Dosen Pengampu :
2021-2022
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karakter merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan seharihari maupun
dalam bermasyarakat. Karakter diterapkan dalam mayarakat pada umumnya tidak pernah lepas
dari proses pembelajaran dan proses pembentukan diri manusia itu sendiri. Dalam pembentukan
karakter bisa didapatkan di lingkup keluarga, sekolah dan lingkungan, baik dalam lingkungan
masyarakat maupun dalam lingkungan kelompok. Seperti halnya di lingkup keluarga, orang tua
mempunyai peran penting dalam membentuk karakter anaknya. Dalam lingkup sekolah, seorang
guru harus bisa memberikan contoh ataupun sikap yang baik yang bisa dijadikan bahan pendidikan
bagi seorang siswa. Lingkungan kelompok juga berpengaruh dalam pembentukan karakter karena
dalam suatu kelompok akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi seseorang. Menurut
Hidayatullah (2010:13), karakter adalah kualitas atau kekuatan mental dan moral, akhlak atau budi
pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan juga
penggerak, serta membedakan dengan individu yang lainnya. Seseorang dapat dikatakan
berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta
digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya.
Kemdiknas (2011), pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan
visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika,
berbudaya, dan baradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk
mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD
1945. Di samping itu, berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa saat ini semakin mendorong
semangat dan upaya pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan karakter sebagai dasar
pembangunan pendidikan. Semangat itu secara implisit ditegaskan pada Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, yang di dalamnya pemerintah menjadikan
pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Karakter juga
sering diasosiasikan dengan istilah temperamen, yang lebih memberi penekanan pada definisi
psikososial yang dihubungkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Karakter dilihat dari
sudut pandang behaviorial lebih menekankan pada unsur somatopsikis yang dimiliki seseorang
sejak lahir. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses perkembangan karakter pada
seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor bawaan dan lingkungan yang bersangkutan tumbuh dan
berkembang. Faktor bawaan boleh dikatakan berada di luar jangkauan masyarakat dan individu
untuk mempengaruhinya, sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor yang berada pada
jangkauan masyarakat dan individu. Karakter yang kuat adalah sandangan fundamental yang
memberikan kemampuan kepada populasi manusia untuk hidup bersama dalam kedamaian 3 serta
membentuk dunia yang dipenuhi dengan kebaikan dan kebajikan, yang bebas dari kekerasan dan
tindakan-tindakan tidak bermoral. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat
membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter
dapat dianggap sebagai nilainilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, serta kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma hati. Nilai-nilai karakter
banyak sekali macam dan jenisnya. Nilai-nilai karakter diharapkan mampu membentuk dan
memberikan pengetahuan moral untuk mencegah perbuatan tidak sesuai dengan moral yang dapat
merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Nilai-nilai karakter yang bersumber dari agama,
pancasila, budaya, dan tujuan nasional antara lain: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai
prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli
sosial, dan tanggung jawab. Karakter yang memiliki dimensi individual berkaitan erat dengan nilai
dan moral seseorang. Sementara, karakter yang berkaitan dengan dimensi sosialstruktural lebih
melihat bagaimana menciptakan sebuah sistem sosial yang kondusif bagi pertumbuhan individu.
Sejalan dengan latar belakang masalah di atas, maka cukup penting dilakukan penelitian tentang
“Implementasi Karakter Kepedulian Sosial dalam Mengikuti Kegiatan Gotong Royong (Studi
kasus pembangunan jalan di Desa Widodaren Kecamatan Widodaren Kabupaten Ngawi)”. 4
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan sebagai berikut:
1) Bagaimana implementasi karakter kepedulian sosial melalui kegiatan gotong royong di
Desa Widodaren Kecamatan Widodaren Kabupaten Ngawi?
2) Apa sajakah hambatan-hambatan yang mempengaruhi implementasi karakter kepedulian
sosial melalui kegiatan gotong royong di Desa Widodaren Kecamatan Widodaren
Kabupaten Ngawi?
3) Bagaimana solusi untuk mengatasi hambatan dalam implementasi karakter kepedulian
sosial melalui kegiatan gotong royong di Desa Widodaren Kecamatan Widodaren
Kabupaten Ngawi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan titik pijak untuk aktivitas yang akan dilaksanakan, sehingga
perlu dirumuskan secara jelas. Setiap penelitian perlu ada tujuan yang berfungsi sebagai acuan
pokok terhadap masalah yang diteliti, sehingga peneliti dapat bekerja secara terarah dalam mencari
data sampai pada langkah pemecahan masalahnya. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Mendeskripsikan implementasi karakter kepedulian sosial melalui kegiatan gotong
royong di Desa Widodaren Kecamatan Widodaren Kabupaten Ngawi.
b. Mendeskripsikan hambatan-hambatan yang mempengaruhi implementasi karakter
kepedulian sosial melalui kegiatan gotong royong di Desa Widodaren Kecamatan
Widodaren Kabupaten Ngawi.
c. Mendeskripsikan solusi untuk mengatasi implementasi karakter kepedulian sosial
melalui kegiatan gotong royong di Desa Widodaren Kecamatan Widodaren Kabupaten
Ngawi.
Karakter menjadi kuat jika rangkaian proses tersebut dilewati. Tahapan di atas dapat
dikelompokkan lagi atas dua bagian. Bagian pertama dominan aspek cognitifnya, yakni mulai
dari Tahap Pengenalan hingga tahap Penerapan. Selanjutnya bagian kedua mulai didominasi oleh
ranah afektif, yakni mulai dari pengulangan sampai internalisasi menjadi karakter. Bagian ke dua
ini, dorongan untuk melakukan sesuatu sudah berasal dari dalam dirinya sendiri.
Pemahaman atas tahapan pembentukan karakter ini akan sangat mempengaruhi jenis interfensi
apa yang diperlukan untuk membentuk karakter secara sengaja. Akan sangat berbeda interfensi
yang dilakukan pada saat karakter baru pada tahap pengenalanan dengan tahapan pengulangan
atau pembiasaan.
Mengetahui (knowledge)
Pembentukan karakter dimulai dari fase ini yaitu kesadaran dalam bidang kognitif.. Untuk
seorang anak, dia mulai mengenal berbagai karakter baik dari lingkungan keluarganya. Misalnya,
pada keluarga yang suka memberi, bersedekah dan berbagi. Dia kenal bahwa ada sikap yang
dianut oleh seluruh anggota keluarganya, yakni suka memberi. Kakaknya suka membagi
makanan atau meminjamkan mainan. Ibunya suka menyuruh dia memberikan sedekah ketika ada
peminta-pinta datang ke rumah. Ayahnya suka memberikan bantuan pada orang lain. Pada
tahapan ini dia berada pada ranah kognitif, dimana prilaku seperti itu masuk dalam memorinya.
D. Menghayati (understanding)
Setelah seseorang mengenal suatu karakter baik, dengan melihat berulang-ulang, akan timbul
pertanyaan mengapa begitu? Dia bertanya, kenapa kita harus memberi orang yang minta
sedekah? Ibunya tentu akan menjelaskan dengan bahasa yang sederhana. Kemudian dia sendiri
juga merasakan betapa senangnya ketika kakaknya juga mau berbagi dengannya. Dia kemudian
membayangkan betapa senangnya si peminta-minta jika dia diberi uang atau makanan. Pada
tahap ini, si anak mulai paham jawaban atas pertanyaan ”mengapa”. Pada tahap ini yakni
kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh individu.
E. Melakukan (acting)
Jika kedua aspek diatas sudah terlaksana makan akan dengan mudah dilakukan oleh
seseorang yaitu sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan suatu pekerjaan. Didasari
oleh pemahaman yang diperolehnya, kemudian si anak ikut menerapkannya. Pada tahapan awal,
dia mungkin sekedar ikut-ikutan, sekedar meniru saja. Mungkin saja dia hanya melakukan itu jika
berada dalam lingkungan keluarga saja, di luar dia tidak menerapkannya. Seorang yang sampai
pada tahapan ini mungkin melakukan sesuatu atau memberi sedekah itu tanpa didorong oleh
motivasi yang kuat dari dalam dirinya. Seandainya dia kemudian keluar dari lingkungan tersebut,
perbuatan baik itu bisa jadi tidak berlanjut.
F. Membiasakan menjadi karakter yang baik
Tingkatan berikutnya, adalah terjadinya internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam suatu
sikap atau perbuatan di dalam jiwa seseorang. Sumber motivasi melakukan suatu respon adalah
dari dasar nurani. Karakter ini akan menjadi semakin kuat jika ikut didorong oleh suatu ideologi
atau believe. Dia tidak memerlukan kontrol social untuk mengekspresikan sikapnya, sebab yang
mengontrol ada di dalam sanubarinya. Disinilah sikap, prilaku yang diepresikan seseorang
berubah menjadi karakter.
Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang suka berbagi, kemudian tinggal
dalam masyarakat yang suka bergotong royong, suka saling memberi, serta memiliki keyakinan
ideologis bahwa setiap pemberian yang dia lakukan akan mendapatkan pahala, maka suka
memberi ini akan menjadi karakternya.
Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak menekankan sopan santu,
tinggal dalam lingkungan yang suka bertengkar dan mengeluarkan makian dan kata-kata kotor,
dan tidak memiliki pemahaman ideologi yang baik, maka berkatan kotor mungkin akan menjadi
karakternya.
Tahapan yang telah dipaparkan diatas akan saling pengaruh mempengaruhi.
Mekanismenya ibaratkan roda gigi yang sling menggerakkan. Mengenal sesuatu akan
menggerakkan seseorang untuk memahaminya. Pemahaman berikutnya akan memudahkan dia
untuk menerapkan suatu perbuatan. Perbuatan yang berulang-ulang akan melahirkan kebiasaan.
Kebiasaan yang berkembang dalam suatu komunitas akan menjelma menjadi kebudayaan, dan
dari kebudayaan yang didorong oleh adanya values atau believe akan berubah menjadi karakter.
H. Strategi/ Pembentukan Karakter Terpuji (Santun atau Menghormati Orang Lain) Melalui
a. Pengkondisian
Pembentukan karakter sopan santun (menghormati orang lain) melalui pengkondisian
dapat dilakukan dengan beberapa cara. Diantaranya (Lickona, 2013):
1. Menciptakan Komunitas yang Bermoral
Menciptakan komunitas yang bermoral dengan mengajarkan siswa untuk saling
menghormati, menguatkan, dan peduli. Dengan ini, rasa empati siswa akan terbentuk.
2. Disiplin Moral
Disiplin moral menjadi alasan pengembangan siswa untuk berperilaku dengan penuh
rasa tanggung jawab di segala sitasi, tidak hanya ketika mereka di bawah pengendalian
atau pengawasan guru atau orang dewasa saja. Disiplin moral menjadi alasan
pengembangan siswa untuk menghormati aturan, menghargai sesame, dan otoritas
pengesahan atau pengakuan guru.
3. Menciptakan Lingkungan Kelas yang Demokratis: Bentuk Perteman Kelas
Menciptakan lingkungan kelas yang demokratis dapat dilakukan dengan membentuk
pertemuan kelas guna membentuk karakter terpuji santun atau menghoramti orang lain.
Pembudayaan sikap sopan santun di sekolah dapat dilakukan melalui program yang dibuat oleh
sekolah untuk mendesain skenario pembiasaan sikap sopan santun. Sekolah dapat melakukan langkah-
langkah sebagai berikut:
a) Peran sekolah dalam membiasakan sikap sopan santun dapat dilakukan dengan memberikan
contoh sikap sopan dan santun yang ditunjukkan oleh guru. Siswa sebagai pembelajar dapat
menggunakan guru sebagai model. Dengan contoh atau model dari guru ini siswa dengan
mudah dapat meniru sehingga guru dapat dengan mudah menananmkan sikap sopan santun.
b) Guru dapat mengitegrasikan perilakuk sopan santun ini dalam setiap mata pelajaran, sehingga
tanggungjawab perkembanagn anak didik tidak hanya menjadi beban guru agama, pendidikan
moral pancasila, dan guru BP.
c) Guru agama, guru pendidikan moral pancasila dan guru BP dapat melakukan pembiasaan yang
dikaitkan dalam penilaian secara afektif. Penilaian pencapain kompetensi dalam 3 mata
pelajaran ini hendaknya difokuskan pada pencapain kompetensi afektif. Kompetensi kognitif
hanya sebagai pendukung mengusaan secara afektif.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Karakteristik merupakan sesuatu mendasar dan bersifat abstrak yang ada dalam diri
seseorang yang mempengaruhi sikap. Tindakan, dan car berfikir sehari-hari. Sedangkan
pendidikan karakteristik merupakan proses penanaman dan pengarahan agar pesertadidk mampu
menjadi manusia seutuhnya dan berkarakter dalam berbagai dimensi.
B. DAFTAR PUSTAKA
http://repapebrianitapgsd14.blogspot.com/2016/06/pembentukan-karakter.html?m=1
(11 Oktober 2021)