Anda di halaman 1dari 9

DI / TII

(Darul Islam/Tentara Islam Indonesia)


DI / TII
(Darul Islam/Tentara Islam Indonesia)

Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau DI/TII adalah sebuah


gerakan pemberontakan yang bertujuan untuk mendirikan Negara Islam
Indonesia (NII). Pemberontakan ini dimulai di Jawa Barat, lalu menyebar
ke berbagai daerah lain seperti Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan
Kalimantan Selatan. Latar belakang terjadinya pemberontakan
dikarenakan ketidakpuasan para tokoh DI/TII terhadap pemerintah
Indonesia pasca kemerdekaan negara Indonesia
TOKOH DI / TII

1. S.M. Kartosuwirdjo - Jawa Barat

2. Amir Fatah – Jawa Tengah

3. Kahar Muzakar - Sulawesi Selatan

4. Ibnu Hajar – Kalimantan Selatan

5. Daud Beureuh - Aceh


JAWA BARAT

Penyebab terjadinya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dilatarbelakangi oleh rasa


tidak puas dari Kartosuwiryo terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Sebab, kemerdekaan
RI saat itu masih dibayang-bayangi oleh kehadiran Belanda yang masih berusaha menduduki
kembali Indonesia, terlebih setelah perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948.

Menurut Kartosuwiryo, perjanjian Renville justru banyak memberi kerugian bagi


pihak Indonesia. Sebab, wilayah Indonesia menjadi lebih sedikit, sedangkan Belanda
menguasai wilayah-wilayah hasil pangan. Selain itu, perjanjian Renville juga dianggap tidak
dapat melindungi warga Jawa Barat. Akibatnya, Kartosuwiryo yang merasa kecewa, memilih
mendirikan negara Islam yang bernama Negara Islam Indonesia (NII) yang ia pimpin sendiri.
Ia memproklamasikan berdirinya NII melalui maklumat pemerintah No II/7. Pemberontakan
ini berakhir pada 1950 setelah Kartosuwiryo dibekuk oleh Letnan Suhanda, pemimpin Kompi
C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi.
JAWA TENGAH

Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah terjadi sekitar tahun 1949-1950,


dipimpin oleh Amir Fatah. Memiliki alasan yang kurang lebih sama seperti di Jawa
Barat, Amir Fatah dan masyarakat lainnya melakukan pemberontakan karena merasa
tidak puas dengan perjanjian Renville. Sebab, perjanjian ini berdampak pada
terjadinya persengketaan di wilayah Pekalongan, Jawa Tengah. Alhasil, Amir Fatah
memutuskan bergabung ke dalam NII pada 23 Agustus 1949. Setelah itu, Amir Fatah
langsung menyerang TNI dan beberapa desa, seperti Desa Rokeh Djati dan
Pagerbarang. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah baru berakhir pada 22 Desember
1950, setelah para pelaku, termasuk Amir Fatah, berhasil ditangkap.
SULAWESI SELATAN

Kahar Muzakkar adalah pemimpin dari Komando Gerilya Sulawesi Selatan


(KGSS). Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan terjadi akibat adanya perbedaan cara
pandang pemerintah dengan Kahar Muzakkar yang berkaitan dengan reorganisasi
APRIS/TNI. Sebagai pemimpin KGSS, Muzakkar menyarankan seluruh anggotanya
mendaftar ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Namun,
pada akhirnya, banyak dari mereka yang ditolak menjadi anggota APRIS karena
dianggap tidak memenuhi syarat. Kahar Muzakkar yang merasa kecewa dengan
keputusan APRIS mulai melancarkan aksi pemberontakan. Aksi pertama terjadi pada
1950-1952, sedangkan yang kedua terjadi pada 1953-1965. Berjalan selama kurang
lebih 15 tahun, pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan baru berakhir setelah Kahar
Muzakkar ditembak mati.
KALIMANTAN SELATAN

Penyebab pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan adalah rasa kecewa Ibnu Hadjar
terhadap reorganisasi TNI, salah satunya ALRIS Divisi IV, kelompok tempat ia bertugas. Sebab,
reorganisasi ini membuat beberapa anggota ALRIS Divisi IV diberhentikan karena dianggap tidak
memenuhi syarat. Dari sinilah kekecewaan Ibnu Hadjar bermula yang akhirnya membentuk pasukan
gerilya sendiri bernama Kesatuan Rakyat yang Tertindas. Ia melakukan serangan pertama ke kesatuan
tentara di Kalimantan Selatan pada Maret 1950. Ibnu Hadjar berhasil mengumpulkan massa sebanyak
60 orang dan melakukan serangan pertama ke kesatuan tentara. Setelah melakukan serangan ini, jumlah
pasukan Ibnu Hadjar justru bertambah banyak, mencapai 250 orang. Ibnu Hadjar pun kembali
melakukan serangan pada Oktober 1950. Di tengah peristiwa ini, Ibnu Hadjar sempat beberapa kali
menyerahkan diri, tetapi pada akhirnya membelot. Barulah pada 1963, Ibnu Hadjar menyerahkan diri
secara penuh setelah mendapat perjanjian pengampunan. Lalu, pada 1965, ia dibawa ke Jakarta untuk
mengikuti proses pengadilan di Mahkamah Militer. Berdasarkan keputusan pengadilan pada 11 Maret
1965, Ibnu Hadjar resmi dijatuhi hukuman mati. Ia meninggal dunia setelah dieksekusi pada 22 Maret
1965.
ACEH

Pada 20 September 1953, pemberontakan DI/TII terjadi di Aceh dan dipimpin oleh
Daud Beureueh. Daud Beureueh merupakan pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh.
Pemberontakan yang terjadi di Aceh sendiri berawal dari adanya pernyataan proklamasi terkait
berdirinya NII di bawah kuasa Kartosuwiryo. Pada waktu itu, Provinsi Aceh memang masih
melebur ke Provinsi Sumatera Utara yang beribu kota di Medan. Keputusan peleburan ini
sendiri dianggap tidak menghargai jasa baik yang sudah dilakukan masyarakat Aceh sewaktu
berjuang mempertahankan kedaulatan NKRI pada masa revolusi.
Kekesalan Daud juga semakin memuncak karena Presiden Soekarno pernah berjanji
bahwa Aceh boleh menerapkan syariat Islam dan tetap menjadi salah satu provinsi di
Indonesia pada 1948. Daud merasa seperti dibohongi oleh Presiden Soekarno sehingga ia
memutuskan melakukan pemberontakan dan menyatakan diri bergabung dengan DI/TII yang
dipelopori Kartosuwiryo. Meskipun berjalan cukup pelik, pemberontakan DI/TII di Aceh
mampu diselesaikan dengan cara musyawarah pada 1962.
RANGKUMAN

1. Di Jawa Barat, Kartosuwiryo membentuk DI/TII sebagai bentuk protes dan ketidakpuasannya atas
persetujuan Renville dengan Belanda yang membuat Indonesia belum mampu sepenuhnya lepas dari
penjajahan Belanda. Bentuk protes dilayangkan dengan mendirikan negara dengan kedaulatan sendiri.

2. Jawa Tengah juga memiliki alasan yang identik dengan Jawa Barat yaitu ketidakpuasan daerah akan
persetujuan Renville yang dianggap merugikan bangsa Indonesia dan membuat Indonesia belum bisa
merdeka sepenuhnya.

3. Di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar dan Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh
Ibnu Hajar terkait militer. Keduanya memang berasal dari latar belakang militer.

4. Di Kalimantan Selatan, Kahar Muzakkar kecewa akan reorganisasi APRIS/TNI yang membuat banyak
bawahannya yang tidak bisa diterima. Kalimantan Selatan juga memiliki alasan yang sama.

5. Di Aceh, yang dipimpin oleh Daud Beureueh, disebabkan kekecewaan terhadap Soekarno yang ingkar
bahwa Aceh akan dijadikan daerah istimewa dengan hak untuk menjalankan syariat Islam tersendiri.

Anda mungkin juga menyukai