Anda di halaman 1dari 9

NASKAH DRAMA

“ANGIN DERMAGA”

OLEH:

Pande Putu Praya Dharani Putri (28/XI MIPA 1)

SMA Negeri 1 Gianyar


Tahun Ajaran
2022/2023
Angin Dermaga
Namanya Cyan Azora. Orang bilang nama adalah doa kan? Namun nahasnya, hal
tersebut malah terjadi sebaliknya. Harusnya langit biru nan cerah yang selalu dipenuhi
kehangatan menjadi dasar hidupnya, disini justru berlaku sebaliknya. Ia benar-benar sebiru
lautan yang kelam, dan segalanya terasa begitu hampa, seakan ada ceruk yang memaksanya
untuk tenggelam ke dasar. Diselimuti gaung kekosongan bergema sunyi yang siap
menelannya hidup-hidup. Ralat, jiwanya telah mati dari dulu.
Ia begitu hampa, bahkan kehadirannya seakan di tolak oleh dunia. Teman? Apa arti
teman baginya? Teman yang mengajaknya pergi jalan-jalan? Pergi nonton? Cyan tidak perlu
itu semua. Yang dia perlukan hanya seorang teman yang selalu ada baginya. Teman yang
bermain seperti anak-anak, berdebat seperti suami istri, dan saling melindungi layaknya
keluarga. Dia Alren, orang yang terlibat menyaksikan perjalanan hidup Cyan.
Ya, layaknya keluarga. Mereka berdua sejak kecil telah dipertemukan oleh takdir
karena sebuah kesalahan. Kesalahan dari tangan-tangan yang tak bertanggungjawab atas
hidup mereka. Ketika umurnya 6 tahun, Cyan merasa Dunianya benar-benar hancur tepat
diatas kepalanya sendiri. Menimpanya dengan kenyataan pahit, kala Cyan menyadari bahwa
keluarga bukanlah rumah baginya.
Ia berlari dan menangis sekencang-kencangnya, di bawah pohon cemara di hutan
pinus rahasia. Hanya dia, bulan, dan sang cemara yang mengetahui ini. Dan malam ini bulan
bersinar terang, menyambut kedatangan sosok anak laki-laki berambut hitam ke tengah hutan
tersebut, tepatnya di bawah pohon cemara tua, dimana Cyan berkeluh-kesah.

Alren : “Kamu kenapa menangis?”


Cyan : “Kamu siapa?” (Menoleh kearah Alren, sembari mengusap air matanya)
Alren : “Namaku Alren, nama mu?” (Tersenyum tulus)
Cyan : “A-Aku Cyan” (Gugup)
Alren : “Namamu bagus” (Tersenyum)
Cyan : “Ma-Makasih” (Tersenyum dengan rona merah di pipinya)
Alren : “Boleh aku ikut?” (Berjalan mendekati Cyan)
Cyan : (Mengangguk, mempersilahkan Alren duduk)
Alren : “Nenek ku pernah bilang. Kalau kau merindukan sesorang, maka tataplah
langit” (Katanya dengan pandangan yang ia fokuskan pada langit malam)
Cyan : (Menatapnya dengan tatapan bingung) “Maksudmu?”
Alren : (Terkekeh pelan) “Ntahlah, aku belum pernah merindukan seseorang
sebelumnya” (Berbicara dengan nada sok dewasa)
Cyan : “Tch, dasar bodoh!” (Meledek Alren)
Alren : “Apa maksudmu? Jangan macam-macam ya, aku ini adalah keturunan kaisar
romawi abad ke-13” (Nada bercanda)
Cyan : “Oh ya? Kalau begitu aku adalah ratu Cleopatra, hissss-” (Melanjutkan
ucapannya dengan desisan ular)
Alren : “Hahaha.. lawak banget muka mu lebih kayak bunglon, daripada ular”
(Meledek)
Cyan : “Hahaha, bodoh!” (Tertawa lepas)

Detik itu, semesta telah mempertemukannya dengan seorang anak laki-laki yang
begitu manis dan memesona. Ia benar-benar jatuh pada pandangan lelaki itu, kala netranya
pertama kali bertemu. Tak disangka, hari demi hari terus berganti bulan. Dan, tahun demi
tahun sudah terlewati. Ia bersyukur masih bisa bertahan hingga detik ini, disaat seluruh dunia
begitu kejam kepadanya. Alren, telah menjadi rumah nya selama 10 tahun belakangan ini.
Di pagi ini dia bangun dengan perasaan yang berbeda dari sebelumnya, manik mata
biru-nya menatap penuh pada pemandangan laut di area balkonnya. Ia bergegas turun ke meja
makan, dan kembali dipertemukan dengan kedua orangtuanya yang tengah sibuk berkutit
dengan urusannya masing-masing.

Cyan : “Ma, Pa. Inget ga hari ini hari apa?” (Sambil menyantap sarapannya)
Papa : “Hari rabu. Memangnya kenapa?” (Menjawab tanpa menolehkan
pandangannya dari surat kabar yang sedang dibaca)
Cyan: “Ma?”
Mama : “Tunggu Cyan. Kau tidak bisa lihat? Mama sedang bekerja” (Menjawab tanpa
menolehkan wajahnya dari emba laptop)
Cyan : “Baiklah, maaf mengganggu. Ma, Pa, aku pamit ke sekolah dulu” (Kecewa)

Ia melangkahkan kakinya dengan langkah yang gontai. Hatinya gundah, dan batinnya
tak karuan, tak jarang ia berangan-angan ‘andai saja kehidupan bisa dipilih sendiri, sudah
pasti ia akan bahagia’.
(Di sekolah)
Ia melangkah dengan raut wajah yang lesu, dan Langkah yang gontai. Semua orang
melalui nya begitu saja, kembali yang menyapa, bahkan nyaris saja tak terlihat di ruangan ini.
Ia berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tak meluncur seperti pengecut dari
kedua emba birunya.
Semuanya berjalan seperti biasa siang ini. Sekolah hanya 6 jam lamanya, namun bagi
Cyan ini rasanya seperti bertahun-tahun hidup dalam ruangan pengap tak berperasaan.
Kenapa masih dilanjutkan? Ya, pertanyaan seperti itu kerap kali muncul bak setan merah
yang terus-menerus menerror dirinya.
Ia bertahan karena sosok laki-laki yang selalu menjadi rumahnya, yang selalu
memberinya kehangatan, dan segala bentuk afeksi dan cinta di Dunia yang kejam ini. Namun
anehnya, sedari tadi matanya belum menemukan batang hidung lelaki itu, ia mencari
keberadaan sosok itu. Sosok, yang selalu membuatnya seperti berada di rumah. Sosok laki-
laki yang selalu ia rindukan, kapanpun ia pergi.

Cyan : “Ck, Ren, lo dimana sih?” (Berdecak, dan bergumam dengan dirinya sendiri)
Javier : “Woy, woy! Ada yang lagi tawuran!” (Berteriak kehebohan, menunjukkan
video siaran langsung)
Axel : “Mana? Aelah, ini mah udah pasti bakal seru” (Ikut heboh menonton)
Kentzo : “Eh, ini si anak konglomerat itu ya? Siapa sih Namanya? Alren ya?!”
(Ekspresi menebak-nebak menonton video siaran langsung)
Cyan : “Minggir-minggir, mana?! Liatin video nya!” (Membentak, dan kaget, lalu
mundur dan berlari ke luar kelas)
Axel : “Apaan sih? Gaje banget tu cewek” (Memutar matanya malas, mencibir)
Kentzo : “Biasalah. Namanya juga cewek, paling-paling kesemsem liat Alren” (Lanjut
mencibir Cyan)
Javier : “Dah lah, kantin kuy!”
Axel, Kentzo: “GASS!”

Cyan merasakan perasaan yang tak mengenakkan dalam hatinya, rasanya sakit namun
tidak berdarah. Ia benar-benar hancur, pikirannya buyar, dan tujuannya hanya satu. Yaitu,
bertemu dengan Alren.
(Sepulang sekolah)
Cyan menunggu di depan gerbang sekolah, matanya mencari-cari figur laki-laki yang
tengah membuatnya menunggu seperti ini.

Cyan : “ALREN!” (Melambaikan tangannya)


Alren : “CYAN!” (Membalas melambaikan tangan, lalu menghampiri Cyan)
Alren : “Ada apa Cyan?”
Cyan : “Cukup Alren. Jangan berpura-pura lo ga tau masalah ini” (Memberi raut
wajah kesal)
Alren : “Maksud mu?” (Kebingungan)
Cyan : “Nih! Lo liat aja sendiri” (Menunjukkan video tawuran Alren)
Cyan : “Bukannya lo udah janji ke gue, kalo lo itu ga bakal berantem lagi?!” (Melipat
tangannya di depan dada, marah)
Alren : “Bukan gitu Cyan. Aku bisa jelasin”
Cyan : “Apa yang mau lo jelasin lagi Ren? Semua udah jelas kan?” (Menangis,
kecewa)
Cyan : “Gue bener-bener kecewa sama lo Ren” (Menangis, meninggalkan Alren
dengan tatapan yang sedih)

Ia berlari sekencangnya, menerobos lautan manusia yang berkerumunan bak kawanan


domba di tengah jalanan yang padat. Ia berlari ke sisi dunia, tempat yang ajaib dimana ia
mengerti arti dari kehidupan. Air matanya terus meluncur, namun kakinya tak berhenti
bergerak. Giginya gemeretak, dan tubuhnya bergetar hebat.

Cyan : “Tuhan. Apakah sesulit itu untuk mengetahui arti dari kebahagiaan yang
sebenarnya?” (Menangis)
Cyan : “Mengapa hal seperti ini harus terjadi pula di hari ulang tahunku yang ke 17?”
Cyan : “Aku muak tuhan. Aku sudah muak” (Menangis)

Cyan merobohkan dirinya ke hamparan rumput hijau, pertahanan nya begitu lemah bahkan
hanya untuk sekedar berpijak di bumi saja tak mampu. Dadanya begitu sesak, dan semesta
hanya bisa diam menyaksikan nya menangis seperti itu.
Apa yang ia harapkan?

Mama, Papa: “Selamat Ulang tahun!!”


Cyan : “Mama?! Papa?! Kalian?!” (Menoleh ke sumber suara, terkejut)
Mama : “Hahaha, selamat ulang tahun putriku yang cantik” (Tertawa haru)
Papa : “Kau pasti pikir kami melupakan ulang tahun mu ya??” (Terkekeh pelan)
Cyan : “Mama, papa!” (Menangis haru, berlari memeluk kedua orang tuanya)
Mama : “Mama sama papa sayang kok sama Cyan. Cyan jangan nangis lagi ya?”
Cyan : (Mengangguk)
Papa : “Anak papa udah gede aja. Berarti, papa udah makin tua aja nih?” (Membuat
lelucon)
Cyan : (Tertawa) “Tapi? Bagaimana kalian bisa menemukan aku disini?”
Mama : “Oh itu. Teman mu tadi datang ke rumah”
Papa : “Iya. Dia juga nitip ini buat kamu nak” (Memberikan secarik kertas yang
digulung rapi)
Cyan : (Kebingungan, menerima kertas itu lalu membacanya)
Cyan : “Apa?!” (Berteriak kaget membaca isi surat)
Mama : “Kenapa nak?” (Kebingungan)
Cyan : “Ma, Pa. Bisa anterin aku ke Pelabuhan sekarang ga?” (Panik)
Papa : “Eh, iya-iya. Ayo cepat ke mobil” (Bergegas ke mobil)

Hening. Itu satu kata yang bisa mendeskripsikan bagaimana keadaan di dalam mobil
itu. Pohon-pohon dan bintang-bintang dilangit bergerak mengikuti nya, seakan-akan menjadi
pengawalnya di malam gelap, tanpa bulan ini.
Ia tiba disana, dilihatnya kapal laut yang besar sudah membunyikan bel-nya. Banyak
penumpang sudah menaikkan barangnya ke atas dek, namun tetap saja ia tak bisa
menemukan sosok itu.

Penjaga kapal :“Hey nak, apa yang kau lakukan disini?”


Cyan : “Ak- Aku mencari temanku” (Gugup)
Penjaga kapal :“Argh sudah, jangan mengganggu disini. Kemungkinan teman mu sudah naik
ke atas dek” (Mendorong tubuh Cyan untu menjauh dari area dermaga)
Cyan : “Aku mohon pak. Tunggu sebentar lagi” (Memohon kepada penjaga)
Penjaga kapal :“Nak, kami disini bekerja untuk kepentingan bersama. Bukan urusan mu saja
yang penting disini” (Menghela napas kesal)
Alren : “Kau mencariku?”
Cyan : (Membalikkan badan, lalu berlari memeluk Alren) “Alren!!”
Cyan : “Maafin gue Ren, maafin gue” (Dengan suara yang bergetar menahan tangis)
Cyan : “Gue yang salah. Gue emang se-goblok itu” (Berbicara terus, tanpa memberi
Alren kesempatan berbicara)
Cyan : “Tapi gue mohon sama lo Ren. Jangan pergi, jangan tinggalin gue”
(Menangis)
Alren : (Tersenyum) “Udah nangisnya?”
Alren : “Aku ngerti maksud kamu. Kamu ga mungkin punya niat jahat sama aku,
Cyan”
Alren : “Aku bener-bener minta maaf tentang kejadian yang tadi”
Alren : “Tapi aku ga bisa tinggal lebih lama disini, Cyan”
Cyan : “Kenapa?! Kamu marah ya? Kamu pasti kesel sama aku kan?” (Nada kecewa)
Alren : (Tersenyum) “Aku ngga pernah marah sama kamu, Cyan”
Alren : “Papa minta aku buat ngelanjutin studi di Amerika”
Alren : “Sebagai anak tunggal, aku ga bisa nolak”
Alren : “Yah, walaupun sakit buat ninggalin negeri ini” (Kecewa, dan air matanya
mulai jatuh)
Alren : “Tapi, hidup bakal terus jalan. Bukan begitu, Cyan?” (Berusaha tersenyum di
sela-sela tangisnya)
Cyan : “Lo harus janji sama gue. Lo bakal pulang, dan lo bakal balik dengan selamat”
(Menaikkan jari kelingkingnya keatas)
Alren : (Tersenyum) “Janji!” (Menautkan kelingkingnya pada jari Cyan)
Alren : “Oh iya. Selamat ulang tahun cantik, maaf hadiahnya kecil” (Menyerahkan
sebuah kotak kecil yang sudah dibungkus kertas kado)
Cyan : (Membuka kado itu, lalu tersenyum)
Alren : “Dipakai ya cincinya? Jangan dilepas” (Memakaikan cincin itu ke jari manis
Cyan)
Cyan : (Menangis haru, lalu memeluk Alren) “Makasih Alren”
Alren : (Mengangguk)

/Teet-teet/
*Bunyi bel kapal laut, menandakan kapal akan segera berangkat.

Alren : “Ah! Sepertinya ini sudah waktunya” (Ia berucap, sembari mengangkat koper-
kopernya)
Alren : “Daah Cyan! Jangan cengeng-cengeng lagi ya? Kan udah besar?” (Mengusap
air mata Cyan)
Cyan : (Mengangguk)
Alren : “Jangan lupain aku ya! Makasi udah mau jadi sahabatku!” (Berteriak, berlari
menuju arah kapal)
Cyan : (Melambaikan tangannya) “Iya, hati-hati dijalan Ren! Gue sayang lo”
(Kalimat terakhirnya nyaris tak terdengar. Seraya netranya melihat kapal yang Alren naiki
beranjak pergi dan menghilang dari batas jarak pandangnya)
Cyan : “Lo egois banget Ren. Harusnya gue yang bilang ‘makasi’ ke elo. Bodoh”
(Menepuk jidatnya pelan, sambal diiringi tawa menahan pedih).

Tangisnya pecah, kala melihat kapal itu pergi menjauh dan menghilang. Ia benar-
benar kalut, hatinya hancur. Perasaannya berkecamuk, ia tak bisa berpikir jernih. Sosok yang
ada di benaknya sekarang hanyalah “Alren”.
Begitu banyak kejutan yang telah diberikan oleh semesta pada hari ulang tahunnya,
begitu cepat semua kejadian ini berlalu. Terlalu cepat 17 tahun ini untuk menjadi kenangan,
terlalu banyak kejutan-kejutan yang datang tak terduga.

Apakah ini akhirnya?


Bukan. Ini bukan akhirnya.
Ini adalah awal. Awal dari perjalanan hidupku yang baru.

Cyan Bermonolog di tengah kesedihannya yang berlarut-larut.

Cyan : “Setelah 10 tahun gue nyari makna ucapan lo, akhirnya gue paham sekarang”
Cyan : “Gue seneng bisa berbagi langit yang sama bareng lo Ren. Nenek lo bener,
kalo gue kangen seseorang, melihat langit adalah jalan untuk ngungkapin rindu itu”
Cyan : “Kita memang ga bersama lagi, tapi setidaknya kita bisa melihat bulan yang
sama kan?”
Cyan : “Sekarang gue melihat bulan purnama yang cantik, semoga elo bisa lihat bulan
yang sama di seberang sana. Salam rinduku, ku titipkan pada sang candra diatas. Semoga
tersampaikan pada sosokmu yang selalu kurindukan”

“Selamat ulang tahun Cyan, selamat lahir kembali”


-Selesai-

Anda mungkin juga menyukai