Anda di halaman 1dari 7

Proposal Penelitian

Judul

STUDI KASUS PERILAKU SEXUALIZED AND OBJECTIFIED


YANG DIALAMI INDIVIDU DENGAN BEAUTY PRIVILEGE DI
TWITTER
Bidang Penelitian
Sosial Humaniora
Nama Peneliti
1. KUNNADYA AZAHRA
2. ANINDYA NASYWA AZZAHRA
Asal Madrasah
MADRASAH ALIYAH NEGERI PURWOREJO

Latar Belakang Masalah


Pada zaman yang sudah berkembang saat ini, sebagian besar manusia masih memandang
manusia lain dari fisiknya. Hal ini sering disebut dengan beauty privilege. Tidak ada jurnal yang
menjabarkan secara teori apa definisi dari beauty privilege itu sendiri. Terminologi tersebut lebih
sering ditulis sebagai physical attractiveness, yaitu orang yang memiliki daya tarik secara fisik,
khususnya dari wajahnya. Menurut Dion et al (1972) dalam What is Beautiful is Good, pelopor dalam
penelitian di bidang ini, menemukan bahwa orang dengan daya tarik fisik diasumsikan memiliki
hidup yang lebih baik, lebih kompeten, dan sukses dalam karir dibanding orang yang tidak memiliki
daya tarik fisik. Pandangan orang terhadap mereka membuatnya memiliki keistimewaan tersendiri.
Tak hanya dalam interaksi langsung, fenomena ini juga muncul dalam interaksi manusia di sosial
media.
Fenomena beauty privilege cukup tersorot melalui media sosial terutama Twitter. Twitter
menjadi sarana pengungkapan diri tentang hal yang mereka rasakan, serta menjadi media yang
tepat dalam menuangkan ekspresi dan pandangan atas kejadian yang dialaminya (Mutiara et al.,
2020). Sehingga Twitter banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengungkapkan perihal
pengalaman dan pandangan tentang adanya beauty privilege. Namun ternyata, padangan ini
berujung ke suatu hal lain. Cantik itu luka. Selain mendapatkan keistimewaan dalam banyak hal,
ternyata individu yang memiliki beauty privilege juga sering mendapatkan perlakuan negatif.
Dibalik kecantikan dan keistimewaan yang didapatkan beauty privilege beberapa orang
diantaranya merasa bahwa beauty privilege bukan hanya sekedar keistimewaan yang didapatkan,
namun harus mengalami mimpi buruk yakni dijadikan objektifikasi seksual yang mengarah pada
pelecehan seksual. Mereka yang memiliki paras menarik lebih sering mendapatkan berbagai
perlakuan negatif dari masyarakat. Banyak dari mereka mengalami sexual harassment. Mereka
diseksualisasi atau dijadikan objektifitas hanya karena mengunggah di laman sosial medianya. Di
Indonesia pada survei tahun 2017 melalui jejak aplikasi terhadap 512 responden usia 16 sampai 45
tahun, sekitar 12,52 persen pengguna media sosial menyatakan pernah mengalami pelecehan
verbal dan visual saat mengakses media sosial (Kirnandita, 2017).
Objektifikasi seksual pada seseorang yang memiliki paras cantik dan badan yang proposional
sering dianggap wajar oleh sebagian masyarakat. Terlebih di twitter banyak dari pengguna twitter
mengekspresikan keinginan seks mereka di kolom komentar berbagai unggahan foto seorang
wanita. Salah satu contohnya akun @amndzahra. Pemilik akun ini sering mendapatkan komentar
yang tidak senonoh pada kolom komentar. Hingga akhirnya pemilik akun ini mengutarakan
ketidaknyamanannya akan hal itu. Namun, tanggapan dari warga aplikasi burung biru ini banyak
berpendapat bahwa @amndzahra wajar mendapatkan hal itu, terutama karena paras dan badan
yang dimiliki Amanda menarik kaum laki-laki. Hal tersebut tentu banyak mendapat sorotan dari
banyak kalangan baik kaum laki-laki maupun perempuan.
Berbagai pendapat yang ada tentang objektifikasi seksual pada seseorang yang memiliki
paras cantik, dan kecenderungan masyarakat untuk mewajarkan hal itu. Tentu banyak
menimbulkan kekhawatiran bagi perempuan untuk mengunggah foto di laman sosial medianya
khususnya twitter. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini ingin meninjau kembali
tentang fenomena adanya beauty privilege dan objektifikasi seksual yang dialami oleh individu
dengan beauty privilege di laman twitter.

Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian


A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh beauty privilege dan sosial media terhadap perilaku sexualized dan
objectified?
2. Bagaimana mengubah cara pandang masyarakat terhadap sexualized dan objectified yang
dialami individu dengan beauty privilege?
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh beauty privilege dan sosial media terhadap perilaku sexualized
dan objectified
2. Mengubah cara pandang masyarakat terhadap sexualized dan objectified yang dialami
individu dengan beauty privilege

Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas , penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang pengaruh beauty privilege dan sosial
media terhadap perilaku sexualized dan objectified
2. Mengedukasi masyarakat tentang bahaya sosial media dan ancaman sexual harassment
3. Menyajikan data yang telah teruji tentang sexualized dan objectified yang dialami individu
dengan beauty privilege
Kajian Teori
1. Pengertian Beauty Privilege
Tidak ada literasi yang menjelaskan secara eksplisit terkait teori, pengertian dan istilah yang
lengkap mengenai “Beauty privilege”.(Ihsan & Saudah, 2022). Namun, beauty privilege dapat
diartikan sebagai hak istimewa yang didapat orang-orang yang dianggap lebih cantik atau menarik,
berdasarkan standar kecantikan manusia yaitu individu yang memiliki kulit putih, bersih dan glowing.
Menurut hasil penelitian dari ZAP Beauty Indeks pada Agustus 2020 sebanyak 17,889 perempuan
Indonesia sebagai koresponden, terdapat 73.1% yang menganut stigma bahwa, definisi cantik yaitu
memiliki kulit yang putih, bersih, dan glowing dan merasa tidak percaya diri jika memiliki kulit yang
gelap (Markplus.inc, 2020).
Kata privilege sendiri dapat diartikan hak istimewa yang dimiliki orang tertentu yang mampu
mempermudah segala aspek kehidupan. Privilege adalah kelebihan yang hanya dimiliki satu atau
sekelompok orang karena kedudukan atau kekayaannya; kesempatan untuk melakukan sesuatu
yang istimewa dan menyenangkan; atau hak khusus yang dimiliki beberapa orang berwenang yang
memungkinkan mereka melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan orang pada umumnya
(University, 2020).
2. Pengertian Sexualized dan Objectified
Sexualized dan Objectified adalah objektifikasi seksual. Objektifikasi adalah memperlakukan
seseorang layaknya barang tanpa mempertimbangkan martabat mereka (Juwiraningrum et al.,
2020). Teori objektifikasi bertitiktolak pada praktek-praktek budaya yang mengungkapkan
perempuan secara seksual, yang menyebar dalam masyarakat kebarat-baratan dan membuat
beberapa peluang bagi tubuh perempuan untuk dipamerkan di depan publik. Studi buku harian
mendukung terjadinya objektifikasi seksual secara rutin sebagai dimensi pengalaman seksisme
sehari-hari, dan seperti yang dikemukakan dalam teori objektifikasi, wanita melaporkan lebih banyak
pengalaman objektifikasi seksual daripada pria (Swim et al., 2001).
Tinjauan Pustaka / Penelitian Terdahulu
Dalam suatu penelitian diperlukan dukungan hasil-hasil penelitian yang telah ada sebelumnya
yang berkaitan dengan fenomena adanya beauty privilege dan objektifikasi seksual yang dialami
oleh individu dengan beauty privilege di laman Twitter. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh
Azzahra dengan judul “Analisis Resepsi Khalayak pada Fenomena Beauty Privilege dalam Serial
K-Drama My Id Is Gangnam Beauty” pada tahun 2021. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan penerimaan khalayak pada fenomena beauty privilege dalam serial K-Drama “My
ID is Gangnam Beauty“. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa key informan lebih dominan
berada di posisi negosiasi, dengan hasil kesimpulan penelitian bahwa perlu adanya pendekatan
yang lebih realistis dalam melihat kecantikan perempuan. Menjadi cantik memang baik, namun tidak
seharusnya kecantikan menjadi parameter terpenting dalam menentukan siapa kita sebenarnya.
Oleh karena itu penelitian menunjukan bahwa pada film tersebut dapat disimpulkan bahwa
kecantikan bukan segalanya masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk menjadi baik dan
dipandang orang.
Amalia et al., melakukan penelitian yang berjudul “Pandangan Mahasiswa terhadap Privilege
dari Good Looking” pada tahun 2020. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan
mahasiswa terhadap privilege good-looking. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas responden
sebanyak 45,24% mewajarkan fenomena privilege yang didapatkan dari berpenampilan good
looking walaupun sebanyak 31,11% mengaku kecewa dengan masyarakat yang cenderung
mengistimewakan orang berpenampilan good looking. Oleh karena itu, adanya privilege bagi orang-
orang yang berpenampilan good looking ternyata memang terjadi di kalangan mahasiswa, sedikit
atau banyak hal ini memang berdampak positif maupun negatif bagi kehidupan perkuliahan mereka,
dan mayoritas responden berupaya menjadi good looking agar bisa mendapatkan keistimewaan
dari good looking tersebut.
Penelitian selanjutnya oleh Aprilianty et al., dengan judul “Konsep Beauty Privilege
Membentuk Kekerasan Simbolik” pada tahun 2023, merupakan penelitian yang dilakukan oleh
mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana
penerapan konsep beauty privilege terhadap masyarakat pengguna Twitter yang membentuk
kekerasan simbolik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
fenomenologi, serta teknik pengumpulan data yang digunakan berupa observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Hasil temuan penelitian ini menyatakan bahwa konsep beauty privilege terjadi di
beberapa lingkungan seperti lingkungan pendidikan, lingkungan kerja, lingkungan keluarga,
lingkungan pertemanan, dan lingkungan masyarakat.
Dari berbagai penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa adanya beauty privilege banyak
berpengaruh bagi masyarakat. Mulai dari bidang studi, psikologi, lingkungan kerja, pertemanan,
lingkungan masyarakat dan gaya hidup. Namun masih belum ada yang menjelaskan mengenai sisi
lain dari beauty privilege yaitu kecenderungan mereka untuk dijadikan objektifikasi seksual oleh
banyak kalangan terutama laki-laki. Oleh karena itu, peneliti ingin meninjau pengaruh beauty
privilege dari sudut pandang selain berbagai privilege yang didapatkan seorang individu dengan
label beauty.

Metode Penelitian
1. Metode yang Digunakan
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian studi kasus dengan pendekatan
kualitatif. Penelitian ini memusatkan diri secara intensif pada satu obyek tertentu yang
mempelajarinya sebagai suatu kasus. Metode studi kasus memungkinkan peneliti untuk tetap
holistik dan signifikan. Menurut Arikunto (2013), metode penelitian adalah cara yang digunakan
peneliti dalam dalam mengumpulkan data penelitian.
2. Subjek Penelitian
Subjek yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah pengguna twitter dalam kolom
komentar akun @amndzahra.
3. Teknik dan Alat Pengumpul Data
Dalam teknik pengumpulan data pada penelitian ini dipergunakan berbagai teknik, yaitu
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Ketiga teknik tersebut digunakan untuk memperoleh data
dan informasi yang menunjang tentang penelitian.
1. Observasi
Observasi penelitian ini dilakukan dengan cara partisipan maupun non partisipan. Untuk
pengumpulan data dilakukan dengan mengamati secara langsung, terhadap objek yang
diteliti.
2. Wawancara
Wawancara (interview) secara umum adalah suatu bentuk komunikasi lisan yang dilakukan
secara terstruktur oleh dua orang atau lebih, baik secara langsung maupun jarak jauh. Pada
metode ini peneliti dan responden tidak berhadapan langsung, untuk mendapatkan informasi
dengan tujuan mendapatkan data yang dapat menjelaskan permasalahan penelitian.
Responden pada penelitian ini adalah 20 pengguna twitter dalam kolom komentar akun
twitter @amndzahra.
3. Dokumentasi
Teknik dokumentasi merupakan alat yang digunakan dalam analisis data dan dokumentasi
sistem dan untuk memahami keterkaitan antara subsistem yang satu dengan beberapa sub
sistem yang lainnya. Metode dokumentasi pada penelitian berarti mencari data mengenai
hal yang berupa foto kolom komentar @amndzahra dan bukti wawancara yang berkaitan
dengan masalah penelitian.
4. Rencana Analisis Data
Analisa data kualitatif adalah suatu proses induktif dalam mengorganisir data menjadi beberapa
kategori dan mengidentifikasi pola-pola (hubungan) diantara banyak kategori
(Mc.Milla&Schumacher, 2001). Dalam proses analisis kualitatif terdapat tiga kegiatan utama yang
saling berkaitan dan terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi.
Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai.
Bila jawaban responden setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan
melanjutkan pertanyaan lagi, hingga tahap tertentu, sampai diperoleh data yang kredibel. Peneliti
juga melakukan pencatatan selama di lapangan kemudian menyusun temuan-temuan saat di
lapangan. Setelah itu, peneliti akan melakukan verifikasi berdasarkan rumusan reduksi dan sajian
data yang diperoleh. Apabila simpulan dianggap tidak kredibel karena reduksi dan sajian datanya
yang kurang lengkap, maka peneliti akan melakukan kembali pengumpulan data. Berdasarkan teori
di atas maka analisis data yang digunakan dalam penelitian mengenai adalah analisis peristiwa
yang terjadi selama penelitian berlangsung serta analisis hasil wawancara terhadap narasumber.
Jadwal Penelitian
Tabel 1. Jadwal Penelitian
Bulan
No Jenis Kegiatan Penanggungjawab
Juni Juli Agustus
1 Pra Kegiatan
a. Koordinasi dan
pembimbingan
Siswa dan Pembimbing
b. Pembuatan kuesioner
angket dan wawancara
2 Pelaksanaan Kegiatan
a. Pengumpulan data
b. Reduksi data
Siswa dan Pembimbing
c. Analisis data
d. Penyajian data dan
penarikan kesimpulan
3 Pasca Kegiatan
a. Evaluasi penelitian
b. Penyusunan laporan
hasil penelitian
c. Penyusunan draf artikel Siswa dan Pembimbing
d. Persiapan mengikuti
grand final MYRES
EXPO

Daftar Pustaka

Amalia, C., Oktisaputri, E., Djawantianros, I., & Ruth, M. (2020). Pandangan Mahasiswa terhadap
Privilege dari Good Looking. Journal Sosial.

Aprilianty, S., Komariah, S., & Abdullah, M. N. A. (2023). Konsep Beauty Privilege Membentuk
Kekerasan Simbolik. Ideas: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Budaya.
https://doi.org/10.32884/ideas.v9i1.1253

Arikunto, S. (2013).Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Dayakisni, T., & Hudainah. (2012). Psikologi sosial (edisi revisi). Malang: UMM Press

Dion, Karen., Berscheid, Ellen., & Walster, Elaine. (1972). What is Beautiful is Good. Journal of
Personality and Social Psychology, Vol 24, No. 3, 285-290.
Ihsan, W., & Saudah, atus. (2022). Beauty Privilege Wanita Menurut Pandangan Al-Qur’an (Studi
Tafsir Tematik). El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis, 11(2).

Juwiraningrum, J. D., Prakoso, C. T., & Boer, K. M. (2020). Analisis Semiotika pada Video
Eksperimen Sosial " Slap Her : Children ’ s Reaction " oleh Fanpage . It di Youtube tentang
Kekerasan Terhadap Perempuan Abstrak. eJournal iImu Komunikasi.

Kirnandita, Patresia. (2017). Pelecehan Verbal dan Visual, Sisi Remang


DuniaKencanOnline,https://tirto.id/pelecehan-verbaldan-visual-sisi-remang-dunia-
kencan-online-ctrV diakses pada 6 Mei 2023 pukul 12.02.

MacMillan, J.H. and Schumacher, S.(2001). Research in Education.A ConceptualIntroduction. 5th


Edition, Longman, Boston,.

Markplus.inc. (2020). ZAP Beauty Index 2020 | 1. In ZAP Beauty.

Mutiara, Z., Antonius, B., & Leviane, J. H. L. (2020). Twitter Sebagai Media Mengungkapkan Diri
Pada Kalangan Milenial Twitter as a Media for Self-Disclosure Among Millennials. Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik, Universitas Sam Ratulangi.

Rasyid, M., et al. (2021). “Social Prejudice and Discriminatory Beauty Experienced in Individuals
Who Have Beauty Priviledge”. BIRCI-Journal. Volume 4 (4).

Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif dan R dan D. Bandung: ALFABETA.

Swim, J. K., Hyers, L. L., Cohen, L. L., & Ferguson, M. J. (2001). Everyday sexism Evidence for its
incidence, nature, and psychological. Journal of Social Issues.

University, C. (2020). Cambridge Dictionary Online. Dictionary Online.

Yolanda, Rania. "Beauty Privilege, Keistimewaan bagi Si Rupawan."

Anda mungkin juga menyukai