Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Otak dan Pembuluh Darah


Sistem saraf merupakan salah satu sistem dalam tubuh yang dapat berfungsi
sebagai media komunikasi antar sel maupun organ dan dapat berfungsi sebagai
pengendali berbagai sistem organ lain yang berjalan relatif cepat dibandingkan
dengan sistem humoral, karena komunikasi berjalan melalui proses penghantaran
impuls listrik disepanjang saraf. Berdasarkan struktur dan fungsinya, sistem saraf
secara garis besar dapat dibagi dalam sistem saraf pusat (SSP) yang terdiri dari otak
dan medula spinalis dan sistem saraf tepi (SST). Didalam sistem saraf pusat terjadi
berbagai proses analisis informasi yang masuk serta proses sintesis dan
mengintegrasikannya.1
Otak merupakan bagian sistem saraf pusat dimana dalam pembagiannya
digolongkan menjadi korteks serebri, ganglia basalis, thalamus dan hypothalamus,
mesenchepalon, batang otak, dan serebelum. Bagian ini dilindungi oleh tiga selaput
pelindung (meningens) yaitu duramater, arachnoidea, piamater dan dilindungi oleh
tulang tengkorak.2
Otak terdiri dari neuron – neuron, sel glia, cairan serebrospinalis, dan
pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama yaitu sekitar 100
miliar tetapi jumlah koneksi diantara berbagai neuron tersebut berbeda – beda. Orang
dewasa yang mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa di dalam darah
arterinya hanya membentuk sekitar 2% atau 1,4 kg koneksi neuron dari berat tubuh
total.3
Menurut American Heart Association (AHA) dalam Family Guide to Stroke,
otak adalah organ manusia yang kompleks. Setiap area dari otak mempunyai fungsi
khusus. Otak merupakan organ tubuh yang ikut berpartisipasi pada semua kegiatan
tubuh, yang dapat berupa bergerak, merasa, berfikir, berbicara, emosi, mengenang,
berkhayal, membaca, menulis, berhitung, melihat, mendengar, dan lain-lain. Bila
bagian-bagian dari otak ini terganggu, misalnya suplai darah berkurang, maka
tugasnya pun dapat terganggu.1

35
Otak membutuhkan banyak oksigen. Berat otak hanya 2,5% dari berat badan
seluruhnya, namun oksigen yang dibutuhkan hampir mencapai 20% dari kebutuhan
badan seluruhnya. Oksigen ini diperoleh dari darah. Pada keadaan normal, darah
yang mengalir ke otak Cerebro Blood Flow (CBF) adalah 50-60 ml/100 g
otak/menit. Ada 3 selaput yang melapisi otak, yaitu duramater, araknoid dan pia
mater.1

Gambar 2.1 Selaput Otak

Suplai darah ke otak melalui dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis (kanan
dan kiri) dan arteri karotis interna (kanan dan kiri). Arteri vertebralis menyuplai
darah ke area belakang dan area bawah dari otak, sampai di tempurung kepala dan
arteri karotis interna menyuplai darah ke area depan dan area atas otak.1
Cabang-cabang dari arteri vertebralis dan arteri karotis interna bersatu
membentuk Sirkulus Willisi. Sistem ini memungkinkan pembagian darah di dalam
kepala untuk mengimbangi setiap gerakan leher jika aliran darah dalam salah satu
pembuluh nadi leher mengalami kegagalan.1
Ada dua hemisfer serebri (belahan otak), yaitu hemisfer serebri sinistra (kiri)
dan hemisfer serebri dextra (kanan). Hemisfer serebri sinistra (kiri) berfungsi dalam
mengendalikan gerakan sisi kanan tubuh, seperti berbicara, berhitung dan menulis,
sedangkan hemisfer serebri dextra (kanan) berfungsi dalam mengendalikan gerakan
sisi kiri tubuh, seperti perasaan, kemampuan seni, keterampilan dan orientasi.1

36
Gambar 2.2 Sirkulusi Wilisi

Fungsi-fungsi dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik,
sebagai pusat sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik, sebagai
area wernicke atau pusat bicara sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak kecil
yang berfungsi sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat
jalan serabut-serabut saraf ke target organ.

2.2 Definisi
Stroke menurut WHO (World Health Organisation) adalah suatu tanda klinis
yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal atau global dengan gejala-gejala
yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa
adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Stroke dengan defisit neurologik
yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak.2
Secara umum, stroke digunakan sebagai sinonim Cerebro Vascular Disease
(CVD) dan kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia (KIPDI) mengistilahkan
stroke sebagai penyakit akibat gangguan peredaran darah otak (GPDO).

2.3 Epidemiologi
Di Indonesia, penyebab kematian utama pada semua umur adalah stroke
(15,4%), yang disusul oleh TB (7,5%), Hipertensi (6,8%), dan cedera (6,5%). Hasil

37
Riskesdas 2007, prevalensi stroke di Indonesia ditemukan sebesar 8,3 per 1.000
penduduk, dan yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 6 per 1.000.
Prevalensi stroke tertinggi Indonesia dijumpai di Nanggroe Aceh Darussalam (16,6
per 1.000 penduduk) dan terendah di Papua (3,8 per 1.000 penduduk).3

2.4 Klasifikasi
Stroke sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi vaskular
serebral, dapat dibagi dalam:4
1. Transient Ischemic Attack (TIA)
2. Stroke in evolution
3. Completed stroke, yang bisa dibagi dalam:
a. Completed stroke hemoragik
b. Completed stroke non hemoragik

Pembagian klinis lain sebagai variasi klasifikasi diatas ialah:5


1. Stroke non hemoragik, yang mencakup:
a. TIA
b. Stroke in evolution
c. Thrombotic stroke
d. Embolic stroke
e. Stroke, akibat kompresi terhadap arteri oleh proses diluar arteri seperti
tumor, abses, granuloma
2. Stroke hemoragik

Klasifikasi stroke dalam jenis yang hemoragik dan non hemoragik


memisahkan secara tegas kedua macam itu, seolah-olah dapat dibedakan
berdasarkan manifestasi klinis masing-masing. Walaupun peningkatan tekanan
intrakranial yang serentak mengiringi “stroke” hemoragik cenderung
menghasilkan sakit kepala dan muntah-muntah beserta penuruna derajat
kesadaran, namun demikian semua gejala itu pun dapat dijumpai pada stroke non
hemoragik (trombotik). Satu-satunya cara yang akurat untuk mendiferensiasi
stroke hemoragik dan non hemoragik ialah dengan bantuan CT scan dan pungsi
lumbal.4

38
Ada beberapa macam klasifikasi stroke. Salah satu yang sering digunakan
adalah klasifikasi modifikasi Marshall, yang membagi stroke atas:5
I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
1. Stroke Iskemik
a) Transient Ischemic Attack
b) Trombosis serebri
c) Emboli serebri
2. Stroke Hemoragik
a) Perdarahan intraserebral
b) Pedarahan subarakhnoid

II. Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu


1. Transient Ischemic Attack
2. Stroke in evolution
3. Completed stroke

III. Berdasarkan sistem pembuluh darah


1. Sistem karotis
2. Sistem vertebro-basiler

Stroke iskemik dapat terjadi berdasarkan 3 mekanisme yaitu trombosis


serebri, emboli serebri dan pengurangan perfusi sitemik umum. Trombosis serebri
adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih
pembuluh darah lokal. Emboli serebri adalah pembentukan material dari tempat
lain dalam sistem vaskuler dan tersangkut dalam pembuluh darah tertentu
sehingga memblokade aliran darah. Pengurangan perfusi sistemik dapat
mengakibatkan kondisi iskemik karena kegagalan pompa jantung atau proses
perdarahan atau hipovolemik. Stroke hemoragik terjadi akibat pecahnya
pembuluh darah baik di dalam jaringan otak yang mengakibatkan perdarahan
intraserebral, atau di ruang subarakhnoid yang menyebabkan perdarahan
subarakhnoid.5

39
2.5 Etiologi
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan
oleh emboli ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non
hemoragik juga dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan
seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah menuju otak menyebabkan
timbulnya kaskade iskemik yang berujung pada terjadinya kematian neuron dan
infark serebri.6
1. Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan
tetapi dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.7
a) Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
 Penyakit jantung dengan “shunt” yang menghubungkan bagian
kanan dengan bagian kiri atrium atau ventrikel;
 Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang
meninggalkan gangguan pada katup mitralis;
 Fibralisi atrium;
 Infark kordis akut;
 Embolus yang berasal dari vena pulmonalis
 Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial,
jantung miksomatosus sistemik;
b) Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
 Embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis.
 Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.
 Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit
“caisson”).
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari
right-sided circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli
kardiogenik adalah trombi valvular seperti pada mitral stenosis,
endokarditis, katup buatan), trombi mural (seperti infark miokard, atrial
fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan atrial miksoma.
Sebanyak 2-3% stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard dan 85% di
antaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya infark miokard.6

40
2. Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus
Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling
sering adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah
distribusi dari arteri karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat
menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah (sehingga meningkatkan
risiko pembentukan trombus aterosklerosis (ulserasi plak), dan perlengketan
platelet. Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia
sickle sel, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi
yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang
menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya
stroke trombotik (contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).6

2.6 Faktor Risiko


A. Non modifiable risk factors
 Usia
 Jenis kelamin
 Keturunan / genetik
Usia, jenis kelamin, ras, etnis, dan keturunan diketahui merupakan
pertanda risiko stroke. Walaupun faktor risiko ini tidak dapat dimodifikasi,
apabila diketahui adanya faktor risiko ini, memungkinkan untuk
diidentifikasinya pasien dengan risiko yang tinggi, sehingga dapat dilakukan
terapi yang lebih cepat terhadap faktor risiko yang dapat dimodifikasi.
Usia merupakan faktor risiko tunggal yang berperan pada penyakit
stroke. Setiap kenaikan 10 tahun setelah usia 55 tahun, risiko stroke meningkat
dua kali pada pria dan wanita. Insidens stroke ditemukan 1,25 lebih banyak
pada pria.7
Peningkatan insidens stroke dalam keluarga disebabkan karena beberapa
hal, antara lain, kecenderungan genetik, dan paparan lingkungan atau gaya
hidup yang mirip. Pada penelitian Framingham, menunjukkan bahwa riwayat
dari ayah dan ibu berhubungan dengan peningkatan risiko stroke. Risiko stroke

41
juga meningkat apabila ditemukan saudara derajat satu mempunyai penyakit
jantung koroner atau stroke sebelum usia 55 tahun (laki-laki) atau 65 tahun
(wanita).
Riwayat seseorang pernah mengalami gejala stroke (TIA/Transient
ischemic attack) meningkatkan risiko 10 kali dibandingkan seseorang yang
tidak memiliki riwayat stroke. Riwayat penyakit jantung sebelumnya juga
memiliki risiko yang sama.7
B. Modifiable risk factors
 Behavioral risk factor8
1. Merokok
2. Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol
3. Alkoholik
4. Obat-obatan : narkoba (kokain), antikoagulansia, anti platelet, obat
kontrasepsi
 Physiological risk factors
1. Penyakit hipertensi
2. Penyakit jantung
3. Diabetes mellitus
4. Infeksi/lues,arthritis,traumatik,AIDS,lupus
5. Gangguan ginjal
6. Kegemukan(obesitas)
7. Polisitemia,viskositas darah meninggi dan penyakit perdarahan
8. Kelainanan atomi pembuluh darah
Hipertensi adalah faktor risiko yang paling kuat dan sering memicu ICH.
Lebih dari 12,7 juta penderita stroke juga menderita hipertensi.7 Pada kasus
stroke hemoragik, sekitar 60% kasus ICH menderita hipertensi. 10 Risiko ICH
diketahui meningkat berhubungan dengan tingkat tekanan darah sistolik.
Hipertrofi ventrikel kiri juga berhubungan dengan peningkatan stroke
hemoragik sebanyak dua sampai tujuh kali.
Rendahnya sosioekonomi, penyakit mental, dan stres psikososial juga
merupakan faktor risiko stroke. Sosioekonomi rendah diketahui berhubungan
dengan peningkatan risiko stroke. Depresi, adanya stres hidup kronik, dan

42
gangguan panik meningkatkan risiko terjadinya stroke.Obat-obatan lain seperti
kontrasepsi oral dan terapi pengganti hormon juga meningkatkan risiko stroke.
Faktor risiko lainnya, yaitu konsumsi alkohol, diketahui apabila konsumsi
alkohol satu hingga dua gelas per hari dapat menurunkan risiko sebanyak 30%.
Namun, peminum berat dapat merusak miokardium.
Tingginya kadar kolesterol total, LDL, dan trigliserida, dan rendahnya
kadar kolesterol HDL meningkatkan risiko stroke. Hal yang sama juga terjadi
pada merokok. Merokok secara pasif merupakan faktor risiko tambahan untuk
stroke. Kurangnya aktivitas fisik akan meningkatkan risiko stroke dan PJK
sebanyak 50%.8

2.7 Patofisiologi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik, salah satunya
adalah aterosklerosis, dengan mekanisme thrombosis yang menyumbat arteri besar
dan arteri kecil, dan juga melalui mekanisme emboli. Pada stroke iskemik,
penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur arteri yang menuju ke otak.
Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan
cara:9
1. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi
aliran darah.
2. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau
perdarahan aterom.
3. Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli
menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang
kemudian dapat robek.
Suatu penyumbatan total dari aliran darah pada sebagian otak akan
menyebabkan hilangnya fungsi neuron yang bersangkutan pada saat itu juga. Bila
anoksia ini berlanjut sampai 5 menit maka sel tersebut dengan sel penyangganya
yaitu sel glia akan mengalami kerusakan ireversibel sampai nekrosis beberapa jam
kemudian yang diikuti perubahan permeabilitas vaskular disekitarnya dan masuknya
cairan serta sel-sel radang.

43
Di sekitar daerah iskemi timbul edema glia, akibat berlebihannya H+ dari
asidosis laktat. K+ dari neuron yang rusak diserap oleh sel glia disertai rentensi air
yang timbul dalam empat hari pertama sesudah stroke. Edem ini menyebabkan
daerah sekitar nekrosis mengalami gangguan perfusi dan timbul iskemi ringan tetapi
jaringan otak masih hidup. Daerah ini adalah iskemik penumbra. Bila terjadi stroke,
maka di suatu daerah tertentu dari otak akan terjadi kerusakan (baik karena infark
maupun perdarahan). Neuron-neuron di daerah tersebut tentu akan mati, dan neuron
yang rusak ini akan mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya akan membanjiri sel-
sel disekitarnya. Glutamat ini akan menempel pada membran sel neuron di sekitar
daerah primer yang terserang. Glutamat akan merusak membran sel neuron dan
membuka kanal kalsium (calcium channels). Kemudian terjadilah influks kalsium
yang mengakibatkan kematian sel. Sebelumnya, sel yang mati ini akan
mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya akan membanjiri lagi neuron-neuron
disekitarnya. Terjadilah lingkaran setan. Neuron-neuron yang rusak juga akan
melepaskan radikal bebas, yaitu charged oxygen molecules (seperti nitric acida atau
NO), yang akan merombak molekul lemak didalam membran sel, sehingga membran
sel akan bocor dan terjadilah influks kalsium. Stroke iskemik menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke otak yang menyebabkan kematian sel.

2.8 Gambaran Klinis


Jenis stroke (hemoragik atau non hemoragik) secara umum tidak menyebabkan
perbedaan dari tampilan gejala, kecuali bahwa pada jenis hemoragik sering kali
ditandai dengan nyeri kepala hebat terutama terjadi saat bekerja.
Tabel 2.1. Perbedaan klinis stroke non hemoragik dan stroke
hemoragik
Gejala atau Stroke non hemoragik Stroke hemoragik
pemeriksaan
Gejala yang TIA (+) TIA (-)
mendahului
Beraktivitas/istirahat Istirahat, tidur atau segera Sering pada waktu
setelah bangun tidur aktifitas
Nyeri kepala dan Jarang Sangat sering dan hebat

44
muntah
Penurunan kesadaran Jarang Sering
waktu onset
Hipertensi Sedang, normotensi Berat, kadang-kadang
sedang
Rangsangan meningen Tidak ada Ada
Defisit neurologis fokal Sering kelumpuhan dan Defisit neurologik cepat
gangguan fungsi mental terjadi
CT-Scan kepala Terdapat area hipodensitas Massa intrakranial dengan
area hiperdensitas
Angiografi Dapat dijumpai gambaran Dapat dijumpai aneurisma,
penyumbatan, AVM, massa intrahemisfer
penyempitan dan atau vasospasme
vaskulitis

A. Pada Stroke Non-Haemoragik


 Sering terjadi pada bangun pagi/waktu istirahat
 Ada Riwayat TIA
 Tidak nyeri kepala, kejang,
 Tidak muntah,
 biasanya kesadaran normal
 tidak ada gejala meningeal
Membedakan Trombosis dan Emboli
 Trombosis :
- Sering terjadi pada bangun pagi.
- Sering terjadi pada usia lanjut
 Emboli :
- Kejadian mendadak dgn gejala yg menetap
- Sering bersumber pada penyakit jantung
- Sering pada usia muda

45
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah
di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi
tempat gangguan peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah:
b. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna7
- Buta mendadak (amaurosis fugaks).
- Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia)
bila gangguan terletak pada sisi dominan.
- Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis
kontralateral) dan dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.
c. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior
- Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih
menonjol.
- Gangguan mental
- Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh
- Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air
- Bisa terjadi kejang-kejang.
d. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media
- Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih
ringan. Bila tidak dipangkal maka lengan lebih menonjol
- Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh
- Hilangnya kemampuan dalam berbahasa (aphasia)
e. Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasiliar
- Kelumpuhan di satu sampai keempat ektremitas
- Meningkatnya refleks tendon
- Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh
- Gejala-gejala sereblum seperti tremor dan kepala berputar (vertigo)
- Ketidakmampuan untuk menelan (disfagia)
- Gangguan motoris pada lidah, mulut, rahang dan pita suara sehingga
pasien sulit bicara (disatria)
- Kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran secara
lengkap (strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan
daya ingat terhadap lingkungan (disorientasi)

46
- Gangguan penglihatan, seperti penglihatan ganda (diplopia), gerakan
arah bola mata yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan
kelopak mata (ptosis), kurangnya daya gerak mata, kebutaan setengah
lapangan pandang pada belahan kanan atau kiri kedua mata
(hemianopia homonim).
- Gangguan pendengaran
- Rasa kaku di wajah, mulut dan lidah.
f. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior
- Koma
- Hemiparesis kontralateral
- Ketidakmampuan membaca (aleksia)
- Kelumpuhan saraf kranialis ketiga
g. Gejala akibat gangguan fungsi luhur
Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia
dibagi dua yaitu, Aphasia motorik adalah ketidakmampuan untuk berbicara,
mengeluarkan isi pikiran melalui perkataannya sendiri, sementara
kemampuannya untuk mengerti bicara orang lain tetap baik. Aphasia
sensorik adalah ketidakmampuan untuk mengerti pembicaraan orang lain,
namun masih mampu mengeluarkan perkataan dengan lancar, walau
sebagian diantaranya tidak memiliki arti, tergantung dari luasnya kerusakan
otak.
Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan
otak. Dibedakan dari Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu
Verbal alexia adalah ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat
membaca huruf. Lateral alexia adalah ketidakmampuan membaca huruf,
tetapi masih dapat membaca kata. Jika terjadi ketidakmampuan keduanya
disebut Global alexia.
Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya
kerusakan otak.Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan
mengenal angka setelah terjadinya kerusakan otak.
Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah
sejumlah tingkat kemampuan yang sangat kompleks, seperti penamaan,

47
melakukan gerakan yang sesuai dengan perintah atau menirukan gerakan-
gerakan tertentu. Kelainan ini sering bersamaan dengan Agnosia jari (dapat
dilihat dari disuruh menyebutkan nama jari yang disentuh sementara
penderita tidak boleh melihat jarinya).
Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya
kemampuan melaksanakan bermacam perintah yang berhubungan dengan
ruang.Syndrome Lobus Frontal, ini berhubungan dengan tingkah laku akibat
kerusakan pada kortex motor dan premotor dari hemisphere dominan yang
menyebabkan terjadinya gangguan bicara.
Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada trauma
capitis, infeksi virus, stroke, anoxia dan pasca operasi pengangkatan massa
di otak.Dementia adalah hilangnya fungsi.
A. Pada Stroke Haemoragik /Stroke Perdarahan
 Serangan pada saat aktif
 Nyeri Kepala yang hebat
 Muntah
 Kaku duduk
 Gangguan Kesadaran
 Perdarahan retina
 Kejang-kejang
 Gangguan gerakan Bola Mata
 Funduskopi: Papil edema
1) Perdarahan intraserebral10
Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus
stroke, terdiri dari 80% di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan
serebelum.
Gejala klinis :
 Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu
melakukan aktivitas dan dapat didahului oleh gejala prodromal
berupa peningkatan tekanan darah yaitu nyeri kepala, mual, muntah,
gangguan memori, bingung, perdarahan retina, dan epistaksis.

48
 Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai
hemiplegia/hemiparese dan dapat disertai kejang fokal / umum.
 Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral,
refleks pergerakan bola mata menghilang dan deserebrasi.
 Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK),
misalnya papiledema dan perdarahan subhialoid.
2) Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi
perdarahan di ruang subarakhnoid yang timbul secara primer.11
Gejala klinis :
 Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak,
dramatis, berlangsung dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit.
 Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang,
gelisah dan kejang.
 Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar
dalam beberapa menit sampai beberapa jam.
 Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen
 Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala
karakteristik perdarahan subarakhnoid.
 Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi
atau hipertensi, banyak keringat, suhu badan meningkat, atau
gangguan pernafasan.

2.9 Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas hasil:
a. Penemuan Klinis
 Anamnesis
Terutama terjadinya keluhan/gejala defisit neurologik yang
mendadak. Tanpa trauma kepala, dan adanya faktor risiko stroke.
 Pemeriksaan Fisik
Adanya defisit neurologik fokal, ditemukan faktor risiko seperti
hipertensi, kelainan jantung dan kelainan pembuluh darah lainnya.

49
 Pemeriksaan tambahan/Laboratorium
 Pemeriksaan Neuro-Radiologik
Computerized Tomography Scanning (CT-Scan), sangat membantu
diagnosis dan membedakannya dengan perdarahan terutama pada fase
akut. Angiografi serebral (karotis atau vertebral) untuk mendapatkan
gambaran yang jelas tentang pembuluh darah yang terganggu, atau
bila scan tak jelas. Pemeriksaan likuor serebrospinalis, seringkali
dapat membantu membedakan infark, perdarahan otak, baik
perdarahan intraserebral (PIS) maupun perdarahan subarakhnoid
(PSA).11
Pemeriksaan lain-lain
Pemeriksaan untuk menemukan faktor resiko, seperti: pemeriksaan
darah rutin (Hb, hematokrit, leukosit, eritrosit), hitung jenis dan bila
perlu gambaran darah. Komponen kimia darah, gas, elektrolit,
Doppler, Elektrokardiografi (EKG).11

b. Sistem skor
Perbedaan antara stroke hemoragik dan stroke non-hemoragik sangat
penting dalam rangka pengobatan stroke, pengetahuan mengenai taraf
ketepatan pembuktian klinis terhadap stroke hemoragik dan stroke non-
hemoragik yang dapat diandalkan akan sangat membantu para dokter yang
bekerja di daerah terpencil dengan fasilitas pelayanan medis yang sangat
terbatas dan belum tersedianya pemeriksaan penunjang yang memadai
(misalnya CT-Scan). Untuk itu beberapa peneliti mencoba membuat
perbedaan antara kedua jenis stroke dengan menggunakan tabel dengan
sistem skor.11

Skor diagnosis stroke menurut Siriraj

(2,5 X DK) + (2 X MT) + (2 X NK) + (0,1 X TD) – (3 X TA) – 12

1 Kesadaran ( x 2,5 ) Bersiaga 0


Pingsan 1
Semi koma, koma 2
2 Muntah ( x 2 ) No 0

50
Yes 1
3 Nyeri kepala dalam No 0
2 jam ( x 2 ) Yes 1
4 Tekanan Diastolik ( DBP ) DBP x 0,1
5 Atheroma markers ( x 3 ) None 0
diabetes, angina, 1/> 1
claudicatio intermitten

Konstanta - 12
Total skor =
Interpretasi skor
Skor ≤ -1 = Infark
≥1 = Hemoragik

c. Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan
mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia,
trombositosis, trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat
menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti
anemia.
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan
yang memiliki gejala seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat
pula menunjukkan penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes,
gangguan ginjal). Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan
koagulopati pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika
digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan. Biomarker jantung juga
penting karena eratnya hubungan antara stroke dengan penyakit jantung
koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya hubungan anatara
peningkatan enzim jantung dengan hasil yang buruk dari stroke.11

a. Gambaran Radiologi
1. CT scan kepala non kontras
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke
hemoragik dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke
non hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin.
Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi

51
anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan
lain yang gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma,
abses).12

Gambar 2.3 CT Scan pada stroke non hemoragik

Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus


dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense
regional yang menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam
terdapat daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan
pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain
terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign,
hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya
perberdaan gray-white matter.
CT perfusion merupakan modalitas baru yang berguna untuk
mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan
pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region otak dapat diukur.
Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah tersebut.
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT
angiografi (CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek
pengisian arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh
darah penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat memperkirakan
jumlah perfusi karena daerah yang mengalami hipoperfusi memberikan
gambaran hipodense.12

2. MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi
lebih awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan

52
pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit serta
waktu pemeriksaan yang agak panjang. Protokol MRI memiliki banyak
kegunaan untuk pada stroke akut.12

Gambar 2.5 Gambaran MR Angiografi

3. USG, ECG, EKG, Chest X-Ray


Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai
stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan
dupleks karotis. USG transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi
anatomi vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA,
arteri karotis intrakranial, dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG
(ekhokardiografi) dilakukan pada semua pasien dengan stroke non
hemoragik yang dicurigai mengalami emboli kardiogenik.
Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta thorasik.
Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi
pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi
kelainan jantung adalah EKG dan foto thoraks.12

2.10 Tatalaksana
Target managemen stroke non hemoragik akut adalah untuk menstabilkan
pasien dan menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya
pencitraan dan pemeriksaan laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah
pasien tiba. Keputusan penting pada manajemen akut ini mencakup perlu tidaknya
intubasi, pengontrolan tekanan darah, dan menentukan risiko atau keuntungan dari
pemberian terapi trombolitik.4
1. Penatalaksanaan Umum

53
a. Airway and breathing
Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat
atau paten memerlukan intubasi. Jika terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) maka pemberian induksi
dilakukan untuk mencegah efek samping dari intubasi.
b. Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik kristaloid atau koloid 1500-
2000 ml dan elektrolit sesuai dengan kebutuhan hindari cairan
mengandung glukosa dan isotonic.Pemberian nutria per oral jika
fungsi menelanya baik.jika fungsi menelannya terganggu sebaiknya
dianjrkan melalui selang nasogastrik.
c. Pengontrolan gula darah
Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan
prognosis yang kurang baik dan menghambat reperfusi pada
trombolisis.Pasien dengan normoglokemik tidak boleh diberikan
cairan intravena yang mengandung glukosa dalam jumlah besar
karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan memicu iskemik
serebral eksaserbasi.Pengontrolan gula darah harus dilakukan secara
ketat dengan pemberian insulin. Target gula darah yang harus dicapai
adalah 90-140 mg/dl. Pengawasan terhadap gula darah ini harus
dilanjutkan hingga pasien pulang untuk mengantisipasi terjadinya
hipoglikemi akibat pemberian insulin.
d. Kadar glukosa darah >150 mg/dl harus dikoreksi sampai batas gula
darah sewaktu 15 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama
2-3 hari pertama. Hipoglikemia diatasi dengan dextrose 40% iv
sampaoi kembali normal dan di cari penyebabnya.
e. Posisi kepala pasien
Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih
maksimal jika pasien dalam pasien supinasi.Sayangnya, berbaring
telentang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
padahal hal tersebut tidak dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena
itu, pasien stroke diposisikan telentang dengan kepala ditinggikan
sekitar 30-45 derajat.

54
f. Pengontrolan tekanan darah
Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau
peningkatan TIK, pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan
vasoregulator sehingga hanya bergantung pada maen arterial pressure
(MAP) dan cardiac output (CO) untuk mempertahankan aliran darah
otak. Oleh karena itu, usaha agresif untuk menurunkan tekanan darah
dapat berakibat turunnya tekanan perfusi yang nantinya akan semakin
memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan bahwa pemberian terapi
anti hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah yang
ekstrim (sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120
mmHg) atau pasien direncanakan untuk mendapatkan terapi
trombolitik.
g. Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien
stroke non hemoragik adalah sebagai berikut. Jika pasien tidak
direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik, tekanan darah
sistolik kurang dari 220 mmHg, dan tekanan darah diastolik kurang
dari 120 mmHg tanpa adanya gangguan organ end-diastolic maka
tekanan darah harus diawasi (tanpa adanya intervensi) dan gejala
stroke serta komplikasinya harus ditangani.
h. Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik
antara 120-140 mmHg maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20
mmHg IV selama 1-2 menit jika tidak ada kontraindikasi. Dosis dapat
ditingkatkan atau diulang setiap 10 menit hingga mencapai dosis
maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif dapat diberikan nicardipine (5
mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga mencapai efek yang
diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit hingga
mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat diberikan
nitroprusside 0,5 mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump. Target
pencapaian terapi ini adalah nilai tekanan darah berkurang 10-15
persen.
i. Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik
lebih 185 mmHg, dan diastolik lebih dari 110 mmHg maka

55
dibutuhkan antihipertensi. Pengawasan dan pengontrolan tekanan
darah selama dan setelah pemberian trombolitik agar tidak terjadi
komplikasi perdarahan.Preparat antihipertensi yang dapat diberikan
adalah labetolol (10-20 mmHg/IV selama 1-2 menit dapat diulang
satu kali). Alternatif obat yang dapat digunakan adalah nicardipine
infuse 5 mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15 mg/jam.
j. Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah
harus diperiksa setiap 15 menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit
selama 6 jam berikutnya, dan setiap jam selama 16 jam terakhir.
Target terapi adalah tekanan darah berkurang 10-15 persen dari nilai
awal. Untuk mengontrol tekanan darah selama opname maka agen
berikut dapat diberikan
1. TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka
dapat diberikan labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat
diulang selama 10-20 menit hingga maksimal 300 mg atau jika
diberikan lewat infuse hingga 2-8 mg/menit.
2. TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg
dapat diberikan labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine
infuse 5 mg/jam hingga dosis maksimal 15mg/jam.
3. Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD
dihindari karena dapat menyebabkan hipotensi ekstrim.
k. Pengontrolan demam
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami
demam karena hipertermia (utamanya pada 12-24 jam setelah onset)
dapat menyebabkan trauma neuronal iskemik. Sebuah penelitian
eksprimen menunjukkan bahwa hipotermia otak ringan dapat
berfungsi sebagai neuroprotektor.13
l. Pengontrolan edema serebri
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non
hemoragik dan mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset
stroke. Hiperventilasi dan pemberian manitol rutin digunakan untuk
mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat 13

56
m. Pengontrolan kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama
setelah onset. Meskipun profilaksis kejang tidak diindikasikan,
pencegahan terhadap sekuel kejang dengan menggunakan preparat
antiepileptik tetap direkomendasikan13

2. Penatalaksanaan Khusus
a. Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara
intravena akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim
proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein
pembekuan lainnya.13
Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders
and Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih
dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg)
dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara bolus IV sedang sisanya
diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati
pasien tidak mengalami cacat atau hanya minimal.Efek samping dari rt-
PA ini adalah perdarahan intraserebral, yang diperkirakan sekitar
6%.Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah mendapat pengakuan FDA
pada tahun 1996.13
Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute
Stroke Study (ECASS) pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg
(maksimal 100 mg) diberikan secara IV dalam waktu tidak lebih dari 6
jam setelah onset. Memperlihatkan adanya perbaikan fungsi neurologik
tapi secara keseluruhan hasil dari penelitian ini dinyatakan kurang
menguntungkan. Tetapi pada penelitian kedua (ECASS II) pada 800
pasien menggunakan dosis 0,9 mg/kg diberikan dalam waktu tidak lebih
dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih sedikit pasien yang meninggal
atau cacat dengan pemberian rt-PA dan perdarahan intraserebral dijumpai
sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA belum mendapat ijin untuk digunakan di
Eropa.13

57
Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw
dkk mengatakan bahwa terapi trombolisis perlu penelitian random dalam
skala besar sebab resikonya sangat besar sedang manfaatnya kurang
jelas.Lagi pula jendela waktu untuk terapi tersebut masih kurang jelas dan
secara objektif belum terbukti rt-PA lebih aman dari streptokinase. Sedang
penelitian dari The Multicenter Acute Stroke Trial-Europe Study
Group (MAST-E) dengan menggunakan streptokinase 1,5 juta unit dalam
waktu satu jam. Jendela waktu 6 jam setelah onset, ternyata meningkatkan
mortalitas. Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke iskemik akut
tidak dianjurkan13
b. Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang
mengancam. Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak
artinya bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark
lakuner atau infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang memerlukan
penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri
karotisdan infark serebral akibat kardioemboli.Pada keadaan yang terakhir
ini perlu diwaspadai terjadinya perdarahan intraserebral karena pemberian
heparin tersebut. 13
1) Warfarin
Segera diabsorpsi dari gastrointestinal.Terkait dengan protein
plasma. Waktu paro plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi:
lewat urin. Dosis: 40 mg (loading dose), diikuti setelah 48 jam dengan
3-10 mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang merugikan: hemoragi,
terutama ren dan gastrointestinal.13
2) Heparin
Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir.Normal
terdapat pada mast cells. Cepat bereaksi dengan protein plasma yang
terlibat dalam proses pembekuan darah. Heparin mempunyai efek
vasodilatasi ringan.Heparin melepas lipoprotein lipase.Dimetabolisir di
hati, ekskresi lewat urin. Wakto paro plasma: 50-150 menit. Diberikan
tiap 4-6 jam atau infus kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per

58
hari. Bolus initial 50 mg diikuti infus 250 mg dalam 1 liter garam
fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan dengan Whole Blood
Clotting Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level terapetik heparin:
memanjang sampai 15 menit. Reaksi yang merugikan: hemoragi,
alopesia, osteoporosis dan diare. Kontraindikasi: sesuai dengan
antikoagulan oral. Apabila pemberian obat dihentikan segala
sesuatunya dapat kembali normal.Akan tetapi kemungkinan perlu
diberi protamine sulphute dengan intravenous lambat untuk
menetralisir. Dalam setengah jam pertama, 1 mg protamin diperlukan
untuk tiap 1 mg heparin (100 unit).13
c. Hemoreologi
Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu
peningkatan hematokrit, berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas
trombosit, peningkatan kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal
eritrosit, keadaan ini menimbulkan gangguan pada aliran
darah. Pentoxyfilline merupakan obat yang mempengaruhi hemoreologi
yaitu memperbaiki mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan dengan cara:
meningkatkan fleksibilitas eritrosit, menghambat aggregasi trombosit
dan menurunkan kadar fibrinogen plasma. Dengan demikian eritrosit
akan mengurangi viskositas darah.Pentoxyfilline diberikan dalam dosis
16/kg/hari, maksimum 1200 mg/hari dalam jendela waktu 12 jam
sesudah onset.13
d. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)
Aspirin
Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan
sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong adhesi
seperti thromboxane A2.Aspirin merupakan obat pilihan untuk
pencegahan stroke. Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari
50 mg/hari, 80 mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering
dikombinasikan dengan dipiridamol. Suatu penelitian di Eropa (ESPE)
memakai dosis aspirin 975 mg/hari dikombinasi dengan dipiridamol
225 mg/hari dengan hasil yang efikasius.

59
Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin
harus diminum terus, kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan.
Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat diabsorpsi,
konsentrasi di otak rendah.Hidrolise ke asam salisilat terjadi cepat,
tetapi tetap aktif. Ikatan protein plasma: 50-80 persen. Waktu paro (half
time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic
acid dan glycine).Ekskresi lewat urine, tergantung pH.Sekitar 85 persen
dari obat yang diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis.
Reaksi yang merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan,
hipoprotrombinemia dan diduga: sindrom Reye.13
Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin
antara lain adalah kemungkinan terjadi “resistensi aspirin” pada dosis
rendah. Hal ini memungkinkan platelet untuk menghasilkan12-
hydroxy-eicosatetraenoic acid, hasil samping kreasi asam arakhidonat
intraplatelet (lipid – oksigenase).Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi
oleh dosis rendah aspirin, walaupun penghambatan pada tromboksan
A2 terjadi dengan dosis rendah aspirin.13
Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg
(belakangan ada yang memakai 150 mg) mampu secara permanen
merusak pembentukan agregasi platelet.Sayang ada yang mendapatkan
bukti bahwa aspirin tidak efektif untuk wanita.13

2.11 Komplikasi

Menurut Junaidi (2011) komplikasi yang sering terjadi pada pasien stroke
yaitu:14
a. Dekubitus merupakan tidur yang terlalu lama karena kelumpuh dapat
mengakibatkan luka/lecet pada bagian yang menjadi tumpuan saat
berbaring, seperti pinggul, sendi kaki, pantat dan tumit. Luka dekubitus
jika dibiarkan akan menyebabkan infeksi.
b. Bekuan darah merupakan bekuan darah yang mudah terjadi pada kaki
yang lumpuh dan penumpukan cairan.

60
c. Kekuatan otot melemah merupakan terbaring lama akan menimbulkan
kekauan pada otot atau sendi. Penekanan saraf peroneus dapat
menyebabkan drop foot. Selain itu dapat terjadi kompresi saraf ulnar dan
kompresi saraf femoral.
d. Osteopenia dan osteoporosis, hal ini dapat dilihat dari berkurangnya
densitas mineral pada tulang. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
imobilisasi dan kurangnya paparan terhadap sinar matahari.
e. Depresi dan efek psikologis dikarenakan kepribadian penderita atau
karena umur sudah tua. 25% menderita depresi mayor pada fase akut dan
31% menderita depresi pada 3 bulan paska stroke s dan keadaan ini lebih
sering pada hemiparesis kiri.
f. Inkontinensia dan konstipasi pada umumnya penyebab adalah imobilitas,
kekurangan cairan dan intake makanan serta pemberian obat.
g. Spastisitas dan kontraktur pada umumnya sesuai pola hemiplegi dan nyeri
bahu pada bagian di sisi yang lemah. Kontraktur dan nyeri bahu (shoulder
hand syndrome) terjadi pada 27% pasien stroke.
Stroke tidak hanya menyerang orang yang sakit saja tetapi juga dapat
menyerang orang secara fisik yang sehat juga. Stroke datangnya secara tiba-tiba
dalam waktu sejenak, beberapa menit, jam atau setengah hari. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya stress yang tinggi. Stress dan depresi
merupakan gangguan emosi yang paling sering dikaitan dengan stroke dan
mengalami kehilangan kontrol pada diri sendiri, mengalami gangguan daya fikir,
penurunan memori dan penampilan sangat turun sehingga menyebabkan timbul rasa
sedih, marah dan tak berdaya terhadap hidupnya.

2.12 Prognosis
Stroke berikutnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang paling penting
adalah sifat dan tingkat keparahan defisit neurologis yang dihasilkan. Usia pasien,
penyebab stroke, gangguan medis yang terjadi bersamaan juga mempengaruhi
prognosis. Secara keseluruhan, kurang dari 80% pasien dengan stroke bertahan
selama paling sedikit 1 bulan, dan didapatkan tingkat kelangsungan hidup dalam 10
tahun sekitar 35%. Angka yang terakhir ini tidak mengejutkan, mengingat usia lanjut

61
di mana biasanya terjadi stroke. Dari pasien yang selamat dari periode akut, sekitar
satu setengah sampai dua pertiga kembali fungsi independen, sementara sekitar 15%
memerlukan perawatan institusional.9

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, RS. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran “Edisi 6” : alih
bahasa Lilianan Sugiharto. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Indonesia

62
2. Arofah, An. 2011. Penatalaksanaan Stroke Trombotik: Peluang Peningkatan
Prognosis Pasien. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Vol. 7
No. 14 Januari 2011. http://ejournal.umm.ac.id (diakses pada tanggal 21
September 2019)
3. Depkes RI.2007. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta
4. Mardjono, M, dan Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
2014.
5. Rambe, A.S. Stroke: Sekilas Tentang Definisi, Penyebab, Efek, Dan Faktor
Risiko. Departemen Neurologi FK-USU/RSUP H. Adam Malik, Medan. 2009
(Diakses di https://pdfs.semanticscholar.org tanggal 21 September 2019).
6. Bruno A, Kaelin DL, Yilmaz EY. The subacute stroke patient: hours 6 to 72
after stroke onset. In Cohen SN. 2000. Management of Ischemic Stroke. New
York: McGraw-Hill.
7. Axanditya, B. 2014. Hubungan FaktorRisiko Stroke Non Hemoragik dengan
Fungsi Motorik. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro: Jurnal Media
Medika Muda
8. Sjahrir, Hasan. 2003. Stroke Iskemik. Medan: Yandira Agung
9. Price, SA, Wilson, LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
10. Nasissi, Denise. 2010. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview. Diakses tanggal
20 September 2019.
11. Persatuan Dokter Saraf Indonesia. 2011. Guideline Stroke. Jakarta:
PERDOSSI. Hal. 32-41.
12. Yueniwati Y. 2014. Deteksi Dini Stroke Iskemia Dengan Pemeriksaan
Ultrasonografi Vaskular dan Variasi Genetika. Malang: UB Press
13. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman
Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular Edisi Pertama. Jakarta:
Pengurus Pusat PERKI.
14. Junaidi, Iskandar., 2011. Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyakarta : ANDI.

63
64

Anda mungkin juga menyukai