Angin Dermaga
Angin Dermaga
“ANGIN DERMAGA”
OLEH:
Detik itu, semesta telah mempertemukannya dengan seorang anak laki-laki yang
begitu manis dan memesona. Ia benar-benar jatuh pada pandangan lelaki itu, kala netranya
pertama kali bertemu. Tak disangka, hari demi hari terus berganti bulan. Dan, tahun demi
tahun sudah terlewati. Ia bersyukur masih bisa bertahan hingga detik ini, disaat seluruh dunia
begitu kejam kepadanya. Alren, telah menjadi rumah nya selama 10 tahun belakangan ini.
Di pagi ini dia bangun dengan perasaan yang berbeda dari sebelumnya, manik mata
biru-nya menatap penuh pada pemandangan laut di area balkonnya. Ia bergegas turun ke meja
makan, dan kembali dipertemukan dengan kedua orangtuanya yang tengah sibuk berkutit
dengan urusannya masing-masing.
Cyan : “Ma, Pa. Inget ga hari ini hari apa?” (Sambil menyantap sarapannya)
Papa : “Hari rabu. Memangnya kenapa?” (Menjawab tanpa menolehkan
pandangannya dari surat kabar yang sedang dibaca)
Cyan: “Ma?”
Mama : “Tunggu Cyan. Kau tidak bisa lihat? Mama sedang bekerja” (Menjawab tanpa
menolehkan wajahnya dari emba laptop)
Cyan : “Baiklah, maaf mengganggu. Ma, Pa, aku pamit ke sekolah dulu” (Kecewa)
Ia melangkahkan kakinya dengan langkah yang gontai. Hatinya gundah, dan batinnya
tak karuan, tak jarang ia berangan-angan ‘andai saja kehidupan bisa dipilih sendiri, sudah
pasti ia akan bahagia’.
(Di sekolah)
Ia melangkah dengan raut wajah yang lesu, dan Langkah yang gontai. Semua orang
melalui nya begitu saja, kembali yang menyapa, bahkan nyaris saja tak terlihat di ruangan ini.
Ia berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tak meluncur seperti pengecut dari
kedua emba birunya.
Semuanya berjalan seperti biasa siang ini. Sekolah hanya 6 jam lamanya, namun bagi
Cyan ini rasanya seperti bertahun-tahun hidup dalam ruangan pengap tak berperasaan.
Kenapa masih dilanjutkan? Ya, pertanyaan seperti itu kerap kali muncul bak setan merah
yang terus-menerus menerror dirinya.
Ia bertahan karena sosok laki-laki yang selalu menjadi rumahnya, yang selalu
memberinya kehangatan, dan segala bentuk afeksi dan cinta di Dunia yang kejam ini. Namun
anehnya, sedari tadi matanya belum menemukan batang hidung lelaki itu, ia mencari
keberadaan sosok itu. Sosok, yang selalu membuatnya seperti berada di rumah. Sosok laki-
laki yang selalu ia rindukan, kapanpun ia pergi.
Cyan : “Ck, Ren, lo dimana sih?” (Berdecak, dan bergumam dengan dirinya sendiri)
Javier : “Woy, woy! Ada yang lagi tawuran!” (Berteriak kehebohan, menunjukkan
video siaran langsung)
Axel : “Mana? Aelah, ini mah udah pasti bakal seru” (Ikut heboh menonton)
Kentzo : “Eh, ini si anak konglomerat itu ya? Siapa sih Namanya? Alren ya?!”
(Ekspresi menebak-nebak menonton video siaran langsung)
Cyan : “Minggir-minggir, mana?! Liatin video nya!” (Membentak, dan kaget, lalu
mundur dan berlari ke luar kelas)
Axel : “Apaan sih? Gaje banget tu cewek” (Memutar matanya malas, mencibir)
Kentzo : “Biasalah. Namanya juga cewek, paling-paling kesemsem liat Alren” (Lanjut
mencibir Cyan)
Javier : “Dah lah, kantin kuy!”
Axel, Kentzo: “GASS!”
Cyan merasakan perasaan yang tak mengenakkan dalam hatinya, rasanya sakit namun
tidak berdarah. Ia benar-benar hancur, pikirannya buyar, dan tujuannya hanya satu. Yaitu,
bertemu dengan Alren.
(Sepulang sekolah)
Cyan menunggu di depan gerbang sekolah, matanya mencari-cari figur laki-laki yang
tengah membuatnya menunggu seperti ini.
Cyan : “Tuhan. Apakah sesulit itu untuk mengetahui arti dari kebahagiaan yang
sebenarnya?” (Menangis)
Cyan : “Mengapa hal seperti ini harus terjadi pula di hari ulang tahunku yang ke 17?”
Cyan : “Aku muak tuhan. Aku sudah muak” (Menangis)
Cyan merobohkan dirinya ke hamparan rumput hijau, pertahanan nya begitu lemah bahkan
hanya untuk sekedar berpijak di bumi saja tak mampu. Dadanya begitu sesak, dan semesta
hanya bisa diam menyaksikan nya menangis seperti itu.
Apa yang ia harapkan?
Hening. Itu satu kata yang bisa mendeskripsikan bagaimana keadaan di dalam mobil
itu. Pohon-pohon dan bintang-bintang dilangit bergerak mengikuti nya, seakan-akan menjadi
pengawalnya di malam gelap, tanpa bulan ini.
Ia tiba disana, dilihatnya kapal laut yang besar sudah membunyikan bel-nya. Banyak
penumpang sudah menaikkan barangnya ke atas dek, namun tetap saja ia tak bisa
menemukan sosok itu.
/Teet-teet/
*Bunyi bel kapal laut, menandakan kapal akan segera berangkat.
Alren : “Ah! Sepertinya ini sudah waktunya” (Ia berucap, sembari mengangkat koper-
kopernya)
Alren : “Daah Cyan! Jangan cengeng-cengeng lagi ya? Kan udah besar?” (Mengusap
air mata Cyan)
Cyan : (Mengangguk)
Alren : “Jangan lupain aku ya! Makasi udah mau jadi sahabatku!” (Berteriak, berlari
menuju arah kapal)
Cyan : (Melambaikan tangannya) “Iya, hati-hati dijalan Ren! Gue sayang lo”
(Kalimat terakhirnya nyaris tak terdengar. Seraya netranya melihat kapal yang Alren naiki
beranjak pergi dan menghilang dari batas jarak pandangnya)
Cyan : “Lo egois banget Ren. Harusnya gue yang bilang ‘makasi’ ke elo. Bodoh”
(Menepuk jidatnya pelan, sambal diiringi tawa menahan pedih).
Tangisnya pecah, kala melihat kapal itu pergi menjauh dan menghilang. Ia benar-
benar kalut, hatinya hancur. Perasaannya berkecamuk, ia tak bisa berpikir jernih. Sosok yang
ada di benaknya sekarang hanyalah “Alren”.
Begitu banyak kejutan yang telah diberikan oleh semesta pada hari ulang tahunnya,
begitu cepat semua kejadian ini berlalu. Terlalu cepat 17 tahun ini untuk menjadi kenangan,
terlalu banyak kejutan-kejutan yang datang tak terduga.
Cyan : “Setelah 10 tahun gue nyari makna ucapan lo, akhirnya gue paham sekarang”
Cyan : “Gue seneng bisa berbagi langit yang sama bareng lo Ren. Nenek lo bener,
kalo gue kangen seseorang, melihat langit adalah jalan untuk ngungkapin rindu itu”
Cyan : “Kita memang ga bersama lagi, tapi setidaknya kita bisa melihat bulan yang
sama kan?”
Cyan : “Sekarang gue melihat bulan purnama yang cantik, semoga elo bisa lihat bulan
yang sama di seberang sana. Salam rinduku, ku titipkan pada sang candra diatas. Semoga
tersampaikan pada sosokmu yang selalu kurindukan”