TUJUAN
Setelah membaca bab ini dan memahami komponen dari ATLS, kamu akan mampu
untuk:
4. Menjelaskan teknik untuk mempertahankan dan membuat jalan nafas yang paten.
Hantaran oksigen yang tidak adekuat ke otak struktur vital lain merupakan
pembunuh tercepat pada pasien cedera. Jalan nafas yang aman dan tidak terhambat
mempertahankan jalan nafas, hantaran oksigen, dan ventilasi bantuan adalah prioritas
utama. Suplementasi oksigen harus diberikan pada semua pasien trauma berat.
Kematian dini yang dapat dicegah akibat masalah jalan nafas setelah trauma
gagal dilakukan
Gagal mengenali letak bantuan jalan yang tepat atau tidak mampu
JALAN NAFAS
Langkah pertama dalam mengidentifikask dan menangani gangguan jalan nafas yang
dapat mengancam nyawa adalah dengan mengenli tanda objektif dari obstruksi jalan
nafas dan mengidentifikasi adanya trauma atau luka bakar yang melibatkan wajah,
Gangguan jalan nafas dapat terjadi tiba-tiba dan total, perlahan dan parsial, dan/atau
progresif dan rekuren. Walau seringkalinterkait dengab nyeri atau cemas, ataupun
keduanya, takipnea dapat menjadi tanda awal gangguan jalan nafas dan/atau ventilasi.
Karena itu, asesmen awal dan berulang dari patensi jalan nafas dan keadekuatan
Selama asesmen jalan nafas awal, "pasien yang mampu bicara" dapat
menunjukkan sementara adanya jalan nafas yang paten dan tidak terganggu. Karena
itu, asesmen dini yang paling penting adalah dengan berbicara dengan pasien dan
menstimasi respons verbal. Respons verbal positif dan baik dengan suara yang jelas
menunjukkan bahwa jalan nafas pasien yang paten, ventilasi yang intak, dan perfusi
otak yang cukup. Bila tidak ada respons atau respons tidak sesuai menunjukkan
adanya penurunan kesadaran yang dapat diakibatkan gangguan jalan nafas atau
dan seringkali membutuhkan jalan nafas definitif. Jalan nafas definitif didefinisikan
sebagai suatu tabung yang dipasang dalam trakea dengan balon yang dikembangkan
di bawah pita suara, tabung terhubung ke suatu ventilasi kaya oksigen, dan jalan nafas
dipertahankan dengan metode penstabilisasi yang tepat. Pasien yang tidak sadar
dengan cedera kepala, pasien yang kurang responsif akibat penggunaan alkohol
dan/atau obat lain, dan pasien dengan cedera toraks dapat mengalami gangguan usaha
ventilasi. Pada pasien ini, intubasi endotrakea berguna untuk mempertahankan jalan
nafas, menghantarkan suplementasi oksigen, ventilasi bantuan, dan mencegah
penangan pasien trauma, khususnya pada mereka yang mengalami cedera kepala.
Selain itu, pasien dengan luka bakar wajah dan mereka yang dengan potensi
cedera inhalasi berisiko untuk gangguan respirasi insidius (Gambar 2-1). Karena itu,
Gambar 2-1. Pasien dengan luka bakar wajah dan/atau potensi cedera inhalasi
tinggi aspirasi saat nafas berikutnya. Pada keadaan ini, suction segera dan rotasikan
Kondisi Pencegahan
tersedia
Trauma pada wajah membutuhkan tatalaksana jalan nafas yang agresif namun hati-
hati (Gambar 2-2). Jenis cedera ini seringkali terjadi pada penumpang mobil yang
tidak memakai sabuk pengaman yang terlempar membentur kaca depan atau
dan dislokasi yang mengganggu nasofaring dan orofaring. Struktur wajah dapat
berhubungan dengan perdarahan, bengkak, peningkatan sekresi, dan gigi yang copot,
hilangnha struktur penyangga jalan nafas normal, dan obstruksi jalan nafas dapat
terjadi bila pasien berada pada posisi supinasi. Pasien yang menolak berbaring
sekretnya. Selain itu, memberikan anestesi umum, sedasi, atau relaksan otot dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas total akibat hilangnya atau berkurangnya tonus
otot. Pemahaman mengenai jenis cedera penting untuk memberikan tatalaksana jalan
Gambar 2-2. Trauma pada wajah membutuhkan tatalaksana jalan nafas yang agresif
namun hati-hati.
Trauma Leher
Cedera tembus leher dapat menyebabkan cedera vaskular dengan hematoma besar,
yang dapat menyebabkan dislokasi dan obstruksi jalan nafas. Mungkin diperluka
endotrakea. Perdarahan dari cedera vaskar sekitarnha dapat masif, dan mungkin
laring atau trakea, yang menyebabkan obstruksi jalan nafas dan/atau perdarahan parah
Cedera leher yang melibatkan gangguan laring dan trakea atau kompresi jalan
nafas akibat perdarahan ke jaringan lunak dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas
parsial. Awalnya, pasien dengan cedera jalan nafas serius ini dapat mempertahankan
patensi jalan nafas dan ventilasi. Namun, bila dicurigai adanya gangguan jalan nafas,
diperlukan jalan nafas definitif. Untuk mencegah eksaserbasi cedera jalan nafas yang
telah ada, pasang tabung endotrakea dengan hati-hati dan sebaiknya di bawah
Trauma Laring
Walau fraktur laring jarang terjadi, mereka dapat disertai dengan obstruksi jalan nafas
1. Suara serak
2. Emfisema subkutan
Obstruksi total dari jalan nafas atau distres pernafasan berat akibat obstruksi
namun hanya bila dapat dilakukan dengan cepat. Bila intubasi gagal, diindikasikan
sulit dilakukan pada kondisi darurat, berhubungan dengan perdarahan berat, dan
Cedera tembus laring atau trakea dapat parah dan memerlukan tatalaksana
segera. Transeksi trakea atau oklusi jalan nafas dengan darah atau jaringanunak dapat
menyebabkan gangguan jalan nafas akut yang memerlukan koreksi segera. Cedera
tersebut seringkali terkait dengan trauma esofagus, arteri karotid, atau vena jugularis,
Bising nafas menunjukkan obstruksi jalan nafas parsial yang dapat tiba-tiba
menjadi total, sedangkan tidak adanya suara nafas menunjukkan obstruksi total. Bila
tingkat kesadaran pasien menurun, deteksi obstruksi jalan nafas mungkin sulit, dan
usaha nafas tambahan mungkin menjadi satu-satunya tanda obstruksi jalan nafas atau
cedera trakeobronkial.
Bila dicurigai fraktur laring, berdasarkan mekanisme cedera dan temuan fisik,
Pasien dengan tanda obyektif kesulitan jalan nafas atau terbatas harus ditangani
dengan sangat hati-hati. Hal ini juga berlaku pada pasien obes, abak, lansia, dan
oksigenasi yang tak adekuat dan teridentifikasi melalui inspeksi bantalan kuku
dan kulit sekitar mulut. Namun, sianosis merupakan temuan lanjut dari hipoksia,
dan mungkin sulit terlihat pada kulit berpigmen. Perhatikan retraksi dan
penggunaan otot nafas tambahan, yang bila ada, dapat menjadi bukti tambahan
gurgling, dan crowing (stridor) dapat berhubungan dengan oklusi parsial dari
faring atau laring. Suara serak (disfonia) menunjukkan adanya obstruksi laring
fungsional.
asumsikan intoksikasi.
VENTILASI
Mempertahankan jalan nafas yang paten adalah langkah penting dalam meberikan
oksigen ke pasien, namun ini hanyalan langkah pertama. Jalan nafas yang paten
hanya dapat memberikan manfaat bila ventilasinya juga adekuat. Karena itu, klinisi
Mengenali Masalah
ventilasi, dan/atau depresi sistem saraf pusat (SSP). Bila membebaskan jalan nafas
tidak memperbaikan nafas pasien, penyebab masalah lain harus diidentifikasi dan
ditangani. Trauma langsung pada dada, khususnya dengan fraktur iga, dapat
menyebabkan nyeri saat bernafas dan menyebabkan ventilasi cepat dan dangkal dan
hipoksemia. Pasien lansia dan individu dengan disfungsi paru yang telah ada
Pasien anak dapat mengalami cedera toraks berat tanpa fraktur iga.
atau paralisis otot pernafasan. Semakin proksimal lokasi cedera, semakin rentan
kehilangan fungsi otot interkostal dan abdominal selama respirasi, dengan fungsi
diafragma yang masih dipertahankan. Pasien sepert ini umumnya menunjukkan pola
pernafasan seesaw di mana abdomen terdorong keluar saat inspirasi, dengan rusuk
bagian bawah tertarik ke dalam. Keadaan ini dinamakan “pernafasan abdomen” atau
“pernafasan diafragma.”. Pola pernafasan ini tidak efisien dan menyebabkan nafas
1. Lihat peningkatan dan penurunan simetris dari dada dan ekskursi dinding
ancaman ventilasi.
2. Dengarkan gerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau tidak adanya
suara nafas pada salah satu atau kedua hemitoraks harus diwaspadai
3. Gunakan pulse oksimeter untuk mengukur saturasi oksigen pasien dan perfusi
perifer. Perlu diingat, bahwa alat ini tidak mengukur keadekuatan ventilasi.
atau syok.
4. Gunakan kapnografi pada pasien yang bernafas spontan ataupun diintubasi
Kondisi Pencegahan
vena.
Klinisi harus menilai patensi jalan nafas dan keadekuatan ventilasi pasien dengan
cepat dan akurat. Pulse oksimetri dan end-tidal CO2 penting untuk diukur. Bila
Tindakat tersebut antara lain teknik mempertahankan jalan anfas, tindakan jalan nafas
definitif (seperti bedah jalan nafas), dan memberikan ventilasi suplemental. Karena
semua tindakan ini berpotensi terjadi gerakan leher, pembatasan gerak tulang
belakang servikal diperlukan pada semua pasien trauma yang berisiko cedera tulang
belakang hingga didapatkan bukti radiografi dan evaluasi klinis yang dapat
Alat suction rigid penting dan harus tersedia. Pasien dengan cedera fasial dapat
mengalami fraktur plat kribriform, dan pemasangan tabung melalui hidung dapat
Pasien yang memakai helm yang memerlukan tatalaksana jalan nafas harus
dilepaskan mempertahankan posisi kepala dan leher dalam posisi netral (Gambar 2-3;
lihat juga Video Pelepasan Helm di Aplikasi Mobile MyATLS). Prosedur ini
memerlukan dua orang: satu orang membatasi gerakan tulang belakang servikal dari
bawah selagi orang kedua melepaskan helm. Lalu, klinisi melakukan tatalaksana jalan
nafas. Penggunaan cutter untuk melepaskan helm selagi menstabilisasi kepala dan
leher dapat meminimalisir gerakan tulang belakang servikal pada pasien dengan
GAMBAR 2-3. Pelepasan helm. Helm sebaiknya dilepas dengan bantuan dua orang.
Satu orang membatasi gerakan tulang belakang servikal, (A), orang kedua
melepaskan helm (B), selagi mempertahankan helm tidak membentur hidung dan
oksipital. Setelah helm dilepas, orang pertama menahan kepala pasien (C), dan orang
Obesitas
Variasi anatomis (seperti dagu surut, overbite, dan leher pendek dan berotot)
Pasien anak
Bila ditemukan kondisi tersebut, tindakan harus dilakukan oleh klinisi yang
berpengalaman.
(Kotak 2-1; lihat juga LEMON Assessment di Aplikasi Mobile MyATLS). LEMON
relevan pada kondisi trauma (seperti cedera tulang belakang servikal dan pembukaan
mulut terbatas). Lihat bukti adanya hambatan jalan anfas (seperti mulut atau rahang
yang kecil, overbite yang besar, atau trauma fasial). Obstruksi jalan nafas dapat
menjadi hambatan berat, dan restriksi gerak tulang belakang servikal penting pada
sebagian besar pasien setelah trauma tumpul, yang meningkatkan kesulitan dalam
membebaskan jalan nafas. Perlu untuk bergantung pada keputusan dan pengalaman
hambatan intubasi atau ventilasi (seperti mulut atau rahang yang kecil, overbite besar,
Jarak antara tulang hyoid dan dagu setidaknya minimal 3 jari (3)
Jarak antara tonjolan tiroid dan dasar mulut setidaknya minimal 2 jari (2)
memperkirakan skor Mallampati dengan meminta pasien membuka mulut lebar dan
N = Neck mobility: Ini penting dalam keberhasilan intubasi. Pada pasien dengan
hipofaring. Kelas I: palatum molle, uvula, fauces, dan pillar terlihat sepenuhnya;
Kelas II: palatum molle, uvula, fauces terlihat sebagian; Kelas III: palatum molle,
Gambar 2-4 menunjukkan skema dalam menentukan rute tatalaksana jalan nafas yang
tepat. Algoritma ini hanya dapat digunakan pada pasien dengan distres nafas akut
atau apnea, yang memerlukan jalan nafas segera, dan berpotensi cedera tulang
belakang servikal berdasarkan mekanisme cedera atau pemeriksaan fisik. (Lihat juga
tahap ini dengan memposisikan (manuver chin-lift atau jaw-thrust) dan dengan teknik
jalan nafas awal (jalan nafas nasofaring). Seorang angota tim lalu memberikan tabung
endotrakeal selagi orang kedua membatasi gerak tulang belakang servikal. Bila
tabung endotrakeal tidak dapat dimasukkan dan kondisi nafas pasien memburuk,
klinis harus melakukan ventilasi dengan masker laring atau alat jalan nafas
ekstraglottis sebagai jalan nafas definitif. Bila tindakan ini gagal, mereka harus
melakukan krikotiroidotomi. Metode ini dijabarkan secara linci pada bagian
MyATLS).
Gambar 2-4. Skema menentukan jalan nafas. Klinisi menggunakan algoritma ini
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, lidah dapat terjatuh ke belakang dan
atau jaw-thrust. Jalan nafas lalu dapat dipertahankan dengan jalan nafas nasofaring
atau orofaring. Manuver ini dapat menyebabkan atau memperberat cedera spina
servikal, sehingga restriksi gerakan spina servikal penting selama prosedur tersebut.
Manuver Chin-Lift
Manuver chin-lift dilakukan dengan menempatkan jari-jari dari satu tangan di bawah
mandibula dan mengangkatnya perlahan hingga dagu ke arah anterior. Dengan ibu
jari dari tangan yang sama, tekan lembut bibir bagian bawah untuk membuka mulut
(Gambar 2-5). Ibu jari juga dapat diletakkan di belakang insisor bawah selagi
Manuver Jaw-Thrust
Untuk melakukan manuver ini, pegang angulus mandibula dengan tangan pada kedua
sisi lalu mendorong mandibula ke depan (Gambar 2-6). Bila digunakan dengan
facemask, manuver ini dapat memberikan ventilasi yang baik. Seperti pada manvuer
Jalan nafas nasofaring dimasukkan pada satu lubang hidung dan didorong perlahan ke
orofaring posterior. Berikan lubrikasi dan masukkan alat melalui lubang hidung yang
tidak terobstruksi. Bila ditemukan adanya obstruksi selama memasukkan jalan nafas,
hentikan tindakan dan ulangi pada lubang hidung yang berbeda. Jangan lakukan
prosedur ini pada pasien dengan kecurigaan atau potensi fraktur plat kribriform.
(Lihat Appendiks G: Skill Jalan Nafas dan Video Insersi Jalan Nafas Nasofaring di
Oropharyngeal Airway
Oropharyngeal airway dimasukkan ke dalam mulut dan berada di belakang lidah. Teknik
yang dipakai adalah memasukkan oropharyngeal airway secara terbalik, dengan bagian
lengkung diarahkan ke atas, sampai menyentuh langit-langit mulut yang lunak. Pada titik
tersebut, putar alat 180 derajat, sehingga kurva menghadap ke bawah, dan geser sesuai
dengan tempatnya yaitu di atas lidah (n GAMBAR 2-7; lihat video Penyisipan oropharyngeal
dan faring. Sebaliknya, gunakan pisau lidahuntuk menekan lidah dan kemudian masukkan
perangkat dengan sisi melengkung ke bawah, hati-hati untuk tidak mendorong lidah ke
Kedua teknik ini dapat menginduksi tersedak, muntah, dan aspirasi,oleh karena itu gunakan
dengan hati-hati pada pasien yang sadar. Pasien yang dapat mentoleransi saluran nafas
Udara.)
Alat ekstraglotik dan supraglotikberikut ini memiliki peran dalam mengelola pasien yang
membutuhkan udara tambahan secaralanjut, tetapi intubasi gagal atau tidak mungkin berhasil.
Hal itu termasuk laryngeal mask airway, intubating laryngeal mask airway, laryngeal tube
Laryngeal mask airway (LMA) dan Intubating laryngeal masker airway (ILMA) telah
terbukti efektif dalam pengobatan pasien dengan saluran udara yang sulit, terutama apabila
intubasi endotrakeal atau ventilasi bag-mask telah gagal. Contoh LMA muncul di (n FIGURE
2-8). Perhatikan bahwa LMA tidak memberikan jalan nafas yang pasti, dan penempatan yang
Laryngeal Mask Airway pada aplikasi seluler MyATLS). Ketika seorang pasien memiliki
LMA atau ILMA di tempat pada saat kedatangan di UGD, dokter harus merencanakan jalan
napas definitif.
Perangkat lain yang tidak memerlukan inflasi manset, seperti perangkat jalan napas
supraglotis i-gel®, dapat digunakan sebagai pengganti LMA apabila tersedia (n GAMBAR 2-
9).
Laryngeal tube airway (LTA) adalah alat saluran napas ekstraglotis dengan kemampuan yang
mirip dengan LMA dalam memberikan ventilasi pasien yang telah berhasil (n GAMBAR 2-
10). ILTA adalah evolusi alat yang memungkinkan intubasi melalui LTA. LTA bukan alat
saluran napas definitif, sehingga rencana untuk menyediakan jalan napas definitif diperlukan.
Seperti halnya LMA, LTA ditempatkan tanpa visualisasi langsung dari glotis dan tidak
Beberapa personel pra-rumah sakit menggunakan alat multilumen esophageal airway untuk
menyediakan oksigenasi dan ventilasi ketika jalan nafas definitif tidak memungkinkan. (n
GAMBAR 2-11). Salah satu sambungan yang berkomunikasi dengan esofagus dan dengan
jalan napasyang lain. Personil yang menggunakan alat ini dilatih untuk mengamati
sambungan mana yang menyelubungi esofagus dan yang menyediakan udara ke trakea.
Sambungan esofagus kemudian ditutup dengan balon, dan sambungan lainnya diventilasi
airwayharus dilepas dan / atau saluran napas definitif yang disediakan setelah penilaian yang
tepat. Volume tidal akhir CO2 harus dipantau karena dapat memberikan informasi yang
Perlu diingat bahwa jalan nafas definitif membutuhkan tabung yang ditempatkan padatrakea
dengan manset yang meningkat di bawah pita suara, tabung terhubung ke ventilasi bantuan
yang diperkaya oksigen, dan jalan napas diamankan di tempat dengan metode stabilisasi yang
tepat. Ada tiga jenis saluran udara definitif: tabung orotrakeal, tabung nasotrakeal, dan jalan
napas bedah (krikotiroidotomi dan trakeostomi). Kriteria untuk memberikan saluran napas
sarana lain, dengan saluran udara yang akan datang potensialtertunda (misalnya,
ventilasi (Glasgow Coma Scale [GCS] skor 8 atau kurang), aktivitas kejang
berkelanjutan, dan kebutuhan untuk melindungi saluran udara bawah dari aspirasi
Pentingnya kondisi pasien dan indikasi untuk intervensi saluran napas menunjukkan rute
yang tepat dan metode manajemen saluran napas yang akan digunakan. Ventilasi bantuan
lanjutan dapat dibantu dengan sedasi tambahan, analgesik, atau relaksan otot, seperti yang
diindikasikan. Penilaian status klinis pasien dan penggunaan oksimeter sangat membantu
dalam menentukan kebutuhan akan jalan napas definitif, urgensi, dan, dengan kesimpulan,
efektivitas penempatan saluran napas. Potensi cedera tulang belakang bersamaan merupakan
Intubasi endotrakeal
Meskipun penting untuk menetapkan ada atau tidak adanya fraktur c-spine, jangan
melakukan pemeriksaan radiologi, seperti CT scan atau x-rays c-spine, sampai setelah
memberikan saluran napas definitif ketika pasien membutuhkannya. Pasien dengan skor GCS
8 atau kurang membutuhkan intubasi yang cepat. Jika tidak ada kebutuhan intubasi, lakukan
evaluasi radiologi c-spine. Namun, film c-spine lateral yang normal tidak menyingkirkan
Intubasi orotrakeal adalah rute yang dipilih untuk melindungi jalan nafas. Dalam beberapa
situasi tertentu dan tergantung pada keahlian dokter, intubasi nasotrakeal dapat menjadi
alternatif untuk pasien yang bernapas secara spontan. Kedua teknik ini aman dan efektif bila
dilakukan dengan benar, meskipun rute orotrakeal lebih umum digunakan dan menghasilkan
lebih sedikit komplikasi di unit perawatan intensif (ICU) (misalnya, sinusitis dan nekrosis
Fasial, sinus frontal, tengkorak basilar, dan fraktur plat cribriform adalah kontraindikasi
relatif untuk intubasi nasotrakeal. Bukti adanya fraktur hidung, mata berbentuk raccoon
kebocoran cairan serebrospinal (CSF) (rhinorrhea atau otorrhea) adalah semua tanda dari
cedera ini. Seperti intubasi orotrakeal, lakukan tindakan pencegahan untuk membatasi
Jika dokter memutuskan untuk melakukan intubasi orotrakeal, teknik tiga orang dengan
pembatasan gerakan tulang belakang serviks dianjurkan (lihat video Advanced Airway pada
Tekanan krikoid selama intubasi endotrakeal dapat mengurangi risiko aspirasi, meskipun
dapat mengurangi visualisasi laring. Manipulasi laring dengan tekanan ke belakang, ke atas,
dan ke kanan (BURP) pada kartilago tiroid dapat membantu memvisualisasikan pita suara.
dihentikan atau diulang. Tambahan orang diperlukan untuk memberikan obat dan melakukan
manuver BURP.
teknik video dan pencitraan optik. Pasien trauma dapat mendapatkan manfaat dari
penggunaannya oleh penyedia yang berpengalaman dalam keadaan tertentu. Penilaian yang
cermat terhadap situasi, peralatan, dan personel yang tersedia adalah wajib, dan rencana
Hiperkarbia
Sianosis
Agresivitas
Stridor
Perubahan suara
herniasi
Tidak sadar
Tidak agresif Apnea karena kehilangan
neuromuskular
Dengan laringoskop di tempat, lewati GEB yang tidak terlihat di luar epiglotis, dengan ujung
miring yang diposisikan pada anterior (lihat video Gum Elastic Bougie pada aplikasi seluler
MyATLS.) Konfirmasi posisi trakea dengan merasakan klik saat ujung distal bergesek di
sepanjang cincin trakea kartilago (sekarang pada 65% –90% dari penempatan GEB); GEB
yang dimasukkan ke dalam esofagus akan melewati panjang yang penuh tanpa resistensi (n
GAMBAR 2-14).
Setelah mengkonfirmasi posisi GEB, lewati tabung endotrakeal yang sudah diberi pelumas di
atas bougie di luar pita suara. Jika pipa endotrakeal tertahanpada arytenoids atau lipatan
aryepiglottic, tarik tabung sedikit dan putar berlawanan arah jarum jam 90 derajat untuk
melihat kemajuan di luar obstruksi. Kemudian, lepaskan GEB dan konfirmasi posisi tabung
Setelah laringoskopi langsung dan insersi tabung orotrakeal, kembangkan ventilator dengan
bantuan cuff dan mulai lakukan ventilasi. Penempatan tabung yang tepat disarankan - tetapi
tidak dikonfirmasi - dengan mendengar suara napas yang sama secara bilateral dan
mendeteksi tidak ada borborygmi (yaitu suara gemuruh atau gemericik) di epigastrium.
diindikasikan untuk membantu mengkonfirmasi intubasi yang tepat dari jalan napas. Adanya
CO2 dalam udara yang dihembuskan menunjukkan bahwa jalan nafas telah berhasil
diintubasi, tetapi tidak memastikan posisi yang benar dari tabung endotrakeal dalam trakea
(misalnya, intubasi utama masih dimungkinkan). Jika CO2 tidak terdeteksi, intubasi esofagus
telah terjadi. Posisi tabung yang tepat di dalam trakea paling baik ditegakkan dengan rontgen
tidak berguna untuk pemantauan fisiologis atau menilai ventilasi yang cukup, yang
membutuhkan analisis gas darah arteri atau analisis volume tidal akhir karbon dioksida terus-
menerus.
Setelah menentukan posisi tabung yang tepat, amankan di tempat. Jika pasien dipindahkan,
pantai kembali penempatan tabung dengan auskultasi kedua paru lateral untuk persamaan
suara nafas dan dengan penilaian ulang untuk CO2 yang dikeluarkan.
Jika intubasi orotrakeal tidak berhasil pada upaya pertama atau jika tali sulit untuk dilihat,
gunakan GEB dan memulai persiapan lebih lanjut untuk manajemen saluran napas yang sulit.
Kesalahan Pencegahan
napas
Dalam beberapa kasus, intubasi mungkin dan aman tanpa menggunakan obat-obatan.
Penggunaan obat anestesi, obat penenang, dan pemblokiran neuromuskular untuk intubasi
endotrakeal pada pasien trauma berpotensi bahaya. Namun kadang-kadang, kebutuhan akan
saluran udara membenarkan risiko pemberian obat-obatan ini, oleh karena itu penting untuk
memahami farmakologi obat tersebut, terampil dalam teknik intubasi endotrakeal, dan
mampu mengamankan jalan napas bedah jika diperlukan. Intubasi dengan bantuan obat
diindikasikan pada pasien yang membutuhkan kontrol jalan napas, tetapi memiliki refleks
terletak.
sudah siap.
Obat etomidate (Amidate) tidak berpengaruh negatif terhadap tekanan darah atau tekanan
intrakranial, tetapi dapat menekan fungsi adrenal dan tidak tersedia secara universal. Obat ini
memberikan sedasi yang cukup, yang menguntungkan pada pasien ini. Gunakan etomidate
dan obat penenang lainnya dengan sangat hati-hati untuk menghindari hilangnya saluran
napas saat pasien dalam kondisi sedasi. Kemudian berikan succinylcholine, yang merupakan
obat jangka pendek dan memiliki onset paralisis yang cepat (<1 menit) dan durasi 5 menit
atau kurang.
endotrakeal tidak berhasil, pasien harus diventilasi dengan alat bag-masksampai kelumpuhan
sembuh; obat kerja panjang tidak secara rutin digunakan untuk RSI karena alasan ini. Karena
potensi hiperkalemia berat, suksinilkolin harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan cedera kecelakaan berat, luka bakar mayor, dan cedera listrik. Sangat hati-hati pada
pasien dengan gagal ginjal kronis yang sudah ada sebelumnya, kelumpuhan kronis, dan
Agen induksi, seperti thiopental dan sedatif, berpotensi berbahaya pada pasien trauma dengan
hipovolemia. Pola praktik, preferensi obat, dan prosedur khusus untuk manajemen saluran
napas bervariasi antar lembaga. Prinsip penting adalah bahwa individu yang menggunakan
Ketidakmampuan untuk intubasi trakea adalah indikasi yang jelas untuk rencana saluran
udara alternatif, termasuk laryngeal mask airway, laryngeal tube airway, ataubedah jalan
dengan adanya edema glotis, fraktur laring, perdarahan orofaring berat yang menghalangi
jalan napas, atau ketidakmampuan untuk menempatkan pipa endotrakeal melalui pita suara.
Sebuah krikotiroidotomi bedah lebih baik daripada trakeostomi untuk kebanyakan pasien
yang memerlukan jalan napas bedah darurat karena lebih mudah dilakukan, berhubungan
dengan pendarahan yang lebih sedikit, dan membutuhkan lebih sedikit waktu untuk
Jarum Krikotiroidotomi
Jarum krikotiroidotomi melibatkan pemasukkan jarum melalui membran krikotiroid ke dalam
trakea dalam situasi darurat untuk menyediakan oksigen secara jangka pendek sampai saluran
plastik kaliber besar - 12 hingga 14 gauge untuk dewasa, dan 16 hingga 18-gauge pada anak-
anak - melalui membran krikotiroid ke trakea di bawah tingkat obstruksi (n GAMBAR 2-15).
Kanul kemudian dihubungkan ke oksigen pada 15 L / menit (50 hingga 60 psi) dengan Y-
konektor atau potongan lubang samping dalam tabung antara sumber oksigen dan kanula
plastik. Ventilasi secara intermiten, 1 detik diberikan ventilasi dan 4 detik hentikan ventilasi
yang dapat dicapai dengan menempatkan ibu jari di atas ujung terbuka dari Y-connector atau
Pasien mungkin memiliki oksigen yang cukup selama 30 hingga 45 menit menggunakan
teknik ini. Selama 4 detik ketika oksigen tidak didistribusikan di bawah tekanan, beberapa
ekshalasi terjadi.
Karena pernafasan yang tidak memadai, CO 2 perlahan terakumulasi dan dengan demikian
membatasi penggunaan teknik ini, terutama pada pasien dengan cedera kepala.
obstruksi benda asing lengkap pada daerah glotis. Barotrauma yang signifikan dapat terjadi,
termasuk ruptur pulmonal dengan tension pneumothorax setelah PTO. Oleh karena itu,
perhatian harus diberikan pada aliran udara yang efektif masuk dan keluar.
Bedah krikotiroidotomi
Bedah krikotiroidotomi dilakukan dengan membuat sayatan kulit yang meluas melalui
membran krikotiroid (n GAMBAR 2-16). Masukkan hemostat atau pegangan pisau bedah
melengkung untuk melebarkan pembukaan, dan kemudian masukkan tabung endotrakeal atau
trakeostomi kecil (sebaiknya 5 hingga 7 ID) atau tabung trakeostomi (sebaiknya 5 hingga 7
mm OD).
Perawatan harus dilakukan, terutama dengan anak-anak, untuk menghindari kerusakan pada
kartilago krikoid, yang merupakan satu-satunya dukungan untuk trakea atas. Untuk alasan
ini, bedahkrikotiroidotomi tidak dianjurkan untuk anak-anak di bawah usia 12 tahun. (Lihat
Bab 10: Trauma Anak.) Ketika tabung endotrakeal digunakan, hal tersebut harus cukup aman
untuk mencegah malposisi, seperti tergelincir ke dalam bronkus atau benar-benar copot.
Dalam beberapa tahun terakhir, trakeostomi perkutan telah dilaporkan sebagai alternatif
untuk membuka trakeostomi. Prosedur ini tidak dianjurkan dalam situasi trauma akut, karena
leher pasien harus ditempatkan dengan benar untuk posisi kepala untuk melakukan prosedur
dengan aman.
Manajemen Oksigenasi
Udara inspirasi oksigen paling baik disediakan melalui masker wajah reservoir oksigen
dengan laju aliran minimal 10 L / menit. Metode lain (mis., kateter hidung, nasalkanul, dan
Karena perubahan oksigenasi terjadi dengan cepat dan tidak mungkin untuk dideteksi secara
klinis, pulse oximetry harus digunakan setiap saat. Hal tersebut tidak ternilai ketika kesulitan
dapat diantisipasi dalam intubasi atau ventilasi, termasuk selama pengangkutan pasien yang
kritis. Pulse oximetry adalah metode non-invasif untuk terus mengukur saturasi oksigen (O2
sat) dari darah arteri. Alat tersebut tidak mengukur tekanan parsial oksigen (PaO2) dan,
tergantung pada posisi kurva disosiasi oksihemoglobin, PaO2 dapat bervariasi secara luas (n
TABEL 2-2). Namun, saturasi yang terukur 95% atau lebih besar oleh oksimeter denyut
adalah bukti kuat yang menguatkan oksigenasi arteri perifer yang adekuat (PaO2> 70 mm
Pulse oxymetry membutuhkan perfusi perifer utuh dan tidak dapat membedakan
penggunaannya pada pasien dengan vasokonstriksi berat dan dengan keracunan karbon
monoksida. Anemia yang parah (hemoglobin <5 g / dL) dan hipotermia (<30 ° C, atau <86 °
F) menurunkan penggunaan teknik. Namun, pada sebagian besar pasien trauma, pulse
oximetry bermanfaat karena pemantauan saturasi oksigen secara terus menerus dapat
Manajemen Ventilasi
Bantuan ventilasi mungkin diperlukan sebelum intubasi pada banyak pasien trauma. Ventilasi
yang efektif dapat dicapai dengan teknik bag-mask. Namun, teknik ventilasi satu orang
menggunakan bag-mask mungkin kurang efektif dibandingkan teknik dua orang, di mana
kedua tangan dapat digunakan untuk memastikan penutupan yang baik. Untuk alasan ini,
ventilasi bag-mask harus dilakukan oleh dua orang. (Lihat video Bag-mask Ventilation di
Intubasi pada pasien dengan hipoventilasi dan / atau apnea mungkin tidak berhasil pada tahap
awal dan mungkin memerlukan beberapa kali percobaan. Pasien harus dilakukan ventilasi
secara berkala selama upaya yang panjang untuk melakukan intubasi. Setiap upaya harus
upaya pertama.
Setelah intubasi trakea, gunakan teknik pernapasan tekanan positif untuk memberikan
bantuan ventilasi. Respirator volume atau tekanan yang diatur dapat digunakan, tergantung
pada ketersediaan peralatan. Dokter harus waspada terhadap komplikasi perubahan tekanan
Pertahankan oksigenasi dan ventilasi sebelum, selama, dan segera setelah menyelesaikan
saluran napas definitif. Hindari periode yang lama dari ventilasi dan oksigenasi yang tidak
Kesalahan Pencegahan
Penutupan masker yang buruk pada pasien Berikankain kasapada ruang
tanpa gigi antara pipi dan gusi untuk
transfer.
dokter penerima.
sebelum dipindahkan.
Kerja Tim
• Sebagian besar pasien memerlukan perhatian individual untuk jalan nafas. Selama
pengarahan tim, sebelum pasien tiba, pemimpin tim harus menetapkan tingkat keahlian
praktis jalan nafas. Sebagai contoh, beberapa dokter dalam pelatihan, seperti dokter junior,
mungkin tidak nyaman mengelola jalan napas yang sulit seperti pada pasien yang mengalami
luka bakar inhalasi. Pemimpin tim harus mengidentifikasi siapa yang mungkin diperlukan
untuk membantu tim dan bagaimana mereka dapat dihubungi dengan cepat.
• Jika informasi pra-rumah sakit menunjukkan bahwa pasien akan memerlukan jalan nafas
yang definitif, mungkin dapat memberikan obat yang tepat untuk sedasi dan intubasi yang
dibantu oleh obat sebelum pasien tiba. Peralatan untuk mengelola jalan napas yang sulit harus
• Penentuan manajemen yang terbatas mungkin memerlukan diskusi dengan konsultan untuk
tim trauma. Sebagai contoh, pada pasien dengan cedera kepala yang tidak dalam kesulitan
yang jelas, diskusi antara anggota bedah saraf tim dan pemimpin tim dapat membantu.
• Pasien mungkin memerlukan transfer ke CT scan, ruang operasi, atau ICU. Oleh karena itu,
ketua tim harus mengklarifikasi siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengelola saluran
Ringkasan Bab
1. Keadaan klinis pada saluran pernapasan yang mungkin terjadi termasuk trauma kepala,
trauma maksilofasial, trauma leher, trauma laring, dan obstruksi jalan napas karena alasan
lain.
2. Obstruksi jalan napas yang sebenarnya atau yang akan datang harus dicurigai pada semua
pasien yang cedera. Tanda obstruksi jalan napas termasuk agitasi, sianosis, suara napas
abnormal, suara serak, perubahan suara trakea menjadi stridor, dan berkurangnya respon.
3. Pengenalan ventilasi dan ventilasi efektif adalah yang paling penting.
4. Teknik untuk mempertahankan jalan napas paten termasuk manuver head tilt chin lift dan
5. Dengan semua manuver saluran napas, spinal harus dibatasi ketika cedera kepala muncul
atau dicurigai.
6. Penilaian patensi jalan napas dan kecukupan ventilasi harus dilakukan dengan cepat dan
akurat. Pengukuran pulse oximetry dan volume tidal akhir CO2 sangat penting.
7. Saluran nafas definitif membutuhkan tabung yang ditempatkan pada trakea dengan manset
meningkat di bawah pita suara, tabung terhubung ke beberapa bentuk ventilasi bantuan yang
diperkaya oksigen, dan jalan napas diamankan di tempat dengan metode stabilisasi yang
tepat. Contoh saluran napas definitif termasuk intubasi endotrakeal dan saluran udara bedah
(misalnya, bedahkrikotiroidotomi). Saluran napas definitif harus ditetapkan jika ada keraguan
tentang integritas saluran napas pasien. Saluran napas definitif harus ditempatkan lebih awal
setelah pasien telah diventilasi dengan udara yang kaya oksigen, untuk mencegah periode
8. Intubasi dengan bantuan obat mungkin diperlukan pada pasien dengan reflek muntah aktif.
disediakan melalui masker wajah reservoir oksigen ketat dengan laju aliran lebih dari 10 L /
menit. Metode lain (misalnya, kateter hidung, kanula nasal, dan masker non-rebreathing)