Skripsi
Oleh:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata I (S1) di Unversitas Islam Negeri (UIN)
2. Semua Sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika Suatu saat terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
atas ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan naskah skripsi ini. Semoga rahmat dan
karunianya menyertai setiap langkah-langkah kita di permukaan bumi ini. Tak lupa
sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada baginda Muhammad SAW dan para
pengikutnya yang selalu istiqomah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.
Dengan selesainya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk serta
dukungan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa
1. Bapak Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan
Jakarta.
ii
4. Bapak Nahrowi, SH., MH., dan Ibu Dra. Hj. Afidah Wahyuni M.Ag selaku
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tak kenal lelah mentranformasi ilmunya disetiap
saat.
6. Bapak Muh. Muslih, S.HI., M.H., dan Drs. Afdal Zikri, SH., MH., selaku
pengacara yang telah memberikan informasi dan data yang sangat dibutuhkan
oleh penulis.
Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitasnya bagi
penulis.
serta doa’anya agar penulis dapat cepat selesai dalam menyusun skripsi.
9. Kepada abang-abangku yang selalu memotivasi dan membantu penulis dalam segi
telah memberikan warna hidup dan selalu kompak selama menempuh perkuliahan
bersama penulis.
iii
11. Kepada teman-teman KKS Naringgul yang selam 1 bulan penuh selalu bersama-
sama dalam suka dan duka, yang tanpa hentinya memberikan yang terbaik untuk
Naringgul.
12. Kepada seluruh pihak yang tidak tertulis, penulis mengucapkan mohon maaf yang
Penulis menyadari bahwa di dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan dan
kekeliruan yang tidak disengaja, oleh karena itu penulis meminta maaf yang sebesar-
besarnya.
(Penulis)
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN
D. Metode Penelitian 9
F. Sistematika Penulisan 13
HUKUMNYA
B. Macam-macam Perceraian 21
C. Akibat Hukumnya 28
A. Pengertian Hadhanah 35
v
B. Dasar Hukum Hadhanah 50
C. Syarat-Syarat hadhanah 52
E. Masa Hadhanah 56
1. Proses Pemeriksaan 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 77
B. Saran 78
DAFTAR PUSTAKA 79
LAMPIRAN 82
vi
BAB I
PENDAHULUAN
perceraian dengan cara mufakat antara suami dan istri saja, tetapi harus ada alasan
yang sah. Perceraian mempunyai akibat terhadap anak yang masih di bawah umur,
yakni kekuasaan orang tua dapat berubah menjadi perwalian. Karena itu jika
perkawinan diputuskan oleh hakim maka harus diatur pula tentang perwalian terhadap
anak yang masih di bawah umur. Penetapan wali oleh hakim dilakukan setelah
mendengar keluarga dari pihak ayah maupun pihak ibu yang erat hubungannya
orang tua sekaligus generasi harapan bangsa. Jika orang tua dapat mendidik anak-
anak tersebut dengan baik, maka anak tersebut dapat diharapkan menjadi penerus
bangsa. Orang tua baik secara jasmani maupun rohani bertanggung jawab mendidik
dan memelihara anak sampai tumbuh menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti
kepada orang tua, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berkemampuan
1
Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Internusa, 1994), Cet. XXVI, h. 42.
1
Suatu perceraian dapat terjadi dikarenakan kehidupan rumah tangga tidak
harmonis atau dengan kata lain sudah tidak dapat diharapkan untuk rukun dan damai
lagi. Perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terakhir setelah
usaha dan segala daya upaya yang telah dilakukan guna memperbaiki kehidupan
perkawinannya, tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali hanya dengan
pintu darurat yang dilakukan, jika saja perceraian menjadi jalan terakhir maka
tersebut maupun oleh usaha keluarga yang disebut “hakamain” atau juru damai
hendaklah upaya damai tersebut menjadi pertimbangan yang memang harus diresapi
Hal ini jelas tidak sesuai dengan tujuan perkawinan menurut pasal 1 Undang-
yang menyatakan bahwa, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhananYang Maha Esa.3
terdiri dari suami-istri dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk
2
Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), Cet.2, h. 30.
3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1.
2
kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman
bersama. Sedangkan bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara suami-
istri atau anak-anak dalam rumah tangga. Kekal artinya berlangsung terus menerus
seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja atau dibubarkan menurut
Dalam pandangan Islam, tujuan dari perkawinan antara lain adalah agar suami
istri dapat membina kehidupan yang tentram lahir dan batin dan saling cinta
mencintai dalam satu rumah tangga yang bahagia. Disamping itu, diharapkan pula
kehidupan rumah tangga dapat berlangsung kekal, oleh karena itu, Islam telah
memberi petunjuk atau jalan yang harus ditempuh bila sewaktu-waktu terjadi
perkawinan itu banyak yang tidak tercapai secara utuh. Hal yang baru tercapai
mengenai pembentukan rumah tangga, sedangkan bahagia dan kekal belum tercapai
berdasarkan Pancasila di mana sila pertama adalah keTuhanan Yang Maha Esa, maka
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Agama, bukan hanya
unsur lahir atau jasmani tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan
4
Abdurahman I Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rinek Cipta,1992), Cet. Ke-1
h. 4.
5
Neng Djubaedah Dkk, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT.Hecca Utama,
2005), h. 135
3
penting.6 Dengan terjadinya perceraian maka akan berakibat bahwa kekusaan orang
tua berakhir dan berubah menjadi hak asuh. Oleh karena itu jika perkawinan diputus
oleh hakim maka perlu diatur tentang hak asuh terhadap anak-anak yang masih di
bawah umur.
(selanjutnya akan disebut UU Perlindungan Anak) hanya mengatur kuasa asuh dan
hal tersebut dapat dicabut bila diketahui orang tua menelantarkan anak-anak atau
dilakukan pihak istri maupun pihak suami setelah perceraian sebagai berikut:
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
6
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Akasara, 1996), Cet. Ke-2, h. 2-3.
7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 41.
4
Sesuai dengan amanat UU Perlindungan Anak dan UU Perkawinan bahwa
jika suami-istri telah bercerai, maka kewajiban untuk mengasuh dan merawat anak-
anak tetap menjadi kewajiban mereka, dengan kata lain bukan hanya merupakan
Majelis hakim bebas untuk menetapan ayah atau ibu yang berhak memelihara
anak tersebut, tergantung dari siapa yang paling cakap atau yang paling baik
mengingat kepentingan anak-anak tersebut. Tetapi sering kali pertikaian masih sering
berlanjut sampai ke tingkat Pengadilan yang lebih tinggi dikarenakan salah satu pihak
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, akan
tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan belum sesuai dengan aturan tersebut karena
masih ada sebagian ibu yang merasa berhak untuk mengasuh anak-anaknya namun
hak tersebut jatuh kepada sang ayah sesuai dengan putusan majelis hakim. Berkaitan
dengan apa yang akan penulis kemukakan dalam skripsi ini terhadap perkara di
Mahkamah Agung (MA) dengan Nomor Perkara 349 K/AG/2006 pada kasus Tamara
Bleszinski dan Teuku Rafly Pasya di mana salah satu amar putusannya menetapkan
pengasuhan Rassya Isslamay Pasya berada dalam pengasuhan ayahnya (Teuku Rafly
Pasya).
Seorang hakim memutuskan bahwa sang ayah yang berhak mendapatkan hak
asuh anak tersebut walaupun usia si anak masih belum mumayyiz atau di bawah
umur. Jika dilihat dari UU Perlindungan Anak, antara suami dan istri mempunyai
5
kedudukan untuk mengasuh anak tersebut tergantung kepada hakim yang
Hadhanah. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil
setelah terjadinya perceraian. Hal ini dibicarakan dalam fikih karena secara praktis
antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan
Namun yang perlu ditegaskan di sini adalah, bahwa terdapat perbedaan antara
tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat materil dan tanggung jawab yang bersifat
pengasuhan. Tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat materil dalam konsep Islam
pengasuhan adalah tanggung jawab ibu. Dalam berbagai literatur fikih yang paling
berhak atas pengasuhan anak diberikan kepada ibu selama anak tersebut belum
mumayyiz. Dan apabila anak tersebut sudah mumayyiz, maka anak tersebut disuruh
Yang ingin penulis analisis adalah mengapa seorang hakim memberikan hak
asuh kepada ayah, karena sangat bertolak belakang pada Kompilasi Hukum Islam
pasal 105 yang isinya jelas mengatur tentang hak asuh anak di bawah umur diberikan
kepada ibu. Dan apa alasan hakim menetapkan sang ayah yang berhak mengasuh
anak tersebut, serta apakah hakim dalam memutuskan perkara sudah memperhatikan
8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, “Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan”, (Jakarta, Kencana: 2006), Cet. Ke-1, h. 327-328.
6
ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
problematika kasus ini dan mencoba untuk mengangkat wacana tersebut dalam
sebuah karya ilmiah dengan judul “Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat
Anak” (Studi Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006).
yang lebih jelas dari tulisan ini, serta mengingat akan meluasnya permasalahan ini.
Maka penulis membuat rumusan masalah dengan menitik beratkan pada hak asuh
anak di bawah umur dan hukum yang terkait tentang hak seorang anak akibat
perceraian.
1. Bagaimana lingkup hak asuh anak di bawah umur akibat perceraian menurut
2. Bagaimana putusan hakim dalam putusan perkara Mahkamah Agung Nomor 349
7
3. Apakah hakim dalam putusan perkara Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006
tentang Hak Asuh Anak di Bawah Umur tidak menyalahi Undang-Undang Nomor
Dalam skripsi ini penulis memiliki tujuan untuk mendapatkan jawaban atas
pengetahuan yang di mana hasil penulisan ini dapat ditinjau kembali oleh siapapun,
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin penulis capai dalam penelitian ini, yaitu:
a. Untuk mengetahui dan memahami ruang lingkup hak asuh anak di bawah
Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006 yang berkaitan tentang hak asuh
anak.
8
2. Manfaat Penelitian
akibat perceraian sehingga jika terjadi perceraian orang tua harus berfikir
D. Metode Penelitian
terbagi atas dua jenis metode penelitian yaitu: Penelitian hukum normatif atau
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
2004), Cet Ke-8, h. 51.
9
b. Penelitian Kepustakaan (Library research) yaitu penelitian yang dilakukan
yang lainya atau yang ada hubunganya dengan judul skrpisi ini.
2. Sumber Data
data yaitu:
Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006 tentang Hak Asuh Anak, serta
Anak yang akan digunakan penulis sebagai tinjauan terhadap analisis putusan
bahan kepustakaan.10 Data ini terdiri dari buku-buku yang berkaitan dengan
skripsi ini, baik yang ditulis langsung oleh penulis maupun berupa analisis
berikut:
10
Suharsimi Arikonto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 205.
10
a. Metode Interview
b. Metode Dokumentasi
literatur yang ada, baik berupa berita-berita dan artikel dari internet yang berkaitan
dengan permasalahan ini, catatan, maupun laporan hasil penelitian yang berhubungan
Tahun : 2006
11
Ibid. h. 205.
12
Ibid, h. 206.
11
Judul : DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN HAK
PEMELIHARAAN ANAK
Perbedaan dengan skripsi penulis, adalah skripsi yang ditulis Irwan Hermawan hanya
membatasi tulisannya pada apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
perkara tersebut,dalam perkara tersebut, hakim memutuskan hak asuh anak di bawah
Persamaan dalam skripsi ini yang ditulis oleh Irwan Hermawan dengan penulis ialah
Tahun : 2005
Persamaan dalam skripsi ini yang ditulis oleh Firman Sulaeman dengan penulis ialah
memelihara anak yang belum mumayyiz. Perbedaan dengan skripsi penulis, adalah
skripsi yang ditulis oleh Firman Sulaeman fokus terhadap efektifitas pasal 105 point a
Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman hukum bagi para hakim dalam
12
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, terdiri dari 5 (lima) bab, dimana tiap-tiap bab
pembahasan skripsi ini. Di awal pembahasan ini akan berisikan mengenai gambaran
umum dari permasalahan yang akan digunakan sebagai landasan dalam penyusunan
bab berikutnya. Pada pendahuluan ini terdapat sub-bab yang terdiri dari latar
belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penulisan yang mempunyai maksud untuk mengetahui mengenai suatu cara
yang telah teratur dan dipikirkan secara baik yang bertujuan agar penyusunan skripsi
patokan dalam penyusun skripsi dan sistematika penulisan berisikan tentang kerangka
permasalahan skripsi secara berurutan yang di awali dengan pendahuluan dan diakhiri
dengan penutup.
Bab kedua membahas tentang perceraian dan akibat hukumnya, di bab ini
terhadap anak, terhadap hubungan suami-istri, dan masa iddah menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Bab ketiga membahas tentang tinjauan umum tentang hak asuh anak
(hadhanah), pengertian hadhanah menurut Islam dan hak asuh menurut Undang-
13
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Maupun
Agung Nomor 349 K/AG/2006 tentang Hak Asuh Anak, membahas posisi kasus
jawaban permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Sekaligus memberikan saran yang
masyarakat.
14
BAB II
1. Pengertian Perceraian
Dalam ajaran agama Islam pernikahan itu berguna untuk membina suatu
kehidupan rumah tangga yang bahagia. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam
keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Pada
dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah
seorang suami istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki agama Islam, Namun
tersebut terkadang sulit untuk didamaikan yang menyebabkan pihak isteri ataupun
suami menuntut untuk bercerai. Ajaran Islam dalam hal ini merupakan agama
15
Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh
saling berhubungan di mana perceraian hanya dapat terjadi karena adanya sebuah
dapat terjadi karena perceraian dan dapat terjadi karena thalak atau gugatan
Ini adalah aturan yang pantas dalam masyarakat yang berbudaya menuju
sewenang-wenang terutama dari pihak suami, yang dengan sesuka hatinya tanpa
prosedur apapun dapat melemparkan istri tanpa alasan hukum yang sah.13
Perceraian dalam istilah fiqh disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti
lawan dari berkumpul. Perkataan “talaq” dan “furqah” dalam istilah fiqh
mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus. Arti yang umum adalah segala
13
M. Yahya Harahap SH, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : CV. Zahir Trading, 1975), Cet.
1, h.133.
16
macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang telah ditetapkan oleh
hakim dan perceraian yang jatuh dengan sendirinya seperti perceraian yang
disebabkan meninggalkan salah satu dari suami atau isteri, sedangkan arti khusus
pelepasan ikatan perkawinan di masa yang akan datang. Yang dimaksud “secara
langsung” adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku
ketika ucapan talak tersebut dinyatakan suami. Sedangkan yang di maksud “di
masa akan datang” adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh sesuatu
hal.17
14
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987),
cet. Ke-2, h.156.
15
A. W. Munawir, Al-munawir: Kamus Arab- Indonesia, (Surabaya : pustaka Progresif, 1997),
cet. Ke-14, h. 861.
16
Ahmad Shidik, Hukum Talak dalam Agama Islam, (Surabaya : Putera Pelajar,2001), cet. 1, h.9.
17
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, “talak” Ensiklopedi Islam, (Jakarta :PT. Ichtiar Baru an
Hoeve, 1994), cet. Ke-3, jilid 5, h. 53.
17
Mazhab Syafi’i mendefiniskan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan
lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu. Sedangkan Mazhab Maliki
perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam
a. Karena Perkawinan
perceraian dalam istilah fiqih disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka
ikatan atau membatalkan perjanjian dan furqah berarti bercerai, talak merupakan
pemutusan hubungan suami isteri serta hilanglah pula hak dan kewajiban sebagai
18
Ibid.,
19
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1995), cet. Ke-27, h. 42.
18
2. Dasar Hukum Perceraian
yang negatif dan sulit untuk mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawaddah,
waramah. Untuk mengatasi dampak yang buruk itu, Islam memberikan solusi
yang terakhir digunakan, yaitu dengan cara melalui “thalaq” adapun dasar hukum
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah
19
kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu
Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al
20
Pada dasarnya talak merupakan yang tidak disukai oleh Allah SWT,
Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak
(Perceraian).
dalam situasi dan kondisi tertentu talak tidak tercela bahkan bisa berubah menjadi
langkah yang baik. Terlebih lagi jika mempertahankan rumah tangganya akan
antar kerabat mereka. Sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak menemukan titik
tentu, sehingga tidak ada jalan lain selain talak (perceraian) menjadi alternatif
Meskipun talak dianggap dapat menjadi jalan yang terbaik, hal ini tidak
pertimbangan secara matang, serta dengan alasan-alasan yang bersifat darurat atau
sangat mendesak.
B. Macam-Macam Perceraian
Secara umum perceraian itu ada dua macam, yaitu cerai talaq dan cerai gugat.
Cerai talaq diajukan oleh suami dan cerai gugat diajukan oleh isteri. Sedangkan
dalam hukum islam cerai itu sama dengan talaq, adapun macam-macamnya yaitu:
1. Talak
Talak jika ditinjau dari cara dan waktu menjatuhkan terbagi menjadi tiga yaitu:
21
A. Talak Sunni
Dalam KHI pasal 121, talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak
yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam
waktu sucinya tersebut. Dengan kata lain talak dijatuhkan ketika isteri telah suci
dari haidnya, dan belum dicampuri. Sejak saat berhentinya dari haid ini, maka ia
telah masuk ke dalam iddahnya. Pada saat ini suaminya boleh menjatuhkan talaq
B. Talak Bid’i
Talak bid’i (pasal 121 KHI) adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang
dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci
tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.Talak bid’i adalah talak yang
bertentangan dengan sya’ra yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam
keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci
tersebut atau seorang mentalak tiga kali dalam satu kali ucap atau mentalak tiga
Adapun jika talak ditinjau dari segi boleh atau tidaknya suami rujuk kembali pada
1) Talak Raj’i
Dalam (pasal 118 KHI) Talak raj’I adalah talak kesatu atau kedua
dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah. Thalaq Raj’i
ialah suatu thalaq dimana suami memiliki hak untuk merujuk istrinya tanpa
22
kehendaknya. Dan thalaq raj’i ini diisyaratkan pada istri yang telah
digauli.20 Thalaq Raj’i tidak melarang bekas suami berkumpul dengan bekas
persetubuhan).
2) Talak Ba’in
Talak Ba’in adalah talak yang memberi hak ruju bagi bekas suami
terhadap bekas isteri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami, jika
a) Talak ba’in sughra (pasal 118 KHI) talak yang tidak boleh dirujuk
b) Talak ba’in kubra (pasal 119 KHI) adalah talak yang terjadi untuk
ketiga kalinya. Talak ini tidak boleh dirujuk dan tidak dapat dinikahi
menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da ad-
2. Khulu
Khulu atau talak tebus adalah bentuk perceraian atas persetujuan suami
isteri, yaitu dengan jatuhnya talak satu dari suami atas persetujuan suami istei,
yaitu dengan jahtunya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta
20
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifayatul Akhyar Fii Alli Ghaayatil Ikhtishaar,
Penerjemah Achmad Zainudin dan A. ma’ruf Asrori, h.476.
23
atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khulu
tersebut.21Khulu yang dibenarkan dalam Agama Islam tersebut berasal dari kata
laki-laki dan laki-laki pun pakaian perempuan. Menurut ahli fiqh, Khulu adalah
Firman Allah dalam Al-Qur’an tentang Khulu, yakni surat Al-baqarah 229:
Artinya : tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
Ayat inilah yang menjadi dasar hukum khulu dan penerimaan iwadh.
Khulu yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut
iwadh
21
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta:UIP, 1974), cet. Ke-2. h. 115.
22
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah Kamaludin A. Marzuki, h.95.
23
Ibid.,
24
3. Fasakh
yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami atau
salah satu pihak) oleh hakim agama karena salah satu pihak menemui cela pada
pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum
berlangsungnya perkawinan.25
atau terjadinya perceraian, karena itu pihak penguggat dalam perkara fasakh ini
4. Li’an
Li’an adalah perkataan suami sebagai berikut, “saya persaksikan kepada Allah
bahwasannya benar tuduhan saya kepada isteri saya bahwa ia telah berzina”.26
Adapun Li’an ialah saling menyatakan bahwa bersdia dilaknat allah setelah
mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri yang dikuatkan dengan
sumpah yang dilakukan oleh suami isteri karena salah satu pihak bersikeras
24
Ibid., h. 212.
25
Sayuti Thalib, h. 117.
26
Sulaiman Rasjid, Fikih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), cet. Ke-27, h. 414 .
25
menuduh pihak lain melakukan perbuatan barzina, atau suami tidak mengakui
bahwa anak yang dikandung atau dilahirkan oleh isterinya sebagai anaknya dan
persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
5. Il’a
Il’a artinya sumpah si suami tidak akan mencampuri isterinya dalam masa
yang lebih dari 4 bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya. Apabila
seorang suami bersumpah tersebut hendaklah ditunggu sampai 4 bulan, kalau dia
kembali baik kepada isterinya sebelum sampai 4 bulan, maka dia wajib membayar
denda sumpah kafarat saja. Tetapi sampai 4 bulan dia tidak kembali baik dengan
kafaraat sumpah serta kembali baik kepada isterinya, atau mentalak isterinya,
kalau suami itu tidak mau menjalankan salah satu dari kedua perkara tersebut,
27
Kamal Mukhtar., h.203-204.
26
6. Zihar
sehingga itu haram atasnya.28 Seperti kata suami kepada isteriny, “engkau tampak
kepada talak, maka ia wajib membayar kafarat dan haram bercampur dengan
isterinya sebelum membayar kafarat itu. Zihar ini pada zaman jahiliyah dianggap
3. Kalau tidak kuat puasa, maka member makan 60 orang iskin tiap=tiap orang
¼ sa’fitrah (3/4)liter.
wajib dijalankan adalah yang pertama lebih dahulu, kalau yang pertama tidal
dapat dijalankan baru boleh dengan yang kedua, begitu juga kalu tidak dapat
28
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), cet. Ke-27, h. 412.
27
C. Akibat Hukum Perceraian
akan tetapi masih ada akibat-akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian
istri menjadi bekas suami, bekas istri, tempat tingal dan sebagainya. Tetapi yang lebih
sarana dan pranata sosialnya, perihal landasan yuridis legal formal dari akibat hukum
putusnya perkawinan di mana orang tua tetap berkewajiban untuk memelihara dan
baligh sehingga dikemudian hari tidak terjadi penderitaan atas diri anak baik secara
karena banyak ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan salah satu pihak tidak
Pengadilan dapat menentukan bahwa kedua orang tua turut andil dalam pemeliharaan
dan pembiayaan terhadap anak-anaknya, Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam pasal
28
a. Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak, bila mana dalam kenyatannya bapak tidak dapat
Dari bunyi ketentuan tersebut dapat kita simpulkan, baik anak itu di bawah
pemeliharaan bapak atau ibu, maka yang menjamin jumlah biaya pemeliharaan dan
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 menyatakan bahwa akibat dari
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali
2. ayah;
29
M. Yahya Harahap SH, h.167.
29
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas
hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut
padanya.
yaitu:
anak harus terus menerus sampai anak baliq dan berakal serta mempunyai
30
penghasilan, apabila bercerai dua orang suami istri sedangkan mereka mempunyai
anak yang belum mumayyiz, maka istrilah yang lebih berhak untuk mendidik dan
merawat anak itu, sampai anak itu memahami kemaslahatan dirinya, meskipun
anak tersebut ditinggalkan bersama ibunya, tetapi belanjanya tetap wajib dipikul
oleh bapaknya.
SAW perempuan itu berkata : saya telah diceraikan oleh suami saya, dan anak
saya akan diceraikan dari saya. Kata rasullah kepada perempuan itu : engkaulah
yang lebih berhak untuk mendidik anakmu selama engkau belum kawin dengan
Apabila suami istri yang bercerai mempunyai anak maka yang akan
antara lain adalah, siapakah di antara keduanya yang pemeliharaan akan paling
Kewajiban orang tua dan anak menurut UU Perkawinan dan KHI yaitu
kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baik,
kewajiban tersebut sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban
30
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, h.131.
31
Dalam KHI pasal 105, dijelaskan bahwa pemeliharaan anak belum
mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, untuk anak yang sudah
antara ayah atau ibunya, selain itu biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Bagi pasangan telah bercerai, maka haram bagi mereka untuk melakukan
hubungan suami istri. Selain itu mantan suami juga berkewajiban untuk
memberikan mut’ah yang pantas kepada mantan istrinya tersebut. Mut’ah yang
diberikan oleh mantan suami tersebut dapat berupa barang atau uang.
KHI juga telah mengatur masalah ini secara mendalam yang dimuat dalam
pasal 149 Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah,
kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan
tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla
al dukhul;
21 tahun.
32
3. Akibah Terhadap Masa Iddah
Bagi seorang istri yang putus perkawinan berlaku waktu tunggu atau
iddah, kecuali qobla al-dukhul dan perkawinanya putus bukan kerena kematian
suami.
hukum yang tetap. Sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian,
a) Iddah istri yang berhaid, masa tempo menunggu tiga kali haid.
b) Iddah istri yang tidak lagi haid, masa tempo menunggu tiga bulan.
c) Iddah istri yang kematian suami, masa tempo menunggu empat bulan sepuluh
hari.
d) Iddah istri yang hamil, yaitu masa tempo menunggu sampai melahirkan
anak.31
Ketentuan iddah ini, mempunyai beberapa hikmah yang sangat tinggi bagi
31
H. Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: Pt bina ilmu 1995), h.338.
33
b) Memberi kesempatan kepada suami istri yan bercerai untuk kembali rukun
perceraian secara pasti. Sebabnya jika tidak ada masa ddah ini, tak ubahnya
32
Ibid.,
34
BAB III
A. Pengertian Hadhanah
bawah ketiak.33 Hadhanah berasal dari kata حضنyang memiliki arti mengasuh
diantaranya:
perempuan atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara baik dan
buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu
mengerjakan sesuatu untuk kebaikan dan menjaganya dari sendiri dan belum
tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikkan dan menjaga dari sesuatu yang
33
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoepe, 1999), Jilid.
2, h.415.
34
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), Cet. Ke 8,
h.104.
35
mental maupun akal, agar mampu menegakkan kehidupan yang sempurna dan
bertangung jawab.”35
menjaga orang yang tidak kuasa atas kebutuhan dirinya dari hal-hal yang
dengan hadhanah adalah mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayyiz
35
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-sunnah, (Beirut: Dar al-fikr, 1983), Jil.8, h.228.
36
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974),
cet. Ke-1, h. 138.
36
Sedangkan menurut istilah fiqh hadhanah ialah tugas menjaga dan
mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak lahir sampai mampu menjaga
atau dapat mengatur dirinya sendiri. Anak yang sah nasabnya berarti tugas
yang berhubungan dengan memelihara, merawat dan mendidik anak yang masih
hadhanah adalah memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri
yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukan baik dalam bentuk
merusaknya.39 Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku
selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga
Perlindungan Anak
37
Neng Djubaedah Dkk, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h.237.
38
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988), h. 399-400.
39
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2006), h.67.
40
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia “Antara Fikih Munakahat dan UU
Perkawinan”, h. 328.
37
Walaupun kata “Hak Asuh” telah biasa dipergunakan dalam membahas
hak orang tua untuk mengasuh anaknya khususnya ketika pasangan suami istri
yang telah memiliki anak melakukan perceraian atau pisah rumah akan tetapi kata
hak asuh tersebut tidak ditemukan dalam UU Perlindungan Anak yang terkait
Kosa kata yang identik dengan itu adalah Kuasa Asuh sebagaimana
bahwa kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik,
Apabila kata “Kuasa Asuh” tersebut berdiri sendiri maka kata tersebut
demikian dapat memberikan kesan bahwa orang tua di satu pihak memiliki
kewenangan untuk menumbuh kembangkan anak dengan catatan bahwa cara dan
kemampuan, minat dan bakatnya, dengan kata lain kuasa asuh merupakan hak
41
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, pasal 1 angka 11, Indonesia.
38
Di dalam UU Perlindungan Anak pada dasarnya murni mengatur tentang
perlindungan terhadap anak, tanpa melihat latar belakang kondisi orang tua yang
apakah anak memiliki kejelasan orang tua atau tidak. Makna lain yang terlihat
bersama antara orang tua, masyarakat dan Negara yang terbaik bagi anak.
tinggi. Sebab prolog kelahiran Undang-Undang ini setelah lebih dulu melalui
Perkawinan
ketika itu, dianggap sama sekali tidak memiliki kesepahaman dalam memberikan
42
United nations children’s fund, Dunia yang layak bagi anak-anak : konveksi hak anak-anak
1989.
39
Pemahaman terhadap perkawinan yang hanya dianggap sebagai peristiwa
wujud dari aspek administratif sipil. Oleh karena itu validasi anak yang
validasi perceraian akan menentukan validasi kekuasaan orang tua terhadap anak
persoalan kekuasaan orang tua terhadap anak. Dengan demikian kekuasaan orang
tua terhadap anak pasca perceraian, akan selalu di dalam satu rangkaian validasi
tanggung jawab orang tua dalam bentuk seperangkat kewajiban guna memenuhi
hak-hak anak. Pengutamaan kewajiban orang tua dari pada hak orang tua terhadap
anak, di dalam konteks kekuasaan orang tua terhadap anak, pada akhirnya
keutamaan yang harus direalisasikan. Orang tua yang bercerai diwajibkan berbuat
40
Kontruksi demikian telah menujukan bahwa sebenarnya UU Perkawinan
memiliki pradigma “berikan yang terbaik bagi anak”. Bahwa adanya perceraian
orang tua tetap menutut tangung jawab penuh atas kepentingan anak hasil
perkawinan mereka. Perceraian orang tua tidak memberikan ruang bagi orang tua
bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
dengan sebaik-baiknya. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum
menikah berada dalam kekuasaan orang tua selama tidak dicabut kekuasaanya,
anak-anak tersebut.43
Kewajiban ini berlaku terus sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri
43
M. Yahya Harahap SH, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: CV. Zahir Trading, 1975) Cet, 1
h. 159.
41
1. Dasar Kewajiban Pemeliharaan Anak
dan 2.
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
keputusan.
Pada prinsipnya, baik ibu maupun bapak diberikan hak yang sama untuk
terjadi perceraian. Oleh karena itu keduanya dapat mufakat siapa akan anak
kepada Pengadilan.
42
untuk itu Pengadilan harus memeriksa dengan teliti siapakah di antara mereka
(b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
Dari bunyi ketentuan tersebut dapat kita simpulkan, baik anak itu di bawah
diselaraskan dengan keadaan ekonomi orang tua. Apabila orang tua dalam
44
Ibid., h. 161.
43
keadaan lemah, maka kewajiban orang tua itu harus sesuai dengan
kebutuhannya.
Hal ini memang patut sebagai lanjutan prinsip, bahwa bapak (suami)
Batas kewajiban Pemeliharaan dan pendidikan anak diatur pula, dalam pasal
45 ayat 2 UU Perkawinan:
Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus
dilihat dari keadaan anak itu, Apabila anak dianggap telah dapat berdiri
sendiri atau telah kawin, maka terlepaslah kewajiban orang tua untuk
sebaliknya anak yang telah berumur 25 tahun tetapi belum mampu berdiri
yang mengandung makna merawat dan mendidik anak yang belum mumayyiz.
44
Subtansi dari merawat dan medidik tersebut adalah karena yang bersangkutan
tidak atau belum dapat memenuhi keperluan sendiri. Para ulama fikih menyatakan
wajib hukumnya untuk merawat dan mendidik, namun berbeda pendapat di dalam
persoalan hak.
jawab kedua orang tuanya, pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal,
masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok
anak. Dan konsep dalam Islam tanggung jawab ekonomi berada di puncak suami
Meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa istri dapat
yang terpenting adalah adanya kerjasama dan tolong-menolong antara suami dan
istri dalam memelihara anak dan mengantarkan hingga anak tersebut dewasa.
pengasuhan materal dan non material merupakan 2 hal yang tidak dapat
dipisahkan. Lebih dari itu KHI malah menangani tugas-tugas yang harus diemban
kedua orang tua kendatipun mereka berpisah. Anak yang belum mumayyiz tetap
KHI secara rinci mengatur tentang kekuasaan orang tua terhadap anak
dengan 112, dimana pasal 107 sampai pasal 112 khusus mengatur tentang
45
perwalian. Beberapa pasal di dalam konteks kekuasaan orang tua dan perwalian di
Pasal 1 huruf (f) : Pemeliharaan anak atau hadhanah adalah kegiatan mengasuh,
memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri
Pasal 98
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu.
Pasal 105
46
Pasal 106
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang
mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu menghendaki atau suatu
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
Pasal 107
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya,
(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain
yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau
badan hukum.
Pasal 109
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum
dan menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali
tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalah
47
gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada
di bawah perwaliannya.
KHI mengatur tentang kekuasan orang tua terhadap anak pasca perceraian
dengan kriteria 12 tahun, karena usia ini anak dianggap telah akil baliq.
Berdasarkan kriteria 12 tahun ini, maka anak yang belum memasuki usia 12 tahun
akan berada di dalam kekuasaan ibunya. Setelah melewati usia 12 tahun, anak
diperbolehkan menentukan pilihan sendiri, apakah tetap ikut ibu atau ikut ayah.
Namun demikian angka 12 tahun ini ternyata bukan angka mati berdasarkan
kriteria manfaat dan mudarat. Artinya, meskipun usia anak belum mencapai 12
tahun, tetapi situasi dan kondisi membuktikan bahwa anak ternyata lebih
KHI maka dalam konteks kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian
1. Kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian memiliki korelasi erat
48
3. Kekuasaan orang tua pasca perceraian terhadap anak pada dasarnya
dengan mendidik dan memelihara anak, dengan ketentuan anak yang belum
4. Kekuasaan orang tua pasca perceraian terhadap anak dapat diinvestasikan oleh
kepentingan anak.
umum tanggung jawab orang tua terhadap anak tetap melekat meskipun telah
ketentuan hak dan kewajiban anak, dan hak dan kewajiban orang tua terhadap
anak. Oleh karena itu perlakuan terhadap anak adalah berdasarkan prinsip
tidak berbeda dengan UU Perkawinan. Kekuasaan orang tua terhadap anak pasca
perceraian menurut ketentuan kedua UU adalah sejalan, dan harus dianggap logis
mengingat makna kekuasan orang tua terhadap anak sangat berkorelasi terhadap
49
Perlindungan Anak, yaitu memberikan yang terbaik kepada anak. Dengan
dalam konteks hubungan antara KHI dan UU Perlindungan Anak adalah memiliki
dengan sendirinya tanpa mengharapkan bantuan orang lain. Oleh karena itu
mengasuh anak yang masih kecil adalah wajib karena dengan mengabaikan anak
Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah
memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.
seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
50
apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan.”(QS Al-Baqarah/2:233)
Muhammad Ali Ash Shabuni menjelaskan ayat ini, sebagai berikut: “wajib
atas ibu-ibu untuk menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh, apabila
orang tua (ayah dan ibu) menghendaki untuk mencukupi susuannya hanya dua tahun
ekonomis, baik dalam bentuk pangan, sandang, perumahan dan kesehatan. Disamping
kewajiban ayah dan ibu untuk mencukupi anak-anaknya secara ekonomis, ayah dan
ibu juga berkewajiban untuk mendidik anak-anaknya secara benar dan baik.
Kewajiban ayah dan ibu untuk mendidik anak-anaknya adalah sangat penting karena
posisi keduanya sangat menentukan bagi kehidupan anak-anaknya, baik dari segi
pembawaan maupun dari segi lingkungan. Karena itu, dalam hukum Islam ada istilah
hadanah.46
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa hadhanah adalah suatu kewajiban bagi
kedua orang tua atau orang yang mendapatkan hak tersebut. Pengabaian terhadap
45
Muhammad Ali Ash Shabuni, shafwatut tafasir, I-III, (Daar al Quran al Kariem, Bairut, 1981).
46
H. Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT bina ilmu 1995), h. 212.
51
Pada dasarnya orang tua bertanggung jawab atas pemeliharan anak-anaknya,
baik orang tua dalam keadaan rukun maupun dalam keadaan bercerai. Para ulama
C. Syarat-Syarat Hadhanah
bukan saja memelihara dengan memenuhi kebutuhan jasmani anak saja akan tetapi
pendidikan atau moral anakpun menjadi tanggung jawab pelaksana hadhanah itu
sendiri. Karena itu tidak sembarangan orang yang dapat melaksanakan hadhanah. Ada
kriteria atau syarat-syarat ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan
1. Berakal sehat. Bagi orang yang kurang akal dan gila, keduanya tidak boleh
menangani hadhanah karena mereka ini tidak dapat mengurusi dirinya sendiri.
Karena itu, ia tidak boleh disertai tugas mengurusi orang lain. Sebab orang yang
tidak punya apa-apa tentu dapat memberi apa-apa kepada orang lain.
2. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas
yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang
3. Mampu mendidik. Orang buta, sakit menular, atau sakit yang melemahkan
47
Sayyid Sabiq, Fiqih Al-Sunnah, h. 179.
52
kecil, juga tidak berusia lanjut yang bahksan ia sendiri perlu diurus, bukan orang
diurusnya.
4. Amanah dan berbudi. Orang yang curang tidak aman bagi anak kecil, dan ia tidak
dapat dipercaya untuk bisa menunaikan kewajibannya dengan baik. Terlebih lagi,
Oleh karena itu bagi seorang kafir tidak ada hak untuk mengasuh anak yang
Allah tidak membolehkan orang mukmin di bawah perwalian orang kafir. Kriteria
Islam disini juga termasuk sifat adil yang harus terdapat pada seorang pengasuh.
Adil dalam arti mampu menjalankan agama secara benar, dengan meninggalkan
dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini adalah fasik
6. Ibunya belum kawin lagi, jika si ibu belum kawin lagi dengan laki-laki lain, hak
hadhanahnya hilang. Akan tetapi, kalau ia kawin dengan laki-laki yang masih
48
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan dalam Islam di Indonesia, anatara Fikih Munakahat dan
UU Perkawinan, h.329.
53
dekat kerabatannya dengan anak kecil tersebut, seperti paman dari ayahnya, hak
Para ulama sependapat bahwa, dalam hal mengasuh anak disyaratkan orang
yang mengasuh harus berakal sehat, bisa dipercaya, suci diri, bukan pelaku maksiat,
bukan penari, bukan peminum khamr, serta tidak mengabaikan anak yang diasuhnya.
Tujuan dari keharusan adanya sifat-sifat tersebut di atas adalah untuk memelihara dan
Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat maka, yang
paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih
memiliki rasa kasihsayang yang dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia
yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasihsayang bila anak berada dalam asuhan
ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada dibawah tanggung
jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat yang disepakati oleh ulama.51
49
Ibid., h. 241-244.
50
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996),
cet. K-I, h. 416.
51
Ibid.,
54
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
1. Dalam menentukan urutan para pihak pertama yang berhak mengasuh atau
a. Ibu. Ibu adalah pihak yang paling pertama yang berhak memelihara
d. Saudara perempuan
g. Bibi dari pihak ayah dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi sianak
warisan.
52
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h.415.
55
2. Menurut pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam
E. Masa Hadhanah
hadhanah atau kapan berakhirnya masa hadhanah seorang anak akibat perceraian.
Dalam menentukan masa tersebut para ulama fikih hanya melihat dari suatu isyarat
dengan menggunakan ijtihad untuk menentukannya. Karena itu para ulama berijtihad
dalam hal ini, sehingga dikalangan ulama terdapat perbedaan tentang masa hadhanah
1. Imam Hanafi, berpendapat masa asuhan adalah tujuh tahun untuk laki-laki dan
2. Imam Syafi’i, berpendapat tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap
tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal
bersama ibunya atau ayahnya. Kalau si anak sudah pada tingkat ini, dia disuruh
3. Imam Maliki, berpendapat masa asuhan anak laki-laki adalah sejak dilahirkan
53
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, h.417.
56
4. Imam Hambali, berpendapat masa asuhan anak laki-laki dan perempuan adalah
tujuh tahun dan sesudah itu si anak disuruh memilih apakah tinggal bersama
ibunya atau dengan ayahnya. Lalu si anak tinggal bersama orang yang dipilihnya.
hadhanah:
1. Pasal 105 menyatakan pemeliharaan anak yang belum mummayiz atau berumur
2. Pasal 98 ayat 1 menyatakan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau
dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun belum
perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut
dari kekuasaanaya.
57
BAB IV
A. Posisi Perkara
dalam perkara ini Nomor 349 K/AG/2006 sudah berada di tingkat kasasi Mahkamah
Agung yang sebelumnya sudah dilakukan putusan oleh hakim dari Pengadilan Agama
Jakarta Selatan, dari putusan hakim tersebut pihak Tergugat tidak puas atas putusan
Pengadilan Agama atas putusan majelis hakim. Berikut ini adalah kronologis
perkaranya.
Terjadi perkara cerai gugat dan sengketa hak asuh anak antara Tamara
Bleszinski binti Zbignew, Agama Islam, Alamat Tempat Tinggal Jl. Salihara No. 6 A
Rt. 003 Rw. 01, Kelurahan Jati Padang, Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan.
Dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Elsa Syarif SH.,MH yang berkantor di
Islam, Alamat Tempat Tinggal Jl. Kemang Selatan No. 8 Komplek Kemang Jaya
hal ini diwakili oleh Muh, Muslih SHI.,MH Advokat, berkantor di Jl. Ir. Juanda No.
58
Sebelum terjadi perceraian, kedua belah pihak antara Pengugat dan Tergugat
1997 yang dicatatkan dalam Buku Pernikahan Khusus Perkawinan warga Negara
Indonesia, yang dilangsungkan di luar Negeri dengan Nomor. 01/01/1998. Dan dari
perkawinan sendiri telah dikaruniai satu orang anak laki-laki yang bernama Rassya
Isslamay Pasya yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 4 Februari 1999 sesuai
Sejak awal perkawinan mereka, ada sesuatu hal yang tidak cocok antara
Tamara dan Rafli (Penggugat dan Tergugat) seperti masalah adat istiadat yang
pasangan suami istri yang saling membantu dan menunjang satu dengan yang lainnya,
bawahan karena Tergugat selalu minta dihormati tanpa melihat situasi dan kondisi
yang ada. Oleh karena rasa cinta dari Penggugat dengan Tergugat, Penggugat yang
sebagai seorang muallaf mencoba mengerti bahwa hal tersebut memang sudah diatur
dalam Agama Islam bahwa seorang istri harus menghormat suaminya. Akan tetapi
tersebut sebagai tulang punggung keluarga yang harus berkerja mencari nafkah untuk
menghidupi rumah tangganya. Dengan kondisi rumah tangga yang demikian tidak
ada perubahan dari Penggugat, melainkan Tergugat tidak pernah lagi memperhatikan
59
Bahwa sejak 3 tahun belakangan ini kondisi Pengugat dan Tergugat semakin
mengupayakan untuk damai dan rukun kembali dengan dibantu orang tua Penggugat
rumah kediaman bersama pada bulan Maret 2005 dan pulang kerumah ibu Penggugat,
rumah kediaman bersama dengan diantar orang tua Penggugat bulan April 2005.
Dari perkawinan Penggugat dan Tergugat telah lahir satu orang anak laki-laki
bernama Rassya Isslamay Pasya yang pada saat itu berumur 6 tahun maka
berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 huruf (a) maka Pemeliharaan anak
yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya yaitu
Penggugat, untuk menjaga perkembangan jiwa anak tersebut sangat dekat dengan
Penggugat. Dan mengingat anak masih membutuhkan biaya untuk pendidikan, maka
Tergugat sebagai ayah dari anak tersebut wajib untuk memberikan nafkah hidup dan
biaya pendidikan untuk masa depan dan kepentingan anak sesuai dengan kemampuan
Tergugat yaitu sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) setiap bulannya secara tunai
sampai anak tersebut dewasa dan mandiri sesuai dengan Pasal 41 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 huruf (c).
60
B. Proses Putusan Hakim
1. Proses Pemeriksaan
2006 M bertepatan dengan tanggal 2 Muharram 1427 H yang telah terdaftar di kepaniteraan
Dalam Provisi54 :
- Menyatakan anak yang bernama Rassya Isslamay Pasya berumur 6 tahun yang
54
Provisi adalah untuk sementara waktu atau Putusan/ Penetapan sementara waktu. (J.C.T
Simorangkir, dkk, Kamus Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. Ke-13, h. 136.)
61
dicatatkan dalam Buku Pernikahan Khusus Perkawinan warga Negara
4. Mewajibkan Tergugat untuk memberi nafkah hidup dan biaya pendidikan untuk
masa depan dan kepentingan anak sesuai dengan kemampuan Tergugat yaitu
sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) setiap bulannya secara tunai sampai
perkara ini.
Dalam Provisi
62
2. Menjatuhkan thalaq satu ba’in sughra Tergugat Teuku Rafly pasya bin Teuku
4. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya yang timbul dala perkara ini
yang hingga dihitung sejumlah Rp. 325.000,- (tiga ratus dua puluh lima ribu
rupiah)
Pengadilan Agama tersebut telah diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
dapat diterima
Dalam provisi
63
- Menolak gugatan provisi Penguggat
2. Menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat Teuku Rafly pasya bin Teuku
hukum tetap kepada Kantor Urusan Agama Kecamatam Pasar Minggu untuk
berjumlah Rp. 325.000,- (tiga ratus dua puluh lima ribu rupiah)
dalam tingkat banding sebesar Rp. 206.000,- (dua ratus enam ribu rupiah)
Setelah putusan terakhir di atas diberitahukan kepada Tergugat pada tanggal 6 Juli
permohonan tersebut kemudian disusul oleh memori kasasi dengan memuat alasan-alasannya
yang diterima Panitera Pengadilan Agama pada Tanggal 19 Juli 2006, bahwa alasan-alasan
64
menerima, mengadili dan memutuskan surat gugatan Penggugat/Termohon
memeriksa langsung duduk persoalan perkara atau hakim tingkat pertama dan
tidak jelas apa yang dituntut atau apa dasar tuntutannya sehingga dapat diajukan
ontvankelijk verklaard.
Tergugat/Pemohon Kasasi sudah tidak ada harapan hidup rukun dan damai lagi
dengan tertib beracara dan sesuai pula dengan kaidah hukum Islam keadaan itu
disebut dengan nusyuz yaitu keadaan di mana seorang istri dipandangi telah
membangkang kepada sang suami, sehingga apabila ada perceraian maka hak
55
Jainul Bahry, Kamus Umum “Khusus Bidang Hukum dan Politik”, (Bandung: Angkasa, 1996),
h. 125.
56
J.C.T Simorangkir, h. 109.
65
menceraikan ada pada Tergugat/Pemohon Kasasi. Dengan demikian dengan
maka surat gugatan Penguggat adalah surat gugatan yang tidak bersandar
Kasasi.
2. Bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum dan telah melanggar asas
utama dari pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, tanpa
dan fakta hukum yang terjadi, demikian pula dengan saksi de auditu tetapi saksi
kepada tindakan perbuatan satu pihak saja yang sudah tidak berkenan untuk
57
Ibit, h. 168.
66
padahal perlu dipaham antara Tergugat/Pembanding/Termohon Kasasi tidak ada
Kasasi menempuh segala cara untuk dapat mengajukan gugatan ini dengan
pergi meninggalkan rumah bersama, anak dan suami dan kemudian diikuti sikap
tidak peduli dan dilakukan dengan sengaja maka seharusnya hukum berpihak
3. Bahwa judex facti telah salah dan keliru dalam menarapkan hukum karena
mempersukar perceraian, bila mana judex facti memegang teguh asas tersebut
4. Bahwa judex facti telah salah dan keliru memerapkan pembuktian syiqaq
67
Yahya Harahap tersebut sehingga apabila tidak terbukti adanya perselisihan
yang terus menerus maka penyelesaian bukan dengan cara syiqaq tetapi dengan
5. Bahwa judex facti telah melalaikan asas kepatutan, kebenaran dan kelalaian
yang semestinya menjiwai setiap peradilan, akan tetapi judex facti dalam hal ini
yang salah dan keliru atas fakta-fakta yang dalam pertimbanganya telah
apa yang dia dengar dari orang lain waluapun mereka pernah satu rumah,
untuk dipertimbangkan.
Majelis hakim telah mendamaikan Penggugat dan Tergugat melalui kuasa hukum
Penggugat sejak awal persidangan sampai akhir pemeriksaan agar rukun kembali namun
68
Menurut pendapat Mahkamah Agung, amar putusan Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta harus diperbaiki karena belum tepat, dengan menambahkan pertimbangan sebagai
berikut.
yang bernama Rassya Isslamay Pasya yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 4 februari
1999, dan seharusnya judex facti memandang sebagai fakta bahwa dengan adanya tuntutan
merupakan fakta telah terjadi perebutan tentang pengusaan anak yang sama sekali tidak
menguntungkan bagi kepentingan anak, baik dipandang dari segi pemeliharaan maupun dari
antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan. Bahwa majelis hakim berpendapat
apabila terjadi keadaan seperti ini, maka secara kasuistik hakim secara ex officio berhak
menetukan siapa yang harus memelihara anak tersebut demi kepentingan anak. Dan majelis
hakim sependapat dengan buku “Keyakinan Hakim dalam Pembuktian Perkara Perdata
Menurut Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Islam” yang ditulis oleh Ahmad
Sahabuddin, yang menyatakan bahwa menurut Hukum Acara Perdata Islam, keyakinan
seorang hakim dapat digunakan sebagai pembuktian menentukan sebuah perkara (manakala
sudah sulit sekali mencari kebenaran formal, maka pemecahannya adalah mencari kebenaran
materiil).
Majelis hakim berkeyakinan, jika tidak ditetapkan di mana anak harus dipelihara,
akan terus terjadi perebutan tentang penguasaan anak yang dapat saja mempengaruhi
perkembangan jiwa seorang anak dan ada suatu fakta yang terungkap dalam persidangan,
69
bahwa Termohon Kasasi/Penggugat adalah seorang selebriti/publik figur yang sangat sibuk
dengan pekerjaanya, sering berangkat pagi pulang sore, bahkan sampai malam, sehingga jika
anak ditetapkan di bawah hadhanah Termohon Kasasi/Penggugat maka anak akan kurang
mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari Termohon Kasasi/Penggugat karena kesibukan
perkembangan jiwa seorang anak. Dan sesuai dengan pasal 41 huruf (a) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, “Baik ibu atau Bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
penguasaan anak, Pengadilan memberi keputusan dan sesuai dengan pasal 9 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 “setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya”.
Agung memberikan putusan perkara Nomor 349 K/AG/2006 Pada Tanggal 3 Januari
Dalam provisi
2. Menjatuhkan thalak satu ba’in shughra Tergugat (Teuku Rafli Pasya Bin Teuku
Bleszynski).
70
3. Menetapkan anak yang bernama Rasya Issslamay Pasya, lahir di Jakarta pada
salinan putusan ini kepada pegawai pencatat nikah yang di wilayahnya meliputi
tempat tinggal Penggugat dan Tergugat dan kepada pegawai pencacat nikah di
tempat Penggugat dan Tergugat dilangsungkan untuk dicatat dalam daftar yang
Setelah mengetahui adanya gugatan cerai antara Tamara dan Rafli seperti
diuraikan di atas. Ada hal yang menarik untuk disoroti yaitu jatuhnya hak hadhanah
atau pemeliharaan anak yang belum mumayyiz kepada ayah. Dalam kaitannya
dengan putusan tersebut ada hal yang menarik perhatian penulis untuk disoroti dari
sudut pandangan fikih dan peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu siapakah yang
mempunyai hak untuk melakukan hadhanah terhadap anak yang masih di bawah
71
umur akibat perceraian, apa hal yang menyebabkan hak hadhanah seorang anak ada
di tangan bapak. Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan hak
Kita sepakat bahwa anak merupakan amanah dan karunia Allah SWT sebagai
generasi penerus dalam keluarga bahkan bangsa dan negara. Oleh sebab itu maka
anak harus mendapatkan perhatian yang lebih serius dari seluruh aspek kehidupan.
Dalam kehidupan manusia, anak merupakan individu yang belum matang baik secara
fisik, mental maupun sosial. Akibat dari belum matangnya individu anak maka sangat
Terjadinya perebutan hak asuh adalah akibat salah persepsi. Hak asuh itu
dianggap hak orang tua. Padahal hak asuh adalah hak anak untuk mendapatkan
perlindungan dan pemeliharaan dari orang tuanya. Adapun nanti hak anak itu menjadi
kewajiban salah satu ibu atau bapak untuk memelihara anaknya itu, karena anak
memiliki hak untuk dilindungi atau dipelihara oleh orang tuanya. Persepsi yang keliru
beranggapan bahwa hak asuh adalah hak penuh ibunya sampai umur 12 tahun.
Padahal Pengadilan berada pada posisi lain, yakni ingin melindungi anak. Jadi
terkadang kewajiban itu dibebankan kepada bapak atau kadang–kadang kepada ibu
anak itu bisa terpenuhi jika anak bersama bapak ataukah bersama ibunya.
Pertimbangan penentuan hak asuh itu sangat komprehensif. Kalau anak sangat
nyaman dengan bapaknya karena sudah bertahun-tahun dengan bapaknya, lantas ada
fakta-fakta hukum yang menunjukkan anak sudah sangat terpelihara oleh bapaknya,
72
maka saat terjadi sengketa ada kemungkinan hanya akan keluar tambahan perintah
dari Majelis Hakim bahwa memerintahkan kepada bapak si anak untuk membuka
pelaksanaanya tidak terbatas pada kegiatan formalitas yang begitu saja tanpa
dibarengi dengan mendidik yang bertujuan menjadikan anak sehat baik moril maupun
pemikirannya. Salah satu hal yang penting yang mungkin kurang dipertimbangkan
anak merupakan tanggung jawab kedua orang tuanya, baik ketika orang tuanya masih
hidup rukun dalam ikatan perkawinan maupun ketika mereka gagal karena terjadi
perceraian.
Hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz akibat terjadi perceraian dalam
berbagi literatur fiqh diutamakan kepada ibunya, dan apabila anak tersebut sudah
mumayyiz, anak tersebut disuruh memilih kepada siapa di antara ayah ataupun ibu.
Hak pemeliharaan dalam UU Perkawinan, sekalipun kedua orang tua tersebut tidak
bersama lagi, dalam hal ini adalah bercerai, baik ibu ataupun ayah dari anak tersebut
kepentingan anak, jika terjadi sengketa mengenai hak pemeliharaan anak maka sudah
jelas hakim Pengadilan Agama yang akan memberi keputusan sesuai dengan bukti-
bukti dan keterangan dari saksi yang diajukan kepada Pengadilan Agama dalam
persidangan.
73
Kemudian dalam kompilasi hukum Islam yang merupakan hukum materi di
lingkungan Peradilan Agama, dalam pasal 105 disebutkan, bahwa pemeliharaan anak
yang belum mumayyiz adalah hak ibunya. Karena ibu mempunyai tahap kasih sayang
serta kesabaran yang lebih tinggi, selain itu seorang ibu lebih lembut ketika menjaga
dan mendidik anaknya terlebih anak yang masih dalam usia menyusui ibu
mempunyai sesuatu yang dimiliki semua orang. Akan tetapi hak mutlak yang dimiliki
Perlindungan anak mengutamakan kepentingan anak dari pada kepentingan orang tua.
Kalau kita lihat pada kasus Tamara dan Rafli yang dalam putusannya
dinyatakan bahwa Tamara sebagai ibu tidak layak untuk menerima hak asuh karena
pekerjaannya, tidak mempunyai waktu yang pasti untuk memelihara anak tersebut
dan Tamara pun sering berangkat pagi pulang sore, bahkan sampai malam, sehingga
jika anak ditetapkan di bawah hadhanah Tamara maka anak tersebut akan kurang
mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari ibunya karena kesibukan Tamara
dengan pekerjaanya, dalam hal ini akan mempengaruhi perkembangan jiwa seorang
Selain itu anak juga makhluk sosial seperti layaknya orang dewasa. Anak
74
karena anak lahir dengan segala kelemahannya sehingga tanpa bantuan orang dewasa
anak tidak dapat mungkin dapat mencapai taraf kemanusian yang normal.
semua itu membutuhkan orang dewasa yang penuh totalitas memperhatikan fase-fase
perkembangan anak, karena perkembangan pada suatu fase merupakan dasar bagi
fase selanjutnya. Selain totalitas harus dibutuhkan pula seorang yang amanah dan
berakhlak. Lalu kita kembali melihat kasus yang terjadi antara Tamara dan Rafli,
bahwa penulis setuju dengan keputusan majelis hakim yang memutuskan bahwa anak
pemeliharaan anak jatuh kepada Rafli sebagai bapaknya bukan kepada Tamara
sebagai ibu. Lebih lanjut perkara tersebut hakim lebih berdasarkan kemaslahatan anak
tersebut.
dengan perspektif kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian. Berdasarkan
ketiga norma ini secara singkat dapat ditarik beberapa catatan sebagai berikut:
1. Bahwa perceraian yang terjadi di antara orang tua, secara umum tetap
bagi anak.
75
2. Bahwa masa kanak-kanak lebih dikonstruksikan kepada pemberikan hak-hak anak
yang berkorelasi dengan kewajiban orang tua. Dengan demikian kekuasaan orang
tua terhadap anak diwujudkan dalam perangkat hak dan kewajiban anak, dan
adanya perceraian orang tua, pada dasarnya Negara memiliki otoritas mengambil
4. Bahwa di dalam konteks hukum nasional dan kepentingan anak, maka Undang-
menjadi landasan rujukan utama bagi para hakim dalam memutuskan perkara.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat penulis simpulkan dari skripsi Hak Asuh Anak di Bawah
Indonesia pada dasarnya tidak menentukan perihal siapakah yang lebih berhak
dalam hal mendapatkan hak pemeliharaan anak. Hal tersebut kembali kepada
tentang hak asuh anak, hak pemeliharaan anak diberikan kepada ayah karena:
a. Ibu dari anak tersebut adalah seorang selebriti/publik figur yang sangat
b. Sering berangkat pagi pulang sore, bahkan sampai malam, sehingga jika
3. Siapapun yang memegang hadhanah harus bisa menjamin kebutuhan anak baik
pendidikan, ekonomi, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan anak. Apabila
seorang ibu dinyatakan cacat artinya tidak layak dalam memenuhi kewajibannya
yaitu sering melantarkan anaknya maka demi kepentingan anak baik secara
77
mental maupun fisik, hak pemeliharaan itu lebih berada ditangan bapak. Pada
prinsipnya ada hal yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak salah satunya
adalah:
a. Yang terbaik untuk anak (best interest or the child). Artinya segala
keputusan.
B. Saran
1. Di dalam materi hak asuh atau hadhanah perlu dikaji lebih luas lagi kepada
perkuliahan.
tidak terjadi perceraian dan anak hasil perkawinan tersebut dapat merasakan
cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh kedua orang tuanya.
pasangan hidup, agar kelak menikah nanti dapat terwujud tujuan dari
78
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-karim
Abdurahman I Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rinek Cipta,1992), Cet.
Ke-1.
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoepe,
1999), Jilid. 2.
Ahmad Shidik, Hukum Talak dalam Agama Islam, (Surabaya : Putera Pelajar,2001), cet.
1.
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifayatul Akhyar Fii Alli Ghaayatil
Ikhtishaar, Penerjemah Achmad Zainudin dan A. ma’ruf Asrori.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, “Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan”, (Jakarta, Kencana: 2006), Cet. Ke-1.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia “Antara Fikih Munakahat dan
UU Perkawinan”.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, “talak” Ensiklopedi Islam, (Jakarta :PT. Ichtiar
Baru an Hoeve, 1994), cet. Ke-3, jilid 5.
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Akasara, 1996), Cet.
Ke-2.
Jainul Bahry, Kamus Umum “Khusus Bidang Hukum dan Politik”, (Bandung: Angkasa,
1996).
Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), Cet.2.
J.C.T Simorangkir, dkk, Kamus Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. Ke-13.
79
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1987), cet. Ke-2.
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), Cet.
Ke 8.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama,
1996), cet. K-I.
Muhammad Ali Ash Shabuni, shafwatut tafasir, I-III, (Daar al Quran al Kariem, Bairut,
1981).
M. Yahya Harahap SH, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : CV. Zahir Trading,
1975), Cet. 1.
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988).
Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Internusa, 1994), Cet. XXVI.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1995), cet. Ke-27.
Sulaiman Rasjid, Fikih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), cet. Ke-27.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2006).
80
Undang-Undang
United nations children’s fund, Dunia yang layak bagi anak-anak : konveksi hak anak-
anak 1989.
Kompilasi Hukum Islam
81