Hati diibaratkan raja, sedang aggota badan adalah prajuritnya. Bila rajanya baik,
maka akan baik pula urusan para prajuritnya. Bila buruk, maka demikian pula
urusan para prajuritnya. Oleh sebab itu, dalam Islam amalan hati memiliki
kedudukan yang agung. Bisa dikatakan, pahala dari amalan hati lebih besar
daripada amalan badan. Sebagaimana dosa hati lebih besar daripada dosa
badan. Oleh karena itu kita dapati; dosa kufur dan kemunafikan lebih besar
daripada dosa zina, riba, minum khamr, judi dst.
Hati adalah standar kebaikan amalan badan. Ia ibarat pemimpin bagi badan.
Baiknya hati akan berpengaruh pada baiknya amalan badan. Dan buruknya hati
akan berpengaruh pada buruknya amalan badan. Rasulullah shallahu’alaihi
wasallam bersabda:
Begitu pula kita mengenal bahwa agama ini memiliki tiga tingkatan: Islam,
kemudian di atasnya ada Iman, kemudian di atasnya lagi ihsan. Sebagaimana
dijelaskan dalam hadis Jibril berikut:
Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian
dia bertanya lagi, “Beritahukanlah kepadaku tentang Iman?“
Beliau bersabda, “Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan kamu beriman kepada qadar yang
baik maupun yang buruk.”
Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad –hafizhohullah– (ahli hadits dari kota Madinah)
menerangkan saat membahas hadis di atas,
Dua tingkatan diantaranya; yaitu iman dan ihsan, adalah berkaitan dengan
amalan hati. Yang mana dua hal ini berada di atas derajat Islam yang
pengertiannya adalah amalan badan. Karena Islam bila disebutkan bersamaan
dengan Iman, maka masing-masing memiliki pengertian berbeda. Yaitu Islam
adalah amalan badan, sedang Iman adalah amalan hati.
Kemudian bukti selanjutnya bahwa amalan hati lebih besar nilainya daripada
amalan badan adalah, pokok-pokok atau pondasi agama ini ada pada amalan
hati. Seperti cinta kepada Allah dan RasulNya, tawakkal, rojaa‘ (rasa harap),
khosyah (rasa takut disertai ilmu), ikhlas, sabar, syukur. (Lihat: Majmu’ Al
Fatawa: 5/10)
فمن عمل عمال أشرك فيه معي غيري,أنا أغني الشركاء عن الشرك
تركته و شركه
“Aku paling tidak butuh pada sekutu. Barangsiapa mengerjakan suatu amalan
dalam keadaan menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia
bersama dengan sekutunya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas sebagai dalil bahwa amalan hati lebih besar kedudukannya
daripada amalan badan. Karena amalan badan tidak akan berguna bila seorang
berlaku syirik, sebanyak apapun amalannya. Baik syirik kecil apalagi syirik besar.
Seperti seorang sedekah karena riya’ (dan riya ini letaknya di hati), maka akan
sia-sialah pahala. Sebesar apapun nominal sedekah yang ia keluarkan. Atau
membaca Al Qur’an supaya dipuji suaranya oleh orang-orang (sum’ah). Ini juga
akan sia-sia pahalanya. Meski sebagus apapun lantunan suaranya.
Para ulama juga menjelaskan, bahwa besar kecilnya pahala, berkaitan erat
dengan keadaan niat dalam hati seseorang. Ini juga bukti bahwa amalan hati
memiliki kedudukan yang tinggi. Bisa jadi amalan kecil menjadi besar nilai
pahalanya disebabkan oleh niat. Bisa jadi pula amalan besar menjdi kecil
pahalanya disebabkan oleh niat. Sebagaimana dijelaskan oleh Abdullah bin
Mubaarak:
Meski sudah kami paparkan, bahwa amalan hati memiliki kedudukan lebih tinggi
dari amalan badan, namun bukan berarti kemudian kita anggap remeh pengaruh
daripada amalan badan. Karena baiknya amalan badan seseorang adalah bukti
bersihnya hati dan sempurnanya iman.
Dalam akidah Ahlussunah wal Jama’ah, amalan badan masuk dalam cakupan
iman. Karena pengertian iman menurut akidah Ahlussunah wal Jama’ah, iman
adalah keyakinan dalam hati, yang diikrarkan melalui lisan, lalu diamalkan oleh
anggota badan. Iman betambah dan berkurang, bertambah karena amal
ketaatan, berkurang karena perbuatan-perbuatan maksiat.
Banyak dalil yang menunjukkan bahwa amalan badan masuk dalam cakupan
iman. Diantaranya firman Allah ta’ala,
Dalam sebuah hadis, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dijelaskan bahwa
ayat ini turun berkenaan beberapa orang sahabat Nabi, yang terbunuh sebelum
terjadi perpindahan kiblat (dari Baitul Maqdis ke Ka’bah), bagaimanakah nasib
sholat mereka? Apakah diterima? Lalu Allah mewahyukan ayat ini kepada
RasulNya.
Jadi pengertian Iman dalam ayat di atas adalah sholat. Dimana sholat adalah
bagian dari amalan badan. Namun dalam ayat ini, Allah menyebutnya pula
sebagai Iman. Ini menunjukkan bahwa amalan badan juga masuk dalam
cakupan iman. Imam Bukhori dalam kitab shohihnya menuliskan sebuah bab:
الصالة من اإليمان:باب
“Bab: Sholat bagian dari Iman”
Renungan…
Renungkanlah hadits berikut ini sebagaimana dituturkan oleh Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu:
َأْل َأ ْ
ْ َت ْنطِ فُ لِحْ َي ُت ُه مِن،ار ِ َ ” يَطلُ ُع عَ لَ ْي ُك ُم اآْل نَ رَ ُج ٌل مِنْ هْ ِل ْالجَ َّن ِة ” َف َطلَعَ رَ ُج ٌل مِنَ ا ْنص:َهللا صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم َف َقالِ ُول ِ ُك َّنا جُلُوسًا مَعَ رَ س
َ َفلَمَّا َكان. َف َطلَعَ َذلِكَ الرَّ ُج ُل م ِْث َل ْالمَرَّ ِة اُأْلولَى، َ م ِْث َل َذلِك، َقا َل ال َّن ِبيُّ صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم،ُ َفلَمَّا َكانَ ْالغَ دC،َال
ِ َق ْد َتعَ لَّقَ َنعْ لَ ْي ِه فِي َي ِد ِه ال ِّشم،ِوُ ضُوِئه
ُأْل ْ َأ ْ
َفلَمَّا َقا َم ال َّن ِبيُّ صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم َت ِبعَ ُه، َف َطلَعَ َذلِكَ الرَّ ُج ُل عَ لَى مِث ِل حَ الِ ِه ا ولَى، مِث َل َم َقالَ ِت ِه ْيضًا، َقا َل ال َّن ِبيُّ صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم،ِث َّ ْالي َْو ُم
ُ الثال
َنعَ ْم:َ َفِإنْ رَ َأيْتَ َأنْ ُتْؤ ِو َينِي ِإلَ ْيكَ حَ َّتى َتمْ ضِ يَ َفعَ ْلتَ ؟ َقال،ت َأنْ اَل َأ ْد ُخ َل عَ لَ ْي ِه ثَاَل ًثا ُ ْْت َأ ِبي َفَأ ْقسَ م ُ ِإ ِّني اَل حَ ي:َاص َف َقال ِ َْن ْالع
ِ هللا بْنُ عَ مْ ِرو ب ِ عَ ْب ُد
“Kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliapun
berkata : “Akan muncul kepada kalian sekarang seorang penduduk surga”. Maka
munculah seseorang dari kaum Anshoor, jenggotnya masih basah terkena air wudhu,
sambil menggantungkan kedua sendalnya di tangan kirinya. Tatkala keesokan hari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang sama, dan munculah orang
itu lagi dengan kondisi yang sama seperti kemarin. Tatkala keesokan harinya lagi (hari
yang ketiga) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengucapkan perkataan yang sama
dan muncul juga orang tersebut dengan kondisi yang sama pula. Tatkala Nabi berdiri
(pergi) maka Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Aash mengikuti orang tersebut lalu berkata
kepadanya : “Aku bermasalah dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak masuk
ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh menginap di rumahmu
selama tiga hari?. Maka orang tersebut berkata, “Silahkan”.
، َ غَ ْيرَ َأ َّن ُه ِإ َذا َتعَ ارَّ َو َت َقلَّبَ عَ لَى فِرَ اشِ ِه َذ َكرَ هللاَ عَ َّز َوجَ َّل َو َكبَّر، َفلَ ْم يَرَ هُ َيقُو ُم مِنَ اللَّي ِْل َش ْيًئ ا،ث َ الثاَل َّ ِّث َأ َّن ُه َباتَ مَعَ ُه ت ِْلكَ اللَّيَالِي
ُ هللا يُحَ د
ِ َو َكانَ عَ ْب ُد
هللا ِإ ِّني لَ ْم
ِ َْد
ب َع َا
ي : تُ ْ
ل ُ ق ،ُ
ه َ ل م
َ َِرَ ع ق ْحَأ ْنَأ ُ
ت ْ
ِد كو َال
َ ٍ يَ ل ُ
ث اَل َّ
الث ت
ِ ََض م َّا
م َ ل َ
ف ،ا ًْر
ي َ
خ اَّلِإ ل
ُ وُ قي ه
ُ ْع
َ َ ْ م ْس َأ مَ ل ي ِّ
ن َأ َريْ َغ :ِ
هللا ُ
د ْ
ب ل
ََ ع اقَ . ر ْج َ
ف ْ
ال ِ َحَ َّتى َيقُو َم لِص
ة اَل
ِ
َطلُ ُع عَ َل ْي ُك ُم اآْل نَ رَ ُج ٌل مِنْ َأهْ ِلْ ” ي:ارٍ َث مِر َ هللا صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم َيقُو ُل لَكَ ثَاَل
ِ ت رَ سُو َل ُ ْ َولَكِنْ سَ مِع،َي ُكنْ َب ْينِي َو َب ْينَ َأ ِبي غَ ضَ بٌ َواَل َهجْ ٌر َث َّم
َأ َأ ُ َأِل
َّ ْ ُ
َفمَا الذِي َبلغَ ِبكَ مَا َقا َل رَ سُو ُل، َفل ْم رَ كَ َتعْ َم ُل َكثِيرَ عَ م ٍَل،ِ َف ق َتدِيَ ِبه، َآويَ ِإلَ ْيكَ نظرَ مَا عَ مَلك
َ َ ْ ِ ْت َأن ُ َفَأرَ ْد،ارٍ َث مِرَ الثاَل َّ َْالجَ َّن ِة ” َف َطلَعْ تَ َأ ْنت
َج ُد فِي َن ْفسِ ي َأِلحَ ٍد مِنِ غَ ْيرَ َأ ِّني اَل َأ، َ مَا ه َُو ِإاَّل مَا رَ َأيْت:َ َف َقال،ْت دَ عَ انِي ُ َفلَمَّا َولَّي:َ َقال. َ مَا ه َُو ِإاَّل مَا رَ َأيْت:َ َف َقال،هللا صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم
ِ
ُ ِ َوهِيَ الَّتِي اَل ُنط، َت ِبك
يق ِ َف َقا َل عَ ْب ُد. ُ َواَل َأحْ ُس ُد َأحَ ًدا عَ لَى َخي ٍْر عْ َطاهُ هللاُ ِإيَّاه،شا
ْ َهللا َه ِذ ِه الَّتِي َبلَغ َأ ًّ ِْالمُسْ لِمِينَ غ
“Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Aaash bercerita bahwasanya iapun menginap bersama orang
tersebut selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut
mengerjakan sholat malam, hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik
di tempat tidur maka iapun berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia
bangun untuk sholat subuh. Abdullah bertutur : “Hanya saja aku tidak pernah
mendengarnya berucap kecuali kebaikan. Dan tatkala berlalu tiga hari –dan hampir
saja aku meremehkan amalannya- maka akupun berkata kepadanya : Wahai hamba
Allah (fulan), sesungguhnya tidak ada permasalahan antara aku dan ayahku, apalagi
boikot. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
sebanyak tiga kali : Akan muncul sekarang kepada kalian seorang penduduk surga”,
lantas engkaulah yang muncul, maka akupun ingin menginap bersamamu untuk
melihat apa sih amalanmu untuk aku contohi, namun aku tidak melihatmu banyak
beramal. Maka apakah yang telah menyampaikan engkau sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Orang itu berkata : “Tidak ada kecuali amalanku yang
kau lihat”. Abdullah bertutur : “Tatkala aku berpaling pergi maka iapun memanggilku
dan berkata : Amalanku hanyalah yang engkau lihat, hanya saja aku tidak menemukan
perasaan dengki (jengkel) dalam hatiku kepada seorang muslim pun dan aku tidak
pernah hasad kepada seorangpun atas kebaikan yang Allah berikan kepadanya”.
Abdullah berkata, “Inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk
surge-pen), dan inilah yang tidak kami mampui” (HR Ahmad 20/124 no 12697, dengan
sanad yang shahih)
Perhatikanlah hadits yang sangat agung ini, betapa tinggi nilai amalan hati di sisi Allah.
Sahabat tersebut sampai dinyatakan sebagai penduduk surga oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebanyak tiga kali selama tiga hari berturut-turut. Padahal amalan hati
yang ia lakukan –yaitu tidak dengki dan hasad- bukanlah amalan hati yang paling
mulia, karena masih banyak amalan hati yang lebih mulia lagi seperti ikhlas, tawakkal,
sabar, berhusnudzon kepada Allah, dan lain-lain. Namun demikian telah menjadikan
sahabat ini menjadi penduduk surga. Padahal amalan dzohirnya sedikit, sahabat ini
tidak rajin berpuasa sunnah dan tidak rajin sholat malam, akan tetapi yang
menjadikannya mulia… adalah amalan hatinya.
Hadits ini juga menunjukan bahwa amalan hati jauh lebih berat daripada amalan
dzohir. Semua orang bisa saja puasa, semua orang bisa saja bangun sholat malam,
semua orang bisa saja sholat sesuai sunnah Nabi, semua orang bisa saja berpakaian
sebagaimana yang disunnahkan oleh Nabi… akan tetapi ..:
– Betapa banyak diantara kita yang tahu akan bahayanya riyaa namun masih saja
terlena dengan kenikmatan semu riyaa’, bangga tatkala dipuji hingga kepala membesar
hampir sebesar gunung…
– Betapa banyak diantara kita yang tahu akan bahaya ‘ujub, akan tetapi tetap saja
bangga dengan amalan dan karya sendiri…
– Betapa banyak diantara kita yang sudah mengilmui bahwasanya semua taqdir
dan keputusan Allah adalah yang terbaik akan tetapi tetap saja bersuudzon kepada
Allah…
– Betapa banyak diantara kita yang sudah mengilmui dengan ilmu yang tinggi
bahwasanya Allahlah yang mengatur dan memutuskan segala sesuatu, akan tetapi
tetap saja tawakkalnya kurang kepada Allah..
– Dan seterusnya..
م َواَل َنصِ ي َف ُهCْ اَل َت ُسبُّوا َأصْ حَ ِابي َفلَ ْو َأنَّ َأحَ دَ ُك ْم َأ ْنفَقَ م ِْث َل ُأ ُح ٍد َذ َهبًا مَا َبلَغَ ُم َّد َأحَ ِد ِه
“Janganlah kalian mencela para sahabatku, kalau seandainya salah seorang dari kalian
berinfaq emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan menyamai infaq mereka (kurma
atau gandum sebanyak-pen) dua genggam tangan atau segenggam tangan” (HR Al-
Bukhari no 3673 dan Muslim no 221)
Lantas kenapa para sahabat mendapat kemuliaan yang luar biasa ini?, mengapa
ganjaran amalan mereka sangat besar di sisi Allah??
Al-Baydhoowi berkata :
“Makna hadits ini adalah salah seorang dari kalian meskipun menginfakan emas
sebesar gunung Uhud maka tidak akan meraih pahala dan karunia sebagaimana yang
diraih oleh salah seorang dari mereka (para sahabat) meskipun hanya menginfakan
satu mud makanan atau setengah mud. Sebab perbedaan tersebut adalah karena
(mereka) yang lebih utama (yaitu para sahabat) disertai dengan keikhlasan yang
lebih dan niat yang benar“ (sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari
7/34)
َُان ِإالَّ هللا ِ ب َي َت َفاضَ ُل الَ َيعْ ِرفُ َم َقا ِد ْيرَ مَا فِي ْالقُلُ ْو
ِ ب مِنَ اِإْل ْيم ِ َومَا فِي ْالقُلُ ْو،ِظ ُم َق ْد ُرهَا َو َيصْ ُغ ُر َق ْد ُرهَا بمَا في ْالقُلُ ْوب َّ َأنَّ اَأْلعْ مَا َل
ُ ْالظاهِرَ َة َيع
َولَكِنْ َي َنالُ ُه ال َّت ْق َوى ِم ْن ُك ْمCلَنْ َي َنا َل هَّللا َ لُحُو ُمهَا َوال ِدمَاُؤ َها
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan)
Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya (QS Al-Hajj : 37)
Tentunya banyak orang yang menyembelih hewan kurban, dan banyak pula yang
menyembelih hewan hadyu (tatkala hajian), dan banyak pula orang yang bersedekah
dengan menyembelih hewan, akan tetapi bukanlah yang sampai kepada Allah darah
hewan-hewan tersebut akan tetapi yang sampai kepada Allah adalah ketakwaan yang
terdapat di hati (lihat minhaajus sunnah 6/137)
Dari sini jelas bagi kita rahasia kenapa Allah menjadikan pahala sedikit infaq yang
dikeluarkan oleh para sahabat lebih tinggi nilainya dari beribu-ribu ton emas yang kita
sedekahkan. Sesungguhnya amalan-amalan hati para sahabat sangatlah tinggi,
keimanan para sahabat sangatlah jauh dibandingkan keimanan kita. Mungkin kita bisa
saja menilai amalan dzhohir seseorang, akan tetapi amalan hatinya tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah. Para sahabat yang luar biasa amalan dzohirnya bisa saja
ada seorang tabiin yang meniru mereka akan tetapi yang menjadikan mereka tetap
istimewa adalah amalan hati mereka yang sangat tinggi nilainya di sisi Allah.
Ibnu Taimiyyah berkata tentang para sahabat, “Hal ini (ditinggikannya pahala para
sahabat-pen) dikarenakan keimanan yang terdapat dalam hati mereka tatkala mereka
berinfaq di awal-awal Islam, dan masih sedikitnya para pemeluk agama Islam,
banyaknya hal-hal yang menggoda untuk memalingkan mereka dari Islam, serta
lemahnya motivasi yang mendorong untuk berinfaq. Oleh karenanya orang-orang yang
datang setelah para sahabat tidak akan bisa memperoleh sebagaimana yang diperoleh
para sahabat… oleh karenanya tidak akan ada seorangpun yang menyamai Abu Bakr
radhiallahu ‘anhu. Keimanan dan keyakinan yang ada di hatinya tidak akan bisa
ْ َأ
disamai oleh seorangpun. Abu Bakr bin ‘Ayyaas berkata َْام َولَكن ٍ مَا سَ َب َق ُه ْم بُو ب َْك ٍر ِب َكثرَ ِة صَ الَ ٍة َوالَ صِ ي
ْ
“ ب َشىْ ٍء َو َقرَ في َقل ِب ِهTidaklah Abu Bakr mengungguli para sahabat yang lain dengan banyaknya
sholat dan puasa akan tetapi karena sesuatu yang terpatri di hatinya”
Demikian pula para sahabat yang lain yang telah menemani Rasulullah dalam keadaan
beriman kepada Nabi dan berjihad bersamanya maka timbul dalam hati mereka
keimanan dan keyakinan yang tidak akan dicapai oleh orang-orang setelah mereka…
Sesungguhnya para ulama telah sepakat bahwasanya para sahabat secara umum
(global) lebih baik dari para tabi’in secara umum. Akan tetapi apakah setiap individu
dari para sahabat lebih mulia dari dari setiap individu dari generasi setelah mereka?,
dan apakah Mu’aawiyah radhiallahu ‘anhu lebih mulia daripada Umar bin Abdil Aziz
rahimahullah??. Al-Qodhi Iyaadh dan ulama yang lain menyebutkan ada dua pendapat
dalam permasalahan ini. Mayoritas ulama memilih pendapat bahwasanya setiap
individu sahabat lebih mulia dari setiap individu dari generasi setelah mereka. Ini
adalah pendapat Ibnul Mubarok, Ahmad bin Hnbal dan selain mereka berdua.
Diantara argumentasi mereka adalah amalan (dzohir) para tabi’in meskipun lebih
banyak, sikap adilnya Umar bin Abdil Aziz lebih nampak dari pada sikap adilnya
Mu’aawiyah, dan ia lebih zuhud daripada Mu’aawiyah, akan tetapi mulianya seseorang
di sisi Allah adalah tergantung hakekat keimanannya yang terdapat di hatinya…
mungkin bisa saja kita mengetahui amalan (dzohir) sebagian mereka lebih banyak dari
pada sebagian yang lain, akan tetapi bagaimana kita bisa mengetahui bahwasanya
keimanannya yang terdapat di hatinya lebih besar daripada keimanan hati yang lain..?”
(Minhaajus Sunnah An-Nabawiyyah 6/137-139)