Anda di halaman 1dari 104

IMPLEMENTASI PROBLEM BASED LEARNING BERBASIS

ICT PADA PEMBELAJARAN FISIKA UNTUK


MENINGKATKAN HOTS PESERTA DIDIK SMA

SKRIPSI

Oleh:
DALIANA FEHABUTAR
NIM 15030184005

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN FISIKA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
2019
IMPLEMENTASI PROBLEM BASED LEARNING BERBASIS
ICT PADA PEMBELAJARAN FISIKA UNTUK
MENINGKATKAN HOTS PESERTA DIDIK SMA

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Negeri Surabaya

untuk memenuhi persyaratan penyelesaian

Program Sarjana Pendidikan

Oleh :
DALIANA FEHABUTAR
NIM 15030184005

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN FISIKA
PRODI PENDIDIKAN FISIKA
2019

i
HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi oleh : Daliana Fehabutar


NIM : 15030184005
Judul : Implementasi Problem Based Learning
Berbasis ICT pada Pembelajaran Fisika
untuk Meningkatkan HOTS Peserta Didik
SMA

Telah disetujui dan dinyatakan memenuhi syarat untuk diajukan


dalam ujian skripsi.

Surabaya, 21 Juni 2019


Pembimbing,

Prof. Dr. Budi Jatmiko, M.Pd.


NIP 196008221985031003

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi oleh : Daliana Fehabutar


NIM : 15030184005
Judul : Implementasi Problem Based Learning Berbasis
ICT pada Pembelajaran Fisika untuk
Meningkatkan HOTS Peserta Didik SMA
Telah dipertahankan dihadapan dewan penguji pada tanggal 03
Juli 2019.

Dewan Penguji, Tanda Tangan Tanggal Selesai

1. Dr. Titin Sunarti, M.Si.


NIP 196311271987032001

2. Setyo Admoko, S.Pd., M.Pd.


NIP 197612142010121001

3. Prof. Dr. Budi Jatmiko, M.Pd.


NIP 196008221985031003

Mengetahui,
Ketua Jurusan Fisika

Dr. Munasir, M.Si.


NIP 196911171995121001

iii
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN FISIKA / PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
Alamat : Gedung C3 Lantai 1, Jurusan Fisika, FMIPA, Unesa,
Kampus Ketintang, tlp. +62318280009, faks. +62318296427

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI


Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Daliana Fehabutar
Tempat, tanggal lahir : Lamongan, 30 Agustus 1998
NIM : 15030184005
Program Studi/Angkatan : S-1 Pendidikan Fisika/2015
Alamat : Ds. Sendangharjo,
Kec. Brondong,
Kab. Lamongan

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:


(1) Skripsi yang diujikan ini benar-benar hasil karya saya sendiri
(tidak didasarkan pada data palsu dan/atau hasil
plagiasi/jiplakan atau autoplagiasi)
(2) Apabila pada kemudian hari terbukti bahwa pernyataan saya
tidak benar, saya akan menanggung resiko dan siap
diperkarakan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Demikianlah surat pernyataan yang saya buat dengan sebenar-
benarnya.
Surabaya, Juli 2019
Yang menyatakan,

Daliana Fehabutar
NIM 15030184005

iv
Kata Pengantar

Puji syukur kepada Allah SWT berkat Rahmat, Hidayah,


dan Karunia-Nya kepada kita semua sehingga Penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Implementasi Problem
Based Learning Berbasis ICT pada Pembelajaran Fisika untuk
Meningkatkan HOTS Peserta Didik SMA”. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat kelulusan pada program Strata-1
Pendidikan Fisika di Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Surabaya.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak akan
selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Karena itu pada
kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua yang selalu mendoakan.
2. Prof. Dr. Budi Jatmiko, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing.
3. Dr. Titin Sunarti, M.Si., dan Setyo Admoko, S.Pd., M.Pd.,
sebagai dosen penguji.
4. Drs. H. Muki, M.Pd., Selaku Kepala SMAN 2 Lamongan
yang telah memberikan izin melaksanakan penelitian di
SMAN 2 Lamongan.
5. Awang Lazuardi, S.Pd., Selaku guru fisika kelas X MIA
yang telah memberikan izin melaksanakan penelitian di
ketiga kelas yang diampu serta menilai keterlaksanaan
pembelajaran pada kedua kelas eksperimen.
6. Fitrotul Maulidiyah, S.Pd., Selaku teman sejawat yang
menilai keterlaksanaan pembelajaran pada kedua kelas
eksperimen dan selalu memberi dukungan luar biasa untuk
semangat mengerjakan skripsi ini.
7. Segenap Dosen Jurusan Fisika Universitas Negeri Surabaya
yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
8. Keluarga kontrakan sotong yang selalu ada untuk
menemani.

v
9. Keluarga besar jurusan fisika 2015 terutama PFC 2015.
Penulis menyadari skripsi ini tidak luput dari berbagai
kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi
kesempurnaan dan perbaikannya sehingga akhirnya skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi bidang pendidikan dan
penerapan dilapangan serta bisa dikembangkan lagi lebih lanjut.

Surabaya, Juli 2019


Penulis

(Daliana Fehabutar)

vi
ABSTRAK

IMPLEMENTASI PROBLEM BASED LEARNING BERBASIS


ICT PADA PEMBELAJARAN FISIKA UNTUK
MENINGKATKAN HOTS PESERTA DIDIK SMA

Nama : Daliana Fehabutar


NIM : 15030184005
Program Studi : S-1 Pendidikan Fisika
Jurusan : Fisika
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas : Universitas Negeri Surabaya
Pembimbing : Prof. Dr. Budi Jatmiko, M.Pd.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keefektifan


model Problem Based Learning berbasis ICT dalam meningkatkan
HOTS peserta didik. Jenis penelitian ini adalah pre experiment
dengan syarat kelas kontrol tidak efektif dalam meningkatkan
HOTS. Desain penelitian yang digunakan adalah control group
pre-test dan post-test. Subjek dalam penelitian ini adalah 85
peserta didik dari SMAN 2 Lamongan yang terdiri dari 28
peserta didik kelas X MIA 1 sebagai kelas kontrol, 28 peserta
didik dari kelas X MIA 2 sebagai kelas eksperimen 1, dan 28
peserta didik dari kelas X MIA 3 sebagai kelas eksperimen 2
yang diambil dengan metode proposed sampling. Teknik analisis
yang digunakan adalah uji t berpasangan pada α=5% untuk
menguji perbedaan pada post-test dan pre-test setiap kelas,
analisis n-gain untuk melihat kriteria peningkatan nilai tes HOTS
yang keduanya digunakan sebagai syarat dapat dikatakan efektif
dalam meningkatkan HOTS. Jika kedua kelas eksperimen yang
menggunakan PBL berbasis ICT efektif dan kelas kontrol tidak
efektif, maka dilakukanlah uji kesamaan rata-rata gain dari
kedua kelas eksperimen sebagai wujud dari jenis penelitian pre
experiment. Hasil yang diperoleh dari penelitian yang telah
dilakukan adalah nilai post-test lebih tinggi daripada pre-test
untuk ketiga kelas, kriteria peningkatan sedang untuk kedua
kelas eksperimen dan rendah untuk kelas kontrol melalui
vii
analisis rata-rata n-gain. Setelah direduksi dan dilakukan uji
t-independet mendapatkan hasil bahwa tidak ada beda pada
rata-rata gain kedua kelas eksperimen. Sehingga kesimpulan
yang diperoleh adalah model Problem Based Learning berbasis ICT
efektif dalam meningkatkan HOTS peserta didik, sedangkan
kelas kontrol tidak memenuhi syarat untuk dikatakan efektif
melalui uji t berpasangan pada α=5% dan kriteria peningkatan
minimal sedang melalui analisis rata-rata n-gain.

Kata kunci: Problem Based Learning, Berbasis ICT, HOTS.

viii
ABSTRACT

IMPLEMENTATION OF ICT-BASED PROBLEM BASED


LEARNING IN PHYSICS TO IMPROVE HIGH SCHOOL
STUDENTS’ HOTS

Name : Daliana Fehabutar


NIM : 15030184005
Study program : S-1 Physical Education
Department : Physics
Faculty : Mathematics and Natural Science
University : State University of Surabaya
Advisor : Prof. Dr. Budi Jatmiko, M.Pd.

This study aimed to describe effectiveness of ICT-based


Problem Based Learning models in improving HOTS learners.
This type of research is pre experiment on the condition that the
control class is not effective in improving HOTS. Research design
which is used is control group pre-test and post-test. Subjects in
this study were 85 students from SMAN 2 Lamongan which
consists of 28 learners in class X MIA 1 as the control class, 28
students from class X MIA 2 as experimental 1 class and 28
students from class X MIA 3 as experimental 2 class, taken with
the proposed method of sampling. The analysis technique which
is used is the paired t test on α= 5%to examine differences in
post-test and pre-test every grade, n-gain analysis to see increase
in test scores HOTS criteria which are both used to judge
effective or not in improving HOTS. If both classes of
experiments using ICT-based PBL effective and control class is
not effective, then the equality test was performed in average
gain of both the experimental classes as a form of
pre-experimental type of research. The results of the research
that has been done is post-test value is higher than the pre-test
for all classes, medium criteria increase for both experimental
classes and low for control class through the analysis of the
n-gain average. Once the test is reduced and t-independet get the
result that there is no difference in the average gain of both
ix
experimental classes. ICT-based Problem Based Learning model
is effective in improving HOTS learners, while the control group
not through the paired t test at α= 5% and the criteria for a
minimal increase was through the analysis of the average n-gain.

Keywords: Problem Based Learning, ICT, HOTS.

x
Daftar Isi

Halaman Sampul……………….……………………………………i
Halaman Persetujuan……………………………………………….ii
Halaman Pengesahan……………………………………………….iii
Surat Pernyataan Orisinalitas……………….……………………iv
Kata Pengantar……………………………………………………….v
ABSTRAK…………………………………………………………..vii
ABSTRACT………………………………………………………….ix
Daftar Isi……………………………………………………………xi
Daftar Tabel…………………………………………………………xiv
Daftar Gambar……………………………………………………xvi
Daftar Lampiran………………………………………………….xvii
BAB I
A. Latar Belakang…………………………………………...1
B. Ru m u s a n Ma s a l a h …… … … … … … … … … … … … 6
C. Tujuan Penelitian………………………………………..6
D. Manfaat Penelitian ...………… ………………………7
E. Batasan Penelitian…………………………………….…7
F. Asumsi Penelitian…………………………………………8
G. Definisi Istilah……………….…………………………….8
BAB II
A. Hakikat Pembelajaran Fisika…….……………………….9
B. Model Problem Based Learning (PBL)…………………..10
C. Information and Communication Technology (ICT).……..14
D. Higher Order Thinking Skill (HOTS)…………………...14
E. Keterkaitan Model Problem Based Learning dengan
HOTS…………………………………………………….16
F. Implementasi ICT dalam Pembelajaran……………….18
G. Konsep Materi………………………….………………..18
H. Penelitian yang Relevan……………………………….23
I. Kerangka Penelitian.…………………………………...27
Bab III
A. Jenis Penelitian…………………………………………31
B. Desain Penelitian……………………………………..31
C. Tempat dan Waktu Penelitian……………….………32
D. Subjek Penelitian……………………………………….32
xi
E.Variabel Penelitian……………………………………..32
F.Definisi Operasional Variabel.………………………...32
G.Prosedur Penelitian…………………………………….33
1. Tahap Persiapan dan Perencanaan Penelitian…….33
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian…………………….….34
3. Tahap Akhir dan Penyelesaian Penelitian….………35
H. Perangkat dan Instrumen Penelitian………………….35
I. Metode Pengumpulan Data…………………………...37
J. Teknik Analisis Data…………………………………...37
1. A n a l i s i s L e m b a r O b s e r v a s i K e t e r l a k s a n a a n
Pembelajaran………………………………………….37
2. Analisis Test HOTS…………………………………….38
1. Uji t-berpasangan.………………………………….39
Uji Normalitas…………………………………….39
Uji t-berpasangan……………………………….41
2. Analisis N-gain.……………………………………42
3. Uji t-independent……………………………………43
Uji Homogenitas…………………………………..43
Uji t-independent……………………………………44
3. Analisis Angket Respon Peserta Didik………………45
4. Analisis Butir Soal………………………….…………..46
1) Taraf Kesukaran Soal……………………………..46
2) Uji Validitas………………………………………..47
3) Uji Reliabilitas……………………………………….49
K. Matriks Penelitian………………….…………………….57
Bab IV
A. Hasil dan Analisis Data Penelitian….…………………59
1. Analisis Hasil Penelitian………………………………59
1. Analisis Keterlaksanaan Pembelajaran.…………..59
2. HOTS Peserta Didik…………………………..……62
3. Respon Peserta Didik……………………………….68
B. Pembahasan…………………………………………….69
1. Keterlaksanaan Pembelajaran………………………..69
2. HOTS Peserta Didik…………….………………….….71
BAB V
A. Kesimpulan……….……………………………………..75
B. Saran………………………………………………………75
xii
Daftar Pustaka……………………………………………………….77
Lampiran……………………………………………………………87

xiii
Daftar Tabel

Tabel 2.1 Sintaks Problem Based Learning Berbasis ICT………13


Tabel 2.2 Kategori HOTS Menurut Ahli………………………15
Tabel 2.3 Indikator HOTS Berdasarkan Taksonomi Bloom
(Revisi)…………………………..……………………16
Tabel 2.4 Keterkaitan antar Model Problem Based Learning
dengan HOTS………………………………………….17
Tabel 3.1 Skema Rancangan Penelitian……………………….31
Tabel 3.2 Penskoran Skala Likert…………………… …………36
Tabel 3.3 Kriteria Skor Keterlaksanaan……………………….38
Tabel 3.4 Kategori Penilaian Keterlaksanaan Pembelajaran….38
Tabel 3.5 Kriteria Interpretasi Nilai Gain yang
dinormalisasi…………………………………………42
Tabel 3.6 Kriteria Penskoran Respon Peserta Didik…………45
Tabel 3.7 Kriteria Presentase Rating Scale………………………46
Tabel 3.8 Kriteria Indeks Kesukaran Soal………………………47
Tabel 3.9 Taraf Kesukaran………………………………….…….47
Tabel 3.10 Kriteria Validitas Soal……………………………48
Tabel 3.11 Validitas Soal……………………………………….…..48
Tabel 3.12 Interpretasi Reliabilitas………………………………50
Tabel 3.13 Reliabilitas Soal…………………………….…………..50
Tabel 3.14 Validitas Silabus……….……………………………….50
Tabel 3.15 Validitas RPP…….……….…………………………….51
Tabel 3.16 Validitas Handout……….…………………………….52
Tabel 3.17 Validitas Soal Test……….………………….……….53
Tabel 3.18 Validitas LKPD…….…….…………………………….54
Tabel 3.19 Validitas Lembar Keterlaksanaan Pembelajaran….55
Tabel 3.20 Validitas Angket Respon.…………………………….56
Tabel 3.21 Matriks Penelitian……………………………………57
Tabel 4.1 Data Keterlaksanaan Pembelajaran………………….60
Tabel 4.2 Data Nilai Kelas Eksperimen 1………………………62
Tabel 4.3 Data Nilai Kelas Eksperimen 2……………………….63
Tabel 4.4 Data Nilai Kelas Kontrol…………………………….64
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Uji Normalitas………………….65
Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas….…………….65
Tabel 4.7 Hasil Perhitungan Uji t Berpasangan……………….66
xiv
Tabel 4.8 Hasil Perhitungan Analisis Rata-Rata N-Gain…….66
Tabel 4.9 Hasil Perhitungan Uji t-independent Kelas Eksperimen
1 dan Eksperimen 2………………………………….67
Tabel 4.10 Data Persentase Respon Peserta Didik…………….68

xv
Daftar Gambar

Gambar 2.1 Momentum tiap benda…………………………19


Gambar 2.2a Grafik gaya terhadap waktu dimana luasan di
bawah kurva menunjukkan impuls………….20
Gambar 2.2b Grafik gaya terhadap waktu dimana luasan
persegi menunjukkan impuls karena gaya
rata-rata………………………………………….20
Gambar 2.3 Momentum kekal pada tumbukan dua benda.21
Gambar 2.4 Kerangka Penelitian……………….……………29

xvi
Daftar Lampiran

Lampiran 1 Silabus…………………………………………87
Lampiran 2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran……….89
Lampiran 3 Kisi-Kisi Soal ….……………….………….…100
Lampiran 4 Rubrik Penilaian Test………………………109
Lampiran 5 Taraf Kesukaran……………………………112
Lampiran 6 Validitas Soal………………………………113
Lampiran 7 Reliabilitas Soal………………………………115
Lampiran 8 Normalitas……………………………………117
Lampiran 9 Homogenitas…………………………………123
Lampiran 10 Uji t Berpasangan……………………………124
Lampiran 11 Analisis N-Gain………………………………127
Lampiran 12 Uji t-independent Dua Pihak………………130
Lampiran 13 Angket Respon………………………………131
Lampiran 14 Dokumentasi…………….…………………133
Lampiran 15 Surat Permohonan Ijin Ambil Data.………134
Lampiran 16 Surat Keterangan Telah Ambil Data………135

xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan zaman dan peradaban selalu diiringi dengan
semakin banyaknya tuntutan dunia pada setiap individu.
Terpaksa atau tidak setiap individu harus menjadikan dirinya
dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman dan peradaban
yang ditinggalinya. Semakin tingginya tuntutan zaman maka
semakin tinggi pula kualitas yang harus dimiliki oleh setiap
individu agar dapat beradaptasi dan bersaing dengan individu
lainnya. Abad 21 yang saat ini sedang berjalan menuntut
kemampuan-kemampuan berpikir kritis, kreatif, inovatif, serta
kemampuan dalam memecahkan masalah (P21, 2019). Bahkan
saat ini telah masuk ke era revolusi industri 4.0 yang berbeda
jauh dengan revolusi industri sebelumnya. Jika pada revolusi
industri 3.0 dunia berkembang dengan adanya komputer dan
internet, maka di era revolusi industri 4.0 dunia akan
berkembang dengan jalan yang berbeda. Segalanya akan bersifat
terhubung satu sama lain, serba otomatis, transparan dan
proaktif (Lavalle, 2018). Teknologi otomatis memang sudah
banyak ditemui saat ini, akan tetapi ke depannya bukan hanya
otomatis akan tetapi memiliki pemikiran sendiri, yang nantinya
dapat memprediksi dan dapat menghindari masalah yang akan
muncul. Dengan kata lain, pekerjaan manual yang dikerjakan
oleh manusia saat ini akan semakin tergerus habis diambil alih
oleh mesin. Segalanya akan tersambung, terintegrasi dengan
teknologi, inovasi-inovasi baru akan segera diterapkan di
semua lini sehingga menuntut akan cepatnya adaptasi dari
masyarakat akan perubahan-perubahan yang terjadi di
sekitarnya. Maka yang tersisa dan bisa diandalkan adalah
pemikiran yang kritis dan kreatif yang dapat memberikan
inovasi-inovasi serta menyelesaikan masalah-masalah yang

1
2

muncul dan tidak dapat diselesaikan oleh mesin. Sehingga


bukan kehilangan pekerjaan akan tetapi malah menciptakan dan
memberikan sumbangsih untuk kemajuan peradaban.
Berbicara tentang pemikiran atau berpikir, maka dalam
dunia pendidikan ada istilah Higher Order Thinking Skill (HOTS)
atau berpikir tingkat tinggi. Berpikir tingkat tinggi adalah
berpikir pada tingkat lebih tinggi dari pada sekedar menghafal
fakta atau mengatakan sesuatu kepada seseorang persis seperti
bagaimana sesuatu itu disampaikan (Heong et al., 2011). HOTS
mencakup banyak proses berpikir, seperti berpikir kritis
(Brookhart, 2010), logis, reflektif, metakognitif, dan berpikir
kreatif (King et al., 2011). Kemampuan berpikir tingkat tinggi
menurut Pohl (1999) melibatkan kemampuan analisis, evaluasi,
dan kreasi. Kemampuan berpikir tingkat tinggi berdasarkan
pemaparan di atas sesuai dengan apa yang dibutuhkan agar
dapat bersaing dalam persaingan abad 21 dan era revolusi
industri 4.0.
Menjawab tantangan besar tersebut pendidikan Indonesia
harus mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas dengan menggembangkan potensi yang dimiliki.
Jawaban dari Indonesia adalah dengan kurikulum 2013 yang
merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya yang
telah dievaluasi dan disesuaikan dengan kebutuhan anak bangsa
guna bersaing di era yang luar biasa ini (Wulandari, 2016).
Konsep pembelajaran dari kurikulum 2013 menuntut peserta
didik untuk memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher
Order Thinking Skill). Kurikulum 2013 mengadopsi taksonomi
Bloom revisi dan membagi proses berpikir menjadi 6 tingkatan.
Tiga level dalam berpikir yang menjadi bagian dari keterampilan
berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking yaitu aspek
menganalisa (C4), aspek mengevaluasi (C5), dan aspek mencipta
3

(C6) sedangkan tiga level lain yaitu aspek mengingat (C1), aspek
memahami (C2), dan aspek menerapkan (C3) masuk dalam
tahapan intelektual berpikir tingkat rendah atau lower order
thinking (Anderson et al., 2001; Schraw & Robinson, 2011).
Dengan kurikulum 13 ini, diharapkan dapat menciptakan
generasi yang memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Berangkat dari kebutuhan HOTS pada setiap peserta didik,
wajah pendidikan Indonesia terutama dalam bidang sains
tingkat SMP dan SMA di lingkup global dapat dilihat dalam
hasil tes PISA tahun 2015 yang menunjukkan peringkat
Indonesia berada di posisi ke 62 dari 70 negara yang
berpartisipasi, dengan nilai pada bidang sains 403 berada di
bawah nilai rata-rata PISA 493. Programme for International
Student Assessment (PISA) adalah sebuah survey 3 tahunan yang
dilakukan pada peserta didik usia 15 tahun terkait seberapa luas
mereka dapat berpartisipasi atau ikut andil dalam kehidupan
masyarakat modern dengan pengetahuan dan keterampilan
yang telah diperoleh selama sekolah (OECD, 2018). Soal-soal
yang diujikan dalam PISA bertujuan untuk menilai kemampuan
berpikir tingkat tinggi peserta didik dalam memecahkan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari menggunakan apa
yang mereka peroleh dari pembelajaran di sekolah (Foster, 2004).
Berdasarkan pemaparan di atas, HOTS peserta didik Indonesia
masih berada di bawah rata-rata saat bersaing dengan negara
lain.
Penelitian Istiyono (2017) menunjukkan bahwa kemampuan
berpikir tingkat tinggi peserta didik salah satu SMA di Indonesia
berada dalam kategori sangat rendah 4.75%, rendah 40.30%,
sedang 33.45%, tinggi 19.5% dan sangat tinggi 2%. Hasil yang
masih didominasi kategori rendah dan sedang juga diperoleh
dari penelitian Shidiq et al. (2015) yang menunjukkan 7,4%
peserta didik memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi
4

sangat rendah, 25,2% rendah, 52,7% sedang dan 14, 7% tinggi


serta 0% sangat tinggi. Fakta yang ada berbeda dengan harapan
bahwa peserta didik SMA di Indonesia masih belum memenuhi
kebutuhan HOTS. Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan di SMAN 2 Lamongan, peserta didik yang mampu
mendapatkan nilai lebih dari 50 hanya 26,38%, sedangkan
sisanya 73,62% memperoleh nilai dibawah 50 dari nilai total 100.
Kegiatan belajar mengajar di SMAN 2 Lamongan juga masih
menggunakan metode ceramah atau konvensional.
Salah satu hal yang menyebabkan rendahnya HOTS peserta
didik adalah guru mengajar dengan pendekatan satu arah
(konvensional). Pada pembelajaran satu arah peserta didik
kurang diberi kesempatan untuk menggunakan pemikiranya
lebih jauh lagi, sehingga ketika dihadapkan pada soal yang
memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi, seperti analisis
atau penalaran yang mendalam, peserta didik akan merasa
kesulitan. Berdasarkan asumsi itu perlu kiranya bagi guru,
untuk menggunakan pembelajaran yang dapat mengantarakan
peserta didik menuju keterampilan berpikir tingkat tinggi
(Marjan et al., 2014: 3). Salah satu alternatif solusi yang dirasa
dapat meningkatkan HOTS peserta didik adalah model Problem
Based Learning (PBL) berbasis ICT.
Model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) adalah
model pembelajaran aktif yang dapat mengakomodasi peserta
didik untuk mengembangkan HOTS (Grabinger, 2002). Model
PBL dapat memaksimalkan kemampuan peserta didik untuk
mengkonstruksi struktur kognitif melalui proses, prinsip serta
mekanisme dasar dari fenomena, yang membantu mereka dalam
pencarian suatu solusi untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi (Schmidt, 1993).
Selain model pembelajaran yang efektif, dalam proses
pembelajaran juga dibutuhkan media pembelajaran yang
5

mendukung sehingga segala hal yang bersifat abstrak dalam


pelajaran dapat divisualisasikan. Dalam Permendikbud No. 22
tahun 2016 tentang pembelajaran pada pendidikan dasar dan
pendidikan menengah menyatakan bahwa rencana pelaksanaan
pembelajaran disusun dengan mempertimbangkan penerapan
teknologi informasi dan komunikasi (Information and
Communication Technology, ICT) secara terintegrasi, sistematis,
dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi. Sehingga untuk
memaksimalkan proses pembelajaran di kelas diperlukan media
pembelajaran yang menerapkan ICT. Penggunaan model PBL
dapat diintegrasikan dengan ICT agar pembelajaran lebih
menarik dan tidak membosankan. Pengintegrasian ICT di sini
dapat berupa penggunaan laboratorium virtual PhET Simulations
dan pembuatan animasi maupun video menggunakan
aplikasi-aplikasi tertentu. PBL berbasis ICT akan dapat
mendukung kesuksesan pembelajaran jika dilakukan dengan
tepat (Yassin et al., 2011) serta berkontribusi pada pencapaian
hasil belajar yang diinginkan (Fong Ma et al., 2008). Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwi et al. (2012) yang
memperoleh kesimpulan terdapat perbedaan pemahaman
konsep dan kemampuan pemecahan masalah yang signifkan
antara peserta didik yang dibelajarkan dengan menggunakan
model PBL berbasis ICT dan model PBL saja. Hal senada juga
diperoleh dari penelitian Suwasono & Puspitasari (2017) yang
menunjukkan bahwa rerata nilai kemampuan pemecahan
masalah peserta didik yang dibelajarkan dengan model PBL
berbantuan ICT lebih tinggi daripada peserta didik yang
dibelajarkan dengan metode ceramah.
Berkaca dari penelitian sebelumnya dan kesenjangan antara
fakta dan harapan HOTS peserta didik maka disusunlah
penelitian ini dengan judul Implementasi Problem Based
6

Learning Berbasis ICT pada Pembelajaran Fisika untuk


Meningkatkan HOTS peserta didik SMA.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana keterlaksanaan implementasi Problem Based
Learning berbasis ICT pada pembelajaran fisika untuk
meningkatkan HOTS peserta didik kelas X SMA Negeri 2
Lamongan?
2. Bagaimana keefektifan model Problem Based Learning berbasis
ICT untuk meningkatkan HOTS peserta didik kelas X SMA
Negeri 2 Lamongan?
3. Bagaimana respon peserta didik terhadap implementasi
model Problem Based Learning berbasis ICT untuk
meningkatkan HOTS peserta didik kelas X SMA Negeri 2
Lamongan?

C. Tujuan Penelitian
Berdasakan perumusan masalah, maka tujuan yang akan
dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan keterlaksanaan implementasi Problem Based
Learning berbasis ICT untuk meningkatkan HOTS peserta
didik kelas X SMA Negeri 2 Lamongan.
2. Mendeskripsikan keefektifan model Problem Based Learning
berbasis ICT untuk meningkatkan HOTS peserta didik kelas
X SMA Negeri 2 Lamongan.
3. Mendeskripsikan respon peserta didik terhadap
implementasi model Problem Based Learning berbasis ICT
untuk meningkatkan HOTS peserta didik kelas X SMA
Negeri 2 Lamongan.
7

D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi beberapa pihak diantaranya yaitu :
1. Bagi sekolah dapat dijadikan masukan untuk memperbaiki
kualitas pendidikan selanjutnya.
2. Bagi guru fisika dapat dijadikan sebagai inovasi desain
proses pembelajaran yang mampu meningkatkan HOTS.
3. Bagi Peserta didik dapat dijadikan sebagai penambah
semangat dan motivasi untuk telibat aktif dalam proses
pembelajaran baik secara mandiri maupun dengan
bimbingan guru di dalam kelas serta mampu melatih dan
meningkatkan HOTS.
4. Bagi peneliti dapat dijadikan sebagai media belajar
penunjang penelitian yang akan dilakukan selanjutnya
menjadi lebih baik.

E. Batasan Penelitian
Untuk menghindari perluasan pembahasan masalah dalam
penelitian yang akan dilakukan, maka batasan dalam penelitian
ini adalah :
1. Subyek penelitian adalah peserta didik pada tiga kelas X
SMA Negeri 2 Lamongan.
2. Materi yang digunakan adalah momentum dan impuls
kelas X SMA semester 2.
3. Nilai HOTS peserta didik dilihat dari nilai tertulis peserta
didik dari post-test dan pre-test.
4. Indikator HOTS yang digunakan berdasarkan taksonomi
Bloom yang direvisi oleh Anderson et al. (2001), yaitu
menganalisis, mengevaluasi dan mencipta.
8

F. Asumsi Penelitian
Asumsi penelitian dalam penelitian ini diantaranya yakni
sebagai berikut :
1. Peserta didik mengikuti secara aktif proses pembelajaran
dan mengerjakan tes HOTS dengan sungguh sungguh dan
jujur.
2. Peneliti menilai hasil tes peserta didik dengan objektif dan
hasil tes menggambarkan secara benar HOTS dari peserta
didik.
3. Pengamat secara objektif mengamati dan menilai
keterlaksanaan proses pembelajaan yang dilakukan oleh
peneliti.
4. Validator instrumen yang digunakan adalah orang yang
ahli di bidangnya secara objektif, jujur dan maksimal dalam
memvalidasi perangkat pembelajaran dari peneliti.

G. Definisi Istilah
1. Problem Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran
yang berpusat pada peserta didik dan berpusat pada
masalah, di mana peserta didik terlibat dalam masalah
otentik dan tidak terstruktur (Savery, 2015).
2. Information and Communicayion Technology (ICT) adalah
segala hal dalam teknologi yang berhubungan dengan
komunikasi, informasi, pemrosesan data, dan
penyimpanan data (Srivastava, 2016).
3. Higher Order Thinking Skills (HOTS) adalah tahap di luar
pemahaman dan penerapan tingkat pengetahuan yang
lebih rendah, yaitu menganalisis, mengevaluasi dan
mencipta (Anderson et al., 2001).
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Hakikat Pembelajaran Fisika


Pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik
dengan pendidik, peserta didik dengan peserta didik, peserta
didik dengan orang orang di lingkungannya dan peseta didik
dengan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (Siswanto,
2018). Pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu sistem yang
tersusun dari beberapa komponen yang saling terkait satu sama
lain. Komponen komponen pembelajaran diantaranya yaitu
SDM (guru dan peserta didik), material, fasilitas termasuk
perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk
mencapai keberhasilan tujuan pembelajaran. Kegiatan
pembelajaran yang disusun harus bisa mewakili tugas guru
sebagai seseorang yang mendidik, mengajar, membimbing
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik
(UU No 14 th 2005). Kurikulum 2013 yang diterapkan di
Indonesia sekarang telah melalui beberapa perbaikan sejak
digunakannya mulai tahun 2013. Sesuai kurikulum 2013
pengembangan kegiatan pembelajaran harus sesuai dengan
karakteristik kompetensi dan kemampuan berpikir peserta
didik yang termasuk dalam keterampilan abad 21.
Fisika adalah bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam. Fisika
merupakan ilmu yang mempelajari mengenai bagaimana sistem
alam bekerja secara sistematis dari suatu penemuan dan
pengetahuan yang berupa fakta, konsep atau prinsip dan
pengembangannya dihubungkan dalam kehidupan sehari hari
(Depdiknas, 2003). Fisika menjadi salah satu ilmu yang
mendasari perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bahkan munculnya revolusi industri sejak yang
pertama juga didasari oleh ilmu fisika. Revolusi industri
pertama didasari oleh penemuan Newton dan James Watt,
revolusi industri kedua didasari oleh penemuan Maxwell
tentang listrik magnet, revolusi industri ketiga didasari oleh
penemuan John Bardeen tentang transistor yang mendasari
munculnya era ICT, dan sekali lagi fisika menjadi dasar ilmu
9
10

tentang Artificial Intellegence (AI) dan Cyber Physical System (CPS)


yang akan menjadi pondasi dari revolusi industri keempat
(Xing & Marwala, 2017). Mempelajari ilmu fisika sebagai salah
satu ilmu dasar untuk mengkaji alam tidak bisa hanya sekedar
dibaca dan dihafalkan namun juga perlu pemahaman dan
pembuktian melalui suatu observasi yang sesuai dengan
metode ilmiah, sehingga dapat digunakan sebagai solusi
pemecahan masalah terutama dalam hubungannya dengan
kehidupan sehari hari.
Pembelajaran fisika menekankan pada aktivitas peserta
didik yang aktif dalam memecahkan masalah melalui tindakan
seperti melakukan observasi atau eksperimen, mendiskusikan
suatu masalah, memperhatikan suatu demonstrasi, menjawab
pertanyaan dan menerapkan konsep dan hukum lalu
mengkomunikasikannya (Suwatra, 2015). Tujuan dari
diselenggarakannya pelajaran fisika di SMA adalah sebagai
sarana untuk melatih para peserta didik agar dapat menguasai
pengetahuan, konsep dan prinsip fisika, kecakapan ilmiah dan
keterampilan proses IPA, keterampilan berpikir kritis dan
kreatif (Depdiknas, 2003). Mengajar fisika pada hakikatnya
adalah suatu usaha memilih strategi yang sesuai untuk
mengajarkan suatu materi dengan kondisi dan situasi belajar
yang kondusif sehingga mendukung terbentuknya peserta
didik yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
dibutuhkan serta dapat diterapkan untuk penyelesaian masalah
dalam kehidupan sehari hari.

B. Model Problem Based Learning (PBL)


1. Pengertian
Problem Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran
yang berpusat pada peserta didik dan berpusat pada masalah,
di mana peserta didik terlibat dalam masalah otentik dan tidak
terstruktur (Savery, 2015). Peserta didik memperoleh
pengetahuan baru dengan mengidentifikasi kesenjangan
pengetahuan antara tingkat pengetahuan mereka saat ini
dan tingkat pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengatasi
11

masalah yang diberikan (Barrows, 1996; Savery, 2015). Barrows


dan Myers (1993) mendefinisikan PBL sebagai multi-step
approach, di mana kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari
lima peserta didik bekerja dengan arahan guru. Setelah masalah
diberikan kepada peserta didik, peserta didik mendiskusikan
masalah, menghasilkan hipotesis, dan mengembangkan tujuan
pembelajaran. Selanjutnya, peserta didik mengumpulkan
informasi yang diperlukan kemudian melalui diskusi dengan
kelompoknya mengevaluasi kegunaan informasi yang
diperoleh untuk menentukan apakah sudah cukup atau belum
informasi yang diperlukan untuk mendukung jawaban atas
masalah yang diberikan.
Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu
pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk merangsang
kemampuan peserta didik untuk berpikir tingkat tinggi dalam
siatuasi yang berorientasi pada masalah dunia nyata, termasuk
di dalamnya bagaimana belajar (Ibrahim, Muslimin dan Nur,
Mohamad, 2000:2). Nilai pedagogis yang dituju dari PBL sendiri
meliputi: menghadapkan peserta didik pada permasalahan
yang nyata, HOTS, pembelajaran interdisiplin, pembelajaran
mandiri, keterampilan menggali informasi, kerja tim dan
komunikasi yang diperoleh selama peserta didik bekerja
bersama, berdiskusi, membandingkan, meninjau dan
memperdebatkan apa yang telah mereka pelajari (Patrick, 2009).
Dengan demikian PBL mengarahkan peserta didik untuk
mengembangkan kemampuan berpikirnya bukan sekedar
materi pembelajaran saja. Penekanan dalam PBL adalah pada
pemberian masalah yang kemudian diselesaikan oleh peserta
didik dengan HOTS.
2. Karakteristik Problem Based Learning
Setiap model pembelajaran memiliki ciri-ciri atau
karakteristiknya masing-masing yang membedakannya dengan
yang lain, termasuk juga problem based learning. Menurut Abidin
(2014) PBL memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Masalah menjadi titik awal pembelajaran.
b. Masalah yang digunakan dalam masalah yang bersifat
konstektual dan otentik.
12

c. Masalah mendorong lahirnya kemampuan siswa


berpendapat secara multiperspektif.
d. Masalah yang digunakan dapat mengembangkan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan serta kompetensi
siswa.
e. Model PBL berorientasi pada pengembangan belajar
mandiri.
f. Model PBL memenfaatkan berbagai sumber belajar.
g. Model PBL dilakukan melalui pembelajaran yang
menekankan aktivitas kolaboratif, komunikatif, dan
kooperatif.
h. Model PBL menekankan pentingnya pemerolehan
keterampilan meneliti, memecahkan masalah, dan
penguasaan pengetahuan.
i. Model PBL mendorong siswa agar mampu berfikir
tingkat tinggi; analisis, sintesis, dan evaluatif.
j. Model PBL menuntut siswa agar menciptakan suatu
artefak atau gagasan yang merupakan solusi dari
masalah.
k. Model PBL diakhiri dengan evaluasi, kajian
pengalaman belajar, dan kajian proses pembelajaran.
3. Sintaks PBL Berbasis ICT
Sintaks pembelajaran berbasis masalah yaitu (1) Orientasi
peserta didik terhadap masalah; (2) Mengorganisasi peserta
didik untuk belajar; (3) Membimbing penyelidikan individu
dan kelompok; (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya;
(5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
(Arends, 2012). Setelah dipadukan dengan ICT maka basis dari
PBL sedikit berubah dengan tambahan-tambahan yang berbau
teknologi, seperti misalnya media yang digunakan. Aktivitas
guru berdasarkan sintaks pembelajaran berbasis masalah
ditunjukkan pada Tabel 2.1
13

Tabel 2.1 Sintaks Problem Based Learning Berbasis ICT


No Tahap Aktivitas Guru
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan
memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam
aktivitas pembelajaran. Guru menyajikan
Orientasi peserta
berbagai masalah melalui video fenomena yang
1. didik terhadap
ditampilkan lalu peserta didik mengidentifikasi
masalah
masalah tersebut. masalah yang diberikan dapat
mengundang ketertarikan dan merangsang rasa
ingin tahu peserta didik.
Guru membantu peserta didik mendefinisikan,
mengorganisai tugas yang berhubungan dengan
masalah, dan menentukan jenis informasi yang
dibutuhkan untuk mencapai solusi.
Mengorganisasi
Pembelajaran dilakukan dengan berkelompok
2. peserta didik untuk
untuk melatihkan keterampilan sosial dan
belajar
bekerja sama. Guru dan peserta didik harus
menggunakan waktu yang efektif untuk
menentukan sub-topik khusus, serta
melakukan penyelidikan.
Guru mendorong peserta didik untuk
mengumpulkan informasi yang tepat dengan
membaca buku, artikel, atau online source untuk
menciptakan dan membangun ide serta
Membimbing
membuat hipotesis. Selanjutnya melakukan
penyelidikan
3. eksperimen menggunakan laboratorium virtual
individu dan
PhET Simulations dan mencari penjelasan serta
kelompok
penyelesaian masalah. Guru mengamati
keaktifan peserta didik dalam penyelidikan dan
meninjau solusi yang dapat diterapkan untuk
masalah umum.
Guru membantu peserta didik dalam
merencanakan dan mempersiapkan hasil karya
Mengembangkan
tertulis seperti laporan atau desain suatu solusi,
4. dan menyajikan
serta membantu peserta didik memamerkan
hasil karya
dan mempresentasikan hasil kerja pada
teman-temannya.
Guru membantu peserta didik untuk merefleksi
Menganalisis dan hasil penyelidikan serta proses yang digunakan
5. mengevaluasi proses dalam penyelidikan. Guru meminta peserta
pemecahan masalah didik untuk merekontruksi pemikiran dan
aktivitasnya selama pembelajaran.
(Sani, 2014)
14

C. Information and Communication Technology (ICT)


Information and Communication Technology (ICT) atau dalam
Bahasa adalah Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
mencakup peralatan digital dan perangkat keras (hardware)
seperti smartphone, laptop, pad atau tablet, dan teknologi
lainnya seperti peralatan audio visual, proyektor, smartboard,
dan berbagai teknologi lain untuk digunakan dalam pendidikan,
pengembangan, informasi, perjalanan dan bisnis. Termasuk juga
internet, blended learning, pembelajaran daring, media sosial,
cloud computation, sistem manajemen pembelajaran, email, dan
peluang pembelajaran online (Johnson et al., 2013).
ICT itu seperti budaya, adalah konsep yang sangat
menantang untuk dijabarkan ke definisi yang spesifik karena
cakupannya sangat luas dan terus berubah (Arnesen, 2010). ICT
sendiri merupakan bentuk atau representasi dari revolusi
industri ketiga yang didominasi oleh komputer dan internet.
Implementasi ICT pada dasarnya mengacu pada penggunaan
teknologi dalam komunikasi, pemrosesan data, dan
penyimpanan data untuk memengaruhi pengetahuan pada
peserta didik (Srivastava, 2016). Salah satu contoh ICT adalam
aplikasi laboratorium virtual yang dilengkapi dengan simulasi
sebagai media eksperimen dan demonstrasi yang bisa digunakan
adalah PhET (Physics Education Technology). Simulasi PhET
adalah simulasi yang dibuat oleh University of Colorado seperti
yang diungkapan Marlinda (dalam Cengiz, 2010). Di dalam
PhET Simulations terdapat bermacam-macam eksperimen
berbasis virtual dari pelajaran fisika, kimia maupun biologi.
Salah satunya adalah eksperimen dalam materi momentum.

D. Higher Order Thinking Skill (HOTS)


1. Pengertian
Definisi Higher Order Thinking Skill (HOTS) dan
sub-kategorinya berbeda menurut para ahli. HOTS dapat
didefinisikan sebagai tantangan dan pengembangan
penggunaan pikiran (Newmann, 1991). Peserta didik dapat
meningkatkan HOTS dengan berpartisipasi secara aktif dalam
15

kegiatan seperti membuat hipotesis, mengumpulkan bukti, dan


menghasilkan argumen (Lewis & Smith, 1993). Selain itu,
banyak ahli mengategorikan jenis HOTS (Lihat Tabel 2.2).
Tabel 2.2 Kategori HOTS Menurut Ahli
Penulis Kategori HOTS Penulis Kategori HOTS
 Berpikir kritis  Menganalisis
Meyers Ormrod
 Berpikir  Mengevaluasi
(1986) (2013)
Kreatif  Mencipta
 Berpikir kritis
 Berpikir  Menganalisis,
Kreatif mengevaluasi, dan
Newmann  Menalar Brookhart mencipta
(1991)  Pemecahan (2010)  Berpikir logis
Masalah  Penilaian dan berpikir
 Membuat kritis
keputusan
 Berpikir kritis
 Berpikir  Berpikir kritis
King,
Woolever Kreatif  Berpikir logis
Goodson,
& Scott  Pemecahan  Berpikir reflektif
& Rohani
(1988) Masalah  Berpikir Metakognitif
(1998)
 Membuat  Berpikir Kreatif
keputusan
 Berpikir kritis  Menganalisis
Lipman
 Berpikir Bloom (1956)  Mensistesis
(2003)
Kreatif  Mengevaluasi
 Menganalisis
Anderson,
 Mengevaluasi
et al. (2001)
 Mencipta
(Kim, 2017)
Seperti terlihat pada Tabel 2.2, HOTS dapat dikategorikan
ke dalam beberapa jenis, tetapi sulit untuk mengambil
kesamaan di antara para ahli tentang jenis tersebut. Namun,
jenis HOTS yang disebutkan di atas jika ditelusuri dalam
taksonomi Bloom merupakan turunan dari taksonomi Bloom itu
sendiri (Miller et al., 2014).
Menurut taksonomi Bloom (1956), HOTS adalah tahap di
luar pemahaman dan penerapan tingkat pengetahuan yang
lebih rendah. Oleh karena itu, menganalisis, mensintesis, dan
mengevaluasi dapat diklasifikasikan sebagai HOTS. Setelah
direvisi oleh Anderson dkk (2001), sintesis diganti dengan
mencipta dan tingkatannya berada di atas mengevaluasi karena
16

dirasa tujuan akhir pendidikan adalah menciptakan produk


(Krathwool, 2002). Menganalisis (C4) berarti kemampuan untuk
mengidentifikasi komponen-komponen informasi dan ide
untuk membangun hubungan antar elemen (Lord & Baviskar,
2007). Mengevaluasi (C5) didefinisikan sebagai kemampuan
untuk menilai nilai materi berdasarkan kriteria yang pasti serta
memungkinkan peserta didik untuk menilai data dan hasil
eksperimen kemudian membenarkan kesimpulan yang
diperoleh, sedangkan mencipta (C6) mengacu pada penciptaan
sesuatu yang baru, koheren atau produk yang orisinal melalui
perpaduan berbagai elemen (Krathwohl, 2002). Berdasarkan
frase ilustrasi di atas, berpikir kritis dan berpikir logis dapat
dikombinasikan untuk membentuk kategori 'menganalisis',
keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
dapat digabungkan untuk membentuk kategori 'mengevaluasi'
(Bloom, 1956; Hershkowitz, 2001), sedangkan berpikir kreatif
dan berpikir reflektif dapat dikombinasikan untuk membentuk
kategori ‘mencipta’ (Nugroho, 2018). Secara keseluruhan,
indikator HOTS berdasarkan taksonomi Bloom (revisi) seperti
pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Indikator HOTS Berdasarkan Taksonomi Bloom


(Revisi)
Tingkat
Pengetahuan Definisi
Menganalisis Mengidentifikasi komponen-komponen informasi
(C4) dan ide untuk membangun hubungan antar elemen.
Menilai nilai materi berdasarkan kriteria yang pasti
Mengevaluasi serta memungkinkan peserta didik untuk menilai
(C5) data dan hasil eksperimen kemudian membenarkan
kesimpulan yang diperoleh.
Membuat sesuatu yang baru, koheren atau produk
Mencipta (C6)
yang orisinal melalui perpaduan berbagai elemen.
(Anderson & Krathwool, 2010)

E. Keterkaitan Model Problem Based Learning Berbasis ICT


dengan HOTS
17

Problem based learning berbasis ICT merupakan pendekatan


pembelajaran yang menggunakan masalah dalam dunia nyata
serta memadukan teknologi sebagai media menjadi suatu
konteks bagi peserta didik untuk mengasah HOTS serta
memperoleh pengetahuan dan konsep dari materi pelajaran.
Hubungan antara model problem based learning berbasis ICT
dengan HOTS saling bersesuaian berdasarkan sintaks maupun
karakteristik PBL itu sendiri. Berikut di dalam tabel adalah
keterkaitan antara model problem based learning berbasis ICT
dengan HOTS yang terlihat dari sintaks-sintaksnya.

Tabel 2.4 Keterkaitan antara Model Problem Based Learning


Berbasis ICT dengan HOTS
No Sintaks PBL HOTS
Pada tahap ini, peserta didik mengamati
kondisi permasalahan yang diberikan
Orientasi peserta didik melalui video fenomena. Pengamatan akan
1.
terhadap masalah masalah, pencarian masalah pastilah
membutuhkan tingkat pemikiran di level
menganalisis (C4).
Pada tahap ini, peserta didik diberikan
sedikit penjelasan mengenai konsep-konsep
Mengorganisasi
yang terkait dengan masalah, serta
2. peserta didik untuk
diarahkan untuk fokus mengamati adanya
belajar
konsep tersebut dalam masalah yang
diberikan.
Pada tahap ini, peserta didik mulai
melakukan pengkajian konsep-konsep yang
terkait dalam masalah serta membedakan dan
Membimbing mengelompokkan konsep-konsep yang
penyelidikan dibutuhkan atau tidak. Pada tahap ini peserta
3.
individu dan didik juga melakukan eksperimen
kelompok menggunakan laboratorium virtual PhET
Simulations sehingga kemampuan untuk
menganalisis (C4) dan bahkan mengevaluasi
(C5) juga terlibat.
Pada tahap ini, peserta didik mulai
merumuskan ide-ide yang dimiliki,
Mengembangkan
kemudian menyepakati ide yang akan
4. dan menyajikan
digunakan sebagai solusi. Setelah diputuskan
hasil karya
ide yang digunakan maka peserta didik mulai
merencanakan, merancang dan mewujudkan
18

No Sintaks PBL HOTS


ide tersebut menjadi sebuah produk yang
nantinya akan dipamerkan. Kemudian
peserta didik mempresentasikan hasil karya
atau produknya. Pembuatan suatu karya atau
artefak adalah ranah mencipta (C6), yang
didukung oleh analisis (C4) serta evaluasi
(C5) akan solusi yang dibuat.
Menganalisis dan Pada tahap ini, peserta didik menganalisis
mengevaluasi (C4) dan mengevaluasi (C5) ketepatan
5.
proses pemecahan prosedur yang dilakukan dengan hasil yang
masalah didapat.

Sedangkan berdasarkan karakteristik dari PBL yang sangat


menonjol untuk meningkatkan HOTS adalah pemberian masalah
yang autentik sehingga membutuhkan analisis untuk memahami
masalah serta menghubungkan permasalahan. Kemudian
penyelesaian masalah tersebut harus menggunakan pemikiran
pada ranah analisis dan evaluasi itu sendiri. Pencapaian solusi
dari masalah yang diberikan serta pembuatan artefak masuk ke
dalam ranah mencipta.

F. Implementasi ICT dalam Pembelajaran


Implementasi dari ICT ke dalam pembelajaran berupa video
atau animasi dari masalah yang akan dibahas dan dicari
solusinya. Pemanfaatan media seperti laptop, LCD serta Power
Point itu sendiri sudah masuk dalam ICT. Kemudian dalam
pencapaian konsep yang nantinya akan digunakan untuk
memperoleh solusi digunakan laboratorium virtual PhET
Simulations untuk momentum. Solusi dari masalah yang
diberikan juga dapat ditampilkan sebagai suatu desain produk
atau desain animasi melalui Power Point.

G. Konsep Materi
1. Momentum
Momentum didefinisikan sebagai besaran yang
mempresentasikan keadaan gerak benda. Secara metematis
momentum merupakan perkalian massa (m) dan kecepatan
benda ( ) atau
19

(2.1)
Keterangan :
= Momentum (kg.m/s)
= Massa (kg)
= kecepatan (m/s)

Momentum dan kecepatan merupakan besaran vektor


memiliki arah yang sama. Sedangkan massa merupakan besaran
skalar yang nilainya selalu positif (Haliday & Resnick, 2011). Jika
kecepatan benda memiliki komponen arah sumbu x, y, z
masing-masing , , dan maka momentum memiliki
komponen-komponen sebagai berikut :
(2.2a)
(2.2b)
(2.2c)
Sistem biasanya terdiri dari banyak (n) benda sehingga
momentum total sistem merupakan penjumlahan vektor dari
momentum masing-masing benda , , ... (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Momentum Tiap Benda


(Sumber: Mikrajuddin, 2016)

Maka momentum totalnya adalah + ... . Apabila


diuraikan dalam komponen-komponennya maka diperoleh
(2.3a)
(2.3b)
(2.3a)

2. Hukum Kekekalan Momentum


20

“Total momentum dari sistem yang terisolasi setiap saat


sama dengan nilai momentum awalnya” atau dengan kata lain
ketika ada dua atau lebih partikel dalam sistem yang terisolasi
berinteraksi, total momentumnya konstan.
   
p1  p2  p1'  p2' ( .4a)
( .4b)

3. Impuls
Berdasarkan perubahan momentum dapat diketahui bahwa
impuls yang bekerja pada benda bernilai sama. Hal ini juga
menunjukan arah vektor impuls sama seperti perubahan
momentum. Impuls tidak dimiliki oleh suatu partikel, melainkan
akibat yang ditimbulkan dari gaya luar yang merubah
nomentum pada partikel (Serway, 2004). Impuls diartikan gaya
impulsif yang bekerja pada partikel selama interval waktu yang
sangat singkat ∆ − dan hampir mendekati nol. Sehingga
dirumuskan sebagai berikut:
(2.5)
Keterangan:
= Impuls (kg.m/s)
= Gaya Impulsif (N atau kg.m/s2)
∆ = Selang waktu (s)

Gaya bernilai sangat besar dalam selang waktu yang singkat.


Namun meskipun dalam waktu singkat, gaya kontak ini
memberikan efek yang sangat besar. Gaya berubah terhadap
fungsi waktu, sehingga dapat dilihat pada Gambar 2.2 (a) dan (b)

(a) (b)
21

Gambar 2.2 (a) Grafik gaya terhadap waktu dimana luasan di bawah
kurva menunjukkan impuls; (b) Grafik gaya terhadap waktu dimana
luasan persegi menunjukkan impuls karena gaya rata-rata.
(Sumber: Serway, 2004)
Berdasarkan grafik, besar impuls merupakan luasan di
bawah kurva. Gaya yang bekerja pada umumnya singkat
sehingga digunakan gaya rata-rata untuk mempermudah
perhitungannya (Serway, 2004). Sehingga dengan menggunakan
gaya rata-rata, nilai impuls dirumuskan sebagai berikut :
t t− t t ∆ (2.6)
Keterangan :
t t− t t = Gaya rata-rata (N atau kg.m/s )
2

Benda yang mengalami perubahan momentum akibat gaya


eksternal yang bekerja dapat menyebabkan perubahan massa
ataupun perubahan kecepatan tiap satuan waktu,
Σ ݇ t (2.7a)
Σ ݇ t (2.7b)
Apabila benda hanya mengalami perubahan kecepatan
sedangkan massanya tetap maka :
Σ . − (2.8a)
I p (2.8b)
Jadi dapat dinyatakan impuls yang dikerjakan suatu benda sama
dengan perubahan momentum yang dialami benda.
4. Tumbukan
Tumbukan erat kaitannya dengan hukum kekekalan
momentum. Telah diketahui bahwa jumlah momentum dari 2
benda atau lebih berinteraksi tetap konstan. Dalam hal ini,
interaksi yang dimaksud adalah dua benda yang mendekat satu
sama lain kemudian saling memberikan gaya seperti yang
ditunjukkan oleh Gambar 2.3.
22

Gambar 2.3 Momentum kekal pada tumbukan dua benda


(Sumber: Giancoli, 2001)
Gaya eksternal total sistem dua bola ini sebesar nol- artinya
gaya yang signifikan hanyalah gaya yang diberikan tiap bola ke
bola lainnya ketika tumbukan. Walaupun momentum dari tiap
bola berubah akibat terjadi tumbukan, jumlah momentum kedua
bola ternyata sama pada waktu sebelum dan sesudah tumbukan.
   
p1  p2  p1'  p2' (2.9a)
(2.9b)
Terdapat 3 jenis tumbukan, tumbukan lenting sempurna,
tumbukan lenting sebagian, dan tumbukan tidak lenting.
a. Tumbukan lenting sempurna
Syarat terjadinya tumbukan lenting sempurna adalah
momentum dan energi kinetik konstan sebelum dan
sesudah terjadinya tumbukan.
   
m1v1  m2v2  m1v1'  m2v2'
1  2 1  2 1  '2 1  ' 2 (2.10a)
m1v1  m2 v 2  m1v1  m2 v 2
2 2 2 2
Nilai v1 dan v1’ tidak harus sama, akan tetapi jumlah
momentumnya yang harus sama. Begitu juga untuk energi
kinetiknya. Sehingga dalam tumbukan lenting sempurna
tidak ada energi yang terbuang keluar atau berubah menjadi
energi lain seperti suara ataupun panas. Dalam tumbukan
juga berlaku nilai koefisien restitusi bernilai 1 (e=1).
Koefisien restitusi sendiri adalah perbandingan antara
kecepatan relatif benda 1 terhadap 2 setelah tumbukan dan
kecepatan relatif benda 1 terhadap benda 2 sebelum
tumbukan.
23

v1'  v2'
e (2.10b)
v1  v2
b. Tumbukan lenting sebagian
Dalam tumbukan lenting sebagian, total momentum
sebelum dan sesudah tumbukan tetap konstan, akan tetapi
tidak untuk energi kinetik. Dengan kata lain ada energi
kinetik yang berubah dalam bentuk energi lain sehingga
energinya tidak konstan. Koefisien restitusi dalam
tumbukan lenting sebagian bernilai lebih dari 0 kurang dari
1 (0 < e < 1).
c. Tumbukan tidak lenting
Dalam tumbukan tidak lenting, total momentum total
momentum sebelum dan sesudah tumbukan tetap konstan,
akan tetapi tidak untuk energi kinetik. Serupa dengan
tumbukan lenting sebagian, perbedaannya adalah koefisien
restitusi dalam tumbukan lenting sebagian bernilai mutlak 0
(e=0).

H. Penelitian yang Relevan


Terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan
penelitian yang akan dilakukan, diantaranya sebagai berikut:
1. Penelitian Henk G. Schmidt et al. (2011)
Penelitan yang dilakukan di tahun 2011 ini berjudul “The
process of problem‐based learning: what works and why”
menyimpulkan bahwa bagusnya hasil belajar dari pembelajaran
model PBL adalah karena PBL memadukan antara kegiatan
diskusi atau kolaborasi setiap peserta didik dengan pengetahuan
individu masing-masing.
2. Jerome I. Rotgans dan Henk G. Schmidt (2011)
Penelitian yang dilakukan di tahun 2011 ini berjudul “The
role of teachers in facilitating situational interest in an active-learning
classroom” mendapatkan hasil bahwa pemberian masalah akan
meningkatkan ketertarikan peserta didik dalam pembelajaran.
3. Penelitian Kuo-shu Huang (2012)
Penelitan yang dilakukan di tahun 2012 ini berjudul
“Applying Problem-based Learning (PBL) in University English
24

Translation Classes” menyatakan bahwa, dalam penelitian


kualitatif ini, empat atribut: (1) kepuasan, (2) kesesuaian, (3)
motivasi, dan (4) pencapaian diri dieksplorasi dalam dua kelas
dimana peserta didik terjadi dalam satu semester mata kuliah
yang mengelola PBL dalam pengajaran penerjemahan bahasa
inggris, temuan utama menunjukkan bahwa PBL secara
signifikan meningkatkan motivasi peserta didik dalam belajar
dan secara efektif meningkatkan kemampuan penerjemahan
peserta didik.
4. Penelitian Hali (2016)
Penelitan yang dilakukan di tahun 2016 ini berjudul “The
Effect of Application of Problem Based Learning Against Proportional
Reasoning Ability Based on Vocational Students’ Achievement
Motivation” menyimpulkan bahwa penerapan model
pembelajaran berbasis masalah memiliki dampak yang lebih
besar daripada model pembelajaran konvensional terhadap
kemampuan penalaran siswa.
5. Tanya Kunberger (2013)
Penelitian yang dilakukan di tahun 2013 ini berjudul
“Revising a design course from a lecture approach to a project-based
learning approach” menyatakan bahwa dalam mencapai suatu
solusi dibutuhkan keterampilan evaluasi untuk menilai validitas
dari asumsi-asumsi yang muncul.
6. Penelitian E J Wood (2015)
Penelitan yang dilakukan di tahun 2015 ini berjudul
“Problem-Based Learning: Exploiting Knowledge of how People Learn
to Promote Effective Learning” menyimpulkan bahwa PBL
mencakup prinsip-prinsip dalam pembelajaran yang baik, yaitu
berorientasi pada peserta didik (mendorong kemandirian dan
merupakan persiapan pembelajaran jangka panjang),
menonjolkan pembelajaran aktif dan pembelajaran yang
mendalam.
7. Heather M. Leary (2012)
Penelitian yang dilakukan di tahun 2012 ini berjudul
“Self-Directed Learning in Problem-Based Learning Versus Traditional
Lecture-Based Learning: A Meta-Analysis” memperoleh hasil
bahwa PBL melatihkan keterampilan afektif dalam kemandirian.
25

8. Penelitian Thomas (2013)


Penelitan yang dilakukan di tahun 2013 ini berjudul
“Investigating Self-Regulated Learning Strategies to Support The
Transition to Problem Based Learning” menyimpulkan bahwa
peserta didik dapat menunjukkan peningkatan fungsi kognitif
dan metakognitif, serta kemandirian melalui penggunaan SRL
dalam PBL. Namun, peneliti juga menemukan bahwa ada
tantangan yang signifikan untuk mendorong semua peserta
didik untuk terlibat dengan pembelajaran tersebut.
9. Penelitian Heojeong Yoon et al. (2012)
Penelitan yang dilakukan di tahun 2012 ini berjudul “The
Efficacy of Problem-based Learning in an Analytical Laboratory Course
for Pre-service Chemistry Teachers” menyimpulkan bahwa PBL
menjadi strategi pedagogik yang efektif untuk meningkatkan
keterampilan berpikir kritis, mengatur diri dan evaluasi diri
pada peserta didik.
10. Penelitian Sihaloho & Ginting (2017)
Penelitan yang dilakukan di tahun 2017 ini berjudul “The
Effect of Problem Based Learning (PBL) Model toward Student’s
Creative Thinking and Problem Solving Ability in Senior High School”
yang mendapatkan hasil bahwa penerapan model pembelajaran
berbasis masalah memiliki pengaruh yang signifikan untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah fisika siswa.
11. Penelitian Argaw et al. (2017)
Penelitan yang dilakukan di tahun 2017 ini berjudul “The
Effect of Problem Based Learning (PBL) Instruction on Student’s
Motivation and Problem Solving Skills of Physics” menyimpulkan
bahwa kemampuan pemecahan masalah pada siswa yang
memperoleh model pembelajaran berbasis masalah meningkat
secara signifikan.
12. Penelitian Mary Dawson & Karl Titz (2013)
Penelitan yang dilakukan di tahun 2013 ini berjudul
“Problem-Based Learning as A Strategy to Teach Service Quality: An
assessment of on-line reviews” mendapatkan hasil bahwa peserta
didik dapat memotong permasalahan, mengidentifikasi batasan
situasi, dan memastikan pemahaman yang jelas terkait tujuan
yang diharapkan dari pembelajaran PBL.
26

13. Saiful Prayogi et al. (2019)


Penelitian yang dilakukan di tahun 2019 ini berjudul “The
Effect of Presenting Anomalous Data on Improving Student’s Critical
Thinking Ability” mendapatkan hasil bahwa data yang salah
dapat membuat peserta didik berpikir kritis.
14. Jialing Wu (2019)
Penelitian yang dilakukan di tahun 2018 ini berjudul “A
Space Design Teaching Model Using Virtual Simulation Technology”
menyimpulkan bahwa penggunaan ICT sebenarnya juga
memberikan inovasi dalam proses pembelajaran, yang membuat
peserta didik lebih menghargai dan tertarik pada pembelajaran.
15. Nam Ju Kim (2017)
Penelitian yang dilakukan di tahun 2017 ini berjudul
“Enhancing Students’ Higher Order Tinking Skills through
Computer-based Scaffolding in Problem Based
Learning“ menyimpulkan bahwa PBL berbasis komputer dan
scaffolding dapat menjadi alternatif dalam meningkatkan HOTS
peserta didik.
16. I. M. Dwi, H. Arif dan K. Sentot (2012)
Penelitian yang dilakukan di tahun 2012 ini berjudul
“Pengaruh Strategi Problem Based Learning Berbasis ICT Terhadap
Pemahaman Konsep Dan Kemampuan Pemecahan Masalah
Fisika“ menyimpulkan bahwa PBL berbasis ICT dapat menjadi
alternatif dalam meningkatkan pemahaman konsep dan
kemampuan pemecahan masalah fisika.
17. J. Jailani, S. Sugiman dan Ezi Apeno (2017)
Penelitian yang dilakukan di tahun 2012 ini berjudul
“Implementing the Problem-Based Learning in Order to Improve the
Students’ HOTS and Characters“ menyimpulkan bahwa PBL
efektif dalam meningkatkan HOTS peserta didik, namun kurang
efektif dalam meningkatkan karakter peserta didik.
18. Purbo Suwasono dan Ella Puspitasari (2017)
Penelitian yang dilakukan di tahun 2017 ini berjudul
“Pengaruh Problem Based Learning Berbantuan ICT terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Mahasiswa Pendidikan Fisika
Angkatan Tahun 2016/2017 pada Materi Fluida
27

Statis“ menyimpulkan bahwa PBL berbantuan ICT berpengaruh


terhadap kemampuan pemecahan masalah mahasiswa.
19. Siti Fatimah Mohd Yasin, Saemah Rahman, dan Hamidah
Yamat (2011)
Penelitian yang dilakukan di tahun 2011 ini berjudul “ICT
Interdisciplinary Problem-Based Learning in Pre-Service Teacher
Programme“ menyimpulkan bahwa peserta penelitian merasa
semakin leluasa dalam mempraktekkan apa yang diperoleh
dalam penelitian pada saat diimplementasikan pada praktek
mengajar.
20. Penelitian Megan Yih Chyn A. Kek dan Henk Huijser (2011)
Penelitan yang dilakukan di tahun 2011 ini berjudul “The
power of problem‐based learning in developing critical thinking skills:
preparing students for tomorrow’s digital futures in today’s
classrooms” menjelaskan bagaimana keterampilan berpikir kritis
dapat ditingkatkan melalui pembelajaran PBL.

I. Kerangka Penelitian
Perkembangan zaman dan peradaban selalu diiringi dengan
semakin banyaknya tuntutan dunia pada setiap individu.
Terpaksa atau tidak setiap individu harus menjadikan dirinya
dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman dan peradaban
yang ditinggalinya. Semakin tingginya tuntutan zaman maka
semakin tinggi pula kualitas yang harus dimiliki oleh setiap
individu agar dapat beradaptasi dan bersaing dengan individu
lainnya. Abad 21 yang saat ini sedang berjalan menuntut
kemampuan-kemampuan berpikir kritis, kreatif, inovatif, serta
kemampuan dalam memecahkan masalah (P21, 2019) yang
dalam dunia pendidikan biasa disebut dengan pemikiran tingkat
tinggi atau HOTS (higher Order Thinking Skills).
Berangkat dari kebutuhan HOTS pada setiap sumber daya
manusia tersebut, wajah pendidikan Indonesia terutama dalam
bidang sains tingkat SMP dan SMA di lingkup global dapat
dilihat dalam hasil tes PISA tahun 2015 yang menunjukkan
peringkat Indonesia berada di posisi ke 62 dari 70 negara yang
berpartisipasi, dengan nilai pada bidang sains 403 berada di
bawah nilai rata-rata PISA 493. Hal tersebut menunjukkan
28

bahwa peserta didik Indonesia memiliki tingkat berpikir yang


masih tergolong rendah. Hasil tes HOTS peserta didik yang
digunakan sebagai penelitian yaitu pada SMAN 2 Lamongan
menunjukkan bahwa sebanyak 26,38% peserta didik
mendapatkan nilai lebih dari 50 dari nilai maksimal 100 dan
73,62% mendapatkan nilai kurang dari 50.
HOTS peserta didik sendiri menurut Taksonomi Bloom
yang telah direvisi oleh Anderson (2001) terdiri dari
menganalisis, mengevaluasi dan mencipta. Indikator-indikator
HOTS dapat ditingkatkan dengan melatihkan unsur-unsur yang
ada dalam indikator HOTS itu sendiri. Dalam pembelajaran
biasanya dirangkum dalam suatu model pembelajaran yang
mencakup unsur-unsur HOTS tersebut. Salah satunya adalah
model Problem based Learning berbasis ICT. Problem Based Learning
(PBL) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang
digunakan untuk merangsang kemampuan peserta didik untuk
berpikir tingkat tinggi dalam siatuasi yang berorientasi pada
masalah dunia nyata, termasuk di dalamnya bagaimana belajar
(Ibrahim, Muslimin dan Nur, Mohamad, 2000:2). Nilai pedagogis
yang dituju dari PBL sendiri meliputi: menghadapkan peserta
didik pada permasalahan yang nyata, HOTS, pembelajaran
interdisiplin, pembelajaran mandiri, keterampilan menggali
informasi, kerja tim dan komunikasi yang diperoleh selama
peserta didik bekerja bersama, berdiskusi, membandingkan,
meninjau dan memperdebatkan apa yang telah mereka pelajari
(Patrick, 2009). Penambahan ICT dalam penerapan PBL sendiri
akan menunjang kesuksesan dari tujuan penerapannya, karena
implementasi ICT pada dasarnya mengacu pada penggunaan
teknologi dalam komunikasi, pemrosesan data, dan
penyimpanan data untuk memengaruhi pengetahuan pada
peserta didik (Srivastava, 2016).
Berdasarkan penelitian Nam Ju Kim (2017) yang meneliti
tentang pengaruh PBL berbasis komputer dan scaffolding
terhadap peningkatan HOTS peserta didik, memperoleh hasil
bahwa PBL berbasis komputer dan scaffolding dapat menjadi
alternatif dalam meningkatkan HOTS peserta didik.
29

Masalah Indikator Keterampilan


Berangkat dari kebutuhan HOTS pada setiap Berpikir Kritis
peserta didik, wajah pendidikan Indonesia terutama Indikator HOTS menurut
dalam bidang sains tingkat SMP dan SMA di taksonomi Bloom yang direvisi
lingkup global dapat dilihat dalam hasil tes PISA oleh Anderson et al. (2001)
tahun 2015 yang menunjukkan peringkat Indonesia adalah menganalisis (C4),
berada di posisi ke 62 dari 70 negara yang mengevaluasi (C5) dan
berpartisipasi, dengan nilai pada bidang sains 403 mencipta (C6).
berada di bawah nilai rata-rata PISA 493. Hal
tersebut menunjukkan bahwa peserta didik
Indonesia memiliki tingkat berpikir yang masih
tergolong rendah. Hasil tes HOTS peserta didik
SMAN 2 Lamongan menunjukkan bahwa sebanyak
26,38% peserta didik mendapatkan nilai lebih dari
50 dari nilai maksimal 100 dan 73,62% mendapatkan
nilai kurang dari 50.

Teori yang mendukung Penelitian yang relevan


1. Nilai pedagogis yang Model Pembelajaran 1. Nam Ju Kim (2017). Hasil
dituju dari PBL sendiri Problem Based Learning
dari penelitian ini bahwa
Sintaks atau
meliputi: menghadapkan PBL berbasis komputer
langkah-langkah
peserta didik pada dan scaffolding dapat
pembelajaran yang
permasalahan yang nyata, menjadi alternatif dalam
terdapat dalam model
HOTS, pembelajaran meningkatkan HOTS
pembelajaran Problem
interdisiplin, peserta didik.
Based Learning sebagai
pembelajaran mandiri, 2. J. Jailani, S. Sugiman dan
berikut :
keterampilan menggali Ezi Apeno (2017). Hasil
1. Orientasi peserta
informasi, kerja tim dan dari penelitian ini bahwa
didik terhadap
komunikasi (Patrick, 2009) PBL efektif dalam
masalah.
2. Problem Based Learning meningkatkan HOTS
2. Mengorganisasi
(PBL) merupakan salah peserta didik, namun
peserta didik untuk
satu pendekatan kurang efektif dalam
belajar
pembelajaran yang meningkatkan karakter
3. Membimbing
digunakan untuk peserta didik.
penyelidikan individu
merangsang kemampuan 3. Purbo Suwasono dan Ella
dan kelompok.
peserta didik untuk Puspitasari (2017). Hasil
4. Mengembangkan dan
berpikir tingkat tinggi dari penelitian ini bahwa
menyajikan hasil
dalam siatuasi yang PBL berbantuan ICT
karya.
berorientasi pada masalah berpengaruh terhadap
5. Menganalisis dan
dunia nyata, termasuk di kemampuan pemecahan
mengevaluasi proses
dalamnya bagaimana masalah mahasiswa.
pemecahan masalah.
belajar (Ibrahim,
Muslimin dan Nur,
Mohamad, 2000:2).

Hipotesis
Pembelajaran fisika menggunakan model problem based learning berbasis ICT diduga dapat
meningkatkan HOTS peserta didik SMA.

Gambar 2.4 Kerangka Penelitian


30

Halaman ini sengaja dikosongkan


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah pre experiment (dengan syarat kelas
kontrol tidak efektif dalam meningkatkan HOTS) untuk
mendeskripsikan keefektifan model Problem Based Learning
berbasis ICT dalam meningkatkan HOTS peserta didik SMA.

B. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah control group pre-
test dan post-test, pada desain penelitian ini mengunakan
rancangan dua kelompok subjek yaitu kelompok eksperimen
dan kontrol. Penelitian ini menggunakan 3 kelas yaitu kelas X
MIA 1, X MIA 2, dan X MIA 3 dengan menyampaikan materi
momentum dan impuls menggunakan model problem based
learning berbasis ICT pada kelompok eksperimen dan model
konvensional pada kelompok kontrol, sehingga desain
penelitiannya dapat digambarkan pada tabel berikut.

Tabel 3.1 skema rancangan penelitian


Kelompok Pre-test Perlakuan Post-test
Eksperimen 1 O1 X O2
Eksperimen 2 O3 X O4
Kontrol O5 - O6

Keterangan :
O1 = tes awal (pre-test) dilakukan sebelum diberi perlakuan
X = perlakuan berupa model problem based learning berbasis
ICT
O2 = tes akhir (post-test) dilakukan setelah diberi perlakuan
O3 = tes awal (pre-test) dilakukan sebelum diberi perlakuan
O4 = tes akhir (post-test) dilakukan setelah diberi perlakuan
O5 = tes awal (pre-test) dilakukan sebelum diberi perlakuan
O6 = tes akhir (post-test) dilakukan setelah diberi perlakuan
- = perlakuan berupa pembelajaran konvensional (ceramah,
latihan soal-soal, pemberian soal-soal)

31
32

C. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan oleh peneliti di SMA Negeri 2
Lamongan, Kabupaten Lamongan. Waktu penelitian
dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2018/2019.

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah tiga kelas di SMAN 2


Lamongan, yaitu kelas X MIA 1, X MIA 2, dan X MIA 3. Metode
pengambilan subjek penelitian adalah proposed sampling, yaitu
dipilihkan oleh guru yang memegang kelas X MIA dari SMAN 2
Lamongan.

E. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penggunaaan
model pembelajaran problem based learning berbasis ICT.
2. Variabel Respon
Variabel respon dalam penelitian ini yaitu keterlaksanaan
pembelajaran, peningkatan HOTS peserta didik dan respon
peserta didik terhadap pembelajaran dengan model problem
based learning berbasis ICT.
3. Variabel Kontrol
Variabel kontrol dalam penelitian ini diantaranya guru,
materi yang digunakan, perangkat pembelajaran, instrumen
penilaian dan alokasi waktu.

F. Definisi Operasional Variabel


1. Definisi Operasional Variabel Bebas
Model problem based learning berbasis ICT adalah model
pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan HOTS
peserta didik pada materi momentum dan impuls.
Keterlaksanaan proses pembelajaran merupakan kesesuaian
antara aktivitas yang dilakukan guru saat melakukan kegiatan
pembelajaran di kelas dengan tahapan (sintaks) model problem
based learning berbasis ICT. Keterlaksanaan proses pembelajaran
diukur menggunakan lembar pengamatan keterlaksanaan
33

pembelajaran yang disesuaikan dengan RPP yang telah dibuat


dan dinilai oleh dua orang pengamat yaitu guru mata pelajaran
fisika dan teman sejawat.

2. Definisi Operasional Variabel Respon


HOTS adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi yang
berada di tahap di luar pemahaman dan penerapan tingkat
pengetahuan yang lebih rendah, yaitu menganalisis,
mengevaluasi dan mencipta. HOTS peserta didik diukur
menggunakan tes HOTS yang berupa soal pre-test dan post-test
yang sama berdasarkan indikator HOTS menurut taksonomi
Bloom revisi. Model Problem Based Learning berbasis ICT
dikatakan efektif jika nilai post-test lebih tinggi daripada nilai pre-
test secara signifikan pada α = 5%, nilai n-gain minimal
berkategori sedang (0,3 < g ≤ 0,7). Jika kelas kontrol tidak
memenuhi syarat untuk dikatakan efektif dalam meningkatkan
HOTS maka sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan
yaitu pre experiment, dilakukan uji rata-rata gain pada kedua
kelas eksperimen untuk melihat kekonsistenannya
menggunakan uji t-independent. Dalam penelitian ini, kelas
kontrol menggunakan metode ceramah dan latihan soal.

3. Definisi Operasional Variabel Kontrol


Alokasi waktu pembelajaran yaitu lamanya waktu yang
diperlukan untuk mengimplementasikan model problem based
learning berbasis ICT di dalam kelas, yaitu 2 x 45 menit dengan
guru yang sama setiap pertemuan. Materi yang disampaikan
adalah momentum dan impuls.

G. Prosedur Penelitian
Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini terbagi
menjadi beberapa tahapan yakni :
1. Tahap Persiapan dan Perencanaan Penelitian
Tahap persiapan dan perencanaan penelitian adalah tahap
awal yang dilakukan untuk melakukan penelitian ini. Tahap
awal ini dilakukan untuk mendukung kelancaran dalam
34

pengambilan data. Tahap ini meliputi kegiatan- kegiatan sebagai


berikut :
a. Melakukan observasi atau pengamatan ke sekolah
yang akan diteliti.
b. Meminta izin secara verbal kepada pihak sekolah
untuk melakukan penelitian.
c. Menyusun proposal penelitian.
d. Membuat perangkat pembelajaran yang terdiri dari
silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Lembar
Kerja Peserta Didik, dan lembar penilaian.
e. Membuat instrumen penelitian yang terdiri dari
lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran, lembar
soal test HOTS.
f. Memvalidasi perangkat pembelajaran dan instrumen
penelitian.
g. Menentukan waktu melakukan pengambilan data
penelitian serta subjek yang akan dijadikan sampel
penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian


Tahap ini menguraikan tahapan yang dilakukan peneliti
dalam melakukan pengambilan data. Tahap ini meliputi
kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a. Memberikan pre-test untuk mengetahui HOTS peserta
didik sebelum dilakukan pembelajaran. Hal ini
dilakukan sama untuk kelas yang dijadikan sampel.
b. Melaksanakan pembelajaran dengan model problem
based learning berbasis ICT sesuai kurikulum 2013 pada
kelompok eksperimen dan pembelajaran konvensional
pada kelas kontrol.
c. Pengamat mengamati keterlaksanaan proses
pembelajaran selama proses pembelajaran berlangsung
d. Memberikan post-test pada pertemuan terakhir untuk
mengetahui HOTS peserta didik setelah mendapatkan
perlakuan.
35

3. Tahap Akhir dan Penyelesaian Penelitian


Tahap akhir serta penyelesaian peneltian menandakan
bahwa peneliti telah mendapatkan data yang dibutuhkan.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam tahap akhir
diantaranya :
a. Menganalisis data yang sudah didapatkan dengan
menggunakan uji statistika, terutama pada HOTS
peserta didik.
b. Menyusun laporan hasil penelitian.
c. Melaporkan hasil penelitian.

H. Perangkat dan Instrumen Penelitian


Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam penelitian
ini diantaranya yaitu :
1. Silabus
Silabus adalah acuan penyusunan kerangka pembelajaran
yang memuat identitas mata pelajaran, identitas sekolah,
kompetensi inti, kompetensi dasar, kegiatan pembelajaran,
alokasi waktu, sumber belajar dan penilaian.

2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)


Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan
perangkat pembelajaran yang berisi rencana kegiatan
pembelajaran untuk satu kali pertemuan atau lebih yang berisi
identitas sekolah, identitas mata pelajaran, kompetensi inti,
kompetensi dasar, alokasi waktu, indikator, tujuan pembelajaran,
media dan sumber belajar, model pembelajaran, langkah
kegiatan pembelajaran dan penilaian.

3. Lembar Kerja Peserta Didik


Lembar Kerja Peserta Didik berisi arahan dari kegiatan
berkelompok yang dilakukan oleh peserta didik.

Instrumen penelitian merupakan serangkaian alat yang


digunakan untuk memperoleh data dalam suatu penelitian.
Instrumen di dalam penelitian ini adalah :
1. Lembar Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran
36

Instrumen lembar pengamatan keterlaksanaan pembelajaran


diisi oleh pengamat yang mengamati kegiatan peneliti dalam
melakukan proses pembelajaran dengan model problem based
learning berbasis ICT pada materi momentum dan impuls.
Selama proses pembelajaran, aktivitas yang dilakukan oleh guru
diamati dan disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran yang
tercantum pada RPP.

2. Lembar Test HOTS


Lembar test merupakan lembar yang digunakan untuk
mengukur HOTS peserta didik. Penyusunan soal test didasarkan
pada indikator HOTS yang digunakan menurut taksonomi
Bloom (revisi). Soal pre-test dan post-test adalah soal yang sama
namun diberikan dalam dua waktu yang berbeda yakni sebelum
perlakuan dan setelah perlakuan.
3. Angket Respon Peserta Didik
Angket respon peserta didik merupakan lembar yang
digunakan untuk mengetahui respon peserta didik setelah
diterapkan model pembelajaran oleh peneliti. Angket
menggunakan skala Likert. Skala Likert ini digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2016).
Berikut merupakan penskoran skala Likert yang ditunjukkan
pada tabel 3.2.
Tabel 3.2 Penskoran Skala Likert
Jawaban
Pernyataan
SS ST RG TS STS

(Sugiyono, 2016)
Keterangan :
SS = sangat setuju, diberi skor 5
ST = setuju, diberi skor 4
RG = ragu-ragu, diberi skor 3
TS = tidak setuju, diberi skor 2
STS = sangat tidak setuju, diberi skor 1
37

I. Metode Pengumpulan Data


Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan subyek
penelitian terdiri dari tiga kelas, yaitu X MIA 1, X MIA 2, dan X
MIA 3. Sebelum diberikan perlakuan peserta didik diberikan tes
awal (pre-test) untuk mengetahui HOTS awal peserta didik. Soal
yang diberikan merupakan soal tes HOTS yang sesuai dengan
indikator HOTS menurut taksonomi Bloom revisi dengan materi
momentum dan impuls.
Setelah itu dilakukan perlakuan dengan cara memberikan
subyek pembelajaran mengenai momentum dan impuls. Yang
bertindak sebagai guru dalam penelitian ini adalah peneliti itu
sendiri. Data keterlaksanaan pembelajaran diperoleh dengan
menggunakan angket keterlaksanaan pembelajaran yang
berguna untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran dengan
menggunakan model problem based learning berbasis ICT.
Setelah peserta didik menerima perlakuan, selanjutnya
peserta didik dari ketiga kelas tersebut diberikan post-test dengan
materi yang sama dengan pre-test. Post-test ini dilakukan untuk
mengetahui HOTS peserta didik setelah diberikan pembelajaran
menggunakan model problem based learning berbasis ICT. Lalu
diberikan angket respon peserta didik dalam hal ini kelas X MIA
1, X MIA 2, dan X MIA 3 untuk mengetahui respon peserta didik
terhadap pembelajaran menggunakan model problem based
learning berbasis ICT.

J. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan adalah sesuai dengan
pendekatan yang diambil yakni pendekatan kuantitatif. Data
yang akan dianalisis adalah data kuantitatif yang berupa data
hasil penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Analisis Hasil Lembar Observasi Keterlaksanaan


Pembelajaran
Lembar observasi digunakan untuk mengetahui
keterlaksanaan pembelajaran dengan menerapkan model problem
based learning berbasis ICT pada proses pembelajaran. Lembar
38

keterlaksanaan ini digunakan untuk mengetahui kemampuan


guru dalam pengelolaan pembelajaran di kelas. Lembar
observasi ini diiisi oleh pengamat yakni guru fisika kelas X dan
teman sejawat. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala
Guttman dengan skala sebagai berikut.

Tabel 3.3 Kriteria skor keterlaksanaan


Jawaban Nilai / Skor
Ya 1
Tidak 0
(Riduwan, 2015)

Presentase keterlaksanaan pembelajaran dapat dihitung


dengan menggunakan rumus :
MingL th g ݅ ‫ ݌‬hn‫݌‬L
Presentase % =
th igt ݅iMi ݅ ‫݌‬gn
% 3.1

Kategori penilaian untuk keterlaksanaan pembelajaran yang


dilakukan peneliti ditunjukkan oleh Tabel 3.4

Tabel 3.4 Kategori Penilaian Keterlaksanaan Pembelajaran

Skor rata - rata Kriteria


0%-20% Sangat Kurang
21%-40% Kurang
41%-60% Cukup
61%-80% Baik
81%-100% Sangat Baik
(Riduwan, 2012)
Pembelajaran yang dapat dikategorikan berhasil apabila
memenuhi minimal kriteria cukup.

2. Analisis Hasil Test HOTS


HOTS peserta didik dapat diukur menggunakan nilai pre-
test dan post-test yang telah diperoleh. Nilai pre-test dan post-test
peserta didik dianalisis menggunakan uji t-berpasangan, analisis
n-gain dan uji kesamaan rata-rata gain menggunakan t-
independent.
39

1. Uji t-berpasangan
Uji t-berpasangan digunakan untuk menyelidiki
perbedaan rata rata sampel antara sebelum dan sesudah
mendapatkan perlakuan. Syarat uji t-berpasangan dapat
dilakukan adalah data terdistribusi normal (dalam hal ini
adalah nilai gain) dengan melalui uji normalitas.

Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan terhadap kelas eksperimen
maupun kelas kontrol. Uji normalitas digunakan untuk
menyelidiki apakah data hasil penelitian (nilai gain)
terdistribusi normal ataukah tidak. Uji normalitas yang
digunakan adalah uji chi kuadrat (Sugiyono, 2016).
Langkah-langkah yang digunakan adalah sebagai berikut :
a) Menyusun hipotesis
H0 : Sampel berasal dari populasi yang terdistribusi
normal
H1 : Sampel berasal dari populasi yang tidak
terdistribusi normal
b) Menyusun data seluruh variabel yang akan diuji
normalitasnya.
c) Menentukan jumlah kelas interval (k)
k  1 3,3 log n 3.2
dengan n adalah banyaknya skor
d) Menentukan rentang kelas interval
‫࡬ ݌‬g ຖ = g࡬g ࡬‫ ݌ ݌‬g g࡬g ࡬‫ ݌‬t‫݅ݎ݌‬n 3.3
e) Menentukan panjang kelas interval (P)
R
P 3.4
k
f) Memilih ujung bawah kelas interval pertama
g) Menghitung rata rata dan simpangan baku
݅ ݅ຖ
= 3.5
݅
(Sudjana, 2005)
Keterangan :
= rata-rata
݅ = frekuensi setiap kelas interval
40

݅ = titik tengah kelas interval


dan
݅ ݅ ݅ ݅
= 3.6
(Sudjana, 2005)
Keterangan :
S = simpangan baku
n = jumlah fi
h) Menghitung angka baku (Z) untuk setiap batas kelas
BK i  X
Z untuk i = 1, 2, 3, . . . . , n. 3.7
S
Keterangan :
BK = batas kelas tiap interval
(Sudjana, 2005)
i) Menentukan luas kelas tiap interval (L) dengan
melihat interval pada tabel
j) Menghitung frekuensi yang diharapkan muncul ( ݅ )
݅ = untuk i = 1, 2, 3, . . . . , n. 3.8
(Sudjana, 2005)
k) Menghitung nilai derajat kebebasan tຖ
t = t ຖ 3.9
Dengan t adalah banyak kelas interval
l) Menghitung nilai chi-kuadrat
t ݅ ݅ຖ
= ݅=
3.10
݅
(Sudjana, 2005)

Keterangan :
= distribusi chi-kuadrat
݅ = frekuensi observasi pengamatan
݅ = frekuensi teoritik/ yang diharapkan
m) Menentukan kriteria pengujian dengan taraf
signifikansi sebesar α = 0,05.
X 2 tabel  X 2 (1 )( dk ) 3.11
n) Mengambil kesimpulan dengan kriteria sebagai
berikut:
41

2
H0 diterima jika X hitung  X 2 tabel
2
H0 ditolak jika X hitung  X 2 tabel
(Sudjana, 2005)

Ujit t-berpasangan
Langkah langkah uji t-berpasangan adalah sebagai
berikut :
a) Menyusun hipotesis
H0 : 1   2 (tidak ada perbedaan yang signifikan dari
nilai pre-test dan post-test)
H1 : 1   2 (terdapat perbedaan yang signifikan dari
nilai pre-test dan post-test)
Keterangan:
1 = nilai pre-test
 2 = nilai post-test
b) Menentukan nilai gain ( ) dengan mencari nilai
selisih post-test dan pre-test
c) Menentukan mean ( ) dengan rumus
d
Md  3.12
N

Keterangan :
Md = mean dari gain
d = jumlah gain (d)
= jumlah sampel
d) Menghitung deviasi dari masing-masing peningkatan
nilai peserta didik (Xd)
Xd  d  Md 3.13
e) Menentukan jumlah kuadrat deviasi (ΣXd )
f) Menentukan nilai t dengan rumus:
Md 3.14
t
X 2
d

( N  1)
42

(Suharsimi, 2013)
g) Menentukan derajat kebebasan (dk)
dk = N - 1 3.15
h) Menarik kesimpulan dengan taraf signifikan 0,05
H0 diterima = ࡬L݅࡬M ࡬࡬g ‫݌‬n
H0 ditolak = ࡬L݅࡬M ࡬࡬g ‫݌‬n
Jika H0 ditolak maka H1 diterima dan dapat disimpulkan
terdapat perbedaan yang signifikan dari nilai pre-test dan
post-test. Jika t bernilai negatif maka post-test lebih tinggi
daripada pre-test.

2. Analisis N-gain
Perumusan analisis n-gain dalam penelitian ini
bertujuan untuk menyelidiki peningkatan HOTS peserta
didik pada masing-masing kelas. Rumus yang digunakan
adalah sebagai berikut :
S post test  S pre test
g  3.16
S max  S pre test
(Hake, 1999)
Keterangan :
g = N-Gain
h ࡬࡬‫࡬ ݌‬= Skor tes akhir (post-test)
‫࡬ ݌࡬݌‬ = Skor tes awal (pre-test)
ig = Skor maksimal
Nilai gain ternormalisasi yang telah diperoleh dapat
diinterpretasikan sesuai dengan Tabel 3.5 di bawah ini :
Tabel 3.5 Kriteria interprestasi nilai gain
yang dinormalisasikan
Nilai <g> Interprestasi
g ≥ 0,7 Tinggi

0,7 > g ≥ 0,3 Sedang

g < 0,3 Rendah

(Hake,1999)
43

3. Uji t-independent
Uji t-independent digunakan untuk membandingkan
rata-rata peningkatan HOTS peserta didik dari kedua kelas
eksperimen setelah diberi perlakuan berupa model PBL
berbasis ICT.
Syarat melakukan uji t-independent adalah data harus
terdistribusi normal dan homogen. Sehingga perlu
dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas terlebih
dahulu.

Uji Homogenitas
Uji ini digunakan untuk menyelidiki bahwa sampel
yang diambil berasal dari populasi yang homogen (sama).
Uji ini menggunakan uji Bartlett dengan langkah langkah
sebagai berikut :
a) Menyusun hipotesis
H0 : 1   2   3 = sampel berasal dari populasi yang
homogen
H1 : ada satu tanda tidak sama dengan (≠) tidak
berlaku.
b) Mencari varians dengan rumus
݅ ݅ ݅ ݅
=
c) Menentukan variansi gabungan dari setiap kelas (S2)
dengan rumus :
2 (ni  1) S i2
S gabungan  3.18
(ni  1)
(Sudjana, 2005)
Keterangan :
S2 = varians gabungan semua sampel
Si2 = varians salah satu sampel
ni = banyaknya skor salah satu sampel
d) Menentukan nilai satuan B
= nh ຖ ݅ 3.19
(Sudjana, 2005)
44

e) Menghitung dengan rumus chi-kuadrat:


X  (ln 10){( B   ((ni  1) log Si )}
2 2
3.20
(Sudjana, 2005)
f) Menentukan kriteria pengujian dengan taraf
signifikansi sebesar α = 0,05.
X 2 tabel  X 2 (1 )( dk ) 3.21
g) Mengambil kesimpulan dengan kriteria sebagai
berikut:
2
H0 diterima jika X hitung  X 2 tabel
2
H0 ditolak jika X hitung  X 2 tabel
(Sudjana, 2005)

Uji t-independent
Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas,
barulah dilakukan uji t-independent. Berikut langkah-
langkah melakukan uji t-independent.
a. Merumuskan hipotesis
H0 : 1 = 2 (tidak ada perbedaan rata-rata nilai gain
pada kelas eksperimen 1 dan eksperimen 2)
H1 : 1 ≠ 2 (ada perbedaan pada rata-rata nilai gain
kelas eksperimen 1 dan eksperimen 2).
b. Menentukan daftar distribusi frekuensi untuk setiap
kelompok data dengan perhitungan sebagai berikut :
i. Mengelompokkan data menjadi kelas interval.
ii. Mencari frekuensi pada setiap kelas.
iii. Menghitung mean dan simpangan baku.

c. Menghitung simpangan baku gabungan (s2) dengan


rumus:
(n1  1) s12  (n2  1) s22
s 
n1  n2  2
3.22
Keterangan :
= simpangan baku gabungan
= simpangan baku kelas eksperimen
= simpangan baku kelas kontrol
45

= jumlah banyaknya skor kelas eksperimen


= jumlah banyaknya skor kelas kontrol

d. Menentukan nilai t dengan rumus:


x1  x2 3.23
t
1 1
s 
n1 n2

Keterangan :
࡬ = besarnya uji t yang dihitung
= rata-rata nilai kelas eksperimen
= rata-rata nilai kelas kontrol
e. Menentukan derajat kebebasan (dk)
dk = (n1 + n2) – 2 3.24
f. Menarik kesimpulan dengan taraf signifikan 0,05
H0 diterima = -t(1-1/2α)(dk) < thitung < t(1-1/2α)(dk)
H0 ditolak = thitung ≥ t(1-1/2α)(dk)
Jika H0 diterima maka tidak ada perbedaan pada rata-
rata gain kedua kelas eksperimen.

3. Analisis Angket Respon Peserta Didik


Pembagian angket digunakan untuk mengetahui respon
peserta didik terkait penerapan model pembelajaran problem
based learning berbasis ICT. Untuk mengetahui respon peserta
didik dapat menggunakan rumus :
= % 3.25
Keterangan :
P = persentase
N = skor maksimal
f = skor yang diperoleh
Dengan kriteria penskoran sesuai Tabel 3.6 di bawah ini :
Tabel 3.6 Kriteria Penskoran Respon Peserta Didik
Kriteria Skor
SS (Sangat Setuju ) 5
ST (Setuju ) 4
RG (Ragu-Ragu) 3
TS (Tidak Setuju ) 2
STS (Sangat Tidak Setuju) 1
46

(Riduwan, 2012)
Presentase respon peserta didik tersebut kemudian dianalisis
dengan mengikuti kriteria presentase Rating Scale pada Tabel 3.7
di bawah ini :
Tabel 3.7 Kriteria Persentase Rating Scale
Persentase Kategori
1 - 20 % Kurang Sekali
21 – 40 % Kurang
41 – 60 % Cukup
61 – 80 % Baik
81 – 100 % Sangat Baik
(Riduwan, 2012)

4. Analisis Butir Soal


Sebelum pengambilan data dengan menggunakan lembar
tes yang akan dibagikan untuk peserta didik, butir soal terlebih
dahulu diuji coba. Kemudian hasil uji coba soal dianalisis
menggunakan beberapa uji statistika antara lain uji validitas,
reliabilitas dan tingkat kesukaran butir soal. Uji statistika
tersebut digunakan untuk mengetahui apakah butir soal yang
dibuat layak digunakan dalam penelitian atau tidak. Berikut
merupakan penjabaran dari masing-masing uji statistika yang
digunakan dalam penelitian. Tahapan tahapan yang haus dilalui
adalah :
1) Taraf Kesukaran Soal
Perhitungan taraf kesukaran digunakan untuk
mengetahui seberapa mudah atau seberapa susah soal yang
diberikan kepada peserta didik. Jika suatu soal memiliki
tingkat kesukaran seimbang atau proporsional maka dapat
dikatakan soal tersebut baik. Soal yang baik adalah soal
yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit. Rumus
yang digunakan untuk mengukur taraf kesukaran adalah
sebagai berikut :
= 3.26
(Suharsimi, 2012)
47

Keterangan:
P = indeks kesukaran soal
B = banyak peserta didik yang menjawab soal dengan
benar
J = jumlah seluruh peserta didik
Hasil pehitungan indeks kesukaran soal dapat
diinterpretasikan sesuai Tabel 3.8 di bawah ini :
Tabel 3.8 Kriteria indeks Kesukaran Soal
Indeks tingkat
Kategori
kesukaran
0,00 - 0,30 Sukar
0,31 - 0,70 Sedang
0,71 - 1,00 Mudah

(Suharsimi, 2012)
Hasil uji taraf kesukaran setiap soal disajikan pada Tabel 3.9
berikut.
Tabel 3.9 Taraf Kesukaran
Nomor Soal Indeks Kesukaran Kriteria
1 0,33 Sedang
2 0,64 Sedang
3 0,59 Sedang
4 0,85 Mudah
5 0,19 Sukar
6 0 Sukar
7 0,36 Sedang
8 0,49 Sedang
9 0,35 Sedang
10 0,5 Sedang
Berdasarkan tabel 3.9, soal nomor 4 masuk dalam
kriteria mudah, nomor 1, 2, 3, 7, 8, 9, 10 masuk dalam kriteia
sedang, nomor 5 dan 6 masuk dalam kriteria sukar.
2) Uji Validitas

Validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukan


tingkat kevalidan dan kesasihan (kebenaran) suatu
instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila
secara analisis akal sudah sesuai dengan isi dan aspek yang
diungkapkan (Suharsimi, 2010).
48

Menurut Sugiyono (2015) secara statistik uji validitas


dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product
moment dengan rumus sebagai berikut :

ຖ ຖ
= 3.28
ຖ ຖ ຖ ຖ ຖ ຖ

(Sugiyono, 2015)
Keterangan :
= koefisien korelasi variabel
X = skor peserta tes pada butir soal
Y = skor total yang dicapai peserta tes
= jumlah skor butir soal
= jumlah skor total
= jumlah peserta tes
Butir soal dinyatakan valid apabila L݅࡬M ࡬g ‫݌‬n .
Untuk memberikan interprestasi koefisien korelasi dapat
digunakan kriteria dalam Tabel 3.10 sebagai berikut :
Tabel 3.10 Kriteria Validitas Soal
Angka korelasi Kriteria
0,00 - 0,199 Sangat rendah
0,20 - 0,399 Rendah
0,40 - 0,599 Sedang
0,60 - 0,799 Tinggi
0,80 - 1,000 Sangat tinggi
(Sugiyono, 2015)

Hasil uji validitas soal disajikan dalam Tabel 3.11 berikut.


Tabel 3.11 Validitas Soal
No Soal rhitung rtabel Validitas Kriteria
1 0,586 0,329 Valid Sedang
2 0,521 0,329 Valid Sedang
3 0,526 0,329 Valid Sedang
4 0,198 0,329 Tidak valid Rendah
5 0,105 0,329 Tidak valid Rendah
6 Tidak terdeteksi 0,329 Tidak valid Tidak terdeteksi
7 0,499 0,329 Valid Sedang
8 0,438 0,329 Valid Sedang
9 0,431 0,329 Valid Sedang
10 0,552 0,329 Valid Sedang
49

Berdasarkan tabel 3.11, soal nomor 1, 2, 3, 7, 8, 9, dan 10


valid karena rhitung > rtabel dan masuk dalam kategori sedang.
Nomor 4, 5, dan 6 tidak valid karena rhitung < rtabel. Soal
nomor 6 tidak terdeteksi karena tidak ada satupun peserta
didik yang mengerjakan soal tersebut saat uji coba soal.
3) Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah suatu ukuran tingkat keandalan
atau tingkat kepercayaan suatu instrumen (Arifin, 2010).
Suatu instrumen dikatakan reliabel jika instrumen itu
memiliki tingkat reliabilitas yang tetap. Tetap artinya suatu
instrumen tersebut digunakan berulang kali hasilnya tetap
sama. Pengujian reliabilitas instrumen tes menggunakan
metode belah dua (split half method) dengan rumus Spearman
Brown. Langkah langkah yang harus dilakukan yakni :
a) Membelah skor tes ke dalam skor ganjil dan genap.
Skor ganjil menjadi variabel X dan skor genap menjadi
variabel Y.
b) Mencari reliabilitas setengah tes dengan koefisien
korelasi ½ tes dengan menggunakan rumus korelasi
product moment.

= = 3.29

(Suharsimi, 2013)
c) Mencari indeks reliabilitas soal dengan menggunakan
rumus Spearman Brown.
.
= 3.30

(Suharsimi, 2013)
Keterangan:
= indeks reliabilitas soal
= = korelasi antara dua belahan
instrumen atau reliabilitas setengah
tes
Instrumen tes dapat dikatakan reliabel ketika
L݅࡬M ࡬g ‫݌‬n . Jika sebaliknya maka instrumen tes
tersebut tidak dapat digunakan karena tidak reliabel.
50

Interpretasi reliabilitas instrumen dapat dilihat dari Tabel


3.12 dibawah ini :
Tabel 3.12 Interpretasi Reliabilitas
Angka korelasi Kriteria
0,00 - 0,199 Sangat rendah
0,20 - 0,399 Rendah
0,40 - 0,599 Sedang
0,60 - 0,799 Tinggi
0,80 - 1,000 Sangat tinggi
(Sugiyono, 2015)
Uji ini mengacu pada soal-soal yang valid apakah reliabel
ataukah tidak. Hasi dari uji reliabilitas disajikan pada tabel
3.13.
Tabel 3.13 Reliabilitas Soal
r1 1 r11 rtabel Reliabilitas Kriteria
2 2
0,317 0,551 0,329 Reliabel Sedang

Berdasarkan tabel 3.13, ketujuh soal yang valid juga reliabel


karena r11 > rtabel dan masuk dalam kategori sedang.

5. Analisis Validitas Perangkat Pembelajaran


1. Analisis Validitas Silabus
Hasil validasi dari dua dosen validator dapat dilihat pada
tabel 3.14.
Tabel 3.14 Validitas Silabus
Rata
No Aspek yang Divalidasi Val 1 Val 2
-rata
1 Kelengkapan komponen silabus. 4 4 4
Silabus dikembangkan sesuai materi fisika
2 3 4 3,5
sehingga bersifat relevan.
3 Silabus memenuhi prinsip sistematis. 4 4 4
Silabus disusun sesuai dengan bentuk yang
4 konsisten (Kompetensi Dasar, materi pokok, 4 4 4
indikator, Proses pembelajaran).
Silabus yang digunakan dapat menunjang
5 4 4 4
pencapaian KD.
Pengembangan silabus berprinsip pada sifat
6 4 3 3,5
aktual dan kontekstual.
51

Rata
No Aspek yang Divalidasi Val 1 Val 2
-rata
Materi pada silabus dikembangkan,
7 3 4 3,5
sehingga bersifat fleksibel.
Pengembangan silabus berprinsip pada sifat
8 4 4 4
menyeluruh.
9 Penggunaan bahasa yang baik dan benar. 3 4 3,5
Rata-rata 3,78
94,4
Persentase
%

Berdasarkan tabel 3.14 validitas silabus dapat diketahui


bahwa rata-rata nilai validitas dari dua dosen validator adalah
3,78 dengan persentase 94,4%.

2. Analisis Validitas RPP


Hasil validasi dari dua dosen validator dapat dilihat pada
tabel 3.15.
Tabel 3.15 Validitas RPP
Rata-
No Aspek yang Divalidasi Val 1 Val 2
Rata
PERUMUSAN INDIKATOR
1 Kejelasan rumusan. 4 4 4
2 Kelengkapan cakupan dan rumusan
3 4 3,5
indikator.
3 Kejelasan perjenjangan indikator. 3 4 3,5
4 Kesesuaian dengan Kompetensi Dasar. 3 4 3,5
PERUMUSAN TUJUAN PEMBELAJARAN
5 Kesesuaian dengan Kompetensi Dasar. 3 4 3,5
6 Kesesuaian dengan indikator. 3 4 3,5
7 Kesesuaian dengan perumusan dengan aspek
3 4 3,5
Audience, Behaviour, Condition, dan Degree.
PEMILIHAN MATERI AJAR
8 Kesesuaian dengan Kompetensi Dasar. 3 4 3,5
9 Kesesuaian dengan tujuan pembelajaran. 3 4 3,5
10 Kesesuaian dengan karakteristik peserta
3 4 3,5
didik.
11 Keruntutan uraian materi ajar. 3 4 3,5
PEMILIHAN SUMBER BELAJAR DAN
MEDIA BELAJAR
12 Kesesuaian dengan tujuan pembelajaran. 3 4 3,5
13 Kesesuaian dengan materi pembelajaran. 3 4 3,5
14 Kesesuaian dengan pendekatan saintifik. 3 4 3,5
52

Rata-
No Aspek yang Divalidasi Val 1 Val 2
Rata
15 Kesesuaian dengan karakteristik peserta
3 4 3,5
didik.
SKENARIO PEMBELAJARAN
16 Menampilkan kegiatan pendahuluan, inti,
3 4 3,5
dan penutup dengan jelas.
17 Kesesuaian kegiatan dengan pendekatan
saintifik (mengamati, menanya, mencoba, 3 4 3,5
menalar, mengkomunikasikan).
18 Kesesuaian dengan metode pembelajaran. 3 3 3,5
19 Kesesuaian kegiatan dengan sistematika/
3 4 3,5
keruntutan materi.
20 Kesesuaian alokasi waktu kegiatan
pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan 3 4 3,5
penutup dengan cakupan materi.
Rata-rata 3,525
Persentase 88,125
%

Berdasarkan tabel 3.15 validitas RPP dapat diketahui bahwa


rata-rata nilai validitas dari dua dosen validator adalah 3,525
dengan persentase 88,125%.

3. Analisis Validitas Handout


Hasil validasi dari dua dosen validator dapat dilihat pada
tabel 3.16.
Tabel 3.16 Validitas Handout
Rata-
No Aspek yang Divalidasi Val 1 Val 2
Rata
Kelayakan Isi
1 Kesesuaian materi dengan KI dan KD yang
4 3 3,5
dipadukan.
2 Kedalaman materi sesuai dengan KD. 3 4 3,5
3 Kebenaran fakta dan konsep. 4 4 4
4 Keterkaitan contoh-contoh. 3 4 3,5
Kelayakan Kebahasaan
5 Bahasa yang digunakan sesuai dengan
3 4 3,5
tingkat berpikir peserta didik.
6 Bahasa yang digunakan sesuai dengan
perkembangan sosial emosional peserta 3 4 3,5
didik.
53

Rata-
No Aspek yang Divalidasi Val 1 Val 2
Rata
7 Bahasa yang digunakan lugas dan
3 4 3,5
komunikatif.
8 Ketepatan tata bahasa indonesia. 3 3 3
Kelayakan Penyajian
9 Memadukan konsep yang saling terkait. 3 4 3,5
10 Keruntutan penyajian konsep. 3 4 3,5
11 Kekonsistensian sistematika penulisan. 3 4 3,5
12 Penyajian Menarik. 3 3 3
Rata-rata 3,46
Persentase 86,5%

Berdasarkan tabel 3.16 validitas handout dapat diketahui


bahwa rata-rata nilai validitas dari dua dosen validator adalah
3,46 dengan persentase 86,5%.

4. Analisis Validitas Soal Test


Hasil validasi dari dua dosen validator dapat dilihat pada
tabel 3.17.
Tabel 3.17 Validitas Soal Test
Rata-
No Aspek yang Divalidasi Val 1 Val 2
Rata
Ranah Materi
1 Butir soal sesuai dengan indikator 4 4 4
2 Batasan pertanyaan dan jawaban yang
3 3 3
diharapkan jelas.
3 Isi materi sesuai dengan tujuan
3 4 3,5
pengukuran.
4 Isi materi sesuai dengan jenjang, jenis
4 4 4
sekolah dan tingkat kelas.
Ranah Kontruksi
5 Rumusan kalimat dalam bentuk
kalimat tanya atau perintah yang
3 4 3,5
menuntut peserta didik berpikir
tingkat tinggi.
6 Ada petunjuk yang jelas cara
4 3 3,5
mengerjakan soal.
7 Ada pedoman penskoran. 4 4 4
8 Ada hubungan antara gambar dengan
3 4 3,5
masalah yang ditanyakan.
Ranah Bahasa
54

Rata-
No Aspek yang Divalidasi Val 1 Val 2
Rata
9 Rumusan kalimat komunikatif. 3 4 3,5
10 Kalimat menggunakan bahasa yang
baik dan benar serta sesuai dengan 3 4 3,5
ragam bahasa.
11 Ragam kalimat tidak menimbulkan
3 4 3,5
penafsiran ganda.
12 Menggunakan bahasa atau kata kerja
3 4 3,5
yang umum.
Rata-rata 3,58
Persentase 89,58%

Berdasarkan tabel 3.17 validitas soal test dapat diketahui


bahwa rata-rata nilai validitas dari dua dosen validator adalah
3,58 dengan persentase 89,58%.

5. Analisis Validitas LKPD


Hasil validasi dari dua dosen validator dapat dilihat pada
tabel 3.18.
Tabel 3.18 Validitas LKPD
Rata-
No Aspek yang Divalidasi Val 1 Val 2
Rata
Kriteria Penyajian
1 Sistem penomoran jelas. 4 4 4
2 Pengaturan ruang/ tata letak. 3 4 3,5
3 Jenis dan ukuran huruf sesuai. 3 4 3,5
Penyajian materi berpusat kepada siswa
4 dan memotivasi siswa untuk belajar 3 4 3,5
mandiri.
Penyajian LKPD menarik, menyenangkan,
5 3 4 3,5
dan tidak membosankan.
Kriteria Isi
Kesesuaian materi LKPD dengan
7 4 4 3,5
kurikulum 2013.
Kesesuaian materi LKPD dengan
8 kompetensi dasar (KD) dan tujuan 4 4 4
pembelajaran yang ingin dicapai.
Kegiatan dikaitkan dengan kehidupan
9 3 4 3,5
nyata peserta didik.
Penerapan 5M pada LKPD yang
10 4 4 4
dikembangkan berdasar dengan
55

Rata-
No Aspek yang Divalidasi Val 1 Val 2
Rata
kurikulum 2013.
Peranannya dapat meningkatkan
11 3 4 3,5
keterampilan berpikir tingkat tinggi.
12 Kesesuaian dengan model PBL. 3 4 3,5
Kriteria Kebahasaan
13 Kebenaran tata bahasa. 3 3 3
Kesesuaian kalimat dengan taraf berpikir
14 3 4 3,5
peserta didik.
15 Kesederhanaan struktur kalimat. 3 4 3,5
16 Kalimat tidak mengandung arti ganda. 3 4 3,5
17 Kejelasan petunjuk dan arahan. 4 4 4
Bahasa yang dipergunakan bersifat
18 3 4 3,5
komunikatif.
Rata-rata 3,59
Persentase 89,7%

Berdasarkan tabel 3.18 validitas LKPD dapat diketahui


bahwa rata-rata nilai validitas dari dua dosen validator adalah
3,59 dengan persentase 89,7%.

6. Analisis Validitas Lembar Keterlaksanaan Pembelajaran


Hasil validasi dari dua dosen validator dapat dilihat pada
tabel 3.19.
Tabel 3.19 Validitas Lembar Keterlaksanaan Pembelajaran
Rata-
No Aspek yang Divalidasi Val 1 Val 2
Rata
ASPEK TUJUAN
Petunjuk lembar pengamatan
1 4 4 4
dinyatakan dengan jelas
Kriteria penilaian dinyatakan dengan
2 3 4 3,5
jelas
ASPEK UNSUR PEMBELAJARAN
Ketercakupan aspek apersepsi
(mengungkap) konsep awal dan
3 4 4 4
membangkitkan motivasi belajar peserta
didik
Ketercakupan aspek sosial dalam diskusi
4 3 3 3
kelompok dan penjelasan konsep
Ketercakupan aspek pengembangan dan
5 3 4 3,5
aplikasi konsep
56

Rata-
No Aspek yang Divalidasi Val 1 Val 2
Rata
Ketercakupan aspek keterampilan
6 4 3 3,5
praktikum
ASPEK BAHASA
Kesesuaian penggunaan bahasa yang 3 3 3
7
baku
Penggunaan bahasa yang mudah 3 4 3,5
8
dipahami
9 Penggunaan kalimat yang komunikatif 3 4 3,5
Konsistensi penggunaan simbol atau 3 4 3,5
10
lambang
Rata-rata 3,5
Persentase 87,5%
Berdasarkan tabel 3.19 validitas lembar keterlaksanaan
pembelajaran dapat diketahui bahwa rata-rata nilai validitas dari
dua dosen validator adalah 3,5 dengan persentase 87,5%.

7. Analisis Validitas Angket Respon


Hasil validasi dari dua dosen validator dapat dilihat pada
tabel 3.20.
Tabel 3.20 Validitas Angket Respon
Rata-
No Aspek yang Divalidasi Val 1 Val 2
rata
Terdapat petunjuk pengisian atau
1 4 4 4
penggunaan instrumen
Isi instrumen sesuai dengan tujuan
2 3 3 3
penelitian
Kalimat dalam instrumen bersifat
3 3 4 3,5
komunikatif
Kalimat pada instrumen menggunakan
4 3 4 3,5
bahasa yang baik dan benar
Format penulisan instrumen praktis dan
5 3 4 3,5
mudah dipahami
Rata-rata 3,5
Persentase 87,5%
Berdasarkan tabel 3.20 validitas angket respon dapat
diketahui bahwa rata-rata nilai validitas dari dua dosen
validator adalah 3,5 dengan persentase 87,5%.
K. Matriks Penelitian

Tabel 3.21 Matriks Penelitian


Instrumen
Metode
No Tujuan Penelitian Pengumpulan Analisis Data
Pengumpulan Data
Data
Mendeskripsikan Lembar Metode observasi Data hasil pengamatan keterlaksanaan model problem
keterlaksanaan model pengamatan baseed learning berbasis ICT dianalisis secara deskriptif
problem based learning keterlaksanaan kuantitatif, dikatakan berhasil terlaksana jika
1.
berbasis ICT untuk model problem persentase yang diperoleh yaitu minimal 41% - 60%
meningkatkan HOTS. based learning dengan kriteria cukup.
berbasis ICT.
Mendeskripsikan Lembar test Metode test Hasil pre-test dan post-test dianalisis menggunakan uji t-
keefektifan model Problem HOTS. berpasangan jika sampel terdistribusi normal. Untuk
Based Learning berbasis mengetahui seberapa besar peningkatan HOTS
ICT untuk meningkatkan dianalisis menggunakan analisis n-gain. Model Problem
HOTS peserta didik. Based Learning berbasis ICT dikatakan efektif jika ada
2.
peningkatan secara signifikan pada α = 5% dan nilai
rata-rata n-gain minimal berkategori sedang (0,3 < 〈g〉 ≤
0,7). Jika kelas kontrol tidak efektif, maka dilakukan uji
kesamaan rata-rata gain pada kedua kelas eksperimen
menggunakan uji t-independent.
Mendeskripsikan respon Lembar angket Metode angket. Angket respon peserta didik dianalisis secara deskriptif
peserta didik setelah peserta didik. kuantitatif, dikatakan perlakuan mendapatlkan respon
diterapkan model Problem baik jika persentase minimal angket respon adalah 60 –
3.
Based Learning berbasis 79 %.
ICT.
58

Halaman ini sengaja dikosongkan

58
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil dan Analisis Data Penelitian


Pada bab ini akan dipaparkan hasil analisis dan
pembahasan penelitian yang telah dilakukan di SMAN 2
Lamongan. Dalam penelitian ini menggunakan tiga kelas, yaitu:
kelas X MIA 1 (Kelas Kontrol), X MIA 2 (Kelas Eksperimen 1)
dan X MIA 3 (Kelas Eksperimen 2). Hasil penelitian yang
diperoleh meliputi keterlaksanaan model Problem Based Learning
berbasis ICT, hasil nilai pre-test dan post-test yang digunakan
untuk mengukur HOTS peserta didik, serta respon peserta didik.
1. Analisis Hasil Penelitian
1. Analisis Keterlaksanaan Pembelajaran
Analisis keterlaksanaan pembelajaran pada implementasi
Problem Based Learning berbasis ICT yang diamati oleh Guru
Mata Pelajaran Fisika kelas X di SMAN 2 Lamongan dan satu
teman sejawat yang juga merupakan mahasiswa Program Studi
S-1 Pendidikan Fisika Universitas Negeri Surabaya sebagai
pengamat pada pertemuan pertama dan pertemuan kedua
selama proses pembelajaran. Penilaian keterlaksanaan diukur
menggunakan instrumen lembar pengamatan keterlaksanaan.
Hasil pengamatan dari kelas eksperimen 1 dan eksperimen 2
dianalisis dengan metode Guttman.
Hasil pengamatan keterlaksanaan pembelajaran pada kelas
eksperimen 1 dan eksperimen 2 dalam implementasi Problem
Based Learning berbasis ICT oleh kedua pengamat dapat dilihat
pada Tabel 4.1.

59
60

Tabel 4.1 Data Keterlaksanaan Pembelajaran


Pertemuan 1 Pertemuan 2
Aspek yang diamati Eks 1 Eks 2 Eks 1 Eks 2
I II I II I II I II
A. PENDAHULUAN
(Orientasi Peserta Didik pada Masalah)
1. Memotivasi peserta didik 1 1 1 1 1 1 1 1
2. Membimbing peserta didik
untuk mengajukan gagasan,
pendapat, atau pertanyaan dari 1 1 1 1 1 1 1 1
proses pengamatan mereka
terhadap fenomena
3. Menyampaikan tujuan
1 1 1 1 1 1 1 1
pembelajaran
B. KEGIATAN INTI
(Mengorganisasi Peserta Didik untuk Belajar)
1. Mengorganisir peserta didik
1 1 1 1 1 1 1 1
dalam kelompok belajar
2. Membagikan Lembar Kerja
1 1 1 1 1 1 1 1
Peserta Didik (LKPD)
3. Membimbing peserta didik
yntuk membuat rumusan 1 1 1 1 1 1 1 1
masalah
(Membimbing Penyelidikan Individu/kelas)
1. Membimbing peserta didik
1 1 1 1 1 1 1 1
untuk menentukan hipotesis
2. Membimbing peserta didik
untuk menentukan variabel- 1 1 1 1 1 1 1 1
variabel eksperimen
3. Membimbing peserta didik
menuliskan alat dan bahan serta
mengurutkan langkah-langkah 1 0 1 0 1 0 1 0
eksperimen berdasarkan alat
dan bahan yang dipilih
4. Membimbing peserta didik
melakukan pengkajian konsep- 1 1 1 1 1 1 1 1
konsep yang terkait
5. Membimbing peserta didik
1 1 1 1 1 1 1 1
melakukan eksperimen
(Mengembangkan dan Menyajikan Hasil Karya)
1. Membimbing peserta didik
dalam mengolah dan
1 1 1 1 1 1 1 1
menganalisis data hasil
eksperimen
61

2. Membimbing peserta didik


membuat grafik hubungan antar
1 1 1 1 1 1 1 1
variabel manipulasi dan variabel
respon
3. Membimbing peserta didik
menganalis data hasil percobaan 1 1 1 1 1 1 1 1
dan grafik yang sudah dibuat
4. Meminta peserta didik
menggunakan data-data
1 1 1 1 1 1 1 1
eksperimen dan kajian referensi
untuk menarik kesimpulan
5. Memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk
1 1 1 1 1 1 1 1
mempresentasikan hasil
eksperimen
6. Memberikan kesempatan peserta
didik yang tidak presentasi
1 1 1 1 1 1 1 1
untuk menanggapi atau
bertanya
C. PENUTUP
(Menganalisis dan Mengevaluasi Proses Pemecahan Masalah)
1. Mengevalusai kesesuaian proses
yang dilakukan dengan hasil 0 0 0 0 1 1 1 1
yang didapat
2. Membimbing peserta didik
dalam menyimpulkan 1 0 1 0 1 0 1 0
pembelajaran
D. SUASANA KELAS
1. Berpusat pada peserta didik 0 0 0 0 1 1 1 1
2. Peserta didik antusias dalam
0 0 0 0 1 0 1 1
pembelajaran
3. Guru antusias dalam
1 1 1 1 1 1 1 1
penyampaian materi
E. PENGELOLAAN WAKTU 1 0 1 0 1 0 1 0
37 37 42 43
Jumlah Nilai
80,4% 80,4% 91% 93%
Berdasarkan Tabel 4.1 dan perhitungan skala Guttman,
persentase keterlaksanaan pembelajaran pada kedua kelas diatas
80%. Keduanya masuk ke dalam kriteria sangat baik.
62

2. HOTS Peserta Didik


HOTS peserta didik dianalisis dari hasil pre-test dan post-test
yang berisi tujuh soal uraian. Ketujuh soal yang digunakan
untuk menilai HOTS peserta didik menggunakan indikator
HOTS dari Taksonoi Bloom yang direvisi oleh Anderson. Berikut
hasil dari pre-test dan post-test setiap kelasnya.
a. Kelas Eksperimen 1
Tabel 4.2 Data Nilai Kelas Eksperimen 1
No. Nama Pre-test Post-test Gain
1 A. G. W. 34 49 15
2 A. I. L. A. M. 34 54 20
3 A. A. P. 26 54 28
4 A. A. Z. F. 26 66 40
5 A. M. R. 26 66 40
6 A. M. A. 46 85 39
7 D. S. A. P. 42 57 15
8 D. A. M. 18 74 56
9 F. Z. P. 18 34 16
10 F. M. W. 31 46 15
11 H. N. A. 34 54 20
12 J. L. S. 18 66 48
13 L. M. 46 85 39
14 M. K. M 31 62 31
15 M. R. P. 42 65 23
16 M. A. S. 34 54 20
17 M. W. M. 34 62 28
18 M. N. A. 31 63 32
19 N. H. M. 17 43 26
20 N. A. A. 34 66 32
21 P. P. S. 34 62 28
22 P. A. S. 34 66 32
23 R. D. R. 18 66 48
24 S. A. P. 26 62 36
25 S. A. M. 34 62 28
26 S. 22 62 40
27 S. S. 26 66 40
63

28 Z. A. F. 42 62 20
Jumlah 855
Rata-rata 30,53571429
b. Kelas Eksperimen 2
Tabel 4.3 Data Nilai Kelas Eksperimen 2
No. Nama Pre-test Post-test Gain
1 A. G. W. 31 42 11
2 A. I. L. A. M. 28 63 35
3 A. A. P. 11 54 43
4 A. A. Z. F. 31 51 20
5 A. M. R. 26 69 43
6 A. M. A. 33 77 44
7 D. S. A. P. 18 46 28
8 D. A. M. 29 55 26
9 F. Z. P. 29 69 40
10 F. M. W. 11 62 51
11 H. N. A. 23 62 39
12 J. L. S. 33 63 30
13 L. M. 18 62 44
14 M. K. M 22 42 20
15 M. R. P. 31 54 23
16 M. A. S. 11 69 58
17 M. W. M. 11 54 43
18 M. N. A. 29 58 29
19 N. H. M. 29 63 34
20 N. A. A. 11 31 20
21 P. P. S. 31 77 46
22 P. A. S. 18 69 51
23 R. D. R. 18 69 51
24 S. A. P. 11 49 38
25 S. A. M. 36 72 36
26 S. 29 54 25
27 S. S. 29 54 25
28 Z. A. F. 11 62 51
Jumlah 1002
Rata-rata 36,7037037
64

c. Kelas Kontrol
Tabel 4.4 Data Nilai Kelas Kontrol
No. Nama Pre-test Post-test Gain
1 A. E. P. 38 40 2
2 A. M. Z. 32 38 6
3 A. P. E. 25 40 15
4 A. H. Z. E. 40 51 11
5 D. D. A. S. P. 39 69 30
6 D. C. A 46 54 8
7 F. R. H. 43 54 11
8 F. A 42 58 16
9 G. S. P. 32 54 22
10 I. F. M. U. Y. 25 34 9
11 K. D. P. A. 42 88 46
12 M. A. J. 32 38 6
13 M. J. S. 25 51 26
14 M. R. F. 32 54 22
15 M. N. K. 42 54 12
16 M. F. N. 37 54 17
17 M. H. F. 31 32 1
18 M. S. H. 46 52 6
19 N. S. 42 54 12
20 N. U. H. 56 88 32
21 O. P. P. 32 38 6
22 P. K. A. 25 51 26
23 P. N. S. 42 43 1
24 S. Q. 46 74 28
25 S. A. A. 40 42 2
26 S. 54 62 8
27 T. G. A. 31 40 9
28 W. L. L. 41 66 25
Jumlah 415
Rata-rata 15,2962963
Hasil yang diperoleh dianalisis menggunakan uji statistika
berdasarkan panduan pada bab sebelumnya. Uji statistika yang
digunakan adalah uji t berpasangan untuk membandingkan
antara nilai pre-test dan post-test, analisis n-gain untuk
mendapatkan kriteria peningkatan dari setiap kelas, dan uji t-
independent untuk menguji kekonsistenan rata-rata peningkatan
nilai (gain) kedua kelas eksperimen dengan syarat kelas kontrol
65

tidak efektif dan telah melalui uji-uji prasyarat yaitu uji


normalitas dan homogenitas. Berikut adalah hasil dari
pengolahan data yang diperoleh.
a. Uji Normalitas
Data yang diuji adalah peningkatan atau selisih antara
nilai post-test dan pre-test dari masing-masing kelas untuk
mengetahui bahwa sampel berasal dari populasi dengan
distribusi yang normal. Uji statistika yang digunakan
adalah uji chi-kuadrat dengan hipotesis H0 menyatakan
bahwa sampel berasal dari populasi yang terdistribusi
normal dan H1 menyatakan bahwa sampel berasal dari
populasi yang tidak terdistribusi normal. Kondisi H0
diterima apabila X 2 hitung  X 2 tabel . Berikut disajikan hasil
perhitungan uji normalitas dari ketiga kelas.
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Uji Normalitas
No. Kelas X2hitung X2tabel Kesimpulan
1 Eksperimen 1 6,788 11,1 H0 diterima
2 Eksperimen 2 5,113 11,1 H0 diterima
3 Kontrol 10,928 11,1 H0 diterima
Berdasarkan Tabel 4.5 nilai X 2 hitung  X 2 tabel untuk
setiap kelas. Sehingga H0 diterima yang artinya semua kelas
berasal dari populasi yang terdistribusi normal.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk menguji ketiga
kelas atau semua sampel homogen atau tidak. Hipotesis
yang diajukan serupa dengan uji normalitas, yaitu H0
menyatakan bahwa semua sampel homogen dan H1
menyatakan ada satu saja tanda “tidak sama dengan” tidak
berlaku, yang artinya ketiga sampel tidak homogen satu
sama lain. H0 diterima dengan kondisi X 2 hitung  X 2 tabel .
Berikut data hasil perhitungan uji homogenitas ketiga kelas.
Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas
No. Kelas X2hitung X2tabel Kesimpulan
1 Eksperimen 1
2 Eksperimen 2 1,618 5,991 H0 diterima
3 Kontrol
66

Berdasarkan tabel 4.6 nilai X 2 hitung  X 2 tabel . Sehingga H0


diterima yang artinya semua kelas atau semua sampel
homogen.
c. Uji t Berpasangan
Uji t berpasangan dilakukan dengan syarat sampel
terdistribusi normal dan digunakan untuk menguji adanya
perbedaan yang signifikan antara nilai pre-test dan post-test.
Hipotesis yang diajukan ada dua. H0 menyatakan bahwa
tidak ada perbedaan yang signifikan dari nilai pre-test dan
post-test, sedangkan H1 menyatakan bahwa ada perbedaan
yang signifikan dari nilai pre-test dan post-test. Kesimpulan
yang diharapkan adalah ditolaknya H0 sehingga H1
diterima. Kesimpulan tersebut dapat diperoleh dengan
kondisi thitung ≥ ttabel. Apabila thitung bernilai negatif maka
artinya nilai post-test lebih tinggi daripada nilai pre-test.
Hasil perhitungan uji t berpasangan dari ketiga kelas
disajikan pada tabel 4.7.
Tabel 4.7 Hasil Perhitungan Uji t Berpasangan
No. Kelas thitung ttabel Kesimpulan
1 Eksperimen 1 -14,662 2,052 H0 ditolak
2 Eksperimen 2 -15,821 2,052 H0 ditolak
3 Kontrol -7,028 2,052 H0 ditolak
Berdasarkan tabel 4.7 nilai thitung > ttabel untuk setiap
kelas, sehingga H0 ditolak untuk semua kelas dan thitung juga
bernilai negatif. Artinya, nilai post-test lebih tinggi daripada
nilai pre-test secara statistik pada semua kelas.
d. Analisis N-Gain
Analisis N-gain digunakan untuk mengetahui kategori
dari tingkatan gain setiap kelas. Dikatakan meningkat
apabila nilai rata-rata n-gain minimal pada kategori sedang
(0,3 < 〈g〉). Hasil perhitungan rata-rata n-gain setiap kelas
berturut-turut disajikan pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Hasil Perhitungan Analisis Rata-Rata N-Gain
No. Kelas g Kategori
1 Eksperimen 1 0,44 Sedang
2 Eksperimen 2 0,45 Sedang
3 Kontrol 0,25 Rendah
67

Berdasarkan tabel 4.8 di atas, menunjukkan bahwa


rata-rata n-gain dari kedua kelas eksperimen masuk dalam
kategori sedang. Sedangkan untuk kelas kontrol masuk
dalam kategori rendah. Berdasarkan hasil dari uji t-
berpasangan dan analisis n-gain, kedua kelas eksperimen
memenuhi syarat untuk dikatakan efektif dalam
meningkatkan HOTS peserta didik, sedangkan kelas
kontrol tidak memenuhi syarat karena dari analisis rata-rata
n-gain tergolong dalam kategori rendah.
e. Uji t-independent
Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas
serta diperoleh kesimpulan bahwa sampel berasal dari
populasi yang terdistribusi normal dan homogen, maka
prasyarat untuk melakukan uji t-independent telah terpenuhi.
Selain itu, uji t-independent ini dilakukan sesuai dengan jenis
penelitian yang dilakukan yaitu pre experiment dengan
syarat kelas kontrol tidak efektif dalam meningkatkan
HOTS peserta didik. Berdasarkan uji statistik sebelumnya,
diperoleh bahwa kelas kontrol tidak memenuhi syarat,
maka uji t-independent dapat dilakukan untuk menguji
kesamaan rata-rata atau kekonsistenan peningkatan nilai
(gain) pada kelas eksperimen 1 dan eksperimen 2. Hipotesis
yang diajukan ada dua. H0 menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan rata-rata nilai gain pada kelas eksperimen 1 dan
eksperimen 2, sedangkan H1 menyatakan bahwa ada
perbedaan pada rata-rata nilai gain kelas eksperimen 1 dan
eksperimen 2. Kesimpulan yang diharapkan adalah
diterimanya H0. Kesimpulan tersebut dapat diperoleh
dengan kondisi -ttabel < thitung < ttabel. Hasil perhitungan uji t-
independent antara kelas eksperimen 1 dan eksperimen 2
disajikan pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9 Hasil Perhitungan Uji t-independent Kelas
Eksperimen 1 dan Eksperimen 2
No. Kelas thitung -ttabel Kesimpulan
1 Eksperimen 1
-1,95 -2,00488 H0 diterima
2 Eksperimen 2
68

Berdasarkan Tabel 4.9 nilai -ttabel < thitung < ttabel, sehingga
H0 diterima. Artinya, tdak ada perbedaan pada rata-rata
nilai gain kelas eksperimen 1 dan eksperimen 2.
3. Respon Peserta Didik
Peserta didik mengisi angket respon setelah menerima
pembelajaran dengan Problem Based Learning berbasis ICT.
Peserta didik memberikan respon melalui pengisian angket yang
meliputi 10 poin pernyataan. Hasil angket dari peserta didik di
kedua kelas eksperimen disajikan dalam Tabel 4.10.
Tabel 4.10 Data Persentase Respon Peserta Didik
Persentase %
No Pernyataan Rata-
Eks 1 Eks 2
rata
Fenomena yang disajikan menarik
perhatian saya dan mampu meningkatkan 92
1. 91 93
motivasi untuk mempelajari materi (SB)
momentum dan impuls.
Proses pembelajaran yang diajarkan
91
2. memudahkan saya untuk melatih 90 91
(SB)
pemikiran saya.
Pembelajaran ini membantu saya dalam 90
3. 91 89
menganalisis permasalahan yang dihadapi. (SB)
Peran aktif saya dalam kegiatan
94
4. pembelajaran menjadi meningkat ketika 96 91
(SB)
guru menerapkan pembelajaran ini
Setelah pembelajaran ini, saya paham 91
5. 91 90
mengenai konsep momentum dan impuls (SB)
Proses pembelajaran yang diajarkan
91
6. memudahkan saya untuk dapat menilai 93 88
(SB)
solusi terbaik dari masalah
Pembelajaran ini membantu saya mencari
88
7. suatu gagasan atau solusi dari suatu 86 90
(SB)
permasalahan.
Keterangan:
SB : Sangat Baik
Berdasarkan Tabel 4.10 nilai persentase setiap poin berada
pada kategori sangat baik, terutama pada poin keempat yang
mencapai 94% dalam rata-ratanya yang menunjukkan bahwa
peserta didik merasa lebih aktif dibandingkan dengan
pengajaran biasanya.
69

B. Pembahasan
1. Keterlaksanaan Pembelajaran
Aspek-aspek yang diamati dalam lembar ketelaksanaan
pembelajaran yakni kegiatan pendahuluan, inti, penutup,
pengamatan suasana kelas dan pengelolaan waktu. Penyusunan
lembar keterlaksanaan pembelajaran didasarkan pada sintaks-
sintaks dari model PBL berbasis ICT yakni orientasi peserta
didik terhadap masalah, mengorganisasi peserta didik untuk
belajar, membimbing penyelidikan individu dan kelompok
dengan memanfaatkan ICT, mengembangkan dan menyajikan
hasil karya dengan memanfaatkan ICT dan menganalisis dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah. Peningkatan terlihat
di kedua kelas eksperimen dari pertemuan pertama ke
pertemuan kedua menunjukkan bahwa aktivitas di kelas
semakin terstruktur dan nyaman untuk guru maupun peserta
didik. Rata-rata persentase menunjukkan kategori sangat baik
dengan persentase di atas 80% pada setiap aspek dikarenakan
pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan susunan RPP yang
telah dibuat dan disesuaikan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan
hasil penelian yang menyatakan bahwa pembelajaran terlaksana
dengan baik ketika penerapannya sesuai dan sistematis dengan
RPP yang dirancang (Rafiqa dkk, 2017).
Lembar keterlaksanaan bagian pendahuluan menilai
kegiatan pembuka kegiatan pembelajaran sekaligus masuk ke
dalam sintaks dari model PBL berbasis ICT seperti pemberian
motivasi belajar serta memberi kesempatan peserta didik untuk
menyampaikan gagasan serta pendapatnya terkait suatu
fenomena yang disajikan. Dalam kegiatan pendahuluan
mengkondisikan peserta didik untuk siap menerima pelajaran
adalah aspek yang sangat perlu diperhatikan. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa kegiatan pendahuluan mendapatkan nilai
yang sangat baik yang artinya bahwa motivasi awal peserta
didik tinggi. Motivasi awal peserta didik diisi dengan
menampilkan video fenomena terkait materi sehingga
memunculkan perasaan tertarik dan penasaran yang membuat
peserta didik termotivasi untuk belajar lebih jauh. Sebenarnya
70

aspek inilah yang menjadi salah satu ciri dari PBL berbasis ICT,
karena pada aspek ini penyajian masalah melalui media
dilakukan. Jika masalah tidak disajikan maka ini bukan lagi
pembelajaran dengan menerapkan model PBL. Pada aspek
pertama ini, peserta didik sudah langsung diajak untuk
menggunakan pemikiran tingkat tinggi yaitu menganalisis.
Mereka mencoba memahami video yang ditampilkan,
mengarahkan fokusnya pada satu titik yang menjadi
permasalahan, kemudian mulai menganalisis apa yang
sebenarnya terjadi, fenomena fisika apa yang telah mereka amati
dalam video. Setelah itu mereka akan mulai menganalisis,
mengasosiasi dengan bayangan-bayangan, mereka juga akan
memproyeksikan adegan dalam video ke dalam pikirannya,
sehingga paling tidak mereka akan membuat konstruksi kognitif
mereka sendiri meskipun belum benar-benar tahu konsep apa
yang terkandung dalam fenomena tersebut.
Aspek lain yang lebih menjadi perhatian adalah
keterlaksanaan dari kegiatan inti yang memuat sebagian besar
sintaks PBL berbasis ICT. Sintaks PBL berbasis ICT memiliki
keterkaitan dengan indikator HOTS dari taksonomi Bloom revisi
Anderson. Hasil penilaian pengamat yang tersajikan dalam
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa keterlaksanaan pembelajaran
untuk setiap aspek tersebut di seluruh kelas dan disetiap
pertemuannya berada dalam kategori sangat baik. Pada aspek
membimbing peserta didik untuk melakukan penyelidikan
adalah aspek yang benar-benar menggunakan tingkatan berpikir
menganalisis dan mengevaluasi karena dalam aspek tersebut
peserta didik mencari informasi tentang konsep, materi yang
diberikan kemudian menghubungkannya dengan fenomena
yang berisi masalah. Setelah dirasa mereka telah menemukan
hubungan konsep materi dengan permasalahan, mereka akan
berpikir ulang untuk mengevaluasi apakah pemikiran mereka
benar atau tidak, atau mungkin ada sesuatu yang dirasa kurang
sesuai. Jadi pada aspek ini adalah aspek utama yang benar-benar
melatih HOTS dari peserta didik. Kemudian pada aspek
mengembangkan dan menyajikan hasil karya, disinilah
71

tingkatan tertinggi dari berpikir digunakan, yaitu mencipta.


Setelah apa yang mereka pikirkan dan evaluasi sebelumnya
selesai, barulah peserta didik mulai untuk membuat suatu
artefak, wujud dari pemikirannya dalam menentukan solusi
suatu permasalahan.
Pada bagian kegiatan penutup keterlaksanaan pembelajaran
juga dinilai oleh pengamat. Penilaian bagian penutup meliputi
evalusi bersama peserta didik mengenai pembelajaran yang
telah terlaksana. Kegiatan tersebut dilakukan untuk
mengarahkan peserta didik menyimpulkan hasil pembelajaran.
Poin dalam lembar keterlaksanaan selanjutnya adalah mengenai
pengelelolaan suasana kelas dan alokasi waktu. Pengelolaan
waktu sebagai salah satu aspek teramati memang sangat sulit
untuk menyesuaikan dengan alokasi waktu pada RPP, karena
apa yang terjadi di kelas selalu berbeda dengan apa yang
direncanakan sehingga membutuhkan waktu yang lebih panjang.
2. HOTS Peserta Didik
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat efek
dari implementasi PBL berbasis ICT terhadap peningkatan
HOTS peserta didik di tingkat SMA. Sesuai dengan yang telah
dicantumkan pada bab sebelumnya bahwa syarat PBL berbasis
ICT efektif untuk meningkatkan HOTS peserta didik apabila
nilai post-test harus lebih tinggi dari pre-test, rata-rata n-gain
minimal kategori sedang serta rata-rata gain kedua kelas
eksperimen tidak berbeda. Melalui uji t berpasangan yang telah
dilakukan, dengan taraf signifikansi 5% diperoleh hasil bahwa
nilai post-test ketiga kelas (2 kelas eksperimen dan 1 kelas kontrol)
lebih tinggi daripada nilai pre-test. Syarat yang kedua adalah
nilai rata-rata n-gain minimal dalam kategori sedang.
Berdasarkan Tabel 4.16 yang menunjukkan hasil perhitungan
rata-rata n-gain ketiga kelas, terlihat bahwa kedua kelas
eksperimen masuk dalam kategori sedang, sedangkan kelas
kontrol masuk dalam kategori rendah. Kemudian setelah
diketahui bahwa kedua kelas eksperimen yang menggunakan
model PBL berbasis ICT efektif dalam meningkatkan HOTS
peserta didik sedangkan kelas kontrol tidak, barulah memenuhi
72

syarat untuk mereduksi penelitian ini menjadi pre experiment dan


dilakukan uji t-independent untuk menguji kesamaan atau
kekonsistenan rata-rata gain antara kedua kelas eksperimen.
Berdasarkan tabel 4.9 terlihat bahwa tidak ada perbedaan rata-
rata gain pada kedua kelas eksperimen. Alasan mengapa nilai
post-test peserta didik pada semua kelas lebih tinggi daripada
nilai pre-test berdasarkan uji t berpasangan adalah karena
sebelum mendapatkan pelajaran terkait momentum dan impuls
peserta didik sama sekali tidak memahami konsep maupun
materi tersebut sehingga nilai yang diperoleh saat mengerjakan
pre-test benar-benar rendah. Namun setelah mendapatkan
pengajaran terkait momentum dan impuls, meskipun mereka
berada dalam kelas kontrol yang menggunakan model
pembelajaran konvensional (metode ceramah), pengetahuan
yang mereka peroleh tetap menjadikan nilai mereka berubah
signifikan saat mengerjakan post-test. Maka dari itu diperlukan
analisis n-gain untuk melihat rata-rata kenaikannya berada
dalam kategori rendah, sedang atau tinggi. Secara garis besar,
kedua kelas eksperimen yang menggunakan model PBL berbasis
ICT efektif dalam meningkatkan HOTS peserta didik dengan
rata-rata gain keduanya tidak berbeda, sedangkan kelas kontrol
yang menggunakan metode ceramah dan latihan soal tidak
memenuhi syarat untuk dikatakan efektif dalam meningkatkan
HOTS.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
beberapa peneliti terkait pengaruh PBL terhadap HOTS peserta
didik (Kim, 2017; Dwi et al., 2012; Jailani et al., 2017; Kek &
Huijser, 2011) bahwa Problem Based Learning (PBL) merupakan
salah satu pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk
merangsang kemampuan peserta didik untuk berpikir tingkat
tinggi dalam siatuasi yang berorientasi pada masalah dunia
nyata, termasuk di dalamnya bagaimana belajar. Meningkatnya
HOTS peserta didik pada kelas eksperimen dibandingkan
dengan kelas kontrol sebenarnya juga sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Patrick (2009) dan Hali (2016) karena HOTS
juga menjadi salah satu dari fokus nilai pedagogis yang dituju
73

dalam pembelajaran menggunakan model PBL. PBL yang


memiliki ciri khas berorientasi pada masalah membuat peserta
didik memanggil kembali pengetahuan yang sebelumnya telah
dia miliki, kemudian di dalam grub-grub kecil mereka
menyusun pengetahuan-pengetahuan tersebut untuk
menganalisis masalah yang diberikan (Schmidt, et al., 2011).
Pemberian masalah pada pembelajaran yang menerapkan model
PBL juga membantu dalam meningkatkan HOTS dengan
mendorong peserta didik untuk mengkonstruktsi struktur
kognitif melalui proses, prinsip serta mekanisme dasar dari
fenomena, yang membantu mereka dalam pencarian suatu solusi
untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi (Schmidt, 1993).
Penggunaan ICT untuk menampilkan masalah yang dimaksud
menambah ketertarikan peserta didik pada pembelajaran,
sehingga mereka semakin bersemangat untuk menyelesaikan
sesuatu yang sebelumnya belum terselesaikan (Rotgans &
Schmidt, 2011) atau dengan kata lain motivasi belajar mereka
meningkat dengan adanya masalah yang diberikan (Huang,
2012). Motivasi sendiri membuat peserta didik akan aktif terlibat
dalam pembelajaran dan menjadikan pembelajaran lebih
bermakna. Kelebihan lain dari PBL adalah dapat membuat
peserta didik mengembangkan apa yang telah dimilikinya atau
apa yang telah dipelajari ke arah konteks yang lain (Dym, et al.,
2005). PBL pada salah satu sintaksnya juga mencakup
keterampilan mengevaluasi yang termasuk ke dalam indikator
HOTS. Di dalamnya peserta didik diminta untuk melakukan
pembuatan keputusan dan validasi atas pilihan yang dibuatnya
(Kunberger, 2013). Dengan adanya hal tersebut, peserta didik
akan terlatih untuk memikirkan kembali asumsi-asumsi yang
muncul dalam pikirannya, kemudian memanggil kembali
ingatan yang ada dalam memori jangka panjangnya terkait
asumsi-asumsi tersebut sehingga dapat membuat pilihan yang
tepat. Selain membuat peserta didik memanggil kembali
ingatannya, PBL juga melatih peserta didik untuk mengingat
cara berpikir atau mempersiapkan pengetahuannya untuk
masalah di masa depan (Wood, 2015; Yasin et al., 2011). PBL juga
74

memiliki efek positif pada kreativitas berpikir peserta didik,


karena dalam proses pembelajaran dilatih untuk belajar mandiri
(Leary, 2012; Thomas, 2013) sehingga merasa lebih percaya diri
dalam membuat gagasan-gagasan atau pemikiran dalam
menyelesaikan suatu masalah (Yoon, et al., 2012; Sihaloho &
Ginting, 2017; Argaw, et al., 2017). PBL juga melatih peserta didik
tidak hanya menyelesaikan masalah akan tetapi memotong
permasalahan sehingga lingkup asumsi-asumsi yang
dipikirkannya tidak melebar keluar dari konteks (Dawson & Titz,
2013). Dalam hal ini, model PBL benar-benar mencakup seluruh
bagian dari indikator HOTS.
ICT yang digunakan dalam pembelajaran membantu dalam
menampilkan video fenomena, dapat diulang, sehingga peserta
didik juga bisa terfokus pada apa yang diharapkan oleh guru.
Masalah yang ditampilkan dan difokuskan, merupakan hal yang
diamati dan jika ada yang aneh atau tidak sesuai dengan
pengetahuan awalnya akan menyebabkan dia memandangnya
sebagai hal yang salah. Sedangkan hal yang salah dapat
menyebabkan peserta didik berpikir kritis (Prayogi, et al., 2019)
yang merupakan bentuk dari menganalisis. Penggunaan ICT
sebenarnya juga memberikan inovasi dalam proses pembelajaran,
yang membuat peserta didik lebih menghargai dan tertarik pada
pembelajaran (Wu, 2018). Dalam materi momentum, jarang bisa
digunakan laboratorium yang memenuhi untuk digunakan
sebagai peraga agar peserta didik mendapatkan pemahaman,
sehingga dengan memanfaatkan aplikasi PhET dalam
eksperimen sangat memudahkan peserta didik memahami
konsep momentum. Konsep yang diperoleh dari percobaan yang
dilakukan akhirnya dihubungkan dan diasosiasikan oleh peserta
didik untuk membuat sebuah solusi dari permasalahan yang
diberikan. Dengan begitu, peserta didik tidak hanya hafal dan
bisa menerapkan konsep dari momentum dan impuls akan
tetapi juga dapat menganalisis dan mengevaluasi suatu
permasalahan yang terkait dengan momentum dan impuls serta
dapat menciptakan suatu ide atau solusinya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan data penelitian dan pembahasan pada bab
sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Keterlaksanaan implementasi Problem Based Learning berbasis
ICT pada pembelajaran fisika untuk meningkatkan HOTS
peserta didik kelas X SMA Negeri 2 Lamongan mendapatkan
persentase di atas 80% dengan kriteria terlaksana sangat baik.
2. Model Problem Based Learning berbasis ICT efektif dalam
meningkatkan HOTS peserta didik, sedangkan kelas kontrol
tidak memenuhi syarat untuk dikatakan efektif melalui uji t
berpasangan pada α=5% dan kriteria peningkatan sedang
melalui analisis rata-rata n-gain.
3. Respon peserta didik setelah diterapkan Problem Based
Learning berbasis ICT mendapatkan rata-rata persentase diatas
80% dan berkategori sangat baik.
B. Saran
Saran yang bisa diberikan sebagai berikut:
1. Berdasarkan penelitian ini, model PBL berbasis ICT dapat
dijadikan referensi dalam pembelajaran materi-materi tertentu
agar lebih efektif dalam meningkatkan HOTS peserta didik.
2. Penggunaan ICT dalam pembelajaran dapat lebih
diintensifkan, karena selain menarik bagi peserta didik juga
dapat memperjelas sesuatu yang awalnya hanya dibayangkan
saja.
3. Pembuatan karya atau artefak dalam pembelajaran dengan
model PBL perlu dipikirkan dan direncanakan dengan lebih
rinci agar wujud dari artefak yang diharapkan sesuai dengan
harapan.
4. PBL membutuhkan waktu yang banyak, sehingga sebelum
menerapkan model ini dalam pembelajaran diperlukan
pengaturan alokasi waktu agar tidak merusak ritme
pembelajaran serta membuat pembelajaran sesuai dengan
yang diharapkan.

75
76

Halaman ini sengaja dikosongkan


DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L. W., Krathwohl, D. R., Airasian, P.W., Cruikshank,


K.A., Mayer, R.E., Pintrich, P.R., Raths, J., & Wittrock, M.C.
(2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A
Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. (L. W.
Anderson & D. R. Krathwohl, Eds.). New York: Longman.

Arends, R. I. (2012). Learning to Teach. New York: Mc. Graw-Hill.

Argaw, A. S., Haile, B. B., Ayalew, B. T., & Kuma, S. G. (2017).


The Effect of Problem Based Learning (PBL) Instruction on
Students’ Motivation and Problem Solving Skills of Physics.
Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology
Education, 13(3), 857–871.
https://doi.org/10.12973/eurasia.2017.00647a

Arifin, Z. (2012). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja


Roesdakarya.

Arnesen, T. (2010). The role of ICT in the teaching of English as a


Foreign Language in Norwegian lower secondary schools – a
study of ICT use and patterns of associated factors.
Masterspesialisering Engelsk: ILS.

Barrows, H. S. (1996). Problem-based learning in medicine and


beyond: A brief overview. New Directions for Teaching and
Learning, 68, 3–12.

Barrows, H. S., & Myers, A. C. (1993). Problem-based learning in


secondary schools. Unpublished Monograph. Springfield, IL:
Problem-Based Learning Institute, Lanphier High School
and Southern Illinois University Medical School.

77
78

Bloom, B. S. (1956). Handbook I, cognitive domain. Taxonomy of


educational objectives: the classification of educational goals.
New York: Longman.

Brookhart, S. M. (2010). How to assess higher-order thinking skills in


your classroom. Alexadria: Association for Supervision and
Curriculum Development.

Dawson, M., & Titz, K. (2012). Problem-Based Learning as A


Strategy to Teach Service Quality: An assessment of on-line
reviews. Journal of Hospitality & Tourism Education, 24(2–3),
67–72. https://doi.org/10.1080/10963758.2012.10696672

Depdiknas. 2003. Undang-Undang RI No.20 tahun 2003 tentang


sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Dwi, I. M., Arif, H., & Sentot, K. (2013). Pengaruh Strategi


Problem Based Learning Berbasis Ict Terhadap Pemahaman
Konsep Dan Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika.
Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 9(5), 8–17.

Dym, C. L., Agogino, A. M., Eris, O., Frey, D. D., & Leifer, L. J.
(2005). Engineering Design Thinking, Teaching, and
Learning. Journal of Engineering Education, 94(1), 103–120.
https://doi.org/10.1002/j.2168-9830.2005.tb00832.x

Fong Ma, A. K., O’Toole, M., & Keppell, M. (2008). An


investigation of student teachers’ attitudes to the use of
media triggered problem based learning. Australasian
Journal of Educational Technology, 24, 311–325.
https://doi.org/10.14742/ajet.1211

Fosters, M. (2004). Higher Order Thinking Skills. Research


Developments. Retrieved from
https://research.acer.edu.au/resdev/vol11/iss11/1
79

G Schmidt, H., I Rotgans, J., & Yew, E. (2011). The process of


problem-based learning: What works and why. Medical
Education, 45, 792–806.
https://doi.org/10.1111/j.1365-2923.2011.04035.x

Giancoli, D. C.. (2001). Fisika. Jakarta: Erlangga.

Grabinger, S., & Dunlap, J. C. (2002). Problem-Based Learning as


an Example of Active Learning and Student Engagement.
In T. Yakhno (Ed.), Advances in Information Systems (pp.
375–384). Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg.

Hake, R, R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. AREA-D


American Education Research Association’s Devision.D,
Measurement and Reasearch Methodology.

Hali, F. (2016). THE EFFECT OF APPLICATION OF PROBLEM


BASED LEARNING AGAINST PROPORTIONAL
REASONING ABILITY BASED ON VOCATIONAL
STUDENTS ’ ACHIEVEMENT MOTIVATION. Journal of
Mathematics Education, 1(2).

Halliday, D., & Resnick, R.. (2011). Fundamentals of Physics.


Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.

Heong, Y. M., Othman, W. B., Yunos, J. Bin, Kiong, T. T., Hassan,


R. Bin, Mohaffyza, M., & Mohamad, B. (2011). The Level of
Marzano Higher Order Thinking Skills among Technical
Education Students. International Journal of Social Science and
Humanity, 1(2). https://doi.org/10.7763/IJSSH.2011.V1.20

Hershkowitz, R., Schwarz, B. B., & Dreyfus, T. (2001).


Abstraction in context: Epistemic actions. Journal for
Research in Mathematics Education, 195–222.
80

Huang, K. (2012). Applying Problem-based Learning ( PBL ) in


University English Translation Classes. The Journal of
International Management Studies, 7(1), 121–127.

Istiyono, E. (2017). The analysis of senior high school students’


physics HOTS in Bantul District measured using
PhysReMChoTHOTS. In AIP Conference Proceedings 1868,
070008. https://doi.org/10.1063/1.4995184

Jailani, J., Sugiman, S., & Apino, E. (2017). Implementing the


problem-based learning in order to improve the students’
HOTS and characters. Jurnal Riset Pendidikan Matematika, 4,
247. https://doi.org/10.21831/jrpm.v4i2.17674

Johnson, L., Adams Becker, S., Cummins, M., and Estrada, V.


(2013). Technology Outlook for Norwegian Schools 2013-2018:
An NMC Horizon Project Regional Analysis. Austin, Texas:
The New Media Consortium.

Kek, M., & Huijser, H. (2011). The power of problem-based


learning in developing critical thinking skills: Preparing
students for tomorrow’s digital futures in today’s
classrooms. Higher Education Research & Development, 30,
329–341. https://doi.org/10.1080/07294360.2010.501074

Kim, Nam Ju. (2017). Enhancing Students’ Higher Order Tinking


Skills through Computer-based Scaffolding in
Problem-based Learning. All Graduate Theses and
Dissertations.

King, F. J., Goodson, L., & Rohani, F. (1998). Higher order


thinking skills: Definitions, strategies, assessment. Center for
Advancement of Learning and Assessment. Tallahassee: Florida
State University.
81

King, F. J., Goodson, L., & Rohani, F. (2010). Assessment &


evaluation educational services program: Higher-order thinking
skills. Washington, DC: A publication of the Educational
Services Program.

Krathwohl, D. R. (2002). A revision of Bloom’s taxonomy: An


overview. Theory into Practice, 41(4), 212–218.

Kunberger, T. (2013). Revising a design course from a lecture


approach to a project-based learning approach. European
Journal of Engineering Education, 38(3), 254–267.
https://doi.org/10.1080/03043797.2013.800020

Lavalle, A. (2012). Industry 4.0 and the Importance of Creativity.


Retrieved from
http://beehive-erasmusplus.eu/wp-content/uploads/2018
/03/Unit-16.pdf

Leary, Heather M. (2012). Self-Directed Learning in


Problem-Based Learning Versus Traditional Lecture-Based
Learning: A Meta-Analysis. All Graduate Theses and
Dissertations.

Lewis, A., & Smith, D. (1993). Defining higher order thinking.


Theory into Practice, 32(3), 131–137.

Lipman, M. (2003). Thinking in education. Cambridge: Cambridge


University Press.

Lord, T., & Baviskar, S. (2007). Moving students from


information recitation to information
understanding-exploiting Bloom’s taxonomy in creating
science questions. Journal of College Science Teaching, 36(5),
40.
82

Marjan, J., Arnyana, I. B. P., & Setiawan, I. G. A. N. (2014).


Pengaruh Pembelajaran Pendekatan Saintifik Terhadap
Hasil Belajar Biologi dan Keterampilan Proses Sains Siswa
MA Mu ’ allimat NW Pancor Selong Kabupaten Lombok
Timur Nusa Tenggara Barat. E-Journal Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha, 4.

Meyers, C. (1986). Teaching Students to Think Critically. A Guide for


Faculty in All Disciplines. Jossey-Bass Higher Education Series.
San Francisco: Jossey-Bass Publishers.

Mikrajudin, A.. (2016). Fisika Dasar 1. Bandung: ITB.

Miller, C., Nentl, N., & Zietlow, R. (2014). About simulations and
Bloom’s learning Taxonomy. Developments in Business
Simulation and Experiential Learning, 37, 161-171.

Newmann, F. M. (1991). Promoting higher order thinking in


social studies: Overview of a study of 16 high school
departments. Theory & Research in Social Education, 19(4),
324–340.

Nugroho, R. A. (2018). HOTS - Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi:


Konsep, Pembelajaran, Penilaian, dan Soal-Soal. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.

OECD. (2018). PISA 2015 Results in Focus. Retrieved from


https://www.oecd.org/pisa/pisa-2015-results-in-focus.pdf

Ormrod, J. E. (2013). Educational psychology: Pearson new


international edition: Developing learners. Upper Saddle River:
Pearson Higher Ed.

P21 - The Partnership for 21st Century Learning. (2019).


Framework for 21st Century Learning. Retrieved from
83

http://static.battelleforkids.org/documents/p21/P21_Fra
mework_Brief.pdf

Patrick, N. C. L. (2009). The Power of Problem-based Learning


( PBL ) in the EFL classroom. Polyglossia, 16, 41–48.

Pohl, M. (1999). Learning to Think, Thinking to Learn (1st ed.).


Melbourne: Hawker Brownlow Education.

Prayogi, S., Muhali, M., Yuliyanti, S., Asy’ari, M., Azmi, I., &
Verawati, N. (2019). The Effect of Presenting Anomalous
Data on Improving Student’s Critical Thinking Ability.
International Journal of Emerging Technologies in Learning
(IJET), 14, 133. https://doi.org/10.3991/ijet.v14i06.9717

Riduwan. 2012. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru, Karyawan,


Peneliti
Pemula. Bandung: Alfabeta.

Rohana Sihaloho, R., Sahyar, S., & Marlina Ginting, E. (2017). The
Effect of Problem Based Learning (PBL) Model toward
Student’s Creative Thinking and Problem Solving Ability in
Senior High School. IOSR Journal of Research & Method in
Education (IOSRJRME), 07, 11–18.
https://doi.org/10.9790/7388-0704011118

Rotgans, J. I., & Schmidt, H. G. (2011). The role of teachers in


facilitating situational interest in an active-learning
classroom. Teaching and Teacher Education, 27(1), 37–42.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.tate.2010.06.025

Sani, R. A. (2014). Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi


Kurikulum 2013. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Savery, J. R. (2015). Overview of problem-based learning:


Definitions and distinctions. In A. Walker, H. Leary, C. E.
84

Hmelo-Silver, & P. A. Ertmer, P. A. (Eds.), Essential Readings


in Problem-Based Learning: Exploring and Extending the Legacy
of Howard S. Barrows (pp. 5-15). West Lafayette: Purdue
University Press.

Schmidt, H. G. (1993). Foundations of problem-based learning :


some explanatory notes, (27), 422–432.

Schraw, G. & Robinson, D. H. (2011). Assessment of Higher Order


Thinking Skills. New York: Information Age Publishing, Inc.

Serway, R. A., & Jewett J. W.. (2004). Physics for Scientists and
Engineers. Pacific Grove: Thomson Brooks/Cole.

Shidiq, A. S., Masykuri M., Susanti, E. (2015). Analisis Higher


Order Thinking Skills (Hots) Menggunakan Instrumen
Two-Tier Multiple Choice Pada Materi Kelarutan Dan Hasil
Kali Kelarutan Untuk Siswa Kelas XI SMAN 1 Surakarta. In
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Sains (SNPS).
Surakarta.

Siswanto. (2018). FISIKA SMA. Jakarta: Kemdikbud

Srivastava, S. (2016). ICT implementation for Education and


Learning. IOSR Journal of Research & Method in Education,
6(4), 40–44. https://doi.org/10.9790/7388-0604044044

Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan


Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2015). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.


Bandung: Alfabeta.
85

Suharsimi Arikunto. (2007). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka


Cipta.

Suharsimi Arikunto. (2012). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.


Jakarta: Bumi Aksara.

Suharsimi Arikunto. (2013). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan


Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Suwasono, P., & Puspitasari, E. (2017). Pengaruh Problem Based


Learning Berbantuan ICT terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Mahasiswa Pendidikan Fisika
Angkatan Tahun 2016 / 2017 pada Materi Fluida Statis.
Jurnal Riset Pendidikan Fisika, 1(1), 8–10.

Suwatra, W. & Suyatna, A. (2015). Bahan Ajar Elektronik Global


Warming Berbasis Inkuiri dengan Pendekatan
Keterampilan Berpikir Kritis. Prosiding Seminar Nasional
Fisika, Vol IV: 155-160.

Thomas, L. K. (2013). Investigating Self-Regulated Learning


Strategies to Support The Transition to Problem Based Learning.
University of Wollongong.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005


tentang guru dan dosen.

Wood, E. J. (2004). Problem-Based Learning: Exploiting


Knowledge of how People Learn to Promote Effective
Learning. Bioscience Education, 3(1), 1–12.
https://doi.org/10.3108/beej.2004.03000006

Woolever, R. M., & Scott, K. P. (1988). Active learning in social


studies: Promoting cognitive and social growth. Glenview: Scott
Foresman & Company.
86

Wu, J. (2018). A Space Design Teaching Model Using Virtual


Simulation Technology State of the art. International Journal
of Emerging Technologies in Learning (IJET), 13(6), 163–175.

Wulandari, T. C., Juweni, & Sumadji. (2016). Penerapan Metode


Penemuan Terbimbing Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Siswa. In Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika
Universitas Kanjuruan Malang (Vol. 1, pp. 176–181).

Xing, B., & Marwala, T. (2006). Implications of the Fourth


Industrial Age on Higher Education.

Yassin, S. F. M., M., Rahman, S., Yamat, H.. (2011). ICT


Interdisciplinary Problem-Based Learning in Pre-Service
Teacher Programme. World Applied Sciences Journal, 15(11),
42–48.

Yoon, H., Woo, A. J., Treagust, D., & Chandrasegaran, A. L.


(2014). The Efficacy of Problem-based Learning in an
Analytical Laboratory Course for Pre-service Chemistry
Teachers. International Journal of Science Education, 36(1),
79–102. https://doi.org/10.1080/09500693.2012.727041

Anda mungkin juga menyukai