerak melewati membran seolah-olah ditarik oleh gugus fungsi ataupun atom yang
bermuatan negatif, sehingga
8
banyaknya gugus fungsi yang terdapat pada rantai polimer sangat menentukan banyaknya
proton yang dapat dilewatkan melalui membran. Mekanisme Grotthus menyebabkan
pembengkakan pada cluster ion karena adanya air dan membentuk mekanisme perkolasi
untuk mentransfer proton (Deluca dkk., 2006). Pada Gambar 2.5 dan Gambar 2.6, Jiang dkk.
(2008) menjelaskan terjadinya mekanisme Grotthus dan vehichle pada membran kompleks
polimer berbahan dasar matriks kitosan (CS) dengan polielektrolit anionik berupa acrylic
acid-2- acrylamido-2-methylpropane sulfonic acid (P(AAAMPS)) sebagai pemebentuk
kompleks polimer. Menurut Jiang dkk. (2008) mekanisme transpor proton yang dominan
terjadi pada membran tersebut adalah mekanisme Grotthus. (P(AA-AMPS)) memiliki
kerapatan gugus karboksil dan sulfonat yang tinggi, sebagai komponen konduksi proton.

Gambar 2. 5 Skema Mekanisme Grotthus Transpor Proton pada Membran Kompleks


Polimer CS/P(AA-AMPS) (Jiang dkk., 2008).

Gambar 2. 6 Skema Mekanisme Vehichular Transpor Proton pada Membran Kompleks


Polimer CS/P(AA-AMPS) (Jiang dkk., 2008).

Mekanisme kedua menggambarkan terjadinya transfer proton adalah mekanisme


vehichular. Pada mekanisme ini, proton bergerak melewati membran dalam kondisi
terhidrasi. Proton terhidrasi (H3O+) berdifusi melalui media berair dalam menanggapi
perbedaan
9
elektrokimia. Air yang terhubung dengan proton (H+(H2O)x) hasil dari hambatan
elektroosmosis mentransfer satu atau lebih molekul air melalui membran. Fungsi utama dari
pembentukan mekanisme vehichular adalah adanya volume bebas dalam rantai polimer untuk
proton terhidrasi melalui membran (Deluca dkk, 2006). Gambar 2.6 menggambarkan secara
sederhana mekanisme vehichular yang terjadi dalam membran elektrolit berbahan dasar CS.

2.4 Konduktivitas Proton dalam Cell


Konduktivitas proton (σ) merupakan salah satu sifat yang paling penting untuk
konduksi proton membran yang digunakan dalam sel bahan bakar (Cui dkk., 2009).
Konduktivitas proton pada membran elektrolit polimer merupakan ukuran kemampuan
membran dalam menghantarkan proton. Pada eksperimen di laboratorium, pengukuran
konduktivitas proton dilakukan menggunakan beberapa metode, seperti four-point alternating
current impedance spectroscopy (Ren dkk., 2013), AC impedance dengan pengukuran dua sel
elektroda (Li dkk., 2007), metode dua-probe (Vona dkk., 2008), atau dengan electrochemical
impedance spectroscopy (Rahmatulloh, 2013). Dari beberapa metode pengukuran tersebut,
didapat nilai R untuk menentukan konduktivitas proton yang ditentukan dengan persamaan:
𝐿
𝜎=
𝐴. 𝑅
Dengan, :
σ adalah konduktivitas proton (S cm-1), L (cm) dan A (cm2) masing-masing adalah ketebalan
dan luas area membran yang diuji, dan R adalah hambatan membran pada keadaan khusus.
Pada penelitian secara teoritis menggunakan pendekatan komputasi, besarnya
konduktivitas proton dalam membran ditentukan dari jumlah proton yang bergerak melewati
membran dari anoda menuju katoda. Jika proton yang bergerak melewati membran
jumlahnya sedikit, maka konduktivitas proton membran rendah dan sebaliknya. Kondutivitas
proton pada suatu membran berhubungan dengan hambatan energi (barrier energy) dalam
membran (Devanathan dkk., 2013). Apabila hambatan energi rendah maka proton dapat
berpindah melewati membran dengan mudah menuju katoda sehingga konduktivitas proton
dalam membran meningkat atau tinggi, dan sebaliknya. Selain hambatan energi, potensial
energi masing-masing molekul penyusun membran juga berpengaruh pada transpor proton
dan konduktivitas proton membran. Apabila terjadi perbedaan potensial energi tidak terlalu
yang tinggi pada membran dan linkungan sistem, maka lompatan proton dapat terjadi dengan
mudah.

2.5 Mekanisme Komputasi Transport Proton dalam Membran Elektrolit


Perhitungan Ab initio digunakan sebagai perhitungan untuk penelitian tentang transpor
proton karena elektron-elektron yang ada bersifat eksplisit yaitu membutuhkan waktu
pengamatan yang cukup pendek. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dapat diamati
melalui ikatan pada gugus fungsi yang digunakan. Salah satu metode yang digunakan adalah
self-consistent multistate empirical valence bonds (SCI-MS-EVB). Metode tersebut sangat
krusial dalam mempelajari sistem yang bersifat asam contohnya pada membrane
perfluorosufonateacid (PFSA) (Tse dkk., 2013). Transpor proton dalam membran penukar
proton dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki kekutan mekanik dan konduktivitasnya.
Membran ideal untuk mempelajari transporasi proton di bawah tingkat hidrasi (λ) yang
berbeda, biasanya dinyatakan dalam satuan molekul H2O tiap kelompok SO3-, dikenal dengan
Nafion yang dikembangkan oleh DuPont Inc. Nafion merupakan polimer acak yang memiliki
backbone poly tetrafluoroethylene hidrofobik dengan rantai samping diakhiri oleh liontin
asam perfluorosulfonik. Panjang backbone, sisi panjang rantai dan suasana kimia dapat
divariasi untuk memodifikasi sifat transporasi.
Nafion telah dipelajari secara ekstensif selama hampir setengah abad, baik melalui
eksperimental (Mauritz dan Moore, 2004) dan modeling data Devanathan dkk. (2008), Elliot
1
dan Paddison (2007) dan Kreuer dkk. (2004) tersedia untuk validasi. Nafion melakukan
perannya dengan baik sebagai PEM sel bahan bakar pada suhu di bawah 85°C, meskipun ada
kekhawatiran tentang biaya, tarikan elektro-osmotik molekul air dengan proton, dan bahan
bakar (metanol) melewati membran (crossover). Nafion masih menjadi membrane pilihan
dibanding membrane lainnya.
Meskipun studi ekstensif terhadap rincian tingkat molekular, morfologi membran,
lompatan proton (proton hopping), dan transporasi molekul kecil kurang dipahami, karena
proses dinamika pada skala subnanometer dan subnanosecond tidak mudah diamati pada
percobaan. Misalnya, terdapat beberapa model yang berbeda dari morfologi Nafion terhidrasi
tanpa bukti yang mendukung representasi tertentu (Mauritz dan Moore (2004), Hsu dan
Gierke (1982), Schmidt dan Chen (2008). Simulasi komputer mulai dari tingkat molekuler
dengan perhitungan ab initio dan memperluas skala nanometer dengan metode mesoscale dan
model kontinum dapat melengkapi pemahaman eksperimental dengan mengisi kesenjangan
pengetahuan.
Beberapa paradigma pemodelan diperlukan, karena proses seperti proton hopping,
water clustering, dan fluktuasi polimer terjadi pada skala panjang dan waktu yang berbeda,
dan belum dimilikiinya skema tunggal yang dapat menjembatani skala yang berbeda.
Komputasi pada Nafion diwakili dengan perhitungan kimia kuantum, studi empiris
menggunakan model ikatan valensi, simulasi ab initio molecular dynamics (AIMD), quantum
hopping MD25 dan simulasi klasik MD, dan pemodelan penelitian mesoscale.
Penelitian sebelumnya menggunakan perhitungan teori fungsioal kerapatan (density
functional theory, DFT) menunjukkan transporasi proton dari gugus asam dalam Nafion ke
H2O membutuhkan nilai λ tiga atau lebih tinggi (Paddison, 2001). Simulasi klasik MD yang
dilakukan Devanathan dkk. (2010) menunjukkan bahwa cluster molekul H2O terisolasi
-
sekitar gugus SO3 untuk λ < 5 dan kluster ini mulai menghubungkan dan membentuk dari
jaringan perkolasi dengan λ meningkat di atas 5. Keterbatasan deskripsi klasik proton H3O+
telah digambarkan oleh Petersen dkk. (2005) melalui simulasi empiris multistate ikatan
valensi pada Nafion untuk dua nilai λ. (Petersen dan Voth, 2006) kemudian menggolongkan
transportasi proton menjadi proton hopping dan komponen vehicular transpor yang serupa
jaraknya tetapi tidak saling berhubungan sehingga keseluruhan difusi proton makhluk lebih
kecil dari komponen individu.
Pada simulasi solvasi dan transporasi proton (Feng dkk., 2012) dalam Nafion
menggunakan metode empiris ikatan valensi multistate selfconsistent berulang telah
mengungkapkan pengaruh gugus sulfonat pada struktur hidrasi proton. Proton hopping dan
vehicular transpor tidak saling berhubungan. Koefisien difusi proton keseluruhan memiliki
kecocokan yang tinggi dengan observasi eksperimen (Zawodzinki dkk., 1995) untuk nilai λ 6,
10 dan 15, walaupun koefisien difusi vehicular lebih tinggi daripada koefisien difusi proton
dalam eksperimen dengan faktor 3.
Salah satu masalah yang paling mendasar dalam transporasi proton adalah dinamika
kompleks proton karena mengambil keuntungan dari molekul air sekitar untuk melompat di
seluruh cluster hidrogen terikat daripada hanya mengikuti difusi vehicular dari molekul air
yang terpasang pada suatu saat tertentu. Untuk lingkungan molekuler yang kompleks, seperti
yang ditemui di PEMs, metode teoritis yang bertujuan untuk menggambarkan transporasi
proton akurat pada kebutuhan tingkat molekuler untuk menangkap distorsi dinamis ini

2.6 Metode Mengamati Mekanisme dinamikaTransport Proton


Kemampuan mengamati transpor proton dimiliki oleh metode ab initio molecular
dynamic (AIMD). Pemilihan metode simulasi jenis ini didukung oleh beberapa studi terbaru
dalam Paddison dkk., 2001; Choe dkk., 2009; Habenicht dkk., 2010; Ilhan dan Spohr, 2011a,

1
2011b telah melakukan simulasi AIMD proton dalam Nafion terhidrasi untuk memahami
mekanisme dinamika proton.
Choe dkk. (2009) menggunakan simulasi AIMD pada transporasi proton dalam sistem
Nafion sederhana yang mengandung dua monomer sekitar 20 ps. Dua nilai λ, 1.25 dan 12.75
telah diamati. Para peneliti ini menemukan hambatan transisi dari sepasang ion kontak
(contact ion pair, CIP) dengan gugus sulfonat ke sepasang ion pelarut-terpisah cukup tinggi
untuk nilai λ yang lebih rendah. Namun, perhitungan koefisien difusi proton jauh lebih tinggi
daripada hasil eksperimen (Zawodzinski dkk., 1995).
Ilhan dan Spohr (2011) mempelajari simulasi molekul H2O dalam pori Nafion
menggunakan AIMD. Proton ditemukan sebagai pemisah dan pembentuk CIPS di λ = 3.
Meningkatkan tingkat hidrasi menjadi 4,5 sehingga meningkatkan pula populasi konfigurasi
H5O2+. Namun, salah satu dimensi dari sel simulasi ini sangat kecil (5,4 Å), dan hal ini
menyebabkan artefak dari atom S berinteraksi dengan gambar periodiknya sendiri.
Devanathan dkk. (2013) telah melakukan simulasi AIMD proton hopping pada tiga
tingkat hidrasi yang berbeda, nilai-nilai λ dari 3, 9, dan 15, dalam sel simulasi Nafion besar (~
20 × 24 × 27 Å) yang sebelumnya diseimbangkan menggunakan simulasi MD klasik.
Diperoleh wawasan dasar tingkat molekuler proton hopping dalam model PEM. Proton
terhidrasi pada gugus sulfonat dalam bentuk sepasang ion kontak dalam membran hampir
kering (λ = 3). Proton juga dapat berpindah ke grup sulfonat pada tingkat hidrasi rendah.
Seiring dengan peningkatan λ, hambatan untuk transfer proton dari pasangan ion kontak
pelarut ke pasangan ion terpisah menurun, molekul air membentuk cluster meresap
(percolating cluster), dan proton mampu melompat melalui jaringan air mengunjungi
beberapa grup sulfonat. Dalam lingkungan membran terbatas, cacat protonik ada sebagai
kation H5O2+, H7O3+, dan H9O4+ untuk nilai λ dari 9 dan 15, sesuai dengan pengamatan
eksperimental pada proton terbatas pada nanotube. Diperoleh koefisien difusi proton sebesar
0,9 × 10-5 cm2/s untuk λ = 15 sesuai dengan tren eksperimental dan dominasi berlebihan dari
vehicular proton transpor di Nafion terhidrasi. Habenicht dkk. (2010) menggunakan
simulasi AIMD untuk memeriksa transfer proton dalam satu karbon nanotube berdinding
dengan tertambat gugus CF2SO3H untuk nilai λ dari 1 sampai 3 (model membran hampir
kering). Pada tingkat hidrasi rendah, proton terpisah ditemukan sebagai ion H3O+. Simulasi
AIMD Car-Parrinello juga dilakukan Park dkk. (2007) dan Kulig dan Agmon (2013) di E-
isomer, tercatat bahwa mode getaran memiliki peran cukup penting dalam mobilitas proton,
sehingga mode tersebut diidentifikasi sebagai "proton transfer
mode” (PTM) untuk larutan asam encer.
Simulasi AIMD melibatkan classical nuclear dynamic dengan force yang diperoleh dari
tiap langkah penyelesaian persamaan Schrödinger untuk elektron menggunakan DFT dengan
pendekatan campuran Gaussian dan Plane-Wafe (GPW).

2.7 Membran PEM Nafion


Sturktur Nafion
Nafion adalah suatu fluoropolimer-kopolimer berbasis tetrafluoroetilena tersulfonasi yang
ditemukan pada akhir tahun 1960-an oleh Walther Grot dari DuPont.[1] Polimer ini
merupakan kelas polimer sintetik pertama dengan sifat ionik yang disebut ionomer.
Keuinikan sifat ionik yang dimiliki Nafion merupakan hasil dari penggabungan gugus eter
perfluorovinil dengan gugus sulfonat pada kerangka tetrafluoroetilena (Teflon).[2][3] Nafion
telah menerima cukup banyak perhatian sebagai konduktor proton untuk membran pertukaran
proton (PEM) sel bahan bakar karena stabilitas termal dan mekanik yang sangat baik.
(wikipedia)
Dasar kimia bagi sifat konduktif superior yang dimiliki Nafion masih menjadi fokus

1
penelitian. Proton pada gugus SO3H (asam sulfonat) "lompat" dari satu lokasi asam yang lain.
Pori-pori memungkinkan pergerakan kation namun membran
tidak

1
mengkonduksi anion atau elektron. Nafion dapat diproduksi dengan berbagai konduktivitas
kationik. (wikipedia)

Rumus kimia C7HF13O5S . C2F4


Ionomer..
Ionomer (/ˌaɪˈɑːnəmər/) (iono- + -mer) adalah suatu polimer yang terdiri dari satuan
berulang dari baik satuan berulang yang bermuatan netral dan satuan terionisasi (biasanya
tidak lebih dari 15 persen mol) yang terikat secara kovalen pada tulang punggung polimer
sebagai rantai samping fungsional. Hal ini berarti bahwa sebagian besar ionomer merupakan
kopolimer dari segmen netral dan satuan terionisasi, yang biasanya terdiri dari gugus asam
karboksilat. (wikipedia)
Ionomer memiliki sifat fisik yang unik termasuk konduktivitas
listrik dan viskositasnya—meningkat dalam viskositas larutan ionomer dengan meningkatnya
suhu. Ionomer juga memiliki sifat morfologi yang unik sebagai tulang punggung polimer
non- polar yang secara energetik tidak sesuai dengan gugus ionik polar. Akibatnya, gugus
ionik di sebagian besar ionomer akan menjalani pemisahan mikrofase untuk membentuk
domain yang kaya ion. (wikipedia)
Aplikasi komersial untuk ionomer termasuk sebagai pelapis bola golf, membran
semipermeabel, pita segel dan elastomer termoplastik. Contoh umum dari ionomer
termasuk polistirena sulfonat, Nafion dan Hycar. (wikipedia)
Sintesis Ionomer, Biasanya sintesis ionomer terdiri dari dua tahapan – pengenalan
gugus asam ke dalam tulang punggung polimer dan netralisasi beberapa gugus
asam oleh kation logam. Dalam kasus yang sangat jarang, gugus yang diperkenalkan sudah
dinetralisasi oleh kation logam. Langkah pertama (pengenalan gugus asam) dapat dilakukan
dengan dua cara; monomer non-ionik netral dapat dikopolimerisasi dengan monomer yang
mengandung gugus samping asam atau gugus utama yang bersifat asam dapat ditambahkan
ke dalam polimer non-ionik melalui modifikasi pasca-reaksi. Sebagai contoh, asam etilena-
metakrilat dan perfluorokarbon sulfonat (Nafion) disintesis melalui kopolimerisasi sementara
polistirena sulfonat disintesis melalui modifikasi pasca-reaksi. (wikipedia)
Gugus Politetrafluoroetilena (PTFE)
adalah fluoropolimer tetrafluoroetilena sintetis. Senyawa polimer ini lebih dikenal
dengan nama dagang Teflon. Teflon diciptakan oleh Roy J. Plunkett (1910–1994)
di DuPont pada tahun 1938 dan diperkenalkan sebagai produk yang dikomersialkan pada
tahun 1946. Senyawa ini merupakan fluoropolimer termoplastik. (wikipedia)
Teflon disebut juga polimer etilena fluorin. (C2F4)n

1
"Teflon" juga digunakan sebagai merek dagang polimer yang memiliki sifat serupa yaitu resin
polimer perfluoroalkoksi (PFA):

PTFE memiliki koefisien gesek terendah dari berbagai bahan padat yang biasa
digunakan. PTFE digunakan sebagai pelapis antilengket untuk panci, wajan, dan peralatan
memasak lainnya. PTFE sangat tidak reaktif, dan sering digunakan sebagai bahan wadah dan
pipa untuk bahan kimia yang reaktif. Titik lelehnya bervariasi antara 260 °C (FEP) dan 327
°C (PTFE), tergantung dari polimer Teflon tertentu. (wikipedia)

Sulfonat dan sulfonasi dalam suatu membran


Asam benzena sulfonat adalah suatu anggota dari kelas senyawa organosulfur dengan
rumus umum R−S(=O)2−OH, di mana R adalah suatu gugus alkil atau aril organik dan gugus
S(=O)2−OH merupakan suatu sulfonil hidroksida.[1] Suatu asam sulfonat dapat diibaratkan
sebagai asam sulfat dengan satu gugus hidroksil digantikan oleh suatu gugus substituen.
Senyawa induk (dengan substituen organik digantikan oleh hidrogen) merupakan senyawa
hipotesis asam sulfur. Garam atau ester asam benzena. (wikipedia)

Struktur umum asam sulfonat dengan warna biru menandakan gugus fungsi

Preparasi Sulfonat,
Asam sulfonat diproduksi melalui proses sulfonasi. Biasanya agen sulfonasi yang
digunakan adalah sulfur trioksida. Suatu aplikasi skala sangat besar dari metode ini adalah
produksi asam alkilbenzenasulfonat:
RC6H5 + SO3 → RC6H4SO3H

1
Dalam reaksi ini, sulfur trioksida merupakan suatu elektrofil dan hidrokarbon
aromatik menjalani reaksi substitusi elektrofilik aromatik.
Tiol dapat dioksidasi menjadi asam sulfonat:
RSH + 3⁄2 O2 → RSO3H
Beberapa asam sulfonat, seperti asam perfluorooktanasulfonat, disiapkan
melalui fluorinasi elektrofilik dari asam sulfonat pra-bentuk. Konversi bersih dapat
direpresentasikan secara sederhana yaitu:
C8H17SO3H + 17 F2 → C8F17SO3H + 17 HF
Sifat Sulfonat,
Asam sulfonat adalah asam yang jauh lebih kuat dibanding asam karboksilat yang
sesuai. Asam p-toluenasulfonat, dengan pKa sebesar −2.8, memiliki keasaman sekitar satu juta
kali lebih kuat dari asam benzoat, dengan pKa sebesar 4.2. Serupa dengan itu, asam
metanasulfonat, pKa = −1.9, juga memiliki keasaman sekitar satu juta kali lebih kuat dari
asam asetat. Karena polaritas mereka, asam sulfonat cenderung berupa padatan kristal.
Karena keasaman yang tinggi, asam sulfonat sering larut dalam air atau memperlihatkan sifat
seperti- deterjen. (wikipedia)
Struktur asam sulfonat diilustrasikan oleh prototipe, asam metanasulfonat. Gugus
sulfonat asam, RSO2OH memiliki pusat sulfur tetrahedral, yang berarti bahwa belerang
berada di pusat empat atom: tiga atom oksigen dan satu karbon. Geometri keseluruhan pusat
sulfur mengingatkan pada bentuk asam sulfat. (wikipedia)

Aplikasi sulfonat dalam suatu membran,


Sebagai asam kuat, asam sulfonat juga digunakan sebagai katalis. Contoh yang
sederhana adalah asam metanasulfonat, CH3SO2OH dan asam p-toluenasulfonat, yang
biasanya digunakan dalam kimia organik dalam bentuk asam yang lipofilik (larut dalam
pelarut organik). Asam sulfonat polimerik juga berguna. Resin Dowex adalah turunan asam
sulfonat dari polistirena dan digunakan sebagai katalis dan untuk pertukaran ion
(pelunakan air). Nafion, asam sulfonat polimerik terfluorinasi adalah komponen dari
membran pertukaran proton dalam sel bahan bakar. (wikipedia)

Nafion, asam sulfonat polimerik terfluorinasi yang berguna dalam sel bahan bakar.

Sulfonasi adalah suatu reaksi organik di mana suatu atom hidrogen pada hidrokarbon
aromatik digantikan oleh suatu asam sulfonat (SO3H) dalam suatu substitusi elektrofilik
aromatik.[1] Asam aril sulfonat digunakan sebagai bahan utama dari detergen.[2] Bahan ini juga
digunakan sebagai bahan dasar dari pewarna dan obat-obatan. (wikipedia)

1
Sebuah hidrokarbon aromatik atau arena (kadang juga disebut hidrokarbon
aril) adalah hidrokarbon dengan ikatan tunggal dan atau ikatan ganda di antara atom-atom
karbonnya. Konfigurasi 6 atom karbon pada senyawa aromatik dikenal dengan cincin
benzena. Hidrokarbon aromatik dapat berupa monosiklik atau polisiklik. (wikipedia)
Beberapa senyawa aromatik yang bukan merupakan turunan benzena disebut
dengan heteroarena, senyawa-senyawa ini mengikuti Aturan Hückel. Pada senyawa-
senyawa ini, paling sedikit ada satu atom karbon yang digantikan oleh atom
lainnya, misalnya oksigen, nitrogen, atau sulfur. Salah satu contohn senyawanya adalah
furan, sebuah senyawa heterosiklik cincin yang mempunyai 5 anggota, salah satunya atom
oksigen. Contoh lainnya adalah piridina, sebuah senyawa heterosiklik cincin dengan 6
anggota, salah satunya atom nitrogen. (wikipedia)
Ciri senyawa aromatis adalah mempunyai ikatan rangkap yang terkonjugasi, namun
sifatnya tidak sama dengan alkana khususnya sifat kimianya, dimana senyawa aromatis tidak
mengalami reaksi adisi. Sifat kearomatisan (aromatisitas) suatu senyawa harus memenuhi
tiga kriteria sebagai berikut:

 Senyawa tersebut harus siklik


 Molekul tersebut harus datar (hampir datar), dengan hybrid yang memenuhi adalah sp2
 Memenuhi kaidah Huckel dengan sistem (4n+2)e¶, dengan n = 0, 1, 2, 3 . . ., dengan
elektron ¶ yang terkonyugasi. Elektron ¶ adalah elektron pada ikatan ¶ atau orbital p (non
bonding electron = n.
Senyawa aromatis yang paling banyak adalah benzene dan derivatnya (benzene
tersubtitusi).
Mekanisme reaksi sulfonasi
Mekanisme reaksi sulfonasi melibatkan pemanasan senyawa aromatik dengan asam
sulfat:
C6H6 + H2SO4 → C6H5SO3H + H2O
Sulfur trioksida atau derivat terprotonasinya merupakan elektrofil sebenarnya
dalam substitusi elektrofilik aromatik.
Untuk menuju kesetimbangan, agen pendehidrasi seperti tionil klorida dapat
ditambahkan.
C6H6 + H2SO4 + SOCl2 → C6H5SO3H + SO2 + 2 HCl
Asam klorosulfat dapat pula menjadi agen pendehidrasi yang efektif:
C6H6 + HSO3Cl → C6H5SO3H + HCl
Berbeda dengan nitrasi aromatik dan kebanyakan substitusi elektrofilik aromatik
lainnya reaksi ini merupakan reaksi bolak-balik (reversibel). Sulfonasi berlangsung dalam
kondisi asam pekat dan desulfonasi dilakukan dalam asam encer berair yang panas.
Kedapatbalikan ini sangat berguna dalam melindungi sistem aromatik karena kedapatbalikan
tersebut. (wikipedia)

1
Sulfur trioksida adalah bahan aktif dalam banyak reaksi sulfonasi.

mekanisme sulfonasi

Preparasi Nafion
Turunan Nafion pertama disintesis melalui kopolimerisasi tetrafluoroetilena (TFE)
(monomer dalam Teflon) dan suatu turunan dari perfluoro (alkil vinil eter) dengan asam
sulfonil fluorida. Pereaksi terakhir dapat disiapkan melalui pirolisis oksida atau asam
karboksilat bersangkutan untuk menghasilkan struktur terolefinasi. (wikipedia)
Produk yang dihasilkan adalah suatu termoplastik mengandung gugus -SO2F
yang diekstrusi ke dalam film. Larutan NaOH panas mengkonversi gugus sulfonil fluorida (-
SO2F) tersebut menjadi gugus sulfonat (-SO3−Na+). Bentuk Nafion ini, disebut sebagai
bentuk netral atau garam, pada akhirnya dikonversi ke bentuk asam yang mengandung gugus
asam sulfonat (-SO3H). Nafion dapat dicetak menjadi film tipis dengan pemanasan dalam
alkohol berair pada 250 °C dalam suatu autoklaf. Dengan proses ini, Nafion dapat digunakan
untuk menghasilkan film komposit, melapisi elektrode, atau memperbaiki kerusakan
membran. (wikipedia)
Proses produksi ini cukup mahal.
Sifat Nafion
Kombinasi dari kerangka Teflon stabil dengan gugus sulfonat yang bersifat
asam memberikan Nafion karakteristik:

 Sangat konduktif bagi kation, sehingga cocok untuk banyak aplikasi membran.
 Tahan terhadap serangan kimia. Menurut DuPont, hanya logam alkali
(khususnya natrium) dapat menurunkan Nafion di bawah suhu dan tekanan
normal.
 Kerangka Teflon bertautan dengan gugus sulfonat ionik memberikan
Nafion suhu operasi yang tinggi, misalnya hingga 190 °C, namun, dalam bentuk

1
membran, hal ini tidak memungkinkan karena hilangnya air dan kekuatan
mekanik.
 Merupakan katalis superasam. Kombinasi rangka terfluorinasi, gugus asam
sulfonat, dan efek stabilisasi dari matriks polimer membuat Nafion asam yang
sangat kuat, dengan pKa ~ -6. Dalam hal ini Nafion menyerupai asam
trifluorometanasulfonat, CF3SO3H, walaupun Nafion merupakan asam lemah
dengan sedikitnya tiga lipat lebih.
 Sangat selektif dan sangat permeabel dalam air.
 Konduktivitas protonnya sebesar 0.2 S/cm bergantung pada suhu dan keadaan
hidrasi
 Fase padat dan fase berair Nafion keduanya permeabel terhadap gas, yang
merupakan kelemahan bagi perangkat konversi energi seperti sel bahan bakar,
dan elektroliser air.

Aplikasi Nafion
Sifat yang dimiliki Nafion membuatnya sesuai untuk berbagai aplikasi. Nafion telah
digunakan dalam sel bahan bakar, perangkat elektrokimia, produksi klor-alkali, pemulihan
ion logam, elektrolisis air, penyepuhan, pengolahan permukaan logam, baterai,
sensor, sel dialisis Donnan, pelepasan obat, pengeringan gas atau humidifaksi, dan katalisis
superasam untuk produksi bahan kimia. Nafion juga sering disebutkan atas potensi teoretis
(yaitu, sejauh ini belum teruji) dalam sejumlah bidang.
Nafion termodifikasi untuk PEM sel bahan bakar, Normalnya, Nafion akan
terdehidrasi (karenanya kehilangan konduktivitas proton) ketika suhu berada di atas ~80 °C.
Batasan ini menjadi masalah dalam desain sel bahan bakar, karena suhu yang tinggi lebih
disukai untuk efisiensi yang lebih baik serta toleransi CO pada katalis platina. Silika dan
zirkonium fosfat dapat digabungkan dalam jaringan air Nafion melalui reaksi kimia in situ
untuk meningkatkan suhu kerja menjadi di atas 100 °C.

1
BAB 3
Review Jurnal DMFC :

‘’Amino Acid Functionalized Graphene Oxide Based Nanocomposite Membrane


Electrolytes for Direct Methanol Fuel Cells
‘’Asam Amino Difungsikan Graphene Berbasis Membran Elektrolit Nanocomposite
untuk Direct Methanol Fuel Cell’’

3.1. Latar Belakang (Pengenalan) Jurnal


Performa Direct methanol fuel cell (DMFC) utamanya bergantung pada membran
exchange proton (PEM) dimana berperan sebagai separator antara anode dan katode
memfasilitasi transport ion [1]. Sifat penting dari PEM terdiri dari temperatur tinggi, stabilitas
mekanis dan kimia sepanjang dengan karakteristik barrier methanol. Naflon secara luas di
gunakan PEM untuk DMFC dikarenakan tingginya konduktivitas ion, fleksibilitas, dan
stabilitas [2]. Secara umum. Naflon memiliki rantai utama yang sangat hidrophobic dan
sangat hidrophilic asam sulfat, dan dalam kehadiran di air, pemisahan nanophase antara
bagian hidrophobic / hidrophilic dan golongan agregat asam sulfat untuk membentuk gugus
ionic (ionic cluster), bertanggung jawab untuk transport dari proton. Namun, melalui gugus
ino ini, methanol dapat selalu sebagai permeat seperti gugus nya yang lebih besar dalam
ukuran dan terhubung dengan baik. Semenjak permeabilitas methanol melalui Nafion tinggi,
dapat memiliki dampak yang merugikan pada katode selama pengoperasian DMFC [3]. Maka
sangat penting untuk mendesain alternatif PEM untuk DMFC yang dapat memitigasi
(mengurangi dampak) dari cross over methanol dari anode menuju katode selama reaksi.
Dalam sudut pandang ini, beberapa alternatif polimer aromatic yang tersulfonasi seperti
polyether sulfon dan polyeter eter keton, [4-7], polimer aliphatic seperti polyvinil alcohol
[8.9] dan polimer alam yaitu alginate [10] dan chitosan [11,12] secara ekstensif di pelajari
sebagai membran komposit elektrolit dalam DMFC.
Diantara semua polimer di atas, poliether ether ketone yang tersulfonasi (Sulfonated
Polyether Ether Ketone ) (SPEEK) secara ekstensif di eksplorasi kan polimer untuk
membentuk membran elektrolit dalam DMFC di karenakan stabilitas mekanis dan kimia yang
superiror. Perbedaan nyata antara Naflon dan SPEEK adalah ter atribut nya terhadap fase
separasi hidophilic / hodriphobic keasaman (acidity) dari golongan asam sulfonat. Tidak
seperti Naflon, perbedaan fase hidrophobic dan hidrophilic dengan SPEEK adalah lebih
rendah, dimana rantai utama nya lebih tidak hirodphobic dan dalam SPEEK terhidrasi,
salurannya sempit dan lebih bercabang [13]. Maka transport dari methanol terbatas melalui
saluran ini dalam menghasilkan permeabilitas methanol yang lebih rendah [14]. Namun,
konduktivitas proton dari SPEEK lebih rendah dari saluran yang ada ini sebagai kaontong
dead end dikarenakan kurang nya interkonektivitas di antara nya. Kelemahan lain dari
SPEEK juga selalu terjadi swelling yang lebih tinggi dengan peningkatan derajad sulfonasi
dan stabilitas mekanis menurun secara signifikan akibat dari durabilitas PEM secara jangka
panjang [15]. Untuk mengatasi masalah ini, banyak protokol telah di ubah seperti mencampur
SPEEK dengan zat additif organik [16,17] dan membentuk SPEEK komposit menggunakan
beragam zat additif an organik [18,19].
Baru baru ini, karbon nanomaterial telah menarik banyak perhatian selama penelitit
dalam zat additif di SPEEK di karenakan kekuatan mekanis yang tinggi yang dapat
membataasi permeabilitas metanol dalam DMFC. Namun, fungsionalisasi yang cocok adalah
penting untuk
2
material ini untuk memperhalus tuning konduktifitas elektrik nya, untuk mencapai dispersi
homogen dalam matrix polimer. Misal nya, Swati dkk mempreparasikan membran komposit
dari SPEEK -carboxilic dan sulfonic acid functionalized CNT dan di studikan thd pengaruh
dalam stabilitas mekanik, konduktifitas proton dan permebilitas methanol [20]. Demikian
pula asam phosponiic di fungsionalisasikan CNT yang juga direalisasikan sebagai additif
dalam matrix SPEEK oleh Wen Zhang dkk [21]. Dalam laporan awal awal dari SPEEK-
PSSA-CNT, peningkatann selektifitas elektrochemical di capa dimana CNT telah di
cangkokkan dengan polystyrene sulfonic acid (PSSA) dan dimasukan dalam matrix SPEEK
[22].
Saat ini, Graphene oxide (GO) telah muncul sebagai additif yang layak dalam SPEEK
dan beberapa report literatur penting menjelaskan keuntungan dari GO dalam hal
meningkatkan stabilitas mekanik dan sifat methanol barrier. GO adalah insulator elektrik
dengan stabilitas mekanik yang tinggi, selektivitas ion dan kompatibilats interfasial [23].
Permukaan dari GO terdiri dari sejumlah besar golongan fungsi oksidan dan Di hadapan air,
kelompok-kelompok fungsional ini cenderung: berdisosiasi menghasilkan ion bermuatan
negatif yang membentuk nano-kapiler dalam GO yang merupakan jalur untuk molekul air
dan proton [24,25]. Sebagai contoh, zhongqing Jiang dkk melaporkan sodium dodecyl
benzene sulfonic acid funcionalized GO dalam SPEEK untuk membatasi permeabilitas
methanol, dimana SDBS di adsorb di atas GO doleh ππ stacking [7]. Demikian pula,
sulfonated organosilane functionalized GO telah di eksplor sebagai aditif dalam SPEEK
dengan efek nya sebagai elektrolid dalam SPEEK [6]. Penggabungan dari GO dan SDBS GO,
SSi-GO mengurangi ukuran gugus ion SPEEK dari 1.96 menjadi 1.85, 1.76 dan 1.75 masing
masing dengan demikian membatasi permeabilitas methanol melalui membran. Yuseon Heo
dkk melaporkan membran komposit dari SPEEK menggunakan sulfonated GO sebagai aditif
dimana GO di fungsionalisasikan dengan golongan asam sulfonat yang terdiri dari prophane
sultone sebagai sulfonating precusor (pendahulu). Peningkatan signifikan dalam konduktifitas
proton dan pembatasan permeabilitas methanol telah di observasi dengaan protokol ini [26].
Dari literatur di atas, dapat di lihat struktur dari karbon nano additif, secara fungsionalisasi
adequat kearah bersamanya dispersi polimer untuk membentuk membran komposit adalah
penting dan dampak yang besar dari performa nya sebagai elektrolit dalam DMFC.
Studi saat ini mengupayakan fungsionalisasi yang unik dari GO dengan aspartic acid,
keluarga asam amino yang terdiri dari interaksi ion Zwitter untuk transport ion yang lebih baik
melalui aditif dalam matrix SPEEK. Asam amino yang terdiri dari keduanya yaitu golongan
amine (NH2) dan asam karboxylic (-COOH) dan berperan dalam role secara signifikan di bio
synthesis yang melibatkan transport proton [27]. Asam amino secara umum terdiri dari ion
zwitter melalui intramolekul proton exchange, sebagai hasil dari asam amino dapat berperan
sebagai kedua nya yaitu donor proton dan aseptor dan maka sebagai mediasi transport proton.
Di antara beberapa asam amino, asam aspartic telah di pilih dari studi yang di tampilkan ini
sebagai fungsionalisasi GO karena kehadian nya yang lebih dari asam golongan asam
karboxyl yang dapat mendukung transport ion. Dalam studi ini aspartic acid funcuinalized
GO telah di preparasikan dengan reaksi kondensasi antara golongan amino dan aspartic acid
dan golongan carboxyl acid pada GO. Membran Komposit SPEEK-ASPGO menunjukkan
lebih meningkat nya stabilitas mekanik dan selektifitas elektrokimia yang meningkat di
karenakan peningkatan konduktifitas proton dan berkurangnya permeabilitas methanol dalam
aplikasi DMFC

2
3.2. Struktur Bahan dasar, Karakteristik raw Material,
Komponen Material dalam Jurnal ini meliputi :
a. SPEEK (Sulfonated Poly (Ether Ether Ketone)
b. GO (Graphene Oxide)
c. ASPGO (Amino Acid Functionalized Graphene Oxide)
a. SPEEK
Sulfonated poly (ether ether ketone) (SPEEK, MW = 50,000 g/mol, Mn =14,000 dengan
1,4 meq/g dan derajat sulfonasi (DS) 54%) telah di peroleh dari FuMA-Tech GmbH,
Jerman. Serpihan graphit di beli dari sigma Aldrich. Aspartic acid, ethyl chloro
formate N-methylmorpholine, N,N-dimethyl formamide dan N, N-dimethyl
acetamide di dapatkan dari Acros organics. Secara komersil elektroda (anode PT-Ru
(40:20)/C dan katoda PT/C) telah di dapatkand ari Alfa Aesar, UK. Katalis memuat dari
kedua elektroda adalah 2 mgcm -2. Deionize air (konduktifitas 18,2 MΏ cm) digunakan
untuk semua eksperimen
Aspartic acid Asam aspartat (atau sering disebut aspartat saja, karena terionisasi di
dalam sel), merupakan satu dari 20 asam amino penyusun protein. Asparagin merupakan
asam amino analognya karena terbentuk melalui aminasi aspartat pada satu gugus
hidroksilnya. Asam aspartat bersifat asam, dan dapat digolongkan sebagan asam
karboksilat. (wikipedia)

N-Methylmorpholine adalah senyawa organik dengan rumus O(CH2CH2)2NCH3 adalah


cairan tidak berwarna. Berupa amina tersier siklik. Digunakan sebagai katalis dasar untuk
menghasilkan poliuretan dan reaksi lainnya. Zat Ini diproduksi oleh reaksi metilamina
dan dietilen glikol serta oleh hidrogenolisis N-formylmorpholine. Zat Ini adalah
prekursor N- methylmorpholine N-oxide, oksidan komersial penting. (wikipedia)

2
Etil kloroformat muncul sebagai cairan tidak berwarna dengan bau menyengat. Titik
nyala 66 °F. Sangat beracun jika terhirup. Korosif terhadap logam dan jaringan. Uap lebih
berat dari udara. Paparan yang terlalu lama terhadap konsentrasi rendah atau paparan
singkat terhadap konsentrasi tinggi mungkin memiliki efek kesehatan yang merugikan
dari inhalasi. (pubchem.ncbi)

N,N-dimethyl formamide , Dimetilformamida adalah suatu senyawa


organik dengan rumus kimia (CH3)2NC(O)H. Umumnya senyawa ini disingkat
sebagai DMF (walaupun akronim ini terkadang digunakan pada dimetilfuran, atau
dimetil fumarat), cairan tidak berwarna ini larut dengan air dan mayoritas cairan
organik. DMF
2
adalah pelarut umum bagi reaksi kimia. Dimetilformamida tidak berbau sedangkan
pada kualitas teknis atau sampel terdegradasi sering memiliki bau amis karena
ketidakmurnian dimetilamina. Seperti ditunjukkan pada namanya, senyawa ini
merupakan turunan dari formamida, yaitu amida dari asam format. DMF
adalah pelarut aprotik polar (hidrofilik) dengan titik didih yang tinggi. Senyawa ini
memfasilitasi reaksi yang mengikuti mekanisme polar, seperti reaksi SN2.

N, N-dimethyl acetamide (DMAc) adalah senyawa organik dengan rumus kimia


CH3CON(CH3)2. Senyawa ini berbentuk cairan tak berwarna dan mudah larut dalam
air. DMAc sering digunakan sebagai pelarut polar dalam sintesis organik karena
kemampuannya melarutkan banyak senyawa organik lainnya1. DMAc juga
merupakan pelarut yang sangat baik untuk polimer berbobot molekul tinggi dan
senyawa sintetis lainnya2.

2
b. Graphene Oxide
GO telah di seintesis dengan memodifikasi metode Hummer menggunakan serpihan
graphite alam sebagaimana yang di laporkan dalam literatur [28]. Singkat nya, serpihan
graphite telah di campur dengan 98 ml asam sulfuric dalam beaker perendam (immersed) di
dalam bak es (0 OC) di ikuti dengan penambahan dengan pelan pelan sodium nitrat (1,5 grm)
dan potassium permanganate (6 gram) sambil menjaga temperatur reaksi di bawah 20 OC.
Temperatur dari reaksi campuran telah meningkatkan sampa 35 OC dan di aduk selama 30
menit, sebagaimana perkembangan reaksi, campuran berubah menjadi viscous (cair) dan
warna berubah menjadi coklat kehitaman. Kemudian 100 mL air de-ion di tambahkan dan
temperatur meningkat sampai 98 OC, di jaga sampai 30 menit dan campuran reaksi telah di
larutkan dalam 250 mL air dan di dinginkan dalam temperatur ruang. 6 ml hydrogen peroxide
(30%) di tambahkan di dalam campuran reaksi ini dan warna berubah menjadi kuning terang.
Campuran kemudian di filtrasikan dan di cuci dengan HCl dan ethanol bersamaan dengan air
de-ion. Sebagai hasil presipitat ciklat di sentrifugasikan selama 30 menit paa kecepatan 4500
rpm untuk menghilangkan graphite yang tidak terkelupas dan sentrifugasi di keringkan dalam
oven pada 80 OC dan didapatkan lah GO itu sendiri

Graphene. Tahun 2010, nobel fisika diberikan kepada Andre Geim dan Konstantin
Novoselov. Keduanya adalah profesor fisika dari University of Manchester, Inggris.
Penghargaan nobel ini diberikan atas keberhasilan mereka untuk pertama kalinya
memisahkan selembar tipis lapisan karbon dari grafit. Lapisan tipis karbon ini disebut
graphene. Graphene adalah salah satu jenis material baru yang terdiri atas atom-atom karbon
dengan bentuk konfigurasi kisi yang datar, dengan jarak antar atom-atom karbon sebesar
0,142 nm. Konfigurasi ini menyerupai struktur sarang lebah dengan ketebalan yang sangat
kecil, yaitu dalam orde ukuran atom. (ikons.id).
Karakteristik yang pertama adalah keteraturan susunan struktur atom karbon yang
membentuk graphene hampir sempurna. Keteraturan atom-atom yang sangat tinggi ini,
bahkan tanpa cacat, timbul sebagai akibat ikatan atom-atom karbon yang kuat. Dan di saat
yang bersamaan ikatan ini juga sangat fleksibel yang memungkinkan jaringannya dapat
meregang hingga 20% dari ukuran awalnya. Kisi-kisinya juga memungkinkan elektron untuk
dapat menempuh jarak yang jauh dalam graphenee tanpa gangguan. Pada konduktor yang
normal, elektron biasanya mengalami pantulan berkali-kali selama gerakannya. Pantulan ini
melemahkan daya kerja konduktor. Hal ini tidak terjadi pada graphenee.
Ciri-ciri unik lainnya dari graphenee adalah elektron-elektronnya berperilaku sebagai
partikel cahaya, foton-foton tanpa massa, yang dalam keadaan vakum dapat bergerak dengan

2
kecepatan

2
300 juta meter per sekon. Hal yang sama terjadi pada electron dalam graphenee karena tdak
memiliki massa dan bergerak dengan kecepatan yang konstan sebesar satu juta meter per
sekon. Sifat ini membuka peluang bagi para ilmuwan untuk dapat mempelajari fenomena-
fenomena tertentu secara mudah pada skala kecil tanpa menggunakan akselerator partikel
yang besar.
Dengan sifatnya yang transparan (hampir 98%) sementara graphenee mampu menghantarkan
arus listrik, maka material ini sangat berpeluang untuk diaplikasikan pada pembuatan lapisan
sentuh yang transparan, panel listrik, dan bahkan sel surya. Bahan plastik malahan dapat
dibuat bersifat menghantar hanya dengan mencampurkan 1 % graphene ke dalamnya.
Dengan pencampuran graphene ini juga, resistansi panas plastik akan meningkat sampai 30oC
bersamaan dengan peningkatan kekuatan mekanisnya. Hal ini memberi peluang untuk
menghasilkan material baru yang sangat kuat, tipis, elastis, dan tembus pandang.
Graphene juga memungkinkan para fisikawan untuk dapat memeriksa sejumlah fenomena-
fenomena menarik dalam fisika kuantum yang hingga sekarang hanya bisa dibahas secara
teoritis. Salah satunya adalah varian dari fenomena Klein tunneling, yang pertama kali
dirumuskan oleh seorang fisikawan Swedia Oskar Klein pada tahun 1929. Dalam fisika
kuantum kita mengenal istilah penerowongan (tunneling) yang menggambarkan bagaimana
sebuah partikel kadang-kadang dapat melewati sebuah perintang yang pada keadaan
normalnya akan menghalangi mereka. Semakin tebal penghalang, maka semakin kecil
kemungkinan sebuah partikel dapat melewati penghalang itu.
Kegunaan Graphene antara lain : Batrai, Nigh Vision, Pendeteksi bahan Peledak, Rompi
anti peluru kualitas tinggi, bahan cat kualitas tinggi, layar LCD, bahan teknologi sel surya,
kapasitor super, anti karat, filter untuk air.

c. ASPGO
300 mg GO yang di preparasikan di transfer dalam beaker yang terdiri dari air De-ion,
di tempatkan dalam bak es. Pada kuantitas equimolar ini dari N-methyl morpholine dan ethyl
chloro formate (3 M dalam di methyl formamide (DMF), tiap tiap nya 50 ml) di tambahkan
pada 0 OC dan di aduk selama 1 jam. Campuran di filtrasikan dan di keringkan untuk
mendapatkan intermediat (aktif anhydrida). Produk yang di hasilkan kemudian di dispersikan
dalam air De-Ion dan 100 mg aspartic acid di larutkan dalam air De-Ion secara perlahan daan
di aduk selama 2 jam. Hasil kemudian di filterkan dan di cuci secara berulang untuk
menghilangkan aspartic acid yang tidak ikut bereaksi dengan cara di vacuum drying pada
temperatur 60 OC untuk mendapatkaan amino acid funcionalized GO. Skema 1 menunjukkan
skematik representasi dari prosedure fungsionalisasi. Fungsionalisasi dari GO terjadi via
golongan amine dalam golongan asam amino dan karboksil dari GO.

2
Karakteristik dari Functionalized GO (ASPGO)
FT-IR spectra untuk graphite, GO dan fungsionalisasi GO telah terbentuk pada Nicolet
IR 860 Spectrometer (Thermo Nicolet Nexuus-670). GO dan ASPGO yang cacat di periksa
oleh Raman Spectroscopy (RFS27, Bruker) menggunakan ND :YAG laser dengan panjang
gelombang 1064 nm. Analisis difraksi X-raytelah dilakukan pada sample dengan
menggunakan Bruker D8 advvanced Difraktometer menggunakan radiasi Cu Kα dengan
panjang gelombang 1,54 Ᾱ. Kandungan nitrogen dalam sampel ini di analisis dengan analisis
elemental (CHNDS) di Elementarvario EL 111 – jerman. Secara morfologi, distribusi ukuran
dari GO dan funcionalized GO di analisis dengan resolusi tinggi scanning microskope
elektron (HR-SEM) (FEI-Quanta FEG 200). Gambar TEM dari GO dam FGO di rekam
dalam 200kV Tecnai-20 G2 transmisi mikroskop elektron (TEM). Thermo gravimetic
analysis (TGA) dari sample di dapatkan dengan menggunakan instrumen NETZSCH STA
449F3 TGA-DSC dalam range temperatur antara 30OC dan 1000 OC dengan heating rate 5OC
min-1 dengan nitrogen di siramkan pada 60 ml min-1.

3.3. Metode Pembuatan Membran


Preparasi Membran Komposit SPEEK-GO/ASPGO
Dibutuhkan sekitar GO (10 mg) ASPGO (5, 10, 20 mg) yang di vacuum drying kan pada
80OC dan kemudian di dispersikan dalam DMA C melalui ultra sonicasi selama 30 menit dan
dispersi di tambahkan larutan yang terkandung 1 gram SPEEK dalam 20 ml DMA C. Hasil
campuran di ultrasonikan selama 30 menit di aduk selama 12 jam dan kemudian dicast di atas
Plexi glass plate yang di tempatkan pada 80OC dalam keadaan vacum selama 12 jam.
Membraan kemudain di gembungkan (pealed-off) dari glass plate dan di cuci secara berulang
dengan air di dalam temperatur ruangan untuk menghilangkan beberapa larutan residu dan di
simpan dalam kotak kedap udara untuk studi lebih lanjut. Membran nanokomposit dengan
GO (10mg) dan ASPGO (5, 10, dan 20 mg) di desain sebagai SPEEK-GO (1 %wt) dan
SPEEK- ASPGO (0.5, 1 dan 2wt%) masing masing. Membran SPEEK juga di siapkan
sedemikian rupa tanpa pebambahan aditif. Ketebalan dari membran yang di dapatkan sekitar
170 μm dimana equivalen terhadap ketebalan dari Naflon-117 untuk perbandingan yang lebih
baik lagi dalam DMFC.

2
3.4. Pembahasan Jurnal
Landasan teori berhubungan Performa dari membran yang di preparasikan dapat di lihat
berdasarkan :
- Sifat Fisika Kimia
- Penyerapan air dan konduktivitas Proton
- Preparasi Membran elektrode Assembly (MEA)
- Permeabilitas methanol
- Studi DMFC
 Sifat Fisika-Kimia
Stabilitas mekanis untuk membran di evaluasi menggunakan mesin pengetes
(model : ZWICK/Roell, 146500) terhubung dengan 1kN load cell pada temperautr
ruang di bawah kondisi full hydrated. Semua membran telah di equilibrasikan di air
selama 24 jam dan di serap untuk menghilangkan air permukaan sebelum di analisis.
Morfologi permukaan pada membran diperiksa dengan scanning elelctrom
microscope (JEOL-JSM35CF). Thermo Gravimetic analysis (TGA) untuk membran
dilakukan dengan mengikuti protokol yang seruba sebagaimana yang telah di
sebutkan di atas.
Kapasitas ion exchange di ukur berdasarkan tirtrasi base asam dengan mengikuti
prosedur yang di laporkan dalam literatur [29]. Secara singkat sampel membran di
keringkan dalam oven vacum untuk menghilangkan kelembaban yang terserap
sehingga di dapatkan berat kering, kemudian sample di transferkan dalam larutan
sodium klorid berkonsentrat dan di rendam selama 24 jam untuk exchange ion Na +
dalam larutan dengan H+ dalam membran. Larutan kemudian di titrasikan dengan
larutan NaOH menggunakan phenolpthalein sebagai indikator dan IEC di
kalkulasikan dengan persamaan berikut
Vol NaOH x Normality NaOH
𝐼𝐸𝐶 = 𝑚𝑒𝑞/𝑔
Berat Kering sample

 Penyerapan air dan Konduktivitas Proton


Penyerapan air untuk membran telah di bawa keluar dari prosedur yang telah di
deskribsikan sebelum nya sesuai litertatur [29]. Secara singkat, sample membran yang
telah di keringkan di dalam oven vacum untuk menghilangkan air yang terserap dan
kemudian ditimbang. Sample kemudian di transferkan menuju larutan dalam chamber
yang berisi dengan air De-Ion dan di simpan selama 24 jam sampai equilibrium.
Sample kemudian di keluarkan dan permukaan diserap untuk menghilangkan air dan
berat yang diserap dicatat dan air serapan di hitung berdasarkan perbedaan berat
dalam kondisi kering dan kondisi terserap sbb :
𝑊𝑤𝑒𝑡−𝑊𝑑𝑟𝑦
𝑊𝑎𝑡𝑒𝑟 𝑆𝑜𝑟𝑝𝑡𝑖𝑜𝑛 (%) = 𝑥100
𝑊𝑤𝑒𝑡
Konduktivitas proton dalam membran di ukur dengan four probe (empat
penyelidikan) impedansi AC sebagaimana yang di laporkan pada awal awal di literatur
[30]. Sampel membran yang di potong dalam ukuran dan ketebalan yang di butuhkan.
Lebar test sample di ukur dulu sebelum di clamp dalam BekkTech LLC konduktivitas
membran cell. Sampel membran di simpan di tempat dengan kontak dengan mesin
four platinum probes di dalam cell dan di tempatkan di dalam ESPEC ruang
humidifikasi untuk mencapai humiditi (100 %). Four probe cell di sambungkan
dengan potensiostate
2
untuk merekam impedansi spektra dan konduktivitas dari sample dapat di hitung
dengan menetapkan resistivitas dalam persamaan berikut :
𝑅𝑥𝑇𝑥𝑊
𝑅𝑒𝑠𝑖𝑠𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑦 (𝜌) =
Dimana R adalah resisten yang di dapatkan dari𝑑axis real dari impendansi spectra,
d adalah jarak probe (0,425 cm) dalam konduktivitas cell, dan T adalah ketebalan, dan
W adalah lebar membran, masing masing konduktivitas proton di hitung dengan
persamaan berikut :
1
𝑝𝑟𝑜𝑡𝑜𝑛 𝑐𝑜𝑛𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑦 (𝜎) =
𝜌
Energi aktivasi untuk transpor proton (𝜎)dalam semua membran di kalkulasikan
menggunakan persamaan Arrhenius sebagai berikut :
(𝜎) = 𝜎0(− 𝐸𝑎 )
𝑅𝑇
Dimana σoi adalah faktor pre eksponensial, Ea adalah energi aktivasi, R adalah
konstanta gas universal dan T adalah temperatur absolut.
 Preparasi Membran Elektrode Assembly (MEA)
Membran elektrode Assembly (MEA) dengan area aktif 4 cm2 yang di
fabrikasikan sebagaimana di laporkan dalam studi ini [31]. Campuran Ionomer
(NAflon-isoproplyl alchohol) telah di lapisi sebagai binder (pengikat) pada anode
komersiil (PT-Ru/C, 2 mg/cm2). Membran elektrolit yang di preparasikan telah di
tempatkan antara anode dan katode dan di tekan dengan pemanasan pada temperatur
80o C dimana tekanan yang di berikan sebesar 20 kg/ cm2 selama 2 menit untuk
membentuk MEA secara umum nya.
 Permeabilitas Methanol
Permeabilitas metanol pada membran di ukur dengan menggunakan dua difusi
cell kompartemen yang sebagaimana di laporkan pada stuidi kita di awal awal [31].
Membran tes yang telah di clamp di antara dua kompartemen dimana satu dari
kompartemen di isi dengan air (50ml). Methanol ber difusi melalui membran dalam
kaitan nya dengan waktu terhadap kompartemen air di karenakan perbedaan
konsentrasi dan konsentrasi dari methanol tersilang (crossed) dari kompartemen
metanol menuju kompartemen air di ukur menggunakan gas chromatography (Thermo
scientific Trace FC-700) di pasang dengan flame ionnisasi detektor (FID).
Permeabilitas untuk membran dapat di hitung dengan persamaan berikut :
𝑘2 𝑥 𝑉2 𝑥 𝐿
𝑃𝑥 =
(𝐶 1− 𝐶2)𝑥 𝐴
Dimana P adalah permeabilitas dari membran, k2 adalah slopedaro konsentrasi
yang di dapatkan dari kompartemen air, V2 adalah volume dari cairan dalam
kompartemen air, C1, C2 adalah konsentrasi methanol dalam masing masing
kompartemen 1 dan kompartemen 2. L adalah ketebalan dan A adalah luas area dari
test membran.
Lebih lanjut, permeabilitas methanol juga selalu di evaluasikan menggnakan
sapuan linier voltametry dengan mengukur cross over densitas arus yang di laporkan
dalam literatur [31]. Secara singkat, di atas di preparasikan MEA yang terdiri dari
SPEEK murni dan SPEEK-ASPGO membran komposit yang telah di rakit secara
single cell. 2 M methanol telah di lewatkan pada anode dare cell dan gas nitrogen 200
ml/min telah di lewatkan pada katode. Anode ber peran sebagai elektrode kontra
sedangkan katode berperan sebagai *working elektrode. Kurva LSV di turunkan dari
3
menundukan

3
cell dalam elektrokimia work station (VSP-150 Biologic) antara potensial 0-0.9 V
dengan laju scan 5mV/s.
Working elektrode : elektroda dalam suatu sistem elektrokimia di mana reaksi
terjadi. Working elektrode sering digunakan dalam hubungannya dengan elektroda
bantu, dan elektroda referens dalam sistem tiga elektroda. Tergantung pada apakah
reaksi pada elektroda adalah reduksi atau oksidasi, Working elektrode disebut katoda
atau anoda,
Selektivitas elektrokimia dari membran di ukur dengan mempertimbangkan
konduktivitas proton dan permeabilitas methanol sebagai berikut :
Proton Conductivity (𝑆𝑐𝑚−1)
𝐸𝑙𝑒𝑐𝑡𝑟𝑜𝑐ℎ𝑒𝑚𝑖𝑐𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑙𝑒𝑐𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑦 (𝑆𝑠𝑐𝑚−3) =
𝑀𝑒𝑡ℎ𝑎𝑛𝑜𝑙 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑒𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦 (𝑐𝑚2𝑠−1)
 Studi DMFC
Preparasi MEA telah di evaluasi dalam single cell (fule cell teknologi) menggunakan
load model LCN4-25-24/LCN 50-24 dari Bitrode Instrument (US). Cell telah di isi
dengan 2 M methanol dan katode telah di isi dengan oksigen 300 ml/menit. Potensial
cell telah di ukur sebagai fungsi dari arus densitas pada 70oC untuk MEA yang terdiri
dari membran SPEEK murni dan membran SPEEK-ASPGO bersama dengan Naflon-
117

- Hasil dan diskusi


 Karakteristik dari GO/ASPGO
Figur 1 menunjukkan FT-IR spectra untuk GO dan ASPGO, dimana GO
menunjukkan karakteristik grafik vibrasional pada 1098,1197 cm-1 yang di atribusikan
(dikaitkan) dalam golongan C-O dan C-OH secara bersamaan. Grafik pada 1402 cm -1
menunjukan deformasi O-H, dan grafik pada 1623 cm -1 dan 1738 -1 dikaitkan dengan
peregaangan golongan carboxyl dan golongan carbonyl secara bersamaan

Dalam penambahan nya, broad peak (titik puncak) yang di amati pada 3500 cm -1
di karenakan kehadiran golongan -OH. Semua karakteristik grafik ini memastikan
oksidasi dari graphyte [32]. Dalam kasus nya dari ASP-GO, grafik pada 1633 cm-1 dan
1578 cm -1 di kaitkan dengan peregangan dari C=O dan menekuk nya (bending0 dari

3
N-H secara bersamaan [33]. Hal ini penting di catat bahwa semua karakteristik grafik
dari GO di tunjukan di ASPGO dengan pergeseran sedikit dalam *wave number nya
Wavenumber, as used in spectroscopy and most chemistry fields, is defined as the
number of wavelengths per unit distance, typically centimeters (cm ) :ṽ=1/λ, where λ
is the wavelength. It is sometimes called the "spectroscopic wavenumber

Figure 2 menunjukkan XRD pattern untuk graphyte, GO dan ASPGO. Puncak nya
pada 2θ=26.4o beraneka ragam dengan graphyte dan memiliki jarak interplanar
sebesar
3.3 Å. Dimana dalam kasus dari GO, puncak (peak) bergeser dari 2θ=26.4o menuju
2θ=10.3o dengan jarak interplanar sebesar 8.5 Å. Pergeseran ini di kaitkan dengan
oksidasi kimia dari graphite yang akan di memperkenalkan hydroxyl, carboxcyl dan
golongan fungsi epoxy. Lebih lanjut dengan jarak interlayer dari 8.3 Å dan puncak
(peak) yang sama di observasi pada 2θ=26.4o , mungkin di karenakan staking ulang
(re stake) secara sebagian (parsial) dari lembar GO [28].
Perbedaan struktur untuk graphyte, GO dan ASPGO di analisis menggunakan
Spectra Raman yang di tunjukan dalam figur 3. Dua karakteristik grafik yaitu grafik D
dan grafik G untuk graphite telah di observasi pada 1328 dan 1577 cm-1 secara
bersamaan dan untuk GO, grafik G dan G muncul pada 1325 dan 1595 cm -1, dimana
untuk ASPGO pada 1323 dan 1594 cm-1. Pergeseran yang jelas pada grafik G untuk
GO dan ASPGO di bandingkan dengan graphite di karenakan deformasi struktural
dari graphite setelah oksidasi dan fungsionalisasi [34]. Secara umum rasio dari
intensitas untuk grafik D dan grafik G (ID/IG) mengindikasikan kuantitas dari sp2
carbon yang muncul dari sample [35].

3
Dari figur 3, (ID/IG) untuk graphite murni di temukan pada 0.51 dan untuk GO
adalah 1.25, dimana untuk ASPGO adalah 1.3. hal ini penting bahwa dengan sangat
rendah nya nilai ID/IG (rasio dari sp3/sp2 carbon) untuk graphite menunjukkan sp2
carbon lebih dominan, dimana nilai tinggi untuk GO dan ASPGO di bandingkan pada
graphite di karenakan cacat yang di induksikan dari pembentukan ikatan karbon sp 3,
sambil oksidasi dan fungsionalisasi [28].
Analisis elemental (CHNS) untuk sample GO dan ASPGO di tunjukan di tabel 1
dari dimana kandungan nitrogen dapat di turunkan sebelum dan sesudah
fungsionalisasi dari GO.

Hal ini di simpulkan bahwa jumlah nitrogen yang hadir dalam ASPGO ditemukan
sebesar 2.3 %, di pastikan sebagai fungsionalisasi dari GO ketika di dalam GO,
kuantitas nitrogen tidak terlihat secara signifikan. Jumlah sulfur bia di abaikan di
karenakan pengolahan dari asam sulfat selama sintesis GO. Dalam penambahanya,
elemental mapping telah selesai untuk ASPGO dan element individual yang di
distribusikan dilihat untuk karbon, oksigen, dan nitrogen yang di tunjukan di figur 4
(b- d) dan koresponding nya pada % dan di tunjukan dalam figur 4 (a) menyatakan
fungsionalisasi dari GO dengan aspartic acid.

Fig. 4. (a) SEM image of ASPGO and EDS analysis(inset) and mapping for (b) carbon, (c) oxygen
and(d) nitrogen

3
Figur 5 menunjukkan histogram untuk distribusi ukuran dari GO dan ASPGO.
Hal tersebut di turunkan dengan mengukur dari ukuran lebih dari 100 lembar scr
individual untuk tiap sample dari SEM pada magnifikasi yang lebih rendah [36].

Perlu di catat bahwa rata rata dari ukuran GO adalah sekitar 0.75 μm, sedangkan
ASPGO menunjukkan rata rata ukuran lembaran 0.82 μm. Sedikit meningkat dalam
ukuran lembaran yang dapat di kaitkan dengan penggabungan dari fungsional
golongan asam amino yang membuat lembaran GO besar (bulky) seperti yang juga di
amati dalam gambar TEM yang di tampilkan di bawah

Fig. 6. TEM Morphology for (a) GO and (b) ASPGO


Morfologi GO dan ASPGO dipelajari dalam analisis TEM yang di tunjukan di
figut
6. GO menunjukkan strukter berlapis dimana hal tersebut di dapat dari material
indukan graphite dan kehadiaran dari golongan epoxy dan carbocylic di atas GO
memungkinkan penglupasan kulit nya di larutan polar seperti air. Maka \, gambar
TEM dari lembar GO morfologi seperti umumnya yang di amati di sebagian besar
literatur [7]. Kontras nya, ASPGO menunjukkan di aglomerasi / mengkerut nya suatu
lembaran (sheet) seperti morfologi dan hal ini mungkin di karenakan fungsionalisasi
dari GO pada giliran nya memicu secara parsial re staking dari lapisan graphene yang
telah di observasi dalam analisis XRD [28].

3
Figur 7 menunjukkan TGA untuk graphite, GO dan ASPGO. Perlu dicatat bahwa
graphite tidak menunjukkan hilang nya berat secara signifikan, padahal GO dan
ASPGO menunjukkan 22% hilang nya berat pada 12o oC di karenakan hilang nya
molekul air yang di absorbsi dalam lapisan lapisan stak GO. Hilang nya berat dalam
stage ke dua di observasi dari temperatur 120 oC – 280oC di sebabkan karena konversi
dari golongan fungsional oksigen seperti CO dan CO2 [37]. Hal ini penting bahwa
pada 290oC, GO menunjukkan hilang nya berat sebesar 56%, dimana ASPGO
menunjukkan berat hilang haanya 45% dimana hal ini mungkin di karenakan re
staking secara parsial dari GO setelah fungsionalisasi.

 Karakteristik fisika-kimia dari membran

Sifat mekanis dari membran di tempilkan dalam figur 8 dalam istilah nya gaya
maksimum yang di terapkan dan perpanjangan putus (elongation break). Sebagaimana
konten dari ASPGO meningkatkan dalam SPEEK, semakin tinggi kekuatan daya tarik
yang terlihat di karenakan kompabilitas dari ASPGO dalam SPEEK interaksi

3
interfasial antara SPEEK dan ASPGO [38]. Hitherto, elongation break di kurangani
untuk membran komposit dalam perbandingan nya dengan SPEEK murni di
karenakan terindusi nya kekakuan dan berkurangnya fleksibilitas rantai.
Morfologi permukaan dari membran yang di kaji dengan SEM yang terlihat di
figur
9. Dimana SPEEK murni menunjukkan permukaan yang mulus (figur 9 a) dan
membran komoosit menunjukkan permukaan yang kasar di karenakan tertanam nya
ASPGO (figur 9 b). Lebih lanjut, keseragaman distribusi dari ASPGO dalam SPEEK
di observasi pada kompabilitasnya dengan matrix SPEEK dan interaksi interfasial
antara SPEEK dan golongan polar di dalam ASPGO {26}.

Fig. 9. SEM morphology for (a) pristine SPEEK and(b) SPEEK-ASPGO (1 wt%).

Figur 10 menunjukkan anilisis TG untuk membran komposit : SPEEK murni,


SPEEK-GO, dan SPEEK-ASPGO. Hal tersebut penting bahwa semua membran
terlihat sama secara degradrasi pattern dalam tiga stage. Hilang nya berat di observasi
sampai dengan temperatur 130oC yang di kaitkan terhadap hilang nya kelembaban
yang terserap dan hilang nya berat untuk observasi pada temperatur 290oC s/d 380oC
dikarenakan golongan asam sulfonat (de-sulfonasi) sebagai SO2 dan hilang nya asam
3
aspartic, berat hilang akhir telah di observasi dari 480 s/d 600 oC adalah di karenakan
degradasi dari rantai utama polimer aromatic [26]. Lebih lanjut, profil TG untuk
mengoptimalkan membran di namakan SPEEK-ASPGO (1%wt) telah di perlihatkan
dalam studi kita kali ini.

Kapasitas ion exchange untuk membran di ukur dan di tunjukan di tabel 2. Hal itu
dapat di lihat bahwa IEC dari membran komposit secara signifikan lebih tinggi jika di
bandingkan dengan SPEEK murni dan Naflon-117. Hal ini di karenakan kehadiaran
dari jumlah golongan karboksil dan hidroksil di dalam ASPGO dalam penambahan
ke golongan asam sulfinat yang tampak pada SPEEK [32]. Di lain pihak membran
komposit SPEEK-GO menunjukkan hanya secara margin meningkat di dalam IEC di
karenakan sedikit nya golongan ion yang dapat di exchange. Penyerapah air untuk
membran merupakan parameter kritikal yang di menentukan transpor proton dan sifat
mekanis dari membran [39]. Penyerapan air untuk SPEEK murni dan hal tersebut
komposit sepanjang dengan membran Nafllon-117 di tunjukan di tabel 2. Hal ini
penting bahwa penyerapan air meningkat untuk membran komposit sejajar dengan
peningkatan isi ASPGO dan hal ini mungkin di karenakan meningkatnya densiti dari
golongan hidrophilic dalam membran SPEEK-ASPGO yang di bandingkan dengan
membran SPEEK murni. Dengan kata lainasam amino yang selalu eksis dalam
pembentukan uin zwitter dimana asam karboksil eksis sebagai ion karboksilat dan
golongan amine menanggung muatan positif. Dalam kasus ini, air dapat membentuk
jembatan antara ion amino dan ion karboxil menghasilkan penyerapan air yang lebih
untuk membran komposit [27]. Hal ini perlu di catat bahwa membran SPEEK-GO
(1%wt) menunjukkan scr perlahan penyerapan air yang lebih tinggi dari SPEEK
murni di karenakan kehadiran dari fungsional golongan karboksil dan oksigen dalam
GO.
 Konduktivitas proton

Konduktivitas proton dapat di tentukan di hubungan dengan temperatur dari 30oC


s/d 80oC yang di tunjukan di figur 11. Konduktivitas proton untuk SPEEK-ASPGO
adalah lebih tinggi dari SPEEK murni dan SPEEK-GO. Konduktivitas dari membran

3
tergantung dari kandungan air dalam membran dan di atur dengan dua mekanisme
yang berbeda. Mekanisme Grothous yang mengkaitkan lompatan proton melalui ion
golongan asam sulfonik dan asam karboksil dan mekanisme berkendara melibatkan
transfer proton pada ion hidronium. Konduktivitas proton dalam membran komposit
di picu dengan kedua mekanisme membran berikut ini : asam amino membentuk ion
zwitter (NH3+ -R-COO-) dengan penggantian dari proton dari golongan asam
karboksil menjadi golongan amine dimana pada giliran nya mempromosikan desosiasi
dari golongan aseam sulfonat yang ada dalam golongan SPEEK dan asam karboksil di
dalam GO.

Scheme 2. Presumed proton transport in SPEEKASPGO composite membrane (a) Hopping


mechanism and (b) Vehicular mechanism
Setelah disosiasi, golongan ini eksis sebagai ion sulfonat dan ion karboksilat
(muatan negatif), maka mekanisme lompatan proton dapat di representasikan di
skema 2 (a). Dalam tambahan nya, asam aspartic membentuk interaksi elektrostatik
dengan molekul air membentuk lapisan hidrasi juga mendukung mekanisme
bergerak sebagaimana di representasikan dalam skema 2 (b). Lebih lanjut
konduktivitas dari membran SPEEK-GO secara perlahan meningkat dalam
pembandingan nya dengan SPEEK murni di karaneakan kehadiran dari golongan
karboksil yang membantu pembentukan lapisan hidrasi untuk transfer proton agar
lancar. Figur 11 b menunjukkan plot Arrhenius untuk transfer proton dalam hubungan
nya dengan temperatur dan energi aktivasi untuk transfer proton dalam membran di
kalkulasikan dari plot ini dan di
representasikan di tabel 2.
Perlu di catat bahwa membran komposit SPEEK-ASPGO menunjukkan lebih
rendahnya energi aktivasi untuk transfer proton dalam pembandingan nya dengan
SPEEK-GO dan SPEEK murni karena kelancaran dari transfer proton dalam
membran komposit. Di antara semua membran komposit SPEEK-ASPGO (1%wt)
menunjukkan energi aktivasi yang lebih rendah dan di lain pihak NAflon-117
menunjukkan energi aktivasi yang paling rendah dari semua membran, rendah nya
aktivasi energi dari Naflon-117 di karenakan kelancaran dalam konduksi proton pada
temperatur tinggi (<80oC) dalam kondisi terhidrasi dimana mekanisme bergerak
(vehicle mechanism) mungkin sangat mendominasi dalam difusi secara struktural.
3
Semenjak ASPGO memiliki keuntungan spesifik yang di diskusikan di atas,
konduktiviras dari membran komposit di tingkatkan dalam pembandingan dengan
membran SPEEK murni. Efek temperatur pada konduktivitas proton juga selalu di
studikan dan semua membran menunjukkan peningkatan konduktivitas proton pada
temperatur yang lebih tinggi dimana di karenakan mobilitas yang lebih tinggi dari
proton pada peningkatan temperatur. Hal ini perlu di catat bahwa penurunan trend
dalam konduktivitas proton telah di observasi untuk SPEEK-ASPGO (2% wt) di
karenakan berlebih nya sejumlah additif yang mana agregat dalam membran,
memblok hubungan proton yang melakukan trasfer. [26]
 Permeabilitas methanol

Permeabilitas methanol melalu PEM (Proton Exchange Membran) adalah faktor


kritikal yang mana mempengaruhi daya output DMFC secara signifikam. Maka
meitigasi permeabilitas methanol sangat leh penting untuk mengefektifkan sistem
DMFC. Permeabilitas methanol untuk membran di representasikan di tabel 2 dan
profik konsentrasi yang sesuai di tunjukan dalam figur 12. Hal ini penting bahwa
permeabilitas methanol menurun untuk membran SPEEK-ASPGO di karenakan
meningkatnya tortuositas dan efek barier dari ASPGO [40].
Hal ini di ketahui dengan baik bahwa golongan asam sulfonat yang tampil dalam
emmbran ber agregasi bersama dan membentuk hubungan ionik yang mana
bertanggung jawab dalam proton dan transfer methanol. Secara umum Nafion, gugus
(cluster) ion ini lebih besar di karenakan yang mana permeabilitas methanol lebih
tingi jika di bandingkan dengan SPEEK dimana hubungan (channel) nya sangat
sempit. [41] Lebih lanjut, interaksi interfasial (dalam bentuk ikatan hidrogen) antara
penggabungan ASPGO dan SPEEK membatasi pembentukan channel ion yang lebar
pada giliran nya membatasi permeabilitas methanol [26]. Maka, dalam studi sekaran
ini, permeabilitas metanol di kurange dengan penambahan ASPGO di tingkatkan
dalam membran. Membran optimal (SPEEK-ASPGO 1wt%) menunjukkan 61 %
reduksi dari permeabilitas methanol yang di bandingkan dengan SPEEK murni dan
75% jika di bandingkan dengan Nafion-117. Lebih lanjut, membran SPEEK-GO
(1 wt%) menunjukkan penurunan secara signifikan dalam permeabilitas methanol di
karenakan

4
karakteristik impermeable dari methanol. Perlu di catat bahwa SPEEK-GO dan
SPEEK-ASPGO menunjukkan perbandingan permeabilitas methanol yang mana
membuktikan efek blockin dari lembaran GO.

Lebih lanjut, crossover methanol arus densitas di ukur untuk MEA yang terdiri
dari SPEEK murno dan komposit selama dengan Nafion-117 di perlihatkan di fugur
13. Arus densitas yang di dapat secara langsung proporsional terhadap jumlah
methanol yang ccross over dari anode ke katode. Perlu di catat bahwa MEA yerdiri
dari Nafion- 117 menunjukkan cross over yang lebih tinggi terhadap arus densitas di
karenakan permeabilitas methanol yang lebih tinggi.
SPEEK murni menunjukkan crossover arus densitas pada 86mAcm-2 dan
menurun untuk membran komposit sebagaimana dari peningkatan ASPGO dalam
membran mengkonfirmasi kapabilitas ASPGO dalam memitigasi permeabilitas
methanol dalam membran. Selektivitas Elektri kimia untuk membran elektrolit di
subjek kan dalam DMFC, secara umum, membran dengan selektifiras tinggi (proton
konduktivitas tinggi, permeabilitas methanol rendah) lah yang cocok untuk DMFC
[42]. Ukuran dari channel ion secara signifikan berdampak pada konduktifiras ion dan
methanol permeabilitas. Maka ukuran optimum di butuhkan untuk DMFC yang
perform lebih baik dimana channel ion secara selektif memungkinkan proton dan
membatasi methanol. Hal ini memungkankan di karenakan perbedaan ukuran dalam
proton/ ion hydronium dan molekul methanol.

4
Figur 14 menunjukkan selektivitas elektro kimia untuk membran sebagaimana
fungsi dari penambahan ASPGO. Perlu di catat bahwa nilai selektivitas yang paling
tinggi yang telah di dapatkan oleh SPEEK-ASPGO (1%wt) di karenakan kemampuan
dalam konduktivitas proton dan permebabilitas mehtanol yang lebih rendah. Perlu di
catat bahwa membran komposit SPEEK-GO (1wt%) menunjukkan selektivitas yang
lebih tinggi dari SPEEK murni dan NAfion. Meskipun ada sedikit improvemen dari
konduktivitas proton, permeabilitas methanol secara signifikan berkurang untuk
membran SPEEK-GO sehingga selektivitas yang lebih tinggi di observasikan.
 Studi DMFC

Semua membran yang di subjek kan ke DMFC (single cell) dan studi polarisasi
dilakukan sebagai fungsi dari arus densitas yang di tunjukan di figur 15. Perlu di catat

4
bahwa, membran komposut menunjukkan daya densitas yang lebih tinggi jika di
bandingkan dengan SPEEK murni di karenakan peningkatan konduktifitas proton dan
penahanan permeabilitas methanol. Lebih lanjut, interaksi interfasial antara fungsional
golongan (-NH- dan -COOH) dari ASPGO dan SPEEK yang memungkinkan transfer
proton lebih cepat melalui jaringan ikatan hidrogen. SPEEK murni menunjukkan peak
daya densiti nya 70mWcm-2 pada arus densitas nya sebesar 575 mAcm-2 yang mana
secara signifikan lebih besar dari Nafion-117.
Perlu di catat bhwa membran komposit SPEEK-GO (1%wt) menunjukkan
peningkatan secara signifikan dalam performa nya jika di bandingkan dengan SPEEK
murni dan NAfion yang mana di karenakan kemampuan penurunan dalam
permeabilitas methanol. Meskipun demikian ketika kandungan zat additif melebihi 1
wt% dalam hubungan nya dengan SPEEK, performa dari cell menurun di karenakan
tertekan nya konduktivitas proton. Stabilitas dari membran di evaluasi dalam kondisi
OCV dimana methanol cross over lebih berat di bandingkan kondisi muatan. MEA
terdiri dari SPEEK murni, SPEEK-ASPGO dan NAfion-117 di subjek kan untuk
single cell dan OCV merekan sebagai fungsi dari waktu untuk 50 jam yang di
tampilkan di figur 16.

Perlu di catat bahwa membran SPEEK-ASPGO menunjukkan lebih tinggi nya OCV
dan setelah 50 jam, SPEEK murni menunjukkan voltage loss sebesar 164mV, dimana
SPEEK-ASPGO menunjukkan voltage loss sebesar 132 mV menyarankan stabilitas
yang lebih baik dalam perbandingan nya dengan pembentuknya. Dapat di catat bahwa
Nafion-117 menunjukkan voltase drio selama waktu awal di karenakan methanol
cross- over dan kemudian menunjukkan voltase konstan dengan minimal drop di
karenakan stabilitas yang lebih tinggi

4
3.5. Kesimpulan.
GO telah di sintesis dan di modifikasi dengan metode Hummer dan di
fungsionalisasi dengan asam amino (aspartic acid). Konduktivitas proton untuk
membran nano komposit dari SPEEK-ASPGO meningkat di karenakan lancar nya
interaksi ion zwitter dari asam aspartic yang di fungsionalisasi kan GO. Membran ini
juga menunjukkan tinggi nya IEC dan penyerapan air yang di bandingkan dengan
SPEEK murni. Asam amino yang di fungsionalalisasi kan dari GO meningkatkan
interaksi interfasial dengan SPEEK memimpin untuk kompabilitas yang lebih baik
bersama dengan berkurangnya permeabilitas methanol di DMFC. SPEEK-ASPGO
(1%wt) menunjukkan peak power densiti yang lebih tinggi dalam DMFC dari semua
membran komposit dan ssetara dengan keadaan membran Nafion-117. Dalam
kesimpulan nya, dengan control yang tepat dari morfologi dan kandungan dari
penambahan nano zat aditif, sifat dari membran dapat di tingkatkan untuk
menemukan DMFC yang di butuhkan.

4
4. Daftar Pustaka
Rambabu, Gutru; Bhat, Santoshkumar D. (2018). Amino acid functionalized graphene oxide
based nanocomposite membrane electrolytes for direct methanol fuel cells. Journal of
Membrane Science,

wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Membran_penukar_proton#
(diakses pada 13 Mei 2023)

Cukierman, S. Et tu, (2006), “Grotthuss and other unfinished stories”, Biochimica et


Biophysica Acta – Bioenergetics

wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Sulfonasi
(diakses pada 13 Mei 2023)

Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Nafion Nafion termodifikasi untuk PEM sel bahan


bakar, (diakses pada 13 Mei 2023)

wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Politetrafluoroetilena
(diakses pada 13 Mei 2023)

Gao, Y., Robertson, G.P., Guiver, M.D., Jian, X., Mikhailenko, S.D., Wang, K. dan
Kaliaguine, S., (2003), “Sulfonation of Poly(Phthalazinones) with Fuming Sulfuric Acid
Mixtures for Proton Exchange Membrane Materials”. Journal of Membrane Science.

Ladelta V, 2007, “Direct Methanol Fuel Cell (DMFC) : Baterai Laptop Tanpa Charger”,
http://www.chem-is-try.org,

Smitha B., Sridhar S. dan Khan A.A., (2004), “Polyelectrolyte Complexes of Chitosan and
Poly(acrylic acid) As Proton Exchange Membranes for Fuel Cells”, Macromolecules

Rautenbach, R., (1989), “Membrane Processess”, John Wiley & Sons Ltd., Dhuhita, A., Arti,
D.K., dan Kusworo, T. D., (2010), Karakterisasi dan Uji Kinerja Speek, cSMM dan
Nafion untuk Aplikasi Direct Methanol Fuel Cell

(DMFC), Skripsi, Universitas Diponegoro.

Devanathan, R., Idupulapati, N., Bear, M.D., Mundy, C.J., dan Dupuis, M., (2013), “Ab
Initio Molecular Dynamics Simulation of Proton Hopping in a Model Polymer
Membrane”, Journal of Physial Chemistry

Mauritz, K. A.; Moore, R. B., (2004), “State of understanding of Nafion”, Chemical Reviews,

Petersen, M. K.; Wang, F.; Blake, N. P.; Metiu, H.; Voth, G. A., (2005), “Excess proton
solvation and delocalization in a hydrophilic pocket of the proton conducting polymer
membrane Nafion”. Journal of Physical Chemistry B,

4
Xiao L., Zhang H., Scanlon E., Ramanathan L. S., Choe E. W., Rogers D., Apple T.,
Benicewicz B.C., (2005), “High-Temperature Polybenzimidazole Fuel Cell Membranes
via a Sol−Gel Process”, Chemistry of Materials

Mulder, M., 1996, “Basic Principle of Membrane Technology. Second edition”. Kluwer
cademic Publisher. Dordrrecht Porter, M.C. 1990, Handbook of Industrial Membrane
Technology. Noyes Publication. New Jersey.

Masakazu Ohashi, 2013), ‘’ Direct Methanol Fuel Cell as the next generation power source’’.
Fujikara Technical Review

Anda mungkin juga menyukai