net/publication/340396322
CITATIONS READS
0 3,462
2 authors:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Lenny Yusrini on 03 April 2020.
Abstract
The purpose of this study was to know and analyze the
implementation of the ecotourism principles by the DKI Jakarta’s
tourist guides. The study is a survey using a questionnaire
developed by the underlying theories of five ecotourism
principles. In the early stages, theoretical validation was
conducted toward 20 respondents. Validity and reliability test
results showed all items are valid. Data was collected using
simple random sampling technique involving 71 respondents. The
measurement of the implementation used mean score and the
result was then described. Two categories of the respondent
criteria, e.g. the tourist guide level and the working experience
were also analyzed using non parametric analysis Mann Whitney
dan Kruskal Wallis with SPSS ver. 21.00 software. The results
showed that the tourist guides “often” but not “always”
implement the ecotourism principles while on duty. Based on the
tourist guide level and the working experience, it is shown that
there is a significant difference in implementing the ecotourism
principles while on duty.
Keywords: ecotourism, ecotourism principles, tourist guide
Pendahuluan
Latar Belakang
Pariwisata berkelanjutan merupakan sebuah proses dan
sistem pembangunan pariwisata yang mampu menjamin
keberlangsungan atau keberadaan sumber daya alam, kehidupan
sosial budaya, dan ekonomi sehingga sumber daya wisata tetap
dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Dengan kata
51
lain, pariwisata berkelanjutan mampu memberikan manfaat
jangka panjang kepada perekonomian lokal tanpa merusak
lingkungan. Dengan demikian pembangunan dan pengembangan
bidang pariwisata mampu menjaga kelestarian dan mutu
lingkungan hidup, serta peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat. Singkatnya, pembangunan yang
dilakukan merupakan pembangunan pariwisata yang
berkelanjutan (sustainable tourism).
Salah satu bentuk pengelolaan pariwisata berkelanjutan
adalah ekowisata. Pergeseran konsep pengelolaan kepariwisataan
dari wisata massal (mass tourism) ke ekowisata menjadi peluang
bagi meningkatnya perjalanan wisata ke daya tarik wisata alam.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan
keanekaragaman hayati terbesar di dunia dan memiliki suku
bangsa dengan ragam budaya yang sangat besar memiliki potensi
pariwisata alam dan budaya yang harus dipertahankan. Kekayaan
alam dan budaya ini harus terus terjaga kelestariannya sehingga
pengelolaan pariwisata dengan konsep ekowisata sangat sesuai
diterapkan di Indonesia. Pengelolaan pariwisata berkonsep
ekowisata dapat menjadi jawaban untuk pelestarian sumber daya
alam dan budaya yang menjadi modal dasar Indonesia sebagai
salah satu destinasi wisata dunia sekaligus memberikan
pendidikan alam dan lingkungan bagi wisatawan yang
berkunjung ke kawasan wisata alam dan budaya.
Menurut United Nations World Tourism Organisation
(UNWTO, 2012), pariwisata berkelanjutan merupakan pariwisata
yang memperhitungkan secara penuh dampak ekonomi, sosial
dan lingkungan sekarang dan yang akan datang, menjawab
kebutuhan pengunjung, industri (pariwisata), lingkungan dan
komunitas tuan rumah. Pariwisata berkelanjutan merupakan
sebuah proses dan sistem pembangunan pariwisata yang mampu
menjamin keberlangsungan atau keberadaan sumber daya alam,
kehidupan sosial budaya dan ekonomi sehingga tetap mampu
dinikmati oleh generasi yang akan datang. Dengan kata lain,
pariwisata berkelanjutan mampu memberikan manfaat jangka
panjang kepada perekonomian lokal tanpa merusak lingkungan.
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.
53
pemberian informasi dan penjelasan mengenai upaya pelestarian
alam dan budaya adalah pramuwisata. Dalam suatu perjalanan
wisata, pramuwisata menjadi ujung tombak pelayanan karena
berinteraksi secara langsung dengan wisatawan. Informasi yang
ada di balik setiap daya tarik wisata alam dan budaya tidak dapat
tersampaikan secara lengkap tanpa adanya peran pramuwisata.
Untuk menjembatani informasi yang dimiliki oleh daya tarik
wisata dengan wisatawan maka dibutuhkan jasa pramuwisata. Di
Indonesia, wadah yang menghimpun pramuwisata resmi adalah
Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI). Struktur HPI terdiri
atas Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Daerah
(DPW) untuk wilayah tingkat I provinsi, serta Dewan Pimpinan
Cabang (DPC) untuk wilayah tingkat II kota/kabupaten.
Dalam konteks ekowisata, peran pramuwisata menjadi
penting dalam menyampaikan informasi yang dapat
menumbuhkan kecintaan dan apresiasi terhadap daya tarik wisata
yang dikunjunginya. Untuk itu timbul kebutuhan tuntutan
profesionalisme di bidang kepemanduan ekowisata. Dalam Surat
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor KEP. 57/MEN/III/2009 tentang Penetapan
SKKNI Bidang Kepemanduan Wisata dijelaskan bahwa
kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pramuwisata di
antaranya yaitu mengembangkan materi penafsiran untuk
kegiatan ekowisata. Agar mampu memberikan pendidikan dan
pengalaman wisata yang selaras dengan prinsip-prinsip
ekowisata, maka persepsi pramuwisata terhadap prinsip inti
ekowisata menjadi penting untuk diteliti.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh
pramuwisata DKI Jakarta?
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.
Tinjauan Pustaka
Pramuwisata
Pramuwisata adalah orang pertama yang diajak bicara oleh
wisatawan dan seringkali melihat pemandu wisata sebagai wakil
atau representasi dari suatu tempat (Cole, 2008). Oleh karena itu
pramuwisata sering disebut juga sebagai duta negara
(ambassador of a country). Undang-Undang Republik Indonesia
No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan bahwa
pramuwisata termasuk dalam jenis-jenis usaha jasa pariwisata.
Hal ini menunjukkan bahwa pramuwisata memiliki peran penting
dalam pelayanan bagi wisatawan. Pramuwisata adalah seorang
yang dipekerjakan untuk menemani wisatawan dan memberikan
informasi tentang obyek atau tempat-tempat yang menarik untuk
dikunjungi di wilayah NKRI (Jumail, 2017).
Menurut World Federation of Tour Guide Association
(WFTGA, 2003), pramuwisata adalah seseorang yang memiliki
kualifikasi sesuai dengan area lisensinya berada, untuk memandu
pengunjung dalam bahasa pilihannya dan menginterpretasikan
peninggalan budaya dan alam di suatu daerah. WFTGA dalam hal
ini menyatakan bahwa area kekuasaan pramuwisata harus sesuai
dengan lisensi yang dimilikinya. Stanton dalam Jumail (2017)
juga menegaskan mengenai lisensi ini dengan menyatakan bahwa
pramuwisata harus memiliki lisensi. Selain itu disebutkan juga
bahwa pramuwisata harus mampu memahami keinginan
wisatawan, mengetahui rute-rute wisata, dan tidak hanya
memberi informasi tetapi harus mampu menghibur wisatawan.
Setiap pramuwisata resmi wajib memiliki lisensi yang dapat
diperoleh dengan mengikuti Program Pendidikan dan Pelatihan
(Diklat) Profesi Bidang Kepariwisataan yang dilaksanakan setiap
tahun oleh dinas pariwisata di setiap provinsi di wilayah
Indonesia. Untuk Provinsi DKI Jakarta, diklat diselenggarakan
oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta
melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pelatihan dan
Sertifikasi Kepariwisataan (PPSK) yang telah mendapat standar
pelayanan mutu ISO 9901:2008. Program Diklat Pramuwisata
terbagi atas beberapa tahapan jenjang atau tingkatan. Peserta
55
Diklat yang lulus berhak memegang Sertifikat dan Lisensi
Pramuwisata berdasarkan jenjang atau tingkatan sesuai dengan
program Diklat yang telah diikutinya (Keputusan Menteri
Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor
KM.82/PW.102/MPPT-88), yaitu:
1. Pramuwisata Muda / Junior Guide Bagde. Merupakan
pramuwisata yang bertugas di Daerah Tingkat II dalam
wilayah Daerah Tingkat I tempat sertifikat keahliannya
diberikan.
2. Pramuwisata Madya / Senior Guide Bagde. Pramuwisata
madya bertugas dalam wilayah Daerah Tingkat I, tempat
sertifikat keahliannya dikeluarkan. Seorang pramuwisata
muda atau pemula dapat menjadi pramuwisata madya setelah
selama lima tahun aktif menjadi pramuwisata.
3. Pengatur Wisata / Tour leader Bagde.
Ekowisata
Di Indonesia, ekowisata mulai menjadi perhatian mulai tahun
2002 yang ditandai dengan penetapan tahun 2002 sebagai tahun
ekowisata dan pegunungan di Indonesia. Ekowisata, yang
merupakan pengembangan dari pariwisata dan pariwisata
berkelanjutan merupakan konsep pengembangan pariwisata yang
berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya
pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan
manfaat ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah setempat
(Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Pengembangan Ekowisata Di Daerah menyebutkan
bahwa Ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang
bertanggung jawab dengan memperhatikan unsur pendidikan,
pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi
sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat
lokal.
Choy dalam Asmara dan Suhirman (2012) menjelaskan
bahwa ekowisata diberi batasan sebagai bentuk dan kegiatan
wisata yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara
ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal serta bagi
kelestarian sumberdaya alam dan pemanfaatan yang
berkelanjutan. Terdapat 5 aspek utama untuk berkembangnya
ekowisata, yaitu (1) adanya keaslian lingkungan alam dan
budaya, (2) keberadaan dan daya dukung masyarakat (3)
pendidikan dan pengalaman, (4) berkelanjutan, dan (5)
kemampuan, manajemen dalam pengelolaan ekowisata. Kegiatan
ekowisata secara langsung maupun tidak langsung mengarahkan
wisatawan untuk menghargai dan mencintai alam serta budaya
lokal sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dan kepedulian
wisatawan untuk turut memelihara pelestarian alam.
Fennel dalam Pamungkas (2013) menyatakan bahwa
ekowisata merupakan wisata berbasis alam yang berkelanjutan
dengan fokus pengalaman dan pendidikan tentang alam, dikelola
dengan sistem pengelolaan tertentu dan memberi dampak negatif
57
paling rendah pada lingkungan, tidak bersifat konsumtif dan
berorientasi lokal, berlokasi di wisata alam dan berkontribusi
pada konservasi atau preservasi lokal. Choy dalam Asmara dan
Suhirman (2012) menjelaskan bahwa ekowisata diberi batasan
sebagai bentuk dan kegiatan wisata yang bertumpu pada
lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi
bagi masyarakat lokal serta bagi kelestarian sumberdaya alam dan
pemanfaatan yang berkelanjutan. Kegiatan ekowisata secara
langsung maupun tidak langsung diharapkan akan mengarahkan
wisatawan untuk menghargai dan mencintai alam, budaya lokal,
sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dan kepedulian
wisatawan untuk turut memelihara pelestarian alam. Selain
bertumpu pada konservasi alam dan budaya lokal, kegiatan
ekowisata harus mampu memberikan manfaat secara
perekonomian bagi masyarakat lokal. Terdapat 5 aspek utama
untuk berkembangnya ekowisata, yaitu (1) adanya keaslian
lingkungan alam dan budaya, (2) keberadaan dan daya dukung
masyarakat (3) pendidikan dan pengalaman, (4) berkelanjutan,
dan (5) kemampuan, manajemen dalam pengelolaan ekowisata.
Page dan Dowling (2002) menjelaskan konsep dasar
ekowisata ke dalam 5 prinsip inti ekowisata sebagai berikut:
1. Nature based (produk dan pasar yang berdasar pada alam).
Pariwisata alam yang berdasar pada lingkungan alam dengan
fokus pada obyek-obyek biologis, fisik, dan budaya. Wisata
alam merupakan bagian atau keseluruhan alam itu sendiri
termasuk unsur-unsur budayanya.
2. Ecologically suistainable (pelaksanaan dan manajemen
berkelanjutan). Dari kegiatan wisata diharapkan tidak terjadi
kerusakan bagi alam atau lingkungan. Berkelanjutan secara
ekologi berarti semua fungsi lingkungan baik biologi, fisik
maupun sosial masih tetap berjalan dnegan baik. Suatu temapt
yang sudah didatangi manusia tidak mungkin untuk tidak
berubah, namun perubahan-perubahan itu harus dapat dijamin
tidak mengganggu fungsi-fungsi ekologis yang seharusnya
terjadi.
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.
59
tetapi juga mengembangkan pemahaman dan apresiasi terhadap
sumber daya alam dan lingkungan serta membantu mengelola
dampak dari wisatawan terhadap sumber daya tersebut (Eagles,
McCool, & Haynes, 2002). Interpretasi terhadap lingkungan dan
alam budaya lokal, dan warisan budaya serta penjelasan
mengenai perilaku yang sesuai saat berkunjung harus
disampaikan kepada wisatawan. Berbagai penelitian terkini
menyebutkan bahwa pramuwisata memiliki peran yang lebih
dalam ekowisata dan wisata alam, antara lain dalam interpretasi
kawasan, serta memotivasi wisatawan untuk mengubah
perilakunya agar dapat meminimalisir dampak negatif pada daya
tarik wisata.
61
Pada Gambar 1 terlihat bentuk jenjang pramuwisata sesuai
dengan lisensi yang dimiliki oleh anggota HPI dan jenjang
pramuwisata berdasarkan SKKNI. Lisensi diperoleh oleh
pramuwisata setelah mengikuti pelatihan dan ujian sesuai dengan
level yang ada agar dapat bertugas di wilayah sesuai lisensinya.
Kemudian agar kemampuannya diakui maka pramuwisata
tersebut mengikuti uji kompetensi sesuai dengan kualifikasi
SKKNI.
Metodologi Penelitian
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan merupakan metode
deskriptif, yaitu metode penelitian yang dipergunakan untuk
memberikan gambaran berdasarkan data-data atau fenomena-
fenomena yang ada.
Pembahasan
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
Draf angket ditelaah secara terbatas kepada 20 orang
responden untuk uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas
dilakukan untuk menilai kesesuaian butir pernyataan dengan
indikator. Pengujian dilakukan dengan menggunakan rumus
Pearson Product Moment dengan software SPSS ver 21.0. Hasil
pengujian validitas menunjukkan bahwa seluruh butir dalam
angket memiliki nilai koefisien korelasi >0.444. Maknanya
adalah seluruh butir valid karena mampu mengukur apa yang
seharusnya diukur (Widoyoko, 2012).
Seluruh butir selanjutnya digunakan dalam uji reliabilitas.
Hasil uji reliabilitas menunjukkan perolehan nilai α = 0.883 atau
>0.7. Dengan demikian angket dinyatakan reliabel, sehingga
dapat digunakan dalam pengumpulan data penelitian (Widoyoko,
2012).
63
Profil Responden
Pada Tabel 1 digambarkan profil responden. Secara umum,
berdasarkan jenis kelamin dapat dikatakan jumlah pramuwisata
pria dan wanita tidak terlalu berbeda, yaitu 56% pria dan 44%
wanita. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa dunia kepemanduan
wisata tidak memiliki batasan gender, dan diisi baik oleh pria
maupun wanita. Selain itu, perkembangan dunia pariwisata yang
semakin global menuntut pramuwisata selalu meningkatkan
kapasitas dirinya termasuk dalam hal pendidikan. Saat ini jumlah
pramuwisata anggota HPI Jakarta yang memiliki jenjang
pendidikan tinggi (D3 dan sarjana) mendominasi yaitu sebesar
yaitu 69%.
Bidang kerja pramuwisata semakin diminati dan menjadi
pilihan profesi. Hal ini dibuktikan dari kategori usia di mana usia
produktif di atas 25 tahun s.d. 55 tahun menunjukkan jumlah
terbesar yaitu 76%. Sementara sisanya sedikit berada pada
kategori usia di bawah 25 tahun (14%) dan di atas 55 tahun
(10%). Profesi pramuwisata sebagai pilihan bidang kerja juga
ditunjukkan melalui data masa kerja, di mana profesi ini telah
ditekuni selama > 2 tahun oleh 74.65% pramuwisata.
Tabel Lanjutan
Masa kerja
≤ 2 tahun 18 25.35
> 2 tahun 53 74.65
Jenjang lisensi
Pramuwisata muda 31 45
Pramuwisata madya 14 20
Tour leader 26 35
Sumber: Hasil olah data, 2018
65
posisi di antara kategori “sering” dan “selalu” tetapi lebih
mendekati “sering”. Secara umum dapat dijelaskan bahwa dalam
menjalankan tugas pemanduannya pramuwisata DKI Jakarta
sering namun tidak selalu menerapkan prinsip-prinsip ekowisata.
Hasil ini menunjukkan bahwa belum semua pramuwisata
menyadari pentingnya penerapan prinsip ekowisata selama
pramuwisata tersebut bertugas.
Penelaahan lebih lanjut dilakukan dengan uji beda dengan
menggunakan Kruskal Wallis Test berdasarkan tingkat
pendidikan pramuwisata, yang terdiri atas SMA/SMK, D3 non
pariwisata, D3 pariwisata, dan sarjana. Usman (2011)
menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan karyawan
maka akan semakin tinggi kinerja yang ditampilkan. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian empirik yang dilakukan oleh
Wirawan, et al. (2016) yang menyatakan bahwa tingkat
pendidikan dan pengalaman kerja berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja karyawan.
Hipotesis yang diterapkan sebagai berikut:
Ha : Terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh
pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan tingkat pendidikan.
H0 : Tidak terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh
pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan tingkat pendidikan.
67
H0 : Tidak terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh
pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan jenjang lisensi.
69
Penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata
juga dianalisa dari masa kerjanya. Dengan hipotesis sebagai
berikut:
Ha : Terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh
pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan masa kerja
H0 : Tidak terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh
pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan masa kerja
71
sepenuhnya bahwa memberikan pendidikan lingkungan bagi
wisatawan merupakan salah satu tugas mereka.
Untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan interpretasi
ekowisata maka penting bagi pramuwisata untuk meningkatkan
kompetensinya di bidang kepemanduan wisata dengan mengikuti
pelatihan terkait ekowisata. Black dan Ham (2005) mengatakan
bahwa dalam kegiatan pelatihan tersebut perlu ditekankan tiga
peran kunci seorang pramuwisata terkait dengan perilaku sesuai
prinsip ekowisata, yaitu: (1) sebagai seorang pemberi informasi
khusus, (2) sebagai interpreter, dan (3) sebagai motivator untuk
nilai-nilai konservasi dan penerapan perilaku yang bertanggung
jawab terhadap lingkungan. Beberapa penelitian menemukan
bahwa peran pramuwisata utamanya adalah sebagai interpreter,
terutama di lokasi dimana perilaku wisatawan yang tidak sesuai
dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan (Yamada, 2011).
Seperti yang disarankan oleh Christie dan Mason (2003),
pelatihan terhadap pramuwisata seharusnya tidak hanya
meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan pramuwisata tetapi
juga memfasilitasi perubahan pada perilaku atas aktivitas
lingkungan yang bertanggung jawab. Upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan cara: (1) menyelenggarakan kunjungan
bagi pramuwisata ke taman wisata alam, mengundang pakar
untuk memperkenalkan pengetahuan bidang ekowisata, serta
menyelenggarakan lokakarya dan seminar yang memungkinkan
pramuwisata senior untuk berbagi pengalaman dan informasi
mengenai kepemanduan berbasis alam dan lingkungan.
Diharapkan melalui kegiatan-kegiatan ini pramuwisata dapat
meningkatkan ketrampilan interpretasi dan komunikasi terkait
wisata alam dan ekowisata. Pramuwisata senior dapat memotivasi
pramuwisata lainnya untuk berkontribusi terhadap pariwisata
berkelanjutan. (2) memberikan insentif terhadap pramuwisata
yang memiliki performa di atas standar yang ada. Untuk itu,
diperlukan penetapan terhadap standar pengukuran perilaku dan
interpretasi pramuwisata. (3) menyelenggarakan kompetisi bagi
pramuwisata di bidang kepemanduan yang berwawasan
lingkungan (Kong, 2012).
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.
Penutup
Simpulan dan Saran
Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa secara
umum penerapan prinsip-prinsip ekowisata sering dilakukan oleh
pramuwisata DKI Jakarta dalam menjalankan tugas
pemanduannya, namun belum pada tahapan selalu menerapkan.
Ditemukan juga bahwa tidak ada perbedaan penerapan prinsip
ekowisata oleh pramuwisata berdasarkan tingkat pendidikannya.
Sementara perbedaan muncul pada jenjang lisensi dan masa kerja.
Semakin tinggi jenjang lisensi pramuwisata, dan semakin lama
masa kerjanya, maka pramuwisata semakin sering menerapkan
prinsip-prinsip ekowisata selama bertugas memandu wisatawan.
Mengingat beberapa unit kompetensi fungsional
pramuwisata terkait dengan ekowisata, maka seharusnya prinsip-
prinsip ekowisata harus selalu diterapkan dalam setiap tugas
pemanduan pramuwisata DKI Jakarta. Untuk itu, perlu diberikan
pembekalan tambahan sehingga pramuwisata menyadari bahwa
merupakan kewajibannya untuk selalu menerapkan prinsip-
prinsip ekowisata selama bertugas. Pembekalan tambahan ini
73
juga diharapkan dapat membuat kemampuan pramuwisata terkait
ekowisata lebih meningkat. Selain itu, perlu dipertimbangkan
pemberian insentif dan apresiasi terhadap pramuwisata yang
selalu menerapkan prinsip-prinsip ekowisata selama bertugas.
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
Asmara, Y. & Suhirman. 2012. Persepsi dan Sikap Masyarakat
Terhadap Kegiatan Ekowisata Kampung Cikidang Desa
Langensari Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung
Barat. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. A SAPPK
V V1N2.
Black, R. and Ham, S. 2005. Improving the quality of tour
guiding: towards a model for tour guide certification.
Journal of Ecotourism, 4:3, 178-195, DOI:
10.1080/14724040608668442. London.
Christie, M.F. and Mason, P.A. 2003. Transformative tour
guiding: Training tour guided to be critically reflective
practitioners. Journal of Ecotourism, 2 (1), 1-16.
Cole, Stroma. 2008. Tourism, Culture and Development: Hopes,
Dreams and Realities in East Indonesia. Clevedon:
Cromwell Press.
Eagles, P. F. J., McCool, S.F., and Haynes, C.D. 2002.
Sustainable Tourism in Protected Areas-Guidelines for
Planning and Management. Gland, Switzerland: IUCN.
Ham, S. H. 1992. Environmental Interpretations: A Practical
Guide for People With Big Ideas and Small Budget.
Golden, CO: North American Press.
Higham. J. E. S., & Carr, A. M. 2003. Sustainable Wildlife
Tourism in New Zealand: An Analysis of Visitor
Experiences. Human Dimensions of Wildlife, 8, 25-36.
Huang, S., Hsu, C. H. C., & Chan, A. 2010. Tour Guide
Performance and Tourist Satisfaction: A Study of
Package Tours in Shanghai. Journal of Hospitality and
Tourism Research, 27(3), 291-309.
Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di
Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”.
Jakarta, 21 November 2018.
75
Wirawan, Ketut Edy., Bagia, I Wayan., Susila, Gede Putu Agus
Jana. 2016. Pengaruh Tingkat Pendidikan dan
Pengalaman Kerja terhadap Kinerja Karyawan. E-
Journal Bisma Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan
Manajemen. Volume 4 Tahun 2016 1.
Yamada, Naoko (2011). Why Tour Guiding Is Important for
Ecotourism: Enhancing Guiding Quality With The
Ecotourism Promotion Policy in Japan. Asia Pacific
Journal of Tourism Research Vol. 16, No. 2, April 2011.