PRAKTIKUM PERPETAAN
ACARA 8
STAKE OUT JALAN
Disusun oleh:
SAMARINDA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Perpetaan merupakan suatu hal yang penting bagi seorang Geofisikawan, karena
seluruh penyajian data geofisika menggunakan media peta. Peta merupakan gambaran
dari permukaan bumi yang dilihat dari atas yang digambar pada bidang datar (2D) dan
diperkecil dengan skala tertentu serta memiliki simbol sebagai penjelas. Peta topografi
ialah suatu peta yang menggambarkan suatu daerah berdasarkan ketinggian yang
didalamnya terdapat garis kontur sebagai penjelas ketinggian. Garis kontur adalah garis
khayal tertutup di lapangan yang menghubungkan titik-titik dengan ketinggian yang
sama, biasanya diukur dari suatu permukaan air laut rata-rata
Setelah dilakukan stake out atau pematokan, dirasa sangat penting untuk mengukur
kembali titik - titik yang sudah ditentukan di lapangan. Pengukuran kembali ini disebut
pengukuran detail. Pengukuran detail penting untuk dilakukan karena ketepatan dalam
pengukuran dan pematokan sesuai dengan gambar rencana dan gambar kerja merupakan
awal dari keberhasilan pelaksanaan pekerjaan dan kerugian waktu dan biaya akibat
kesalahan lokasi dan dimensi pekerjaan akan dapat terhindari.
Oleh karena itu, praktikum ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana proses
pemindahan titik dari peta ke lapangan dan begitu juga sebaliknya. Praktikum ini
dilakukan secara bersamaan karena antara stake out dan pengukuran detail terdapat
hubungan yang erat. Jika terdapat perbedaan koordinat antara pengukuran detail dan stake
out, maka hal itu patut untuk dianalisis letak kesalahannya.
TINJAUAN PUSTAKA
Berbagai rancangan pekerjaan konstruksi yang merupakan desain para ahli perancang
pada akhimya harus ditempatkan kembali ke lapangan sesungguhnya, yaitu ke atas
permukaan fisik bumi. Proses pemindahan dari bentuk gambar di atas peta ke atas
permukaan bumi tersebut dikenal dengan nama pematokan atau setting out ataupun stake
out. Dengan demikian pematokan adalah proses memindahkan atau retransformasi titik-
titik yang terdapat di peta sebagai hasil dari perencanaan ke lapangan sesungguhnya.
(Sinaga, 1997)
Dalam bagian ini hanya akan dibahas dua jenis pematokan yang banyak digunakan di
lapangan, yaitu pematokan garis lurus dan lengkungan. Kedua kerja ini sesungguhnya
berkaitan erat dengan penyelenggaraan pengukuran dan pemetaan sebelumnya. Sehingga
titik-titik ikat yang telah dibangun pada pengukuran terdahulu haruslah tetap tersedia di
tempatnya. Demikian pula halnya pematokan garis lurus dan lengkungan, umumnya
dilakukan secara berturuÂ-tan. Kerangka dasar pada mulanya memang dibangun untuk
menyelenggarakan pemetaan, namun setelah desain konstruksi selesai, maka kerangka
dasar tersebut juga diperlukan untuk mematok desain tersebut di lapangan. (Sinaga, 1997)
Ananda Dwi Septa Gunawan
2009026040
Kelompok 2
Namun sebagaimana lazimnya, perkembangan suatu kota atau wilayah selalu di belakang
perkembangan penduduk, sehingga pada saat pembangunan dilaksanakan sering terjadi
daerah tersebut telah dipenuhi oleh bangunan. Hal ini akan menghalangi gerak
pembaÂ-ngunan tersebut. Apabila konstruksi yang dibangun membutuhkan lahan yang
dipakai seterusnya, maka dapat dilakukan penggusuran dengan ganti rugi yang memadai,
namun apabila hanya diperlukan sementara, maka hal itu membutuhkan pemecahan
tersendiri pula. Misalnya titik potong (I) ataupun titik pusat (0) lengkungan yang jatuhnya
di tengah perumahan rakyat dan lain sebagainya. Syarat tambahan yang berakibat pada
hitungan tambahan juga akan dibaÂ-has pada bagian akhir sesuai dengan kasus yang
sering terjadi di lapangan. (Sinaga, 1997)
Pematokan jalur lurus pada jalan raya adalah pernatokan tangen atau garis singgung yang
menghubungkan antara dua titik potong I. Hal ini berarti pula, bahwa garis singgung yang
juga merupakan sebagian pelurus tersebut menyinggung dua buah lengkungan, karena
dimulai dari sebuah belokan sampai pada belokan lainnya. Pada pematokan garis
singgung ini, umumnya dilakukan untuk jarak setiap 50meter dan diikatkan pada
sepasang pilar titik ikat padajarak sekitar 500 meter. Sebelum pematokan padagaris
singgung dilakukan, maka perlu terlebih dahulu ditentukan titik awal dari rencana sumbu
jalan tersebut. (Sinaga, 1997)
Pada penentuan letak atau pematokan sebuah rencana sumbu jalan, maka sebagaimana
diuraikan di atas, diperlukan sedikitnya dua buah pilar titik ikat yang lazim disebut
sebagai bench mark. Salah satu dari kedua titik ikat tersebut merupakan posisi titik awal
sehingga perlu tersedia di lapangan dan diketahui koordinatnya. Umumnya pada
pembuatanjalan,juga harus tersedia dua buah pilar pada awal sumbu rencana jalan yang
bersangkutan lengkap dengan koordinatnya. Misalkan titik 0 atau yang umumnya
dinamakan Sta 0 + 000 mempunyai koordinat (X0, Y0) yang didapat dari peta
perencanaan secara grafis, selanjutnya titik 0 ini adalah titik yang akan dicari letaknya di
lapangan. Untuk menentukan titik 0 ini, maka sebagai acuan dipakai titik-titik P (Xp,Yp)
dan Q (Xq,Yq ). Untuk menentukan kedudukan titik awal (titik 0), maka hal ini dapat
dilakukan baik dari titik A ataupun titik B. Pemilihannya tergantung dari situasi dan
Ananda Dwi Septa Gunawan
2009026040
Kelompok 2
kondisi yang dihadapi, namun sebaiknya dilakukan dari dua titik ikat tersebut agar
didapat ketelitian letak yang lebih baik. (Sinaga, 1997)
O (Xo, Yo)
Sebagai mana yang disinggung pada bagian pendahuluan di atas, maka pematokan sumbu
rencana jalan dilakukan dengan mematok tangen a tau garis singgung yang
menghubungkan antara dua titik I atau titik awal dengan titik I. Sebelum dilakukan
pematokan jnrak setiap 50 m pada garis singgung maka terlebih dahulu harus ditetapkan
arah pelurus tersebut di lapangan. (Sinaga, 1997)
Setelah semua data posisi dan kedudukan titik awal, arah dan panjang pelurus diketahui,
maka pelaksanaan pembuatan pelurus di lapangan dapat dilakukan dengan membuat
pematokan tiap 50 meter. (Sinaga, 1997)
Pemasangan patok setiap 50 m pada garis singgung a tau pelurus dapat dilakukan sebagai
berikut:
a. Aturlah alat ukur sudot pada titik 0, tentukan arah pelurus tersebut a dan rentangkan
pita ukur sepanjang 50 meter, maka titik pertama ditemukan. Pasanglah patok kayu
yangmerupakan titik O + 50, demikian seterusnya sampai kurang lebih setengah jarak
pelurus, ± 250 meter.
Dalam pematokan lengkungan ini, setelah seluruh data diketahui perlu diperhatikan
bahwa,
a. Jika terjadi lengkungan lebih dari 100 m, maka pematokan sebaiknya dilakukan dengan
bantuan theodolite, agar didapatkan ketelitian yang cukup baik.
b. Jika jari-jari lengkungan cukup kecil maka dengan menggunakan teknik pengukuran
jarak pita ukur, pematokan lengkungan tersebut dapat diselenggarakan.
c. Untuk lengkungan yang sederhana, dapat dilakukan kombinasi dari kedua batasan di
atas. (Sinaga, 1997)
Terdapat empat cara pada pematokan lengkungan berbentuk lingkaran ini, yang selalu
diawali dari titik singgung T. Kelanjutan arah pengukuran dan pematokan akan
memberikan keragaman jenis pematokan lengkungan, yaitu;
Titik singgung T juga merupakan titik pusat sumbu koordinat yang diletakkan bersama
dengan TI (garis hubung titik singgung dan titik potong) sebagai sumbu X dan lengan OT
(garis hubung titik singgung dengan pusat lingkaran) sebagai sumbu y. (Sinaga, 1997)
- Disana harus ada sejumlah titik kontrol pengukuran yang harus dikaitkan
Ananda Dwi Septa Gunawan
2009026040
Kelompok 2
BAB III
3.1.1 Alat
a. Theodolite
b. Statif
c. Rambu ukur
d. Payung
e. Alat tulis
f. GPS
3.1.2 Bahan
a. Patok
b. Paku
c. MM blok
d. Kalkir
e. Excel
f. Aplikasi Surpac/ArcGis/AutoCad
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran