Anda di halaman 1dari 1

Terjadinya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat ini dilandasi ketidakpuasan dari Kartosoewirjo

terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Waktu itu, kemerdekaan RI dibayang-bayangi kehadiran


Belanda yang masih ingin berkuasa atas Indonesia. Di awal tahun 1948, terjadi pertemuan antara SM
Kartosoewirjo dengan Panglima Laskar Sabilillah dan Raden Oni Syahroni. Pertemuan ini terjadi
karena mereka menentang adanya Perjanjian Renville. Mereka menganggap perjanjian tersebut tidak
melindungi warga Jawa Barat. Kartosoewirjo lantas mengubah penolakannya dengan membentuk
negara Islam yaitu Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh dirinya sendiri.

Maklumat NII

Kartosoewirjo memproklamasikan hadirnya NII sebagai negara melalui maklumat pemerintah No


II/7. Dalam maklumat disebutkan bahwa 17 Agustus 1945 adalah akhir masa kehidupan Indonesia.
Kartosoewirjo memantapkan keputusannya untuk mengklaim seluruh wilayah Indonesia sebagai
kekuasaan dari NII. NII kemudian meluas di beberapa wilayah dan diberi nama Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII).

Penangkapan

Pemerintah mengeluarkan peraturan No. 59 Tahun 1958 yang berisikan tentang penumpasan DI/TII.
Dengan cara menerapkan taktik Pagar Betis, Taktik Pagar Betis ini dilakukan dengan menggunakan
tenaga rakyat dengan jumlah ratusan ribu untuk mengepung tempat persembunyian DI/TII untuk
mempersempit ruang gerak DI/TII. Tertangkapnya Kartosoewirjo ini menjadi awal mula teratasinya
pemberontakan DI/TII. Banyak dari mereka yang memutuskan untuk menyerah

Salah satu isi Perjanjian Renvile adalah pasukan RI dsri daerah-daerah yang berada di dalam garis van
Mook harus pindah ke daerah yang dikuasai RI. Perjanjian yang merugikan Indonesia membuka
peluang kartosuwiryo untuk mendirikan negara Islam. Laskar Hisbullah dan Sabilillah yang sudah
berada di bawah pengaruh Kartusuwiryo tidak mau dipindahkan dari jawa barat ke jawa tengah dan
malah membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Kekosongan kekuasaan RI di Jawa Baarat
dimanfaatkan Kartosuwiryo.

Mendengar adanya dukungan Batalyon 426 terhadap gerakan Darul Islam, Mayor Munawar dan
Kapten Sofyan mendapat perintah untuk menghadap ke markas Divisi Diponegoro untuk
diperiksa pada tanggal 7 Desember 1951. Hanya Kapten Sofyan yang datang ke markas
sedangkan Kapten Sofyan menolaknya. Kapten Sofyan mengakui bahwa tiga kompinya telah
bergabung dengan Darul Islam. [4]

Pemberontakan[sunting | sunting sumber]


Desember 1951[sunting | sunting sumber]

Anda mungkin juga menyukai