Kayu-kayu itu masih berserakan, sampah ada dimana-mana, air mulai kembali ke
tempatnya semula, rumah-rumah kokoh itu tinggal kepingan-kepingan yang berserakan.
Guncangan besar dan air setinggi gunung telah terjadi di tempat rupanya. Entah, aku tak tahu
mengapa aku begitu bersemangat ketika di kampuku mengadakan bakti sosial ke Aceh.
Setelah aku melihat secara langsung tempat ini, ternyata lebih parah dari yang kulihat di
televisi.
Aku masih berdiri termenung melihat kepingan-kepingan ini. Aku tak tega melihat
semua ini, bahkan aku melihat begitu banyak korban dari peristiwa ini, karena yang kusadari
tadi dileher kini sudah berpindah ke tangan mungilku, aku mengabadikan peristiwa luar biasa
ini, memang kuasa Allah yang begitu dahsyat. Gempa dengan kekuatan 9,3 magnitudo
mampu menghancurkan tempat ini.
“ Hei Rin, kenapa masih disini ? ayo cepat ke tempat pengungsian ” ucap Alif salahsatu
temanku .
“ Eh.... Iya Lif ” ucapku.
Aku dan rombongan segera pergi ke tempat pengungsian, terlihat disana sudah ada
banyak orang, keadaan mereka terlihat sangat memprihatinkan. Hanya berlindung didalam
tenda kecil dan berharap bantuan segera datang.
Tiba-tiba datang seorang anak mulai membaca puisi, matanya memerah, karena sejak
tadi menangis. Suaranya membuat hati dan raut wajah kami berubah total. Apa engkau tega
melihat wajah-wajah tak berdosa mereka ?, wajah-wajah yang seharusnya tersenyum polos,
bukan wajah yang penuh penderitaan seperti ini.
Gadis itu menutup puisinya, dan menetes air mata jatuh ke pipinya. Semua orang
terlihat bersedih. Tuhan, lihat anak kami, seharusnya masih duduk di bangku SD kini harus
menghadapi musibah yang begitu berat ini. Anak itu kemudian keluar dari kerumunan orang-
orang sambil mengusi tangannya ke wajahnya seraya menahan air matanya dan aku segera
mengejar anak kecil itu dari belakang, karena ada banyak yang ingin kutanyakan padanya.
Ketika gadis itu duduk disisi tenda, dia melihatku lalu aku mendekatinya sambil tersenyum.
Dia menatapku kaget dan penuh pertanyaa..
Sekarang dia mulai tersenyum dan bercerita tentang keluarganya. Ternyata ayahnya
masih belum ditemukan karena menjadi korban gempa tersebut. Dia terlihat begitu berharap
ada sedikit keajaiban yang bisa menyelamatkan ayahnya.
Aku perlahan mulai pergi karena hari sudah sore, tiba-tiba Syila berlari menujuku sambil
membawa surat putih yang kusam.
Kepada Yth.
Bapak. Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden RI
Di Tempat
Pak SBY yang terhormat, kami adalah suara dari anak-anak aceh dan korban gempa.
Bisakah Bapak memberi bantuan yang layak kepada kami ?.
Kami ingin segera sekolah lagi, bagaimana jikalau kami menjadi generasi yang bodoh, kami
merindukan kehidupan yang dulu Pak. Bermain bersama, tertawa bersama Pak, apakah kami
mendapatkan kehidupan yang dulu Pak ?. Kami kelaparan, kedinginan Pak, suara kehidupan
kami memang tak akan mampu menjangkau telinga Bapak yang kami hormati.
Diapun tersenyum dan aku berjanji akan mengantarkan surat yang mewakili semua penduduk
Aceh, demi menghapus air mata seorang gadis manis yang menunggu kebahagiaan disana.
Berakhir.....