Anda di halaman 1dari 6

Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Penghitungan Cadangan dan Emisi Karbon

Solichin

Merang REDD Pilot Project

1. Pendahuluan

Upaya mitigasi perubahan iklim harus melibatkan sektor Land Use, Land Use Change and Forestry
(LULUCF), berdasarkan Stern Review sector ini juga menyumbang andil yang cukup besar di dalam
emisi gas rumah kaca, sekaligus menjadi solusi yang paling memungkinkan untuk meningkatkan
upaya penyerapan gas rumah kaca dari atmosfir ke bumi.

Mekanisme REDD+ yang saat ini sedang dinegosiasikan merupakan salah satu usulan mekanisme
pemberian insentif bagi Negara berkembang yang dapat menjaga hutan tropis, yang akan diterapkan
dalam fase setelah Kyoto Protocol selesai. Mekanisme ini tentunya akan melibatkan sistem MRV
yang efektif, efisien dan akuntable.

Upaya penghitungan dan pemantauan karbon menjadi hal yang sangat penting dan karenanya
diperlukan metode yang dapat diakui tingkat keakurasian dan ketelitiannya. Teknologi penginderaan
jauh menjadi salah satu metode untuk pengukuran tegakan hutan dan cadangan karbon di tingkat
lansekap yang paling direkomendasikan, khususnya pada saat data survey terrestrial tidak tersedia.

Makalah ini menjelaskan berbagai opsi data dan tehnik penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan pengukuran dan pemantauan cadangan serta perubahan karbon.

2. Karakteristik Data Penginderaan Jauh


Data penginderaan jauh diperoleh melalui wahana satelit, pesawat udara atau lainnya. Data
penginderaan jauh yang diperoleh dengan wahana satelit biasanya dipilah menjadi 2 kategori besar
yaitu sensor optic dan sensor aktif atau radar. Sedangkan untuk wahana pesawat udara, sebagian
besar data yang diperoleh merupakan data dengan tingkat resolusi yang sangat tinggi, termasuk di
dalamnya foto udara type small format dan juga LIDAR.

1. Sensor Optik
Sensor optik menggunakan energi dari matahari sebagai sumber pencahayaan object yang
diakuisisi. Citra optic biasanya memiliki opsi yang sangat banyak, baik dari segi pilihan resolusi
spasial maupun resolusi temporal. Permasalahan yang paling mendasar adalah
ketidakmampuannya menembus awan, aerosol dan haze, yang biasanya merupakan atribut
utama di wilayah tropis.

1
Untuk resolusi spasial menengah, Landsat atau SPOT paling sering digunakan untuk estimasi
cadangan karbon. Citra Aster dengan resolusi 1 meter juga menjadi pilihan untuk citra resolusi
menengah, namun karena resolusi spectralnya masih kurang bagus disbanding Landsat, cakupan
citra yang lebih kecil, serta ketersediaan citra secara regular, Aster menjadi kurang diminati.

Satellite Resolution Time


Cost Source
(sensor) (m) Coverage
NOAA (AVHRR) 1,100 - 8,000 1978 - Free http://edc.usgs.gov
EnviSAT (MERIS) 300-1,200 2002- $525/Scene http://envisat.esa.int/
Terra dan Aqua http://edc.usgs.gov
(MODIS) 250 2000- Free http://glcf.umiacs.umd.edu/data/gimms/
http://www.spaceimaging.com
1972 - Free to http://edu.usgs.gov
Landsat (MSS) 60 1992 $375/scene http://glcf.umiacs.umd.edu/data/gimms/
http://www.spaceimaging.com
Free to http://edu.usgs.gov
Landsat (TM) 25 1982- $625/scene http://glcf.umiacs.umd.edu/data/gimms/
http://www.spaceimaging.com
Free to http://edu.usgs.gov
Landsat (ETM+) 15 1999- $800/scene http://glcf.umiacs.umd.edu/data/gimms/
$1,200- http://www.spotimaging.com
SPOT (VGT) 20 (10) * 2.5 1986- 10,125/scene http://www.spot.com
$145-
Terra (ASTER) 15 1999- 580/scene http://edc.usgs.gov
RapidEye 5 2009 $1.5 / sq km
http://www.spaceimaging.com
IKONOS 4 (1) * 2000- $16-56/Km2 http://glcf.umiacs.umd.edu/data/gimms/
$5,000-11
500/scene http://www.digitalglobe.com
Quickbird 2.4 (0.6)* 2001- $16-45/km2 http://glcf.umiacs.umd.edu/data/gimms/

RapidEye yang memiliki resolusi spasial lima meter, mulai beroperasi dan banyak digunakan
untuk keperluan penghitungan karbon di tingkat project. Selain biaya yang jauh lebih murah,
dibandingkan Quicbird dan Ikonos, satelit RapidEye juga dapat diprogram untuk pengambilan
citra pada wilayah tertentu.

2. Sensor Aktif Radar


Sesuai namanya, citra dari sensor radar memiliki kemampuan untuk bekerja di malam hari da
bahkan dapat menembus awan dan aerosol. Karena itu citra radar sangat berguna untuk
aplikasi di wilayah tropis. Permasalahan utama adalah karena sulitnya proses pengolahannya
sehingga diperlukan keahlian khusus. Saat ini JAXA sedang mengembangkan penelitian terkait
estimasi karbon dengan citra ALOS. Diharapkan dengan adanya hasil yang bagus, hasil

2
penelitian tersebut menjadi dasar untuk pemanfaatan citra radar untuk kepentingan estimasi
karbon di wilayah tropis.

Satellite Resolution Time Cost Source


(sensor) (m) coverage
ENVISAT 25–150 2002– $150– http://envisat.esa.int/
(SAR, 1,000/scene
ASAR
MERIS)

ERS-1 (SAR) 25–150 1991–2000 $150– http://www.esa.int


700/scene
ERS-2 (SAR) 30 1995– $150– http://www.esa.int
700/scene
JERS-1 (SAR) 18–100 1992–1998 $100– http://www.Eorc.nasda.go.jp/JERS1
1,000/scene
ALOS 9–157 2006– Free to http://earth.esa.int/dataproducts/
(PALSAR) $250/scene
RadarSAT 1 8–100 1995– Free http://www.rsi.ca
(SAR, ASAR)

RadarSAT 2 3–100 2004– http://www.rsi.ca


(SAR, ASAR)

3. High resolution Airborne


Beberapa project karbon melakukan pengukuran menggunakan citra dengan resolusi tinggi yang
diambil menggunakan pesawat udara atau dikenal dengan foto udara atau small format. Selain
itu LIDAR juga mulai banyak digunakan oleh projct karbon karena kemampuannya untuk
mendeteksi permukaan dan tajuk pohon. Karena iitu LIDAR mampu menentukan tinggi tajuk
vegetasi yang sangat bermanfaat untuk pendugaan volume biomasa. Salah satu aplikasi LIDAR
yang digunakan di Kalimantan Tengah adalah untuk mengetahui burnscar dan perbedaan
kedalaman gambut akibat kebakaran. Hal ini dapat menjadi sebuah penelitian yang sangat
bermafaat untuk mengetahui dampak kebakaran terhadap emisi di lahan gambut. Namun untuk
keperluan pengukuran karbon hutan, LIDAR memiliki keterbatasan di dalam mendeteksi
perbedaan jenis pohon yang memiliki perbedaan berat jenis dan juga kandungan karbon,
sehingga survey terestris biasanya tetap harus dilakukan.

3. Interpretasi Citra

3
Untuk kebutuhan pengukuran dan pemantauan karbon, data citra satelit banyak digunakan untuk
menduga cadangan karbon yang dikaitkan dengan kondisi spectral sebuah pixel. Namun hal ini
biasanya kurang memiliki korelasi yang baik dan cenderung under estimate (Gibbs et al, 2007).
Beberapa metode digunakan untuk menduga potensi karbon melalui pendekatan tutupan lahan.
Dimana tutupan lahan tertentu memiliki kandungan karbon yang berbeda. Untuk itu interpretasi citra
dilakukan dengan mempertimbangkan perkiraan cadangan karbon pada tutupan lahan tertentu. Pada
umumnya, interpretasi citra satelit merupakan proses untuk mengolah data citra menjadi data kelas
tutupan lahan. Proses ini biasanya dilakukan menggunakan beberapa metode interpretasi, baik itu
secara manual atau dijital.

1. Interpretasi Visual

Interpretasi visual dilakukan dengan melakukan boundary digitizing pada tutupan-tutupan lahan
yang ingin diidentifikasi. Metode ini sering menggunakan on-screen digitizing atau dijitasi
langsung melalui layar computer. Interpretasi visual memerlukan keahlian atau pemahaman
mengenai kondisi wilayah kerja, sehingga kendala utama adalah sulitnya standarisasi
kemampuan pihak yang melakukan interpretasi. Beberapa instansi seperti Kemenhut dan KNLH
telah mengembangkan kunci determinasi untuk interpretasi citra landsat untuk keperluannya.
Metode ini juga dapat diterapkan menggunakan program aplikasi GIS seperti ArcView atau
ArcGIS.

2. Object-oriented classification
Object-oriented classification atau klasifikasi berbasis obyek, mulai dikenalkan penggunaannya
di pengolahan citra satelit. Metode ini berbeda dengan konsep pengolahan citra pada umumnya
yang berbasis pixel. Proses ini dimuali dengan melakukan segmentasi object-object terkecil yang
merupakan gabungan dari beberapa pixel. Selanjutnya proses klasifikasi menggunakan data
segmentasi sebagai unit terkecil untuk dilakukan analisa. Karena itu, proses ini dapat
menghilangkan efek salt and pepper seperti saat kita menerapkan pixel-based classification.
Metode ini dapat diaplikasikan menggunakan program Ecognition atau IDRISI.

3. Unsupervised Classification
Klasifikasi tanpa supervisi (unsupervised classification) merupakan prosedur klasifikasi citra
secara dijital yang menggunakan algoritma yang tersedia (default). Proses ini menggabungkan
semua nilai spectral yang serupa menjadi sebuah kelas tutupan lahan, tanpa mempedulikan
apakah memang itu merupakan tutupan lahan yang sama atau tidak. Metode ini relative sangat
mudah, dan dapat dilakukan dimana informasi mengenai tutupan lahan masih terbatas. Semua
software remote sensing dapat melakukan tugas ini, termasuk extension Image Analiyst
ArcView.
Box 1. Melakukan analisa supervised
4. Supervised Classification classification dengan ArcGIS
Berbeda dengan unsupervised classification, a) Buat training area shapefile, catat no ID
supervised classification memerlukan pemahaman dan keterangan
b) Create Signature
4 c) Dendrogram: use variance in distance
d) Edit signature
e) Multivariate > maximum likelihood
operator mengenai kondisi tutupan lahan sebagai dasar untuk mengidentifikasi tutupan tutupan
lahan secara otomatis. Pada tahap awal, operator menentukan beberapa training area dari
semua tutupan lahan yang ada. Selanjutnya computer akan melanjutkan tugasnya berdasarkan
arahan operator. Metode ini memerlukan waktu yang cukup lama dan memerlukan pemahaman
yang baik tentang kondisi tutupan lahan, namun hasil yang diperoleh biasanya relative lebih
baik. Semua software remote sensing (Erdas, ERMapper, Envi, Idrisi, ILWIS, dll) dan ArcGIS
Spatial analyst dapat melakukan pendekatan ini.

5. Spectral Mixture Analysis


Tanah, vegetasi dan air memiliki reflektansi spectral yang berbeda beda. Dalam sebuah pixel,
nilai yang terdeteksi oleh sensor merupakan spectral yang dipancarkan oleh tutupan lahan
tertentu atau bahkan perpaduan antara vegetasi, tanah dan juga air, atau dikenal dengan
spectral mixing. Karena itu, pendekatan spectral mixture analysis (SMA) mulai digunakan untuk
analisa citra. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh di Kalimantan Tengah, menggunakan SMA
untuk analisa citra RapidEye.

6. Change detection analysis


Pendekatan ini dilakukan untuk melihat perbedaan yang terjadi antara 2 data dengan waktu
yang berbeda. Perbedaan nilai spectral yang terjadi pada sebuah pixel akan terdeteksi secara
langsung. Semua software RS dan ArcView Image analyst dapat melakukan analisa ini. Idrisi
mengembangkan sebuah ektensi Land Change Modeler (LCM) yang salah satu langkahnya
adalah melakukan analisa change detection dari 2 peta tutupan lahan hasil dari analisa 2 data
citra. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan pola terjadinya perubahan yang selanjutnya
digunakan untuk memprediksi perubahan di masa depan. Extensi ini mulai banyak digunakan
untuk memprediksi projected baseline atau business as usual.

7. NDVI
NDVI merupakan analisa indeks vegetasi yang paling sering digunakan. NDVI melihat perbedaan
nilai pixel yang diakibatkan adanya perbedaan tingkat hijau daun atau klorofil, yang biasanya
dikaitkan dengan tingkat kesehatan vegetasi. NDVI sering juga dikaitkan dengan nilai cadangan
karbon, namun hal ini perlu berhati hati dan menyebabkan bias.

4. Wall to Wall Mapping untuk Pendugaan Cadangan dan Emisi Karbon


Pemetaan tutupan lahan untuk keseluruhan wilayah (Wall to wall mapping) sangat mungkin
dilakukan dengan tehnologi penginderaan jauh. Metode interpretasi dapat disesuaikan dengan
prosedur standar yang biasa dilakukan dengan mempertimbangkan protocol atau panduan terkait
dengan pemantauan karbon. Pendekatan pendugaan karbon pada skala lansekap biasanya
menggunakan pendekatan wall to wall mapping yang diintegrasikan dengan ground sampling. Data
ground sampling, karenanya perlu diambil dengan cara yang disesuaikan dengan kapasitas di daerah
dan kebutuhan yang mempertimbangkan keakurasian dan ketelitian yang diharapkan. Untuk
keakurasian Tier 1 sesuai IPCC guidelines, dapat menggunakan nilai yang tersedia. Sedanglan untuk

5
keakurasian Tier 2, dapat menggunakan hasilhasil penelitian di tingkat nasional. Tier 3 memerlukan
data ground sampling yang diperoleh langsung dari survey terestris di lokasi masing masing.

Referensi:

Gibbs, H.K., S. Brown, J.O. Niles and J.A. Foley. 2007. Monitoring and estimating tropical forest carbon
stocks: making REDD a reality. Environmental Research Letters.

Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Petunjuk Teknis Interpretasi Citra Landsat TM 5 dan TM+7
tahun 2006/2007 Program Menuju Indonesia Hijau.

Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. 2008. Pemantauan
Sumberdaya Hutan. Departemen Kehutanan.

Ravindranath, R.H dan M. Ostwald. 2007. Carbon Inventory methods. Handbook for Greenhouse gas
inventory, carbon mitigation and roundwood production project. Advance in global research
change. Springer

Anda mungkin juga menyukai