Anda di halaman 1dari 59

Materi 1

Memahami Etika Bisnis dan Profesi

Pokok bahasan:
 Konsep etika bisnis dan profesi;
 Konsep Etika, Moral, dan Hukum;

Kemampuan akhir yang diharapkan (Sub-CPMK):


 Mahasiswa mampu memahami konsep etika bisnis dan profesi
 Mahasiswa mampu memahami konsep moral;
 Mahasiswa mampu memahami konsep hukum;
 Mahasiswa mampu menjelaskan keterkaitan antara etika bisnis dan
profesi dengan etika, moral, dan hukum.

1
BAB 1
MEMAHAMI ETIKA DALAM BISNIS DAN PROFESI

1. Etika dalam Bisnis dan Profesi

Etika bisnis dan profesi pada dasarnya adalah perilaku yang tepat dan
benar dalam suatu organisasi atau profesi. Oleh karena itu, penting
bagi pelaku bisnis dan profesi mempertimbangkan aspek moral dari
keputusan bisnis dan mempertimbangkan dampak tindakan bisnis
terhadap berbagai pemangku kepentingan (Ferrell dkk., 2015).

Sikap dasar yang penting dalam penerapan etika bisnis dan profesi
adalah integritas. Crane dkk. (2019) menyatakan bahwa integritas
mengacu kepada kejujuran (honesty), keadilan (fairness), dan konsistensi
(consistency). Integritas diaplikasikan ke dalam bentuk tindakan yang
dilakukan oleh perusahaan atau organisasi dalam berinteraksi dengan
konsumen, karyawan, dan masyakarat pada umumnya.

Kejujuran
Konsep kejujuran dipandang penting untuk membangun kepercayaan
dan menjaga hubungan baik dalam bisnis dan profesi. Kejujuran adalah
prinsip etika dasar yang melandasi nilai-nilai integritas bahkan nilai-
nilai etika lainnya. Secara umum kejujuran sering dimaknai sebagai
sikap tidak adanya kebohongan, akurat, dan transparan dalam semua
urusan bisnis.

Bisnis dan profesi harus transparan dan jujur dalam praktik periklanan,
misalnya, dan juga dalam memasarkan produk atau jasa mereka. Tidak
ada pembenaran terhadap perilaku-perilaku kebohongan dalam
menawarkan apapun dalam dunia bisnis, termasuk melebih-lebihkan
keunggulan produk atau jasa tersebut.

Namun, menurut Ferrell dkk. (2015), tidak dapat dipungkiri bahwa ada
situasi di mana kejujuran harus diseimbangkan dengan prinsip etika
lainnya, yaitu kerahasiaan dan kesetiaan. Misalnya, ketika ada orang
dari perusahaan pesaing menanyakan tentang resep rahasia produk
yang laris di pasaran, maka karyawan harus pandai memilah sikapnya.
Sikap yang paling bijaksana yang bisa dipilih karyawan tersebut adalah
menyatakan bahwa resep tersebut merupakan rahasia perusahaan dan
dia tidak diijinkan untuk membocorkannya kepada orang luar
perusahaan. Ini bukan berarti bahwa karyawan tersebut tidak
transparan, dan dia juga tidak dapat dikatakan berbohong.

2
Keadilan
Pada dasarnya, yang dimaksud keadilan dalam etika bisnis dan profesi
adalah bahwa setiap orang harus diperlakukan secara adil dan setara.
Keputusan dan tindakan bisnis harus didasarkan pada prinsip-prinsip
yang objektif dan transparan.

Sebelum masuk ke konteks bisnis dan profesi, jika membahasa tentang


keadilan, maka dalam berbagai referensi sering merujuk kepada konsep
yang dikemukakan oleh Immanuael Kant, yaitu keadilan bukanlah
suatu kebijakan atau hukum yang dibuat oleh pemerintah atau
masyarakat, melainkan harus berlandaskan prinsip-prinsip moral yang
universal dan objektif. Menurut Kant, keadilan membutuhkan tindakan
yang dilakukan dengan maksud baik dan didasarkan pada kewajiban
moral yang bersifat (Gregor & Timmermann, 2011).

Lebih jauh, konsep ini menyatakan bahwa keadilan merupakan


penghormatan terhadap hak-hak individu. Artinya, setiap individu
harus diperlakukan sebagai tujuan dalam dirinya sendiri; bukan
sebagai alat untuk mencapai tujuan lain. Misalnya, dalam pergaulan
sehari-hari ataupun dalam dunia bisnis, sering terdengar perkataan
“memperalat orang lain untuk tujuan tertentu”, maka ini bertentangan
dengan konsep yang diusung oleh Kant. Setiap individu harus
dihormati sebagai orang yang memiliki hak-hak moral yang sama.
Dalam budaya lokal Minangkabau, ada istilah “duduk sama rendah,
berdiri sama tinggi”, ini salah satu penerapan yang tepat dalam
konteks keadilan konsep Kant.

Perwujudan kriteria objektif yang dimaksud adalah bahwa keadilan


terkait erat dengan prinsip-prinsip moralitas, dan tindakan-tindakan
yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip yang diterima secara
universal.

Dalam konteks bisnis, konsep keadilan secara garis besar dibagi


menjadi dua kelompok, yaitu keadilan distributif dan keadilan
prosedural (Crane dkk., 2019). Keadilan distributif berkaitan dengan
pembagian sumber daya secara adil dan merata antara semua
pemangku kepentingan. Sementara itu keadilan prosedural
berhubungan dengan proses yang digunakan untuk membuat
keputusan dan memastikan bahwa semua pemangku kepentingan
diberi kesempatan yang sama untuk mempengarui keputusan tersebut.

Keadilan distributif
Keadilan distributif merupakan kkonsp yang berkaitan dengan
pembagian sumber daya secara adil dan merata di antara semua

3
pemangku kepentingan, termasuk karyawan, konsumen, pemegang
saham, dan masyarakat secara umum. Konsep ini menekankan
pentingnya memastikan sumber daya yang dihasilkan oleh organisasi
didistribusikan secara merata dan adil.

Contoh penerapan keadilan distributif dalam bisnis adalah sebagai


berikut:
- Pembayaran gaji dan upah yang setara untuk karyawan dengan
kualifikasi dan pekerjaan yang sama;
- Pembagian keuntungan yang adil dan merata bagi pemegang
saham dan karyawan;
- Peningkatan akses dan pemerataan pelayanan bagi konsumen.

Kedilan prosedural
Keadilan prosedural berkaitan dengan proses yang digunakan untuk
membuat keputusan dan memastikan bahwa semua pemangku
kepentingan diberi kesempatan yang sama untuk mempengaruhi
keputusan tersebut. Konsep ini menekankan pentingnya proses yang
adil dan transparan dalam pengambilan keputusan yang melibatkan
semua pihak terkait.

Contoh penerapan keadilan prosedural:


- Menjalin komunikasi secara terbuka dan transparan dengan semua
pemangku kepentiongan dalam mengambil keputusan;
- Memastikan bahwa setiap pihak memiliki kesempatan yang sama
untuk mempengaruhi keputusan yang akan diambil;
- Menjamin setiap keputusan diambil berdasarkan pada informasi
yang akurat dan objektif.

Keadilan distributif dan prosedural merupakan konsep yang saling


berkaitan dalam bisnis. Keadilan distributif membahas tentang apa
yang harus dibagikan secara adil dan merata, sementara keadilan
prosedural membahas tentang bagaimana sumber daya harus
dibagikan secara adil dan merata. Dengan menerapkan kedua konsep
ini, organisasi dapat memastikan bahwa mereka bertidak secara adil
dan etis terhadap semua pemangku kepentingan dan memperoleh
kepercayaan dan dukungan dari masyarakat.

Selain kedua dimensi keadilan tersebut, Folger & Cropanzano (1998) juga
menyertakan konsep keadilan interaktif dan keadilan informasional.
Keadilan interaktif terkait dengan cara karyawan diperlakukan oleh
atasan mereka. Karyawan akan menganggap bahwa mereka
diperlakukan secara adil apabila mereka dihormati, diberi reward,
bahkan diakui oleh pemimpin mereka. Sementara itu keadilan

4
informasional adalah dimensi keadilan dalam organisasi yang
berkaitan dengan informasi yang diberikan oleh karyawan tentang
kebijakan, prosedur, dan keputusan yang mempengaruhi mereka di
tempat kerja. Karyawan akan menganggap bahwa informasi yang
diberikan secara transparan, jelas, dan tepat waktu adalah penting
untuk memastikan keadilan di tempat kerja.

Konsistensi

Konsistensi dalam perspektif bisnis, menurut Crane dkk. (2019),


mengacu kepada kemampuan organisasi dalam menjalankan kebijakan
dan praktik yang konsisten dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang
telah ditetapkan sebelumnya.

Konsistensi dalam bisnis juga menyertakan kesesuaian antara prinsip


dan aksi perusahaan serta konsistensi antara prinsip-prinsip yang
diadobsi oleh perusahaan dan kebijakan-kebijakan yang diterapkan. Ini
berarti bahwa perusahaan harus bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip yang mereka umumkan dan mengadopsi, serta
memastikan bahwa kebijakan dan tindakan yang diambil tidak
bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip tersebut.

Konsistensi juga merupakan aspek penting dalam menjaga nama atau


reputasi perusahaan dan membangun kepercayaan dari seluruh
pemangku kepentingan. Jika perusahaan tidak konsisten dalam
tindakan yang dipilih terkait bisnis, akan dapat merusak citra
perusahaan di mata konsumen, investor, pemerintah, dan masyarakat.
Sebaliknya, jika perusahaan berhasil menjaga konsistensi, hal ini dapat
memperkuat kepercayaan dan dukungan dari pemangku kepentingan.

Dalam perspektif binis, konsistensi juga dapat dianggap sebagai bagian


dari tanggung jawab sosial perusahaan untuk mematihi prinsip-prinsip
etika dan menghormati hak asasi manisia, lingkungan, dan masyarakat
dai mana mereka beroperasi. Dalam hal ini konsistensi memainkan
peran penting dalam menjaga kesinambungan dan keseimbangan
antara kepentingan bisnis dan kepentingan sosial dan lingkungan yang
lebih luas.

Dalam perspektif bisnis, integritas sangat berkaitan dengan citra


perusahaan dan kepercayaan konsumen. Perusahaan yang menghargai
integritas cenderung memiliki karyawan yang jujur dan bertanggung
jawab serta akan menjalankan bisnis dengan prinsip etika yang tinggi.
Integritas dalam perspektif bisnis dapat diartikan sebagai kemampuan

5
dan komitmen perusahaan untuk bertindak secara konsisten dengan
nilai-nilai etika dan moral yagn dianut oleh perusahaan tersebut.

Integritas, menurut Crane dkk. (2019), juga dapat dianggap sebagai


aspek knci dalam menjaga kepercayaan dan reputasi perusahaan,
karena integritas mencakup kejujuran, kebenaran, dan transparansi
ddalam tindakan perusahaan dan dalam hubungannya dengan
pemangku kepentingan. Perusahaan yang berintegritas berusaha untuk
menghormati hak-hak manusia, menerapkan standar etika yang tinggi,
dan bertanggung jawab terhadap dampak sosial dan lingkungan dari
kegiatan bisnis mereka.

Pada prinsipnya, integritas perusahaan mencakup lebih dari sekedar


kepatuhan terhadap peraturan dan hukum yang berlaku. Integritas
meliabatkan komitmen yang lebih luas terhadap nilai-nilai etika dan
mora yang mendasar, seperti menghormati hak asasi manusia,
memperhatikan dampak lingkungan dari kegiatan bisnis, dan
memastikan keterbukaan dan transparansi dalam hubungan dengan
pemangku kepentingan.

Dalam bisnis, integritas dapat pula diartikan sebagai bagian dari


tanggung jawab sosial perusahaan untuk menjaga prinsip-prinsip etika
dalam semua aspek kegiatan bisnisnya. Perusahaan yang berintegritas
memperlihatkan komitmen untuk berperilaku jujur dan adil dalam
semua hubungannya, baik dengan pelanggan, karyawan, investor dan
masyarakat luas.

Integritas juga mencakup konsistensi antara prinsip etika dan perilaku


pribadi dalam bisnis atau profesi (Ferrell dkk., 2015). Setiap individu
dalam perusahaan harus selalu bertindak sesuai dengan nilai-nilai etika
yang mereka wakili, bahkan ketika tindakan mereka tidak diamati atau
dipantau. Ini berarti harus ada kesesuaian antara kata-kata dengan
tindakan, serta antara nilai-nilai yang dipublikasikan oleh perusahaan
dan praktik nyata yang diterapkan.

Sebagaimana diajarkan dalam kelas-kelas etika atau akhlak di sekolah-


sekolah dasar dan menengah, baik dalam perspektif budaya maupun
agama, integritas juga sampai kepada keberanian mengakui kesalahan
dan mau memperbaiki kesalahan tersebut, meskipun ini secara
finansial atau reputasi bisa saja merugikan perusahaan.

Jika dirinci lebih jauh, maka dalam konteks bisnis sering dianggap
sebagai kualitas mural yang penting bagi perusahaan dan invidu yang
terlibat dalam aktivitas perusahaan. Ferrell dkk.(2015) menyimpulkan

6
bahwa integritas merupakan salah satu kualitas moral paling penting
dalam bisnis, karena menunjukkan kesetiaan pada nilai-nilai etika dan
moral yang mendasar. Perusahaan yang berintegritas memiliki
tanggung jawab moral untuk memenuhi janji dan komitmen yang telah
diambil dengan pemangku kepentingan.

Integritas memperkuat kepercayaan dari pemangku kepentingan.


Ketika perusahaan berperilaku dengan integritas dan konsisten dengan
nilai-nilai etika, ini akan membangun kepercayaan dan kesetiaan dari
pelanggan, investor, dan karyawan. Oleh karena itu, perusahan yang
tidak berintegritas akan rentang terhadap resiko hukum, reputasi, dan
finansial. Dalam konteks bisnis, integritas membantu meminimalkan
risiko dengan memastikan bahwa perusahaan beroperasi sesuai dengan
nilai-nilai etika dan hukum yang berlaku.

Dampak sosial, lingkungan dan ekonomi dari kegiatan bisnis juga


dapat menggambarkan integritas perusahan. Perusahan yang
berintegritas akan selalu memperhatikan nilai-nilai etika dan moral
dalam beraktivitas dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap
lingkungan sekitarnya.

2. Konsep Etika, Moral, dan Hukum

Dalam kehidupan sehari-hari, istilah etika, moral, dan hukum, tentu


sudah tidak asing lagi. Istilah-istilah tersebut merupakan istilah umum
yang sering kali digunakan dalam menentukan atau menilai suatu
tindakan atau perbuatan seseorang. Semuanya cenderung akan
mengacu kepada benar atau salah, baik atau buruk, pantas tidak
pantas, melanggar atau patuh, dan lain sebagainya.

Meskipun, sering terdengar sama, dan jarang diperdebatkan, mana


yang etika, mana yang moral, dan mana yang hukum, namun pada
dasarnya ketiga istilah itu memang memiliki makna berbeda.
Perbedaan ini lebih mengarah kepada dasar penilaian yang digunakan
dalam menentukan sebuah perilaku.

Kajian etika lebih mengarah kepada tinjauan filosofis dan teoritis,


sementara moral mengenai kebiasan yang diterapkan secara nyata
dalam kehidupan bermasyarakat (Prihanto, 2018). Etika adalah tentang
konsep benar atau salah yang berlaku secara universal, dan moral
cenderung kepada pantas atau tidak pantas, dan berlaku lokal atau
hanya untuk masyarakat tertentu.

7
Sementara itu, hukum adalah perpaduan dari etika dan moral yang
diaplikasikan oleh negara untuk mengatur kehidupan bermasyarakat
danm bentuk aturan-aturan tertulis. Pada hukum, bila aturan-aturan
yang telah disahkan terebut dilanggar, maka ada sanksi tegas yang
akan diterima oleh pelakunya.

3. Etika Bisnis dan Profesi, Moral, dan Hukum

Keterkaitan antara bisnis dan profesi, moral dan hukum semakin terasa
di jaman kemajuan teknologi informasi seperti sekarang. Informasi
tentang perusahaan-perusahaan yang dianggap melanggar etika,
moral, maupun hukum, mudah sekali tersebar di internet, baik melalui
media mainstream mapun media sosial. Ini segera jadi penilaian bagi
seluruh orang yang menerima informasi tersebut. Konsumen akan
berpikir dua kali untuk bertransaksi kembali, misalnya, ketika
mengetahui perusahaan langganannnya ternyata melanggar etika,
moral ataupun melanggar hukum. Investor dan kreditur, ataupun
pemangku kepentingan lainnya juga akan memiliki pikiran yang
sejenis. Ini pada akhirnya, pada batas waktu tertentu, akan membuat
perusahaan kehilangan keuntungan, bahkan bangkrut.

Sebagaimana yang ditulis Prihanto (2018), bahwa dunia bisnis itu


dinamis yang menyebabkan berbagai profesi juga timbul tenggelam
seiring dengan bertumbangannya raksasa-raksasa korporasi karena
tersangkut masalah etika. Mereka akan segera digantikan oleh
korporasi-korporasi lain yang baru, yang juga akan diuji tentang
kekuatan mereka mempertahankan perlakuan kepada pemangku
kepentingan, terutama konsumen.

Kasus skandal Enron tahun 2001, termasuk salah satu pemicu


perubahan besar pada makna etika, moral, dan hukum dalam dunia
bisnis. Perusahaan energi raksasa asal Houston, Texas, Amerika Serikat
ini, tumbang dari puncak kesuksesan akibat melanggar etika dalam
bisnis. Mereka bahkan menyeret kantor akuntan publik Arthur
Andersen, yang pada jaman itu dikenal sebagai Big Five, lima KAP
terbesar di dunia.

Oleh karena itu, semakin ke sini, arah perkembangan perusahaan


semakin menjurus kepada perbaikan perilaku, baik untuk memenuhi
ajaran etika, moral, maupun hukum. Ini sesuai dengan pendapat
Henderson (2023), bahwa saat ini sedang terjadi transfrmasi dari tujuan
tunggal perusahaan mencari keuntungan finansial semata, menuju ke
tujuan yang lebih bersifat pengembangan kemanusiaan ke arah yang
lebih baik, dan keuntungan hanya merupakan alat untuk mencapai

8
tujuan tersebut. Namun ini membutuhkan perubahan mendasar pula
pada aturan hukum, kebijakan dan norma sosial.

Materi 2
Teori Etika dan Prinsip Etika Bisnis dan Profesi

Pokok Bahasan:
 Prinsip-prinsip etika bisnis seperti kejujuran, tanggung jawab sosial
perusahaan, keadilan, dan lainnya
 Teori etika normatif seperti deontologi, konsekuensialisme, dan
etika kebajikan
 Diskusi kelompok tentang aplikasi prinsip dan teori etika dalam
bisnis dan profesi

Kemampuan akhir yang diharapkan (Sub-CPMK):


 Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menjelaskan prinsip-
prinsip etika bisnis seperti kejujuran, tanggung jawab social
perusahaan, keadilan, dan lainnya, serta memahami bagaimana
prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan dalam konteks bisnis dan
profesi;
 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan teori etika
normatif seperti deontology, konsekuensialisme, dan etika kebajikan,
serta mampu menerapkan teori-teori tersebut dalam analisis kasus-
kasus etika dalam bisnis dan profesi;
 Mahasiswa mampu mengembangkan kemampuan kritis dan
reflektif dalam mempertimbangkan prinsip-prinsip etika dan teori
etika dalam pengambilan keputusan bisnis dan profesi;
 Mahasiswa mampu berpartisipasi dalam diskusi kelompok tentang
aplikasi prinsip-prinsip dan teori etika dalam bisnis dan profesi,
serta mampu memberikan arguman yang baik berdasarkan fakta
dan teori.

9
BAB 2
TEORI ETIKA DAN PRINSIP ETIKA BISNIS

1. Teori Etika

Teori etika merupakan teori atau pandangan tentang apa yang


baik dan buruk, benar dan salah, dan bagaimana manusia harus
bertindak berdasarkan pandangan tersebut. Teori etika amenjadi
dasar untuk menentukan standar etika dalam kehidupan, termasuk
dalam bisnis.
Dalam konteks etika bisnis, teori-teori etika yang sering dibahas
adalah: utilitarianisme, deontologi, etika hak dan keadilan, etika
kepribadian dan kepercayaan.

a. Teori Utilitarianisme
Teori utilitarianisme merupakan teori etika yang
mengatakan bahwa sebuah tindakan dianggap benar jika tindakan
tersebut dapat memaksimalkan kebahagiaan atau kesejahteraan
bagi semua pihak yang terlibat. Teori ini menekankan pada prinsip
konsekuensialisme, yaitu bahwa akibat atau konsekuensi dari
suatu tindakan harus menjadi faktor utama dalam menilai
kebenaran tindakan tersebut.
Dalam utilitarianisme, nilai moral suatu tindakan ditentukan
oleh tingkat kebahagiaan atau kesejahteraan yang dihasilkan oleh
tinddakan tersebut, dan hal ini diukur berdasarkan jumlah orang
yang terlibat dan tingkat kebahagiaan atau kesejahteraan yang
dihasilkan bagi masing-masing individu. Oleh karena itu, tindakan
yang dapat memberiakan kebahagiaan atau kesejathteraan bagi
banyak orang dianggap lebih baik dari pada tindakan yang hanya
memberikan kebahagiaan atau kesejahteraan bagi sedikit orang.
Dalam konteks etika bisnis dan profesi, teori utilitarianisme
dapat membantu perusahaan dan para profesional dalam
menentukan tindakan yang paling benar dari sudut pandang
moral dan sosial, serta membantu dalam pengambilan keputusan
yang mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terlibat.
Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Jeremi Bentham
pada abad ke-18 dan kemudian diperluas oleh John Stuart Mill
pada abad ke-19. Teori awal yang dikemukakan oleh Jeremi
Bentham saat ini dikenal dengan utilitarianisme klasik. Sementara

10
itu teori John Stuart Mill dikenal dengan utilitarianisme baru.
Selain itu, juga ada utilitarianisme kontemporer.
Jeremy Bentham memperkenalkan teori utilitarianisme
klasik dalam bukunya yang berjudul “An Introduction to the
Principles of Morals dan Legislation”. Bentham berpendapat bahwa
tindakan yang benar adalah tindakan yang memberikan
kebahagiaan atau kepuasan sebanyak mungkin kepada sebanyak
mungkin orang. Bentham menyatakan bahwa kebahagiaan dan
diukur dan bahwa tindakan yang paling benar adalah tindakan
yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin
orang. Teori utilitarianisme klasik Bentham sangat mempengaruhi
pemikiran etika dan politik pada masa itu.
Menurut Bentham, nilai moral suatu tindakan ditentukan
oleh tingkat kebahagiaan yang dihasilkan oleh tindakan tersebut.
Ia menekankan pentingnya mengevaluasi tindakan berdasarkan
jumlah kebahagiaan yang dihasilkan bagi semua individu yang
terlibat, dan menganggap bahwa tindaka yang dapat memberikan
kebahagiaan yang lebih besar bagi lebih banyak orang dianggap
lebih baik.
Bentham mengembangkan sebuah prinsip pengukuran
kebahagiaan yang disebut sebagai kalkulus kesenangan (pleasure
calculus) yang dapat digunakan untuk menentukan tingkan
kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu tindakan. Dalam kalkulus
ksenangant, Bentham mengidentifikasi tujuh faktor yang harus
diperhitungkan untuk menentukan tingka kebahagiaan, yaitu
intensitas, durasi, kepastian, kebergantungan, kesatuan,
kemurnian, dan kelangkaan.
Dalam konteks bisnis dan profesi, teori utilitarisme klasik
Bentham dapat membantu perusahaan dan para profesional dalam
mengevaluasi tindakan mereka berdasarkan konsekuensi yang
dihasilkan, terutama dalam hal dampaknya terhadap
kesejahteraan seluruh pihak yang terlibat. Misalnya, perusahaan
dapat menggunakan kalkulus kenikmatan untuk mengevaluasi
dampak dari kebijakan bisnis yang diambil terhadap para
karyawan, pelanggan, dan masyarakat secara keseluruhan.
Namun, teori utilitarianisme juga menghadapi kritik bahwa
penilaian kebahagiaan atau kesejahteraan yang bersifat subjek
dapat mengabaikan nilai-nilai moral dan etis yang mungkin
bertentangan dengan pencapaian kebahagiaan atau kesejahteraan.
Selain itu, dalam praktiknya, pengukuran kebahagiaan atau
kesejahteraan dapat sangat sulit dan rumi terutama dalam
mengevaluasi budaya dampak jangka panjang dari suatu
tindakan.

11
Teori Bentham ini kemudian dikembangkan dengan versi
baru oleh John Stuart Mill pada 1861. Mill menekankan pada
kualitas kebahagiaan, bukan hanya kuantitasnya. Menurutnya,
tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan
kebahagiaan tertinggi bagi sebanyak mungkin orang, tetapi juga
harus mempertimbangkan kualitas kebahagiaan tersebut. Mill juga
menekankan pentingnya kebebasan individu dan hak asasi
manusia, dan bahwa kebahagiaan individu harus diperhitungkan
dalam perhitungan utilitarianisme.

Dalam teori barunya tentang utilitarianisme ini, Mill


membedakan antara kebahagiaan yang muncul dari kesenangan
fisik (pleasure) dan kebahagiaan yang muncul dari penghargaan
moral (happiness). Dia berpendapat bahwa kebahagiaan yang
muncul dari penghargaan moral lebih tinggi nilai moralnya
dibanding dengan kebahagiaan yang muncul dar kenikmatan fisik
semata.
Selain itu, Mill juga memperkenalkan konsep kualitas dalam
mengukur kebahagiaan. Menurutnya, kebahagiaan yang
dihasilkan oleh tindakan yang melibatkan aktivitas intelekgual,
emosional, atau spiritual memiliki kualitas yang lebih tinggi
dibanding kebahagiaan yang dihasilkan dari aktivitas fisi semata.
Dalam konteks bisnis dan profesi, teori utilitarianisme baru
Mill dapat membantu perusahaan dan para profesional dalam
mengevaluasi kebijakan atau tidnakan mereka dengan
mempertimbangkan kualitas kebahagiaan yang dihasilkan,
terutama dalam hal dampaknya terhadap masyarakat atau
lingkungan secara keseluruhan. Sebagai contoh, sebuah
perusahaan dapat mengevaluasi apakah keuntungan yang
dihasilkan dari kebihakan bisnis tertentu sepadan dengan dampak
negatif yang mungkin dihasilkan pada masyarakat atau
lingkungan.
Namun, sama dengan utilitarianisme klasik, teori ini pun
juga menghadapi kritik bahwa mengukur kualitas kebahagiaan
dapat menjadai sangat subjektif dan sulit diukur. Selin itu, teori ini
juga dapat mengabaikan nilai-nilai moral dan etika tertentu yang
tidak selalu sejalan dengna pencapaian kebahagiaan.

Teori utilitarianisme terus berkembang sepanjang abad ke-20


dan ke-21. Beberapa ahli memperkenalkan versi baru dari teori
utilitarianisme, seperti utilitarianisme aturan, utilitarianisme
prferensi, dan utilitarianisme pemilahan. Dalam utilitarisme
aturan, tindakan yang benar adalah tindakan yang sesuai dengan
aturan moral yang paling mungkin menghasilkan kebahagiaan

12
tertinggi bagi sebanyak mungkin orang. Dalam utilitarianisme
preferensi, tindakan yang benar adalah tindakan yang memenuhi
keinginan dan preferensi individu dengan cara yang paling
mungkin menghasilkan kebahagiaan tertinggi bagi sebanyak
mungkin orang. Dalam utilitarianisme pemilahan, tindakan yang
benar adalah tindakan yang memaksimalkan kebahagiaan untuk
kelompok tertentu, seperti orang miskin atau lingkungan hidup.

b. Teori deontologi
Deontologi adalah salah satu teori etika yang paling
berpengaruh dalam sejarah pemikiran etika. Teori ini menekankan
bahwa kewajiban moral atau hak yang harus dipatuhi oleh
individu dalam bertindak. Teori etika deontologi mempunyai
sejarah yang panjang, dengan sejumlah pemikir yang telah
berkontribusi dalam pengembangannya.
Sejarah teori etika deontologi sebenarnya dapat ditelusuri
hingga zaman kuno, ketika filsuf Yunani seperti Socrates, Plato,
dan Aristoteles mulai mempertanyakan bagaimana mansia harus
bertindak secara moral. Namun, pengembangan teori etika
deontologi yang lebih modern dimulai pada abad ke-17 dan ke-18
dengan pemikir seperti Immanuale Kant.
Immanuel Kant adalah seorang filsuf Jerman yang dikenal
sebagai tokoh utama dalam pengembangan toeri etika deontologi.
Dalam karyanya yang paling masyhur, “Das Kapital” (1785), Kant
menyatakan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang
didasarkan pada kewajiban moral atau imperatif kategoris.
Imperatif kategoris Kant berarti tindakan yang wajib dilakukan
aoleh semua orang, tanpa memperhatikan tujuan atau keinginan
mereka.
Menurut Kant, tindakan yang dilakukan karena kepentingan
pribadi atau keinginan bukanlah tindakan moral yang benar. Kant
juga menekankan bahwa seseorang harus selalu dianggap sebagai
tujuan dalam dirinya sendiri, dan tidak boleh dianggap sebagai
alat untuk mencapai tujuan lain.
Kant juga membedakan antara kewajiban etis yang dikenal
sebagai “kewajiban imperatif kategoris” dan kewajiban praktek
yang dikenal sebagai “kewajiban hipotesis”. Kewajiban imperatif
kategoris bearti kewajiban moral yang universal dan selalu
berlaku, seperti “jangan membunuh” atau “jangan berbohong”.
Sedangkan kewajiban hipotesis adalah kewajiban moral yang
tergantung pada tujuan yang ingin dicapai, eperti “jika kami ingin
hidp sehat, maka kami harus rajin berolahraga”.

13
Teori etika deontologi kemudian terus dikembangkan di
abad ke-19 dan ke-20 oleh pemikir-pemikir seperti William
Whewell dan W.D. Ross. Whewell mengembangkan konsep etika
intuisi, yang berpendapat bahwa tindakan yang benar dapat
dikenali melalui akal budi atau intuisi moral. Sementara itu, Ross
memperkenalkan konsep prinsip prima facie, yang berarti prinsip
moral yang harus dipatuhi kecuali ada keadaan yang
mengharuskna untuk melanggarnya.
Dalam konteks bisnis dan profesi, teori etika deontologi
dapat memberikan panduan bagi individu dalam mengambil
keputusan moral. Sebagai contoh, seorang akuntan yang
dihadapkan dengan kesempatan untuk menyalahgunakan
informasi keuangan klien harus mempertimbangkan kewajibannya
untuk menjaga kerahasiaan informasi keuangan klien harus
mempertimbangkan kewajibannya untuk menjaga kerahasiaan
informasi klien dan mematuhi prinsip kejujuran dan integritas.
Begitu juga seorang pengusaha yang dihadapkan dengan
kesempatan untuk mengabaikan keselamatan kerja karyawan
harus mempertimbangkan kewajibannya untuk menjaga
keselamatan dan kesehatan karyawan.
Namun, seperti halnya dengan teori etika lainnya, teori etika
deontologi juga memiliki kelemahan. Beberapa kritikus
menunjukkan bahwa teori ini terlalu kaku dan tidak dapat
memberikan panduan yang jelas dalam situasi yang kompleks.
Teori deontologi pada dasarnya mengajukan bahwa tindakan itu
baik atau buruk, benar atau salah, tergantung pada kewajiban
moral yang ditetapkan oleh prinsip moral terntu. Dalam
pandangan ini, kebenaran atau kesalahan suatu tindakan
ditentukan oelh prinsip moral yang dipegang sebagai patokan,
seperti “jangan membunuh” atau “jangan berbohong”. Prinsip-
prinsip ini dianggap universal dan harus diikuti tanpa pandang
bulu dalam setiap situasi.
Para kritikus teori ini berpendapat bahwa prinsip moral
yang dipegang teguh oleh teori ini terlalu kaku dan tidak dapat
memberikan panduan yang jelas dalam situasi yang kompleks.
Sebagai contoh, prinsip moral jangan membunuh mungkin benar
dalam sebagian besar situasi, tetapi tidak memberikan panduan
yang jelas dalam situasi seperti perang atau pembelaan diri.
Selain itu, teori deontologi kurang memberikan perhatian
pada akibat tindakan. Dalam situasi tertentu, tindakan yang
dianggap benar menurut teori deontologi dapat berakibat buruk
bagi orang lain atau masyarakat. Ini bisa terjadi jika suatu tindakan
dilakukan semata-mata karena memenuhi kewajiban moral tanpa
memperhatikan akibatnya pada orang lain.

14
Namun, meskipun teori etika deontologi memiliki
kelemahan, hal ini tidak berarti bahwa teori ini tidak memiliki
nilai. Teori deontologi tetap memberikan panduan moral yang
penting daam menentukan tindakan yang benar dan tepat,
walaupun tidak memberikan peandangan khusus untuk setiap
situasi. Selain itu, teori deontologi juga memberikan nilai dan
standar moral yang tinggi dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk dalam konteks bisnis dan profesi.

c. Teori etika hak dan keadilan


d.
e. Teori etika kepribadian dan kepercyaan
2. Prinsip Etika Bisnis
3. Penerapan prinsip dan teori etika dalam bisnis dan profesi

Materi 3: Pengambilan Keputusan Etis

Pokok Bahasan:
 Pengenalan model-model pengambilan keputusan etis
 Analisis kasus etika dan praktik pengambilan keputusan etis
 Diskusi kelompok tentang kelemahan dan kelebihan model-model
pengambilan keputusan etis

15
Kemampuan akhir yang diharapkan (Sub-CPMK):
 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan berbagai model
pengambilan keputusan etis yang digunakan dalam bisnis dan
profesi, seperti model utilitarianisme, deontology, etika kebajikan,
dan sebagainya;
 Mahasiswa mampu menganalisis dan mengevaluasi kasus etika
dengan menggunakan model-model pengambilan keputusan etis
yang berbeda-beda;
 Kemampuan untuk mengindentifikasi kelemahan dan kelebihan
dari masing-masing model pengambilan keputusan etis dan
mempertimbangkan factor-faktor yagn perlu diperhatikan dalam
pengambilan keputusan etis yang tepat;
 Mahasiswa mampu berpartisipasi dalam diskusi kelompok tentang
berbagai model pengambilan keputusan etis dan kasus etika yang
relevan dalam konteks bisnis ddan profesi

Tugas kelompok:
Carilah sebuah kasus terbaru tentang keputusan yang dibuat oleh
sebuah perusahaan atau organisasi, dan telaahlah keputusan tersebut
dengan menggunakan model pengambilan keputusan etis yang
dipelajari dalam materi ini.

16
BAB 3
PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS

Bab ini akan membahas mengenai pengambilan keputusan etis, yaitu


proses pengambilan keputusan yang mempertimbangkan nilai-nilai etika
dan moral. Etika adalah studi tentang prinsip-prinsip moral dan
bagaimana kita harus bertindak dalam situasi-situasi tertentu. Dalam
konteks bisnis, pengambilan keputusan etis sangat penting untuk
memastikan bahwa organisasi beroperasi secara adil, jujur, dan
bertanggung jawab kepada masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Pengambilan keputusan etis melibatkan sejumlah prinsip etika yang
harus dipertimbangkan. Salah satunya adalah prinsip kemanusiaan, yaitu
kepercayaan bahwa semua orang harus diperlakukan dengan martabat
dan hormat yang sama. Prinsip lainnya adalah keadilan, yaitu keyakinan
bahwa semua orang harus diperlakukan dengan cara yang adil dan setara,
tanpa kecenderungan atau diskriminasi. Prinsip lain yang penting adalah
tanggung jawab sosial, yaitu kepercayaan bahwa organisasi harus
mempertimbangkan dampak mereka pada masyarakat dan lingkungan
sekitarnya.
Dalam bab ini, kita akan membahas beberapa metode yang dapat
digunakan untuk membantu dalam pengambilan keputusan etis. Salah
satunya adalah kerangka kerja etika, yang melibatkan langkah-langkah
seperti menidentifikasi masalah etis, mengevaluasi opsi, dan memilih
tindakan yang paling etis. Metode lain adalah analisis konsekuensi, yaitu
mengukur dampak dari tindakan yang diambila pada berbagai pemangku
kepentingan yang terlibat.
Selain itu, bab ini juga akan membahas tantangan yang sering
dihadapi dalam pengambilan keputusan etis, seperti konflik kepentingan,
tekanan dari pihak lain, dan ketidakpastian. Dalam menghadapi
tantangan ini, penting untuk tetap mengacu pada prinsip-prinsip etika
yang mendasar dan mempertimbangkan semua faktor yang relevan.
Terakhir, bab ini akan membahas pentingnya membangun budaya
etis dalam organisasi dan bagaimana hal itu dapat dicapai. Ini
memastikan bahwa nilai-nilai etika diintegrasikan ke dalam semua aspek
dan bahwa karyawan diberi pelatihan dan dikungan yang tepat untuk
memahami dan mengikuti standar etika yang ditetapkan
perusahan/organisasi.

17
Dalam rangka mencapai kesuksesan jangka panjang, pengambilan
keputusan etis harus menjadi prioritas utama bagi organisasi. Dengan
mempertimbangkan nilai-nilai etika dan moral dalam penambilan
keputusan, organisasi dapat membangun reputasi yang kuat dan
memastikan bahwa mereka beroperasi secara bertanggung jawab dalam
masyarakat dan lingkungan sekitar.

A. Pengertian Pengambilan Keputusan Etis

Pengambilan keputusan etis adalah suatu proses yang digunakan


oleh individu atau kelompok dalam mengambila keputusan yang
didasarkan pada nilai-nilai etika yang diakui oleh masyarakat. Proses
pengambilan keputusan etis mempertimbangkan dampak keputusan
terhadap orang lain, lingkungan, dan masyarakat secara keseluruhan.
Pengambilan keputusan etis juga sering didefenisikan sebagai
proses yang melibatkan pemikiran kritis dan pertimbangan moral dalam
membuat keputusan yang mempertimbangkan dampak yang mungkin
terjadi pada orang lain, lingkungan, dan masyarakat secara keseluruhan.
Ini berarti individu atau kelompok yang terlibat dalam pengambilan
keputuasn etis tersebut harus mempertimbangkan implikasi moral dari
tindakan yang mereka ambil.
Dalam pengambilan keputusan etis, individu atau kelompok
mempertimbangkan prinsip-prinsip etika dan moral yang telah diakui
oleh masyarakat, serta mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang
ddari keputusan yang diambil. Proses ini juga melibatkan pertimbangan
terhadap nilai-nilai seperti keadilan, kemanusiaan, dan tanggung jawab
sosial. Dalam beberapa kasus, individu atau kelompok mungkin harus
mempertimbangkan prioritas nilai-nilai tersebut dan memilih tindakan
yang pastinya akan sulit. Kesalahan dalam pengambilan keputusan, bisa
berakibat fatal, baik baik masyarakat banyak maupun bagi perusahaan
sendiri.
Pengambilan keputusan etis tidak hanya berlaku dalam konteks
bisnis, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, profesi, maupun
pemerintahan. Proses ini melibatkan refleksi diri terhadap nilai-nilai dan
moral yang dipegang, serta kamampuan untuk mempertimbangkan
dampak keputusan terhadap orang lain dan lingkungan sekitar.
Dalam praktiknya, pengambilan keputuasn etis seringkali
melibatkan situasi di mana individu atau kelompok harus memilih antara
nilai-nilai yang berbeda tau bahkan bertentangan. Dalam situasi seperti
ini, individu atau kelompok harus mencari solusi terbaik dan paling etis
yang memperhatikan kepentingan semua pihak yang terlibat.

B. Prinsip-Prinsip Etika dalam Pengambilan Keputusan Etis

18
Prinsip-prinsip etika dalam pengambilan keputusan etis
merupakan panduan moral yang digunakan untuk membantu seseorang
dalam memilih tindakan yang benar atau salah. Ketika seseorang
mengambil keputusan, mereka harus mempertimbangkan dampak
tindakan mereka pada orang lain dan lingkungan sekitarnya. Beberapa
prinsip etika yang dapat membantu seseorang dalam pengambilan
keputusan etis antara lain: prinsip kemanusiaan, prinsip keadilan, dan
prinsip tanggung jawab sosial.

1. Prinsip kemanusiaan
Prinsip kemanusiaan adalah keyakinan bahwa setiap orang
memiliki martaba yang sama dan harus diperlakukan dengan cara
yang menghormati hak asasi manusia. Dalam pengambilan keputusan
etis, prinsip ini memerlukan seseorang untuk mempertimbangkan
bagaimana keputusan mereka akan mempengaruhi orang lain dan
apakah keputusan tersebut akan menghormati hak asasi manusia.
Contoh keputusan yang menghormati prinsip kemanusiaan adalah
keputusan untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap seseorang
berdasarkan agama, ras, atau jenis kelamin.

2. Prinsip keadilan
Prinsip keadilan adalah keyankinan bahwa setiap orang harus
diperlakukan secara adil dan setara. Dalam penbamgilan keputusan
etis, prinsip ini memerlukan seseorang untuk mempertimbangkan
bagaimana keputusan mereka akan memperngaruhi berbagai
pemangku kepentingan yang terlibat dan memastikan bahwa mereka
diperlakukan secara adil dan setara. Contoh keputusan yang
menghormati prinsip keadilan adalah keputusan untuk membayar gaji
yang sama untuk pekerjaan yang sama dan memperlakukan semua
pelanggan dengan cara yang sama.

3. Prinsip tanggung jawab sosial


Prinsip tanggung jawab sosial adalah keyakinan bahwa organisasi
harus mempertimbangkan dampak mereka pada masyarakt dan
lingkungan di sekitarnya. Dalam pengaambilan keputusan etis, prinsip
ini memerlukan seseorang untuk mempertimbangkan bagaimana
keputusan mereka akan memperngaruhi masyarakat dan lingkungan
sekitarnya dan bertanggung ajwab atas dampat tersebut. Contoh
keptusan yang menghormati prinsip tanggung jawab sosial adalah
keputusan untuk mengurangi emisi karbon perusahaan dan menukung
program-program sosial di komunitas sekitar perusahaan.

19
Dalam pengambilan keputusan etis, prinsip-prinsip etika tersebut
dapat saling berhubungan dan salin terkait. Oleh karena itu, penting bagi
seseorang untuk mempertimbangkan semua prinsip tersebut dan memilih
tindakan yang paling etis dan sesuai dengan nilai-nilai etika dan moral
yang mendasari organisasi dan masyarakat.

C. Model Pengambilan Keputusan Etis Berdasarkan Teori-Teori Etika


Terdapat beberapa model pengambilan keputusan etis yang umum
digunakan dalam bisnis dan profesi yang berdasarkan langsung kepada
teori-teori etika, di antaranya adalah: model utilitarianisme, model
deontologi, model etika kebajikan, model etika perawatan, dan model
etika dialogis.

1. Model utilitarianisme
Pengambilan keputusan etis dengan model utilitiarianisme
menekankan pada konsekuensi dari tindakan dan pertimbangan
terhadap kebahagiaan atau penderitaan yang dapat terjadi pada semua
orang yang terlibat. Dalam model ini, keputusan yang diambil adalah
yang memberikan dampak positif yang terbesar pada masyarakat atau
orang yang terkena dampak keputusan tersebut.
Dalam konteks bisnis, seorang pemimpin perusahaan harus
mempertimbangkan kepentingan dan kesehjahteraan semua pihak
yang terlibat, termasuk karyawan, pelanggan, pemegang saham, dan
masyarakat. Dalam mengambil keputusan, seorang pemimpin harus
mempertimbangkan dampak keputusan tersebut pada semua pihka,
dan memilih tindakan yang akan memberikan dampak positif yang
terbesar kepada semua pihak.
Misalnya, perusahaan mungkin ingin menguarngi biaya produksi
dengan memindahkan pabrik ke negar lain yang memiliki biaya tenaga
kerja yang lebih rendah. Namun, tindakan ini dapat berdampak negatif
pada karyawan yang akan kehilangan pekerjaan dan masyarakat
setempat yang kehilangan lapangan pekerjaan. Dalam model
utilitarianisme, seorang pemimpin perusahaan harus
mempertimbangkan dampak keputusan terserbut pada semua pihak,
dan memilih tindakan yang akan memberikan dampak positif yang
terbesar pada semua pihak. Mungkin solusi terbaik adalah
mengevaluasi cara lain untuk mengurangi biaya produksi tanpa harus
memindahkan pabrik atau memberikan kompensasi yang cukup bagi
karyawan yagn kehilangan pekerjaan.
Namun demikian, model utilitarianisme juga memiliki kelemahan,
terutama ketika kepentingan beberapa pihak saling bertentangan.
Dalam situasi itu, model utilitarianisme dapa tmengahailkan keputusan
yang tidak adil bagi satu atau beberapa pihak. Oleh karena ini, perlu

20
untuk mempertimbangkan model keputusan etis lain dan konteks
spesifik sebelum memutuskan menggunakan model utilitarianisme.

2. Model deontologi
Model pengambilan keputusan etis deontologi didasarkan pada
aturan moral dan nilai-nilai yang sudah mapan dalam masyarakat,
serta kewajiban moral yang harus dipenuhi oleh individu atau
organisasi. Dalam model ini, keputusan diambil berdasarkan ketaatan
pada aturan moral atau prinsip etis tertentu, tanpa mempertimbangkan
dampak atau konsekuensi tindakan tersebut.
Dalam konteks bisnis, seorang pemimpin perusahaan harus
mempertimbangkan nilai-nilai etis yang suddah mapan dalam
masyarakat, seperti kejujuran, keadilan, dadn integritas, serta
mematuhi aturan dan regulasi yang berlaku. Dalam mengambil
keputusan, seorang pemimpin harus mempertimbangkan apakah
tindakan tersebut sesuai dengan aturan dan nilai-nilai etis yang sudah
mapan dalam masyarakat.
Misalnya, seorang pemimpin perusahaan dihaddapkan pada
pilihan antara membayar suap atau tidak, harus mempertimbangkan
nilai-nilai etis seperti kejujuran dan integritas, serta kewajiban moral
untuk mematuhi hukum dan regulasi yang berlaku. Dalam model
deontologi, keputusan yang diambil adalah yang sesuai dengan nilai-
nilai etis dan prinsip moral yang sudah mapan, bahkan jika dampaknya
pada akhirnya tidak menguntungkan.
Kelemahan dari model deontologi adalah ketika aturan moral atau
nilai-nilai yang sudah mapan saling bertentangan. Dalam situasi seperti
itu, model deontologi dapat menghasilkan keputusan yang sulit,
bahkan menghasilkan keputusan yang tidak adil bagi semua pihak.
Oleh karena itu perlu untuk mempertimbangkan model pengambilan
keputusan etis lain dan konteks yang lebih spesifik sebelum
memutuskan menggunakan model ini.

3. Model etika kebajikan


4. Model etika perawatan
5. Model etika dialogis

D. Metode Pengambilan Keputuasan Etis

Metode pengambilan keputusan etis merupakan serangkaian


pendekatan dan alat yang dapat digunakan untuk membantu seseorang
dalam memilih tindakan yang etis dan sesuai dengan nilai-nilai moral.
Metode pengambilan keputusan etis yang umum digunakan adalah:
kerangka kerja etika, analisis konsekuensi, dan etika berdasarkan aturan.

21
1. Kerangka kerja etika
Kerangka kerja etika adalah metode pengambilan keputusan etis yang
melibatkan pertimbangan berbagai nilai dan prinsip etika untuk
membantu seseorang dalam memilih tindakan yang benar atau salah.
Kerangka kerja ini mencakup empat tahap, yaitu:
- Identifikasi masalah etis: menentukan masalah atau situasi yang
melibatkan pertimbangan etis;
- Identifikasi nilai etika yang relevan: menentukan nilai etika atau
prinsip yang berkaitan dengan masalah tersebut;
- Evaluasi alternatif tindakan: menganalisis alternatif tindakan yang
memperhatikan nilai etika yang relevan;
- Mengambil keputusan: memilih tindakan yang paling sesuai
dengan nilai etika yang paling relevan.

2. Analisis konsekuensi
Metode ini melibatkan pertimbangan dampak tindakan pada orang lain
dan lingkungan sekitar untuk mementukan apakah tindakan tersebut
etis atau tidak. Dalam metode ini, seseorang harus mempertimbangkan
konsekuensi positif dan negatif dari setiap alternatif tindakan dan
memilih tindadkan yang memberikan konsekuensi positif terbesar dan
konsekuensi negatif terkecil.

3. Etika berdasarkan aturan


Metode ini melibatkan penggunaan aturan atau kode etik untuk
membantu seseorang dalam memilih tindakan yang etis. Dalam metode
ini, seseorang harus mempertimbangkan apakah tindakan tersebut
sesuai dengan aturan atau kode etik yang berlaku. Jika tindakan
tersebut melanggar aturan atau kode etik, maka tindakan tersebut
dianggap tidak etis.

Ketiga metode pengambilan keputusan etis tersebut memiliki kelebihan


dan kekurangan masing-masing. Oleh karena itu seseorang harus memilih
metoda yang paling sesuai dengan situasi dan nilai-nilai etika yang
mendasari organisasi dan masyarakat.

E. Tantangan dalam Pengambilan Keputusan Etis

Dalam pengambilan keputusan etis, seringkali kita dihadapkan


pada beberapa tantangan yang dapat menghambat proses pengambilan
keputusan yang etis. Di antara tantangan yang biasa dihadapi tersebut
adalah: konflik kepentingan, tekanan dari pihak lain, dan ketidakpastian.

1. Konflik kepentingan

22
Konflik kepentingan terjadi ketiak seseorang harus memilih antara dua
atau lebih nilai atau prinsip yang berlawanan atau tidak konsisten.
Misalnya, seorang manajer yang harus memiliih antara memenuhi
target penjualan yang tinggi dan memenuhi kebutuhan pelanggan yang
sebenarnya. Konflik kepentingan seperti ini dapat membuat
pengambilan keputusan etis menjadi sulit karena setiap pilihan yang
diambil dapat mempengaruhi orang lain atau organisasi secara
berbeda. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pengambilan
keputusan yang lebih terbuka, transparan, dan memperhatikan
dampak tindakan pada semua pihak yang terlibat.

2. Tekanan dari pihak lain


Bisa saja seseorang merasa terpaksa memilih tindakan yang mungkin
tidak etis karena adanya tekanan dari atas, rekan kerja, atau pihak lain.
Tekanan ini dadpat berasal dari keinginan untuk mencapai target atau
tujuan yang telah ditetapkan, untuk mempertahankan pekerjaan atau
posisi, atau untuk menghindari konflik dengan orang lain. Untuk
mengatasi tantangan ini, diperlukan kemampuan untuk berpikir kritis
dan mandiri, serta mempertimbangkan nilai-nilai etika yang mendasari
oraganisasi dan masyarakat.

3. Ketidakpastian
Tantangan lain dari pengambilan keputusan etis adalah adanya
ketidakpastian yang timbul ketika seseorang tidak memiliki informasi
yang cukup atau jelas tentang situasi atau masalah yang sedang
dihadapi. Ketidakpastian ini dapat membuat pengambil keputusan etis
menjadi sulit karena seseorang tidak dapat memperkirakan
konsekuensi tindakan yang akan diambilnya. Untuk mengatasi
tantangan ini, diperlukan kemampuan untuk mencari informasi yang
lebih banyak dan melakukan analisis risiko yang lebih teliti, serta
mempertimbangkan dampak tindakan pada semua pihak yang terlibat.

Dalam pengambilan keputusan etis, penting untuk mengatasi tantangan


yang mungkin muncul dengan memperhatikan nilai-nilai etika yang
mendasari organisasi dan masyarakt, serta dengan menggunakan mede
pengambilan keputusan etis yang tepat.

F. Membangun Budaya Etis di dalam Organisasi

Setiap organisasi perlu membangun budaya etis karena akan


memberikan banyak manfaat bagi organisasi itu sendiri, karyawan,
pelanggan dan masyarakat secara umum. Di antara manfaat tersebut
adalah: meningkatkan kepatuhan hukum, meningkatkan produktivitas,

23
meningkatkan reputasi organisasi, kepuasan pelanggan, dan menjaga
kesinambungan bisnis.
Oleh karena itu, organisasi haru mengambil langkah-langkah
konkret untuk membangun budaya etis yang kuat dan mendukung, agar
organisasi dapat mencapai tujuannya dengan cara yang baik dan
bertanggung jawab secara sosial. Di antara langkah yang dapat dilakukan
antara lain sebagaimana dijelaskan dalam uraian di bawah ini.

1. Mengintegrasikan nilai-nilai etika ke dalam binsis


Penting bagi organiasi untuk mengintegrasikan nilai-nilai etika ke
dalam operasi bisnisnya, sehingga setiap anggota organiasi mengerti
nilai-nilai yang harus dipatuhi dalam setiap tindakan bisnis yang
diambil. Dengan demikian organisasi dapat memastikan bahwa seetiap
tindakan yang diambila sesuai dengan nilai-nilai etika yang dianut oleh
organisasi.

2. Pelatihan dan dukungan karyawan


Organisasi perlu memberikan pelatihan dan dukungan yang memadai
untuk karyawan dalam hal eetika bisnis, sehingga mereka dapat
mengerti pentingnya nilai-nilai etika dalam setiap tindakan yang
mereka lakukan. Dukungan ini dapat berupa layanan konseling dan
saran bagi karyawan yang mengalami dilema etika atau konflik, dan
juga melalui pembuatan kode etik yang jelas dan mudah dipahami.

3. Komunikasi yang jelas dan terbuka


Organisasi perlu memastikan bahwa komunikasi antara karyawan dan
manajemen terjadi ssecara terbuka ddan jelas dalam hal nilai-nilai yang
dianut oleh organisasi. Hal ini dapat dilakukan melalui rapat-rapat
berkala dan komunikasi dua arah, sehingga setiap anggota organisasi
merasa nyaman untuk memberikan masukan dan saran dalam hal etika
bisnis.

4. Penegakan aturan dan standar etika


Organisasi perlu menegakkan aturan dan standar etika yang telah
ditetapkan, agar setiap anggota organisasi mengerti konsekuensi yang
akan dihadapi jika melanggar nilai-nilai etika yang telah ditetapkan
tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian sanksi yang jelas
bagi karyawan yang melanggar aturan atau nilai etika, serta
menjalankan sistem pelaporan dan audit yang transparan dan terbuka.

Dalam membangun budaya etis di dalam organisasi, hal yang sangat


penting adalah adanya komitmen dari manajemen dan setiap anggota
organisasi untuk menerapkan nilai-nilai etika dalam setiap tindakan yang

24
diambil. Dengan demikian, organisasi dapat menciptkan lingkungan kerja
yang sehat, produktif, dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika yang tinggi.

G. Studi Kasus Pengambilan Keputusan Etis

Dalam praktiknya, akan banyak sekali ditemukan kasus yang


terkait dengan pengambilan keputusan etis dalam perusahaan. Tiga
contoh kasus berikut diharapkan dapat meningkatkan pemahaman
pembaca tentang pentingnya memilih tindakan saat seseorang pengambil
keputusan dihadapkan pada situasi yang dampaknya berkaitan dengan
masalah etika.

Kasus 1

Seorang dierektur perusahaan menerima tawaran dari pihak


kontraktor untuk memperoleh proyek pembangunan gedung baru.
Namun, ia mengetahui bahwa kontraktor tersebut memiliki reputasi yang
buru dalam hal pelanggaran keselamatan kerja dan pengabaian
lingkungan.
Direktur perusahan tersebut harus memutuskan apakah akan
menerima tawaran tersebut demi keuntungan finansial atau menolak
tawaran tersebut karena melanggar prinsip-prinsip etika.
Dalam hal ini direktur perusahaan harus mempertimbangkan
prinsip-prinsip etika seperti tanggun jawab sosial, keadilan, dan
kemanusiaan dalam pengambilan keputusannya. Ia harus memastikan
bahwa proyek tersebut tidak akan membahayakan keselamatan kerja dan
lingkungan sekitar, serta mempertimbangkan dampak positif jangka
panjang bagi masyarakat.
Jika direktur perusahaan memutuskan untuk menerima tawaran
kontraktor tersebut, ia harus memastikan bahwa kontraktor tersebut
mematuhi standar keselamatan dan lingkungan yang berlaku, serta
mengambil tindakan yang tepat jika terjadi pelanggaran. Namun, jika
direktur perusahaan memutuskan untuk menolak tawaran tersebut, ia
harus mencari alternatif kontraktor yang mematuhi prinsip-prinsip etika
dan standar keselamatan ekrja dan lingkungan.

Kasus 2

Seorang manajer produksi sebuah pabrik pengolahan makanan


mengetahui bahwa produk yang diproduksi oleh pabriknya mengandung
bahan kimia berbahaya yang melebihi batas aman. Dia tahu bahwa jika
mengeluarkan produk tersebut ke pasaran, akan berdampak buruk bagi
kessehatan konsumen dan merugikan reputasi perusahaan. Namun, jika

25
tidak mengeluarkan produk tersebut, perusahaan akan mengalami
kerugian yang besar.
Dalam situasi ini, manajer produksi harus mempertimbangkan
prinsip-prinsip etika dalam pengambilan keputusannya. Dia harus
memastikan bahwa tidak ada resiko bagi kesehatan konsumen dan juga
mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap reputasi
perusahaan dan tanggung jawab sosialnya.
Manajer produksi harus segera melaporkan temuannya kepada
manajemen senior dan bersama-sama mencari solusi yang tepat. Mereka
bisa memutuskan untuk menarik produk dari pasaran, melakukan recall
dan memperbaiki proses produksi agar tidak lagi terjadi pelanggaran
keselamatan produk. Selain itu, mereka harus memperkuat sistem
pengawasan dan memastikan bahwa standar keselamatan makanan
terpenuhi secara ketat dalam proses produksi.
Tentu saja keputusan tersebut akan berdampak pada keuangan
perusahaan, namun tanggung jawab sosial ddan kesehatan konsumen
harus menjadi prioritas. Manajer produksi dan manajemen senior harus
memastikan bahwa keputusan yang diambil sesuai dengan prinsip-
prinsip etika dan tidak merugikan konsumen dan masyarakat luas.
Mereka juga harus melakukan komunikasi yang jelas dan terbuka kepada
pelanggan dan stakeholder lainnya tentang tindakan yang diambil dan
langkah-langkah untuk memperbaiki proses produksi.
Dalam jangka panjang, tindakan yang diambil oleh perusahaan
tersebut akan memperkuat reputasi dan kepercayaan pelanggan. Hal ini
akan membawa manfaat jangka panjang bagi perusahaan, karena
konsumen cenderung lebih memilih produk yang diproduksi secara etis
dan memperhatikan keselamatan dan kessehatan konsumen.
Sebagai pemimpin, manajer produksi harus selalu mengedepankan
prinsip-prinsip etika dalam pengambilan keputusan bisnis dan
memastikan bahwa karyawwan lainnya juga mengikuti nilai-nilai etika
yang diterapkan dalam perusahaan.

Kasus 3
Seorang eksekutif di sebuah perusahaan besar mengetahui bahwa
salah satu proyek yang dikerjakan oleh perusahaannya melibatkan
korupsi dan penyapan dalam proses pengadaan. Dia tahu bahwa jika
terbongkar, perusahaan akan mengalami kerugian besar dan reputasi
mereka akan hancur. Namun, dia juga tahu bahwa jika tidak membongkar
hal tersebut, maka perbuatan tersebut akan terus dilakukan dan
merugikan masyarakat.
Dalam situasi ini, eksekutif harus mempertimbangkan prinsip-
prinsip etika dalam pengambilan keputusannya. Dia harus memastikan
bahwa perusahaan tidak terlibat dalam tindakan korupsi dan penyapan
yang merugikan masyarakat. Selain itu, dia harus mempertimbangkan

26
konsekuensi jangka panjang dan dampaknya terhadap reputasi
perusahaan dan tanggung jawab sosialnya.
Eksekutif tersebut harus segera melaporkan temuannya kepada
manajemen senior dan bersama-sama mencari solusi yang tepat. Mereka
bisa memutuskan untuk menghentikan proyek tersebut dan memperbaiki
proses pengadaan sehingga tidak lagi terjadi pelanggaran etika. Selain itu,
mereka harus memperkuat sistem pengawasan dan memastikan bahwa
perusahaan bekerja secara etis dan mematuhi standar etika dalam bisnis.
Keputusan yang diambil tentu akan berdampak pada kerugian
keuangan perusahaan, namun etika tanggung jawab sosial tetap harus
menjadi yang utama. Eksekutif dan manajemen senior harus memastikan
bahwa keputusan yang diambil sesuai dengan prinsip-prinsip etika dan
tidak merugikan masyarakat dan pihak lain.
Dalam jangka panjang, tindakan yang diambil perusahaan akan
memperkuat reputasi dan kepercayaan masyarakat. Hal ini akan
membawa manfaat jangka panjang bagi perusahaan, karena pelanggan
cenderung memilih perusahaan yang bekerja secara etis dan
memperhatikan kepentingan masyarakat.
Sebagai pemimpin, eksekutif harus selalu mengedapankan prinsip-
prinsip etika dalam pengambilan keputusan bisnis dan memastikan
bahwa karyawan lainnya juga mengikuti nilai-nilai etika yang diterapkan
dalam perusahaan.

27
Materi 4: Good Corporate Governance (GCG)
Pokok Bahasan:
 Pengertian tujuan penerapan GCG
 Prinsip-Prinsip GCG
 Diskusi kelompok tentang kajian GCG dalam jurnal-jurnal ilmiah.

Kemampuan akhir yang diharapkan (Sub-CPMK):


 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian GCG
dan memberikan contoh penerapannya dalam perusahaan;
 Mahasiswa mampu memahami dan memberikan contoh Prinsip-
prinsip GCG;
 Mahasiswa mampu menganalisis kasus perusahaan dengan
menggunakan pendekatan prinsip-prinsip GCG;
 Mahasiswa mampu berpartisipasi dalam diskusi kelompok tentang
berbagai kajian GCG dalam jurnal-jurnal ilmiah

Tugas kelompok:
Buatlah makalah tentang materi Good Corporate Governance (GCG),
dengan berpedoman kepada kerangka materi di atas. Sebagai bagian dari
makalah, buatlah sebuah ringkasan sebuah kasus terbaru terkait GCG,
dan telaahlah keputusan tersebut dengan menggunakan prinsip-prinsip
GCG.

28
BAB 4
GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)

Bab ini akan membahas mengenai konsep dasar Good Corporate


Governance (GCG), implementasi GCG, tantangan dalam implementasi
GCG, serta studi kasus implementasi GCG di perusahaan.

A. Konsep Dasar GCG

1. Pengertian GCG
GCG merupakan suatu konsep yang menyangkut prinsip-
prinsip pengelolaan dan pengawasan perusahaan yang baik dan
bertanggung jawab. GCG bertujuan untuk memastikan bahwa
perusahaan dijalankan secara etis, efisien, dan efektif, serta
memastikan bahwa kepentingan seluruh pemangku kepentingan
terpenuhi. Dalam penerapannya, GCG meliputi seluruh proses
pengambilan keputusan yang transparan, akuntabel, bertanggung
jawab, dan berdasarkan pada nilai-nilai etika yang diakui secara
internasional.
Penerapan GCG dianggap penting karena dapat membantu
perusahaan mencapai tujuang-tujuannya secara lebih efektif dan
efisien, sambil tetap memperhatikan kepentingan seluruh
pemangku kepentingan yang terlibat, seperti pemegang saham,
karyawan, pelanggan, masyarakat, dan pemerintah. Dalam
praktiknya, GCG biasanya dilaksanakan melalui kebijakan dan
prosedur yang disusun secara sistematis, serta melalui penerapan
tata kelola perusahaan yang baik.

29
GCG juga seringkali dikaitkan dengan konsep-konsep
seperti transparansi, akuntabilitas, keberlanjutan, dan tanggung
jawab sosial perusahaan (Corporate Social Resposibility/CSR).
Konsep-konsep ini dianggap penting karena dapat membantu
perusahaan untuk lebih mengintegrasikan aspek-aspek sosial dan
lingkungan dalam operasinya, dan untuk memberikan manfaat
yang lebih luas bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Dalam praktiknya, penerapan GCG seringkali melibatkan
peran aktif dari seluruh pemangku kepentingan perusahaan,
termasuk manajemen, dewan direksi, pemegang saham, karyawan,
dan masyarakat sekitar. Peran aktif dan partisipatif dari seluruh
pemangku kepentingan dianggap penting karena dapat membantu
memastikan bahwa GCG diterapkan dengan baik dan efektif, serta
bahwa kepentingan seluruh pemangku kepentingan terpenuhi
dengan adil.

2. Sejarah Perkembangan GCG


Sejarah perkembangan GCE dapat dilacak hingga awal
tahun 1990-an. Pada saat itu, terjadi serangkaian skandal korupsi
dan kegagalan perusahaan besar di beberapa negara, termasuk
Amerika Serikat dan Jepang. Kegagalan dan skandal tersebut
menyebabkan kekhawatifan tentang keberlanjutan dan integritas
sistem perusahaan yang ada, dan mendorong munculnya tuntutan
untuk perbaikan dan reformasi.
Pada tahun 1992, Komisi Tinggi Nasional Inggris tentang
Tata Keoloa Perusahaan mengeluarkan laporan Cardbury yang
menekankan pentingnya pberbaikan tata kelola perusahaan.
Laporan Cadbury merekomendasikan beberapa prinsip tata kelola
perusahaan, termasuk pentingnya penerapan kode etik, audit
independen, dan tanggung jawab dewan direksi dalam
memastikan keberhasilan perusahaan.
Setelah itu, pada tahun 1999, Organisasi untuk Kerjasama
dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengeluarkan Prinsip-Prinsip
OECD tentang Tata Kelola Perusahaan. Prinsip-prinsip ini
menekankan pentingnya penerapan tata kelola perusahaan yang
baik sebagai bagian dari upaya untuk memperbaiki tata kelola
ekonomi secara keseluruhan. Prinsip-prinsip tersebut menekankan
pentingnya kepentingan para pemangku kepentingan, transparasi,
dan akuntabilitas dalam pengelolaan perusahaan.
Sejak itu, GCG menjadi semakin dikenal dan dianggap
ssebagai prasyarat penting dalam pengelolaan perusahaan yang
baik dan bertanggung jawab. Pada tahun 2004, Indonesia
mengeluarkan Undang-undang tentang Perseoran Terbatas yang
mencantumkan prinsip-prinsip GCE sebagai bagian dari regulasi

30
perusahaan. Hal ini menunjukkan pengakuan dan pentingnhya
penerapan GCG dalam pengelolaan perusahaan di Indonesia dan
di negara-negara lain di dunia.
Dalam satu dekade terakhir, GCG semakin menjadi fokus
perhatian global, terutama setelah krisis keuangan global pada
tahun 2008. Krisis tersebut kekhawatiran tentang integritas dan
keberlanjutan sistem keuangan global, dan mendorong tuntutan
untuk perbaikan dan reformasi. Sejak itu, GCG terus menjadi isu
penting dalam pengelolaan perusahaan dan menjadi fokus
perhatian di tingkat nasional dan internasional.

3. Prinsip-Prinsip GCG
Prinsip-prinsip GCG merupakan pedoman dalam
menjalankan bisnis secara etis dan bertanggungjawab, serta
menjaga kepentingan seluruh pemangku kepentingan. Berikut ini
dijelaskan mengenai prinsip-prinsip GCG tersebut.

Kepatuhan terhadap Hukum dan Peraturan


Perusahaan harus mematuhi semua hukum dan peraturan
yang berlaku dalam menjalankan bisnisnya. Hal ini meliputi
aturan-aturan yang berkaitan dengan lingkungan, kesehatan dan
keselamatan kerja, hak asasi manusia, korupsi, dan praktik bisnis
yang sah dan adil.
Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan merupakan
prinsip GCG yang sangat penting karena dapat menghindarkan
perusahaan dari risiko hukum dan dapat meningkatkan
kepercayaan para pemangku kepentingan terhadap semua
perusahaan.
Dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus memastikan
bahwa kegiatan bisnisnya tidak melanggar hukum dan peraturan
yang berlaku, baik itu di tingkat nasional maupun internasional.
Perusahaan juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan etika
dan moral dalam bisnisnya, serta memastikan bahwa produk atau
layanannya aman dan sesuai dengan standar yang berlaku.
Jika perusahaan melanggar hukum dan peraturan yang
berlaku, hal ini dapat berdampak buruk terhadap reputasi
perusahaan dan dapat menimbulkan risiko hukum yang signifikan.
Oleh karena ini, perusahaan harus memastikan bahwa semua
karyawan dan pihak terkait memahami dan mematuhi hukum dan
peraturan yang berlaku, serta memiliki sistem pengawasan dan
pengendalian yang efektif untuk mencegah terjadinya pelanggaran.
Dengan mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku,
perusahaan dapat membangun kepercayaan pemangku
kepentingan, meningkatkan reputasi perusahaan, serta

31
menghindari risiko hukum dan keuangan yang dapat
membahayakan kelangsungan bisnis perusahaan.

Transparansi
Transparansi adalah prinsip yang menuntut perusahaan
agar memberikan informasi yang jelas, akurat, dan mudah
dipahami untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil
oleh perusahaan didasarkan pada informasi yang tepat dan
objektif. Ini mengacu pada upaya memastikan bahwa semua
informasi yang berkaitan dengan perusahaan dapat diakses oleh
pemangku kepentingan yang berhak. Hal ini mencakup laporan
keuangan, kebijakan perusahaan, struktur organisasi, dan lain
sebagainya. Transparansi dan keterbukaan penting dalam
membantu membangun kepercayaan degnan pemangku
kepentingan, seperti investor dan masyarakat umum.
Transparansi juga umum dimaksudkan dengan keterbukaan
dan kejelasan informasi yang disediakan oleh perusahaan kepada
seluruh pemangku kepentingan, seperti investor, karyawan,
konsumen dan masyarakat umum. Prinsip transparansi ini
bertujuan untuk memastikan bahwa informasi yang disediakan
oleh perusahaan mengenai kinerja keuangan, operasi, dan strategi
bisnisnya adalah akurat, jelas, dan mudah dipahami.
Perusahaan harus secara terbuka dan transparan
memberikan informasi yang relevan dan penting kepada
pemangku kepentingannya, termasuk informasi mengenai risiko
dan tantangan yang dihadapi oleh perusahaan, kinerja keuangan
dan non-keangan, dan praktik bisnis yang digunakan oleh
perusahaan. Hal ini dapat membantu pemangku kepentingan
dalam membuat keputusan yang bisjaksana dan dapat
meningkatkan kepercayaan mereka terhaddap perusahaan.
Selain itu, prinsip transparansi juga mencakup keterbukaan
perusahaan dalam melakukan komunikasi dengan pemangku
kepentingannya. Perusahaan harus mendorong dialog terbuka dan
berkelanjutan dengan pemangku kepentingan, serta menyediakan
saluran komunikasi yang efektif untuk menerima umpan balik dan
keluhan dari pemangku kepentingan.
Dalam praktiknya, perusahaan dapat memenuhi prinsip
transparansi dengan menyediakan laporan keuangan dan no-
keunangan yang jelas dan mudah dipahami, serta menyediakan
informasi mengenai kebijakan dan praktik bisnis perusahaan di
website dan media sosial. Perusahaan juga dapat
menyelenggarakan pertemuan terbuka dengan pemangku
kepentingan dan memastikan bahwa seluruh informasi yang

32
disediakan oleh perusahaan dapat diakses secara terbuka dan
mudah dipahami.

Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah prinsip GCG yang menuntut
perusahaan untuk bertanggung jawab atas setiap keputusan dan
tindakan yang diambil. Perusahaan harus mampu memberikan
pertangungjawaban atas kinerja dan hasil yang dicapai.
Prinsip akuntabilitas menuntut perusahaan untuk secara
terbuka dan jujur melaporkan kinerja keuangan dan non-keuangan
perusahaan kepada seluruh pemangku kepentingan, serta
menjelaskan alasan di balik setiap keputusan dan tindakan yang
diambil.
Dalam praktiknya, perusahaan harus memiliki sistem
pengendalian internal yang efektif untuk memastikan bahwa
semua keputusan dan tindakan yang diambil sesuai dengan etika
bisnis dan peraturan yang berlaku. Perusahaan juga harus memiliki
proses untuk memantau dan mengevaluasi kinerja dan hasil yang
dicapai, serta melakukan perbaikan jika diperlukan.
Perusahaan harus secara terbuka dan jujur memberikan
laporan mengenai kineja keuangan dan non-keuangan, termasuk
laporan keuangan, laporan keberlanjutan, dan laporan sosial, dan
harus dapat memberikan penjelasan dan alasan di balik setiap
tindakan atau keputusan yang diambil. Perusahaan juga harus
memiliki komite audit independen yang bertanggung jawab untuk
memastikan kepatuhan terhadap prinsip akuntabilitas dan
menyediakan laporan kepada dwan direksi dan pemangku
kepentingan lainnya.
Dengan memenuhi prinsip akuntabilitas, perusahaand dapat
membangun kepercayaan dan kredibilitas di antara pemangku
kepentingannya, serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi
operasioanl perusahaan secara keseluruhan.

Kewajiban fidusia
Kewajiban fidusia adalah perinsip GCG yang menuntut
perusahaan untuk memegang teguh prinsip kepercayaan dan
kejujuran dalam menjalankan bisnis. Prinsip ini mengakui bahwa
perusahaan memiliki tanggung jawab moral dan sosial yang lebih
luas daripada hanya mencari keutungan semata.
Perusahan harus dapat menjaga kepercayaan dari seluruh
pemangku kepentingan dengan tidak melakukan tindakan yang
merugikan. Ini juga berkaitan dengan kepercayaan yang diberikan
oleh pemangku kepentingan kepada perusahaan dan
manajemennya untuk menjalankan bisnis secara etis dan

33
bertanggung jawab. Perusahaan harus bertindak dengan integritas
dan menghormati hak asasi manusia, lingkungan, dan masyarakat
di mana perusahaan beroperasi.
Dalam praktiknya, perusahaan dapat memenuhi prinsip
kewajiban fidusia dengan melakukan evaluasi risiko sosial dan
lingkungan, serta memastikan bahwa praktik bisnis perusahaan
tidak melanggar hak asasi manusia atau merugikan masyarakat
setempat. Perusahaan juga harus secara terbuka dan transparan
mengkomunikasikan komitmen dan praktik bisnisnya yang
berkalanjutan kepada seluruh pemangku kepentingan.
Perusahaan juga harus mengembangkan sistem pengaduan
dan pengadilan yang efektif untuk memastikan bahwa pemangku
kepentingan dapat melaporkan pelanggaran etika bisnis atau
kebijakan perusahaan dengan aman dan tanpa takut retribusi.
Perusahaan harus menanggapi pengaduan dengan cpat dan adil,
serta mengambil tindakan untuk memperbaiki situasi jika
diperlukan.
Dengan memenuhi prinsip kewajiban fidusia, perusahaan
dapat membangun kepercayaan dan reputasi yang baik di antara
pemangku kepentingannya, serta mengurangi risiko reputasi dan
hukum yang mungkin muncul akibat pelanggaran etika bisnis.

Tanggung jawab sosial dan lingkungan


Tanggung jawab sosial perusahaan adalah prinsip GCG
yang menuntut perusahaan untuk memperhatikan dan memenuhi
tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat dan lingkungan
sekitar. Hal ini mencakup aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Perusahaan harus bertanggung jawab secara sosial dan
lingkkungan, baik dalam kegiatan operasional maupun dalam
hubungannya dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnhya.
Prinsip ini mencakup upaya perusahaan dalam mengurangi
dampak negatif terhadap lingkungan dan memberikan manfaat
bagi masyarakat sekitar.
Hal ini dapat dilakukan melalui program-program CSR
seperti pengurangan emisi karbon, pengalolaan limbah yang baik,
pengembangan produk yang ramah lingkungan, dan kebijakan
persamaan kesempatan kerja. Perusahaan juga harus secara
terbuka dan transparan melaporkan kinerja sosial dan
lingkungannya, serta mendengarkan dan memperhatikan masukan
dan keluhan dari masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.
Dengan memenuhi prinsip ini, perusahaand dapat
membangun reputasi yang baik dan menciptakan nilai jangka
panjang bagi seluruh pemangku kepentingannya. Perusahaan juga
dapat memperoleh manfaat ekonomi, seperti efisiensi operasional

34
dan keunggulan kompetitif, dengan mengurangi risiko sosial dan
lingkungan dan memperbaiki reputasinya di masyarakat.

Independensi
Independensi adalah prinsip GCG yang menekankan
pentingnya perusahaan untuk memiliki struktur dan proses
pengambilan keputusan yang bebas dari pengaruh dan
kepentingan pihak lain yang terkait dengan kepentingan bisnis.
Prinsip ini menunjut agar perusahaan menjalankan bisnis secara
objektif, tidak bias dan tidak terikat pada kepentingan pribadi atau
kelompok tertentu.
Dalam praktiknya, independensi dapat dicapai dengan
berbagai cara, misalnya dengan memiliki dewan direksi yang
independen, memisahkan fungsi pemegan saham dan manajemen,
serta melaksanakan audit internal dan eksternal secara independen.
Perusahaan juga harus mampu mengidentifikasi dan mengatasi
konflik kepentingan yang mungkin muncil dalam kegiatan
bisnisnya.
Dengan menjaga independensi, perusahaan dapat
meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, memperbaiki
kinerja bisnis, serata membangun kepercayaan dan reputasi yang
baik di antara pemangku kepentingannya. Perusahaan juga dapat
mengurangi risiko kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan,
serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan
bisnisnya.

Kepentingan seluruh stakeholders


Pada prinsip ini, perusahaan dituntut untuk memperhatikan
dan menjaga kepentingan dan kesejahteraan dari seluruh
stakeholders. Prinsip ini menekankan pentingnya perusahaan
untuk memperlakukan semua pemangku kepentingan dengan adil,
seimbang, dan proporsional.
Pemangku kepentingan perusahaan bisa meliputi para
pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok, komunitas
lokal, pemerintah, dan lingkungan. Prinsip kepentingan seluruh
stakeholders menuntut perusahaan untuk mempertimbangkan
dampak dari kegiatan bisisnya terhadap kepentingan dan
kesejahteraan semua pemangku kepentingan.
Dalam praktiknya, perusahaan dapat memenuhi prinsip
kepentingan seluruh stakeholders dengan melaksanakan berbagai
program dan inisiatif, seperti pengembangan produk dan layanan
yang ramah pelanggan, kebijakan kelsematan dan kesehatan kerja
yang baik, kebijakan pengadaan dari pemasok yang bertanggung

35
jawab, serta progrma tanggung jawab sosial dan lingkungan yang
terintegrasi.
Dengan memenuhi prinsip ini, perusahaan akan dapat
meningkatkan kepercayaan dan dukungan dari semua pemangku
kepentingan, serta memperkuat prosisinya di pasasr dan
masyarakat. Perusahaan juga dapat meningkatkan kinerja dan
produktivitas, serta mengurangi risiko dan konflik dengan
pemangku kepentingan yang tidak puas.

B. Manfaat GCG
1. Manfaat GCG bagi Perusahaan

Bagi perusahaan, penerapan GCG akan bermanfaat antara lain


untuk:
a. Meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan;
b. Meningkatkan efisiensi dan kinerja keuangan perusahaan;
c. Mengurangi biaya
d. Meningkatkan reputasi dan citra perusahaan; dan
e. Meningkatkan keberlanjutan bisnis jangka panjang
Meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan
Dengan menerapkan prinsip GCG, perusahaan dapat
memperoleh kepercayaan dari pemangku kepentingan, seperti
pemegang saham, karyawan, pelanggan dan masyarakat.
Kepercayaan dari pemangku kepentingan tentu sangat penting
bagi keberhasilan perusahaan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip
GCG, perusahaan dapat menunjukkan komitmen mereka untuk
beroperasi secara etis dan bertanggung jawab terhadap seluruh
pemangku kepentingan. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan
pemangku kepentingan terhadap perusahaan, yang pada
gilirannya dapat membantu perusahaan dalam memperoleh akses
ke sumber daya modal, serta posisi yang lebih baik di pasar.
Pemegang saham, misalnya, akan lebih cenderung untuk
menginvestasikan uang mereka ke dalam perusahaan yang
memiliki reputasi baikdalam hal tata kelola perusahaan dan
transparansi. Pelanggan juga lebih cenderung untuk memilih
proudk atau layanan dari perusahaan yang dianggap bertanggung
jawab dan etis dalam operasinya. Sementara itu, karyawan akan
lebih bermotivasi untuk bekerja dengan baik jika mereka merasa
bahwa perusahaan memperlakukan mereka secara adil dan
memberikan kesempatan untuk berkembang.
Dengan meningkatnya kepercayaan pemangku kepentingan,
perusahaan juga dapat memperoleh manfaat lain seperti dukungan
masyarakat, perjanjian kerjasama dengan mitra bisnis, dan akses ke
sumber daya yang lebih baik. Oleh karena itu, menerapkan prinsip-

36
prinsip GCG dapat menjadi strategi bisnis yang penting bagi
perusahaan dalam jangka panjang.

Meningkatkan efisiensi dan kinerja keuangan perusahaan


Penerapan GCG dapat membantu perusahaan dalam
meningkatkan efisiensi dan kinerja mereka dengan cara yang
berbeda. Pertama, GCG dapat membatu perusahaan
mengidentifikasi risiko dan mengambil tindakan yang diperlukan
untuk mengurangi risiko tersebut. Dengan meminimalkan risiko,
perusahaan dapat menghindari kerugian yang tidak perlu dan
meningkatkan keuntungan mereka.
Kedua, GCG dapat membantu perusahaan memperbaiki
kinerja tata kelola perusahaan dan memastikan bahwa keptusan
bisnis diambil dengan cara yang transparan dan berdasarkan
prinsip-prinsip yang etis. Hal ini dapat membantu perusahaan
menghindari keputusan yang burku atau tidak bertanggung jawab,
yang dapat merusak reputasi perusahaan dan merugikan para
pemangku kepentingan.
Ketiga, dengan menerapkan prinsip-prinsip GCG,
perusahaan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
mereka, sehingga memudahkan pemantauan kinerja dan
pengambilan keputusan yang lebih baik. Hal ini dapat membantu
perusahaan untuki mengalokasikan sumber daya dengan lebih
efektif dan meningkatkan produktivitas dan kinerja mereka secara
keseluruhan.
Dalam jangka panjang, meningkatkan efisiensi dan kinerja
perusahaan dapat membantu perusahaan untuk tumbuh dan
berkembang dengan biaik. Hal ini juga dapat memberikan manfaat
bagi pemangku kepentingan, seperti pemegang saham dan
karyawan, yang bisa memperoleh keuntungan dan peningkatan
nilai perusahaan dan kesempatan karir yang lebih bik. Oleh karena
itu, GCG dapat menjadi faktof pentinga dalam keberhasilan jangka
panjang perusahaan.

Mengurangi biaya
Penerapan GCG, dapat mengurangi biaya perusahaan
terkait dengan risiko dan tindakan yang tidak etis. Misalnya,
perusahaan yang menerapkan prinsip-prinsip GCG dapat
menghindari tindakan yang melanggar hukum atau etika, yang
dapat menyebabkan perusahaan terkena sanksi atau denda ddari
pihak berwenang.
Dalam jangka panjang, biaya-biaya ini dapat berakumulasi
dan mengganggu kinerja keuangan perusahaan. Selain itu,
perusahaan yang tidak memperhatikan GCG dapat menghadapi

37
risiko reputasi yang besar, yang ddapat merusak citra perusahaan
dan mengurangi kepercayaan pemangku kepentigannya.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip GCG, perusahaan
dapat menghindari risiko ini dan mengurangi biaya yang terkait
dengan fisiko dan tindakan yang tidak etis. Hal ini dapat
membantu perusahaan untuk mengalokasikan sumber daya
dengan lebih efektif dan meningkatkan kinerja keuangan mereka.
Selain itu, perusahaan yang menerapkan GCG yang baik dapat
menarik investor yang berkomitmen pada etika dan berkelanjutan,
dan hal ini dapat memperkuat posisi perusahaan di pasar.

Meningkatkan reputasi dan citra perusahaan


Menerapkan prinsip-prinsip GCG dengan baik dapat
membantu meningkatkan reputasi dan citra perusahaan di mata
pemangku kepentingan. Sebuah perusahaan yang memiliki
reputasi dan citra yang baik dapat menarik pelanggan, investor,
dan karyawan yang berkualitas, serta memperoleh dukungan dari
masyarakat.
Dalam lingkungan bisnis yang semakin kompetitif, reputasi
perusahaan dapat menjadi faktor yang sangat penting dalam
menentukan keberhasilan jangka panjang. Perusahaan yang
dikenal sebagai pelaku bisnis yang etis dan bertanggung jawab
dapat menarik pelanggan dan investor yang berkomitmen pada
nilai-nilai yang sama, dan hal ini dapat memperkuat posisi
perusahaan di pasar.
Selain itu, reputasi dan citra yang baik juga dapat membantu
perusahaan dalam memperoleh akses ke sumber daya dan modal.
Perusahaan yang dikenal sebagai pelaku bisnis yang etis dan
bertanggung jawab dapat menarik investor yang berkomitmen
pada nilai-nilai yang sama, serta memperoleh dukugan dari
lembaga keuangan dan masyarakat.
Dengan demikian, menerapkan prinsip-prinsip GCG
daengan baik dapat memantu meningkatkan reputasi dan citra
perusahaan, yang pada gilirannya dapat membantu perusahaan
dalam memperoleh keuntungan jangka panjang.

Meningkatkan kebelanjutan bisnis jangka panjang


Menerapkan prinsip-prinsip GCG dapat membantu
perusahaan dalam mencapai keberlanjutan bisnis jangka panjang.
Dengan menerapkan GCG, perusahaan dapat memastikan bahwa
keputusan dan tindakan yang diambil selalu berdasarkan pada
nilai-nilai etika dan bertanggung jawab, sehingga perusahaan
dapat mencapai tujuan-tujuannya secara berkelanjutan.

38
Selain itu, menerapkan GCG juga dapat membantu
perusahaan dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko secara
lebih baik, sehingga perusahaan dapat menghadapi tangangan dan
risiko yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini dapat
membantu perusahaan untuk menciptakan nilai tambah yang
berkelanjutan bagi seluruh pemangku kepentingan.
Dalam konteks keberlanjutan lingkungan, menerapkan GCE
dapat membantu perusahaan dalam mengurangi dampak negatif
dari operasional perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat,
sekaligus meningkatkan dampak positif perusahaan. Hal ini dapat
membantu perusahaan untuk membangun hububungan yang lebih
baik dan berkelanjutan dengan peamgnku kepentingnan, termasuk
masyarakat dan lingkungan.

2. Manfaat GCG bagi Pemangku Kepentingan

Ditinjau dari sudut padang pemangku kepentingan,


penerapan GCG oleh perusahaan akan mendapatkan manfaat yang
berpengaruh terhadap keputusan-kepusan yang diambil oleh
pemangku kepentingan. Di antaranya yang paling penting adalah
GCG akan bermanfaat bagi pemegang saham, karyawan,
pelanggan, masyarakat, serta pemasok dan mitra bisnis.
Keputusan-keputusan yang diambil oleh pemangku kepentingan
tersebut akan berpengaruh besar terhadap perusahaan.

Pemegang saham
GCG dapat memberikan perlindungan terhadap
kepentingan pemegang saham, seperti transparansi dalam
pengelolaan perusahaan dan pengambilan keputusan yang
berdasarkan kepentingan jangka panjang perusahaan. Hal ini dapat
meningkatkan kepercayaan dan loyalitas pemegang saham, serta
memperkuat posisi perusahaan di pasar modal.
Selain itu, penerapan GCG yang benar juga akan dapat
mendukung peningkatan harga saham. Dengan menerapkan
prinsip GCG, perusahaan dapat meningkatkan kinerjanya secara
berkelanjutan, sehingga harga saham pemegang saham dapat
meningkat dari waktu ke waktu, karena banyaknya pihak yang
bekemungkinan tertarik memiliki saham tersebut. Sebaliknya, bila
kinerja perusahaan jelek, biasanya juga akan berdampak terhadap
penurunan harga saham, dan akan merugikan pemegang saham.
Penerapan GCG akan meningkatkan kepastian dan
kepercayaan pemegang saham kepada perusahaan dan
manajemennya. Pemegang saham dapa memiliki kepastian bahwa
keputusan manajemen didasari pada kepentingan jangka panjang

39
perusahaan dan telah mengikuti prosedur yang transparan. Hal ini
dapat memberikan kepercayaan pada pemegang saham bahwa
perusahaan dijalankan dengan bik dan bertanggung jawab.
Kekhawatiran pemegang saham terhadap risiko juga akan
teratasi, baik risiko investasi, risiko hukum, risiko reputasi, dan
risiko kegagalan manajemen. Hal ini dapat memberikan
perlindungan pada investasi pemegang saham, sehingga mereka
dapat merasa lebih aman dalam menanamkan modalnya di
perusahaan.
Terakhir, penerapan GCG akan meningkatkan partisipasi
dan transparansi dalam rapat pemegang saham. Pemegang saham
memiliki hak untuk berpartisipasi dalam rapat pemegang saham
dan mendapatkan informasi yang transparan tentang keputusan
yang diambil oleh manejemen. Hal ini dapat memperkuat
keterlibatan pemegang saham dalam pengambilan keputusan
perusahaan dan meningkatkan kepercayaan mereka pada
perusahaan.

Karyawan
Penerapan GCG akan memberikan jaminan atas hak-hak
karyawan, seperti hak atas upah yang adil, kondisi kerja yang
aman dan sehat, serta kesempatan untuk mengembangkan karir.
Hal ini dapat meningkatkan motivasi dan kinerja karyawan, serta
memperkuat citra perusahaan sebaga tempat kerja yang baik.
Dengan menerapkan GCG, perusahaan juga diharapkan
dapat meminimalkan risiko terjadinya tindakan diskriminatif atau
pelecehan di tempat kerja. Hal ini dapat menciptakan lingkungan
kerja yang sehat, aman, dan produktif bagi karyawan, serta
meningkatkan motivasi dan kinerja mereka. Dalam jangka panjang,
hal ini juga dapat membantu perusahaan dalam mempertahankan
dan menarik karyawan berkualitas, serta meningkatkan reputasi
perusahaan sebagai tempat kerja yang baik.
Selain itu, penerapan GCG juga dapat meningkatkan
kepercayaan dan motivasi karyawan, sehingga dapat
meningkatkan produktivitas dan kinerja perusahaan secara
keseluruhan. Karyawan juga dapat merasa lebih bangga dengan
perusahaan tempat mereka bekerja, yang dapat meningkatkan
loyalitas dan retensi karyawan.
Perusahaan yang menerapkan GCG cenderung memberikan
kesempatan yang luas kepada karyawan dalam hal peluang
pengembangan dan pelatihan. Ini dalam arti secara luas bahwa
perusahaan berorientasi pada pengembangan karyawan, sehingga
karyawan dapat memperoleh kesempatan untuk mengembangkan

40
keterampilah dan kompetensi yang diperlukan untuk
meningkatkan kinerja mereka dan mencapai tujuan akhir mereka.
Dalam hal kesetaraan gender, GCG juga dapat
mempromosikan kesetaraan gender dan kesempatan kerja yang
sama bagi karyawan laki-laki dan perempuan. Penerapan prinsip
GCG yang baik dapat membantu perusahaan untuk mengurangi
diskriminasi gender dan mempromosikan keadilan dalam sistem
karyawan dan pengganjian.
Secara keseluruhan, penerapan GCG dapat memberikan
manfaat jangka panjang bagi karyawan, seperti pengembangan
karir, kesetaraan gender, keamanan dan kesejahteraan kerja, serta
motivasi dan kepercayaan.

Pelanggan
GCG akan memberikan jaminan atas kualitas produk atau
jasa yang diberikan, serta komitmen perusahaan terhadap
tanggung jawab sosial dan lingkungan. Hal ini dapat
meningkatkan kepercaan dan loyalitas pelanggan, serta
memperkuat reputasi perusahaan di mata masyarakat.
Dengan menerapkan GCG, perusahaan dapat memastikan
bahwa produk dan layanan dan disediakna sesuai dengan
kebutuhan dan harapan pelanggan, sehingga dapat meningkatkan
kepuasan pelanggan dan memperkuat posisi perusahaan di pasar.
GCG juga dapat membantu perusahaan dalam mengidentifikasi
dan menangani keluhan pelanggan dengan cepat dan efektif, serta
meningkatkan komunikasi dan interaksi denganpelanggan secara
keseluruhan. Hal ini dapat membantu perusahaan untuk
membangun hubungan yang lebih baik dengan pelanggannya dan
meningkatkan loyalitas pelanggan.
Selain adanya jaminan kualitas produk dan komitmen
tanggung jawab sosial dan lingkungan, penerapan GCG juga dapat
memberikan jaminan kepada pelanggan tentang ketersediaan
produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Dengan
penerapan GCG, perusahaan akan lebih berorientasi pada
kebutuhan pelanggan dan mampu menyediakan produk yang
sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
Terbentuknya harga yang wajar dan bersaing, sesuai dengan
harapan pelanggan, juga merupakan hasil penerapan GCG. Ini
dapat membantu perusahaan dalam mengoptimalkan penggunaan
sumber daya dan menguari biaya yang tidak perlu, sehingga
perusahaan dapat menawarkan harga yang wajar dan bersaing
untuk produk yang ditawarkan.
Terakhir, penerapan GCG juga membnatu perusahaan
dalam mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku

41
terkait perludungan konsumen, seperti hak atas informasi yang
jelas dan benar, hak atas privasi, serta hak atas tindakan
kompensasi jika terjadi kerugian.
Dengan manfaat-manfaat ini, pelanggan akan lebih merasa
dihargai dan terlayani dengan baik oleh perusahaan, sehingga
kepercayaan dan loyalitas pelanggan terhadap perusahaan dapat
terjaga dan meningkat.

Masyarakat
GCG dapat memberikan jaminan atas tanggung jawab sosial
dan lingkungan perusahaan, seperti kepatuhan terhadap peraturan
dan regulasi, pengelolaan limbah yang ramah lingkungan, serta
kontribusi terhadap pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat
sekitar. Hal ini dapat meningkatkan dukungan dan kepercayaan
masyarakat terhadap perusahaan, serta memperkuat citra
perusahaan sebagai mitra yang bertanggung jawab.
Perusahaan yang menerapkan GCG juga dapat membantu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemangunan sosial di
daerah sekitarnya, dengan memberikan lapangan kerja,
melaksanakan program-program pelatihan dan pendidikan, serta
memberikan kontribusi bagi pembangunan infrastruktur dan
layanan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat.
Penerapan GCG juga meningkatkan tanggung jawab sosial
dan lingkungan perusahaan dalam operasinya. Perusahaan yang
menerapkan GCG umumnya memiliki komitmen terhadap
keberlanjutan lingkungan dan sosial, termasuk melalui inisiatif
seperti program tanggung jawab sosial perusahaan dan
pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Dalam konteks CSR, perusahaan dapat memberikan
kontribusi positif bagi masyarakat melalui program-program
seperti pemberdayaan masyarakat, pengembangan infrastruktur,
dan dukungan bagi program-program pendidikan dan kesehatan.
Perusahaan juga dapat memperkuat hubungan dengan masyarakat
melalui keterlibatan dalam kegiatan lokal dan mendukung
kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Selain itu, perusahaan yang menerapkan GCG juga
diharapkan mematuhi hukum dan regulasi yang berlaku, serta
menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika dalam operasinya. Hal ini
dapat memberikan kepastian dan kepercayaan bagi masyarakat,
serta mendorong perusahaan untuk bertanggung jawab dalam
melaksanakan kegiatan bisnisnya. Dengan demikian, manfaat GCG
bagi masyarakat adalah meningkatkan kepercayaan dan dukungan
masyarakat terhadap perusahaan, serta kontribusi positif bagi
lingkungan sosial di sekitarnya.

42
Pemasok dan mitra bisnis
GCG dapat memberikan jaminan atas hubungan bisnis yang
fair dan berkelanjutan, serta kesetaraan dalam memperoleh
peluang bisnis dan keuntungan, serta memperkuat hubungan
bisnis jangka panjang yang mengungtungkan bagi kedua belah
pihak.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip GCG, perusahaan
dapat memastikan bahwa hubungan bisnis dengan pemasok dan
mitra bisnis didasarkan pada prinsip fair dan transparan, di mana
mereka diperlakukan dengan adil dan dihargai. Ini juga sekalian
dapat membantu memastikan bahwa kontrak bisnis yang
disepakati bersifat jangka panjang dan berkelanjutan.
Perusahaan yang menerapkan GCG dapat memastikan
bahwa pemasok dan mitra binsis dihargai dan diperlakukan secara
adil dalam proses pengadaan barang/jasa, termasuk dalam proses
penentuan harga dan negosiasi. Hal ini dapat membantu
memastikan bahwa masing-masing pemasok dan mitra bisnis
memiliki kesempatan yang ssama untuk memperoleh peluang
bisnis dan keuntungan yang adil.
Selanjutnya, hubungan bisnis jangka panjang yang kuag dan
berkelanjutan dengan pemasok dan mitra bisnis, juga menjadi
bagian dari manfaat GCG. Hal ini dapat membantu perusahaan
dalam memperoleh ketersediaan pasokan yang stabil,
meminimalkan risiko keterlambatan atau kegagalan pasokan, serta
memperoleh harga yang lebih kompetitif dalam jangka panjang.
Pada akhirnya, penerapan GCG dapat membantu
perusahaan dalam memastikan bawha pemasok mematuhi standar
etika dan sosial yang sama dengan perusahaan. Hal ini dapat
membantu memastikan bawha produk atau jasa yang disediakan
oleh pemasok dihasilkan sescara etis dan bertanggung jawab
terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.

C. Penerapan GCG
1. Sistem Pengendalian Internal Perusahaan
Salah satu elemen penting dalam penerapan GCG adalah
adanya sistem pengendalian internal perusahaan. Sistem ini
meliputi semua kebijakan, prosedur dan praktik yang dirancang
untuk mengelola risiko dan memastikan bahwa tujuan perusahaan
tercapai dengan efektif dan efisien. Sistem pengendalian internal ini
mencakup pengelolaan risiko, pengendalian operasional,
pengendalian keuangan dan pengendalian kepatuhan. Dengan

43
menerapkan sistem pengendalian internal yang baik, perusahaan
dapat meminimalkan risiko dan meoptomalkan kinerja perusahaan.
Pengelolaan risiko menjadi salah satu komponen penting
dalam sistem pengendalian internal perusahaan. Perusahaan harus
memiliki mekanisme yang efketif untuk mengidentifikasi dan
mengevaluasi risiko yang dihadapi, bik risiko operasional, risiko
keuangan, maupun risiko reputasi. Setelah risiko diidentifikasi,
prusahaan harus mengambil langkah-langkah untuk mengurangi
risiko tersebut, seperti melakukan mitigasi risiko, transfer risiko,
atau menerima risiko. Dalam penerapan GCG, pengeloalan risiko
yang baik dapat membantu perusahaan untuk meminimalkan
kerugian dan meingkatkan nilai tambah bagi pemangku
kepentingan perusahaan.
Pengendalian operasional perusahaan mencakup
serangkaian proses untuk memastikan efisiensi dan efketivitas
operasional perusahaan, serta meminimalkan risiko yang terkait
dengan kesalahan dan kecurangan. Beberapa contoh pengendalian
operasional uyang sering diterapkan antar lain pengendalian
persediaan pengendalian produksi, pengendalian kualitas, dan
pengendalian biaya.
Pengendalian persediaan, misalnya, harus memastikan
bahwa persediaan barand di gudang atau di toko selelau sesuai
dengan permintaan pelanggan. Jika persediaan berlebihan,
perusahaan akan terbebani biaya penyimpanan dan risiko
kehilangan nilai barang karena kemungkinan adanya ekrusakan
atau penyusutan. Sebaliknya, jika persediaan terlalu sedikit,
perusahaan tidak dapat memenuhi permintaan pelanggan dan
dapat kehilangan peluang untuk meningkatkan penjualan.
Pengendalian produksi bertujuan untuk memastikan bahwa
proses produksi berjalan dengan baik dan menghasilkan produk
yang berkualitas sesuai dengan standar yang ditetapkan. Hal ini
meliputi pengawasan pada kualitas bahan baku, proses produksi,
dan produk jadi sebeluam dipasarkan ke pelanggan.
Pengendalian kualitas melibatkan proses pengujian dan
inspeksi untuk memastikan bahwa produk atau jasa yang diberikan
sesuai dengan standar kualitas yang telah ditetapkan. Hal ini
sangat penting untuk menjaga reputasi perusahaan dan
kepercayaan pelanggan.
Pengendalian biaya mencakup serangkaian kebijakan dan
prosedur untuk mengendalikan biaya operasional perusahaan dan
memastikan bahwa anggaran yang telah ditetapkan tidak melebihi
batas. Perusahaan harus memastikan bahwa pengeluaran dan
penerimaan dicatat dengan baik dan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku.

44
Di samping pengendalian operasional, pengendalian
keuangan juga merupakan pengendalian yang sangat penting
dalam penerapan GCG. Pengendalian keuangn terdiri dari
berbagaia proses dan kebijakan, termasuk pembukuan, pelaporan
kauangan audit internal, dan pengelolaan aset perusahaan. Tujuan
dari pengendalian keuangan adalah untuk memastikan bahwa
informasi keuangan yang dihasilkan oleh perusahaan akurat, andal,
dan lengkap, sehingga dapat digunakan oleh pera pemangku
kepentingan untuk mengambil keputusan yang tepat.
Pengendalian keuangan yang efektif akan membantu
perusahaan menghindari risiko kecurangan atau manipulasi
lepoaran keuangan yang dapat meruginakan pemangku
kepentingan, seperti pemegang saham dan kreditur. Dalam
penerapan GCG, perusahaan juga diharapkan untuk memiliki
pengendalian keuangan yang sesuai dengan standar internasional,
seperti standar akuntansi internasional dan prinsip-prinsip
pelaporan keuangan yang transparan dan akuntabel.
Terakhir, pengendalian yang menjadi bagian penting dalam
pengendalian internal perusahaan adalah pengendalian kepatuhan.
Pengendalian ini menjadi penting karena dapat memastikan bahwa
perusahaan beroperasi dengan mematuhi peraturan dan
persyaratan hukum yang berlaku. Pengendalian kepatuhan juga
membantu perusahaan menghindari risiko denda atau sanksi
yangdapat mempengaruhi reputasi dan kinerja keuangan
perusahaan. Contohnya, pengendalian persyaratan perizininan
seperti izin usaha, pengendalian lingkungan seperti limbah dan
emisi, serta pengendalian persyaratan ketenagakerjaan sperti jam
kerj dan hak-hak pekerja. Dengan menerapkan pengendalian
kepatuhan yang baik, perusahaan dapat meminimlakjan risiko dan
memastikan kelangsungan bisnis yang baik di masa depan.
Pengendalian kepatuhan juga mencakup memastikan bahwa
perusahaan mematuhi standar etika dan moral yang ditetapkan,
serta mematuhi kode etik dan prinsip-prinsip GCG. Hal ini penting
untuk membangun kepercayaan dan citra positif perusahaan di
mata para pemangku kepentingan.
Untuk menjalankan pengendalian kepatuhan perusahaan
harus memiliki kebijakan dan prosedur yang jelas, serta sistem
pelaporan dan monitoring yang efektif. Selain itu, perusahaan juga
melakukan pelatihan dan pengembangan terhadap karyawan agar
memahmi pentingnya kepatuhan terhadap peraturan dan etika
bisnis yang berlaku.
Dalam beberapa industri, seperti perbankan dan pasar
modal, pengendalian kepatuhan menjadi semakin penging karena
addanya regulasi yang lebih ketat. Oleh karena itu perusahaan

45
harus memastikan bahwa sistem pengendalian kepatuhan mereka
memenuhi persyaratan hukum dan regulasi yang berlaku, serta
meminimalkan risiko pelanggaran dan sangsi yang diberikan oleh
regulator/pemerintah.

Dalam konteks GCG, sistem pengendalian internal


perusahaan memiliki peran penting dalam memastikan bahwa
praktik bisnis dilakukan sescara etis dan sesuai dengan peraturan
dan kebijakan yang berlaku, sehingga dapat mencegah terjadinya
praktik-praktik yang merugikan pemangku kepentingan, seperti
korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Sistem pengendalian internal perusahaan juga dapat
membantu perusahaan dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan
mengurangi risiko yang mungkin terjadi, serta meningkatkan
efisiensi dan efektivitas operasi bisnis. Oleh karena itu, penting bagi
perusahaan untuk memiliki sistem pengendalian internal yang kuat
dan efektif, serta terus memperbaikinya secara berkala untuk
meastikan bahwa sistem selalu relevan dan perubahan lingkungan
bisnis dan regulasi yang berlaku.

2. Kebijakan dan Prosedur GCG


Kebijakan dan prosedur GCG merupakan suatu panduan
atau pedoman dalam menjalankan tata kelola perusahaan yang
baik, yang mencakup aspek-aspek penting seperti integritas,
transparansi, akuntabilitas, dan tanggun jawab sosial. Kebijkaan
dan prosedur ini harus disusun dan diimplementasikan secara
konsisten dan sistematis di seluruh lini perusahaan, termasuk oleh
para pemangku kepentingan dan karyawan.
Beberapa contoh kebijakan dan prosedur GCG yang umum
diterapkan oelh perusahaan adalah:
- Kebijakan etika dan integritas, yang menjelaskan tentang
nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh perusahaan, serta
etika yang harus diterapkan oleh seluruh karyawan dan
pemangku kepentingan dalam menjalankan aktivitas
bisnis.
- Kebijakan pelaporan keuangan, yang mengatur tentang
cara pengelolaan, pelaporan, dan pengawasan keuangan
perusahaan, untuk memastikan kebenaran dan
keandalan informasi keuangan perusahaan.
- Kebijakan transparansi dan pengungkapan informasi,
yang menjelaskan tentang hak-hak dan kewajiban
pemangku kepentingan, serta keterbukaan informasi
yang harus diberikan oleh perusahaan kepada publik.

46
- Kebijakan perlindungan terhadap pelanggaran hukum,
yang mengatur tentang tindakan yang harus diambil
oleh perusahaan dalam mengatasi danmencegah
pelanggaran hukum yang terjadi dalam lingkup bisnis
perusahaan.
- Prosedur pengelolaan konflik kepentingan, yang
mengatur tentang cara mengidentifikasi, mencegah dan
menangani konflik kepentingan yang terjadi dalam
bisnis perusahaan.

Penerapan kebijakan dan prosedur GCG yang baik dapat


membantu perusahaan dalam menciptkakan lingkungan kerja yang
profesional dan berintegrits, serta meningkatkan kepercayaan dan
reputasi perusahaan di mata publik dan pemangku kepentingan.
Selain itu, kebijakan dan prosedur GCG yang jelas dan terukur juga
dapat membantu perusahaan dalam mengambil keputusan bisnis
yang lbih bik dan meminimalkan risiko yang dihadapi oleh
perusahaan.

3. Tata Kelola Perusahaan yang Baik


Tata keloa perusahaan yang baik meliputi pengambilan
keputusan yang tansparan, akuntabel, dan berdasarkan pada
kepentingan seluruh pemangku kepentingan perusahaan. Lima
aspek penting dari tata kelola perusahaan yang baik antara lain:
struktur organisasi, kepemimpinan dan manajemen, transparansi
dan akuntabilitas, pengawasan dan pengendalian, serta tanggung
jawab sosial dan lingkungan.
Struktur organisasi yang jelas dan sesuai dengan prinsip-
prinsip GCG dapat membantu meminimalkan risiko konflik
kepentingan dan memastikan transparansi dalam pengambilan
keputusan. Struktur organisasi yang baik juga memungkinkan
perusahaan untuk menetapkan sistem pengawasnyang efektif dan
memperkuat akuntabilitas manajemen. Pembagian tugas dan
tanggung jawab yang jelas juga dapat meningkatkan efisiensi dan
efektivitas operasional perusahaan.
Selain pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas,
struktur organisasi juga harus mencakup hierarki dan saluran
komunkasi yang tepat. Hal ini akan memastikan bahwa informasi
dan keputusan yang dibuat di tingkat manajemen dapat diteruskan
dengan jelas dan tepat kepada staf dan karyawan di seluruh
perusahaan.
Dalam tata kelola perusahaan yang baik, perusahaan juga
harus memiliki komite-komite yang bertanggung jawab dalam
memastikan penerapan GCG. Contohny adalah komite audit,

47
komite nominasi dan remunerasi, dan komite etika. Komite-komite
ini harus terdiri dari anggota yang independen dan memiliki
kualifikasi yang memadai, serta dapat beroperasi secara transparan
dan akuntabel.
Selain itu, perusahaan juga harus memastikan bahwa
kebijakan dan prosedur GCG diterapkan secara konsisten dan terus
menerus dievaluasi dan ditingkatkan sesuai dengan perubahan
lingkungan bisnis. Hal ini akan memastikan bahwa perusahaan
tetap sesuai dengan standar GCG dan dapat meningkatkan kinkerja
serta repurtasi perusahaan di mata para pemangku kepentingan.

Terkait dengan kepemimpinan dan manajemen, perusahaan


juga perlu memastikan bahwa mereka memiliki mekanisme yang
memadai untuk memantau dan megevaluasi kinerja manajemen
serta mengambil tindakan korektif jika diperlukan. Hal ini dapat
dilakukan melalui rapat dewan komisaris dan rapat umum
pemegang saham yang rutin dilaksanakan.
Selain itu, manajemen perusahaan juga harus mampu
mengembangkan budaya perusahaan yang berkarakter baik dan
menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan integritas. Dengan begigu,
seluruh pegawai dan pihak yang terkait dapat berperilaku sesuai
dengan prinsip GCG, sehingga mendorong terciptanya lingkungan
kerja yang sehat dan produktif.
Kepemimpinan dan manajemen yang baik merupakan kunci
penting dalam penerapan GCG yang efektif. Perusahaan harus
memiliki pemimpin yang berkualitas dan memiliki integritas yang
tinggi, yang mampu memberikan arahan yang jelas dan konsisten
dan menjalankan kebijakan GCG.
Selain itu, menajemen perusahaan harus memastikan bahwa
tata kelola perusahaan yang baik dijalankan secara konsisten di
semua tingkatan organisasi. Ini meliputi pernerapan kebijakan dan
prosedur GCG yuang sudah ditetapkan, seta memastikan bahwa
semua pegawai memahami danmengikuti praktik-praktik GCG
yang diterapkan.
Manajemen perusahaan juga harus memperhatikan faktor-
faktor lain yang mempengaruhi keperhasilan penerapan GCG,
seperti pengembangan budaya perusahaan yang mendukung nilai-
nilai etika dan integritas, serta investasi dalam pelatihan dan
pengembangan karyawan untuk meningkatkan keterampilan dan
pengetahun mereka dalam hal GCG.
Manajemen perusahaan juga harus memastikan bahwa
adanya sistem insentif yang sesuai untuk mendorong praktik-
praktik GCG yang baik, sepertin memberikan penghargaan kepada

48
karyawan yang melaporakan pelanggaran GCG, serta
mengimplementasikan sanksi yan tega bagi pelanggar GCG.
Dengan kepemimpinan danmanajemen yang bai,
perusahaan dapat menjalankan praktik-praktik GCG yang efektif
dan memperkuat reputasi perusahaan di mata masyarakat.

Transparansi dan akuntabilitas juga melibatkan pemenuhan


kewajiban perusahaan untuk mematuhi peraturan, hukum, dan
standar etika yang berlaku dalam bisnis. Hal ini dapat diwujudkan
melalui penyediaan laporan keuangan yang akurat dan transparan,
pengungkapan risiko dan tantangan bisnis yang dihadapi, serta
pengembangan kebijakan dan prosedur yang terbuka dan mudah
diakses oleh seluruh karyawan dan pemangku kepentingan.
Selain itu, perusahaan juga harus menunjukkan
akuntabilitas dalam pengambilan keputusan dan pelaksaaan
tindakan. Hal ini dapat dicapai melalui mekanisme pengawasan
yang efektif, seperti dewan direksi yang independen, auditor
eksternal, dan komite-komite yang terkait dengan pengawasan tata
kelola perusahaan. Dengan transparansi dan akuntabilitas yang
baik, perusahaan dapat membangun kepercayaan dan kredibilitas
di antara pemangku kepentingan dan masyarakat umum.

Tata kelola perusahaan yang baik juga memerlukan


pengawasan dan pengendalian yang efektif. Mekanisme
pengawasan dan pengendalian harus dirancang untuk memastikan
kepatuhan terhadap kebijakan GCG, serta mengurangi risiko
pelanggaran.
Mekanisme pengawasan dan pengendalian dapat mencakup
berbagai hal, seperti pemeriksaan internal, audit eksternal, serta
sistem pengaduan dan pelaporan yang terbuka. Pemeriksaan
internal dapat dilakukan oleh unit pengendalian internal
perusahaan atau tim audit internal yang ditugaskan untuk
memeriksa dan mengevaluasi efektivitas sistem pengendalian
internal perusahaan.
Audit eksternal dilakukan oleh auditor independen yang
tidak memiliki afiliasi dengan perusahaan dan bertangguna jawab
untuk memberikan laporan keuangan yang akurat dan terpercaya.
Auditor juga dapat memberikan penilaian terhadap efektivitas
sistem pengendalian internal perusahaan.
Sistem pengaduan dan pelaporan yang terbuka juga dapat
menjadi bagian dari mekanisme pengawasan dan pengendalian.
Sistem ini dapt memberikan sarana bagi karyawan atau pihak luar
untuk melaporkan pelanggaran atau kecurtangan yang terjadi di

49
perusahaan tanpa takut akan adanya tindakan balasan atau
pemutusan hubungan kerja.
Dengan adanya mekanisme pengawasan dan pengendalian
yang efektif, perusahaan dapat memastikan bahwa praktik bisnis
yang dilakukan sesuai dengan prinsip GCG dan meminimalkan
risiko pelanggaran atau kecurangan. Selain itu mekanisme ini juga
dapat memberikan perlindungan bagi para pemangku kepentingan
perusahaan seperti karyawan, pelanggan, dan investor.

Tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan salah


satu aspek penting dalam tata kelola perusahaan yang baik sesuai
dengan prinsip GCG. Perusahaan harus mempertimbangkan
dampak dari kegiatan bisnisnya terhadap masyarakat dan
lingkungan serta bertanggung jawab untuk menjalankan kegiatan
bisnis yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dalam hal tanggung jawab sosial, perusahaan harus
memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar dan memberikan
kontribusi positif bagi keomunitas tersebut. Hal ini dapat
dilakukan dengan berbagai cara, seperti memberikan bantuan
sosial, mendukung program-program pembangunan masyarakat,
atau memberikan pelatihan dan pendidikan bagi masyarakat
sekitar.
Sedangkan dalam hal tanggung jawab lingkungan
perusahaan harus mempertimbangkan dampak kegiatan bisnisnya
terhadap lingkungan dan perusaha untuk meminimalkan dampak
tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan mengimplementasikan
praktik bisnis yang ramah lingkungan, seperti penggunaan energi
dan bahan baku yang efisien, pengelolaan limbah yang baik, serta
upaya konservasi lingkungan.
Dengan memperhatikan tanggung jawab sosial dan
lingkungan, perusahaan dapat membangun citra yang baik dan
mendapatkan dukungan dari masyarakat, serta berkonstribusi
positif basgi pembangunan sosial dan lingkungan yang
berkelanjutan.

Dengan menerapkan tata kelola yang baik sesuai dengan


prinsip-prinsip GCG, perusahaan akan dapat membangun reputasi
yang baik dan meningkatkan kinerja bisnis jangka panjang. Ini
tentunya akan berdampak positif terhadap tingkat keungungan
perusahaan di masa depan.

D. Penilaian dan Pengukuran GCG

50
Penilaian dan pengukuran GCG adalah langkah penting untuk
memasitkan bahwa penerapan GCG dalam perusahaan berjalan efektif
dan efisien. Hal ini dapat membantu perusahaan untuk
mengidentifikasi kelemahan dan melakukan perbaikan yang
diperlukan. Terdapat dua aspek utama dalam penilaian dan
pengukuran GCG, yaitu standar dan metode penilaian GCG, serta
indikator keberhasilan GCG.

1. Standar dan Metode Penilaian GCG


Standar dan metode ini bisa berbeda antara perusahaan satu
dengan yang lain. Namun, secara umum, penilaian GCG dilakukan
dengan menggunakan kerangka acuan yang terdiri dari prinsip-
prinsip GCG dan indikator-indikator yang relevan. Beberapa
standar penilaian GCG yang populer di Indonesia adalah ISO
26000, ASEAN Corporate Governance Scorecard, dan Indonesian
Corporate Governance Award.
Metode penilaian GCG dapat dilakukan melalui dua
pendekatan, yaitu pendekatan self-assessment dan pendekatan
independent assess ment. Pendekangan self-assessment dilakukan
oleh perusahaan sendiri dengan menggunakan kuiesioner atau
checklist untuk menilai penerapan GCG di perusahaan. Sedangkan
pendekatan independent assessment dilakukan oleh pihak ketiga
yang independen, seperti assesor atua lembaga penilaian
independen, untuk menilai GCG di perusahaan.

2. Indikator Keberhasilan GCG


Untuk menilai sejauh mana penerapan prinsip-prinsip GCG
dengan fektif dan efisien di perusahaan, maka diperlukan suatu
indikator keberhasilan. Indikator ini dapat saja berbeda, tergantung
pada jenis industri dan ukurang perusahaan. Beberapa indikator
yang umum digunakan antara lain:
- Tingkat kepatuhan perusahaan terhadap peraturan dan hukum
yang berlaku;
- Tingkat partisipasi pemegang saham dalam rapat umum
pemegang saham (RUPS);
- Tingkat transparansi dan akuntabilitas perusahaan dalam
menyediakan informasi keuangan dan non-keuangan kepada
pemangku kepentingan;
- Tingkat keberhasilan perusahaan dalam meminimalkan risiko
yang terkait dengan kesalahan, kecurangan, dan pelanggaran;
- Tingkat keberhasilan perusahaan dalam mengelola dampak
sosial dan lingkungan dari kegiatan bisnisnya.

51
Penilaian tingkat kepatuhan perusahaan terhadap peraturan
dan hukum yang berlaku dapat dilakukan dengan cara memeriksa
dokumen-dokumen perusahaan seperti kontrak, lisensi, dan
peraturan perusahaan. Sselain itu, perusahaan dapat melakukan
evaluasi terhadap implementasi kebijakan dan prosedur GCG yang
terkait dengan pengendalian kepatuhan. Misalnya, perusahaan
dapat melakukan pemeriksaan internal untuk menilai apakah
perusahaan telah mematuhi persyaratan peraturan dan hukum
yang berlaku dan operasinya.
Selain itu perusahaan juga dapat mengukur tingkat
kepatuhan melalui feedback dan keluhan dari pelanggan, mitra,
atau pihak lain yang terlibat dengan perusahaan. Jika terdapat
keluhan atau masalah terkait dengan pelanggaran peraturan dan
hukum yang dilakukan oleh perusahaan, maka hal ini dapat
menjadi indikator bahwa perusahaan belum sepenuhnya
mematahui peraturan dan hukum yang berlaku.
Perusahaan juga dapat mengukur tingkat kepatunan dengan
melakukan benchmarking terhadap praktik-praktik terbaik dari
perusahaan lain dalam industri yang sama. Dengan
membandingkan kinerja perusahaan terkait dengan kepatuhan,
perusahaan dapat menilai apakah mereka sudah memenuhi
standar yang ditetapkan dalam industri tersebut.
Indikator keberhasilan GCG dalam hal kepatuhan terhadap
peraturan dan hukum dapat diukur dengan tingkat kepatuhan
perusahaan terhadap peraturan dan hukum yang berlaku.
Perusahaan dapat menetapkan target untuk meningkatkan tingkat
kepatuhan dalam jangka waktu tertentu dan melakukan tindakan
perbaikan jika ditemukan pelanggaran.

Tingkat pertisipasi pemegang saham dalam rapt umum


pemegang saham (RUPS) dapat menjadi indikator keberhasilan
GCG, karena menunjukkan seberapa banyak pemagang saham
yang tertarik dan terlibat dalam keputusan perusahaan. Semakin
banyak pertisipasi pemegang saham dalam RUPS, semakin baik
tingkat transparansi dan akuntabilitas perusahaan, karena
pemegang saham dapat secara langsung berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan perusahaan dan memantau jalannya
perusahaan.
Partisipasi pemegang saham dalam RUPS juga dapat
mencermintkan tingkat kepercayaan dan kepuasan mereka
terhadap menajemen perusahaan, sehingga dapat mempengaruhi
reputasi perusahaan di mata publik. oleh karena itu, tingkat
partisipasi pemegang saham dalam RUPS harus diperhatikan oleh
perusahaan sebagai salah satu indikator keberhasilan GCG.

52
Tingkat transparansi dan akuntabilitias perusahaan dalam
menyediakan informasi keuangan dan non-keungan kepada
pemangku kepentingan dapat dijadikan indikator kerberhasilan
GCG. Perusahaan yang menerapkan GCG yang baik harus
memberikan informasi yang jelas, akurat, dan terkini tentang
kinerja keuangannya, strategi bisnis, risiko yang dihadapi, serta
dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan bisnisnya.
Contoh indikator untuk mengukur transparansi dan
akuntabilitas perusahaan antara lain:
- Tingkat kepatuhan perusahaan terhadap peraturan dan
persyaratan pelaporan keuangan yang berlaku;
- Tingkat ketersediaan informasi keuangan dan non-
keuangan yang terbuka dan mudah diakses oleh pemangku
kepentingan;
- Tinkga kualitas informasi yang diberikan, seperti akurasi,
keandalan, dan konsistensi data;
- Tingkat kejelasan dan kelengkapan informasi yang
disajikan, serta kemampuan perusahaan untuk menjawab
pertanyaan dan permintaan informasi dari pemangku
kepentingan.
- Tingkat partisipasi perusahaan dalam program atau
inisiatif transparansi dari akuntablilitas, seperti GRI (Global
Rerporintng Initiative) atau sustainability accounting
standars boards (SASB).

Perusahaan yang memiliki tingkat trasnparansi dan


akuntablilitas yang tinggi dalam menyediakan informasi
keuangan dan non-keuangan dapt memberikan keyakinan
dan kepercayaan bagi pemangku kepentingan, sehingga
dapat meningkatkan citra perusahaan dan memperkuat
hibungan dengan para pemangku kepentingan.

E. Tantangan Penerapan GCG

Dalam penerapan GCG, tantangan yang dihadapi perusahaan secara


umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu faktor internal perusahaan,
dan faktor eksternal perusahaan.

1. Faktor Internal Perusahaan


Ada 3 hal utama yang biasa menjadi tantangan dalam
menerapkan GCG dari sisi internal, yaitu ketergantungan terhadap
pemegang saham utama, kurangnya transparasi dan akuntabilitas,

53
dan kurangnya kemampuan manajemen dalam menerapkan prinsip
GCG.
Ketergantungan perusahaan terhadap pemegang saham
utama adadlah salah satu tantangan yang berat dalam penerapan
GCG. Hal ini terjadi ketika suatu perusahaan memiliki pemegang
saham utama yang memiliki pengaruh dan kepentingan yang
signifikan terhadap keputusan perusahaan.
Ketergantungan seperti ini dapat mempengaruhi keputusan
dalam jangka pendek tau jangka panjang. Misalnya, jika pemegang
saham utama memiliki kepentingan yang berbeda degan
kepentingan jangka panjan perusahaan, hal ini dapat menyebabkan
perusahaan untuk mengambil keputusan yang merugiakan
perusahaan di masa depan.
Selain itu, ketergantungan pada pemegang saham utama
juga dapat menimbulkan konflik kepentingan antara manajemen
dan pemegang saham. Manajemen dapat terboda untuk memenuhi
kepentingan seluruh pemegang saham. Ini dapat menghambat
upaya perusahaan dalam menerapkan prinsip GCG secara efektif.
Untuk mengatasi ketergantungan perusahaan terhadap
pemegang saham utama, perusahaan dapat mengambil beberapa
langkah, antara lain:
- Meningkatkan keragaman kepemilikan saham untuk
mengurangi ketergantungan pada pemegang saham
utama;
- Menetapkan kebijakan dan praktik tata kelola yang jelas
dan transparan untuk memastikan keputusan peruahaan
daiambil berdasarkan kepentingan jangka panjang
perusahaan dan seluruh pemegang saham;
- Membangun hubungan yang baik dengan pemegang
saham dan stakeholder lainnya untuk membangun
kepercayaan dan mengurangi risiko konflik kepentingan.
- Menerapkan sistem pengawasan dan pengendalian yang
kuat untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip GCG
dan mencegah tindakan yang merugikan perusahaan.

Kekurangan transparansi dan akuntabilitas adalah


tantangan lain dalam penerapan GCG. Transparansi mengacu pada
kemampuan perusahaan untuk memberikan informasi yang jelas
dan terbuka tentang kegiatan dan keputusan perusahaan kepada
stakeholders. Sementara itu, akuntabilitas mencacu pada
kemampuan perusahaan untuk bertanggung jawab atas keputusan
dan tindakan yang diambil.
Kurangnya transparansi dan akuntalilitas dapat
menyebabkan masalah dalam menjaga kepercayaan diri

54
stakerholders dan publik. Hal ini dapat mempengaruhi reputasi
perusaan dan nilai saham. Misalnya, jika perusahaan tidak
transparan tentang praktik bisnisnya atau tidak bertanggun jawab
atas tindakan yang melanggar prinsip GCG, maka pemegang
saham atau publik dapat kehilangan kepercayaan pada perusahaan
dan menyebabkan penurunan nilai saham.
Untuk mengatasi tantangan ini, perusahaan dapat
mengambil beberapa langkah, antara lain:
- Meningkatkan transparansi dalam pelaporan keuangan
dan pelaporan non-keuangan, seperti pelaporan
keberlanjutan, untuk memberikan informasi yang jelas
dan terbuka tentang kegiatan dan keputusan perusahaan;
- Menetapkan kebijakan dan praktik tata kelola yang jelas
dan transparan untuk memastikan keputusan perusahaan
untuk memastikan kebputusan perusahaan diambil
berdasarkan prinsip-prinsip GCG dan kepentingan jangan
panjang perusahaan dan seluruh pemegang saham.
- Mengembangkan sistem pengawasan dan pengendalian
yang kuat untuk memastikan kepatuhan terhadap
prinsip-prinsip GCG dan meminimalkan risiko
pelanggaran prinsip GCG;
- Meningkatkan kesadaran dan pelatihan untuk manajemen
dan karyawan mengenai pentingnya prinsip-prinsip GCG
dan bagaimana menerapkan prinsip tersebut dalam
praktik bisnis sehari-hari.

Kurangnya kemampuan manajemen dalam menenarapkan


prinsip-prinsip GCG adalah tantangan lain dalam penerapan GCG.
Manajemen yang gidak memiliki permahaman aygn cukup tentang
prinsip-prinsip GCG atau tidak mampu menerapkan prinsip
tersebut secara efektif dapat menyebabkan perusahaan melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip GCG atau bahkan
melanggar prinsip GCG.
Ketika manajemen tidak mampu menerapkan prinsip GCG,
hal ini dapat menyebabkan dampak negatif bagi perusahaan, seperti
hilangnya kepercayaan dari stakeholders dan publuk, terjadinya
pelanggaran hukum dan etika, serta penurunan nilai saham
perusahaan.
Untuk mengatasi tanganan ini, perusahaan dapat mengambil
beberapa langkah, antara lain:
- Meningkatkan kesadaran dan pelatoihan bagi manajemen
dan karyawan mengenai prinsip-prinsip GCG dan
bagaimana menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam
praktik bisnis sehar-hari;

55
- Menetapkan kebijakan dan praktik tata kelola yang jelas
dan transpraran, serta menerapkan sistem pengawasan
dan pengendalian yang kuat untuk memastikan
kepatuhan terhadap prinsip GCG.
- Memperkuat tim manajemen dengan mengambil orang-
orang yang memiliki pemahamn yang cukkup tentang
prinsip GCG dan mampu menerapkannya secara efektif;
- Membangun budaya organisasi yagn mendukung
perneapan prinspi GCG, seperti melibatkan karyawan
dalam proses pengambilan keputusan dan memberikan
insentif hang sesuai dengan praktik bisnis yang beretika
dan bertannggun jawab.

2. Faktor Eksternal Perusahaan


Tiga tantangan utama dari faktor internal perusahaan, antara
lain: regulasi dan hukum yang tidak jelas, persaingan pasar yang
ketat, dan tekanan dari stakeholders. Ketidakjelasan dalam regulasi
dan hukum dapat membingungkan perusahaan dalam menentukan
tindakan yang benar dan dapat mempengaruhi penerapan prinsip
GCG.
Perusahaan dapat menghadapi masalah dalam menerapkan
prinsip GCG jika regulasi dan hukum yang berlaku tidak jalas atau
tidak konsisten. Hal ini dapat menghambat inisiatif perusahaan
untuk meningkatkan tata kelola perusahaan.
Misalnya, jika regulasi dan hukum tidak jelas mengenai
praktik transparansi dan akutabilitas, perusahaan mungkin
kesulitan dalam menentukan standar yang teap untuk melaporkan
kinerja keuangan atau dalam memberikan akses yang cukup kepada
pemangku kepentingan untuk memperoleh informasi yang relevan.
Demikian pula, jika regulasi dan hukum tidak jelas
mengenai praktik penghindaran konflik kepentingan, perusahaan
dapat kesulitan dalam menentukan praktik yang tepat untuk
menghindari konflik kepentingan dan memastikan bahwa
kepentingan pemangku kepentingan terlindungi.
Dalam hal ini, penting bagi perusahaan untuk memperoleh
pemahaman yang cukup tentang regulasi dan hukum yang berlaku
serta memperbaharui diri secara teratur terhadap perubahan
regulasi dan hukum. Perusahaan juga dapat mengambil langkah-
langkah seperti menjalin dialog dengan regulator dan pihak
berwenang, menetapkan kebijakan dan praktik tata kelola yang jelas
dan transparan, membangun sistem pengawasan dan pengendalian
yang kuat, dan melibatkan ahli hukum atau konsultan hukum yang
kompeten untuk membantu dalam menjalankan kegiatan

56
perusahaan yang berhubungan dengan regulasi dan hukum yang
berlaku.

Persaingan pasar yang ketat dapat menghambat pelaksanaan


prinsip-prinsip GCG karena tekanan yang dihadapi oleh
perusahaan untuk mencapai tujuan mereka dalam jangka pendek.
Persainganyang ketat dapat membuat perusahaan merasa terdorong
untuk mencari cara-cara yang tidak etis atau melanggar prinsip-
prinsip GCG dalam upaya untuk meningkatkan keuntungan
mereka atau mempertahankan posisi di pasar.
Misalnya, persaingan yan ketat dapat mendorong
perusahaan untuk memanipulasi laporan keugna untuk
menunjukkan kriteria yang lebih baik daripada yang sebeanrnya,
atau untuk menawarkan suap kepada pelanggan atau pemasok
untuk memperoleh keuntungan yang adil. Persaingan yang ketat
juga dapat menyebabkan perusahaan untuk menekan biaya
produksi dengan cara-cara yang merugikan hak-hak karyawan atau
mengabaikan kepentingan pemangku kepentingan lainnya.
Salain itu, persaingan yang ketat dapat membuat perusahaan
terfokus pada pencapaian tujuan jangka pendek mereka, sehingga
melupakan tanggung jawab mereka terhadap keberlanjutan jangka
panjang dan integritas bisnis mereka. Hal ini dapat menyebabkan
perusahaan mengambil keputusan yangmerugikan pemangku
kepentingan lainnya atau merusak reputasi mereka dalam jangka
panjang.
Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk memiliki
budaya korporat yang kuat dan mematuhi prinsip-prinsip GCG
dalam semua aspek operasi mereka, bahkan dalam situasi
persaingan yang ketat. Dengan cara ini, perusahaan dapat
mempertahankan kinerja jangka panjang yang berkelanjutan dan
memperoleh kepercayaan dari pemangku kepentingan mereka.

F. Studi Kasus Penerapan GCG


1. Kasus Sukses Penerapan GCG
2. Kasus Kegagalan Penerapan GCG

57
DAFTAR PUSTAKA

Crane, A., Matten, D., Glozer, S., & Spense, L. J. (2019). Business ethics: Managing
corporate citizenship and sustainability in the age of globalization (5th ed.).
Diambil 3 Maret 2023, dari Oxford University Press website:
https://books.google.co.id/books?
hl=en&lr=&id=fcSbDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=business+ethics+managing+
corporate+citizenship+and+sustainability+in+the+age+of+globalization&ots=Msii
jvtZMy&sig=HfkR72X8A3JB2efQ8g_yTtwXEpQ&redir_esc=y#v=onepage&q=busin
ess%20ethics%20managing%20corporate%20citizenship%20and
%20sustainability%20in%20the%20age%20of%20globalization&f=false
Ferrell, O. C., Fraedrich, J., & Ferrell, L. (2015). Business Ethics: Ethical Dicision Making
and Cases (6 ed.). Stamford: Cangage Learning. Diambil dari
www.cengagebrain.com
Gregor, M., & Timmermann, J. (2011). Immanuel Kant: Groundwork of the
Metaphysics of Morals: A German–English edition - Immanuel Kant - Google

58
Books. Diambil 10 Maret 2023, dari Cambridge University Press website:
https://books.google.co.id/books?
hl=en&lr=&id=aJCKrSWnZZQC&oi=fnd&pg=PR8&dq=%22immanuel+kant
%22+groundwork+of+the+metaphysics+of+morals&ots=ns14zZHaO9&sig=VHZ27
JaVee9sZTdnMrCnh6bATHk&redir_esc=y#v=onepage&q=%22immanuel%20kant
%22%20groundwork%20of%20the%20metaphysics%20of%20morals&f=false
Henderson, R. (2023). Moral Firms? Deadalus, 152(1), 198–211.
https://doi.org/10.2307/48714739
Folger, R. G., & Cropanzano, R. (1998). Organizational Justice and Human Resource
Management. Diambil 13 Maret 2023, dari Sage Publication, Inc. website:
https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=-
lAMyIsLLW0C&oi=fnd&pg=PR9&dq=organizational+justice+and+human+resourc
e+management+sage+publications&ots=TUrBML4LJz&sig=VNOpFJHbIC8WWCYI-
rg3HqteGVE&redir_esc=y#v=onepage&q=organizational%20justice%20and
%20human%20resource%20management%20sage%20publications&f=false
Prihanto, H. (2018). Etika Bisnis & Profesi: Sebuah Pencarian. Depok: PT. Rajagrafindo
Persada.
 

59

Anda mungkin juga menyukai