Anda di halaman 1dari 27

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/340396322

Penerapan Prinsip-Prinsip Ekowisata oleh Pramuwisata DKI Jakarta

Conference Paper · November 2018

CITATIONS READS

0 3,462

2 authors:

Lenny Yusrini Nova Eviana


Universitas Asa Indonesia Akademi Pariwisata Indonesia Jakarta
25 PUBLICATIONS   78 CITATIONS    9 PUBLICATIONS   3 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Digital marketing acceptance View project

Environmental Education Planning View project

All content following this page was uploaded by Lenny Yusrini on 03 April 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.

PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP EKOWISATA


OLEH PRAMUWISATA DKI JAKARTA

Lenny Yusrini1, Nova Eviana2

Prodi Usaha Wisata, AKPINDO Jakarta


lenny4hcd@gmail.com1
emanova_jenk@yahoo.co.id2

Abstract
The purpose of this study was to know and analyze the
implementation of the ecotourism principles by the DKI Jakarta’s
tourist guides. The study is a survey using a questionnaire
developed by the underlying theories of five ecotourism
principles. In the early stages, theoretical validation was
conducted toward 20 respondents. Validity and reliability test
results showed all items are valid. Data was collected using
simple random sampling technique involving 71 respondents. The
measurement of the implementation used mean score and the
result was then described. Two categories of the respondent
criteria, e.g. the tourist guide level and the working experience
were also analyzed using non parametric analysis Mann Whitney
dan Kruskal Wallis with SPSS ver. 21.00 software. The results
showed that the tourist guides “often” but not “always”
implement the ecotourism principles while on duty. Based on the
tourist guide level and the working experience, it is shown that
there is a significant difference in implementing the ecotourism
principles while on duty.
Keywords: ecotourism, ecotourism principles, tourist guide

Pendahuluan
Latar Belakang
Pariwisata berkelanjutan merupakan sebuah proses dan
sistem pembangunan pariwisata yang mampu menjamin
keberlangsungan atau keberadaan sumber daya alam, kehidupan
sosial budaya, dan ekonomi sehingga sumber daya wisata tetap
dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Dengan kata

51
lain, pariwisata berkelanjutan mampu memberikan manfaat
jangka panjang kepada perekonomian lokal tanpa merusak
lingkungan. Dengan demikian pembangunan dan pengembangan
bidang pariwisata mampu menjaga kelestarian dan mutu
lingkungan hidup, serta peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat. Singkatnya, pembangunan yang
dilakukan merupakan pembangunan pariwisata yang
berkelanjutan (sustainable tourism).
Salah satu bentuk pengelolaan pariwisata berkelanjutan
adalah ekowisata. Pergeseran konsep pengelolaan kepariwisataan
dari wisata massal (mass tourism) ke ekowisata menjadi peluang
bagi meningkatnya perjalanan wisata ke daya tarik wisata alam.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan
keanekaragaman hayati terbesar di dunia dan memiliki suku
bangsa dengan ragam budaya yang sangat besar memiliki potensi
pariwisata alam dan budaya yang harus dipertahankan. Kekayaan
alam dan budaya ini harus terus terjaga kelestariannya sehingga
pengelolaan pariwisata dengan konsep ekowisata sangat sesuai
diterapkan di Indonesia. Pengelolaan pariwisata berkonsep
ekowisata dapat menjadi jawaban untuk pelestarian sumber daya
alam dan budaya yang menjadi modal dasar Indonesia sebagai
salah satu destinasi wisata dunia sekaligus memberikan
pendidikan alam dan lingkungan bagi wisatawan yang
berkunjung ke kawasan wisata alam dan budaya.
Menurut United Nations World Tourism Organisation
(UNWTO, 2012), pariwisata berkelanjutan merupakan pariwisata
yang memperhitungkan secara penuh dampak ekonomi, sosial
dan lingkungan sekarang dan yang akan datang, menjawab
kebutuhan pengunjung, industri (pariwisata), lingkungan dan
komunitas tuan rumah. Pariwisata berkelanjutan merupakan
sebuah proses dan sistem pembangunan pariwisata yang mampu
menjamin keberlangsungan atau keberadaan sumber daya alam,
kehidupan sosial budaya dan ekonomi sehingga tetap mampu
dinikmati oleh generasi yang akan datang. Dengan kata lain,
pariwisata berkelanjutan mampu memberikan manfaat jangka
panjang kepada perekonomian lokal tanpa merusak lingkungan.
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.

Prinsip-prinsip keberlanjutan mengacu kepada


keseimbangan dan penjaminan keberlanjutan antar dimensi
lingkungan, ekonomi dan sosio-budaya dalam pembangunan
kepariwisataan. Untuk itu pariwisata berkelanjutan hendaknya:
(1). Memanfaatkan sumber daya lingkungan yang menjadi
elemen kunci dalam pembangunan kepariwisataan secara
optimal, menjaga proses ekologi penting dan membantu
mengkonservasikan pusaka alam dan keanekaragaman hayati;
(2). Menghormati keotentikan sosio-budaya dan komunitas tuan
rumah, melestarikan pusaka buatan dan kehidupan budaya masa
kini, nilai nilai tradisional, dan berkontribusi terhadap
pemahaman antar budaya dan toleransi; (3). Memastikan
berlangsungnya operasi jangka panjang, yang memberikan
manfaat sosio-ekonomi kepada semua pemangku kepentingan
yang terdistribusi secara berkeadilan. Di sisi lain, pariwisata
berkelanjutan juga harus menjaga tingkat kepuasan wisatawan
yang tinggi dan menjamin pengalaman yang penuh makna bagi
wisatawan. Salah satu mekanisme dari pariwisata berkelanjutan
adalah ekowisata.
Ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh The Ecotourism
Society (TIES) sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area
alami yang dilakukan dengan tujuan untuk mengkonservasi
lingkungan serta menyejahterakan masyarakat (Latupapua,
2011). TIES mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan
bertanggung jawab untuk menikmati keindahan alam dengan
menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal. Soetopo (2007) menjelaskan bahwa kegiatan
ekowisata mengarahkan wisatawan untuk menghargai dan
mencintai kekayaan alam dan budaya masyarakat lokal. Oleh
karena itu, kegiatan ekowisata mampu menumbuhkan kesadaran
dan kecintaan, serta peran aktif untuk memelihara pelestarian
lingkungan, sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal.
Setiap wisatawan tentunya menginginkan informasi tentang
potensi daya tarik wisata yang dikunjungi. Salah satu unsur
pelaksana pariwisata di lapangan yang berperan penting dalam

53
pemberian informasi dan penjelasan mengenai upaya pelestarian
alam dan budaya adalah pramuwisata. Dalam suatu perjalanan
wisata, pramuwisata menjadi ujung tombak pelayanan karena
berinteraksi secara langsung dengan wisatawan. Informasi yang
ada di balik setiap daya tarik wisata alam dan budaya tidak dapat
tersampaikan secara lengkap tanpa adanya peran pramuwisata.
Untuk menjembatani informasi yang dimiliki oleh daya tarik
wisata dengan wisatawan maka dibutuhkan jasa pramuwisata. Di
Indonesia, wadah yang menghimpun pramuwisata resmi adalah
Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI). Struktur HPI terdiri
atas Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Daerah
(DPW) untuk wilayah tingkat I provinsi, serta Dewan Pimpinan
Cabang (DPC) untuk wilayah tingkat II kota/kabupaten.
Dalam konteks ekowisata, peran pramuwisata menjadi
penting dalam menyampaikan informasi yang dapat
menumbuhkan kecintaan dan apresiasi terhadap daya tarik wisata
yang dikunjunginya. Untuk itu timbul kebutuhan tuntutan
profesionalisme di bidang kepemanduan ekowisata. Dalam Surat
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor KEP. 57/MEN/III/2009 tentang Penetapan
SKKNI Bidang Kepemanduan Wisata dijelaskan bahwa
kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pramuwisata di
antaranya yaitu mengembangkan materi penafsiran untuk
kegiatan ekowisata. Agar mampu memberikan pendidikan dan
pengalaman wisata yang selaras dengan prinsip-prinsip
ekowisata, maka persepsi pramuwisata terhadap prinsip inti
ekowisata menjadi penting untuk diteliti.

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh
pramuwisata DKI Jakarta?
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.

Tinjauan Pustaka
Pramuwisata
Pramuwisata adalah orang pertama yang diajak bicara oleh
wisatawan dan seringkali melihat pemandu wisata sebagai wakil
atau representasi dari suatu tempat (Cole, 2008). Oleh karena itu
pramuwisata sering disebut juga sebagai duta negara
(ambassador of a country). Undang-Undang Republik Indonesia
No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan bahwa
pramuwisata termasuk dalam jenis-jenis usaha jasa pariwisata.
Hal ini menunjukkan bahwa pramuwisata memiliki peran penting
dalam pelayanan bagi wisatawan. Pramuwisata adalah seorang
yang dipekerjakan untuk menemani wisatawan dan memberikan
informasi tentang obyek atau tempat-tempat yang menarik untuk
dikunjungi di wilayah NKRI (Jumail, 2017).
Menurut World Federation of Tour Guide Association
(WFTGA, 2003), pramuwisata adalah seseorang yang memiliki
kualifikasi sesuai dengan area lisensinya berada, untuk memandu
pengunjung dalam bahasa pilihannya dan menginterpretasikan
peninggalan budaya dan alam di suatu daerah. WFTGA dalam hal
ini menyatakan bahwa area kekuasaan pramuwisata harus sesuai
dengan lisensi yang dimilikinya. Stanton dalam Jumail (2017)
juga menegaskan mengenai lisensi ini dengan menyatakan bahwa
pramuwisata harus memiliki lisensi. Selain itu disebutkan juga
bahwa pramuwisata harus mampu memahami keinginan
wisatawan, mengetahui rute-rute wisata, dan tidak hanya
memberi informasi tetapi harus mampu menghibur wisatawan.
Setiap pramuwisata resmi wajib memiliki lisensi yang dapat
diperoleh dengan mengikuti Program Pendidikan dan Pelatihan
(Diklat) Profesi Bidang Kepariwisataan yang dilaksanakan setiap
tahun oleh dinas pariwisata di setiap provinsi di wilayah
Indonesia. Untuk Provinsi DKI Jakarta, diklat diselenggarakan
oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta
melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pelatihan dan
Sertifikasi Kepariwisataan (PPSK) yang telah mendapat standar
pelayanan mutu ISO 9901:2008. Program Diklat Pramuwisata
terbagi atas beberapa tahapan jenjang atau tingkatan. Peserta

55
Diklat yang lulus berhak memegang Sertifikat dan Lisensi
Pramuwisata berdasarkan jenjang atau tingkatan sesuai dengan
program Diklat yang telah diikutinya (Keputusan Menteri
Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor
KM.82/PW.102/MPPT-88), yaitu:
1. Pramuwisata Muda / Junior Guide Bagde. Merupakan
pramuwisata yang bertugas di Daerah Tingkat II dalam
wilayah Daerah Tingkat I tempat sertifikat keahliannya
diberikan.
2. Pramuwisata Madya / Senior Guide Bagde. Pramuwisata
madya bertugas dalam wilayah Daerah Tingkat I, tempat
sertifikat keahliannya dikeluarkan. Seorang pramuwisata
muda atau pemula dapat menjadi pramuwisata madya setelah
selama lima tahun aktif menjadi pramuwisata.
3. Pengatur Wisata / Tour leader Bagde.

Tugas pramuwisata sesuai Kepmenparpostel Nomor


KM.82/PW.102/MPPT-88 adalah:
1. Mengantar wisatawan baik rombongan maupun perorangan
yang mengadakan perjalanan dengan transportasi yang
tersedia.
2. Memberikan penjelasan tentang rencana perjalanan dan
obyek wisata, serta memberikan penjelasan mengenai
dokumen perjalanan, akomodasi, transportasi dan fasilitas
wisatawan lainnya.
3. Memberikan petunjuk tentang obyek wisata.
4. Membantu menguruskan barang bawaan wisatawan.
5. Memberikan pertolongan kepada wisatawan yang sakit,
kecelakaan, kehilangan atau musibah lainnya.

Huang et al. (2010) mengatakan bahwa performa


pramuwisata merupakan salah satu faktor terpenting yang
mempengaruhi kepuasan wisatawan. Terdapat tiga faktor yang
membentuk performa pramuwisata, yaitu: (1) penyampaian
layanan, (2) orientasi wisatawan, dan (3) efektivitas komunikasi.
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.

Ekowisata
Di Indonesia, ekowisata mulai menjadi perhatian mulai tahun
2002 yang ditandai dengan penetapan tahun 2002 sebagai tahun
ekowisata dan pegunungan di Indonesia. Ekowisata, yang
merupakan pengembangan dari pariwisata dan pariwisata
berkelanjutan merupakan konsep pengembangan pariwisata yang
berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya
pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan
manfaat ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah setempat
(Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Pengembangan Ekowisata Di Daerah menyebutkan
bahwa Ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang
bertanggung jawab dengan memperhatikan unsur pendidikan,
pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi
sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat
lokal.
Choy dalam Asmara dan Suhirman (2012) menjelaskan
bahwa ekowisata diberi batasan sebagai bentuk dan kegiatan
wisata yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara
ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal serta bagi
kelestarian sumberdaya alam dan pemanfaatan yang
berkelanjutan. Terdapat 5 aspek utama untuk berkembangnya
ekowisata, yaitu (1) adanya keaslian lingkungan alam dan
budaya, (2) keberadaan dan daya dukung masyarakat (3)
pendidikan dan pengalaman, (4) berkelanjutan, dan (5)
kemampuan, manajemen dalam pengelolaan ekowisata. Kegiatan
ekowisata secara langsung maupun tidak langsung mengarahkan
wisatawan untuk menghargai dan mencintai alam serta budaya
lokal sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dan kepedulian
wisatawan untuk turut memelihara pelestarian alam.
Fennel dalam Pamungkas (2013) menyatakan bahwa
ekowisata merupakan wisata berbasis alam yang berkelanjutan
dengan fokus pengalaman dan pendidikan tentang alam, dikelola
dengan sistem pengelolaan tertentu dan memberi dampak negatif

57
paling rendah pada lingkungan, tidak bersifat konsumtif dan
berorientasi lokal, berlokasi di wisata alam dan berkontribusi
pada konservasi atau preservasi lokal. Choy dalam Asmara dan
Suhirman (2012) menjelaskan bahwa ekowisata diberi batasan
sebagai bentuk dan kegiatan wisata yang bertumpu pada
lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi
bagi masyarakat lokal serta bagi kelestarian sumberdaya alam dan
pemanfaatan yang berkelanjutan. Kegiatan ekowisata secara
langsung maupun tidak langsung diharapkan akan mengarahkan
wisatawan untuk menghargai dan mencintai alam, budaya lokal,
sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dan kepedulian
wisatawan untuk turut memelihara pelestarian alam. Selain
bertumpu pada konservasi alam dan budaya lokal, kegiatan
ekowisata harus mampu memberikan manfaat secara
perekonomian bagi masyarakat lokal. Terdapat 5 aspek utama
untuk berkembangnya ekowisata, yaitu (1) adanya keaslian
lingkungan alam dan budaya, (2) keberadaan dan daya dukung
masyarakat (3) pendidikan dan pengalaman, (4) berkelanjutan,
dan (5) kemampuan, manajemen dalam pengelolaan ekowisata.
Page dan Dowling (2002) menjelaskan konsep dasar
ekowisata ke dalam 5 prinsip inti ekowisata sebagai berikut:
1. Nature based (produk dan pasar yang berdasar pada alam).
Pariwisata alam yang berdasar pada lingkungan alam dengan
fokus pada obyek-obyek biologis, fisik, dan budaya. Wisata
alam merupakan bagian atau keseluruhan alam itu sendiri
termasuk unsur-unsur budayanya.
2. Ecologically suistainable (pelaksanaan dan manajemen
berkelanjutan). Dari kegiatan wisata diharapkan tidak terjadi
kerusakan bagi alam atau lingkungan. Berkelanjutan secara
ekologi berarti semua fungsi lingkungan baik biologi, fisik
maupun sosial masih tetap berjalan dnegan baik. Suatu temapt
yang sudah didatangi manusia tidak mungkin untuk tidak
berubah, namun perubahan-perubahan itu harus dapat dijamin
tidak mengganggu fungsi-fungsi ekologis yang seharusnya
terjadi.
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.

3. Environmentally educative (pendidikan lingkungan bagi


pengelola dan pengunjung). Karakteristik pendidikan
lingkungan merupakan unsur kunci yang membedakan
ekowisata dari bentuk wisata lain. Lebih lanjut wisata
diharapkan dapat mengajak wisatawan untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang positif terhadap lingkungan dengan
cara meningkatkan usaha wisatawan untuk lebih peduli
terhadap konservasi atau pelestarian lingkungan. Pendidikan
lingkungan dalam kegiatan wisata dapat mempengaruhi
perilaku wisatawan sekaligus membantu kelestarian di tempat
wisata tersebut.
4. Locally beneficial (bermanfaat untuk masyarakat lokal).
Kegiatan pariwisata diharapkan dapat memberikan manfaat
langsung dan tidak langsung kepada masyarakat lokal.
Misalnya masyarakat terlibat dalam kegiatan pelayanan
terhadap wisatawan, penjualan barang-barang kebutuhan
wisatawan, penyewaan sarana prasarana wisata, dll. Manfaat
tidak langsung misalnya pengetahuan yang dibawa oleh
wisatawan, bertambahnya wawasan dan hubungan dengan
wisatawan, biaya konservasi kawasan dan sebagainya. Selain
itu pelibatan masyarakat lokal akan meningkatkan pengalaman
wisatawan terhadap budaya kebiasaan dan adat masyarakat
lokal. Keuntungan yang didapat oleh masyarakat lokal dapat
juga digunakan sebagai biaya konservasi sehingga kelestarian
kawasan dapat tetap terjaga.
5. Generates tourist satisfaction (memberikan kepuasan bagi
wisatawan). Wisatawan akan merasa puas jika segala hal yang
dibutuhkan selama kegiatan wisata dapat terpenuhi dengan
baik dan memperoleh pengalaman berwisata secara optimal.

Tujuan ekowisata dapat dicapai melalui penggunaan


interpretasi dalam kepemanduan wisata. Interpretasi merupakan
suatu pendekatan untuk mengkomunikasikan pesan terutama di
kawasan konservasi alam dan lingkungan, seperti di taman
nasional, hutan lindung, museum, kebun binatang dan kebun raya
(Ham, 1992). Interpretasi tidak hanya menyediakan informasi,

59
tetapi juga mengembangkan pemahaman dan apresiasi terhadap
sumber daya alam dan lingkungan serta membantu mengelola
dampak dari wisatawan terhadap sumber daya tersebut (Eagles,
McCool, & Haynes, 2002). Interpretasi terhadap lingkungan dan
alam budaya lokal, dan warisan budaya serta penjelasan
mengenai perilaku yang sesuai saat berkunjung harus
disampaikan kepada wisatawan. Berbagai penelitian terkini
menyebutkan bahwa pramuwisata memiliki peran yang lebih
dalam ekowisata dan wisata alam, antara lain dalam interpretasi
kawasan, serta memotivasi wisatawan untuk mengubah
perilakunya agar dapat meminimalisir dampak negatif pada daya
tarik wisata.

Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)


Bidang Kepemanduan Wisata
Undang-Undang Kepariwisataan No 10 tahun 2009 tentang
Kepariwisataan menjelaskan bahwa kompetensi merupakan
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus
dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pekerja pariwisata,
pelayanan, dan pengelolaan kepariwisataan. Pengetahuan
(knowledge) adalah hasil penginderaaan manusia atau hasil tahu
seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya.
Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sampai dengan
menghasilkan pengetahuan dipengaruhi oleh intensitas perhatian
dan persepsi terhadap obyek. Pengetahuan dipengaruhi oleh: 1)
tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
akan lebih mudah menerima dan menyerap hal-hal baru; 2) usia,
semakin cukup usia seseorang akan semakin matang dan dewasa
dalam berpikir dan bekerja; 3) pengalaman, dapat dijadikan
sumber pengetahuan dan dasar untuk menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Keterampilan (skill) merupakan aplikasi dari
pengetahuan sehingga tingkat keterampilan seseorang berkaitan
dengan tingkat pengetahuan (Notoatmodjo, 2012). Perilaku/sikap
(attitude) adalah tingkatan afeksi baik yang bersifat positif
maupun negatif dalam hubungannya dengan obyek psikologi.
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.

Sikap juga diartikan sebagai suatu konstruk untuk


memungkinkan terlihatnya suatu aktifitas (Mar’ad, 2001).
Untuk memperoleh pramuwisata yang berkualitas maka
pemenuhan kompetensi pramuwisata harus dilakukan. Agar
kompetensi pramuwisata di seluruh Indonesia terjaga kualitasnya
maka acuan kompetensi mengacu pada Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang kepemanduan wisata.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pramuwisata
juga dituntut memiliki kompetensi yang terkait dengan prinsip-
prinsip ekowisata. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.
57/MEN/III/2009 tentang Penetapan SKKNI Bidang
Kepemanduan Wisata, di dalam unit kompetensi fungsional
pemandu wisata terdapat unit kompetensi terkait ekowisata yang
harus dimiliki oleh seorang pramuwisata, yaitu melakukan
kegiatan yang bersifat interpretasi, mengembangkan materi
penafsiran untuk kegiatan ekowisata, meneliti dan membagi
informasi umum tentang kebudayaan etnik Indonesia serta
menginterprestasikan aspek budaya etnik lokal Indonesia.

PRAMUWISATA TOUR LEADER


PENGGOLONGAN
BERDASARKAN
SKKNI

PENGGOLONGAN Pramuwisata Muda Pramuwisata Madya Tour Leader


BERDASARKAN
HIMPUNAN
PRAMUWISATA
INDONESIA (HPI)
Pelatihan & Lisensi Pelatihan & Lisensi Pelatihan & Lisensi
Pramuwisata Muda Pramuwisata Madya Tour Leader

Gambar 1 Jenjang Pramuwisata Berdasarkan Lisensi dan


SKKNI

61
Pada Gambar 1 terlihat bentuk jenjang pramuwisata sesuai
dengan lisensi yang dimiliki oleh anggota HPI dan jenjang
pramuwisata berdasarkan SKKNI. Lisensi diperoleh oleh
pramuwisata setelah mengikuti pelatihan dan ujian sesuai dengan
level yang ada agar dapat bertugas di wilayah sesuai lisensinya.
Kemudian agar kemampuannya diakui maka pramuwisata
tersebut mengikuti uji kompetensi sesuai dengan kualifikasi
SKKNI.

Metodologi Penelitian
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan merupakan metode
deskriptif, yaitu metode penelitian yang dipergunakan untuk
memberikan gambaran berdasarkan data-data atau fenomena-
fenomena yang ada.

Teknik Pengumpulan Data


Dalam kegiatan penelitian ini digunakan dua jenis teknik
pengumpulan data yaitu angket dan studi kepustakaan. Butir
angket dikembangkan berdasarkan 5 prinsip inti ekowisata (Page
dan Dowling, 2002). Dari setiap indikator selanjutnya akan
dikembangkan ke dalam 5 butir pernyataan yang bersifat
favorable items. Pilihan jawaban pernyataan disusun ke dalam 5
alternatif jawaban, yang terdiri atas selalu (SL) dengan bobot 5,
sering (SR) dengan bobot 4, jarang (JR) dengan bobot 3, kadang-
kadang (KD) dengan bobot 2, dan tidak pernah (TP) dengan bobot
1.

Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat penelitian dilaksanakan di Himpunan Pramuwisata
Indonesia (HPI) DPD DKI Jakarta. Penelitian dilaksanakan
selama kurun waktu Maret sampai dengan Mei 2018.

Populasi & Sampel


Dalam penelitian ini, populasi target penelitian adalah
seluruh pramuwisata yang terdaftar sebagai anggota HPI DKI
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.

Jakarta sampai dengan bulan Juni 2018 berjumlah 132 orang.


Sedangkan penetapan sampel menggunakan ketentuan besaran
sampel (n) paling sedikit empat atau lima kali banyaknya variabel
(Supranto, 2010). Responden penelitian adalah 71 pramuwisata,
yang ditetapkan berdasarkan accidental sampling technique.

Teknik Analisa Data


Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa penerapan
prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata anggota HPI Jakarta.
Data dianalisa dengan menggunakan nilai rata-rata (mean) untuk
mendapatkan hasil penilaian penerapan prinsip ekowisata. Untuk
beberapa kriteria profil responden, yaitu jenjang pramuwisata dan
masa kerja digunakan juga non parametric analysis Mann
Whitney dan Kruskal Wallis, dengan bantuan software SPSS ver.
21.00 untuk mengetahui apakah ada perbedaan penerapan oleh
pramuwisata ditinjau dari jenjang dan masa kerja.

Pembahasan
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
Draf angket ditelaah secara terbatas kepada 20 orang
responden untuk uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas
dilakukan untuk menilai kesesuaian butir pernyataan dengan
indikator. Pengujian dilakukan dengan menggunakan rumus
Pearson Product Moment dengan software SPSS ver 21.0. Hasil
pengujian validitas menunjukkan bahwa seluruh butir dalam
angket memiliki nilai koefisien korelasi >0.444. Maknanya
adalah seluruh butir valid karena mampu mengukur apa yang
seharusnya diukur (Widoyoko, 2012).
Seluruh butir selanjutnya digunakan dalam uji reliabilitas.
Hasil uji reliabilitas menunjukkan perolehan nilai α = 0.883 atau
>0.7. Dengan demikian angket dinyatakan reliabel, sehingga
dapat digunakan dalam pengumpulan data penelitian (Widoyoko,
2012).

63
Profil Responden
Pada Tabel 1 digambarkan profil responden. Secara umum,
berdasarkan jenis kelamin dapat dikatakan jumlah pramuwisata
pria dan wanita tidak terlalu berbeda, yaitu 56% pria dan 44%
wanita. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa dunia kepemanduan
wisata tidak memiliki batasan gender, dan diisi baik oleh pria
maupun wanita. Selain itu, perkembangan dunia pariwisata yang
semakin global menuntut pramuwisata selalu meningkatkan
kapasitas dirinya termasuk dalam hal pendidikan. Saat ini jumlah
pramuwisata anggota HPI Jakarta yang memiliki jenjang
pendidikan tinggi (D3 dan sarjana) mendominasi yaitu sebesar
yaitu 69%.
Bidang kerja pramuwisata semakin diminati dan menjadi
pilihan profesi. Hal ini dibuktikan dari kategori usia di mana usia
produktif di atas 25 tahun s.d. 55 tahun menunjukkan jumlah
terbesar yaitu 76%. Sementara sisanya sedikit berada pada
kategori usia di bawah 25 tahun (14%) dan di atas 55 tahun
(10%). Profesi pramuwisata sebagai pilihan bidang kerja juga
ditunjukkan melalui data masa kerja, di mana profesi ini telah
ditekuni selama > 2 tahun oleh 74.65% pramuwisata.

Tabel 1 Profil Responden


n (71) %
Jenis kelamin
Pria 40 56
Wanita 31 44
Tingkat pendidikan
SMA/SMK 22 31
D3 non pariwisata 6 8.45
D3 pariwisata 10 14.08
Sarjana 33 46.47
Usia
17-25 10 14
26-35 11 15
36-45 24 34
46-55 19 27
56-65 7 10
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.

Tabel Lanjutan
Masa kerja
≤ 2 tahun 18 25.35
> 2 tahun 53 74.65
Jenjang lisensi
Pramuwisata muda 31 45
Pramuwisata madya 14 20
Tour leader 26 35
Sumber: Hasil olah data, 2018

Penerapan Prinsip-Prinsip Ekowisata Oleh Pramuwisata


DKI Jakarta
Berdasarkan output olah data diperoleh hasil rata-rata (mean)
penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata DKI
Jakarta sebesar 86.4225, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2
berikut:

Tabel 2 Rata-Rata Penerapan Prinsip Ekowisata


Std.
N Minimum Maximum Mean
Deviation
penerapan prinsip ekowisata 71 60.00 100.00 86.4225 8.65475
Valid N (listwise) 71

Angka di atas diterjemahkan ke dalam garis interval nilai rata-rata


dengan interval frekuensi diperoleh gambaran sebagai berikut:

Gambar 2 Garis Interval Penerapan Prinsip Ekowisata

Dengan nilai rata-rata penerapan prinsip-prinsip ekowisata


oleh pramuwisata sebesar 86.4225 maka angka ini berada pada

65
posisi di antara kategori “sering” dan “selalu” tetapi lebih
mendekati “sering”. Secara umum dapat dijelaskan bahwa dalam
menjalankan tugas pemanduannya pramuwisata DKI Jakarta
sering namun tidak selalu menerapkan prinsip-prinsip ekowisata.
Hasil ini menunjukkan bahwa belum semua pramuwisata
menyadari pentingnya penerapan prinsip ekowisata selama
pramuwisata tersebut bertugas.
Penelaahan lebih lanjut dilakukan dengan uji beda dengan
menggunakan Kruskal Wallis Test berdasarkan tingkat
pendidikan pramuwisata, yang terdiri atas SMA/SMK, D3 non
pariwisata, D3 pariwisata, dan sarjana. Usman (2011)
menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan karyawan
maka akan semakin tinggi kinerja yang ditampilkan. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian empirik yang dilakukan oleh
Wirawan, et al. (2016) yang menyatakan bahwa tingkat
pendidikan dan pengalaman kerja berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja karyawan.
Hipotesis yang diterapkan sebagai berikut:
Ha : Terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh
pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan tingkat pendidikan.
H0 : Tidak terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh
pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan tingkat pendidikan.

Kriteria pengujian yang digunakan adalah jika nilai


signifikansi < 0.05 maka Ha diterima dan H0 ditolak, dan
sebaliknya jika nilai signifikansi > 0.05 maka H0 diterima dan Ha
ditolak. Berkaitan dengan penerapan prinsip-prinsip ekowisata
berdasarkan tingkat pendidikan pramuwisata, pada Tabel 3
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.058 atau > 0.05.

Tabel 3 Hasil Uji Beda Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Penerapan prinsip ekowisata
Chi-Square 7.481
Df 3
Asymp. Sig. .058
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: tingkat pendidikan
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.

Tabel 3 menunjukkan hasil bahwa pada penelitian ini tingkat


pendidikan pramuwisata DKI Jakarta tidak memberikan
perbedaan yang signifikan terhadap penerapan prinsip-prinsip
ekowisata oleh pramuwisata. Hal ini dibuktikan dengan hasil nilai
signifikansi sebesar 0.058 atau > 0.05. Hasil ini tidak mendukung
penelitian sebelumnya oleh Wirawan et al. (2016).
Selanjutnya dilakukan analisa dengan menghitung nilai rata-
rata (mean) penerapan prinsip ekowisata berdasarkan tingkat
pendidikan yang hasilnya ditampilkan pada Tabel 4. Hasil olah
data menunjukkan bahwa nilai rata-rata penerapan prinsip
ekowisata berdasarkan tingkat pendidikan sebesar 86.42.

Tabel 4 Nilai Rata-Rata Berdasarkan Tingkat Pendidikan


N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
penerapan prinsip
71 86.42 8.65475 60.00 100.00
ekowisata
tingkat pendidikan 71 2.7606 1.32519 1.00 4.00

Gambar 3 memperlihatkan nilai rata-rata tersebut ketika


diterjemahkan ke dalam garis interval. Posisi penerapan prinsip
ekowisata berdasarkan tingkat pendidikan berada pada kategori
di antara “sering” dan “selalu”, tetapi lebih mendekati “sering”.

Gambar 3 Garis interval nilai rata-rata berdasarkan tingkat


pendidikan

Telaah penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh


pramuwisata DKI Jakarta dilakukan juga berdasarkan jenjang
lisensi (pramuwisata muda, pramuwisata madya, tour leader),
dengan hipotesis sebagai berikut:
Ha : Terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh
pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan jenjang lisensi.

67
H0 : Tidak terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh
pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan jenjang lisensi.

Kriteria pengujian yang digunakan adalah jika nilai


signifikansi < 0.05 maka Ha diterima dan H0 ditolak, dan
sebaliknya jika nilai signifikansi > 0.05 maka H0 diterima dan Ha
ditolak. Berkaitan dengan penerapan prinsip-prinsip ekowisata
berdasarkan jenjang pramuwisata, pada Tabel 5 diperoleh nilai
signifikansi sebesar 0.007 atau < 0.05, yang menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata di antara ketiga
kelompok pramuwisata berdasarkan jenjang lisensinya.

Tabel 5 Hasil Uji Beda Berdasarkan Jenjang Lisensi


Penerapan Prinsip Ekowisata
Chi-Square 10.022
Df 2
Asymp. Sig. .007
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: penggolongan

Telaah lebih lanjut dilakukan dengan menghitung nilai rata-


rata (mean) penerapan prinsip ekowisata berdasarkan jenjang
lisensi yang hasilnya ditampilkan pada Tabel 4. Hasil olah data
menunjukkan bahwa nilai rata-rata penerapan prinsip ekowisata
berdasarkan jenjang secara bertingkat dari nilai terendah yaitu
pramuwisata muda sebesar 83.68, pramuwisata madya sebesar
85.57, dan tour leader sebesar 89.96.

Tabel 6 Nilai Rata-Rata Berdasarkan Jenjang Lisensi


Pramuwisata
Jenjang Pramuwisata Mean N Std. Deviation
Pramuwisata Muda 83.68 31 8.76503
Pramuwisata Madya 85.57 14 7.39765
Tour leader 89.96 26 7.91697
Total 86.35 71 8.57921

Nilai rata-rata tersebut jika diterjemahkan ke dalam garis


interval menunjukkan posisi penerapan prinsip ekowisata oleh
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.

semua jenjang lisensi berada pada kategori di antara “sering” dan


“selalu”, tetapi lebih mendekati “sering”.

Gambar 4 Garis interval nilai rata-rata berdasarkan


jenjang lisensi

Dari Gambar 4 diperoleh hasil frekuensi penerapan prinsip


ekowisata meningkat seiring dengan bertambah tingginya jenjang
lisensi pramuwisata. Pramuwisata dengan lisensi tour leader
lebih sering menerapkan prinsip-prinsip ekowisata selama ia
bertugas dibandingkan dengan rekan-rekan dengan lisensi
pramuwisata madya (urutan kedua) dan pramuwisata muda
(urutan ketiga). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi jenjang
lisensi pramuwisata maka frekuensi penerapan prinsip ekowisata
semakin sering diterapkan. Kendati begitu, performa
pramuwisata yang diharapkan adalah pramuwisata yang selalu
menerapkan prinsip-prinsip ekowisata selama bertugas.
Pramuwisata dengan lisensi pramuwisata muda
menunjukkan jumlah terbesar yaitu 45%, diikuti yang memiliki
lisensi tour leader (35%) dan pramuwisata madya (20%). Jika
ditelusuri lebih lanjut, diperoleh data bahwa dari 31 orang
pemegang lisensi pramuwisata muda ini, 17 orang di antaranya
ternyata telah berprofesi sebagai pramuwisata muda selama ≥ 5
tahun. Sesuai Kepmenparpostel Nomor KM. 82/PW.102/MPPT-
88 yang menyebutkan bahwa setelah bertugas selama 5 tahun
maka pramuwisata muda dapat meningkatkan lisensinya menjadi
pramuwisata madya, maka sebaiknya ke-17 orang ini segera
mengikuti pelatihan dan mengajukan peningkatan lisensi agar
kapasitasnya semakin meningkat.

69
Penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata
juga dianalisa dari masa kerjanya. Dengan hipotesis sebagai
berikut:
Ha : Terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh
pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan masa kerja
H0 : Tidak terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh
pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan masa kerja

Dengan kriteria penilaian yaitu: jika nilai signifikansi < 0.05,


maka Ha diterima dan H0 ditolak, dan sebaliknya jika nilai
signifikansi > 0.05 maka H0 diterima dan Ha ditolak. Dilihat dari
jumlah pramuwisata berdasarkan masa kerja, jumlah terbanyak
ada pada kategori pramuwisata dengan masa kerja lebih dari 2
tahun. Perbandingan antar kelompok pramuwisata berdasarkan
masa kerja menunjukkan adanya perbedaan dalam menerapkan
prinsip-prinsip ekowisata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
signifikansi sebesar 0.002 atau < 0.05, sehingga H0 ditolak dan
Ha diterima.

Tabel 7 Uji Beda Berdasarkan Masa Kerja


Penilaian
Mann-Whitney U 248.000
Wilcoxon W 419.000
Z -3.031
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
a. Grouping Variable: masa_kerja

Nilai rata-rata penerapan prinsip ekowisata berdasarkan


masa kerja ditampilkan pada Tabel 6. Hasil olah data
menunjukkan bahwa nilai rata-rata pramuwisata dengan masa
kerja > 2 tahun memiliki nilai rata-rata sebesar 88.08, sementara
pramuwisata dengan masa kerja ≤ 2 tahun lebih rendah yaitu
81.28.

Tabel 8 Nilai Rata-Rata Berdasarkan Masa Kerja


Masa kerja N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
<= 2 tahun 18 81.28 8.81046 2.07665
penilaian
> 2 tahun 53 88.08 7.85897 1.07951
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.

Hasil di atas jika diterjemahkan ke dalam garis interval


menunjukkan posisi penerapan prinsip ekowisata berdasarkan
masa kerja sebagai berikut:

Gambar 5 Garis Interval Nilai Rata-Rata Berdasarkan


Masa Kerja

Pramuwisata dengan masa kerja >2 tahun menunjukkan nilai


rata-rata yang lebih tinggi (lebih menjauhi “sering”) daripada
pramuwisata dengan masa kerja ≤2 tahun. Artinya pramuwisata
dengan masa kerja >2 tahun lebih sering menerapkan prinsip-
prinsip ekowisata selama ia bertugas. Hasil tersebut didukung
penelitian Kong (2012) yang menjelaskan bahwa pramuwisata
yang memiliki masa kerja lebih dari dua tahun memperoleh
informasi lebih banyak mengenai perlindungan lingkungan
dibandingkan pramuwisata yang masih baru.
Ketika pramuwisata mendapatkan sertifikat kompetensi,
mereka telah dibekali dengan beberapa unit kompetensi yang erat
kaitannya dengan ekowisata, antara lain unit kompetensi
Mengembangkan Materi Penafsiran untuk Kegiatan Ekowisata
dan Melakukan Kegiatan yang bersifat Interpretasi. Oleh karena
itu, setelah mengikuti pelatihan dan sertifikasi kompetensi,
pramuwisata mengetahui bahwa merupakan tugasnya untuk
menyampaikan dan memberi contoh perilaku yang sesuai dengan
prinsip-prinsip ekowisata. Tetapi dari penelitian ini diperoleh
hasil bahwa belum semua pramuwisata menerapkan prinsip-
prinsip ekowisata selama bertugas (sering, tetapi tidak selalu).
Temuan penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh
Kong (2012) yang meneliti pramuwisata di Cina. Ditemukan
bahwa walaupun pramuwisata menyadari bahwa informasi yang
disampaikan dapat mengubah persepsi dan perilaku wisatawan
terhadap lingkungan, tidak semua pramuwisata menyadari

71
sepenuhnya bahwa memberikan pendidikan lingkungan bagi
wisatawan merupakan salah satu tugas mereka.
Untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan interpretasi
ekowisata maka penting bagi pramuwisata untuk meningkatkan
kompetensinya di bidang kepemanduan wisata dengan mengikuti
pelatihan terkait ekowisata. Black dan Ham (2005) mengatakan
bahwa dalam kegiatan pelatihan tersebut perlu ditekankan tiga
peran kunci seorang pramuwisata terkait dengan perilaku sesuai
prinsip ekowisata, yaitu: (1) sebagai seorang pemberi informasi
khusus, (2) sebagai interpreter, dan (3) sebagai motivator untuk
nilai-nilai konservasi dan penerapan perilaku yang bertanggung
jawab terhadap lingkungan. Beberapa penelitian menemukan
bahwa peran pramuwisata utamanya adalah sebagai interpreter,
terutama di lokasi dimana perilaku wisatawan yang tidak sesuai
dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan (Yamada, 2011).
Seperti yang disarankan oleh Christie dan Mason (2003),
pelatihan terhadap pramuwisata seharusnya tidak hanya
meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan pramuwisata tetapi
juga memfasilitasi perubahan pada perilaku atas aktivitas
lingkungan yang bertanggung jawab. Upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan cara: (1) menyelenggarakan kunjungan
bagi pramuwisata ke taman wisata alam, mengundang pakar
untuk memperkenalkan pengetahuan bidang ekowisata, serta
menyelenggarakan lokakarya dan seminar yang memungkinkan
pramuwisata senior untuk berbagi pengalaman dan informasi
mengenai kepemanduan berbasis alam dan lingkungan.
Diharapkan melalui kegiatan-kegiatan ini pramuwisata dapat
meningkatkan ketrampilan interpretasi dan komunikasi terkait
wisata alam dan ekowisata. Pramuwisata senior dapat memotivasi
pramuwisata lainnya untuk berkontribusi terhadap pariwisata
berkelanjutan. (2) memberikan insentif terhadap pramuwisata
yang memiliki performa di atas standar yang ada. Untuk itu,
diperlukan penetapan terhadap standar pengukuran perilaku dan
interpretasi pramuwisata. (3) menyelenggarakan kompetisi bagi
pramuwisata di bidang kepemanduan yang berwawasan
lingkungan (Kong, 2012).
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.

Penelitian yang dilakukan oleh Higham dan Carr (2003)


menunjukkan bahwa wisatawan mengapresiasi interpretasi yang
diberikan oleh pramuwisata dalam rangka meningkatkan
kesadaran terhadap isu-isu lingkungan dan menurunkan dampak
negatif perilaku wisatawan terhadap lingkungan. Wisatawan juga
percaya bahwa kehadiran pramuwisata membantu
meminimalisasi perilaku wisatawan yang kurang sesuai saat
berada di daya tarik wisata. Hal ini menunjukkan bahwa penting
bagi pramuwisata untuk menyadari bahwa peran mereka dalam
menyampaikan interpretasi dapat mempengaruhi kepuasan
wisatawan. Penelitian lain yang mendukung adanya keterkaitan
antara kemampuan interpretasi pramuwisata dengan kepuasan
wisatawan juga diperoleh dari Hiwasaki (2006). Hasil
penelitiannya menjelaskan bahwa ketidakpuasan wisatawan salah
satunya dipengaruhi oleh minimnya pengetahuan pramuwisata
tentang budaya lokal dan wawasan lingkungan.

Penutup
Simpulan dan Saran
Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa secara
umum penerapan prinsip-prinsip ekowisata sering dilakukan oleh
pramuwisata DKI Jakarta dalam menjalankan tugas
pemanduannya, namun belum pada tahapan selalu menerapkan.
Ditemukan juga bahwa tidak ada perbedaan penerapan prinsip
ekowisata oleh pramuwisata berdasarkan tingkat pendidikannya.
Sementara perbedaan muncul pada jenjang lisensi dan masa kerja.
Semakin tinggi jenjang lisensi pramuwisata, dan semakin lama
masa kerjanya, maka pramuwisata semakin sering menerapkan
prinsip-prinsip ekowisata selama bertugas memandu wisatawan.
Mengingat beberapa unit kompetensi fungsional
pramuwisata terkait dengan ekowisata, maka seharusnya prinsip-
prinsip ekowisata harus selalu diterapkan dalam setiap tugas
pemanduan pramuwisata DKI Jakarta. Untuk itu, perlu diberikan
pembekalan tambahan sehingga pramuwisata menyadari bahwa
merupakan kewajibannya untuk selalu menerapkan prinsip-
prinsip ekowisata selama bertugas. Pembekalan tambahan ini

73
juga diharapkan dapat membuat kemampuan pramuwisata terkait
ekowisata lebih meningkat. Selain itu, perlu dipertimbangkan
pemberian insentif dan apresiasi terhadap pramuwisata yang
selalu menerapkan prinsip-prinsip ekowisata selama bertugas.

Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
Asmara, Y. & Suhirman. 2012. Persepsi dan Sikap Masyarakat
Terhadap Kegiatan Ekowisata Kampung Cikidang Desa
Langensari Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung
Barat. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. A SAPPK
V V1N2.
Black, R. and Ham, S. 2005. Improving the quality of tour
guiding: towards a model for tour guide certification.
Journal of Ecotourism, 4:3, 178-195, DOI:
10.1080/14724040608668442. London.
Christie, M.F. and Mason, P.A. 2003. Transformative tour
guiding: Training tour guided to be critically reflective
practitioners. Journal of Ecotourism, 2 (1), 1-16.
Cole, Stroma. 2008. Tourism, Culture and Development: Hopes,
Dreams and Realities in East Indonesia. Clevedon:
Cromwell Press.
Eagles, P. F. J., McCool, S.F., and Haynes, C.D. 2002.
Sustainable Tourism in Protected Areas-Guidelines for
Planning and Management. Gland, Switzerland: IUCN.
Ham, S. H. 1992. Environmental Interpretations: A Practical
Guide for People With Big Ideas and Small Budget.
Golden, CO: North American Press.
Higham. J. E. S., & Carr, A. M. 2003. Sustainable Wildlife
Tourism in New Zealand: An Analysis of Visitor
Experiences. Human Dimensions of Wildlife, 8, 25-36.
Huang, S., Hsu, C. H. C., & Chan, A. 2010. Tour Guide
Performance and Tourist Satisfaction: A Study of
Package Tours in Shanghai. Journal of Hospitality and
Tourism Research, 27(3), 291-309.
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.

Husaini, Usman. 2011. Manajemen: Teori, Praktik dan Riset


Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Jumail, Mohamad. 2017. Teknik Pemanduan Wisata.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Latupapua, Yosefita. 2011. Persepsi Masyarakat Terhadap
Potensi Obyek Daya tarik Wisata Pantai di Kecamatan
Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal
Agroforestri Volume VI Nomor 2 Juni 2011.
Mar’ad. 2001. Sikap Manusia: Perubahan Serta Pengukurannya.
Bandung: Ghalia Indonesia.
Notoatmodjo, S. (2012). Metode Penelitian Kesehatan, edisi
revisi, Rineke Cipta. Jakarta
Kong, Haiyan. (2012). Are Tour Guides in China Ready for
Ecotourism? An Importance–Performance Analysis of
Perceptions and Performances. Asia Pacific Journal of
Tourism Research, 2014 Vol. 19, No. 1, 17–34,
http://dx.doi.org/10.1080/10941665.2012.724018
Page, S. J., & Dowling, R. K. 2002. Ecotourism. Harlow,
England: Prentice Hall, Pearson Education.
Pamungkas, Gilang. 2013. Ekowisata Belum Milik Bersama:
Kapasitas Jejaring Stakeholder dalam Pengelolaan
Ekowisata (Studi Kasus: Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.
24 No. 1, April 2013.
Putra, I Wayan Indra., Suwendra, I Wayan., Bagia, I Wayan.
2016. Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Disilpin Kerja
terhadap Kinerja Karyawan. E-Journal Bisma
Universitas Pendidikan Ganesha, Jurusan Manajemen
Volume 4 Tahun 2016.
Soetopo, Toni. 2007. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
Menghadapi Visit Indonesia Year 2008. Jurnal Komunika
Majalah Ilmiah Komunikasi Dalam Pembangunan ISSN
0126-2491 Volume 10 Nomor 2 Tahun 2007.
Supranto, J. 2010. Statistik Teori dan Aplikasi. Jakarta: UI Press.
Widoyoko. 2012. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian.
Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.

75
Wirawan, Ketut Edy., Bagia, I Wayan., Susila, Gede Putu Agus
Jana. 2016. Pengaruh Tingkat Pendidikan dan
Pengalaman Kerja terhadap Kinerja Karyawan. E-
Journal Bisma Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan
Manajemen. Volume 4 Tahun 2016 1.
Yamada, Naoko (2011). Why Tour Guiding Is Important for
Ecotourism: Enhancing Guiding Quality With The
Ecotourism Promotion Policy in Japan. Asia Pacific
Journal of Tourism Research Vol. 16, No. 2, April 2011.

Undang-Undang dan Peraturan


Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor
KM.82/PW.102/MPPT-88.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor KEP. 57/MEN/III/2009 Tentang
Penetapan SKKNI Bidang Kepemanduan Wisata
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Pengembangan Ekowisata
SKKNI Fungsional BPW. Kementerian Pariwisata RI.
UNWTO. 2012: Definition of Sustainable Tourism. Source:
http://sdt.unwto.org/en/content/p://sdt.unwto.org/en/cont
ent/about-us-5 (diakses 17 Juli 2018).
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
WFTGA. 2003. 10th International Convention: Dunblane, United
Kingdom.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai