Anda di halaman 1dari 7

‫ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ الَّ ِذي ا ْمت ََّن َعلَى ْال ِعبَا ِد بَِأ ْن يَجْ َع َل فِي ُك ِّل َز َما ِن فَ ْت َر ٍة ِمنَ

الرُّ ُس ِل بَقَايَا ِم ْن‬


َ‫ َويُحْ يُون‬،‫ َويَصْ بِرُونَ ِم ْنهُ ْم َعلَى اَأل َذى‬ ،‫ض َّل ِإلَى ْالهُدَى‬ َ ‫ يَ ْد ُعونَ َم ْن‬،‫َأ ْه ِل ْال ِع ْل ِم‬
‫ب هَّللا ِ َأ ْه َل ْال َع َمى‬
ِ ‫بِ ِكتَا‬،

.‫ َشهَا َدةَ َم ْن هُ َو َخ ْي ٌر َّمقَا ًما َوَأحْ َس ُن نَ ِديًّا‬،ُ‫ك لَه‬ َ ‫َأ ْشهَ ُد َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِر ْي‬
‫ص ِّل‬ َ ‫ اَللَّهُ َّم‬.‫صبِيًّا‬َ ‫ار ِم ِكبَارًا َو‬ ِ ‫ف بِ ْال َم َك‬ ُ ‫ص‬ِ َّ‫َوَأ ْشهَ ُد َأ َّن َسيِّ َدنَا َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُهُ ْال ُمت‬
‫صحْ بِ ِه‬ َ ‫ َو َعلَى آلِ ِه َو‬،‫ق ْال َو ْع ِد َو َكانَ َرسُوْ الً نَبِيًّا‬ َ ‫صا ِد‬ َ َ‫َو َسلِّ ْم َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َكان‬
‫ضرُوْ نَ َر ِح َم ُك ُم‬ ِ ‫ فَيَا َأيُّهَا ْال َحا‬،‫ َأ َّما بَ ْع ُد‬،‫الَّ ِذ ْينَ يُحْ ِسنُوْ نَ ِإ ْسالَ َمهُ ْم َولَ ْم يَ ْف َعلُوْ ا َش ْيًئا فَ ِريًّا‬
َ‫ فَقَ ْد فَا َز ْال ُمتَّقُوْ ن‬،ِ‫ص ْينِ ْي نَ ْف ِس ْى َوِإيَّا ُك ْم بِتَ ْق َوى هللا‬
ِ ْ‫ اُو‬،ُ‫هللا‬.

ِ ‫ َو َم ْن َأحْ َس ُن قَوْ الً ّم ّمن َدعَآ ِإلَى هّللا‬. ‫أعوذ باهلل من الشيطان الرجيم‬:‫ال هللاُ تَ َعالَى‬ َ َ‫ق‬
َ‫ال ِإنّنِي ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِمين‬
َ َ‫صالِحا ً َوق‬
َ ‫َو َع ِم َل‬
Jamaah shalat Jumat as‘adakumullâh,

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam  pernah bercerita tentang dua


orang bersaudara dari kalangan  Bani Israil dengan sifat yang sangat
kontras: yang satu sering berbuat dosa, sementara yang lain sangat rajin
beribadah.

Rupanya si ahli ibadah yang selalu menyaksikan saudaranya itu


melakukan dosa tak betah untuk tidak menegur. Teguran  pertama pun
terlontar. Seolah tak memberikan efek apa pun, perbuatan dosa tetap
berlanjut dan sekali lagi tak luput dari pantauan si ahli ibadah.

“Berhentilah!” Sergahnya untuk kedua kali.

Si pendosa lantas berucap, "Tinggalkan aku bersama Tuhanku. Apakah


kau diutus untuk mengawasiku?"

Mungkin karena sangat kesal, lisan saudara yang rajin beribadah itu tiba-
tiba mengeluarkan semacam kecaman:
 
َ‫َوهللاِ اَل يَ ْغفِ ُر هللاُ لَكَ َأوْ اَل يُ ْد ِخلُكَ هللاُ ْال َجنَّة‬

“Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu. Allah tidak akan


memasukkanmu ke surga.”

Kisah ini terekam sangat jelas dalam sebuah hadits shahih yang
diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad. Di bagian akhir, hadits tersebut
memaparkan, tatkala masing-masing meninggal dunia, keduanya pun
dikumpulkan di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala.

Kepada yang tekun beribadah, Allah mengatakan, "Apakah kau telah


mengetahui tentang-Ku? Apakah kau sudah memiliki kemampuan atas
apa yang ada dalam genggaman-Ku?"

Drama keduanya pun berlanjut dengan akhir yang mengejutkan.

"Pergi dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku," kata Allah kepada si


pendosa. Sementara kepada ahli ibadah, Allah mengatakan, "(Wahai
malaikat) giringlah ia menuju neraka."

Jamaah shalat Jumat as‘adakumullâh,

Cerita tersebut mengungkapkan fakta yang menarik dan beberapa


pelajaran bagi kita semua. Ahli ibadah yang sering kita asosiasikan
sebagai ahli surga ternyata kasus dalam hadits itu justru sebaliknya.
Sementara hamba lain yang terlihat sering melakukan dosa justru
mendapat kenikmatan surga.

Mengapa bisa demikian? Karena nasib kehidupan akhirat sepenuhnya


menjadi hak prerogatif Allah. Pada hakikatnya, manusia tak memiliki
kewenangan untuk memvonis orang atau kelompok lain sebagai
golongan kafir atau bukan, masuk neraka atau surga, dilaknat atau
dirahmati. Tak ada alat ukur apa pun yang sanggup mendeteksi kualitas
hati dan keimanan seseorang secara pasti. Yang bisa kita cermati hanya
tampilan lahiriahnya belaka. Soal kepastian hati, apalagi nasib kelak di
akhirat tak seorang pun dari kita sanggup mendeteksi.

Jika diamati, ahli ibadah dalam kisah hadits di atas terjerumus ke jurang
neraka lantaran melakukan sejumlah kesalahan. Pertama, ia lancang
mengambil hak Allah dengan menghakimi bahwa saudaranya “tak
mendapat ampunan Allah dan tidak akan masuk surga”. Mungkin ia
berangkat dari niat baik, yakni hasrat memperbaiki perilaku saudaranya
yang sering berbuat dosa. Namun ia ceroboh dengan bersikap selayak
Tuhan: menuding orang lain salah sembari memastikan balasan negatif
yang bakal diterimanya.

Dalam konteks etika dakwah, si ahli ibadah sedang melakukan perbuatan


di luar batas wewenangnya sebagai pengajak. Ia tak hanya menjadi dâ‘i
(tukang ajak) tapi sekaligus hâkim  (tukang vonis).  Padahal, Al-Qur’an
mengingatkan:
 
‫ك بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َموْ ِعظَ ِة ْال َح َسنَ ِة َو َجا ِد ْلهُ ْم بِالَّتِ ْي ِه َي َأحْ َس ُن‬ ُ ‫اُ ْد‬
َ ِّ‫ع ِإلَى َسبِي ِْل َرب‬
“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, peringatan yang baik, dan
bantulah mereka dengan yang lebih baik. Sungguh Tuhanmulah yang
mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya. Dan Dia Maha mengetahui
orang-orang yang mendapat hidayah.” (An-Nahl [16]: 125)
 
ْ‫ق ِم ْن َربِّ ُك ْم فَ َم ْن َشا َء فَ ْليُْؤ ِم ْن َو َم ْن َشا َء فَ ْليَ ْكفُر‬
ُّ ‫َوقُ ِل ْال َح‬

“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka


barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". (Al-Kahfi [18]: 29)
 
Ayat ini tak hanya berpesan tentang keharusan seseorang untuk
berdakwah secara arif dan santun melainkan menegaskan pula bahwa
tugas seseorang hamba kepada hamba lainnya adalah sebatas mengajak
atau menyampaikan. Mengajak tak sama dengan mendesak, mengajak
juga bukan melarang atau menyuruh. Mengajak adalah meminta orang
lain mengikuti kebaikan atau kebenaran yang kita yakini, dengan cara
memotivasi, mempersuasi, sembari menunjukkan alasan-alasan yang
meyakinkan. Urusan apakah ajakan itu diikuti atau tidak, kita serahkan
kepada Allah subhânahu wa ta‘âlâ (tawakal).

Jamaah shalat Jumat as‘adakumullâh,

Kesalahan kedua yang dilakukan ahli ibadah dalam kisah tersebut adalah
ia terlena terhadap prestasi ibadah yang ia raih. Hal itu dibuktikan
dengan kesibukannya untuk mengawasi dan menilai perilaku orang lain
ketimbang dirinya sendiri. Dalam tingkat yang lebih parah, sikap macam
ini dapat membawa seseorang pada salah satu akhlak tercela
bernama tajassus, yakni gemar mencari-cari keburukan orang lain.
Apalagi, bila orang yang menjadi sasaran belum tentu benar-benar
berbuat salah. Seringkali lantaran kesalahpahaman dan perkara teknis,
sebuah perbuatan secara sekilas pandang tampak salah padahal tidak. Di
sinilah pentingnya tabayun (klarifikasi) dalam ajaran Islam.

Tentu saja memperbanyak ibadah dan meyakini kebenaran adalah hal


yang utama. Tapi menjadi keliru tatkala sikap tersebut dihinggapi
'ujub (bangga diri). Ujub merupakan penyakit hati yang cukup kronis. Ia
bersembunyi di balik kelebihan-kelebihan diri kemudian pelan-pelan
mengotorinya. Bisa saja seseorang selamat dari perbuatan dosa tapi ia
kemudian terjerumus ke dalam jurang yang lebih dalam, yakni ujub.
Mesti diingat, menghindari perbuatan dosa memang hal yang amat
penting, tapi yang lebih penting lagi bagi seseorang yang terbebas dari
dosa adalah menghindari sifat bangga diri. Sebuah maqalah bijak
berujar, “Perbuatan dosa yang membuatmu menyesal jauh lebih baik
ketimbang beribadah yang disertai rasa ujub.”

Watak buruk dari kelanjutan sifat ujub biasanya adalah merendahkan


orang lain. Amal ibadah yang melimpah, apalagi disertai pujian dan
penghormatan dari masyarakat sekitar, sering membuat orang lupa lalu
dengan mudah menganggap remeh orang lain. Orang-orang semacam ini
umumnya terjebak dengan penampilan luar. Mereka menilai sesuatu
hanya dari yang tampak secara kasat mata. Padahal, bisa saja orang yang
disangkanya buruk, di mata Allah justru lebih mulia karena lebih banyak
memiliki kebaikan namun lantaran bukan tipe orang yang suka pamer
amal itu pun luput dari pandangan mata kita.

Jamaah shalat Jumat hadâkumullâh,

Dakwah berasal dari lafadh da‘â-yad‘û  yang secara bahasa semakna


dengan an-nidâ’  dan ath-thalab. An-nidâ’  berarti memanggil, menyeru,
mengajak; sementara ath-thalab  dapat diterjemahkan dengan meminta
atau mencari. Istilah dakwah bisa didefinisikan sebagai upaya mengajak
atau menyeru kepada iman kepada Allah dan segenap syariat yang
dibawa Rasulullah serta nilai-nilai positif lainnya.

Dakwah sangat dianjurkan dalam Islam sebagai pelaksanaan


prinsip amar ma’ruf nahi (‘anil) munkar. Umat Islam diperintah untuk
menyebarkan pesan kebaikan (ma’ruf) dan tak boleh berdiam diri ketika
melihat kemunkaran.  Hanya saja, dalam praktiknya semua dijalankan
dalam koridor yang bijaksana, sehingga usaha amar ma’ruf terealisasi
dengan baik dan pencegahan kemungkaran pun tak menimbulkan
kemungkaran baru lantaran tidak dijalankan dengan cara-cara yang
mungkar.

Karena itu, kita mengenal dalam proses dakwah dua hal, yaitu isi
dakwah dan cara dakwah. Terkait isi, dakwah memiliki lingkup yang
sangat luas, dari persoalan akidah, ibadah hingga akhlak keseharian
seperti ajakan untuk tidak menggunjing dan membuang sampah
sembarangan. Dakwah memang bukan monopoli tugas seorang dai, siapa
pun bisa menjadi pengajak, namun dakwah menekankan pelakunya
memiliki bekal ilmu yang cukup tentang hal-hal yang ingin ia serukan.
Hal ini penting agar dakwah tak hanya meyakinkan tapi juga tidak
sepotong-sepotong.

Yang tak kalah penting adalah cara. Betapa banyak hal-hal positif di
dunia ini gagal menular karena disebarluaskan dengan cara-cara yang
keliru. Begitu pula dengan dakwah. Dalam hal ini kita bisa berkaca
kepada Rasulullah. Di tengah fanatisme suku-suku yang parah, kebejatan
moral yang luar biasa, dan kendornya prinsip-prinsip tauhid, dalam
jangka waktu hanya 23 tahun beliau sukses membuat perubahan besar-
besaran di tanah Arab. Bagaimana ini bisa dilakukan? Kunci dari
kesuksesan revolusi peradaban itu adalah da‘wah bil hikmah, seruan
yang digaungkan dengan cara-cara bijaksana. Akhlak Nabi lebih
menonjol ketimbang ceramah-ceramahnya. Beliau tak hanya memerintah
tapi juga meneladankan. Rasulullah juga pribadi yang egaliter,
memahami psikologi orang lain, menghargai proses, membela orang-
orang terzalimi, dan tentu saja berperangai ramah dan welas asih.

Hadirin yang semoga dirahmati Allah,

Khatib kembali mengingatkan diri sendiri dan jamaah sekalian bahwa


ada rambu-rambu dakwah yang perlu diingat, yakni jangan membenci
dan merendahkan orang lain, apalagi mencaci maki dan
memojokkannya. Karena jika hal itu kita lakukan maka keluarlah kita
dari motivasi dakwah sesungguhnya. Dakwah berangkat dari niat baik,
untuk tujuan yang baik, dan semestinya dilakukan dengan cara-cara yang
baik. Itulah makna sejati dakwah. Bila ada pendakwah gemar menjelek-
jelekan orang atau golongan lain, mungkin perlu diingatkan lagi tentang
bahasa Arab dasar bahwa da'wah  artinya mengajak bukan mengejek.
Sehingga, dakwah mestinya ramah bukan marah, merangkul bukan
memukul.

Yang paling mengerikan tentu saja adalah dakwah dikuasai amarah dan
hawa nafsu sehingga menimbulkan pemaksaan dan aksi-aksi kekerasan,
hanya karena menganggap orang lain sebagai musyrik, musuh Allah, dan
karenanya harus diperangi. Jika sudah sampai pada level ini, pendakwah
tak hanya sudah melenceng jauh dari esensi dakwah, tapi juga pantas
menjadi sasaran dakwah itu sendiri. Al-Qur'an sudah sangat benderang
menegaskan bahwa tak ada paksaan dalam agama, dan oleh sebab itu
menggunakan pendekatan kekerasan sama dengan mencampakkan pesan
ayat suci.

Dalam sebuah hadits dijelaskan:


 
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ‪ِ :‬إ َّن َأ ْخ َوفَ‬‫عن حذيفة رضي هللا عنه قال ‪ :‬قَا َل َرسُو ُل هَّللا ِ َ‬
‫خَاف َعلَ ْي ُك ْم َر ُج ٌل قَ َرَأ ْالقُرْ آنَ ‪َ ،‬حتَّى ِإ َذا َرَأيْتَ بَ ْه َجتَهُ َعلَ ْي ِه ‪َ ،‬و َكانَ ِر ْد ًءا‬ ‫َما َأ ُ‬
‫ْف ‪َ ،‬و َر َماهُ‬ ‫لِِإْل ْساَل ِم ا ْن َسلَخَ ِم ْنهُ َونَبَ َذهُ َو َرا َء ظَه ِْر ِه ‪َ ،‬و َسعى َعلَى َج ِ‬
‫ار ِه بِال َّسي ِ‬
‫صلَّى‬‫ك الرَّا ِمي َأ ِو ْال َمرْ ِم ِّي ؟ قَا َل َ‬ ‫ي هَّللا ِ ! َأيُّهُ َما َأوْ لَى بِال ِّشرْ ِ‬ ‫ك " ‪ .‬قُ ْل ُ‬
‫ت ‪ :‬يَا نَبِ َّ‬ ‫بِال ِّشرْ ِ‬
‫" هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ‪ " :‬بَ ِل الرَّا ِمي‬

‫‪Dari Hudzaifah radliyallâhu ‘anh, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi‬‬


‫‪wasallam  bersabda, “Sungguh yang paling aku khawatirkan pada kalian‬‬
‫‪adalah orang yang membaca Al-Qur’an sampai terlihat kegembiraannya‬‬
‫‪dan menjadi benteng bagi Islam, kemudian ia mencampakkannya dan‬‬
‫‪membuangnya ke belakang punggung, membawa pedang kepada‬‬
‫‪tetangganya dan menuduhnya syirik.” Saya (Hudzaifah) bertanya:‬‬
‫‪“Wahai Nabi, siapakah yang lebih pantas disifati syirik, yang menuduh‬‬
‫‪atau yang dituduh?” Rasulullah menjawab: “Yang menuduh.” (HR Ibnu‬‬
‫)‪Hibban‬‬

‫‪Na’ûdzubillâhi mindzâlik. Semoga kita semua dilindungi Allah dari‬‬


‫‪perbuatan buruk baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.‬‬
‫‪ ‬‬
‫ت وال ِّذ ْك ِر ال َح ِكي ِْم‪  .‬إنّهُ‬
‫ك هللاُ لِ ْي َولك ْم فِي القُرْ آ ِن ال َع ِظي ِْم‪َ ،‬ونَفَ َعنِ ْي َوِإيّا ُك ْم بِاآليا ِ‬ ‫با َ َر َ‬
‫ك بَرٌّ َرُؤ وْ ٌ‬
‫ف َر ِح ْي ٌم‬ ‫تَعاَلَى َج ّوا ٌد َك ِر ْي ٌم َملِ ٌ‬
‫‪ ‬‬
‫‪Khutbah II‬‬
‫‪ ‬‬
‫اَ ْل َح ْم ُد هللِ َربِّ ْال َعالَ ِم ْينَ ‪َ ،‬وبِ ِه نَ ْست َِعي ُْن َعلَى ُأ ُموْ ِر ال ُّد ْنيَا َوال ِّد ْي ِن‪َ .‬أ ْشهَ ُد َأ ْن الَ ِإلهَ ِإالَّ‬
‫ص ِّل َعلَى َسيِّ ِدنَا‬ ‫هللاُ َوحْ َدهُ الَ َش ِر ْيكَ لَهُ‪َ ،‬وَأ ْشهَ ُد َأ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُهُ‪ .‬اللّهُ َّم َ‬
‫ُم َح َّم ٍد َو َعلَى ألِ ِه َوَأصْ َحابِ ِه َأجْ َم ِع ْينَ َو َم ْن تَبِ َعهُ ْم بِِإحْ َسا ٍن ِإلَى يَوْ ِم ال ِّدي ِْن‪َ .‬أ َّما بَ ْع ُد‪ ،‬فَيَا‬
‫ِعبَا َد هللاِ ُأوْ ِ‬
‫ص ْي ُك ْم َونَ ْف ِس ْي بِتَ ْق َوى هللاِ فَقَ ْد فَا َز ْال ُمتَّقُوْ نَ ‪َ ،‬وَأ ُحثُّ ُك ْم َعلَى طَا َعتِ ِه لَ َعلَّ ُك ْم‬
‫‪.‬تُرْ َح ُموْ نَ‬
‫قَا َل هللاُ تَ َعالَى فِ ْي ْالقُرْ آ ِن ْال َك ِري ِْم‪ :‬يَاَأيُّهَا النَّاسُ ا ْعبُ ُدوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذي َخلَقَ ُك ْم َوالَّ ِذينَ ِم ْن‬
‫ق هَّللا ِ َح ْيثُ َما ُك ْنتَ َوَأ ْتبِ ْع‬ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‪ :‬اتَّ ِ‬
‫قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُونَ ‪َ ،‬وقا َ َل َرسُوْ ُل هللاِ َ‬
‫ق َرسُوْ لُهُ‬ ‫ص َد َ‬‫ق هللاُ ْال َع ِظ ْي ُم َو َ‬ ‫ص َد َ‬‫ق َح َس ٍن‪َ .‬‬ ‫اس بِ ُخلُ ٍ‬
‫ق النَّ َ‬ ‫ال َّسيَِّئةَ ْال َح َسنَةَ تَ ْم ُحهَا َوخَ الِ ِ‬
‫‪.‬النَّبِ ُّي ْال َك ِر ْي ُم َونَحْ ُن َعلَى ذلِكَ ِمنَ ال َّشا ِه ِد ْينَ َوال َّشا ِك ِر ْينَ َو ْال َح ْم ُد ِهللِ َربِّ ْال َعالَ ِم ْينَ‬
‫‪Jamaah shalat Jumat as‘adakumullâh,‬‬

‫‪Tekun dalam beribadah kemudian mengajak sesamanya untuk‬‬


‫‪melakukan hal yang serupa merupakan sesuatu yang dipuji dalam agama.‬‬
‫‪Hanya saja, dakwah atau mengajak memiliki batasan-batasan.‬‬
Setidaknya ada dua tips yang bisa dipegang agar seseorang tak
melampaui batasan tugas sebagai seorang pengajak. Pertama, muhâsabah
(introspeksi). Meneliti aib orang yang paling bagus adalah dimulai dari
diri sendiri. Muhasabah akan mengantarkan kita pada prioritas perbaikan
kualitas diri sendiri, yang secara otomatis akan membawa pengaruh pada
perbaikan lingkungan sekitarnya. Sebagaimana dikatakan Sayyidina Abu
Bakar ash-Shiddiq, “Ashlih nafsaka yashluh lakan nâs. Perbaikilah
dirimu maka orang lain akan berbuat baik kepadamu.”

Kedua, tawâdlu‘ (rendah hati). Sikap ini tidak sulit tapi memang sangat
berat. Rendah hati berbeda dari rendah diri. Tawaduk adalah
kemenangan jiwa dari keinginan ego yang senantiasa merasa unggul:
merasa paling benar, paling pintar, paling saleh, dan seterusnya—yang
ujungnya meremehkan orang lain. Tawaduk membuahkan sikap
menghargai orang lain, sabar, dan menghormati proses. Dalam
perjalanan dakwah, tawaduk terbukti lebih menyedot banyak simpati dan
menjadi salah satu kunci suksesnya sebuah seruan kebaikan. Fakta ini
bisa kita lihat secara jelas dalam perjuangan Nabi dan pendakwah
generasi terdahulu yang tercatat sejarah hingga kini. Wallâhu a‘lam
bish-shwâb.
 
 ‫ت‬ ِ ‫ت اَالَحْ يآ ُء ِم ْنهُ ْم َو ْاالَ ْم َوا‬ ِ ‫ت َو ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َو ْال ُم ْسلِ َما‬
ِ ‫اَللهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْل ُمْؤ ِمنِ ْينَ َو ْال ُمْؤ ِمنَا‬
َ‫ك ْال ُم َو ِّح ِديَّة‬ َ ‫اللهُ َّم َأ ِع َّز ْاِإل ْسالَ َم َو ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َوَأ ِذ َّل ال ِّشرْ كَ َو ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َوا ْنصُرْ ِعبَا َد‬
‫اخ ُذلْ َم ْن خَ َذ َل ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َو َد ِّمرْ َأ ْعدَا َءال ِّد ْي ِن َوا ْع ِل‬ ْ ‫ص َر ال ِّد ْينَ َو‬ َ َ‫َوا ْنصُرْ َم ْن ن‬
‫لوبَا َء َوال َّزالَ ِز َل َو ْال ِم َحنَ َوسُوْ َء‬ َ ‫ اللهُ َّم ا ْدفَ ْع َعنَّا ْالبَالَ َء َو ْا‬.‫َكلِ َماتِكَ ِإلَى يَوْ َم ال ِّدي ِْن‬
‫صةً َو َساِئ ِر ْالب ُْلدَا ِن‬ َّ ‫ْالفِ ْتنَ ِة َو ْال ِم َحنَ َما ظَهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَنَ ع َْن بَلَ ِدنَا اِ ْن ُدونِ ْي ِسيَّا خآ‬
‫ َربَّنَا آتِنا َ فِى ال ُّد ْنيَا َح َسنَةً َوفِى ْاآل ِخ َر ِة َح َسنَةً َوقِنَا‬. َ‫ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ عآ َّمةً يَا َربَّ ْال َعالَ ِم ْين‬
. َ‫َاواِ ْن لَ ْم تَ ْغفِرْ لَنَا َوتَرْ َح ْمنَا لَنَ ُكوْ ن ََّن ِمنَ ْالخَ ا ِس ِر ْين‬ َ ‫ َربَّنَا ظَلَ ْمنَا اَ ْنفُ َسن‬.‫ار‬ ِ َّ‫اب الن‬ َ ‫َع َذ‬
‫ِعبَا َدهللاِ ! ِإ َّن هللاَ يَْأ ُم ُر بِاْل َع ْد ِل َو ْاِإل حْ َسا ِن َوِإيْتآ ِء ِذي ْالقُرْ ب َى َويَ ْنهَى َع ِن ْالفَحْ شآ ِء‬
َ ‫َو ْال ُم ْن َك ِر َو ْالبَ ْغي يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُوْ نَ َو ْاذ ُكرُواهللاَ ْال َع ِظ ْي َم يَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكرُوْ هُ ع‬
‫َلى‬
ْ‫نِ َع ِم ِه يَ ِز ْد ُك ْم َولَ ِذ ْك ُر هللاِ َأ ْكبَر‬
 

Anda mungkin juga menyukai