. َشهَا َدةَ َم ْن هُ َو َخ ْي ٌر َّمقَا ًما َوَأحْ َس ُن نَ ِديًّا،ُك لَه َ َأ ْشهَ ُد َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِر ْي
ص ِّل َ اَللَّهُ َّم.صبِيًّاَ ار ِم ِكبَارًا َو ِ ف بِ ْال َم َك ُ صِ ََّوَأ ْشهَ ُد َأ َّن َسيِّ َدنَا َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُهُ ْال ُمت
صحْ بِ ِه َ َو َعلَى آلِ ِه َو،ق ْال َو ْع ِد َو َكانَ َرسُوْ الً نَبِيًّا َ صا ِد َ ََو َسلِّ ْم َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َكان
ضرُوْ نَ َر ِح َم ُك ُم ِ فَيَا َأيُّهَا ْال َحا، َأ َّما بَ ْع ُد،الَّ ِذ ْينَ يُحْ ِسنُوْ نَ ِإ ْسالَ َمهُ ْم َولَ ْم يَ ْف َعلُوْ ا َش ْيًئا فَ ِريًّا
َ فَقَ ْد فَا َز ْال ُمتَّقُوْ ن،ِص ْينِ ْي نَ ْف ِس ْى َوِإيَّا ُك ْم بِتَ ْق َوى هللا
ِ ْ اُو،ُهللا.
ِ َو َم ْن َأحْ َس ُن قَوْ الً ّم ّمن َدعَآ ِإلَى هّللا. أعوذ باهلل من الشيطان الرجيم:ال هللاُ تَ َعالَى َ َق
َال ِإنّنِي ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِمين
َ َصالِحا ً َوق
َ َو َع ِم َل
Jamaah shalat Jumat as‘adakumullâh,
Mungkin karena sangat kesal, lisan saudara yang rajin beribadah itu tiba-
tiba mengeluarkan semacam kecaman:
ََوهللاِ اَل يَ ْغفِ ُر هللاُ لَكَ َأوْ اَل يُ ْد ِخلُكَ هللاُ ْال َجنَّة
Kisah ini terekam sangat jelas dalam sebuah hadits shahih yang
diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad. Di bagian akhir, hadits tersebut
memaparkan, tatkala masing-masing meninggal dunia, keduanya pun
dikumpulkan di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala.
Jika diamati, ahli ibadah dalam kisah hadits di atas terjerumus ke jurang
neraka lantaran melakukan sejumlah kesalahan. Pertama, ia lancang
mengambil hak Allah dengan menghakimi bahwa saudaranya “tak
mendapat ampunan Allah dan tidak akan masuk surga”. Mungkin ia
berangkat dari niat baik, yakni hasrat memperbaiki perilaku saudaranya
yang sering berbuat dosa. Namun ia ceroboh dengan bersikap selayak
Tuhan: menuding orang lain salah sembari memastikan balasan negatif
yang bakal diterimanya.
Kesalahan kedua yang dilakukan ahli ibadah dalam kisah tersebut adalah
ia terlena terhadap prestasi ibadah yang ia raih. Hal itu dibuktikan
dengan kesibukannya untuk mengawasi dan menilai perilaku orang lain
ketimbang dirinya sendiri. Dalam tingkat yang lebih parah, sikap macam
ini dapat membawa seseorang pada salah satu akhlak tercela
bernama tajassus, yakni gemar mencari-cari keburukan orang lain.
Apalagi, bila orang yang menjadi sasaran belum tentu benar-benar
berbuat salah. Seringkali lantaran kesalahpahaman dan perkara teknis,
sebuah perbuatan secara sekilas pandang tampak salah padahal tidak. Di
sinilah pentingnya tabayun (klarifikasi) dalam ajaran Islam.
Karena itu, kita mengenal dalam proses dakwah dua hal, yaitu isi
dakwah dan cara dakwah. Terkait isi, dakwah memiliki lingkup yang
sangat luas, dari persoalan akidah, ibadah hingga akhlak keseharian
seperti ajakan untuk tidak menggunjing dan membuang sampah
sembarangan. Dakwah memang bukan monopoli tugas seorang dai, siapa
pun bisa menjadi pengajak, namun dakwah menekankan pelakunya
memiliki bekal ilmu yang cukup tentang hal-hal yang ingin ia serukan.
Hal ini penting agar dakwah tak hanya meyakinkan tapi juga tidak
sepotong-sepotong.
Yang tak kalah penting adalah cara. Betapa banyak hal-hal positif di
dunia ini gagal menular karena disebarluaskan dengan cara-cara yang
keliru. Begitu pula dengan dakwah. Dalam hal ini kita bisa berkaca
kepada Rasulullah. Di tengah fanatisme suku-suku yang parah, kebejatan
moral yang luar biasa, dan kendornya prinsip-prinsip tauhid, dalam
jangka waktu hanya 23 tahun beliau sukses membuat perubahan besar-
besaran di tanah Arab. Bagaimana ini bisa dilakukan? Kunci dari
kesuksesan revolusi peradaban itu adalah da‘wah bil hikmah, seruan
yang digaungkan dengan cara-cara bijaksana. Akhlak Nabi lebih
menonjol ketimbang ceramah-ceramahnya. Beliau tak hanya memerintah
tapi juga meneladankan. Rasulullah juga pribadi yang egaliter,
memahami psikologi orang lain, menghargai proses, membela orang-
orang terzalimi, dan tentu saja berperangai ramah dan welas asih.
Yang paling mengerikan tentu saja adalah dakwah dikuasai amarah dan
hawa nafsu sehingga menimbulkan pemaksaan dan aksi-aksi kekerasan,
hanya karena menganggap orang lain sebagai musyrik, musuh Allah, dan
karenanya harus diperangi. Jika sudah sampai pada level ini, pendakwah
tak hanya sudah melenceng jauh dari esensi dakwah, tapi juga pantas
menjadi sasaran dakwah itu sendiri. Al-Qur'an sudah sangat benderang
menegaskan bahwa tak ada paksaan dalam agama, dan oleh sebab itu
menggunakan pendekatan kekerasan sama dengan mencampakkan pesan
ayat suci.
Kedua, tawâdlu‘ (rendah hati). Sikap ini tidak sulit tapi memang sangat
berat. Rendah hati berbeda dari rendah diri. Tawaduk adalah
kemenangan jiwa dari keinginan ego yang senantiasa merasa unggul:
merasa paling benar, paling pintar, paling saleh, dan seterusnya—yang
ujungnya meremehkan orang lain. Tawaduk membuahkan sikap
menghargai orang lain, sabar, dan menghormati proses. Dalam
perjalanan dakwah, tawaduk terbukti lebih menyedot banyak simpati dan
menjadi salah satu kunci suksesnya sebuah seruan kebaikan. Fakta ini
bisa kita lihat secara jelas dalam perjuangan Nabi dan pendakwah
generasi terdahulu yang tercatat sejarah hingga kini. Wallâhu a‘lam
bish-shwâb.
ت ِ ت اَالَحْ يآ ُء ِم ْنهُ ْم َو ْاالَ ْم َوا ِ ت َو ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َو ْال ُم ْسلِ َما
ِ اَللهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْل ُمْؤ ِمنِ ْينَ َو ْال ُمْؤ ِمنَا
َك ْال ُم َو ِّح ِديَّة َ اللهُ َّم َأ ِع َّز ْاِإل ْسالَ َم َو ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َوَأ ِذ َّل ال ِّشرْ كَ َو ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َوا ْنصُرْ ِعبَا َد
اخ ُذلْ َم ْن خَ َذ َل ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َو َد ِّمرْ َأ ْعدَا َءال ِّد ْي ِن َوا ْع ِل ْ ص َر ال ِّد ْينَ َو َ ََوا ْنصُرْ َم ْن ن
لوبَا َء َوال َّزالَ ِز َل َو ْال ِم َحنَ َوسُوْ َء َ اللهُ َّم ا ْدفَ ْع َعنَّا ْالبَالَ َء َو ْا.َكلِ َماتِكَ ِإلَى يَوْ َم ال ِّدي ِْن
صةً َو َساِئ ِر ْالب ُْلدَا ِن َّ ْالفِ ْتنَ ِة َو ْال ِم َحنَ َما ظَهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَنَ ع َْن بَلَ ِدنَا اِ ْن ُدونِ ْي ِسيَّا خآ
َربَّنَا آتِنا َ فِى ال ُّد ْنيَا َح َسنَةً َوفِى ْاآل ِخ َر ِة َح َسنَةً َوقِنَا. َْال ُم ْسلِ ِم ْينَ عآ َّمةً يَا َربَّ ْال َعالَ ِم ْين
. ََاواِ ْن لَ ْم تَ ْغفِرْ لَنَا َوتَرْ َح ْمنَا لَنَ ُكوْ ن ََّن ِمنَ ْالخَ ا ِس ِر ْين َ َربَّنَا ظَلَ ْمنَا اَ ْنفُ َسن.ار ِ َّاب الن َ َع َذ
ِعبَا َدهللاِ ! ِإ َّن هللاَ يَْأ ُم ُر بِاْل َع ْد ِل َو ْاِإل حْ َسا ِن َوِإيْتآ ِء ِذي ْالقُرْ ب َى َويَ ْنهَى َع ِن ْالفَحْ شآ ِء
َ َو ْال ُم ْن َك ِر َو ْالبَ ْغي يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُوْ نَ َو ْاذ ُكرُواهللاَ ْال َع ِظ ْي َم يَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكرُوْ هُ ع
َلى
ْنِ َع ِم ِه يَ ِز ْد ُك ْم َولَ ِذ ْك ُر هللاِ َأ ْكبَر