Anda di halaman 1dari 9

I.

Tujuan
1. Menambah pengetahuan mahasiswa terkait kasus pada sistem integumen.
II. Resume Diskusi
II.1 Cutaneus Eosinophilic Granuloma pada Kelinci
Kulit merupakan organ pembungkus elastis yang melindungi tubuh dari
pengaruh antigen atau zat asing. Organ kulit memiliki peranan penting sebagai
pelindung tubuh dengan menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik
atau mekanik, gangguan kimia, radiasi serta gangguan bersifat panas. Namun,
terlepas dari fisiologi normalnya kulit dapat dipengaruh dari zat asing yang
menyebabkan kelainan pada organ kulit.

Pemeriksaan fisik penyakit ini dapat dilakukan pada bahu kanan bagain
dorsal scapula : nampak adanya massa kulit eritematosa berwarna merah muda
dengan ukuran 7 mm x 5 mm. Kemudian juga dilakukan pada abdomen dexter
bagian bawah : lesi dengan jenis serupa berukuran 4 mm x 3 mm. Lesi kulit
berwarna merah muda yang menonjol dan alopecic. Pada lesi perlu dilakukan
pengamatan mikroskopis untuk memertimbangkan kasus pada kulit adalah
ulseratif/non-ulseratif. Evaluasi mikroskopis dilakukan dengan scraping pada
kulit yang mengalami lesi atau dilakukan biopsi eksisi ketebalan penuh kedua
massa lesi. Pemeriksaan penunjang berupa pengamatan makroskopic untuk
melihat tipe plak, seperti granuloma annular, seperti urtikaria, papulovesikular,
bulosa, dan papulonodular. Diagnosis juga dapat didukung oleh eosinofil darah
dan temuan histopatologi termasuk edema dermal, infiltrasi dermal eosinofilik,
dan figur api. Selain itu pemeriksaan penunjang lainnya yaitu pemeriksaan
darah dan tekanan darah.

Pencegahan dapat dilakukan dengan aplikasi rutin fluralaner, diet


makanan, dan pemberian antimicrobial. Pengobatan dapat dilakukan dengan
terapi antibiotic dan kortikosteroid, juga dapat dengan elektrokemoterapi.

II.2 Myasis pada Babi Jantan

Myasis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva lalat


(belatung) yang menyerang semua jenis hewan vertebrata yang berdarah panas
termasuk manusia. Larva lalat penyebab penyakit ini memakan jaringan yang
hidup, mati, atau nekrosis. Myasis ditinjau dari sifat biologis / sifat larva lalat
sebagai parasit, dibagi menjadi myiasis obligat, myiasis fakultatif, dan myiasis
aksidental. Agen primer penyebab myiasis terbagi menjadi tiga, yaitu lalat
Cochliomyia hominivorax yang tersebar di benua Amerika, lalat Wohlfahrtia
magnifica yang tersebar di Eropa hingga Tiongkok, serta lalat Chrysomya
bezziana yang tersebar di kawasan Afrika bagian tropis dan sub tropis, sub
kontinen India, Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Papua Nugini.

Untuk mendiagnosa penyakit ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan


fisik berupa tampak jelas dengan adanya luka terbuka dan membengkak serta
dihinggapi lalat pada kaki yang berbentuk bulat dengan konsistensi sedikit
lembek, di sekeliling luka terlihat kemerahan dan pada bagian tengah luka
tampak lubang pada jaringannya dan banyak didapati belatung. tampak jelas
dengan adanya luka terbuka dan membengkak serta dihinggapi lalat pada kaki
yang berbentuk bulat dengan konsistensi sedikit lembek, di sekeliling luka
terlihat kemerahan dan pada bagian tengah luka tampak lubang pada
jaringannya dan banyak didapati belatung. Patofisiologi berawal dari luka
terbuka kemudian lalat meninggalkan larva. Larva kemudian menginfestasi
jairngan sehingga menyebabkan rusaknya kulit dan jaringan subkutan.
Berlanjut dengan infeksi sekunder.

Pencegahan dilakukan dengan membersihkan hewan, sanitasi kendang


dan lingkungan secara rutin, dan mengecek perubahan [da hewan secara
berkala. Pengobatan myasis dapat dilakukan dengan memberikan pengobatan
bersifat lokal dan sistemik. Pengobatan lokal memberikan aplikasi secara
topikal menggunakan minyak terpentin, minyak mineral, kloroform, atau etil
klorida diikuti dengan pengambilan larva dan runtuhan jaringan yang
mengalami nekrosis secara manual. Pengobatan sistemik dilakukan dengan
pemberian antibiotik spektrum luas seperti ampisilin dan amoksilin. Selain itu,
diperlukan diagnosis yang baik untuk memperoleh pengobatan yang tepat.
II.3 Dhermatophilosis pada Ternak

Dhermatophilosis merupakan penyakit di epidermis yang ditandai


dengan peradangan dan adanya keropeng pada kulit. Disebabkan oleh bakteri
Dermatophilus congolensis melalui kontak langsung seperti saling bergesekan
dengan perpindahan organisme secara mekanis. Melalui zoospora berflagella
yang akan keluar sebagai kudis pada kondisi lembab. Kelembaban
menyebabkan pelepasan zoospore dari lesi ke penetrasi ke epidermis
membentuk infeksi baru yang menyebar dan memungkinkan peningkatan
jumlah serangga.

Untuk mendiagnosa penyakit ini dapat dilakukan pemeriksaan fisik


terjadi penebalan epidermis, eritema, dan alopesia. Dapat pula dilakukan
pemeriksaan penunjang dengan pewarnaan gram koloni, pemeriksaan
diagnostic molecular PCR, dan pewarnaan immunofluoresensi.
Dermatophilosis disebabkan oleh bakteri Dermatophilus congolensis, yang
termasuk dalam genus Dermatophilaceae dari ordo Actinomycetales. D.
congolensis tumbuh pada media yang mengandung darah atau serum pada
suhu 37° selama 24-48 jam. Sifat biokimiawi D. congolensis antara lain adalah
menghidrolisis urea, memfermentasi glukosa, fruktosa, maltosa, tidak
memfermentasi sukrosa salisin dan xylosa serta membentuk indol.

Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan menghindari trauma


kulit dan praktik manajemen yang berpeluang terjadi penularan, perawatan
dengan antibiotic. Hewan yang terinfeksi harus dirawat dengan hati-hati untuk
menghilangkan kerak yang mengandung organisme. Kerak harus dibuang
dengan tepat untuk mencegah kontaminasi lebih lanjut terhadap lingkungan.
Pembentukan biakan yang kebal terhadap Dermatophilus congolensis. Untuk
manusia, gunakan pakaian pelindung, sarung tangan dan kebersihan pribadi.
Pengobatan pada rusa yang terinfeksi Dermatophilosis yakni dengan
dihilangkan keropeng dengan perawatan dan lesi diobati secara topikal setiap
hari. Penyakit ini dapat ditangani dengan pemberian penicillin streptomycine
II.4 Canine Malignant Pilomatricoma

Malignant pilomatricoma merupakan tumor ganas yang berada pada sel


germinal atau matriks folikuler dari bulbus rambut (hair bulb). Tumor ini
jarang terjadi pada anjing dan tidak terdapat predisposisi ras maupun jenis
kelamin. Sebagian besar tumor ini muncul pada daerah punggung, leher, dada,
dan ekor. Tumor ini muncul sebagai massa soliter, keras, berbatas tegas, dan
sering disertai dengan ulserasi permukaan. Penyebab dari malignant
pilomatricoma pada anjing diakibatkan oleh adanya pertumbuhan sel dengan
cepat pada folikel rambut secara abnormal. Hal ini diduga berhubungan dengan
adanya deregulasi jalur Wnt/β catenin akibat mutasi gen CTNNB1.
Untuk mendiagnosis penyakit ini dapat dilakukan pemeriksaan klinis.
Pemeriksaan klinis dapat dilakukan dengan mengambil tanda vital dan
pemeriksaan sistemik hewan. Pemeriksaan klinis yang dilakukan menyatakan
ataksia di ekstremitas belakang, nyeri dan edema ekstremitas depan kiri dan
massa subkutan di daerah prescapular kiri. Hasil radiografi bagian cranial dan
caudal, toraks, abdomen dan kolumna vertebra menunjukkan area lisis dan
sklerosis pada bagian proksimal humerus kiri dengan proliferasi tulang
periosteal. Radiografi juga mendeteksi beberapa struktur nodular yang
disebarluaskan di seluruh paru-paru dan struktur radiopak melingkar yang
mirip dengan jaringan lunak terlihat mendesak liver secara cranial dan kolon
secara dorsal di abdomen. Pemruksaan penunjang dapat dilakukan dengan
pemeriksaan nekropsi dilakukan 2 jam setelah kematian dan pemeriksaan kasar
menunjukkan massa putih (10 x 5 x 5 cm) dengan permukaan keras di jaringan
subkutan daerah prescapular kiri. Kepala humerus kiri bengkak, dengan
korteks yang rapuh dan area putih yang padat (4 x 3 cm) di rongga medula
metafisis proksimal. Dapat juga dengan pemeriksaan histopatologi.
Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan bahwa massa tersebut terdiri dari
beberapa lobulus. Di perifer lobulus terdapat sel basaloid bulat hingga oval
dengan inti hiperkromatik dan sedikit sitoplasma. Sel-sel basaloid
berdiferensiasi menuju pusat lobulus dan menunjukkan figur-figur mitosis (7-
15 figur mitosis per 400× lapang pandang). Ditemukan atypia nukleus dan
mitosis yang signifikan. Sel-sel menunjukkan keratinisasi dan pleomorfisme.

Perkembangan malignan pilomatricoma merupakan salah satu jenis kasus


langka dimana terjadi neoplasma secara lokal dan agresif yang berasal dari sel
matriks folikuler. Bentuk benigna dan maligna dari pilomatricoma tidak
berbeda jauh namun pada fase maligna, akan banyak ditemui figur mitotik
dimana akan banyak rasio basaloid yang akan menjadi sel ghost dengan invasi
limfatik serta akan bermetastasis ke organ lain seperti tulang, pulmo, hepar,
dan spleen. Hal yang dapat dijadikan asumsi terjadinya maligna pilomatricoma
adalah adanya figur mitosis atopik dengan bentuk pleomorfisme, serta adanya
metaplasia pada tulang. Selebihnya dapat dikatakan hal mutasi sebagai sebab
terjadinya maligna pilomatricoma sebagai idiopatik.

Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan kulit dan


rambut, mengurangi konsumsi pakan yang mengandung xat onkogenik,
meningkatkan imunitas tubuh, dan menjaga kebugaran tubuh. Pengobatan
dapat filakukan dengan beberapa terapi yakni kemotrapi, imunoterapi,
hormonalterapi, dan radioterpai. Dapat pula dilakukan operasi. Pengangkatan
sel kanker dapat dilakukan jika resiko dan efek samping masih bisa ditoleransi.
tindakan operasi dan terapi juga dapat dikombinasikan untuk mempercepat
kesembuhan.
II.5 Demodekosis pada Anjing

Demodekosis adalah salah satu jenis penyakit kulit pada anjing


yangdisebabkan oleh parasit demodex. Demodeksis disebabkan parasit
Demodex sp. yang hidup di kelenjar minyak. Pemeriksaan fisik dapat dilihat
adanya keropeng, alopecia, dan bulunya kusam. Pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan dengan deep skin scraping, trichogram, tape smear, dan biopsy
kulit. Patofisiologi dari penyakit ini berawal dari demodeks yang berpredileksi
di folikel dan kelenjar sebaseus. Demodeks kemudian berkembang dan
menimbulkan penyakit. Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan kendang, memperhatikan kebutuhan nutrisi, meminimalisir kontak
langsung dengan hewan luar, dan memperhatikan manajemen pemeliharaan.
Pengobatan dilakukan dengan memisahkan hewan terinfeksi ke tempat
terpisah, membersihkan luka dengan larutan rivanol, dan memberikan
povidone iodine pada permukaan luka.
III. Menjawab Pertanyaan
III.1 Apa saja fungsi sistem integumen dan bagaimana strukturnya?
Menurut Sari dan Anitasari, (2018), sistem integumen merupakan
organ yang paling luas yang terdiri atas kulit dan aksesorinya, termasuk kuku,
rambut, kelenjar (keringat dan sebaseous), dan reseptor saraf khusus (untuk
stimuli perubahan internal atau lingkungan eksternal). Berfungsi untuk
perlindungan melawan luka secara mekanik, infeksi, dan kekeringan.
Berdasarkan litelatur lain, sistem integumen terdiri dari 3 lapisan;
epidermis, dermis, dan hipodermis. Epidermis tersusun atas stratum basal,
stratum spinosum, stratum granulosum, dan stratum korneum. Stratum basal
mengandung sel-sel yang bermitosis dan memiliki ketebalan satu sel. Stratum
spinosum merupakan lapisan epidermis yang paling tebal terdiri atas sel-sel
kuboid agak gepeng dengan inti di tengah. Stratum korneum terdiri atas sel-sel
mati seperti sisik yang semakin menggepeng dan menyatu. Dermis terdiri atas
dua jaringan ikatyang tersusun tidak teratur, yaitu lapisan basal dan lapisan
retikuler, dan terdapat beberapa derivate kulit. Hipodermis atau lapisan
subkutan terdiri atas jaringan ikat longgar untuk mengikat kulit secara longgar
pada organ-organ di bawahnya supaya memungkinkan kulit bergeser
diatasnya. Mengandung sel lemak yang bervariasi jumlahnya tergantung
daerah tubuh, dan ukuran yang bervariasi sesuai status gizi (Sari dan Anitasari,
2018).

Gambar 1. Lapisan kulit dan bagian-bagiannya (Tortora dan Derrickson,


2016).

III.2 Jelaskan tentang pemeriksaan hidrasi melalui kulit hewan


(pemeriksaan turgor kulit dan pemeriksaan membrane mukosa) dan
sertakan gambarnya pemeriksaannya!
Pemeriksaan hidrasi pada hewan bisa dilakukan dengan prosedur
penarikan kulit dari hewan untuk melihat konsistensi pergerakan dan
pengembalian kulit ke kondisi normal berdasarkan kecepatan kembali dan dari
kulit. Selain dengan prosedur penarikan kulit, pengecekan hidrasi dan
capillary refill time (CRT) dapat dilakukan dengan melihat konsistensi warna
dan tekstur dari membrane mukosa, serta melihat kondisi mata dari hewan
yang apabila mata tampak cekung bisa menjadi indikasi ia mengalami
dehidrasi. Berikut tabel indikator status hidrasi dari hewan. (Taylor, 2021)
A B

Gambar 2. A: Pemeriksaan turgor kulit pada hewan, B: Pemeriksaan warna


membrane mukosa.
III.3 Sebutkan dan jelaskan tentang kelenjar kulit!
Kelenjar keringat (sweat/ sudoriferous glands) berbentuk tubular
melingkar yang tertanam jauh di bagian dermis. Bagian atasnya membentuk
saluran yang terbuka di bagian permukaan membenruk pori-pori dan bagian
bawah berbentuk melingkar dan terletak di lapisan dermis yang dikelilingi oleh
pembuluh kapiler. Keirngat disekresikan oleh kelenjar keringat secara terus
menerus. Keringat mengandung banyak air yang mengandung garam terlarut
seperti natrium, kalium, dan urea, Keringat membawa keluar limbah
metabolisme dan mengatur suhu tubuh melalui proses penguapan (Nisa’,
2021).
Kelenjar minyak adalah kelenjar alveolar yang membuka di folikel
rambut dan mengandung rambut. Kelenjar ini juga terdapat di permukaan kulit
di sekitar organ genital, ujung hidung, dan tepi bibir. Kelenjar minyak
mengeluarkan minyak (sebum) untuk melumasi rambut dan juga menutupi
kulit dengan lapisan minyak. Sekresi dari kelenjar sebaseous mengandung lilin,
asam lemak, dan kolesterol, yang membuat kulit menjadi lentur (Nisa’, 2021).

III.4 Jelaskan tentang vaskularisasi dan innervasi!


Kulit tervaskularisasi dan tersuplai oleh plexus yang dapat ditemukan di
antara lapisan retikuler dan papilla dermis. Darah disuplai dari jaringan
pembuluh darah besar dan kapiler yang memanjang dari cabang regional
sirkulasi sistemik ke tempat lokal di seluruh jaringna subkutan dan dermis.
Selain vaskularisasi pembuluh darah, ada juga jaringan limfatik meluas
sepanjang pembuluh darah pada kulit, terutama yang melekat pada ujung vena
dari jaringan kapiler. (Lopez-ojeda, dkk., 2020).
Kulit memiliki beberapa nervus menurut Lopez-ojeda, dkk., (2020),
dengan fungsinya masing-masing, seperti:
a. Reseptor meisser, mendeteksi cahaya
b. Korpuskulus pacinian, mendeteksi tekanan dan getaran
c. Reseptor ruffini, mendeteksi tekanan dan sentuhan kulit
d. Free nerve endings, mendeteksi rasa sakit, sentuhan lembut, dan
temperatur
e. Reseptor merkel, mendeteksi induksi sentuhan ringan yang
berkelanjutan
IV. Saran
Pada praktikum minggu ini berjalan dengan baik, lebih tepat waktu lagi agar
praktikum lebih efisien.
DAFTAR PUSTAKA

Lopez-Ojeda, w., Pandey, A., Alhajj, M., dan Oakley, A. M., 2020. Anatomy Skin
(Integument). California: NCBI.

Nisa’, G. K. 2021. Struktur Hewan Vertebrata. Semarang: Alinea Media Dipantara.

Sari, D. N. R., dan Anitasari, S. D. 2018. Struktur Hewan (Anatomi Makroskopik dan
Mikroskopik). Yogyakarta: Nusamedia.

Taylor, S. M. 2021. Small Animal Clinical Techniques. Missouri: Elsevier.

Tortora, G. J., dan Derrickson, B. 2016. Principles of Anatomy and Physiology 13th Edition.
USA: John Wiley & Sons, Inc.

Anda mungkin juga menyukai