SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
MUHAMMAD ZAINUDIN
NIM. 1112044100069
Kata kunci : nasab, kafaah, pernikahan syarifah dengan laki-laki non sayyid.
Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, M.A
Daftar Pustaka : Tahun 1957 s.d. Tahun 2014
v
KATA PENGANTAR
بِس ِْم ه
ِ ّللاِ الرَّحْ َم ِن الر
َّحي ِْم
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
menjadikan kita dari orang-orang yang diberi nasihat dan menjadikan kita pandai
dari ilmunya ulama-ulama yang shalih. Shalawat serta salam penulis panjatkan
kepada Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabat beliau
berupa sebuah skripsi yang dibebankan kepada setiap mahasiswa yang ingin
(H.Abdul Jabbar Utsman) dan Ibunda (Nihayah) tercinta yang dengan kasih
Untuk itu, patut kiranya penulis ucapkan terima kasih yang tulus dan
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag selaku ketua Program Studi Ahwal al-
Syakhshiyah, yang telah memberikan Acc judul yang penulis ajukan, dan
vi
3. Bapak Arip Purkon, M.Ag selaku sekretaris Program Studi yang dengan
4. Ibu Dr. Hj. Azizah, M.A selaku pembimbing skripsi sekaligus dosen
dapat terselesaikan.
5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
6. Staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
yang telah memberikan pelayanan dengan baik dalam hal administrasi dan
lain-lain.
7. Kedua Orang Tua penulis beserta keluarga besar semuanya, yang selalu
8. Abuya al-Ustadz al-Habib Abu bakar bin Hasan bin Abu bakar al-Athas
2012, Tuan Guru Ustadz Ismail Madarid Yahya MA, Tuan Guru Ustadz
Muhammad Fatih Risyad MA, Abuya Dr. KH. Ibnu Hamdun bin Abuya
Yusuf, Agil, Rizki Ji’ih, Awank, Jenoy, Agastani, Luthvi (cadel), Habibi
Asyaf, Miqdad, Riki, Anto, Rahmat Syaiful Haq, Faishol dan segenap
vii
kawan-kawan komunitas majelis sholawat, mereka inilah yang selalu
terselesaikan.
10. Kepada seluruh pihak maupun siapa saja yang telah membantu
Tak lupa penulis mengharap tegur dan perbaikan dari para pembaca,
karena penulis sadar dalam pembuatan skripsi ini tak luput dari
pernah melihat seseorang ketika melihat suatu buku kecuali pada hari esok
diajukan akan lebih utama, dan kalau soal ini dibuang tentu akan
lebih baik.” Ini adalah bukti yang paling tepat bahwa manusia adalah
Muhammad Zainudin
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI iii
LEMBAR PERNYATAAN iv
ABSTRAK v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI ix
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 6
D. Review Studi Terdahulu 7
E. Kerangka Teori 9
F. Metode Penelitian 11
G. Sistematika Penulisan 14
ix
BAB IV PEMIKIRAN HABAIB PADA RABITHAH ALAWIYYAH
JAKARTA TERHADAP PERNIKAHAN SYARIFAH
DENGAN LAKI-LAKI NON SAYYID 53
A. Pendapat Habaib pada Rabithah Alawiyyah Tentang Kafaah
dan Alasannya 53
B. Pernikahan Syarifah dengan Laki-Laki Non Sayyid Menurut
Pemikiran Habaib pada Rabithah Alawiyyah 58
C. Pernikahan Syarifah dengan Laki-Laki Non Sayyid ditinjau dari
Perspektif Hukum Islam 61
D. Analisis Penulis 65
BAB V PENUTUP 73
A. Kesimpulan 73
B. Saran-Saran 74
DAFTAR PUSTAKA 75
LAMPIRAN........................................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN
berlaku pada makhluk Allah yang paling sempurna, yakni manusia. 1 Dalam surat
yang disebut hukum perkawinan dalam Islam.3 Hukum Islam juga diterapkan
1
Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang,
(Bandung, Pustaka Setia: 2008), hlm. 13.
2
Departemen Agama, Alquran Dan Terjemahnya,(tk), hlm. 862.
3
Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf: 1995), hlm. 43.
1
2
hidup keluarganya. Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi
sampai terperinci, yang demikian ini menunjukan perhatian yang sangat besar
perkawinan sangat dianjurkan oleh agama Islam bagi yang telah mempunyai
semata, bukan pula hanya sekedar urusan keluarga dan budaya, tetapi masalah
peristiwa agama, karena perkawinan itu dilakukan melalui syariat Allah SWT dan
sunnah Rasulullah SAW serta dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah SWT
dan petunjuk Nabi SAW. Disamping itu, perkawinan juga bukan untuk
mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup. Oleh karena itu,
4
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Abadi, 1972), hlm. 48.
3
seorang mesti menentukan pilihan pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan
menikah dengan perempuan yang berderajat lebih tinggi. Laki-laki yang memiliki
derajat dan kemasyhuran yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir sekalipun,
ia berhak dan boleh menikah dengan perempuan yang kaya raya, asalkan laki-laki
itu muslim dan menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak seorangpun dari
pihak walinya menghalangi atau menuntut pembatalan. Selain itu, ada kerelaan
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan dari segi hukum. Kedua kata
tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus ada. Dalam perkawinan contohnya rukun dan syarat tidak
5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana:2006),hlm.
48.
6
Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta, Kencana: 2003), hlm. 98.
4
boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau
tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi hukum. Bahwa
rukun itu adalah suatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian dari
yang harus dipenuhi, Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas:
Sedangkan untuk syarat dari pernikahan secara garis besarnya ada dua:8
menjadikannya istri.
3. Mahar.
mensyaratkan seseorang yang ingin menikahkan putrinya atau yang biasa disebut
7
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 59.
8
Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, hlm. 49.
9
Habaib merupakan jamak dari kata habib, sebutan/gelar habib dikalangan Arab-
Indonesia yang dinisbatkan secara khusus terhadap keturunan nabi Muhammad SAW melalui
putrinya yang bernama Fathimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Lihat Zulkifli, Ensiklopedi
Gelar Dalam Islam, (Yogyakarta: Interprebook, 2011), hlm. 41. Panggilan habib biasa digunakan
mereka yang dipandang tokoh agama yang secara geneologis dari keturunan Sayyidina Husein
ataupun Sayyidina Hasan dipanggil dengan sebutan habib (bentuk tunggal dari kata habaib). Lihat
5
tidak sekufu nasab laki-laki dengan wanita keturunan Ahlul Bait Nabi Muhammad
SAW). Sedang hukum setara nasab bagi para syarifah adalah wajib dalam rangka
SAW.12 Padahal di dalam Alquran telah dijelaskan bahwa setiap manusia adalah
َ يَا أَيُّهَا الىَّاسُ إِوَّا خَ لَ ْقىَا ُك ْم ِم ْه َذ َك ٍس َوأُ ْوثَى َو َج َع ْلىَا ُك ْم ُشعُىبًا َوقَبَائِ َل لِتَ َع
ازفُىا إِ َّن أَ ْك َس َم ُك ْم
Ahmad haydar Baharun, madzhab para Habaib & Akar Tradisinya, (Malang, Pustaka Basma,
2013), hlm. 33
10
Syarifah adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada keturunan wanita yang
merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau Husein bin Ali dan Hasan bin
Ali yang merupakan keturunan anak dari anak perempuannya Nabi Muhammad SAW, yaitu
Fathimah az-Zahra dan menantunya yaitu Ali bin Abi Thalib. Lihat Zulkifli, gelar dalam Islam,…
Hlm. 63.
11
Syarif secara bahasa berarti Yang Mulia dan Sayyid (jamak: Sadah) secar harfiah
berarti tuan dan menurut istilah dalam pembahasan ini adaalah gelar kehormatan yang diberikan
kepada keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau Husein bin Ali dan Hasan bin Ali,
yang merupakan anak perempuan dari Nabi Muhammad SAW, Fathimah az-Zahra dan
menantunya Ali bin Abi Thalib. Lihat Zulkifli, gelar dalam Islam,… hlm. 64
12
Sayyid Umar Muhdhor Syihab, Kafaah Syariat Pernikahan Keluarga Nabi Muhammad
SAW, (Jakarta, El-Batul Publisher: 2007), hlm. 95.
13
Departemen Agama, Alquran dan terjemahnya, hlm. 847.
6
Dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti hal tersebut dengan judul:
Dalam menyusun karya ilmiah ini, agar tidak terlalu luas, penulis akan
1. Tujuan yang dicapai oleh penulis dari penulisan skripsi ini adalah:
non sayyid
penulis.
Sayyid.
Jakarta
dengan laki-laki non sayyid (Studi Kitab Bughyah al-Mustarsyidin)14. Skripsi ini
14
Muggeni, Fatwa LaranganPerkawinanSyarifah Dengan Non Sayyid, (Studi atas kitab
Bughyah al-Mustarsyidin), skripsi IAIN Semarang, 2004
8
dengan laki-laki non sayyid dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin yang pada
laki non sayyid dengan alasan pendapat mayoritas jumhur ulama yang
menyepakati bahwa yang masuk dalam kriteria kafaah adalah dalam segi agama
Kafaah Dalam Islam (Studi Atas Pemikiran Sayyid Sabiq Dalam Kitab Fiqih
Sunnah)”15. Disebutkan bahwasanya dalam kitab Fiqih Sunnah kriteria kafaah ada
6 macam: keturunan, status merdeka, Islam, pekerjaan atau kekayaan, dan selamat
dari cacat. Penulis sendiri pada akhirnya menyimpulkan bahwa yang dimaksud
kafaah oleh Sayyid Sabiq adalah laki-laki yang sebanding dengan calon istri
dalam tingkat sosial dan derajat dalam bentuk akhlak serta takwa kepada Allah.
al-Malibari dalam kitab Fath al-Mu‟in (Studi Analisis Dengan Perspektif Historis-
perkembangan zaman, maka dalam hal-hal tertentu bisa dikatakan sudah tidak
relevan, seperti status merdeka, dan yang paling relevan adalah hanya terletak
pada hal agama saja, sesuai yang dijelaskan dalam pasal 44 dan 61 KHI.
15
Latifatun Ni’mah, Konsep Kafaah Dalam Hukum Islam, (Studi Pemikiran as-Sayyid
Sabiq Dalam Kitab Fiqih Sunnah), skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009.
16
Nurin niswatin, Konsep Kafaah menurut Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fath al-
Mu‟in (Studi Analisis Dengan Perspektif Historis-Sosiologis), skripsi tidak diterbitkan, Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003.
9
Abu Yusuf”17. Disebutkan bahwasanya konsep kafaah menurut Abu Yusuf ada
kafaah hanya ada tiga, yaitu pekerjaan, kekayaan dan agama. Hal ini didasarkan
Rabithah Alawiyah Jakarta) belum ada satu karya ilmiah pun yang
membahasnya.
E. Kerangka Teori
Dalam literatur kitab-kitab fikih klasik, yakni konsep kafaah yang oleh
para fuqaha’ diberi pengertian sebagai kesepadanan atau kesetaraan dari calon
suami kepada calon istri dalam berbagai kriteria yang telah dirumuskan dan
disepakati oleh para fuqaha’, diantaranya adalah: agama, nasab, merdeka dan
akan tetapi kafaah bisa menjadi syarat sahnya pernikahan jika tidak adanya ridha
17
Laila Nurmilah, Konsep Kafaah Dalam Pandangan Abu Yusuf, skripsi tidak
diterbitkan, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2005
18
Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh „alaa al-Madzahibi al-Arba‟ah, (Beirut: Dar al-Fikr,
2008), IV: 47.
10
Hanafiyyah sepakat bahwa nasab termasuk dari bagian kriteria kafaah. Mereka
berpendapat bahwa Orang Arab adalah kufu’ antara satu dengan yang lainnya,
Orang Quraisy kufu’ dengan sesama Quraisy lainnya. karena itu konsep kafaah
inilah yang kemudian mendasari para ulama dalam menentukan tidak bolehnya
pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non sayyid karena dianggap tidak
sekufu dan akan merusak nasab keturunan dari Rasulullah Muhammad SAW,
karena ukuran nasab seseorang dinisbatkan kepada nasab seorang bapak atau
sistem patrilineal.
Kedudukan nasab atau derajat yang tinggi dimana Allah SWT telah
memberikan secara khusus kepada Ahlul Bait merupakan dasar kewajiban kita
untuk mencintai Ahlul Bait, bahkan jangan sampai kita menyakitinya. Jumhur
Ulama sepakat tentang keutamaan dan kekhususan Ahlul Bait, sebab mereka
ْ ت َويُطَه َِّس ُك ْم ت
َط ِهيسًا ِ س أَ ْه َل ْالبَ ْي َ َّللاُ لِي ُْر ِه
َ ْب َع ْى ُك ُم السِّ ج َّ إِوَّ َما ي ُِسي ُد
bersihnya.”19
19
Al-Ahzab(33): 33.
11
tersebut adalah semua anak keturunan nabi Muhammad SAW, istri-istri Nabi, dan
keturunan dari Hasan dan Husein. Disebutkan bahwa maksud dari lafadz
mereka.20
F. Metode Penelitian
untuk seorang peneliti dalam mencapai tujuan, cara tersebut digunakan setelah
Untuk mencapai apa yang diharapkan dengan tepat dan terarah dalam
1. Jenis Penelitian
dalam hal ini adalah Habaib pada Rabithah Alawiyah Jakarta mengenai
pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non sayyid. Penelitian ini juga
bersifat kepustakaan.
20
Imam ar-Razi, Tafsir ar-Razi, (Beirut,Dar al-Fikr), hlm. 350.
12
2. Sifat penelitian
antara syarifah dengan laki-laki non sayyid dan sumber yang digali dalam
4. Analisis Data
mempelajari serta mengolah kelompok data tertentu, sehingga dapat diambil suatu
kesimpulan yang konkrit tentang permasalahan yang diteliti dan dibahas.21 Dalam
a. Induktif, yaitu metode berfikir dengan cara menganalisa data khusus yang
b. Deduktif, yaitu cara memberi alasan dengan berfikir dan bertolak dari
21
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan, (Jakarta: Rineka Cipta,
1993), hlm. 205.
14
5. Pendekatan penelitian
berdasarkan pada hukum Islam, dalam arti melakukan pemahaman pada teks-teks
Alquran dan Hadits, pendapat para ulama serta kaidah ushul atau kaidah fikih
G. Sistematika Penulisan
menciptakan karya ilmiah yang utuh dan komprehensif, maka skripsi ini dibagi
dalam lima bab yang saling berkesinambungan antara yang satu dengan yang lain.
Bab I, berisi pendahuluan yang menjelaskan arah yang akan dicapai dalam
penelitian ini. Pendahuluan ini meliputi latar belakang masalah, penegasan istilah
dengan judul yang terkait pada skripsi ini, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
sistematika penulisan.
Bab II, berisi gambaran umum tentang pernikahan dan kafaah yang terdiri
dari beberapa sub bab, yaitu sub bab pertama berisi tentang pengertian nikah dan
dasar hukumnya, rukun dan syarat nikah, pengertian dan kewajiban mencintai dan
22
Bambang Sunggowo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hlm.
42.
15
Bab III, berisi tentang tinjauan umum Rabithah Alawiyah Jakarta, terdiri
dari tiga sub bab, yang pertama mendeskripsikan sejarah singkat masuknya
habaib di Kota Jakarta dan pengaruhnya dalam berdakwah di kota Jakarta, dan
sub ketiga berisi pandangan Habaib pada Rabithah Alawiyah Jakarta tentang
Alawiyah Jakarta terhadap pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non sayyid
Bab V, merupakan bab penutup dari rangkaian bab-bab yang ada dalam
Kata nikah menurut bahasa sama dengan kata, zawaj. Dalam kamus al-
atau al-zijah ( ) السواج – السوج – السٌجح. Secara harfiah, al-nikah berarti al-wath'u
1
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1461.
2
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 42-43.
16
17
nikah sebagai akad merupakan pengertian yang bersifat majazi. Sementara Imam
Syafi’i berpendapat bahwa pengertian hakiki dari nikah adalah akad, sedang
bersifat majazi. Sementara itu ada ulama yang menyatakan bahwa pengertian
nikah adalah antara keduanya yakni antara akad dan wath’i karena terkadang
nikah itu diartikan akad dan terkadang diartikan wath’un (hubungan intim).4
seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Definisi lain tentang nikah adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan
3
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 43.
4
Ahmad Atabik dan Khoridathul Mudhiiah, “Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif
Hukum Islam”, Yudisia V, no.2 (Desember 2014), hlm. 287.
5
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta:
Graha Paramuda, 2008), hlm. 5.
18
2. Akad yang ditetapkan Allah bagi seorang lelaki atas diri seorang
antara keduanya.6
tanggal 2 Januari dinyatakan: Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.7
sama lain, bahkan jiwanya adalah sama dan seirama, karena pada hakikatnya
syari'at Islam itu bersumber kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan
demikian, nikah adalah akad yang menjadikan halalnya hubungan suami isteri,
saling tolong menolong di antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban
antara keduanya.
Alquran, as-Sunnah dan ijma’. Ayat yang menunjukkan nikah di syariatkan adalah
6
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Mazhab,
(Jakarta:PT.Prima heza lestari, 2006), hlm. 1.
7
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 203.
19
Artinya : “Maka kawinilah wanita- wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga,
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka
َوأَ ْو ِكحُىا ْاْلٌََا َم ٰى ِم ْى ُك ْم َوالصاالِ ِحٍهَ ِم ْه ِعثَا ِد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم ۚ إِ ْن ٌَ ُكىوُىا فُقَ َرا َء ٌُ ْغىِ ِه ُم ا
ًِ َِ ّْللاُ ِم ْه فَض
َو ا
ّللاُ َوا ِض ٌع َعٍَِ ٌم
Hadist Nabi Saw yang menerangkan masalah ini adalah hadist riwayat Abdullah
ٌا معشرالشثاب مه اضرطاع مىكم الثاءج فٍَرسوج فاوً اغض لَثصر واحصه لَفرج ومه لم
Artinya : “Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka
menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan
pandangan dan menjaga kemaluan (dari perbuatan zina) dan barang
siapa yang tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa
itu adalah sebuah penawar.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim).10
Ijma’ para ulama sepakat mengatakan nikah itu di syariatkan.
8
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 4-5
9
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 5.
10
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, (Riyadh: Ummul Qura, 2013), hlm. 208
20
Hukum asal suatu pernikahan adalah mubah, namun bisa berubah menjadi
1. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang mampu untuk
َوأَ ْو ِكحُىا ْاْلٌََا َم ٰى ِم ْى ُك ْم َوالصاالِ ِحٍهَ ِم ْه ِعثَا ِد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم ۚ إِ ْن ٌَ ُكىوُىا فُقَ َرا َء ٌُ ْغىِ ِه ُم ا
ُّللا
11
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 6-8.
12
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 6
21
Artinya : “Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka
Namun menurut Syafi’iyah, menikah dalam kondisi seperti ini adalah mubah dan
lebih baik baginya memfokuskan diri untuk beribadah atau menyibukkan diri
dalam menuntut ilmu. Karena Allah Swt. Memuji Nabi Yahya as dalam firman-
seandainya menikah itu lebih baik maka Allah tidak akan memuji Nabi Yahya as
tatkala meninggalkannya. Dan firman Allah dalam Surah Ali Imran [3]: 14
berikut:
13
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, (Riyadh: Ummul Qura, 2013), hlm. 208
14
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 7.
15
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 7.
22
Ungkapan ayat di atas tentang kecintaan manusia akan wanita adalah ungkapan
yang mengandung dzamm (celaan). Maka jika itu merupakan celaan, lebih baik
Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah jumhur ulama karena ada riwayat yang
dengan tujuan fokus untuk ibadah berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh
ًولكىً اصىم وافطر واصًَ وارقذ واذسوج الىطاء فمه رغة عه ضىرً فٍَص مى
Artinya : “Akan tetapi saya juga puasa, berbuka, shalat, bersenggama dan
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama, dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus diadakan. Sama halnya dengan perkawinan, sebagai perbuatan
menjadi tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
16
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 8.
23
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,
seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat atau
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak masuk dalam rangkaian
pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat. Atau, menurut Islam, calon
Dengan begitu rukun perkawinan itu adalah segala hal yang harus terwujud dalam
a. Beragama Islam
17
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: kencana, 2003), hlm. 45-46.
18
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, hlm. 46.
19
Direktorat Pembina Badan PA Islam, Himpunan Peraturan PP Dalam Lingkungan PA,
(Jakarta, 2001), hlm. 131.
20
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hlm. 30-32.
24
b. Merdeka
c. Berakal
d. Benar-benar laki-laki
e. Adil
calon istri
a. Muslimah
b. Benar-benar perempuan
calon suami
a. Muslim
b. Berakal
c. Tidak fasik
d. Laki-laki
a. Muslim
b. Baligh
c. Berakal
d. Merdeka
e. Laki-laki
f. Adil
d. Lafaz ijab qabul harus terjadi pada satu majelis, dan harus segera
nikah bathil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya. Dan hukum,
nikah fasid dan nikah bathil adalah sama, yaitu tidak sah.21 Kompilasi
Hukum Islam menjelaskan rukun nikah dalam pasal 14, yaitu: (a) calon
suami, (b) calon istri, (c) wali nikah, (d) dua orang saksi, dan (e) ijab dan
qabul.22
21
Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 4, Maktabah al-
Tijariyah al-Kubra, hlm. 118.
22
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Humaniora Utama Press, 1991/1992),
hlm. 18.
27
Quraisy.23
23
Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafa’ah Syarifah, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000), Hlm. 46.
24
Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafa’ah Syarifah, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000), Hlm. 47
28
kriteria:
bertaubat.
25
Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafa’ah Syarifah, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000), Hlm. 49.
29
orang tua.
dan shalihah
26
Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafa’ah Syarifah, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000), Hlm. 53
30
dengan dua hal yang menjadi hak bagi perempuan bukan walinya yaitu :
Untuk lebih mudah memahami pandangan tentang definisi dan unsur kafaah
berdasarkan madzhab secara singkat dapat dilihat dalam tabel dibawah ini
menjalankan
hal Nasab
Dari data tabel di atas menunjukan bahwa diantara para imam madzhab
yang empat banyak memiliki kesamaan pada definisi dan unsur kafaah. Ini semua
Rasulullah SAW. Di beberapa negara, sebutan untuk dzuriah Rasulullah SAW ini
daerah Hijaz (Semenanjung Arabia) mereka lebih dikenal dengan sebutan sayyid,
Pada sekitar abad ke-9 H hingga abad ke-14 H mulai membanjirinya hijrah
dunia hingga sampailah ke Nusantara ini. Diantara mereka ada yang mendirikan
kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga saat
Kesultanan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawiyin pada masa itu adalah al-
„Allamah al-Imam al-Qutub al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad ra, penyusun
Ratib al-Haddad.2
1
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 3.
2
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 3.
32
33
Alawiyyin atau Bani Alawi atau Ba‟alawi atau al-Abi Alawi adalah orang-
orang yang bernasab kepada Baginda Rasulullah SAW melalui jalur kedua
cucunda beliau SAW. Baginda Nabi Muhammad SAW mempunyai putra namun
meninggal kala balita, maka berdasarkan sabda beliau SAW sendiri, bahwa
Mereka itu adalah keturunan Baginda Rasulullah SAW atau dzurriyah ar-
Rasul yang nasabnya melalui sayyidina Alwi bin „Ubaidillah bin Ahmad al-
Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali al-„Uraidhi bin Ja‟far ash-Shadiq bin
Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein putera Sayyidina Ali bin
yang lain, yaitu mereka yang bernasab kepada Sayyidina Husein putera Sayyidina
Ali bin Abi Thalib ra dan Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Rasulullah SAW, tapi
nasabnya tidak melalui jalur Sayyidina Alwi bin „Ubaidillah. Mereka itu tidak
disebut Alawiyyin sebab nasabnya tidak melalui jalur Alwi. (Muhammad Hasan
Aidid, Petunjuk Monogram Silsilah Berikut Biografi dan Arti Gelar Masing-
dengan sebutan syarif, yang dalam bentuk jamak disebut asyraf. Sedangkan
3
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 4.
4
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 4.
34
keturunan Sayyidina Husein dikenal dengan sebutan sayyid, dalam bentuk jamak
Sayyidina Husein tersebut dipanggil dengan sebutan habib (bentuk tunggal dari
habaib).
Dalam buku „Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh‟, „Prof. Dr. Hamka
Hasan dan Husein apabila menjadi raja. Banyak dari para sultan di Indonesia
mereka digelari syarif. Sultan Siak terakhir secara resmi digelari Sultan Sayyid
Syarif Qasim bin Sayyid Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin. Demikian pula
dengan pendiri kota Jakarta yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, ia
pemimpin (sayyid) pemuda ahli surga‟ (Seraya menunjuk kedua cucu beliau,
Sayyidina Hasan dan Husein). Berlandaskan hadits tersebut, sudah menjadi tradisi
sayyid. Dipandang sangat tidak hormat kepada Rasulullah SAW jika ada yang
bahwa orang yang mengkau keturunan beliau SAW adalah seorang yang
5
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 5.
35
berbohong. Tidak akan mengatakan perkataan seperti ini kecuali orang yang
mereka tercatat rapi. Mereka mempunyai satu badan atau lembaga khusus yang
dikenal dengan nama al-Maktab al-Daimi atau Rabithah Alawiyah, berdiri sejak
tahun 1928, yang berpusat di kota Jakarta, yang bertugas khusus mencatat
berada, sehingga benar-benar gelar habib atau sayyid tidak disalah gunakan oleh
seseorang. Karenanya apabila ada orang yang bukan dari Alawiyyin mengaku
sebagai seorang Alawi, pasti akan ketahuan. Sebab namanya dan nama kakek dan
akidah atau teologi sebagaimana yang diikuti oleh mayoritas muslimin dunia
sampai saat ini, yaitu akidah Ahlusunnah Wal Jama‟ah. Inilah akidah yang
berpegang teguh kepada segala apa yang dilakukan dan terapkan oleh Baginda
tabi‟uttabi‟in, para pendiri madzhab, para ulama sampai ke habaib beserta para
6
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 6.
36
kyai (dalam konteks Indonesia) ketika menyebarkan Agama Islam disini dengan
bermuara kepada Baginda Rasulullah SAW. Dalam konteks ini al-„Allamah al-
Habib Idrus bin Umar al-Habsyi ra menulis dalam kitabnya yang berjudul al-
dalam teologi) dan Syafi‟i (madzhaban dalam fikih atau hukum Islam).
Mereka mempunyai dasar ilmu pengetahuan yang sama dan tidak ada yang
bertentangan satu dengan yang lain. Sehingga merupakan mata rantai yang apabila
digerakkan yang satu akan bergerak pula yang lain, dikarenakan mereka
bersumber dari kakek mereka Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra yang dibawa oleh
Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Husein ra dan diteruskan oleh Sayyidina al-Faqih
Abdullah bin Alawi al-Haddad ra di atas, al-Imam al-Habib Ahmad bin Hasan al-
7
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 6.
8
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 7.
37
Wali Songo sampai kepada al-Imam Alwi „Amm al-Faqih al-Muqaddam (paman
Dari rujukan berbagai buku sejarah yang mu‟tabar (dikenal atau diakui).
Pasti kita temukan bahwa para Wali Songo itu adalah keturunan Ba‟alawi yang
selalu berpegang teguh pada ajaran para leluhurnya, yaitu bermadzhab Syafi‟i
secara fikih dan secara akidah mereka menganut teologi Abu Al-Hasan Al-
dibawa oleh Wali Songo dan tetap berada dalam thariqah salafunasshalihin, para
generasi terdahulu yang memiliki keimanan yang kuat. Menurutnya, akidah ahlu
9
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 8.
10
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 8.
11
Deklarator Faham Ahlu Al-Sunnah Wa al-Jama’ah yang doktrinnya disebut al-
Asy’ariyah
12
Deklarator Faham Ahlu Al-Sunnah Wa al-Jama’ah yang doktrinnya disebut al-
Maturidiyah
38
al-sunnah wa al-jamaa‟ah adalah ajaran yang sudah mu‟tabar serta diakui oleh
mayoritas ulama.13
Sejak ratusan tahun yang lalu, para Alawiyyin (keturunan al-Imam Alwi
bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa) atau yang di Indonesia orang
mengenalnya dengan sebutan habib, dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih
berdakwah ke berbagai belahan dunia. Sejak dahulu, kawasan Asia Tenggara pada
umumnya dan Indonesia pada khususnya telah menjadi salah satu tujuan dakwah
mereka.
Filipina dan yang terakhir adalah Indonesia. Dari abad ke abad mereka terus
yang tetap tinggal jumlahnya jauh lebih banyak. Sehingga Indonesia kemudian
13
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 17.
14
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 19.
39
dalam kancah dakwah di Indonesia. Mereka secara aktif ikut serta dalam
Hingga abad ke-20 M ini pun mereka masih memegang peranan dalam
kancah dakwah di Tanah Air, baik mereka yang datang langsung dari Hadhramaut
maupun yang lahir dan berasimilasi dengan penduduk pribumi. Proses berbaurnya
antara habaib dan penduduk pribumi, khususnya dengan para ulama Tanah Air
menyebarkan agama Islam di Indonesia adalah para habaib yang datang dari
Hadhramaut dan tidak ada satupun ahli sejarah yang memungkirinya. Hal ini
dapat kita lihat dari akidah mayoritas para penduduk di Tanah Air ini yaitu ahlu
15
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 19.
16
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 20.
40
ini, yang merupakan amalan para habaib, seperti pembacaan maulid, tahlil, ratib
ialah:18
penting. Diantara mereka ada yang hijrah ke pulau Jawa, yang saat itu
Mereka memasuki Timur jauh ketika lautan penuh dengan bahaya. Lalu
mereka turun di pulau-pulau yang subur itu, diantara hasil terbesar dari
17
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 17-22.
18
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 23-28.
41
panji-panji Islam.‟
Indonesia dan Filipina. Harus diakui, banyak sekali jasa dan peranan
silsilah mereka sampai kepada Sayyidina Ali dan Sayyidah Fathimah binti
Muhammad SAW.
menyimpulkan, antara lain: „Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama
hijriyyah langsung dari Hijaz (sekarang orang mengenalnya Arab Saudi) dan yang
pertama kali mereka kunjungi adalah Samudera Pasai, di Pesisir Timur Sumatera,
disimpulkan, bahwa para muballigh yang datang pertama kali adalah para kaum
selama beberapa waktu di Gujarat (pantai sebelah barat negeri India), sebelum
berdakwah mereka juga berniaga. Mereka aktif dalam berdakwah dan cakupan
Muhammad SAW. Organisasi ini berdiri pada tanggal 27 Desember 1928 tidak
19
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 27.
20
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh Di Indonesia, (Malang:
Pustaka Basma, 2013), hlm. 27.
21
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah
43
maka dua bulan setelah peristiwa Sumpah Pemuda, beberapa tokoh Alawiyin
dari pemerintah Belanda pada tanggal 27 Desember 1928 (1346 H), yang ditanda
memelihara sejarah dan mencatat nasab as-Saadah al-Alawiyin. Maktab ini telah
1940, jumlah Alawiyin yang tercatat oleh al-Maktab al-Daimi berjumlah 17.764
orang. Tokoh-tokoh yang telah berjasa antara lain, Sayyid Ali bin Ja‟far Assegaf
sosial. Kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh Rabithah Alawiyah antara lain
mendirikan panti asuhan Daar al-Aitam pada tanggal 12 Agustus 1931 di jalan
22
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah
23
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah
44
karet No. 47, yang dipimpin pertama kali oleh Sayyid Abubakar bin Muhammad
majelis taklim di seluruh Indonesia yang dikelola oleh kaum Alawiyin. Disamping
memberikan bea siswa untuk anak-anak Alawiyin dari tingkat dasar hingga
perguruan tinggi. Sampai saat ini bea siswa telah diberikan kepada 4.040 anak.
24
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah
25
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah
26
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah
27
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah
45
yang tersebar di seluruh Tanah Air, turut serta berperan aktif mencerdaskan juga
dan turut serta bertanggung jawab mengentaskan kemiskinan dan turut peduli
Adapun para anggota pengurus yang pertama kali dari perkumpulan ini
adalah mereka yang mendirikan yaitu : Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bin
Shihab (Ketua Umum), Sayyid Abubakar bin Abdullah al-Athas (Wakil Ketua I),
Sayyid Abdullah bin Ali al-Aydrus (Wakil Ketua II), Sayyid Abubakar bin
Muhammad al-Habsyi (Bendahara I), Sayyid Idrus bin Ahmad bin Shihab
(Bendahara II), Sayyid Ahmad bin Abdullah Assegaf (Sekretaris), Sayyid Ali bin
28
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah
29
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah
30
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah
46
(Pengawas), Sayyid Alwi bin Thahir al-Haddad (Pengawas), Sayyid Umar bin
Habaib
menunjukkan rasa cinta yang begitu besar terhadap kedua cucu lelakinya, Hasan
dan Husein. Pernah dua cucu kesayangannya itu bermain diantara dua kaki Nabi
SAW saat beliau tengah ruku‟. Kedua putra Fathimah itu pernah pula bermain
Hasan dan Husein bermain dan duduk di tangga mimbar sementara beliau sedang
Ikatan emosional yang terjalin antara Nabi SAW dan kedua cucu lelakinya
mengalir begitu mesra. Melihat ikatan emosional Nabi SAW dengan kedua cucu
lelakinya seolah umat tidak akan lagi melihat hubungan kekerabatan yang terjalin
semesra itu setelahnya. Dan umat menjadi saksi bagaimana sosok Nabi SAW
dengan beban dakwah yang demikian berat masih sempat mengerahkan energi
penuh untuk mencintai kedua cucu lelakinya. Sentuhan batin dan fisik Nabi SAW
pada Hasan dan Husein terlalu transparan untuk disebut hubungan antara kakek
dan cucu. Dan disebut hubungan apalagi mukjizat yang konon tidak muncul
kecuali dalam keadaan terpaksa ditunjukkan beliau saat menyusui cucunya. Air
31
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rabithah_Alawiyah
47
Susu Ibu (ASI) itu keluar dari celah-celah ibu jari beliau dan langsung diminum
dunia”.32
Setelah ayat Al-Kautsar turun, Nabi SAW menjadi lega. Ayat tersebut
menegaskan bahwa ia bukan seorang pria abtar. Dan Ayat itu pula secara tidak
langsung menerangkan bahwa penerus keturunan beliau tidak melalui anak lelaki
seperti pada umumnya. Pada fase selanjutnya, takdir Allah SWT menentukan
Fathimah Az-Zahra ra, karena hanya Fathimah yang dikaruniai Allah SWT anak
lelaki.33
yang telah menjadi ketetapan dalam ajaran Islam secara universal. Sebagaimana
Allah SWT mengatakan kepada Nabi Muhammad SWT di dalam Surat Asy-
Syuura : 23 :
32
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari Juz VII,(Mesir, Daar al-kutub al-Ilmiyyah), hlm. 464.
33
Sayyid Umar Muhdhor Syihab, Kafa’ah Syari’at Pernikahan Keluarga Nabi SAW,
(Jakarta, El-Batul Publisher, 2007), hlm. 2-3.
48
hadits dari Ibnu Abbas r.a yang mengatakan, bahwa setelah turunnya ayat ini para
sahabat bertanya :
“Ya Rasulallah siapakah kerabat Anda yang wajib kami kasihi?Ali, Fathimah,
dan dua orang anak mereka berdua (Hasan dan Husein)“, jawab Rasulullah
SAW.
menghormati eksistensi mereka, baik ketika mereka masih hidup atau setelah
mereka wafat. Dan bagi orang mukmin yang tulus melakukannya Allah SWT
Dalam kaitannya dengan argumen Ahlul Bait, kaum muslimin juga dapat
menilai sejauh mana penekanan Rasulullah SAW pada masalah ini, sebagaimana
34
Sayyid Umar Muhdhor Syihab, Kafa’ah Syari’at Pernikahan Keluarga Nabi SAW,
(Jakarta, El-Batul Publisher, 2007), hlm. 4.
49
Artinya: “Dari Ibnu Abbas berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Cintailah
Allah karena Allah telah memberi nikmat kepada kalian. Cintailah Aku
dengan Nabi, melainkan lebih didasari oleh rasa cinta pada Allah SWT dan Rasul-
Nya (ta‟abbudiyyah).
SAW yang mulia. Lalu tanpa beban pola pikir itu dengan seenaknya menilai,
mengatur bahkan memfonis jalan hidup Rasulullah SAW yang jelas-jelas skenario
Rasulullah SAW tak ubahnya manusia lain yang memiliki rasa kasih pada
istri, anak, menantu, saudara, maupun kerabat. Menyayangi anak cucu atau
kerabat adalah sifat manusiawi dan sudah menjadi sebuah kodrat alam, tapi untuk
sosok Muhammad yang tengah mengemban tugas suci, dimana umat Islam selalu
jelas akan menjadi alternatif pilihan yang akan diterima Rasulullah sebagai
dampak dari penerapan cinta terhadap Ahlul Bait. Dan seandainya saja Alquran
50
yang mulia itu tidak pernah menyinggung masalah Ahlul Bait niscaya Nabi tidak
SAW tidak akan pernah berani membantah instruksi langit meskipun pada
bertakwa. Maka seorang hamba belum diangap orang yang bertakwa pada Allah
Maka banyak hadits Nabi SAW yang menekankan betapa seharusnya menjadi
nasab Nabi SAW, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baghawi dari
35
Sayyid Umar Muhdhor Syihab, Kafa‟ah Syari‟at Pernikahan Keluarga Nabi SAW,
(Jakarta, El-Batul Publisher, 2007), hlm. 5-6
51
kedudukan keturunan Nabi SAW. Dengan ilmu dan kelapangan hati mereka dapat
bersosialisasi dengan anak cucu beliau, mereka dapat berinteraksi dengan para
anak cucu beliau diiringi segenap perasaan cinta yang tulus yang mampu
dengan keluarga nubuwwah (Nabi SAW). Mereka nikahkan putri mereka dengan
lelaki yang bernasab kepada Rasulullah SAW (Sayyid/Syarif). Dalam hal yang
satu ini seringkali tanpa sungkan mereka meminta sayyid untuk menikahi anak
gadis mereka. Terlepas dari seberapa besar cinta mereka terhadap keturunan Nabi
SAW namun yang pasti mereka tidak akan menyerahkan putrinya begitu saja
kepada seorang sayyid kecuali setelah mereka yakin akan kualitas kepribadian
serta berbagai ilmu sebagai bekal pengabdian pada calon suami yang memiliki
putrinya untuk dinikahi oleh sayyid. Hal ini mereka lakukan tak lain hanya ingin
Disamping itu mereka sangat yakin bahwa kekerabatan mereka dengan Nabi
SAW sebagai suatu hal yang dapat membawa berkah, dan sama sekali bukan
diciptakan dari nur Muhammad sebelum Allah menciptakan bumi dan langit.
Dan diantara bidadari yang ada pada dirinya adalah bahwa dia tidak
pernah melihat darah yang keluar dari rahim. Demikianlah Fathimah ra, ia suci
dari haid dan nifas seperti yang disepakati oleh kaum muslimin.37
37
Idrus Alwi al-Masyhur, Kafa’ah Syarifah dan Dasar Hukum Syariatnya. Hlm. 13.
BAB IV
SAYYID
penentuan calon jodoh seseorang, sebab masalah ini banyak mempengaruhi terhadap
sifat, watak dan karakter seseorang. Keturunan merupakan sebagian dari pada darah
Dalam hal keturunan orang Arab adalah kufu‟ antara satu dengan lainnya.
Begitu pula halnya orang Quraisy dengan Quraisynya. Karena itu laki-laki yang
bukan Arab (Ajam) tidak sekufu‟ dengan wanita-wanita Arab. Laki-laki Arab tetapi
dan Bani Muthalib, apalagi laki-laki bukan dari golongan Quraisy (Ajam) ingin
menikahi wanita-wanita Bani Hasyim dan Bani Muthalib itu sangat tidak sekufu‟.
53
54
yang tidak kufu‟, sebab para wali berhak menghalangi kawinnya perempuan dengan
laki-laki yang tidak sepadan (kufu‟). Imam Syafi‟i berkata : jika perempuan yang
dikawinkan dengan lelaki yang tidak sepadan (kufu‟) tanpa ridhanya dan ridha
walinya, maka perkawinannya batal. Imam Hanafi berkata : jika seorang wanita
kawin dengan seorang pria yang tidak sederajat (kufu‟) tanpa persetujuan walinya,
maka perkawinan tersebut tidak sah dan walinya berhak untuk mengahalangi
perkawinan wanita dengan pria yang tidak sederajat tersebut, karena yang demikian
itu akan menimbulkan aib bagi keluarga.1 Imam Ahmad berkata : perempuan itu hak
bagi seluruh walinya, baik yang dekat atau yang jauh. Jika salah seorang dari mereka
tidak ridha dikawinkan dengan laki-laki yang tidak sekufu‟, maka ia berhak
adalah hak Allah, sekiranya seluruh wali dan perempuannya sendiri ridha menerima
Ahlul Bait secara umum merupakan dalil yang mendasari pelaksanaan kafa‟ah dalam
perkawinan syarifah. Salah satu ayat tersebut terdapat dalam Alquran Surat al-
اط ُم ْغتَقٍِم ِ َٰو ِم ْه آتَائِ ِه ْم َو ُرسِّ ٌ َّاتِ ِه ْم َوإِ ْخ َىاوِ ِه ْم ۖ َواجْ تَثَ ٍْىَاهُ ْم َوهَ َذ ٌْىَاهُ ْم إِنَى
ٍ ص َش
1
Wawancara pribadi dengan Syarifah Azizah (wanita Ahlul Bait), pada 09 Maret 2017 di
gedung Lembaga Rabithah Alawiyah Jakarta.
2
Idrus Alwi al-Masyhur, Kafa’ah Syarifah dan Dasar Hukum Syariatnya. Hlm. 18-19.
55
Artinya : “Dan Kami lebihkan (pula) derajat sebahagian dari bapak-bapak mereka,
Hal ini dikuatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib bahwa : “tiada seorangpun
dari umat ini dapat dibandingkan dengan keluarga Muhammad SAW.” Tentang
keluaga Nabi SAW, Imam Ali mengatakan bahwa tiada orang di dunia ini yang
setaraf (sekufu‟) dengan mereka, tiada pula orang yang dapat dianggap sama dengan
Imam Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Abbas bin Abdul
Muthalib, ketika Rasulullah SAW ditanya tentang kemuliaan silsilah mereka, beliau
menjawab : “Allah menciptakan manusia dan telah menciptakan diriku yang berasal
terbaik, dan menjadikan diriku dari kabilah yang terbaik. Lalu Allah menciptakan
keluarga-keluarga terbaik dan menjadikan diriku keluarga yang paling baik. Akulah
orang yang terbaik dan menjadikan diriku dari keluarga yang paling baik. Akulah
orang yang terbaik di kalangan mereka, baik dari segi pribadi maupun dari segi
silsilah.”
56
قهثت مشاسق االسض ومغاستها فهم أجذ سجال افضم مه محمذ وقهثت مشاسق االسض ومغاستها
Artinya : “Aku membolak balikkan bumi, antara Timur dan Barat, tetapi aku tidak
menemukan seseorang yang lebih utama daripada Muhammad SAW dan
akupun tidak melihat keturunan yang lebih utama daripada keturunan
Bani Hasyim.”4
Para anggota Ahlul Bait secara kodrati dan menurut fitrahnya telah
pilihan Allah, yaitu junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Hubungan biologis
itu merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal dan tidak mungkin dapat
diimbangi oleh orang lain. Lebih-lebih lagi setelah turunnya firman Allah SWT
dalam surat Al-Ahzab ayat 33 dan wasiat Rasulullah SAW berupa hadits Tsaqalain,
ٌاأٌهاانىاط إن انفضم وانششف وانمىضنح وانىالٌح نشعىل هللا ورسٌته فال تز هثه
األتاطٍم
ًَِطٍَّحَ عَه أَت َ َُح َّذثَىَا َعهِ ًُّ ت ُْه ْان ُم ْى ِز ِس ْان ُكىفِ ًُّ َح َّذثَىَا ُم َح َّم ُذ ت ُْه ف
ِ ضٍ ٍْم َح َّذثَىَا ْاألَ ْع َمشُ ع َْه ع
Artinya : Telah menceritakan kepada kami „Aliy bin Al-Mundzir Al-Kuufiy : Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail : Telah menceritakan
kepada kami Al-A‟masy, dari „Athiyyah, dari Abu Sa‟iid. Dan Al-A‟masy
dari Habiib bin Abi Tsaabit, dari Zaid bin Arqam radliyallaahu„anhumaa,
mereka berdua berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu „alaihi
wa sallam : “Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu
yang sekiranya kalian berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak
akan tersesat sepeninggalku, salah satu dari keduanya itu lebih besar dari
yang lain, yaitu; Kitabullah adalah tali yang Allah bentangkan dari langit
ke bumi, dan „itrahku ahli baitku, dan keduanya tidak akan berpisah
hingga keduanya datang menemuiku di telaga, oleh karena itu
perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya
sesudahku"
syarifah adalah hadits tentang peristiwa pernikahan Siti Fathimah dengan Ali bin Abi
Thalib, sebagaimana kita telah ketahui bahwa mereka berdua adalah manusia suci
yang telah dinikahkan Rasulullah SAW berdasarkan wahyu Allah SWT. Hadits
tersebut berbunyi :
58
ووظش, إوما اوا تشش مثهكم أتض ّوج فٍكم وأص ّوجكم إال فاطمح فئن تضوٌجها وضل مه انغّماء
سعىل هللا إنى أوالد عهً وجعفش فقال تىاتىا نثىٍىا وتىىوا نثىاتىا
Artinya : “Sesungguhnya aku hanya manusia biasa yang kawin dengan kalian dan
mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan anakku
Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah yang
diturunkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah SWT). Kemudian
Rasulullah telah memandang kepada anak-anak Ali dan anak-anak Ja‟far,
dan beliau berkata : “Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan
anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan
anak-anak perempuan kami.”5
Rabithah Alawiyah
Sudah kita ketahui bahwa syarifah amat sangat dianjurkan menikah dengan
laki-laki yang juga golongan Ahlul Bait. Dalam kitabnya Bughyah al-Mustarsydin
Ba‟alawi, berkata : “seorang syarifah yang dipinang orang selain laki-laki keturunan
Walaupun wanita keturunan Ahlul Bait Nabi SAW dan walinya yang terdekat
merestui. Ini dikarenakan nasab mulia tersebut tidak bisa diraih dan disamakan.
Bagi setiap kerabat yang dekat ataupun jauh dari keturunan Sayyidah Fathimah Az-
Zahra adalah lebih berhak menikahi wanita keturunan Ahlul Bait tersebut.”6
5
Idrus Alwi al-Masyhur, Kafa’ah Syarifah dan Dasar Hukum Syariatnya. Hlm. 26.
6
Abdurrahman al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, (Kediri, PP Hidayah at-Thullab: 1995),
hlm. 132.
59
Agil bin Yahya (Mufti Betawi) dalam kitabnya Qawanin Syar‟iyyah wa Al-Ifta‟iyyah,
berkata : “Dalam perkara kafa‟ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan
perempuan yang tidak sekufu‟ apalagi perempuan itu seorang syarifah maka yang
bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya
menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah, namun
para ulama Ahlul Bait mempunyai ijtihad ikhtiar dalam syara‟ yang tiada didapati
oleh para fakih lain. Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan
pernikahan wanita keturunan Ahlul Bait Nabi SAW, sebaiknya menjauhkan diri dari
tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah
bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun ridha. Hal ini berlaku secara
umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid.”
halaman 316-317 :
“Dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah disebutkan bahwa tidak ada satupun
selain anak keturunan Bani Hasyim yang sederajat (sekufu‟) dengan anak keturunan
Sayyidah fathimah. Hal ini disebabkan kekhususan Rasulullah SAW, karena anak
60
keturunan dari anak perempuannya (Siti Fathimah) bernasab kepada beliau dalam
kami (syarifah) menikah dengan anak-anak laki kami (sayyid/syarif), begitu pula
Alawiyah jelaslah dasar pelaksanaan kafa‟ah yang dilakukan oleh para keluarga
Alawiyin yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam menikahkan anak putrinya
Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Di zaman Syaikh Umar Muhdhar bin
Abdurrahman al-Saqqaf, oleh para keluarga Alawiyin beliau diangkat menjadi „naqib
al-alawiyin‟ yang salah satu tugas khususnya adalah menjaga agar keluarga Alawiyin
menikahkan putrinya dengan laki-laki yang sekufu‟. Mustahil jika ulama Alawiyin
Syaikh Umar Muhdhar, Syaikh Abu bakar al-Sakran, Syaikh Abdullah al-Aydrus,
Syaikh Ali bin Abi bakar al-Sakran dan lainnya, melaksanakan pernikahan yang
sekufu‟ antara syarifah dengan sayyid hanya berdasarkan adat semata-mata dengan
ummat, padahal mereka bukan saja mengetahui hal-hal dzhahir tetapi juga
mengetahui hal-hal batin yang didapat karena kedekatannya dengan Alah SWT.
Kepada para ulama, pakar, cendekiawan, penulis, pembaca yang mempunyai pikiran
7
Idrus Alwi al-Masyhur, Kafa’ah Syarifah dan Dasar Hukum Syariatnya. Hlm. 30-31.
61
bahwa ulama Alawiyin yang mewajibkan pernikahan antara syarifah dengan sayyid
tersebut mewajibkan pernikahan tersebut, hal itu disebabkan agar kemuliaan dan
Hadits-hadits lain yang menjadi dasar pelaksanaan kafa‟ah adalah hadits yang
ّ
ًنهمكزتٍه تفضههم مه أمت فىٌم,ً خهقىا مه طٍىتً وسصقىا فهمً و عهم,ًفئوهم عتشت
Artinya : “maka mereka itu keturunanku yang diciptakan oleh Allah dari darah
dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuanku. Celakalah
(neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan
mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu
Allah tidak akan menurunkan syafaatku.”
Dalam memahami hadits ini, mustahil akan terjadi pemutusan hubungan
keturunan Nabi SAW kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak, dan tidak
akan terputus nasab seseorang anak kalau bukan disebabkan perkawinan syarifah
dengan lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada Nabi SAW. Dan jika telah
terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas Nabi Muhammad
bukan sayyid.8
8
Idrus Alwi al-Masyhur, Kafa’ah Syarifah dan Dasar Hukum Syariatnya. Hlm. 26-27.
62
menikah dengan laki-laki non sayyid, dan dari pihak lemaba Rabithah Alawiyah tidak
bisa memberikan sanksi tersebut, itu hanya urusan dengan pihak keluarganya saja.9
berinteraksi di masyarakat, ketika akan memilih pasangan yang akan dinikahi. Pada
dasarnya kafa‟ah sudah diterapkan dimasyarakat namun dalam kafa‟ah tidak diatur
secara jelas mengenai batasan dan ukuran ke-sekufuan seseorang. Namun demikian,
dua keluarga.10
Konsep kafa‟ah yang dimaksud menurut Jumhur Ulama adalah bahwa kufu
(kafa‟ah) yang menjadi ukurannya adalah segi agama dan akhlaknya, bukan nasab,
usaha, kekayaan ataupun sesuatu yang lainnya.11 Jadi dalam hal ini laki-laki sekalipun
bukan dari keturunan orang yang terpandang, ia berhak atas kebolehan untuk nikah
dengan seorang perempuan dari manapun. Manusia pada asalnya dan nilai
kemanusiaannya adalah sama, dan bahwa tidak ada seorang manusiapun yang lebih
mulia di sisi Allah SWT daripada yang lainnya, selain dengan ketaqwaannya kepada-
9
Wawancara pribadi dengan Sayyid Nabil Syauqi al-Qadri (tokoh ulama Ahlul Bait), pada 09
Maret 2017 di gedung Lembaga Rabithah Alawiyah Jakarta.
10
Farhat J. Ziadeh, “Equality (Kafa’ah) In the Muslim Law Of Mariage” American Jurnal Of
Comparative Law, (1957): Hlm. 503.
11
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fikih Wanita, (Semarang, 1986), hlm. 370.
63
Nya dengan menunaikan kewajibannya kepada Allah SWT dan kewajibannya kepada
sesama manusia.
Oleh karena itu prinsip dalam memilih jodoh yang dikehendaki Islam
merupakan ketentuan dalam beragama dan berakhlak yang luhur, dan bahwa
kemegahan, harta, nasab dan lain-lain, itu semua tidak diakui oleh Islam dan tidak
dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh suatu kebahagiaan yang hakiki baik di
dunia atau di akhirat. Karena dalam Islam semua manusia sama, tidak ada perbedaan
antara si kaya dan si miskin, si putih dan si hitam, si kuat dan si lemah. Itu semua
perempuan dalam pengamalan ajaran agama dan imbalan yang diterimanya dari Allah
SWT atas amalnya. Sebagaimana yang sudah disebutkan dan dijelaskan dalam
Alquran bahwa semua manusia hidup di dunia ini hakekatnya sama, yang
perbuat.12
beda, baik suku dan bangsa, dan semua itu menunjukkan bahwa agama Islam sangat
hubungan sosial antar manusia, baik suku, bangsa, dan ataupun masyarakat dunia.
12
Amir Syariffudin, Meretas Kebekuan Ijitihad; Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer Di
Indonesia, Ciputat Press, (Jakarta, 2002) hlm. 174.
64
Dengan demikian, maka Islam mempunyai reponsibilitas yang tinggi terhadap hak
azasi manusia. Di satu pihak manusia juga harus menghargai dirinya sendiri,
perkawinan. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafa‟ah tidak penting dalam sebuah
perkawinan, menurutnya antara orang Islam yang satu dengan dengan orang Islam
yang lainnya adalah sama (sekufu). Semua orang Islam asalkan dia tidak pernah
berzina, maka dia berhak kawin dengan semua wanita muslimah yang tidak pernah
bahwa kafa‟ah bukanlah faktor penting dalam perkawinan dan tidak termasuk syarat
sah atau syarat lazim perkawinan. Menurut mereka, ketidak kufuan calon suami dan
13
Sayyid Sabiq, Fiqh SunnahJilid 3, Terjemah oleh Ismail Madarid Yahya, hlm.37.
14
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, hlm. 846.
15
Wahbah Al-Zuhailiy,Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu Juz, 9, hlm. 673.
65
Artinya: “ ... Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu ... “. (Q.S. Al-Hujurat :
13).16
Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa semua manusia sama dalam
hak dan kewajiban, tidak ada keistimewaan antara yang satu dengan lainnya kecuali
takwa. Dan mereka juga menyatakan bahwa penghormatan dan penghargaan terhadap
darah seseorang dalam hukum pidana ialah sama saja. Jika yang membunuh adalah
orang terhormat dan yang dibunuh adalah orang jelata, maka hukuman qishas tetap
dijalankan. Jika ke-kufuan diterapkan dalam hukum pidana Islam, maka begitu pula
D. Analisis Penulis
Di dalam pernikahan, di samping ada syarat dan rukun yang mempengaruhi sah
tidaknya sebuah pernikahan, terdapat pula konsep kafa‟ah, yakni kesepadanan antara
calon mempelai pria dan wanita dalam berbagai hal termasuk agama, keturunan dan
pernikahan antara wanita syarifah dengan laki-laki non sayyid karena dianggap tidak
antisipasi adanya cacat dan bukan untuk sahnya pernikahan. Adanya larangan
16
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, hlm. 847.
17
Wahbah Al-Zuhailiy,Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu Juz, 9, hlm. 673.
66
pernikahan wanita syarifah dengan laki-laki non sayyid merupakan konsep kafa‟ah
dalam pernikahan dilihat dari segi nasab. Sebagaimana diketahui bahwa nasab
merupakan salah satu hal pokok dalam konsep kafa‟ah. Hal ini dapat dilihat bahwa
dalam konsep fikih bernasab Arab merupakan satu kebanggan karena termasuk
sebuah kehormatan, sehingga orang Ajam tidaklah seimbang dengan orang Arab.
Demikian pula orang Arab bukan dari suku Quraisy tidaklah sekufu dengan orang
Arab dari suku Quraisy, karena keutamaan suku Quraisy dibanding dengan suku-suku
lainnya. Tidak sekufu pula orang-orang seketurunan dengan bani Hasyim dan
Muthalib dengan orang-orang lainnya sekalipun dari keturunan Abdi Syam. Jika
seseorang dari keturunan Hasyim atau Muthalib menikahi seorang budak perempuan
dengan beberapa syarat, dan kemudian budak melahirkan untuknya seorang anak
qaul yang rajih, diperbolehkan baginya untuk menikahi anak perempuan itu dari segi
Dari deskripsi diatas maka dapat diketahui bahwa orang Arab dengan non
Arab saja tidak dianggap sepadan, apalagi putri dari keturunan Baginda Nabi SAW
tentu sangat tidak sepadan apabila dinikahi oleh laki-laki non sayyid. Inilah yang
kemudian mendasari mengapa wanita syarifah dilarang dinikahi oleh laki-laki non
sayyid.
18
Ahmad bin Umar ad-Dirabi, Fikih Nikah, (Jakarta: Mustaqim, 2003) hlm. 199.
67
sayyid adalah untuk menjaga dan memelihara kemuliaan nasab Nabi SAW agar tidak
tercampur dengan nasab lain. Dengan demikian dalam konsep kafa‟ah yang bertalian
dengan nasab terutama sekali nasab Nabi merupakan hal yang sangat penting
mengingat tujuan pemeliharaan nasab Nabi. Dengan tujuan yang mulia inilah para
ulama mengeluarkan fatwa bahwa tidak diperbolehkan wanita keturunan Nabi dengan
ifta‟iyyah, karya al-„Alim al-„Allamah as-Sayyid Utsman bin Abdullah bin Agil bin
dengan laki-laki non sayyid itu, beliau melarang keras, baik dilihat dari harta
kekayaan dan lain sebagainya. Apalagi dilihat dari nasab, karena dari segi nasab
tersebut menurut beliau akan merusak sebuah keturunan, artinya keturunan dari
seorang Nabi akan menjadi putus jika seorang perempuan syarifah kawin dengan
Dalam hal ini, maka menarik untuk dikaji lebih lanjut bahwa keluarnya fatwa
ini tidak hanya lahir dari pemahaman fikih. Dalam hal ini penulis menemukan
indikasi bahwa fatwa ini keluar dari adanya pengaruh dunia tasawuf sebagaimana
diketahui bahwa hampir semua ulama abad klasik adalah pengikut dan sekaligus
68
penyebar ajaran tasawuf. Sehingga penulis kitab-kitab fikih tidak lepas dari pengaruh
sangatlah besar dan keharusan yang tidak bisa ditawar serta mengandung unsur
magnetik yang luar biasa. Hal ini merupakan cerminan cinta kepada Nabi yang sangat
ditekankan dalam dunia tasawuf. Dengan demikian, dari rasa mahabbah yang sangat
dalam ini sampai kepada kehormatan dan kemuliaan yang begitu dahsyatnya, sampai
mengalir kepada orang-orang yang diyakini sebagai keturunan Nabi SAW yakni para
Dari sinilah kemudian para habaib dan anak-anaknya mendapat tempat yang
mulia dan sangat dihormati, sehingga menghina mereka sama dengan menghina Nabi,
keturunan Nabi dengan laki-laki yang bukan keturunan Nabi. Inilah yang melandasi
keluarnya larangan pernikahan wanita syarifah dengan laki-laki non sayyid dalam
kitab-kitab fikih pada bab kafa‟ah. Sehingga pada saat ini memuliakan dan
pelarangan tersebut.
Alawiyah merupakan salah satu dari golonganAhlul Bait Nabi dan mereka banyak
bergaul dan dekat dengan para ulama kalangan habaib. Para ulama ini tentu
19
Martin Van Bruinessen, Pesantren dan Kitab Kuning, (Jakarta: Mizan 1992).
69
rujukan fatwa al-Ba‟alawi dalam melarang perkawinan syarifah dengan laki-laki non
Syaikh Abdurrahma al-Saqqaf, Syaikh Umar Muhdhar, Syaikh Abu bakar al-Sakran,
Syaikh Abdullah al-Aydrus, Syaikh Ali bin Abi bakar al-Sakran, Imam Abdilah
Bafaqih, Imam Abdullah bin Yahya, Imam Alawy bin Tsaqaf bin Muhammad al-
Ja‟fari, Imam Muhammad bin Abi Bakar al-Asykhari al-Yamani dan Imam
ٰقُمْ َال أَعْأَنُ ُك ْم َعهَ ٍْ ِه أَجْ شًا إِ َّال ْان َم َى َّدجَ فًِ ْانقُشْ تَى
Artinya: “.... katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah atas seruanku
kecuali kasih sayang kepada kerabatku”. (QS: as-Syura: 23)20
Dan surat al-Ahzab ayat 33 :
ْ ت َوٌُطَه َِّش ُك ْم ت
َط ِهٍشًا ِ ٍْ َظ أَ ْه َم ْانث َ هللاُ نٍِ ُْز ِه
َ ْة َع ْى ُك ُم انشِّ ج َّ إِوَّ َما ٌ ُِشٌ ُذ
Artinya: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu
wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS: al-
Ahzab: 33)21
Dengan landasan normatif ini maka mensucikan dan mencintai AhlulBait
20
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahnya, (Jakarta: 1989), hlm 786.
21
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahnya, (Jakarta: 1989), hlm 672.
70
fatwa ulama Ahlul Bait, menikahkan wanita syarifah dan laki-laki non sayyid
merupakan salah satu bentuk pencemaran Ahlul Bait Nabi, karena tidak sebanding
(tidak kufu„) dengan mencampur adukkan nasab Ahlul Bait dengan yang bukan Ahlul
Bait.
Namun demikian, apabila ditilik dari konsep kafa‟ah sendiri bahwa kafa‟ah
yang dimaksud menurut Jumhur Ulama adalah bahwa kufu (kafa‟ah) yang menjadi
ukurannya adalah segi agama dan akhlaknya, bukan nasab, usaha, kekayaan ataupun
sesuatu yang lainnya.Jadi dalam hal ini laki-laki sekalipun bukan dari keturunan
orang yang terpandang, ia berhak atas kebolehan untuk nikah dengan seorang
perempuan dari manapun. Manusia pada asalnya dan nilai kemanusiaannya adalah
sama, dan bahwa tidak ada seorang manusiapun yang lebih mulia di sisi Allah SWT
Oleh karena itu, prinsip dalam memilih jodoh yang dikehendaki Islam
bahwakemegahan, harta, nasab dan lain-lain, itu semua tidak diakui oleh Islam dan
tidak dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh suatu kebahagiaan yang hakiki baik
di dunia atau di akhirat. Karena dalam Islam semua manusia sama, tidak ada
perbedaan antara si kaya dan si miskin, si putih dan si hitam, si kuat dan si lemah. Itu
perempuan dalam pengamalan ajaran agama dan imbalan yang diterimanya dari Allah
SWT atas amalnya. Sebagaimana yang sudah disebutkan dan dijelaskan dalam
Alquran bahwa semua manusia hidup di dunia ini hakekatnya sama, yang
perbuat.
Jika ummat Islam konsisten terhadap Alquran dan as-Sunnah, maka tidak
akan ada lagi kasus-kasus seperti orang tua yang memaksakan anaknya dalam hal
Para orang tua tentu akan mengikuti aturan Islam, karena Islam punya konsep
tersendiri tentang pernikahan, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama
fikih. Konsep pernikahan dalam Islam tidak mengenal syarat harus sama-sama dari
keturunan yang terpandang. Syarat yang ada dalam Islam itu hanyalah keseimbangan
dalam beragama, fisik maupun mental dan juga persetujuan dari kedua belah pihak.
makhluk Allah SWT yang paling mulia, bebas dari segala bentuk perbedaan.
seseorang diantara sesama hamba Allah SWT, dan merasa sepenuhnya berada dalam
hubungan dengan Allah SWT, maka ia tidak akan terpengaruh oleh rasa takut
72
terhadap sesamanya itu hanyalah perasaan buruk yang menutupi hati seseorang dan
menyeretnya kepada kehinaan, dan sebagian besarnya dalam melenyapkan harga diri
dalam pernikahan orang pada umumnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu
Hazm : “ bahwasannya orang Islam manapun asal bukan pezina, mereka berhak
Artinya : “ ... maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi ... “. (QS. An-Nisa‟
: 3)
22
Sayyid Qutb, al-‘Adalat al-Ijtima’iyyah fi al-Islam, t.p., 1967, hlm. 41.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
laki non sayyid karena dianggap tidak sekufu. Dalam hal keturunan orang
Arab adalah kufu‟ antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya orang
Quraisy dengan Quraisynya. Karena itu laki-laki yang bukan Arab („Ajam)
tidak sekufu‟ dengan wanita-wanita Arab. Laki-laki Arab tetapi bukan dari
sudah dijelaskan oleh Habib Utsman bin Yahya, bahwa pernikahan syarifah
dengan sayyid bukan hanya sekedar adat, namun sebuah perintah dari
hari kiamat.
adalah sama, dan yang dilihat adalah sisi ketakwaannya kepada Allah SWT,
73
74
B. Saran-saran
ada baiknya jika permasalahan ini juga dibahas pada kajian-kajian baik di dunia
akademisi maupun di majelis majelis ilmu. Dengan harapan, agar laki-laki yang
bukan dari golongan Ahlul Bait tidak menikahi wanita-wanita syarifah, serta
DAFTAR PUSTAKA
2008.
Thullab.
Ahmad haydar Baharun, madzhab para Habaib & Akar Tradisinya, Malang,
Kencana:2006.
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari Juz VII, Riyadh: Maktabah Darussalam.
Idrus Alwi al-Masyhur, Kafa‟ah Syarifah dan Dasar Hukum Syariatnya, Jakarta:
Rabithah Alawiyah.
1991/1992.
Martin Van Bruinessen, Pesantren dan Kitab Kuning, Jakarta: Mizan 1992.
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.
Cipta, 1993.
Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih Jilid 2, Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf: 1995.
sisi kafa’ah?
dari golongan sayyid akan merusak dan memutuskan nasab anak keturunan
4. T : Jika memang iya bahwa kafa’ah dalam hal nasab itu harus diterapkan,
J : alasan perlunya diterapkan konsep kafaah pada kalangan Ahlul Bait adalah
Muhammad SAW.
tersebut.
sayyid?
karenanya ada juga habaib yang tidak melakukan konsep kafaah dalam
sayyid.
7. T : Jika terjadi di lapangan (dalam hal ini di Indonesia), ada seorang wanita
apakah ada sanksi tersendiri dari kalangan habaib ataupun dari Rabithah
J : ini adalah sebuah hal yang rumit, kalau ada sanksi dari pihak Rabithah
melanggar akan hal ini. Oleh karenanya tidak ada sanksi dari Rabithah
Dewan Syuro
1 Muhsin Idrus Alhamid
2 Ust Taufik Assegaf
3 Faisal Shahab
4 Abdulkadir Assegaf
5 Abdussalam Alhinduan
Tanfidhiyah (Pengurus)
Ketua Umum Zen Umar Smith
Wk Ketua Umum Ahmad Riyad Alhiyed
Wk Ketua Umum Achmad Umar Mulachela
Musthofa Salim
Bendahara Umum Mauladawilah
Wk Bendahara Umum Taufik Ismet Alhabsyi
Keagamaan & Dakwah
Ali Hasan Albahar,
Ketua M.A
Anggota Salim Barakwan
Anggota Hamid Alqadri