Anda di halaman 1dari 29

POLA ASUH ORANGTUA ANAK DENGAN KEDISABILITAS

DI KECAMATAN CIMAUNG
KABUPATEN BANDUNG

SEMINAR PROPOSAL

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Terapan Pekerjaan Sosial (S.Tr.Sos)

PEMBIMBING:

Suharma, S.Sos., MP., Ph.D

Fachry Arsyad, M.Kesos

Oleh:
MUHAMMAD ILHAM ARIFIAN LUMAYUNG
NRP. 20.03.008

PROGRAM STUDI PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN SOSIAL

POLITEKNIK KESEJAHTERAAN SOSIAL

BANDUNG

2024
1.1 Latar Belakang
Disabilitas merupakan kondisi yang menyebabkan individu tidak dapat
menjalankan keberfungsian sosial secara normal. Hal tersebut terjadi karena kelompok
disabilitas memiliki keterbatasan secara kognitif, afektif, dan sikomotor. Dalam interaksi
sosial, kelompok disabilitas sering kali mendapatkan hambatan dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya. Dengan demikian kelompok disabilitas menjadi kelompok yang
rentan mengalami permasalahan sosial.
Isu terkait pemenuhan kebutuhan kelompok disabilitas seringkali luput dari
perhatian di dalam masyarakat, hal tersebut terbukti dari kurang memadainya pelayanan
khusus yang diberikan kepada kelompok disabilitas. Sebagai contoh, dalam memenuhi
kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, masih banyak kelompok disabilitas
yang masih tidak bisa mengaksesnya. Menurut data dari Kemenko PMK, di tahun 2022
sebanyak 70,85% anak dengan disabilitas hanya berpendidikan hingga tingkat SD.
Secara yuridis hak terhadap kelompok disabilits telah diatur didalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Hak-Hak Penyandang
Disabilitas, yang menjamin penerapan Konvensi Hak-Hak Disabilitas, dimana
setiap orang dengan disabilitas memiliki hak dalam jaminan kesehatan dan
diberlakukan tidak diskriminatif, mendapatkan akses yang inklusif, mendapatkan
kehidupan yang layak, serta terbebas dari tindakan kekerasan dan eksploitasi. Di
dalam Undang-Undang tersebut juga dijelaskan bahwa, masyarakat memiliki
kewajiban untuk memiliki kesadaran terhadap kondisi dan kebutuhan yang
diperlukan oleh kelompok disabilitas.
Pengabaian terhadap kelompok disabilitas umumnya terjadi karena
minimnya pengetahuan yang dilimiliki oleh masyarakat maupun pemerintah
setempat. Pengabaian yang terjadi karena kurangnya pemahaman yang dimiliki
masyarakat marak terjadi di lingkungan pedesaan, hal tersebut dapat terjadi karena
masyarakat di wilayah pedesaan masih menganggap bahwa kondisi disabilitas
yang dialami oleh seseorang sebagai sebuah karma buruk. Kondisi disabilitas di
wilayah pedesaan semakin buruk karena adanya pengucilan dari keluarga mereka
sendiri. Pengucilan terjadi karena keluarga tidak dapat menerima kondisi yang
terjadi kepada anak mereka, sehingga di beberapa kasus terdapat keluarga yang
menyembunyikan atau mengurung anak disbilitas yang ada. Padahal seharusnya
pada usia anak, disabilaitas memerlukan pelayanan yang lebih intensif, agar
dikemudian hari anak mampu beradaptasi dan bisa berbaur dengan lingkungan
sosialnya sehingga memiliki kehidupan yang lebih mandiri dan tidak bergantung
dengan orang lain.
Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang memiliki jumlah disabilitas
sebanyak 6.045 jiwa, dengan jumlah disabilitas anak sebanyak sekitar 2000 jiwa.
Dengan kondisi masyarakat yang masih berada pada transisi Desa ke Kota,
menyebabkan kelompok disabitas terutama anak disbilitas rentan mengalami
diskriminasi. Karena dari kondisi di lapangan masih sering ditemui kasus
diskriminasi kepada anak disabilitas di Kabupaten Bandung, mulai dari
pengucilan dan pengurungan oleh keluarga mereka sendiri hingga perundungan
yang dialami oleh anak disabilitas ketika berada di sekolah.
Dari wawancara yang dilakukan dengan salah satu orang tua dengan anak
disabilitas di Kabupaten Bandung, diceritakan bahwa untuk mendapatkan
pelayanan bagi anak disabilitas cukuplah sulit, terutama untuk mengakses terapi
dan alat bantu khusus bagi anak disabilitas. Selain itu, tantangan yang perlu
dihadapi oleh anak dengan disabilitas adalah perundungan yang sering terjadi
ketika anak bersekolah di sekolah inklusif. Padahal pendidikan anak disabilitas di
sekolah inklusif merupakan salah satu upaya yang dilakukan agar anak dengan
disabilitas mampu berdaptasi dan memiliki kepercayaan diri di lingkungan sosial.
Namun karena kurangnya pemahaman yang ada di lingkungan sekolah inklusi,
menyebabkan anak disbilitas menjadi ragu untuk berada di lingkungan
masyarakat.
Dari kondisi yang sudah disampaikan tersebut penulis ingin mengetahui
bagaimana pola asuh yang diberikan oleh orang tua kepada anak disabilitas yang
ada di Kabupaten Bandung, terutama untuk mengetahui bagaimana lingkungan
mempengaruhi orang tua, mengingat banyaknya hambatan yang perlu mereka
lalui. Secara lebih spesifik penelitian akan dilakukan di Kecamatan Cimaung,
karena wilayah tersebut menjadi wilayah dengan jumlah anak disabilitas tertinggi
yaitu sebanyak 200 anak. Pola asuh merupakan komponen yang cukup krusial
dalam menentukan kondisi pemenuhan anak disabilitas.
Dari proses wawancara yang dilakukan oleh penulis bersama dengan
TKSK di Kecamatan Cimaung diketahui bahwa terdapat beberapa anak disabilitas
di wilayah tersebut yang memiliki perkembangan yang cukup baik. Dimana
beberapa anak di wilayah tersbut menunjukan perkembangan yang baik, hal
tersebut ditandai dengan kemampuan anak disabiltas berkegiatan seperti anak
normal pada umumnya. Dengan demikian penulis ingin mengetahui bagaiman
pola asuh yang diberikan oleh orang tua kepada anak disbilitas sehingga mereka
mampu menjalankan aktifitas sehari-hari tanpa kendala yang signifikan.
Menurut Diana Baumrind (1967), mendefinisikan pola asuh sebagai
parental control atau bagaimana orangtua mengontrol, membimbing, dan
mendampingi anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangannya
menuju pada proses pendewasaan. Diana Baumrind (1967, dalam Santrock, 2009)
membagi pola asuh ke dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu: pola asuh otoriter, pola asuh
demokratis dan pola asuh permisif. Ketika bentuk penerapan pola asuh tersebut
tentunya akan mengahasilkan dampak yang berbeda terutama bila
dimplementasikan kepada anak disabilitas.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah utama pada
penelitian ini adalah “Bagaimana Pola Asuh Anak Dengan Kedisabilitasan di
Kecamatan Cimaung” Selanjutnya masalah tersebut dirinci dalam sub-sub
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pola asuh otoriter yang diterapkan orangtua anak dengan
kedisabilitasan?
2. Bagaimana pola asuh demokratis yang diterapkan orangtua anak dengan
kedisabilitasan?
3. Bagaimana pola asuh perminif yang diterapkan orangtua anak dengan
kedisabilitasan?
1.3 Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang sudah dibuat maka tujuan dari penelitan ini
adalah untuk mendapatkan informasi terkait hal-hal berikut:
1. Mengetahui bagaimana pola asuh otoriter yang diterapkan orangtua anak
dengan kedisabilitasan.
2. Mengetahui bagaimana pola asuh demokratis yang diterapkan orangtua
anak dengan kedisabilitasan.
3. Mengetahui bagaimana pola asuh perminif yang diterapkan orangtua anak
dengan kedisabilitasan.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan diharapkan penulis dapat memberikan
kontribusi sebagai barikut:
1. Mafaat Teoritis
Dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat menambah pemahaman
terkait faktor apa saja yang mengakibatkan anak disabilitas mengalami
keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kemandiriannya,
sehingga dapat menjadi referensi dalam penelitian yang dilakukan selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat menjadi media untuk melakukan
penyebaran informasi dan mengajak masyarakat dalam mendukung pemenuhan
kebutuahan anak dengan disabilitas.
1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini disusun dengan menggunakan sistematika penulisan
yang tercantum dalam pedoman penulisan skripsi sebagai berikut
BAB I : PENDAHULUAN
Memuat tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II : KAJIAN KONSEPTUAL
Memuat tentang penelitian terdahulu dan teori yang relevan
dengan judul penelitian. Teori tersebut meliputi tinjauan
tentang efektivitas, tinjauan tentang penyandang disabilitas,
tinjauan tentang Kelompok Usaha Bersama (KUBE), tinjauan
tentang kesejahteraan sosial, dan relevansi pekerjaan sosial
dengan kesejahteraan sosial.
BAB III : METODE PENELITIAN
Memuat tentang desain penelitian, sumber data, definisi
operasional, populasi dan sampel, uji validitas dan reliabilitas,
teknik pengumpulan data, teknik analisa data, serta jadwal
penelitian dan langkah-langkah penelitian.
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Memuat tentang gambaran lokasi penelitian, hasil penelitian,
dan pembahasan hasil penelitian yang berupa analisis masalah,
analisis kebutuhan dan analisis sumber.
BAB V : USULAN PROGRAM
Memuat tentang dasar pemikiran program, nama program,
tujuan program, sasaran program, pelaksana program, metode
dan teknik, kegiatan yang dilakukan, langkah-langkah
pelaksanaan, rencana anggaran biaya, analisis kelayakan, dan
indikator keberhasilan.
BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN
Memuat tentang kesimpulan mengenai hasil penelitian yang
telah dilakukan dan saran-saran untuk meningkatkan efektivitas
program.
BAB II
KAJIAN KONSEPTUAL
2.1 Penelitian Terdahuu
Penelitian terdahulu merupakan penelitian-penelitian yang sudah
dilakukan oleh orang lain dan dijadikan pedoman dalam melakukan penelitian
selanjutnya. Penelitian terdahulu membuktikan bahwa penelitian yang dilakukan
oleh penulis berbeda dengan penelitian-penelitian sebelunya. Berikut merupakan
beberapa penelitian terdahulu:
1. KEBUTUHAN ORANG TUA DENGAN ANAK DISABILITAS
Penelitian dilakukan oleh Sari Lesatari pada tahun 2018. Dimana
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahu kebutuhan apa saja
yang diperlukan oleh keluarga yang memiliki anak dengan disabilitas.
Penelitian dilakukan dengan melakukan pengamatan kepada 31 sample
keluarga yang berada di Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung. Dalam
melakukan pengamatan peneliti melihat aspek dukungan informasi dan
pelayanan profesional, pelayanan komunitas, penerimaan orang lain,
kebutuhan finansial, serta perawatan anak.
Kebutuhan keluarga dengan anak disabilitas diukur menggunakan
kuesioner Assessment of Family Needs-FNS versi Jepang yang diadopsi dari
Bailey dan Simerson (1988). Analisis data menggunakan persentase nilai
setiap domain dan rerata skor yang dihitung dengan menggunakan nilai
minimal dan maksimal (1–3) dari setiap item pertanyaan dari setiap sub-
kebutuhan.
Hasil menunjukkan kebutuhan ibu jika diurutkan dari tertinggi ke terendah
adalah kebutuhan informasi dan dukungan profesional 71,0%, pelayanan
komunitas 64,5%, menjelaskan kepada orang lain 38,7%, kebutuhan finansial
22,6%, perawatan anak 16,1%, dan dukungan keluarga/sosial 12,9%.
Kebutuhan ayah dari tertinggi ke terendah yaitu kebutuhan informasi 71,0%,
pelayanan komunitas 64,5%, dukungan profesional 61,0%, menjelaskan
kepada orang lain 45,2%, kebutuhan finansial 29,0%, perawatan anak 22,6%,
dan dukungan keluarga/ sosial 19,4%. Kebutuhan informasi merupakan
kebutuhan paling dibutuhkan. Sehingga perlu adanya akses informasi yang
dibutuhkan untuk mememuhi kebutuhan informasi tersebut. Dengan
terpenuhinya kebutuhan informasi orang tua, maka orang tua akan lebih
mengetahui cara merawat dan mengembangkan potensi yang dimiliki anak
mereka.
2. POLA ASUH TERHADAP ANAK DISABILITAS PADA MASA
PANDEMI DI SLB NEGERI SUKADANA KALIMANTAN BARAT
Penelitian dilakukan oleh Furi Novita dan Dwi Yuliani pada tahun 2021.
Penelitian dilakuakn untuk mengetahui bagaimana pola asuh orang tua yang
dilakukan kepada anak disabilitas mental selama masa pandemi. Karena pada
masa pandemi terjadi perubahan yang cukup signifikan terhadap pola interaksi
yang terjadi di masyarakat, dimana sebagian besar informasi dan komunikasi
dilakukan secara daring. Secara spesifik penelitian ini meneliti variabel
kepatuhan anak dalam berdaptasi dengan kondisi pandemi yang
mengharuskan anak mematuhi berbagai protokol kesehatan, yang
menyebabkan anak mengurangi interaksi fisik dengan orang lain.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan
metode deskriptif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan
teknik wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi untuk
mendapatkan gambaran secara langsung dan fakta di lapangan.
Hasil dari penelitian yang dilakukan memberikan kesimpulan bahwa
permasalahan terlihat pada aspek komunikasi dan disiplin. Pada aspek
komunikasi orangtua mengalami hambatan saat komunikasi dengan anak
disabilitas dikarenakan cara bicara anak disabilitas intelektual yang kurang
jelas dan terbata-bata. Anak disabilitas intelektual memiliki hambatan dalam
mempelajari keterampilan berkomunikasi, sehingga mereka kesulitan
berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Kurangnya intelegensi
menyebabkan anak intelektual kesulitan dalam berbahasa, menangkap dan
merekam informasi yang berkaitan dengan bahasa, kosa kata maupun dalam
pengucapan Selain itu permasalahan yang tampak pada penelitian ini pada
aspek disiplin. Orangtua sama sekali tidak menerapkan disiplin secara tertulis
keada anak saat melakukan aktivitas sehari-hari baik itu bergaul bersama
teman, bermain gadget, mengerjakan tugas dan PR serta tidak menjaga
protokol kesehatan. Saat anak mendapatkan tugas dari guru, orangtua hanya
menunggu kesadaran anak dan mood anak untuk mengerjakan tugas yang
diberikan oleh guru. Program Self Help Group dibentuk dengan tujuan agar
meningkatkan pemahan, kemampuan, dan keterampilan orangtua dalam
mengasuh anak intelektual, salah satu teknik yang digunakan dalam program
ini adalah role playing atau bermain peran dengan adanya permainan ini
orangtua dapat meningkatkan keterampilan dalam mengasuh anak terutama
dalam mendisiplinkan anak intelektual terutama pada masa pandemi ini
3. PENGASUHAN (GOOD PARENTING) BAGI ANAK DENGAN
DISABILITAS
Penelitian dilakukan oleh Gabriela Chrisnita Vani dengan melakukan studi
dokumentasi terhadap kondisi anak disbilitas yang ada di Indonesia. Dalam penelitian
dilakukan perbandingan antara kondisi empiris yang terjadi di lapangan dengan
konsep kebutuhan dasar bagi anak disabilitas yang terdiri dari tingkat afeksi,
keamanan dan penerimaan, indentitas, pertemanan, sosialisasi serta kontrol diri.
Dari penelitian tersebut dapat dismpulkan bahwa Pengasuhan yang baik harus
diberikan kepada setiap anak tidak terkecuali anak dengan disabilitas.
Pengasuhan dari orangtua bertujuan agar anak dapat memenuhi haknya.
Setidaknya terdapat empat hak yang harus dimiliki oleh anak antara lain: Hak
mendapatkan penghidupan yang layak, hak untuk tumbuh dan berkembang,
hak untuk berpendapat, dan hak berpartisipasi. Akan tetapi masih banyak
orangtua yang tidak menerima anak dengan disabilitas, orangtua menganggap
anak mereka tidak dapat berbuat apa-apa, tidak sanggup, dan hanya bisa
mengandalkan bantuan orang lain. Rasa malu dan kecewa pun dirasakan
orangtua, karena mereka malu mempunyai anak yang tidak sempurnya,
mereka malu orang lain mencemooh mereka. Selain itu orangtua biasanya
kecewa dengan keadaan anak yang tidak bisa sesempurna anak lainnya.
Akibatnya, hak-hak anak tidak secara menyeluruh terpenuhi karena tidak
adanya pengasuhan yang baik. Dalam hal ini, perlu adanya informasi yang
diberikan kepada orangtua, motivasi atau support dari lingkungan sekitar, dan
pemberian pengertian mengenai anak dengan disabilitas. Dalam memberikan
pengasuhan kepada anak dengan disabilitas, keluarga khususnya orangtua
dapat mengimplementasikan fungsi keluarga berupa fungsi afeksi, keamanan
dan penerimaan, identitas, kontrol, dan sosialisasi. Selain itu, parent support
group dapat dipraktikan misalnya di sekolah khusus anak dengan disabilitas
(SLB), perkumpulan penyandang disabilitas. Pekerja sosial dapat
memfasilitasi konseling kepada orangtua dan memberikan edukasi mengenai
pengasuhan kepada anak dengan disabilitas.
Tabel 1 Persamaan dan Perbedaan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian Sekarang

No Peneliti Tahun Judul Penelitian Persamaan Perbedaan


1 Sari Lestari 2018 Kebutuhan Orang Objek Lokasi
Tua dengan Anak penelitan penelitian
Disabilitas anak
disabilitas
2 Furi Novita 2021 Pola Asuh terhadap Objek 1. Lokasi
dan Dwi Anak Disabilitas penelitan penelitian
Yuliani Pada Masa anak 2. Metode
Pandemi di SLB disabilitas penelitian
Negeri Sukadana
Kalimantan Barat

3 Gabriela 2014 Pengasuhan (Good Objek 1. Lokasi


Chrisnita penelitan penelitian
Vani Parenting) bagi
anak 2. Metode
Anak dengan disabilitas penelitian
Disabilitas

2.2 Teori yang Relevan dengan Penelitian


2.2.1 Tinjauan tentang Pola Asuh
Menurut Djamarah (2014), pola asuh mencerminkan sikap dan tingkah
laku orangtua serta anak saat berinteraksi dan berkomunikasi selama menjalankan
aktivitas pengasuhan dan ketika melakukan pendisiplinan terhadap anak. Pola
interaksi dalam pengasuhan orangtua menggambarkan pola perilaku yang
diterapkan secara konsisten kepada anak sejak lahir hingga masa remaja. Petranto
(Adawiah, 2017) menyatakan bahwa pola asuh orangtua merupakan pola perilaku
yang diterapkan pada anak dan cenderung konsisten dari waktu ke waktu. Anak
merasakan dampak pola perilaku baik dalam aspek negatif maupun positif. Setiap
keluarga akan menerapkan pola asuh yang berbeda, yang dipengaruhi oleh
perspektif masing-masing orangtua.
Pola pengasuhan yang baik perlu diterapkan oleh orangtua pada anak yang
memiliki disabilitas. Sebelum mengimplementasikan pola tersebut kepada anak,
sebaiknya orangtua memperoleh dukungan yang besar dari keluarga dan
lingkungan sekitar. Dukungan ini dapat diberikan baik dari keluarga maupun
lingkungan, hal ini menjadi kekuatan penting agar orangtua dapat merasa yakin
dan percaya diri dalam memberikan pengasuhan yang baik kepada anak mereka
yang mengalami disabilitas.
Dukungan sosial sangat diperlukan dalam melakukan pengasuhan kepada
anak disabilitas. Dukungan sosial ini memainkan peran kunci dalam memastikan
bahwa anak tidak merasa berbeda dari anak-anak lain yang normal. Faktor
dukungan, motivasi, semangat, dan penghargaan dari keluarga dan lingkungan
sangat memengaruhi kesejahteraan psikologis anak, membantu mereka
membangun keyakinan terhadap potensi yang dimilikinya. Selain itu, penting bagi
orangtua untuk memahami kondisi kebutuhan anak dan menerapkan pola
pengasuhan yang melibatkan komunikasi aktif.
Menurut Mahmud (2003:9) dalam (Wiraguna, 2015) mengemukakan
aspek pola asuh sebagai berikut:
1. Pengawasan
Pengawasan dapat di identifikasikan sebagai kewaspadaan terhadap suatu
objek agar tidak menyimpang dari keinginan dan tujuan sesungguhnya.
Pemaknaan pengawasan mengandung pengertian antara lain upaya pengaturan,
terciptanya normanorma, dan memberi batasan dengan tujuan tetap berada dalam
keadaan normal atau dapat terkendalikan dengan baik.
2. Komunikasi
Komunikasi adalah suatu aktivitas dasar manusia yang saling berhubungan
satu sama lain baik itu didalam kehidupan sehari-hari dalam rumah tangga, tempat
kerjaan, masyarakat, dan dimana pun manusia berada. Komunikasi dapat
dikatakan kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan oleh anak
dan orangtua. Dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah penyampaian
informasi, gagasan atau suatu pesan dari suatu tempat atau orang ke yang lainnya
dengan tujuan untuk tetap menjalin komunikasi dengan baik. Komunikasi
menurut Effendy, 2003 dalam (Setyawan, 2018) adalah suatu proses penyampaian
pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu memberi pendapat,
atau perilaku baik yang disampaikan secara lisan maupun tidak langsung melalui
media. Menurut Marhaeni Fajar dalam bukunya yang berjudul ilmu komunikasi,
teori dan praktik (2009:62) dikutip dari (Nurdianti, 2014) hambatan dalam
komunikasi yaitu hambatan dari pengirim pesan, misalnya pesan yang akan
disampaikan belum jelas bagi dirinya atau pengirim pesan, hal ini dipengaruhi
oleh perasaan atau situasi emosional sehingga mempengaruhi motivasi, yaitu
mendorong seseorang untuk bertindak sesuai keinginan, kebutuhan atau
kepentingan.
3. Disiplin
Kedisiplinan diartikan sebagai membantu individu untuk melakukan
sesuatu yang lebih baik, dengan mengajari seseorang hal yang benar mendapatkan
perasaan yang nyaman serta hakiki saat melakukan sesuatu dan saat memberikan
kontribusi kepada masyarakat. Kedisiplinan anak dapat dilatih dari usia dini yang
dilakukan oleh orangtua yang berperan besar dalam pengasuhan anak. Melalui
bentuk pendisplinan yang baik anak akan diarahkan orangtua bagaimana
membiasakan diri melakukan hal-hal secara teratur dan terjadwal, dalam
menerapkan disiplin tersebut orangtua dapat membuat aturan-aturan sederhana
dan memberi alasan sederhana mengapa orangtua tidak bisa menerima perilaku
tertentu, dan memberikan contoh yang baik terhadap anak
Pola asuh menurut Diana Baumrind (1967), pada prinsipnya
merupakan parental control yaitu bagaimana orangtua mengontrol, membimbing,
dan mendampingi anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas
perkembangannya menuju pada proses pendewasaan. Diana Baumrind (1967,
dalam Santrock, 2009) membagi pola asuh ke dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:
1) Pola asuh otoriter (authoritarian parenting)
Orangtua dengan tipe pola asuh ini biasanya cenderung membatasi dan
menghukum. Mereka secara otoriter mendesak anak untuk mengikuti perintah dan
menghormati mereka. Orangtua dengan pola ini sangat ketat dalam memberikan
Batasan dan kendali yang tegas terhadap anak-anak, serta komunikasi verbal yang
terjadi juga lebih satu arah. Orangtua tipe otoriter umumnya menilai anak sebagai
obyek yang harus dibentuk oleh orangtua yang merasa “lebih tahu” mana yang
terbaik bagi anak-anaknya. Anak yang diasuh dengan pola otoriter sering kali
terlihat kurang bahagia, ketakutan dalam melakukan sesuatu karena takut salah,
minder, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah. Contoh orangtua
dengan tipe pola asuh ini, mereka melarang anak laki-laki bermain dengan anak
perempuan, tanpa memberikan penjelasan ataupun alasannya.
2) Pola asuh demokratis/otoritatif (authotitative parenting)
Pola pengasuhan dengan gaya otoritatif bersifat positif dan mendorong
anak-anak untuk mandiri, namun orangtua tetap menempatkan batas-batas dan
kendali atas tindakan mereka. Orangtua tipe ini juga memberikan kebebasan
kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, serta pendekatan yang
dilakukan orangtua ke anak juga bersifat hangat. Pada pola ini, komunikasi yang
terjadi dua arah dan orangtua bersifat mengasuh dan mendukung. Anak yang
diasuh dengan pola ini akn terlihat lebih dewasa, mandiri, ceria, mampu
mengendalikan diri, beriorientasi pada prestasi, dan mampu mengatasi stresnya
dengan baik.
3) Pola asuh permisif (permissive parenting)
Orangtua dengan gaya pengasuhan ini tidak pernah berperan dalam
kehidupan anak. Anak diberika kebebasan melakukan apapun tanpa pengawasan
dari orangtua. Orangtua cenderung tidak menegur atau memperingatkan, sedikit
bimbingan, sehingga seringkali pola ini disukai oleh anak (Petranto, 2005).
Orangtua dengan pola asuh ini tidak mempertimbangkan perkembangan anak
secara menyeluruh. Anak yang diasuh dengan pola ini cenderung melakukan
pelanggaran-pelanggaran karena mereka tidak ammpu mengendalikan
perilakunya, tidak dewasa, memiliki harga diri rendah dan terasingkan dari
keluarga
2.2.2 Tinjauan tentang Orangtua
Orangtua merupakan komponen dari keluarga ini yang terdiri dari ayah
dan ibu. Orangtua memiliki peran penting dalam membimbing dan mendampingi
anak-anaknya baik dalam pendidikan formal maupun non-formal. Orangtua atau
ibu dan ayah memegang peranan penting dan sangat berpengaruh dalam
pendidikan anak-anaknya. Pendidikan orangtua terhadap anaknya adalah
pendidikan yang dilandasi oleh rasa cinta terhadap orangtua dan anak. Orangtua
adalah awal mula dimana pendidikan anak didapat. Oleh karena itu, kasih sayang
orangtua kepada anak juga harus merupakan kasih sayang sepanjang masa. Jadi
dapat dipahami bahwa orangtua adalah ayah dan ibu yang bertanggung jawab atas
pendidikan anak dan segala aspek kehidupannya sejak anak masih kecil hingga
mereka dewasa.
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam (Muthmainnah, 2012) menyatakan
bahwa esensi pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga, sedangkan sekolah
hanya berpartisipasi. Dalam proses perkembangan anak, peran orangtua antara
lain:
1. Mendampingi setiap anak yang memerlukan perhatian dari orangtuanya.
Meski orangtua hanya memiliki sedikit waktu untuk mendampingi
anaknya dikarenakan orangtua bekerja di luar rumah bukan berarti
orangtua gagal dalam mendampingi anaknya ketika dirumah, meski hanya
sedikit waktu yang dimiliki orangtua dapat memberikan perhatian dengan
cara menemani anak dengan mendengar ceritanya, bercanda, bergurau atau
bermain bersama.
2. Menjalin komunikasi. Komunikasi menjadi hubungan yang penting antara
orangtua dan anak. komunikasi merupakan jembatan untuk mengetahui
keinginan, harapan, dan respon masing-masing dari anak maupun
orangtua. Melalui komunikasi orangtua dapat menyampaikan harapan dan
dukungan kepada anak.
3. Memberikan kesempatan. Kesempatan pada anak dapat dimaknai sebuah
kepercayaan. Kesempatan ini tidak sekedar pengawasan. Anak akan
tumbuh percaya diri apabila diberikan kesempatan dalam mencoba,
mengekspresikan, dan mengeksplorasi serta mengambil keputusan.
4. Mengawasi pengawasan. Pengawasan yang dimaksud bukan memata-
matai atau mencurigai anak. Pengawasan yang dibangun adalah dasar
komunikasi dan keterbukaan antara orangtua dan anak. orangtua dapat
memantau dengan siapa dan apa yang dilakukan oleh anak untuk
meminimalisir pengaruh negative pada anak. 5. Mendorong memberikan
motivasi. Motivasi merupakan keadaan dalam diri individu untuk
mendorong perilaku kea rah tujuan. Motivasi dapat muncul dari individu
sendiri maupun dari luar individu. Setiap individu merasa senang apabila
diberikan penghargaan. Motivasi diberikan kepada anak agar anak selalu
berusaha dalam mencapai tujuan dan meningkatkan apa yang sudah ia
capai apabila hal tersebut belum tercapai motivasi dapat membuat anak
tidak menyerah.
2.2.3 Tinjauan tentang Anak Disabilitas
Anak disabilitas adalah kondisi yang kepada anak yang mengalami
keterbatasan fisik, mental, atau perkembangan yang mempengaruhi kemampuan
mereka untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam aktivitas sehari-hari. Disabilitas
dapat bersifat sementara atau permanen, dan setiap anak dengan disabilitas
memiliki kebutuhan unik yang perlu diperhatikan. Disabilitas dapat melibatkan
berbagai kondisi, yang terdiri dari kondisi fisik, kognitif, hingga fungsi motorik
serta fisik. Berikut secara rinci klasifiaksi dari kondisi disabilitas yang dapat
dialami oleh anak
1. Disabilitas Fisik:
Keterbatasan gerakan atau fungsi tubuh, seperti kelumpuhan, cacat
anggota tubuh, atau kondisi fisik lainnya.
2. Disabilitas Mental atau Kognitif:
Tantangan dalam fungsi mental, seperti kesulitan belajar, gangguan
perkembangan, atau gangguan kecerdasan.
3. Disabilitas Sensorik:
Keterbatasan dalam panca indera, seperti kehilangan pendengaran,
penglihatan, atau kedua-duanya.
4. Gangguan Kesehatan Mental:
Gangguan kesehatan mental seperti autisme, ADHD (Attention Deficit
Hyperactivity Disorder), atau gangguan kecemasan.
5. Gangguan Perilaku atau Emosional:
Kesulitan dalam mengelola emosi atau perilaku yang mungkin
memerlukan pendekatan khusus.
6. Gangguan Kesehatan Medis Serius:
Kondisi medis serius yang dapat membatasi aktivitas sehari-hari, seperti
penyakit kronis atau gangguan genetik.
Meskipun anak dengan disabilitas memiliki kondisi yang berbeda dengan
anak pada umumnya, akan tetapi secara etika dan moral mereka harus
diperlakukan setara dan mendapatkan hak-hak dasar yang dapat mendukung
kesejahteraan hidup mereka. Berikut ini adalah beberapa aspek kunci yang perlu
diperhatikan untuk memenuhi kebutuhan anak dengan disabilitas:
1. Pendidikan Inklusif:
Anak-anak dengan disabilitas memiliki hak yang sama untuk mendapatkan
pendidikan berkualitas. Kebutuhan ini mencakup akses terhadap sekolah
inklusif yang mendukung keberagaman dan menyediakan sumber daya yang
diperlukan untuk mendukung pembelajaran anak dengan disabilitas.
2. Aksesibilitas Fisik dan Informasi:
Kebutuhan anak disabilitas melibatkan aksesibilitas fisik dan
informasi. Fasilitas umum, transportasi, dan lingkungan sekitar harus
dirancang untuk memudahkan mobilitas anak dengan berbagai jenis
disabilitas. Informasi juga harus disajikan dengan cara yang dapat diakses oleh
semua individu, termasuk yang memiliki tantangan sensorik atau kognitif.
3. Layanan Kesehatan dan Rehabilitasi:
Anak-anak dengan disabilitas sering memerlukan layanan kesehatan dan
rehabilitasi khusus. Ini melibatkan akses terhadap perawatan medis yang
sesuai, terapi fisik atau okupasional, serta bantuan teknologi kesehatan untuk
meningkatkan kualitas hidup mereka.
4. Dukungan Psikososial:
Kebutuhan emosional dan psikososial anak disabilitas harus diperhatikan.
Mereka mungkin mengalami tekanan mental, kesulitan sosial, atau
stigmatisme. Oleh karena itu, dukungan psikososial, termasuk konseling dan
pendekatan terapeutik, penting untuk membantu anak-anak ini mengatasi
tantangan tersebut.
5. Partisipasi Sosial:
Anak-anak dengan disabilitas juga memiliki kebutuhan untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan budaya. Ini mencakup kesempatan
untuk bermain, berkumpul dengan teman sebaya, dan terlibat dalam kegiatan
ekstrakurikuler atau seni.
6. Pemberdayaan dan Partisipasi Keluarga:
Kebutuhan anak disabilitas tidak hanya terfokus pada anak itu sendiri,
tetapi juga melibatkan keluarga mereka. Keluarga memerlukan dukungan,
informasi, dan sumber daya untuk dapat mendukung anak disabilitas dalam
pengembangan dan kehidupan sehari-hari.
7. Akses Terhadap Teknologi:
Anak-anak disabilitas dapat membutuhkan bantuan teknologi adaptif atau
asistif. Dukungan dalam hal ini mencakup akses terhadap perangkat keras dan
perangkat lunak yang dapat membantu mereka berpartisipasi dalam berbagai
kegiatan.
8. Pengakuan Potensi dan Kemampuan:
Kebutuhan anak disabilitas melibatkan pengakuan akan potensi dan
kemampuan mereka. Memberikan kesempatan untuk berkembang sesuai
dengan potensinya adalah hak anak disabilitas.
2.3 Kerangka Berpikir

Kurangnya pemahaan Tingginya jumlah


terhadap kebutuhan anak anak disabilitas
disabilitas.

Pola asuh orangtua kepada


anak dengan disbilitas

Ketersedian akses
terhadap kebutuhan
dasar anak disabilitas
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Pengertian desain penelitian adalah rangkaian prosedur dan metode yang
dipakai untuk menganalisis dan menghimpun data untuk menentukan variabel
yang akan menjadi topik penelitian. strategi yang dilakukan peneliti untuk
menghubungkan setiap elemen penelitian dengan sistematis sehingga dalam
menganalisis dan menentukan fokus penelitian menjadi lebih efektif dan efisien.
Menurut Nachmias dan Nachmias (1976), desain penelitian adalah suatu rencana
yang membimbing peneliti dalam proses pengumpulan, analisis, dan interpretasi
observasi. Maksudnya, suatu model pembuktian logis yang memungkinkan
peneliti untuk mengambil inferensi mengenai hubungan kausal antar variabel di
dalam suatu penelitian.
Berdasarkan bentuknya penelitian ini termasuk penelitian Kuantitatif
Survey Desakriptif, sedangkan berdasarkan tempatnya penelitian ini termasuk
penelitian lapanagan, dan menurut cara pengumpulan data penelitian ini termasuk
penelitian observasi, wawancara, kuesioner sedangkan menurut waktu
pelaksanaanya penelitian ini termasuk cross secrional.

3.2 Sumber Data


Untuk mendapatkan informasi dan data yang lengkap, jelas,
akurat, serta valid mengenai objek yang diteliti, maka sangat dibutuhkan jenis dan
sumber data yang tepat untuk digunakan dalam penelitian. Menurut Sugiyono
(2010:62), dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat
menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sehingga jenis dan sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini yakni:
1. Data Primer
Data primer merupakan data dan sumber data yang langsung diperoleh
dari sumber data pertama (informen inti) atau informasi yang diperoleh secara
langsung di lokasi penelitian atau objek/subjek penelitian. Data primer yang
dimaksud seperti hasil wawancara langsung orang tua yang memiliki anak
dengan disabilitas.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data dan sumber data yang diperoleh dari
sumber kedua atau sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data, seperti dokumen-dokumen, pengakuan-pengakuan atau hasil
wawancara dengan pihak kedua (informen penguat data)
3.3 Definisi Operasional
Definisi Operasional adalah mengubah konsep atau variable yang abstrak
ke tingkat yang lebih realistic/konkrit, sehingga gejala tersebut mudah
dikenal.definsi operasional sedapat mungkin memberikan petunjuk yang dapat
secara langsung diukur dalam dunia nyata (realitas). Berikut merupakan istilah
yang dapat mereprepresentasikan maksud dari penelitian :
1. Pola Asuh
Pola asuh merujuk pada cara orangtua atau wali mengasuh dan mendidik
anak-anak mereka. Pola asuh mencakup serangkaian perilaku, tindakan,
aturan, dan norma-norma keluarga yang memengaruhi perkembangan dan
pembentukan karakter anak. Pola asuh sangat mempengaruhi bagaimana anak
memahami dirinya sendiri, orang lain, serta dunia di sekitarnya.
Beberapa elemen yang dapat membentuk pola asuh melibatkan: 1)
Kepedulian dan Perhatian; 2) Batasan dan Aturan; 3) Komunikasi; 4) Model
Perilaku; 5) Dukungan Emosional; 6) Pendidikan dan Nilai-nilai; 7)
Fleksibilitas. Pola asuh dapat beragam dan dipengaruhi oleh budaya, nilai-
nilai keluarga, pengalaman pribadi, dan faktor-faktor lainnya. Tipe-tipe pola
asuh umumnya diklasifikasikan dalam beberapa model, seperti pola asuh
otoriter, demokratis, atau permisif. Pemahaman pola asuh penting dalam
konteks pengembangan anak karena dapat memberikan pengaruh signifikan
terhadap perkembangan sosial, emosional, dan kognitif mereka.
2. Orangtua
Orangtua adalah individu yang memiliki peran sebagai ayah atau ibu
dalam keluarga dan bertanggung jawab atas pengasuhan, perlindungan, dan
pemenuhan kebutuhan anak-anak mereka. Peran orangtua melibatkan berbagai
tugas, mulai dari memberikan kasih sayang, membimbing, mendidik, hingga
memberikan dukungan fisik dan emosional untuk membantu anak-anak
tumbuh dan berkembang.
Beberapa peran dan tanggung jawab orangtua meliputi:
1) Pengasuhan:
Memberikan perhatian dan merawat anak, termasuk memenuhi kebutuhan
dasar seperti makan, tidur, dan kebersihan.
2) Pendidikan:
Membantu dalam pengembangan keterampilan kognitif, sosial, dan
emosional anak melalui pengajaran, pendampingan, dan dukungan dalam
belajar.
3) Pemberian Nilai dan Norma:
Mentransmisikan nilai-nilai, norma-norma, dan etika keluarga kepada anak
sebagai dasar untuk perkembangan karakter dan moral mereka.
4) Perlindungan:
Melindungi anak dari bahaya fisik, emosional, atau psikologis serta
memberikan rasa aman dan keamanan.
5) Bimbingan dalam Pengambilan Keputusan:
Membimbing anak-anak dalam pengambilan keputusan, membantu
mereka memahami konsekuensi dari tindakan mereka.
6) Pendukung Emosional:
Memberikan dukungan emosional, menyediakan tempat bagi anak untuk
berbicara tentang perasaan mereka, dan memberikan dukungan dalam
mengatasi tantangan hidup.
7) Model Perilaku:
Menjadi teladan bagi anak-anak melalui perilaku yang positif dan etis,
karena anak cenderung meniru tingkah laku orangtua.
8) Kemampuan Komunikasi:
Membangun kemampuan komunikasi yang sehat dengan anak-anak,
mendengarkan, dan menjawab pertanyaan mereka.
9) Fasilitator Pembelajaran:
Mendorong dan mendukung pembelajaran anak melalui interaksi positif dan
memberikan kesempatan bagi mereka untuk eksplorasi dan bereksperimen
3. Anak Disabilitas
Anak disabilitas adalah kondisi yang kepada anak yang mengalami
keterbatasan fisik, mental, atau perkembangan yang mempengaruhi
kemampuan mereka untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam aktivitas sehari-
hari. Disabilitas dapat bersifat sementara atau permanen, dan setiap anak
dengan disabilitas memiliki kebutuhan unik yang perlu diperhatikan.
Disabilitas dapat melibatkan berbagai kondisi, yang terdiri dari kondisi fisik,
kognitif, hingga fungsi motorik serta fisik. Berikut secara rinci klasifiaksi dari
kondisi disabilitas yang dapat dialami oleh anak
3.4 Populasi dan Sample
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2011:61).
Dari data dapat diambil bahwa populasi yang digunakan dalam adalah keluarga
dengan anak disabilitas yang ada di Kecamanatan ciamung Kabupaten Bandung.
Sedangkan Sample yang diambil adalah warga di Desa Cipinang yang
memiliki jumlah anak dengan Disabilitas tertinggi.
Pengertian sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2007; 81). Menurut
Arikunto (2006:131), sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang
diteliti. Apabila jumlah populasi besar dan relatif homogen, sampel dapat
diambil antara 10 –15 % atau 20 –25 % atau dapat juga lebih. Dalam
penelitianpengambilan sampel dilakukan dengan teknik random sampling
sebanyak 10%. Cara untuk menetukan jumlah sampel dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan rumus Slovin yaitu :
𝑁
n = 1+𝑁𝑒 2

Keterangan :
n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan
sampel yang masih dapat ditoliler. Persen kelonggaran yang di gunakan
adalah 10%.
3.5 Uji Validtas dan rehabilitas alat ukur
3.5.1 Uji Validitas
Uji Validitas adalah Uji ketepatan atau ketelitian suatu alat ukur dalam
mengukur apa yang sedang ingin diukur. Dalam pengertian yang mudah dipahami,
uji validitas adalah uji yang bertujuan untuk menilai apakah seperangkat alat ukur
sudah tepat mengukur apa yang seharusnya diukur.
Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek
penelitian dengan daya yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Dengan demikian
data yang valid adalah data “yang tidak berbeda” antara data yang dilaporkan oleh
peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek penelitian.
Ada perbedaan yang mendasar mengenai validitas dalam penelitian
kuantitatif dan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif untuk
mendapatkan data yang valid dan reliabel yang diuji validitas dan reliabilitasnya
adalah instrumen penelitiannnya. Sedangkan dalam penelitian kualitatif yang diuji
adalah datanya. Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan
valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang
sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Terdapat dua macam validitas
penelitian, yaitu; validitas internal dan validitas eksternal.
1. Validitas internal berkenaan dengan derajat akurasi desain penelitian
dengan hasil yang dicapai.
2. Validitas eksternal berkenaan dengan derajat akurasi apakah hasil
penelitian dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada populasi di mana
sampel tersebut diambil. Bila sampel penelitian representatif, instrumen
penelitian valid dan reliabel, cara mengumpulkan dan analisis data benar,
maka penelitian akan memiliki validitas eksternal yang tinggi.
3.5.2 Uji Rehabilitas
Uji reliabilitas merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
konsistensi kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Suatu
kuesioner Page 7 dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap
pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu (Ghozali, 2006).
Reliabilitas ialah mengukur instrumen terhadap ketepatan (konsisten).
Reliabilitas disebut juga keterandalan, keajegan, consistency, stability,
atau dependability.
Reliabilitas berkenaan dengan derajat konsitensi dan stabilitas data atau
temuan. Dalam pandangan positivistik (kuantitatif), suatu data dinyatakan reliabel
apabila dua atau lebih peneliti dalam obyek yang sama menghasilkan data yang
sama, atau sekelompok data bila dipecah menjadi dua menunjukkan data yang
tidak berbeda.
Pengertian reliabilitas dalam penelitian kuantitatif dan kualitatif pun
berbeda. Dalam penelitian kualitatif sutau relaitas itu bersifat majemuk/ganda,
dinamis/selalu berubah, sehingga tidak ada yang konsisten, dan berulang seperti
semula. Situasi senantiasa berubah demikian juga perilaku manusia yang terlibat
didalamnya.
Pelaporan penelitian kualitatif pun bersifat individu, atau berbeda antara
peneliti satu dengan peneliti lainnya. Bahkan untuk obyek yang sama, apabila ada
5 peneliti dengan latar belakang yang berbeda, akan diperoleh 5 laporan penelitian
yang berbeda pula. Peneliti yang berlatar belakang pendidikan tentu akan
menemukan dan melaporkan hasil penelitian yang berbeda dengan peneliti yang
berlatarbelakang sosiologi.
Oleh karena itu penelitian kualitatif sering dikatakan bersifat subyektif dan
reflektif. Dalam penelitian kualitatif tidak digunakan instrumen yang standar
tetapi peneliti bertindak sebagai instrumen. Data dikumpulkan secara verbal
diperkaya dan diperdalam dengan hasil pengamatan, mendengar, persepsi,
pemaknaan/penghayatan peneliti. Namun demikian peneliti meskipun melibatkan
segi subyektifitas , dia harus disiplin dan jujur terhadap dirinya sebab penelitian
kualitatif harus memiliki objektifitas pula. Objektifitas disini berarti data yang
ditemukan dianalisis secara cermat dan teliti, disusun, dikategorikan secara
sistematik, dan ditafsirkan berdasarkan pengalaman, kerangka berpikir, persepsi
peneliti tanpa prasangka dan kecenderungan-kecenderungan tertentu.
3.6 Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data menurut Sugiyono (2010:62), merupakan
langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari peneltian
adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka
peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang
ditetapkan.
Dalam melakukan suatu penelitian, seseorang peneliti dituntut harus
memiliki kemampuan untuk dapat memahami dan mengimplementasikan metode-
metode maupun teknik penelitian yang baik untuk memperoleh hasil yang
semaksimal mungkin. Adapun upaya atau teknik untuk memperoleh atau
mengumpulkan data yang diperlukan, peneliti menggunakan beberapa
teknik pengumpulan data sebagai berikut:
3.6.1 Metode Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, report,
legger, legenda, dan sebagainya (Arikunto, 2010: 274). Metode ini digunakan
pada saat penelitian untuk mengetahui kondisi empiris anak disabiitas di
lapangan.
3.6.2 Metode Observasi
Pengamatan langsung (observasi), merupakan cara pengumpulan
data yang dilakukan peneliti terhadap obyek yang diteliti secara langsung
di lapangan untuk selanjutnya diamati, direkam, mencatat kejadian-kejadian yang
ada, dikumpulkan dan sebagainya yang terkait mengenai segala keadaan dan
perilaku yang ada di lapangan secara langsung.
Observasi juga dapat diartikan sebagai sebuah cara yang dilakukan
secara continue oleh seseorang dengan melakukan pengamatan kepada obyek
secara lebih dekat dalam penelitian. Melalui observasi, peneliti belajar tentang
perilaku, dan makna dari perilaku tersebut Marshall (1995) dalam (Sugiyono,
2010:64).
Selain itu, peneliti menerapkan bentuk metode observan
partisipan (obserpasi partisipasi). Dalam observasi partisipasi, peneliti terlibat
langsung dan ikut berpartisifasi dalam kegiatan maupun aktivitas masyarakat yang
dijadikan objek penelitian, dan ikut merasakan suka dukanya. Jenis observasi
partisifatif yang diterapkan yakni partisipasi pasif. Artinya bahwa peneliti berada
dan tinggal di lokasi kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam
kegiatan secara aktif.
3.6.3 Metode kuisioner
Kuesioner adalah sebuah teknik menghimpun data dari sejumlah orang
atau responden melalui seperangkat pertanyaan untuk dijawab. Dengan
memberikan daftar pertanyaan tersebut, jawaban-jawaban yang diperoleh
kemudian dikumpulkan sebagai data. Nantinya, data diolah dan disimpulkan
menjadi hasil penelitian.
Beberapa ahli memiliki definisi tersendiri mengenai apa itu kuesioner.
Misalnya, Narbuko dan Achmadi (1999) mengatakan pengertian kuesioner adalah
daftar rangkaian pertanyaan terkait suatu masalah atau bidang yang akan diteliti.
Di sisi lain, Sugiyono (2010) mengartikan kuesioner adalah metode pengumpulan
data dengan cara memberi responden seperangkat pertanyaan maupun pernyataan
tertulis untuk dijawabnya.Pada dasarnya, tujuan dan manfaat kuesioner adalah
untuk mendapatkan sejumlah data atau informasi yang relevan dengan topik
penelitian. Umumnya, Metode ini lebih banyak digunakan pada penelitian
kuantitatif guna menguraikan hubungan antara variabel.
3.6.4 Wawancara
Metode wawancara merupakan suatu metode yang dimana terjadinya suatu
interaksi dan komunikasi langsung antara pewawancara (peneliti) dengan
informan (orang yang diwawancarai) guna memperoleh data yang
diperlukan lebih rinci. Esterberg (2002) dalam (Sugiyono, 2010:73) juga
mendefinisikan wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna
dalam suatu topik tertentu.
Esterberg juga mengemukakan beberapa macam wawancara,
yaitu wawancara terstruktur, semiterstruktur, dan tidak terstruktur. Adapun
wawancara yang akan digunakan yakni wawancara semiterstruktur dan
wawancara tidak terstruktur. Wawancara semiterstruktur merupakan jenis
wawancara yang oleh penelitinya terlebih dahulu menyiapkan masalah dan
instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang akan diajukan
kepada informen sebelum terjun ke lapangan. Disamping jenis wawancara
semiterstruktur dapat dikategorikan dalam in-dept interview, yakni wawancara
yang dalam pelaksanaannya lebih bebas.
Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan
secara terbuka, yakni pihak yang diajak wawancara seperti kendala apa yang
dihadapi orang tua ketika mengasuh anak dengan disabilitas. Untuk itu peneliti
akan mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh
informen.
Sedangkan wawancara tidak terstruktur merupakan wawancara bebas dan
tidak mengacu pada daftar pertanyaan atau pedoman yang telah disusun
sebelumnya secara sistematis dan lengkap. Pedoman wawancara yang digunakan
hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Wawancara
ini berjalan mengalir seperti dalam percakapan sehari-hari dengan
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan pada wawancara semiterstruktur untuk
memperoleh informasi lebih mendalam.
Kedua jenis wawancara ini akan dipadukan dengan harapan informan-
informan tersebut dapat memberikan informasi yang jelas, rinci, valid, dan
konsisten mengenai masalah yang menjadi objek penelitian.
3.7 Teknik Analisa Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis
deskriptif.
3.7.1 Teknik Analisis Deskriptif Persentase
Analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis statistik yang
bertujuan untuk memberikan deskripsi atau gambaran mengenai subjek penelitian
berdasarkan data variabel yang diperoleh dari kelompok subjek tertentu. Analisis
deskriptif dapat ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, tabel
histogram, nilai mean, nilai standar deviasi dan lain. Manfaat yang diperoleh dari
penggunaan analisis deskriptif adalah mendapatkan gambaran lengkap dari data
baik dalam bentuk verbal atau numerik yang berhubungan dengan data yang kita
teliti.
Dalam melakukan penelitian yang menggunakan proses metode analisis
deskriptif memiliki beberapa langkah yang dapat diikuti, antara lain:
1. Melakukan perumusan masalah
2. Menentukan jenis informasi atau data
3. .Menentukan prosedur pengumpulan data
4. Melakukan pengolahan data
5. Melakukan pengambilan keputusan berdasarkan hasil analisis data
3. 8 Jadwal Penelitian dan langkah-langkah
Waktu pelaksanaan penelitian dilaksanakan dalam waktu bulan terhitung
dari bulan Februari hingga bulan Juni 2024
NO. Uraian TAHUN 2024
Bulan ke
1 2 3 4 5 6
1 Pengajuan Judul
2 Seminar integratif
3 Studi
Literatur/Penjajagan
4 Bimbingan Penulisan
5 Seminar Proposal
6 Penyusunan Instrumen
Penelitian
7 Pengumpulan dan
Pengolahan Data
8 Penulisan Laporan
Penelitian
9 Bimbingn Skripsi
10 Ujian Akhir Laporan
Penelitian
Daftar Pustaka

Adawiah, R. (2017). Pola Asuh Orangtua dan Implikasinya terhadap


Pendidikan Anak: Studi pada Masyarakat Dayak di Pola Asuh Orangtua Dan
Implikasinya Terhadap Pendidikan Anak (Studi pada Masyarakat Dayak di
Kecamatan Halong Kabupaten Balangan) (Vol. 7, Issue 1).

https://projectmultatuli.org/difabel-diaibkan-keluarga-masih-diabaikan-negara/

https://ugm.ac.id/id/berita/10799-penyandang-disabilitas-masih-mengalami-
diskriminasi/

https://www.inclusivecitymaker.com/disabled-people-in-the-world-in-2021-facts-
and-figures/

https://www.kemenkopmk.go.id/koordinasi-penguatan-jaminan-akses-bersekolah-
anak-disabilitas-dalam-ppdb-2023

Nurdianti, S. R. (2014). Analisis FaktorFaktor Hambatan Komunikasi


Dalam Sosialisasi Program Keluarga Berencana Pada Masyarakat Kebon
AgungSamarinda. Ilmu Komunikasi, 2(2), 145– 159.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.


Bandung: Alfabeda.

Wiraguna, S. (2015). Pola Asuh Keluarga Miskin Terhadap Anak Di


Keluarahan Muka Kecamatan Cianjur Kabupaten Cianjur.

Anda mungkin juga menyukai