Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI DAN KLASIFIKASI


Rapid sequence intubation adalah administrasi agen induksi poten (anestesi) yang diikuti
dengan agen neuromuscular block, untuk induksi penurunan kesadaran dan paralisis motorik
untuk intubasi trakea. Pada proses ini dianggap pasien dalam kondisi lambung terisi penuh,
sehingga risiko tinggi untuk aspirasi isi lambung. Tujuan tindakan ini untuk menyediakan
sarana intubasi pada pasien tidak sadar dan paralisis. Bentuk lain dari RSI, biasa disebut juga
sebagai modified RSI, didefinisikan sebagai RSI dengan: (1) pemberian oksigen sebelum
induksi; (2) penggunaan penekanan krikoid; (3) percobaan ventilasi paru pasien sebelum
mengamankan jalan nafas.1,4

II.2. INDIKASI
Indikasi intubasi secara umum antara lain:3
• Kegagalan mempertahankan patensi jalan nafas, contoh:
o Edema saluran nafas atas pada reaksi anafilaksis atau infeksi
o Trauma wajah atau leher dengan perdarahan orofaringeal atau hematoma
o Angioedema
• Penurunan kesadaran dan kehilangan refleks saluran nafas, contoh:
o Kegagalan mempertahankan saluran nafas terhadap aspirasi – penurunan
kesadaran yang dapat menyebabkan regurgitasi muntah, sekresi, atau darah
• Kegagalan ventilasi, contoh:
o Hasil akhir dari kegagalan untuk mempertahankan dan melindungi jalan nafas
o Usaha nafas berlebihan yang dapat menyebabkan kelelahan atau gagal nafas,
seperti pada status asmatikus atau Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
berat
• Kegagalan oksigenasi (transpor oksigen ke pembuluh darah kapiler paru), contoh:
o Hasil akhir dari kegagalan untuk mempertakankan dan melindungi jalan nafas
atau kegagalan ventilasi
o Edema pulmoner difus
o Sindroma distress pernafasan akut
o Pneumonia luas atau air-space disease

3
o Emboli paru
o Toksisitas sianida, karbondioksida, methemoglobinemia
• Antisipasi perburukan klinis (contoh: kebutuhan untuk mengontrol situasi, pemeriksaan
penunjang, prosedur tambahan), contoh:
o Pasien trauma yang tidak kooperatif dengan cedera mengancam nyawa yang
membutuhkan tindakan (prosedur atau pemeriksaan penunjang) segera
o Luka tusuk pada leher dengan hematoma yang meluas
o Syok sepsis dengan high minute-ventilation dan perfusi perifer yang buruk
o Perdarahan intracranial dengan penurunan kesadaran dan dibutuhkan kontrol
tekanan darah yang ketat
o Fraktur servikal dengan curiga risiko edema dan kehilangan patensi jalan nafas

Indikasi umum untuk dilakukan RSI antara lain, pada pasien dengan risiko tinggi
aspirasi akibat induksi anestesi. Teknik intubasi yang tepat antara lain dapat dilihat pada
gambar 1. Beberapa kondisi seperti perut penuh, patologi gastrointestinal, peningkatan
tekanan abdomen, atau kehamilan di atas usia gestasi 20 minggu.2,3
Pasien dengan perut penuh, antara lain pada kondisi berikut:
o Pasien yang akan dilakukan tindakan pembedahan emergensi
o Pasien dengan trauma, berapa pun interval makan terakhir
o Pasien yang belum puasa sesuai dengan pedoman puasa pre-operatif
Pasien dengan patologi gastrointestinal seperti:
o Gastroparesis
o Obstruksi usus halus
o Obstruksi gastric outlet
o Striktur esophagus
o Gastroesophageal reflux disease
Pasien dengan peningkatan tekanan intraabdomen, pada kondisi sebagai berikut:
o Obesitas morbid
o Asites

4
Gambar 1. Algoritma Umum sebagai Paduan dalam Menentukan Teknik Intubasi yang Paling Tepat
dalam Kondisi Urgensi dan Emergensi5

II.3. KONTRAINDIKASI
Rapid Sequence Intubation bukan merupakan prosedur yang dapat dilakukan pada pasien kritis.
Beberapa kondisi seperti asidosis berat, deplesi volume intravaskular, gagal jantung, dan
penyakit paru berat, yang dapat menimbulkan komplikasi periode pre-induksi, yang dapat
menyebabkan vasodilatasi dan hipotensi. Rapid Sequence Intubation juga berhubungan dengan
risiko tinggi komplikasi yang berhubungan dengan periode apnea di antara induksi dan intubasi
dan kerja efektif dari neuromuscular blockers, seperti pada pasien pediatrik dan obesitas,
periode apnea yang lebih dari satu menit dapat menyebabkan hipoksemia berat. Adapula
terdapat kontraindikasi pada prosedur RSI, yakni: 6,7
• Kontraindikasi absolut
o Obstruksi total saluran nafas atas, yang membutuhkan surgical airway
o Kehilangan total facial/ oropharyngeal landmarks, yang membutuhkan
surgical airway
• Kontraindikasi relatif

5
o Antisipasi saluran nafas yang sulit, dimana memiliki risiko tinggi kegagalan
intubasi, yang bergantung penuh terhadap kesuksesan ventilasi bag-valve-mask
(BVM) untuk mempertahankan hidup pasien. Dengan skenario tersebut, teknik
intubasi sadar (awake intubation) dan alternative lainnya dapat digunakan.
Terdapat beragam metode menilai risiko kesulitan intubasi (contoh: kriteria
LEMON, 3-3-2, klasifikasi mallampati, klasifikasi McCormack dan Lehane).
o “Crash” airway, pada pasien dengan situasi arrest, tidak sadar, dan apnea; pada
skenario ini, pasien tidak sadar dan mungkin flaccid. Oleh karena itu, tidak
memungkinkan untuk dilakukan preoksigenasi, premedikasi, atau induksi dan
paralisis. Ventilasi BVM, intubasi, atau keduanya harus dilakukan tanpa agen
medikamentosa.

II.4. TEKNIK RAPID SEQUENCE INTUBATION


Setelah menentukan indikasi intubasi pada pasien dan pemeriksaaan kemungkinan penyulit
intubasi, selanjutnya dilakukan persiapan. Persiapan prosedur termasuk persiapan pasien, tim,
dan alat (gambar 2). Tenaga yang bekerja sebagai tim terdiri atas asisten jalan nafas,
administrasi obat, asisten monitor dan sirkulasi, tekanan krikoid, intubator, dan petugas
mobilisasi. Adapula langkah-langkah RSI dideskripsikan sebagai 10 P yang terdiri atas:2,8

Gambar 2. Daftar Persiapan RSI2

6
1. Preoksigenasi
Preoksigenasi merupakan tahapan penting dalam RSI. Preoksigenasi merupakan
pemberian oksigen konsentrasi tinggi pada pasien, secara ideal 5 menit sebelum
dilakukan prosedur. Preoksigenasi meningkatkan penyimpanan oksigen di paru dan
memperpanjang waktu apnea. Apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan
preoksigenasi selama 5 menit, maka preoksigenasi dengan 8 kali nafas kapasitas vital
dapat dilakukan. Proses ini memberikan pasien dengan paru-paru yang normal agar
dapat mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 90% selama beberapa menit.
Namun, desaturasi dari 90% menjadi 0 membutuhkan waktu yang sangat singkat. Pada
pasien dewasa sehat sekitar 120 detik, dan pada anak-anak hanya 45 detik. Desaturasi
akan terjadi lebih cepat apabila paru-paru pasien tidak normal (contoh: edema
pulmoner) atau keadaan dimana konsumsi oksigen meningkat (contoh: trauma, luka
bakar).8

2. Proteksi C-spine
Pada pasien trauma dengan curiga cedera servikal, dilakukan imobilisasi selama proses
intubasi. Saat mengintubasi pasien trauma curiga cedera servikal, bagian depan cervical
collar dilepaskan agar mandibula dapat didorong ke arah anterior, agar pita suara
tervisualisasi dan dibantu dengan petugas untuk imobilisasi dan bila memungkinkan
dilakukan jaw thrust.8

3. Penekanan krikoid
Penekanan pada krikoid pertama digunakan pada tahun 1961. Esofagus dioklusi oleh
gerakan ekstensi leher dan penekanan kartilago krikoid ke arah vertebra servikalis
kelima untuk menutup lumen esofagus (gambar 3 dan 4). Ekstensi kepala dan leher
meningkatkan kelengkungan dari vertebra servikalis, merenggangkan esofagus dan
mencegah pergerakan esofagus ke lateral. Tekanan sekitar 20 N (+ 2 kilogram)
dilakukan oleh asisten menggunakan ibu jari dan satu jari lainnya pada kedua sisi
kartilago krikoid. Prosedur ini dilakukan sampai intubasi selesai dan balon
dikembangkan.2

7
Gambar 3. Anatomi Permukaan dari Penekanan Krikoid2

Gambar 4. Manuver Sellick3

4. Ponder
Sebelum membuat pasien paralisis, penting untuk mempertimbangkan kembali apakah
RSI merupakan pilihan terbaik untuk pasien, apakah penyulit intubasi sudah
diantisipasi, kecukupan persiapan, dan rencana cadangan apabila intubasi gagal.9, 10

5. Persiapan
Persiapan artinya, mempersiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan untuk intubasi dan
juga persiapan untuk mengatasi penyulit atau komplikasi yang mungkin terjadi saat
intubasi. Persiapan dari segi lingkungan dan alat, antara lain:2,9,10
• Lingkungan
o Area klinikal, contoh: ruangan resusitasi
o Monitor – EKG monitor, tekanan darah, saturasi oksigen, dan kapnograf
o Akses intravena – disarankan dua akses vena
o Posisi troli intubasi
o Obat-obatan – dimasukkan ke dalam syringe dan diberi tanda

8
• Alat
o Suplai oksigen (mesin)
o Penghantar oksigen
§ Self-inflating bag with one-way valve
§ Nasal prongs
o Alat alternatif saluran nafas
§ Face mask
§ Laryngoscope
§ Laryngoscope blade
§ Endotracheal tube dengan balon, disediakan dalam beberapa
ukuran
§ Tali atau tape
o Alat saluran nafas yang sulit
§ Orofaringeal atau nasofaringeal
§ Bougie
§ Laringoskopi video
o Perlengkapan nafas supraglotik
§ Laryngeal mask airway (LMA)
o Suction
o Monitor
§ Pulse oximeter
§ Kapnograf
§ Monitor tekanan darah, atau akses arteri
§ Elektrokardiografi monitor
o Obat-obatan
§ Agen induksi
§ Agen anestesi
§ Fast-acting neuromuscular blocking agent
§ Obat-obatan emergensi (vasopressor dan adrenalin, atropine)
§ Cairan pendorong

9
6. Premedikasi
Beberapa tenaga kesehatan memberikan premedikasi seperti lignocaine, opioid, atau
atropine untuk meminimalisir efek prosedur. Bolus cairan dapat diberikan untuk
meminimalisir efek hipotensi anestesi dan ventilasi tekanan positif. Premedikasi yang
dapat diberikan antara lain:8,11
• Fentanil: 2-3 𝜇g/ kg sampai 1-2 𝜇g/ kg/ IV sebagai analgesik pada pasien sadar
• Atropine: 0.02 mg/ kg bolus IV
• Lidokain: 1.5- 2 mg/ kg IV dalam 30-60 detik

7. Posisikan pasien
Posisi kepala yang optimal pada anak yang lebih besar dan orang dewasa adalah posisi
sniffing (fleksi kepala dan ekstensi leher). Tujuan dari posisi ini untuk memposisikan
kanalis auditorius dan takik sternum pada level yang sama. Pada beberapa kasus,
hiperelevasi kepala dapat menguntungkan dan pada pasien obesitas posisi ramped.
Posisi ini dikontraindikasikan pada psien dengan curiga cedera servikal. Pada bayi,
posisi saluran nafas dapat optimal dengan penyanggah handuk gulung di belakang
bahu. Pada anak kecil, tidak perlu dipasang penyanggah.9, 10

8. Paralisis dan induksi


Tujuan agen induksi adalah menyebabkan pasien tidak sadar dan tidak responsif
sebelum dilakukan intubasi. Tujuan dari agen paralitik adalah untuk menghilangkan
tonus otot untuk memaksimalkan laringoskopi dan mencegah muntah dan aspirasi.9,10

9. Placement with proof


Setelah ETT terpasang, balon dikembangkan dan posisi yang tepat dikonfirmasi dengan
berbagai cara. Observasi pengembangan dada, kabut pada tabung, dan pergerakan
udara normal masuk dan keluar dari ETT. Baku emas dari konfirmasi posisi ETT yang
tepat adalah dengan 4 fase kapnograf untuk 5 kali tarik nafas, meskipun hal ini
dipengaruhi oleh curah jantung. Auskultasi dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
fisis di atas, digunakan saat tidak tersedia kapnograf. Auskultasi juga membantu
eksklusi intubasi endobronkial. Pada latar fasilitas yang lebih lengkap, dapat dilakukan
foto toraks, terutama bila intubasi akan dilakukan dalam waktu yang lama (contoh:
pasien perawatan intensif setelah cedera kepala berat).9, 10

10
10. Perawatan pasca intubasi
Setelah posisi ETT dikonfirmasi, dapat dilakukan fiksasi menggunakan tali atau tape.
Tekanan darah dipantau, ventilasi mekanik dapat dimulai. Perawatan standar pasca
intubasi, antara lain:2, 10
• Monitor EKG
• Saturasi oksigen
• Non-invasive blood pressure (NIBP)/ akses arteri
• Kapnograf
• Tabung nasogastrik atau orogastrik
• Kateter urin
• Foto toraks
• Analisa gas darah
• Konservasi sedasi dan neuromuscular blocking agent

II.5. PREMEDIKASI, AGEN INDUKSI, AGEN PARALITIK


Rapid Sequence Intubation dilakukan untuk menyediakan saluran nafas definit pada pasien
yang tidak kooperatif, tidak stabil, dan/ atau kritis. Pemilihan agen medikamentosa
(premedikasi, agen induksi, dan paralitik) dapat meningkatkan tingkat keberhasilan intubasi
trakea dan menurunk an risiko komplikasi (tabel 1).1, 11

11
Tabel 1. Agen Premedikasi, Agen Induksi, dan Agen Paralitik1

12
II.5.1. Premedikasi
Premedikasi bertujuan mengurangi ansietas dan respon fisiologis negatif yang dapat
timbul selama intubasi trakea. Waktu pemberian yang optimal tergantung kepada
respon fisiologis pasien. Premedikasi yang umum diberikan antara lain:1, 11
1. Midazolam
Midazolam merupakan golongan benzodiazepine kerja cepat dengan durasi
pendek, bekerja sebagai ansiolitik. Midazolam merupakan agonis 𝛾-
aminobutyric acid (GABA). Midazolam sebagai obat golongan benzodiazepine
yang paling lipofilik, dan bekerja cepat menembus lapisan sawar darah otak.
Namun, oleh karena karakteristiknya, midazolam juga menyebar dengan cepat,
sehingga durasi hidupnya pendek. Dosis tipikal 1-2 mg, lebih kecil pada orang
tua, dan dosis lebih besar diberikan pada pasien obesitas. Akibat profil
farmakokinetiknya, serta dapat menyebabkan amnesia, maka midazolam
merupakan benzodiazepine yang paling disarankan untuk RSI.

2. Fentanyl
Fentanyl merupakan sintetik, agonis opioid yang bekerja sentral, menumpulkan
efek simpatetik dan stimulasi reseptor nyeri yang muncul akibat intubasi.
Seperti pada pasien dengan risiko cedera lanjut akibat input simpatetik,
misalnya pada pasien dengan penurunan kemampuan autoregulasi serebral,
pasien dengan penyakit jantung iskemik akut, aneurisma aorta atau diseksi
aorta. Narkotika dapat menguntungkan, terutama fentanyl yang memiliki fitur
lipofilik, pelepasan histamin yang rendah, onset cepat, dan durasi kerja yang
pendek. Dosis umum 1-3 𝜇g/ kg, diberikan 3 menit sebelum induksi.

3. Atropine
Proses intubasi dapat menstimulasi respon vagal yang kuat, terutama pada
pasien pediatrik dan neonatal. Bradikardia seringkali tidak muncul pada
populasi pasien dewasa, karena kebanyakan memiliki kondisi lain yang
menyebabkan respon hiperdinamik. Namun, pada orang dewasa yang menerima
pengobatan yang menyamarkan property konduksi dari nodus sinoatrial dan
atrioventricular, seperti 𝛽-blocker, calcium channel blockers, amiodaron, atau
digoksin, ditambah dengan pemberian fentanyl, yang memiliki property

13
vagiotonik, memiliki risiko lebih tinggi terhadap bradikardia. Atropine
digunakan untuk menumpulkan respon, dengan bekerja sebagai antagonis dari
reseptor muskarinik dari sistem saraf parasimpatis. Dosis atropine pada orang
dewasa 0.01 mg/ kg.

4. Lidokain
Dahulu, lidokain digunakan untuk menumpulkan respon simpatetik pada pasien
dengan curiga peningkatan tekanan intracranial (TIK); yang mendapat
succinylcholine, yang dapat meningkatkan TIK; dan pada pasien asma yang
mengalami bronkospasme. Input simpatetik yang berkaitan dengan intubasi
akan meningkatkan TIK lebih lagi. Mekanisme kerja lidokain dalam hal ini
belum diketahui. Dosis tipikal 1.5 mg/ kg (umumnya 100 mg) dan memiliki
onset kerja relatif cepat.

II.5.2. Agen Induksi


Pemberian agen induksi secara cepat, diikuti dengan pemberian NMBA membantu
menyediakan kondisi yang optimal untuk intubasi. Pilihan agen induksi dan paralisis
berdasarkan faktor pasien dan karakteristik obat itu sendiri. Agen induksi yang umum
digunakan pada RSI termasuk: 1, 11
1. Barbiturates
Dahulu, barbiturate umum digunakan sebagai agen induksi, namun setelah
penggunaan propofol umum digunakan, penggunaan barbiturates sudah mulai
ditinggalkan. Agen yang paling umum adalah thiopental, dengan alternative
methohexital dosis 1.5 mg/ kg. Barbiturates bekerja sebagai agonis reseptor
GABA. Pada dosis rendah, menyebabkan peningkatan aktivitas GABA dengan
menurunkan disosiasi GABA dari reseptor. Pada dosis tinggi, barbiturates
secara langsung menstimulasi reseptor GABA.

2. Propofol
Propofol merupakan agen yang sangat larut lemak, derivative fenolik, yang
bekerja sebagai agonis GABA dan digunakan sebagai agen induksi pada RSI.
Dosis umum pada pasien yang sehat, intravena, 1.5 mg/ kg (umumnya, 100-200
mg). Pada pasien obesitas, volume distribusi meningkat, namun kecepatan
eliminasi yang rendah, sehingga harus digunakan berat badan sekarang untuk

14
memperhitungkan dosis propofol. Akibat fitur lipofilik, propofol dengan cepat
menembus sawar darah otak, sehingga onset kerja cepat, cocok digunakan
dalam prosedur RSI. Kecepatan eliminasi dan distribusi volume sentral
berkurang pada pasien tua, sehingga diberikan dosis yang lebih rendah (50-100
mg). Propofol menyebabkan penurunan TIK (+ 14 mmHg), sehingga cocok
digunakan sebagai agen induksi pasien dengan peningkatan TIK.

3. Etomidate
Etomidate merupakan agen hipnotik sedative dari imidazole yang umum
digunakan pada RSI. Bekerja dalam menstimulasi reseptor GABA,
menghalangi neuroeksitasi dan induksi penurunan kesadaran. Dosis 0.2-0.6 mg/
kg. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, dosis 0.2 mg/ kg dapat
dipertimbangkan. Setelah administrasi etomidate, dapat diikuti efek myoclonus,
yang dapat disalah artikan dengan bangkitan kejang (22-63%)

4. Ketamine
Ketamine memiliki beberapa fitur ideal sebagai agen induksi RSI. Ketamin
bersifat lipofilik dan dapat menembus sawar darah otak yang menyebabkan
disosiasi fungsional maupun elektrofisiologis dari otak. Efek disosiatif
ketamine antara lain amnesia intens, menimbulkan efek trancelike cataleptic
state dengan inhibisi glutamin pada reseptor N-methyl-D-aspartic (NMDA) di
talamokortikal dan limbik sistem saraf pusat. Selain efek amnestik, ketamine
juga memiliki efek analgesia dari efek antagonis reseptor NMDA, yang
meningkatkan aktivitas reseptor opiate. Dosis ketamine 1-2 mg/ kg. Ketamine
merupakan agen induksi pilihan pada pasien dengan hipotensi.

5. Midazolam
Midazolam juga dapat digunakan sebagai agen induksi. Lebih sering digunakan
sebagai agen induksi pada populasi pediatrik, dengan dosis 0.2-0.3 mg/ kg. Saat
digunakan sendiri, memiliki onset kerja lambat (sampai 5 menit) dan
menyebabkan penurunan kesadarn inkomplit. Apabila dikombinasikan dengan
golongan opioid, onset kerja meningkat hingga 90 detik. Pasien yang menerima
midazolam sebagai agen induksi dapat mengalami penurunan resistensi
vaskular sistemik dan efek depresif miokardial, sehingga penurunan dosis dapat

15
dipertimbangkan pada pasien dengan deplesi volume atau yang secara
hemodinamik tidak stabil.

6. Phenylephrine
Vasodilatasi dan depresi miokard dapat muncul akibat agen induksi pada RSI.
Hipotensi dapat lebih parah pada pasien kritis dengan berbagai alasan, termasuk
abnormalitas asam-basa, sepsis, perdarahan, dan syok. Phenylephrine dapat
diberikan pada pasien yang mengalami hipotensi akibat premedikasi lainnya
seperti lidokain, midazolam, atau fentanyl, atau akibat agen induksi seperti
propofol dan ketamine.

II.5.3. Agen Paralitik


Intubasi emergensi di luar ruang operasi berhubungan dengan komplikasi hipoksia,
komplikasi saluran nafas, dan instabilitas kardiovaskular lebih dari 20%. Agen paralitik
atau NMBA berhubungan dengan penurunan komplikasi yang berkaitan dengan
penanganan jalan nafas emergensi dan memperbaiki kondisi intubasi. Namun,
penggunaan NMBA di luar ruang operasi masih kontroversial akibat potensi gagal
ventilasi menggunakan BMV. Dua jenis NMBA yang sering digunakan antara lain: 1, 11
1. Succinylcholine
Succinylcholine merupakan NMB depolarizing, memiliki onset yang cepat
sehingga ideal untuk RSI. Dosis 1-2 mg/ kg berat badan total. Pada beberapa
kasus dimana tidak dapat dilakukan pemasangan akses intravena, dapat
diberikan secara intramuskular dengan dosis 3-4 mg/ kg (onset terlambat 3-4
menit).

2. Rocuronium
Rocuronium merupakan NMB nondepolarizing, yang menginhibisi
depolarisasi dengan antagonis reseptor asetilkolin (Ach). Dosis rocuronium 0.6-
1.3 mg/ kg. akibat durasi kerja yang lebih panjang dibandingkan
succinylcholine, maka harus diperhatikan pada pasien yang sulit dilakukan
ventilasi menggunakan BMV.

16
II.6. KEGAGALAN INTUBASI
Penyulit intubasi dan jalur nafas yang sulit harus dipertimbangkan sebelum intubasi dan
dikomunikasikan dengan tim sebelum dilakukan induksi. Namun, apabila indikasi intubasi
ditemukan pada pasien dengan gagal nafas, penilaian tersebut mungkin tidak dapat dilakukan.
Apabila pemasangan intubasi inisial tidak sukses, maka ventilasi bag-mask dapat dilakukan
bersamaan dengan persiapan peralatan nafas supraglotik, teknik laringoskopi lainnya, atau
pergantian operator. Percobaan intubasi harus dibatasi, dan selalu diingat risiko untuk
regurgitasi dan aspirasi. Pada beberapa kasus, saluran nafas alternatif dapat dilakukan dengan
tindakan pembedahan, oleh karena itu pada setiap persiapan RSI harus tersedia pula paket
pembedahan krikotirodotomi. Beberapa algoritma kegagalan intubasi telah dipublikasi
(gambar 5).12

Gambar 5. Manajemen Intubasi Trakea Sulit yang Tidak Diantisipasi pada Orang Dewasa12

17
BAB III

KESIMPULAN

Rapid Sequence Intubation dilakukan untuk menyediakan saluran nafas definit pada pasien
yang tidak kooperatif, tidak stabil, dan/ atau kritis. Pemilihan agen medikamentosa
(premedikasi, agen induksi, dan paralitik) dapat meningkatkan tingkat keberhasilan intubasi
trakea dan menurunk an risiko komplikasi. Pada praktek sehari, kondisi ini dapat ditemuakn di
berbagai latar di rumah sakit, sehingga penting bagi tenaga kesehatan untuk memahami
indikasi, kontraindikasi, persiapan, dan identifikasi penyulit agar prosedur ini dapat berjalan
dengan efektif. Selain itu juga dibutuhkan tim yang terlatih, pembagian peran, dan kerjasama
yang baik selama proses RSI.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Stollings JL, Diedrich DA, Oyen LJ, Brown DR. Rapid Sequence Intubation: A Review of the
Process and Considerations when Choosing Medications. Annals of Pharm 2014; 48(1): 62-76.
2. Ross W, Ellard L, Baitch L. Rapid Sequence Induction. ATOTW Tutorial 2016; 331: 1-8.
3. Sinclair RCF, Luxton MC. Rapid Sequence Induction. Continuing Education in Anaesthesia,
Critical Care & Pain 2005; 5(2): 45-48.
4. Ehrenfeld JM, Cassedy EA, Forbes VE, Mercaldo ND, Sandberg WS. Modified Rapid
Sequence Induction and Intubation: A Survey of United States Current Practice. Anesth Analg.
2012; 115(1): 95-101.
5. Merelman AH, Perlmutter MC, Strayer RJ. Alternatives to Rapid Sequence Intubation:
Contemporary Airway Management with Ketamine. Western Journal of Emergency Medicine
2019; 20(3): 466-471.
6. Berkow L, Hagberg CA, Crowley M. Rapid Sequence Induction and Intubation (RSII) for
Anaesthesia. Uptodate. 2018.
7. Knopp R, Waeckerle J. Rapid Sequence Intubation Revisited. Annals of Emergency Medicine
1998; 31(3): 398-400.
8. Filippo AD, Gonnelli C. Rapid Sequence Intubation: A review of Recent Evidences. Reviews
of Recent Clinical Trials 2009; 4: 175-178.
9. Tobias JD. Rapid Sequence Intubation: What Does It Mean? Does it Really Matter? Saudi J
Anaesth 2014; 8(2): 153-154.
10. Braude D. The Emergency Airway: Rapid Sequence Intubation. EMN 2007; 11-12.
11. Mason MA, Weant KA, Baker SN. Rapid Sequence Intubation Medication Therapies: A
Review in Light of Recent Drug Shortages. Advanced Emergency N Journal 2013; 35(1): 16-
25.
12. Frerk C, Mitchell VS, McNarry AF, Mendonca C, Bhagrath R, Patel A, et. al. Difficult Airway
Society 2015 Guidelines for Management of Unanticipated Difficult Intubation in Adults.

19

Anda mungkin juga menyukai