1
BAB I
PENDAHULUAN
Fakta tersebut akan tetap demikian jika faktor penyebabnya tidak diubah. Faktor
penyebab paling mendasar adalah gaya hidup dalam keluarga. Pendidikan pertama
yang diperoleh seorang anak adalah di rumah. Orangtua yang tidak pernah mengajak
anak mengajak membaca atau paling tidak memberi contoh untuk membaca, akan
menciptakan anak yang tidak memiliki kebiasaan dan minat membaca (Mujiran, 2008:
127). Faktor penyebab lainnya adalah karena sistem pembelajaran di sekolah belum
dapat membuat anak tergerak untuk membaca (Ibid., 2008: 129, Jahja, 2006: 273).
Sistem satu arah yang selama ini diimplementasikan oleh sebagian besar guru, yaitu
bahwa guru menjadi satu-satunya nara sumber, menyebabkan siswa tidak aktif mencari
informasi yang dibutuhkan melalui buku-buku bacaan. Semuanya tergantung pada apa
yang diajarkan oleh guru di dalam kelas. Faktor terakhir adalah lingkungan elektronik di
mana para siswa terbiasa dengan fasilitas komputer yang memudahkan mereka
mencari informasi. Siswa hanya menginput kata kunci, semua informasi muncul.
Kemudahan tersebut menyebabkan mereka malas membuka buku.
Ketiga kebiasaan yang mendasar tersebut, jika tidak diwaspadai dan diubah, akan
terserap menjadi budaya yang tidak konstruktif. Kebiasaan yang membudaya akan sulit
diubah. Untuk mengatasi masalah tersebut terdapat dua solusi, dengan tidak menutup
kemungkinan solusi-solusi lainnya. Solusi pertama yang dapat diberikan adalah melalui
penanaman pemahaman kepada orangtua dan guru mengenai arti pentingnya
membaca. Solusi kedua adalah meningkatkan efektivitas perpustakaan sebagai sumber
bahan bacaan, termasuk efektivitas pustakawannya sebagai pengelolanya (Jahja,
2006: 276). Modul ini difokuskan pada solusi kedua, yaitu pemanfaatan perpustakaan
2
sekolah dalam meningkatkan minat, gemar, dan kebiasaan membaca masyarakat
Indonesia.
Mata ajar diklat ini membekali peserta dengan pengetahuan tentang membangkitkan
minat dan gemar membaca, serta membangun kebiasaan membaca pada siswa
sekolah. Pengetahuan yang perlu dikuasai mencakup pengertian, tujuan dan manfaat,
serta berbagai jenis kegiatan membaca pada siswa, termasuk pengetahuan tentang
peran perpustakaan sekolah dalam peningkatan kegiatan membaca. Selain itu,
pengetahuan yang juga diberikan adalah mencakup pengetahuan tentang merancang
program peningkatan kegiatan membaca yang meliputi teknik mengidentifikasi kondisi
minat dan sarana kegiatan membaca, menerapkan program peningkatan minat dan
gemar membaca siswa melalui perpustakaan sekolah, dan meningkatkan kemampuan
siswa membaca kritis; serta faktor yang mempengaruhi keberhasilan program
peningkatan kegiatan membaca, termasuk kendala yang menghambat program. Mata
ajar ini disajikan dengan metode pelatihan dalam bentuk ceramah, tanya jawab, diskusi,
dan praktik.
Setelah mengikuti mata ajar diklat ini, peserta diharapkan memiliki kompetensi dasar
dalam mengelola program peningkatan kegiatan membaca pada siswa, baik
membangun minat, gemar, dan kebiasaan membaca siswa didik.
Kompetensi dasar yang pertama yang sebaiknya dimiliki oleh peserta diklat adalah
kemampuan membaca. Seseorang yang menjadi instruktur peningkatan kegiatan
membaca, seperti pustakawan, guru pustakawan, atau guru, dalam melaksanakan
program tersebut membutuhkan kemampuan membaca agar dapat lebih mudah
menularkannya pada siswa.
3
mampu melakukan persuasi, mampu menyimak, memiliki sikap hangat dan menghargai
orang lain, mampu „memasarkan‟ perpustakaan.
4
BAB II
Minat, gemar, dan kebiasaan membaca siswa merupakan tindakan yang sifatnya
sangat individual (personal) dan manfaat secara langsung juga untuk kepentingan
individu (Elkin, 2003: 4). Pemahaman seseorang tentang makna membaca dan makna
buku akan membentuk minat, gemar, dan kebiasaan membaca. Karena setiap orang
memiliki nilai dan keyakinan yang berbeda-beda, maka mereka juga memiliki minat,
gemar, dan kebiasaan membaca yang berbeda-beda.
Ketiga istilah di atas memiliki pemahaman yang berbeda berdasarkan tahapan kegiatan
membaca. Tahap pertama adalah munculnya minat membaca (reading interest), yaitu
keinginan atau kemauan seseorang untuk membaca, tahap kedua adalah tindakan
membaca yang dilakukan berulang-ulang, termasuk gemar membaca, yang disebut
sebagai kebiasaan membaca (reading habit), dan tahap ketiga adalah terciptanya
budaya membaca (reading culture) (Melling, 2011). Makna budaya membaca itu
sendiri adalah kebiasaan membaca yang sudah didasari oleh nilai dan keyakinan yang
kuat yang tertanam dalam perilaku keseharian. Tetapi dalam bahan ajar diklat ini, tahap
terakhir yakni budaya membaca tidak dibahas. Berdasarkan tujuan diklat, program ini
lebih berfokus pada praktik membaca, sedangkan budaya membaca merupakan hasil
dari praktik-praktik yang dilakukan oleh individu.
Arti minat membaca adalah dorongan hati yang tinggi untuk membaca. Minat terjadi
pada kognisi manusia yang muncul karena stimulus eksternal. Misalnya, seseorang
yang mendengarkan cerita temannya tentang perjalanan ke Eropa yang baru
dilakukannya, sangat mengasyikkan. Oleh karena orang tersebut sangat tertarik dan ia
belum pernah ke sana, tentunya ia membutuhkan informasi tentang lokasi negara
tersebut, informasi tentang gaya hidup masyarakat di Eropa, lingkungan dan daya tarik
wisatanya, dan informasi tentang metode dan biaya perjalanan. Seluruh informasi yang
5
dicarinya ada pada bacaan. Pada contoh lain, ketika seseorang harus menyelesaikan
tugas membuat makalah dari sekolah dan isi makalah hanya dapat diperoleh dari
bacaan, maka suka tidak suka, ia akan langsung merujuk pada buku. Kondisi kedua
menciptakan kondisi terpaksa pada orang tersebut, sehingga kegiatan membaca akan
terjadi pada saat kondisi terpaksa itu saja. Dapat disimpulkan bahwa munculnya minat
untuk membaca, sebaiknya didorong oleh rasa suka pada sesuatu yang menarik dan
rasa penasaran.
Minat membaca pada setiap anak akan berubah sesuai dengan perkembangan jenjang
usia. Tahapan minat yang umum dijumpai adalah sebagai berikut (Sudarsana, 2007:
5.11):
1. Usia 2 – 4 tahun, minat anak pada usia ini condong pada cerita fantasi. Anak-
anak yang baru menyadari lingkungan tempat mereka tinggal ini sedang
mengembangkan imajinasi dan belajar memahami dunia berdasarkan kaca mata
mereka.
2. Usia 4 – 8 tahun, minat anak pada usia ini condong pada cerita dongeng. Di
usia antara balita dan remaja awal, anak sudah mengenal lingkungan dan dunia
mereka dengan lebih baik, tetapi mereka masih terus mengembangkan imajinasi.
3. Usia 8 – 11/12 tahun, minat anak pada usia ini condong pada cerita
petualangan. Di usia awal remaja ini, rasa ingin tahu mereka menjadi lebih
besar, sehingga mereka tertarik mengenal dunia petualangan.
4. Usia 12 – 15 tahun, minat anak pada usia ini condong pada cerita
kepahlawanan. Usia remaja, yaitu masa pubertas ketika perhatian anak terpusat
pada diri sendiri, atau mencari jati diri, cenderung ingin menonjolkan diri. Cerita
kepahlawanan memungkinkan mereka mendapatkan pegangan atau idola bagi
diri sendiri yang sedang mencari jati diri.
5. Usia 15 – 20 tahun, minat anak pada usia ini condong pada cerita romantis.
Usia remaja yang menuju ke arah usia dewasa membuat mereka lebih tertarik
pada cerita-cerita romantis, cerita yang menunjukkan hubungan kasih sayang
yang lebih ekspresif.
Tahapan minat di atas akan terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Generasi muda yang terlahir di masa teknologi yang saat ini sedang berkembang pesat,
sejak balita sudah terbiasa menekan tombol komputer. Karakternya sangat terlihat
berbeda dengan generasi tahun 60-an, masa ketika belum ada komputer. Generasi
6
yang akan datang tentunya juga akan terus berubah dan berkembang dalam praktik
membaca berdasarkan aspek kebutuhan, tuntutan, karakter, kebiasaan, serta pola
komunikasi perolehannya.
Sementara itu, arti gemar membaca adalah suka atau senang sekali untuk membaca.
Gemar membaca dapat dianggap sebagai tindakan setahap lebih maju dari minat
membaca. Setelah seseorang dapat menumbuhkan minat membaca di dalam dirinya, ia
akan menumbuhkan rasa suka pada kegiatan membaca. Dari rasa suka atau senang
sekali itu, ia akan melakukan kegiatan membaca.
Dalam kegiatan membaca, setiap individu memiliki teknik yang berbeda, baik pada cara
membaca, tempat membaca, dan tujuan membaca. Pada dasarnya, teknik membaca
dibedakan menjadi dua, yaitu membaca ekstensif dan membaca intensif
(Sudarsana, 2007: 4.7). Membaca ekstensif adalah membaca secara luas dalam waktu
yang singkat. Teknik membaca tersebut membutuhkan kegiatan yang terfokus, mulai
dari memilah yang penting, kurang penting, dan tidak penting (selecting), membaca
hanya bagian-bagian yang dianggap penting (skipping), membaca cepat untuk
menemukan gagasan utama (skimming), dan membaca dengan cermat (scanning).
Teknik tersebut digunakan ketika seseorang sedang mendalami garis besar dari suatu
konsep dasar ilmu pengetahuan.
Sementara itu membaca intensif adalah membaca agar dapat memahami keseluruhan
isi bacaan secara mendalam. Teknik membaca ini mencakup kegiatan
menginterpretasi, mengevaluasi, dan menganalisis isi bacaan secara kritis. Membaca
intensif mencakup membaca rekreatif, yaitu teknik membaca untuk mencari
kesenangan dan mengisi waktu senggang.
8
Teknik membaca berkaitan dengan tingkatan pembaca. Semakin tinggi tingkatannya
dalam kegiatan membaca, maka teknik membacanya semakin canggih. Berikut adalah
tingkatan yang dimaksud (Sudarsana, 2007: 5.18):
9
2.1.2 Tujuan dan Manfaat membaca
Secara umum, tujuan membaca adalah untuk memperoleh informasi tertulis atau
terekam yang dibuat dan/atau disajikan oleh orang lain. Tetapi banyak juga orang yang
membaca untuk mengisi waktu luang dan menghibur diri (Sudarsana, 2007: 4.3).
Informasi yang disajikan dapat berupa data, berita, laporan, atau pengetahuan.
Sedangkan manfaat membaca cukup banyak, antara lain: menambah pengetahuan dan
wawasan, mengetahui peristiwa yang pernah terjadi, mengetahui gagasan atau
pendapat atau pengalaman orang lain, serta menjadikan wahana rekreasi ilmu. Manfaat
tersebut merupakan pemahaman dari sebagian besar masyarakat yang perlu diperbaiki
bahkan diubah. Konsep membaca bukan hanya memaknai rangkaian kata yang ada
dalam bacaan, tetapi juga mencakup proses mengingat, menilai, menghayati,
berimajinasi, proses mengorganisasi pengetahuan yang telah diperoleh, dan proses
memecahkan permasalahan. Melalui seluruh proses yang terjadi tanpa disadari
tersebut di dalam kognisi manusia, membaca bukan hanya sekedar membaca, tetapi
melatih daya analisis seseorang.
10
pengalaman manusia lain yang ditulis dalam buku, orang lain dapat memperoleh
pengetahuan yang sama.
3. Mengembangkan watak dan perilaku yang baik dalam bersosialisasi.
Membaca yang dilakukan dengan berdiskusi, saling berbagi pengetahuan,
membaca bersama, dapat meningkatkan hubungan antarmanusia. Selain dapat
menstimulasi pengembangan keterampilan bersosialisasi, membaca bersama
juga dapat meningkatkan rasa keingintahuan dan kreativitas seseorang.
4. Mengisi waktu luang dengan kesibukan yang berguna. Ketika seseorang
tidak tahu apa yang harus dilakukan pada waktu luang, ia dapat membaca buku.
Tidak menjadi persoalan jika buku yang dibaca tergolong buku picisan, atau
sekedar membaca iklan di surat kabar atau majalah, bahkan hanya melihat
gambar atau foto di dalamnya, paling tidak ia menanamkan kebiasaan membaca
pada dirinya. Kegiatan membaca masih lebih bermanfaat dibandingkan
menghabiskan waktu dengan berwisata ke mal atau tawuran.
5. Menenangkan pikiran dan biblioterapi. Informasi dalam buku menawarkan
banyak pilihan, seperti praktik menghadapi berbagai persoalan kehidupan,
praktik menghadapi perasaan bersalah, dan sebagainya. Sementara itu, buku-
buku novel atau buku cerita menawarkan berbagai kisah dan gaya penuturan
yang penuh misteri, ketegangan, atau penuh kelembutan. Seluruh jenis buku
dapat dijadikan sebagai sarana terapi.
Kelima manfaat di atas dapat menuntun seseorang menjalani hidup menjadi lebih
baik. Dengan kemampuan analisis dan pengetahuan yang terus berkembang, ia dapat
memahami permasalahan dunia yang dihadapinya. Dengan pemahaman yang utuh, ia
dapat menentukan prioritas dalam kehidupannya, selanjutnya dapat menentukan
langkah-langkah yang layak diambil. Dengan demikian ia dapat mengatasi masalah
kehidupan secara mandiri.
Berdasarkan manfaat membaca yang telah diuraikan di atas, maka upaya membangun
minat, gemar, dan kebiasaan membaca pada siswa sangat penting dilakukan. Bagian
ini menjelaskan bahwa untuk dapat mencapai manfaat membaca, seseorang harus
membangun minat dan gemar membaca, kemudian mengarahkannya untuk menjadi
kebiasaan. Setelah minat dan kebiasaan membaca terbangun, ia perlu meningkatkan
11
diri agar mampu membaca dengan baik, sehingga ia mempu memahami isi bacaan
baik yang tersirat maupun yang tidak. Dengan memahami isi bacaan, ia dapat meraih
manfaat membaca.
Tujuan utama membangun minat dan gemar membaca adalah untuk memotivasi dan
mengarahkan minat dan gemar membaca pada anak. Membangun minat dan gemar
membaca sebaiknya dimulai sejak usia dini. Usia 0-5 tahun merupakan masa emas
pertumbuhan otak dan masa pembentukan karakter anak. Kondisi ini pada umumnya
berlangsung hingga usia remaja. Perilaku anak pun masih dapat diarahkan dan
dibentuk. Kebiasaan membaca sejak anak masih kecil, dapat mengasah bakat dan
potensi anak secara lebih intensif (Mujiran, 2008: 124).
Siswa didik yang dihitung mulai dari playgroup hingga sekolah menengah atas, berusia
antara 3 tahun hingga 18 tahun, merupakan sasaran program peningkatan minat dan
gemar membaca yang paling tepat. Dalam kurun usia tersebut, program akan lebih
mudah dilaksanakan. Berkaitan dengan masa sekolah, siswa didik juga akan terfokus
pada kegiatan pembelajaran, sehingga program perpustakaan yang dikaitkan dengan
kurikulum sekolah akan lebih mudah dilakukan.
Tujuan berikutnya akan perlunya membangun minat dan gemar membaca siswa adalah
untuk mengimbangi daya tarik dunia hiburan (Mujiran, 2008: 128). Dewasa ini, gaya
hidup masyarakat kebanyakan menawarkan semua hal yang semakin menjauhkan
seseorang dari kegiatan membaca buku, seperti pergi ke mal, internet, kafe, rumah
makan, dan sebagainya. Program peningkatan minat dan gemar membaca perlu
dilakukan secara menarik, baik cara maupun sarananya, sehingga dapat mengalihkan
perhatian siswa dari dunia hiburan, atau bahkan menggabungkan keduanya. Misalnya,
setelah siswa menonton sebuah tayangan di televisi atau bioskop, siswa diminta untuk
mencari referensinya atau mengembangkan topik dalam tayangan tersebut dari buku.
Mereka diwajibkan menulisnya sebagai laporan penelitian. Laporan terbaik akan diberi
nilai tinggi dan diberi insentif berupa uang atau voucher berbelanja buku di toko buku
tertentu.
12
2.2.2 Tujuan meningkatkan kebiasaan membaca pada siswa
Tujuan utama kegiatan meningkatkan kebiasaan membaca pada siswa didik adalah
untuk membudayakan kegiatan membaca. Terbangunnya minat, gemar, dan kebiasaan
membaca pada siswa tidaklah cukup. Mengingat siswa adalah aset bangsa, semua
potensi dan kemampuannya perlu dibina sedini mungkin dan sebaik mungkin, termasuk
kemampuan membaca. Dengan kemampuan tersebut, menciptakan generasi yang
tangguh, yang memiliki inovasi, kreativitas, dan kompetensi yang tinggi.
Kemampuan membaca tidak bisa mendadak atau datang tiba-tiba. Kemampuan ini
harus dilatih dan bahkan dipaksa sampai menjadi kebiasaan dalam hidup seseorang.
Tingkat kebiasaan membaca seseorang perlu diukur. Untuk memudahkan pengukuran
keberhasilan dalam pembinaan kemampuan membaca, perlu dibuat indikator atau tolok
ukurnya. Indikator ini tidak harus satu, tetapi bisa dibuat dan dikembangkan untuk
masing-masing kegiatan pembinaan membaca. Misalnya, pengukuran untuk kecepatan
membaca (jumlah halaman per menit), jumlah buku yang dibaca per minggu,
kemampuan bercerita ulang dari isi buku, atau kemampuan mengaktualisasikan
kembali dari isi buku yang dibaca (melalui lomba dongeng atau mengarang) atau
jumlah kunjungan dan transaksi perpustakaan.
13
2.3.1 Perpustakaan sebagai Sumber dan Wahana Belajar Sepanjang
Hayat
Perpustakaan sekolah, yang didefinisikan sebagai perpustakaan yang diselenggarakan
di sekolah untuk kepentingan proses belajar-mengajar di sekolah, memiliki fungsi dasar
sebagai pusat penyimpan pengetahuan (preservation of knowledge) (Sudarsana, 2007:
1.28). Sehubungan dengan hal tersebut, peran utama perpustakaan sekolah adalah
sebagai sumber dan wahana belajar sepanjang hayat. Berdasarkan Undang-undang
Republik Indondesia, No 43 tahun 2007 tentang perpustakaan, dinyatakan bahwa:
Sebagai bagian integral dari sistem pendidikan, perpustakaan sekolah bukan sekedar
sebagai unit pelengkap, perannya sangat strategis dalam membudayakan kegiatan
membaca. Oleh sebab itu, perpustakaan harus dikelola secara profesional dan
dilaksanakan oleh petugas yang kompetens. Perpustakaan pada masa kini tidak dapat
lagi mengandalkan layanan pasif, layanan harus dijalankan secara proaktif dan juga
didukung dengan fasilitas akses yang berbasis pada teknologi informasi dan
komunikasi.
Perannya yang tidak hanya sekedar sebagai fasilitator tempat meminjam dan membaca
buku, perpustakaan sekolah juga berperan sebagai unit kerja yang memiliki
kemampuan membina minat, gemar, dan kebiasaan membaca, serta meningkatkan
kemampuan membaca siswa didik. Dengan peran inilah perpustakaan sekolah harus
mampu melihat perkembangan proses belajar-mengajar, dan perkembangan minat
baca dan kebutuhan siswa dan guru akan informasi. Dalam rangka meningkatkan
perannya, perpustakaan harus memiliki program strategis yang meliputi kegiatan
promosi, kegiatan sosialisasi, kegiatan kreatif, serta kerja sama antara kegiatan
15
perpustakan dan kurikulum yang sedang berjalan maupun yang akan datang. Di sinilah
diperlukan tenaga perpustakaan yang berjiwa entrepreneurship dan visioner, serta
memiliki kemampuan komunikasi, baik interpersonal maupun kelembagaan kerja.
16
Kebijakan sekolah juga sebaiknya berkontribusi untuk mewajibkan pelatihan bagi para
guru dan pustakawan untuk meningkatkan kemampuan membaca. Dengan
kemampuan tersebut, guru dan pustakawan dapat menularkannya pada siswa dengan
lebih mudah. Kebijakan tersebut mewajibkan pula bagi guru dan pustakawan untuk
memiliki sikap yang dibutuhkan dalam pendekatan mereka dengan siswa. Sikap yang
fleksibel dan luwes dalam memahami perilaku remaja mempengaruhi pola siswa
belajar, terutama dalam mengubah kebiasaan membaca. Misalnya, pustakawan yang
kaku dan galak akan membuat siswa takut dan enggan untuk datang ke perpustakaan.
Akibatnya siswa akan memiliki pandangan negatif terhadap perpustakaan.
17
BAB III
PROGRAM PENINGKATAN
Kebiasaan membaca pada siswa diartikan sebagai kegiatan membaca yang sering
dilakukan siswa, sehingga menjadi kebutuhan. Sesuatu yang dilakukan secara
berulang-ulang akan meningkatkan kualitas kemampuan membaca. Umumnya,
seseorang yang sering membaca memiliki sikap lebih kritis dan lebih tanggap terhadap
lingkungan.
18
3. Subjek yang sering dibaca? Demikian pula dengan subjek yang sering dibaca,
siswa mengacu pada subjek pelajaran sekolah. Selain itu, subjek yang paling
dicari adalah cerita-cerita petualangan dan cerita cinta yang berbobot ringan.
Sebagian yang lain kebanyakan bertujuan untuk memenuhi keingintahuan atau
ketertarikan mereka pada sesuatu yang khusus, seperti mengetahui berita
terkini, baik dalam bidang olahraga, seni, dan politik.
4. Mengecek buku baru secara teratur? Biasanya, seseorang yang tertarik akan
buku akan mencaritahu buku-buku baru yang ada di toko buku, internet,
perpustakaan, atau teman. Ia akan mengecek buku-buku baru, sesuai minat dan
kebutuhannya, secara teratur, setiap dua minggu atau satu bulan sekali, dan
seterusnya.
5. Buku yang paling menarik yang pernah dibaca? Siswa yang senang membaca
buku akan mudah menjawab pertanyaan ini. Karena didasari oleh rasa suka dan
karena menghayati bacaan, mereka akan ingat judul dan isinya. Tanpa disadari,
ia pun akan menceritakannya kepada teman-temannya dan mempromosikan
buku yang disukainya itu.
6. Berapa buah buku yang dibaca dalam satu bulan? Kebanyakan siswa menjawab
hanya membaca satu buku per bulannya. Rata-rata buku yang dibaca adalah
komik, disusul dengan novel. Kebanyakan dari mereka mengira bahwa
membaca surat kabar atau majalah merupakan kegiatan membaca, padahal
makna kegiatan membaca bukan hanya memaknai rangkaian kata, tetapi
mencakup proses mengingat, menilai, menghayati, berimajinasi, proses
mengorganisasi pengetahuan yang telah diperoleh, dan proses memecahkan
permasalahan. Kegiatan tersebut tergantung pada teknik membaca, apakah
hanya membaca judul besarnya saja, atau benar-benar menghayati informasi
dalam bacaan.
7. Frekuensi kegiatan membaca dalam seminggu? Karena kebanyakan siswa atau
remaja melakukan kegiatan membaca hanya jika diminta guru atau ketika akan
melaksanakan ujian, maka frekuensinya terhitung setiap hari pada masa
sekolah, dan sesekali dalam seminggu ketika tidak sedang dalam masa sekolah.
8. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca dalam 1 hari? Kebanyakan
siswa membaca selama 1 hingga 2 jam dalam sehari. Mereka lebih banyak
menghabiskan waktu dalam kegiatan fisik, seperti bermain bola bersama teman,
19
mengikuti kursus, menyalurkan hobi mendaki gunung, berenang, bermain music,
dan masih banyak lagi.
9. Kapan waktu yang digunakan untuk membaca? Sesaat setelah bangun pagi,
sebelum tidur? Kebanyakan siswa melakukannya sebelum tidur di malam hari.
Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena mereka dapat lebih santai dan
suasana lebih tenang, sehingga mereka dapat fokus membaca.
10. Tempat yang biasa dipakai untuk membaca? Ketika mereka di sekolah, mereka
memilih membaca di ruang kelas dan perpustakaan. Ketika di rumah, mereka
memilih kamar tidur, ruang keluarga, dan di kebun. Kadang-kadang mereka
melakukannya sambil makan di meja makan, atau sambil menonton televisi.
Ketika di luar rumah, mereka memilih saat di atas kendaraan, di kafe, di rumah
teman.
11. Berapa persen uang saku yang disisihkan untuk membeli buku dalam 1 bulan?
Tidak banyak siswa yang melakukannya. Biasanya uang saku mereka habis
dibelanjakan untuk bersosialisasi, seperti makan bersama teman-teman,
membeli baju dan berbagai aksesori, atau berwisata bersama teman-teman
mereka. Tetapi, siswa yang menyisihkan uang saku untuk membeli buku akan
menghabiskan kurang lebih 20% dari total uang saku selama satu bulan.
12. Jika punya uang lebih apa yang dibeli? Kebanyakan siswa akan membeli
barang-barang yang, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik, atau
tepatnya untuk bersosialisasi, seperti pakaian dan asesori yang sesuai tren saat
itu, bahan untuk tata rias, dan lain sebagainya.
13. Jumlah buku yang dimiliki saat ini? Kebanyakan mereka memiliki 50 hingga 100
buku yang ada di rumah. Buku-buku tersebut adalah milik keluarga, jadi bukan
milik pribadi siswa. Rumah yang dihiasi oleh banyak buku, paling tidak akan
memotivasi anak untuk membaca.
14. Dukungan orangtua untuk membaca? Dukungan orangtua merupakan dukungan
yang paling berharga. Keluarga menjadi faktor pertama yang diterima seorang
anak, sejak ia dilahirkan, bahkan, hingga di usia dewasa. Orangtua dapat
mendorong anak melalui kegiatan mendongeng sebelum tidur, membelikan buku
bagi anak sesuai pilihannya, pergi ke perpustakaan satu minggu sekali,
mengatur waktu khusus untuk membaca bersama keluarga, membiasakan
memberikan hadiah ulang tahun berupa buku, dan masih banyak lagi.
20
15. Siapa yang mengajari membaca? Kebanyakan siswa menjawab ibu. Sedangkan
yang lain menjawab ayah, guru, nenek/kakek, saudara, teman. Mereka
merupakan orang kedua yang dipilih siswa dalam mengajari membaca. Jawaban
tersebut wajar, sebab peran ibu sangat dominan dalam pengasuhan anak.
Masih banyak pertanyaan lainnya yang tidak disebutkan di sini. Daftar pertanyaan
dapat disesuaikan dengan kondisi siswa yang bersangkutan, seperti tingkat pendidikan,
latar belakang keluarga, dan perilakunya terhadap buku bacaan.
Observasi dan wawancara merupakan kegiatan yang membutuhkan waktu agak lama,
yaitu sekitar 2 hingga 3 tahun. Kedua kegiatan tersebut bertujuan untuk memperoleh
pemahaman kegiatan membaca siswa yang lebih mendalam dan dampak dari suatu
pembelajaran atau pelatihan. Selain itu, kedua kegiatan tersebut juga membutuhkan
kepekaan. Si pengamat atau si pewawancara membutuhkan kepekaan perasaan dan
juga kepekaan konsep. Ia harus bisa berempati dan juga memahami konsep membaca
(Laksmi, 2007). Sebaiknya kegiatan pengamatan dan wawancara dilakukan secara
tersamar, sehingga objek, yang tidak merasa sedang dievaluasi, akan lebih bersikap
terbuka, apa adanya, dan menjawan secara spontan dan jujur.
Pengamatan dapat dilakukan secara terlibat maupun pasif. Dalam pengamatan terlibat,
pengamat ikut melakukan kegiatan yang dilakukan oleh orang yang diobservasi.
Misalnya, ketika siswa mengisi waktu luang sambil membaca sebuah buku, maka
pengamat juga melakukan hal yang sama dan ikut mendiskusikan isi buku. Observasi
demikian dapat diiringi dengan wawancara.
21
observasi pada perilaku objek dan situasi sekeliling. Kadang-kadang, tanpa disadari,
objek melakukan gerakan tertentu ketika ia berbohong, merasa tegang, merasa bosan,
atau merasa sedang tidak berniat diwawancara.
Rincian kata rajin terlihat pada kebiasaan yang dilakukannya ketika jam pulang sekolah,
yaitu saat waktunya sedang senggang. Ia ke perpustakaan untuk mencari buku dan
kegiatan sebelum tidur di malam hari ia terbiasa membaca buku. Selain itu, fakta bahwa
staf perpustakaan tersenyum dan menawarkan buku baru, khususnya cerita detektif,
menunjukkan bahwa keduanya sudah saling mengenal. Artinya, Ikhsan sudah sering ke
sana dan kegemarannya pun sudah diketahui oleh si staf, yaitu membaca buku cerita
detektif.
22
Meskipun masih jarang dilakukan, kegiatan observasi dan wawancara dapat dikatakan
sebagai metode identifikasi yang tepat dan mendalam tentang kegiatan membaca
siswa. Dengan metode tersebut, akan diperoleh nilai sosial dan keyakinan yang muncul
di balik kebiasaan membaca siswa didik. Nilai dan keyakinan, yang merupakan pijakan
mendasar perilaku membaca, dapat berupa nilai dan keyakinan bahwa pendidikan itu
penting untuk membangun masa depan, satu-satunya harta yang tidak dapat dicuri;
ilmu tanpa iman pincang, iman tanpa ilmu buta; dan sebagainya.
Hasil survei dan observasi mengenai kondisi kegiatan membaca pada anak perlu diolah
dan dianalisis. Hasil survei, yang terdiri dari jawaban-jawaban, selalu berupa angka.
Setelah dikelompokkan per topik, angka-angka tersebut dihitung, kemudian dianalisis.
Hasil hitungan dapat berupa tabulasi deskriptif atau pembobotan. Berdasarkan angka
terakhir, angka tersebut dianalisis dan diinterpretasi, kemudian disimpulkan
berdasarkan desain atau tujuan survei apakah sekedar melihat kondisi, permasalahan,
atau perkembangan.
Sementara itu, hasil observasi pada proses peningkatan kegiatan membaca lebih
berupa narasi. Tujuan observasi dan wawancara umumnya digunakan untuk meneliti
perilaku seseorang dan interaksi yang terjadi di antara individu. Hasil dari observasi dan
wawancara di lapangan, yang disebut sebagai catatan lapangan, dikelompok-
kelompokkan berdasarkan subtema, kemudian dianalisis dan diinterpretasi.
Berdasarkan hasil survei, observasi, dan wawancara, disusun kebijakan baru untuk
membangun minat dan kebiasaan membaca pada siswa. Kebijakan yang diperoleh
dalam peningkatan kegiatan kerja sama diterjemahkan ke dalam strategi atau langkah-
langkah yang perlu dilakukan oleh perpustakaan bersama para guru agar ke depan
lebih berhasil dan berdayaguna.
Promosi, sebagai salah satu metode untuk mengenalkan sesuatu kepada masyarakat
luas, bertujuan untuk menarik perhatian dan menciptakan kesan tertentu. Promosi
sangat tepat untuk meningkatkan program kegiatan membaca, sekaligus agar
23
perpustakaan dan koleksinya dimanfaatkan secara maksimal. Telah disebutkan
sebelumnya bahwa salah satu peran dan fungsi perpustakaan sekolah adalah
menumbuhkan dan meningkatkan minat, kebiasaan, dan kemampuan membaca para
siswa. Oleh sebab itu, sumber daya yang ada di perpustakaan, yaitu pustakawan,
orangtua siswa, sarana dan prasarana, termasuk koleksi, sebaiknya diberdayakan
secara terintegrasi.
Kerja sama antara perpustakaan sekolah dan kurikulum difokuskan pada peningkatan
kegiatan membaca. Komunikasi antara guru dan pustakawan perlu dilakukan secara
intens, agar dampaknya dapat diperoleh secara maksimal. Kerja sama tersebut adaah
sebagai berikut:
24
Program kerja sama perlu dilakukan oleh tim yang kompak, yang terdiri dari
pustakawan, guru, siswa, dan kepala sekolah. Hubungan antara pustakawan dan guru
membutuhkan prosedur yang dapat diterima kedua belah pihak. Misalnya, ketika guru
meminta siswa membuat tugas dengan tema tertentu, ia harus yakin terlebih dahulu
apakah buku dengan tema tersebut ada di perpustakaan. Seluruh anggota perlu
memiliki persepsi yang sama tentang pentingnya kerja sama dan melaksanakan
program tersebut sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan.
Dari hasil pengamatan, sudah banyak sekolah yang sudah mengintegrasikan program
perpustakaan dan kurikulum sekolah. Berikut ini tiga contoh yang ada di lingkungan
sekolah:
- Salah satu sekolah SMA menerapkan imbalan bagi siswa yang paling banyak
meminjam dan membaca buku,
- Sementara sekolah lain mewajibkan sumbang buku bagi siswa yang baru lulus,
- Sekolah lain menerapkan program ekstrakurikuler yang melibatkan siswa dalam
pekerjaan perpustakaan,
- Wajib kunjung perpustakaan ke perpustakaan di luar sekolah baru saja dilakukan
beberapa Sekolah Dasar pada bulan Mei 2012. Dalam berita BPAD berjudul
Wajib Kunjungan Perpustakaan sebagai Upaya Memasyarakatkan Perpustakaan
dan Gemar Membaca, diberitakan bahwa sebanyak lima ratus siswa didik dari 10
SD yang ada di lima wilayah Kota Administrasi di DKI Jakarta mengikuti Kegiatan
Wajib Kunjungan Perpustakaan ke Perpustakaan Umum Provinsi DKI Jakarta, di
lt. 7 – 8 Gd. Nyi Ageng Serang, Jl. H.R. Rasuna Said Kav. C22, Kuningan,
Jakarta Selatan (Agung, http://www.bpadjakarta.net/, diunduh 16 September
2012).
Keluhan yang banyak terdengar selama ini adalah bahwa jumlah koleksi sedikit, tidak
mutakhir, tidak menemukan buku yang dibutuhkan, dan tidak menarik. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, pustakawan sebaiknya memahami karakter siswa. Pada
masa sekolah menengah pertama dan atas, siswa merupakan remaja tanggung yang
sedang mencari jati diri. Mereka lebih tertarik pada pertumbuhan diri mereka sendiri,
sehingga subjek informasi yang dibutuhkan harus berkisar pada pertumbuhan remaja.
25
Jenis bacaan yang disukai siswa remaja saat ini adalah jenis elektronik. Untuk
memotivasi siswa, pustakawan perlu menyediakan sarana dan prasarana berupa
perangkat komputer dan sambungan internet. Fasilitas tersebut sebaiknya diimbangi
dengan buku tercetak, untuk mencegah mereka menjadi generasi yang tidak pernah
membaca buku cetak. Bagaimana pun siswa masih tetap perlu dibiasakan membaca
buku cetak. Untuk membangun budaya membaca di masyarakat, juga perlu
memperhatikan aspek-aspek dalam proses penyediaan dan sistem akses bahan
dan/atau sumber bacaan yang sesuai dan menarik untuk dibaca. Bahan bacaan yang
disediakan bisa dalam bentuk tercetak, digital atau terekam; atau berjenis monograf
atau lembar lepas atau publikasi berkala atau fulltexts, cerita bergambar, atau
campuran.
Cara mendefinisikan bacaan anak sebagai buku anak yang disesuaikan dengan tingkat
kemampuan membaca dan minat berdasarkan usia anak atau berdasarkan pada
tingkat pendidikan, mulai dari tingkat prasekolah hingga kelas enam sekolah dasar. Dari
definisi tersebut, jenis buku anak mencakup sastra tradisional, puisi, fantasi modern,
fiksi realistis kontemporer, fiksi sejarah, biografi, dan buku-buku berisi informasi.
Selain menyediakan ilmu pengetahuan, buku bacaan anak juga memberikan pedoman
berperilaku, berdasarkan moral dan nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat.
Tidak hanya sampai di sini, media anak juga mempengaruhi anak menghadapi dunia
pendidikan dan masa depan mereka. Bacaan anak mengonstruksi cita-cita anak yang
otomatis menentukan masa depan mereka. Di dunia imajinasi budaya populer,
orangtua dan masyarakat menginginkan dunia ideal yang dipenuhi dengan gelimang
kekayaan dan popularitas, maka dunia ideal tersebut dieksploitasi ke dalam media anak
(Ibrahim, 2007: 290). Karena imajinasi tersebut yang muncul dalam dunia anak, isu
menambah pengetahuan, berpikir kritis, dan menggantungkan cita-cita setinggi langit
pun bukan menjadi tujuan utama anak belajar di sekolah.
Jenis atau sumber bacaan anak dibedakan ke dalam buku referensi, buku ajar dan
buku pengayaan, dan koran/majalah/tabloid anak. Sumber bacaan jenis ini bukan untuk
dibaca secara menyeluruh, tetapi dibaca hanya pada topik atau informasi tertentu
tentang suatu objek, orang, atau peristiwa secara cepat dan mudah. Berikut ini adalah
penjelasan dan contohnya.
26
a. Buku referensi: ensiklopedi dan kamus anak. Bacaan anak berjenis ensiklopedia,
sejarah dan biografi tokoh-tokoh sejarah dunia, peta dunia, almanak, dan hasil
penelitian merupakan buku referensi yang menyampaikan informasi mengenai ilmu
pengetahuan. Sedangkan kamus, direktori, manual, serta indeks dan abstrak
merupakan buku referensi yang memberikan informasi tertentu.
b. Buku ajar dan buku pengayaan. Buku ajar adalah buku teks yang ditujukan
sebagai sarana pembelajaran siswa didik di sekolah, sebagai buku wajib. Biasanya
buku ajar didukung oleh buku pengayaan, atau buku teks tambahan yang dapat
digunakan atau tidak oleh anak didik untuk menambah pengetahuan yang terdapat
di buku ajar.
Tetapi pada tahun 2000-an, masalah tersebut dapat diatasi. Penampilan buku-buku
ajar saat ini berubah menjadi lebih menarik, dengan banyak gambar dan foto
berwarna, bahan kertas lebih baik, metode belajarnya pun menjadi lebih baik.
Selain penyajiannya, isi buku-buku tersebut bisa berbeda dengan fakta sebenarnya.
Kelompok buku ini dapat dimanipulasi oleh kepentingan di luar pendidikan.
Beberapa waktu yang lalu, buku-buku sejarah yang selama ini digunakan siswa
didik dan sudah disetujui oleh pemerintah dipermasalahkan keotentikan
substansinya. Para pakar historiografi menilai bahwa sejarah Negara Republik
Indonesia telah melakukan kebohongan publik. Peristiwa tersebut keras
dikemukakan oleh berbagai pihak, tapi berakhir tanpa ada penyelesaian yang jelas.
Salah satu contoh kekurangan tersebut muncul dalam protes masyarakat. Sebuah
surat pembaca pernah mempermasalahkan penjelasan tentang sampah di buku
PPKN. Sampah yang tidak dikelola dengan yang seharusnya merupakan masalah
lingkungan yang serius yang harus dipahami oleh anak. Salah satu pengelolaan
dalam memusnahkan sampah adalah dengan cara dibakar. Pembakaran yang akan
27
menciptakan karbondioksida tersebut tidak baik untuk lingkungan, tetapi buku ajar
telah lulus seleksi untuk resmi digunakan di sekolah.
c. Koran/majalah/tabloid anak. Bentuk lain dari bacaan anak adalah koran, majalah,
dan tabloid anak. Saat ini jenis yang mendominasi adalah majalah anak. Tidak
seperti pada era sebelum dan pada tahun 90-an. Majalah anak sangat langka
(Bonneff, 1998: 64). Jika pun ada, majalah tersebut merupakan usaha sukarela,
sebab tidak menghasilkan keuntungan bagi para penerbitnya yang tentu
membutuhkan biaya untuk memproduksinya. Majalah anak saat itu ditujukan untuk
anak-anak sekolah dasar, dan disebut majalah komik. Beberapa contoh muncul
dalam terbitan berkala Si Kuntjung, Gembira, Ken Arok (Yogyakarta), Kawanku, dan
seterusnya.
Sementara itu, koran anak sebagai sumber referensi mulai tumbuh. Beberapa surat
kabar menyediakan dua halaman atau lebih yang ditujukan khusus untuk anak.
Berbeda dengan terbitan berkala dewasa, penerbitan berkala untuk anak memiliki
gaya penulisan yang lebih sederhana, lebih banyak gambar dan foto, dan lebih
mementingkan pemahaman (Bunanta, 2004: 219).
Di lain pihak, media informasi yang terbungkus dalam fiksi, Koran, majalah, atau tabloid
perlu diwaspadai. Media anak merupakan suatu entitas tersendiri yang dibangun
berdasarkan berbagai kepentingan dari para pemilik modal, pendidik, orangtua, yang
masing-masing memiliki ideologinya sendiri mengenai dunia anak muda. Ideologi yang
ditawarkan tersebut bisa jadi menawarkan nilai sosial, tetapi dapat juga hanya menjadi
komoditas. Serupa dengan media anak lainnya, seperti televisi, radio, dan film, dunia
anak dieksploitasi untuk kepentingan mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu media
dipandang sebagai salah satu sarana pembentuk kesadaran sosial, terutama bagi para
kaum muda. Dengan membaca media tersebut, anak membentuk persepsi terhadap
dunia dan masyarakat yang ada di lingkungan mereka, merujuk dan meniru segala
sesuatu yang disajikan pada media.
28
modal dan juga peneliti. Padahal memperoleh akses informasi dan pengetahuan
termasuk dalam hak anak yang sudah tercantum dalam Konvensi PBB.
Sumber bacaan lain yang saat ini digemari oleh remaja adalah internet. Mereka hanya
perlu memberikan kata kunci dan ribuan informasi akan muncul. Sumber elektronik ini
tidak disarankan karena menyebabkan anak malas mencari informasi di dalam buku
(Sudarsana, 2007: 5.22). Membaca buku membutuhkan kemauan dan tenaga yang
kuat, karena harus membolak-balik lembaran kertas dan membaca beribu huruf. Waktu
yang dibutuhkan akan jauh lebih lama dibandingkan dengan mencarinya di internet.
Perpustakaan perlu menyediakan subjek yang bervariatif dan yang ditulis dari berbagai
perspektif. Semakin banyak pilihan, maka semakin besar pengetahuan dan wawasan
yang akan diperoleh oleh siswa. Semakin besar pula kesempatan mereka untuk
mengutarakan argumentasi.
Ruang baca yang nyaman dan perabotan yang menarik merupakan syarat mutlak untuk
memotivasi siswa agar mereka tertarik datang ke perpustakaan. Merancang ruang baca
sebaik mungkin selain dapat membantu perawatan dan keamanan koleksi,
menciptakan suasana yang kondusif untuk membaca, tujuannya juga untuk menarik
perhatian pengguna perpustakaan.
Tata ruang yang dianggap konvensional, yaitu meja dan kursi kayu, tanpa dekorasi,
penerangan yang redup, sudah lama ditinggalkan. Dewasa ini, perpustakaan berlomba
merancang tata ruang yang lebih berwarna yang dianggap sebagai lebih modern.
Banyak perpustakaan yang memiliki warna-warna cerah, seperti oranye, hijau muda,
biru muda, menggunakan lampu-lampu dengan nuansa romantis, memasang sofa,
karpet, dan bantal dalam berbagai warna. Dengan tata ruang dan perabotan semacam
itu, diharapkan dapat menarik para remaja. Gambar 1 berikut ini adalah contoh ruang
baca remaja yang sederhana. Gambar tersebut menunjukkan ruang baca di
perpustakaan Poulsbo Library di salah satu Negara Eropa :
29
Gambar 1. Ruang baca remaja di
Sumber: http://www.northkitsapherald.com/, diunduh 8 Agustus 2012
Ringkasnya, untuk menyediakan ruang baca dan perabotan yang menarik dibutuhkan
fasilitas sebagai berikut:
a. Menata dekorasi ruang dengan warna cerah. Warna oranye, biru, dan merah
muda merupakan warna-warna favorit remaja. Warna-warna cerah tersebut
dapat menstimulus perasaan semangat dan gembira;
b. Menyediakan perabotan yang nyaman, seperti sofa, karpet dengan bantal-bantal
besar dan kecil, beberapa stop kontak, serta perabotan lain yang membuat
remaja merasa nyaman. Kenyamanan tersebut sebaiknya juga ditunjang dengan
kenyamanan udara yang dilengkapi dengan penyejuk ruangan, sehingga dapat
menjaga konsentrasi pengguna perpustakaan;
c. Menyediakan ruang khusus yang kedap suara untuk berdiskusi. Siswa
membutuhkan tempat khusus untuk berbicara dengan leluasa dan biasanya
30
mereka tidak sekedar berdiskusi, tetapi juga kerap diselingi oleh canda tawa.
Karakter remaja yang demikian perlu diakomodasikan agar pengguna lain tidak
terganggu.
d. Menyediakan fasilitas sambungan dan layanan internet. Fasilitas ini merupakan
fasilitas yang paling dicari remaja, sehingga perpustakaan minimal menyediakan
dua atau tiga PC khusus untuk pengguna.
Fasilitas di atas tidak dimaksudkan untuk memanjakan para pengguna remaja, tetapi
lebih ditujukan agar mereka tertarik ke perpustakaan, baru kemudian tertarik untuk
membaca. Kebijakan inipun belum dikatakan cukup memberi motivasi para siswa.
Inovasi dan kreativitas perpustakaan dalam memberikan layanan juga diperlukan.
Karena itu kemampuan pustakawan dalam memasarkan dan mengemas kembali
informasi yang dimiliki perpustakaan merupakan salah satu faktor penting dalam
menyelenggarakan jasa perpustakaan. Jenis layanan dan sikap petugas yang
memesona pengunjung dalam layanan perpustakaan harus selalu dibina dan
ditingkatkan.
Layanan anak terdiri dari layanan pemilihan pustaka yang sesuai, layanan
mendongeng, layanan sirkulasi, layanan referensi khusus anak, layanan mobil keliling.
Selain menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca, keseluruhan layanan tersebut
bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan, dan melatih anak-anak menjadi
kritis terhadap lingkungan dan kehidupan mereka sendiri. Secara rinci, penjelasannya
adalah sebagai berikut:
a. pemilihan pustaka atau bimbingan membaca. Layanan ini diberikan bagi semua
anak yang memerlukannya. Pustakawan sebaiknya proaktif dan memahami
kebutuhan akan bacaan dan permainan berdasarkan usia dan psikologis anak.
Pada layanan ini, pustakawan dapat dibantu oleh seorang psikolog.
b. layanan mendongeng. Layanan ini dapat diberikan oleh pustakawan sendiri, atau
seorang pendongeng profesional. Ceritanya diambil dari buku-buku yang ada di
perpustakaan. Pustakawan dapat menggunakan berbagai macam alat peraga,
mulai dari kertas karton, kain, boneka, dan lain sebagainya. Yang perlu dijaga
adalah penanaman nilai-nilai hidup.
31
c. layanan sirkulasi. Layanan ini cenderung lebih berfungsi untuk mengenalkan
cara kerja atau prosedur peminjaman dan pengembalian pustaka. Dalam
layanan ini, pustakawan dapat mengajarkan nilai-nilai kedisiplinan, waktu
meminjam atau mengembalikan, mereka harus antri; ketika mengembalikan,
mereka perlu memperhatikan jangka waktu peminjaman; dan sebagainya.
d. layanan referensi khusus anak. Layanan kepada anak-anak perlu juga dilengkapi
dengan layanan referensi. Anak-anak perlu diperkenalkan kepada buku-buku
referens sejak dini. Bahan referens untuk anak-anak mencakup ensiklopedia,
kamus, atlas, dan lain-lain. Pustakawan yang bertugas di bagian referens anak-
anak dapat memberi bimbingan bagaimana mencari informasi, cara
menggunakan buku referensi untuk menjawab pertanyaan.
e. layanan mobil keliling. Layanan ini diperuntukkan bagi anak-anak atau warga
lainnya yang tidak sempat ke perpustakaan umum permanen, atau mereka yang
sedang sakit. Layanan tersebut sebaiknya mengatur jadwal yang pasti kapan
berangkat, pos pemberian layanan, jadwal layanan, dan sebagainya. Layanan
tersebut sebaiknya dilengkapi dengan tempat duduk atau karpet, sehingga anak-
anak merasa nyaman.
32
c. Mengadakan temu penulis, mengadakan pelatihan menulis, dan sejenisnya.
Kegiatan tersebut mendorong pengguna untuk membaca dan menulis. Pertemuan
antara pengguna dan penulis dapat memberi kesempatan bagi kedua pihak untuk
berbagi pengalaman dan pengetahuan, sehingga diharapkan terjadi transfer
pengetahuan;
d. Melibatkan pengguna dalam kegiatan perpustakaan. Keterlibatan pengguna
umumnya sangat membantu pekerjaan pustakawan. Mereka dapat diperbantukan
untuk pekerjaan-pekerjaan ringan, seperti memberi label dan sampul buku,
menyusun buku di rak, atau membantu melayani pengguna lainnya. Keterlibatan
tersebut akan memberikan rasa bangga dan menciptakan saling percaya pada
pengguna atau siswa didik yang dilibatkan.
e. Mengadakan program literasi informasi. Pustakawan memberikan semacam
pelatihan atau pendidikan pemakai kepada pengguna siswa tentang seluk-beluk
perpustakaan, jenis buku referensi, teknik menelusur, baik secara manual maupun
elektronik, dan juga tentang hak mendapatkan informasi serta plagiarisme. Program
tersebut diharapkan dapat memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan
kepada pengguna agar lebih mandiri dalam menghadapi informasi.
f. mengadakan diskusi atau bedah buku. Kegiatan ini menuntut setiap peserta untuk
menganalisis buku yang akan didiskusikan. Biasanya peran utama dijalankan oleh
pembahas atau orang yang mengkritisi buku tersebut, lalu ditanggapi oleh peserta
lain. Si penulis akan hadir dalam acara tersebut, namun tidak memberikan
pernyataan apa pun, kecuali jika diminta dan ia bersedia.
g. mengadakan apresiasi film. Para peserta akan disuguhi sebuah film yang terpilih,
kemudian mereka akan membahas isi film bersama-sama. Film tersebut bisa berdiri
sendiri sebagai film, bisa juga merupakan hasil interprerasi dari sebuah buku.
BPAD DKI Jakarta pernah mengadakan lomba Abang dan None Buku untuk siswa
SMA. Gambar berikut ini malam pengumuman pemenang pada tahun 2007:
33
Gambar 2. Finalis lomba Abang dan none Buku
Program-program di atas akan merangsang kognisi siswa untuk bekerja secara aktif
dan membiasakan mereka untuk lebih peka menganalisis buku atau film. Sebaiknya,
kegiatan tersebut dirangsang dengan pemberian hadiah yang menarik bagi remaja,
seperti sejumlah uang, wisata gratis, dan suvenir bagi seluruh peserta yang tidak
menang. Jika diadakan secara teratur, pada akhirnya, akan meningkatkan kemampuan
membaca siswa didik.
34
BAB IV
FAKTOR KEBERHASILAN
PROGRAM PENINGKATAN KEGIATAN MEMBACA
Kompetensi personal, yaitu kompetensi atau keterampilan yang lebih condong pada
kepribadian pustakawan, dan ini digunakan untuk membujuk para remaja untuk
membaca. Mereka diharapkan mampu bersikap positif dan mampu mencarikan contoh-
contoh bacaan yang berkualitas, mereka juga diharapkan dapat memberi petunjuk
kepada siswa tentang teknik membaca yang sesuai, dan dapat menjelaskan manfaat
membaca secara tepat. Sikap yang dibutuhkan dalam pelaksanaan peningkatan
kegiatan membaca pada siswa adalah antusias dan kreatif, mampu berempati, mampu
35
bercakap-cakap dengan semua jenis orang, mampu melakukan persuasi, mampu
menyimak, memiliki sikap hangat dan menghargai orang lain, mampu „memasarkan‟
perpustakaan.
36
kualitas dalam penyusunan berbagai kegiatan yang sesuai dengan karakter remaja.
Program yang berkualitas tidak memiliki standar baku, melainkan tergantung pada
kondisi, budaya, dan kebutuhan masyarakat yang menjadi target. Contoh yang paling
sederhana, masyarakat di daerah pedesaan belum membutuhkan fasilitas internet.
Sehingga untuk menarik minat mereka untuk membaca sebaiknya cukup dengan
menyediakan koleksi yang benar-benar dibutuhkan.
Kualitas sumber bacaan diukur berdasarkan hasil survei dan catatan peminjaman.
Indikator keduanya menunjukkan tingkat kesesuaian koleksi dengan kebutuhan dan
tingkat pemanfaatan koleksi. Selain menyesuaikan dengan kebutuhan remaja,
pengadaan koleksi dapat dikembangkan berdasarkan kebijakan sekolah untuk
meningkatkan minat, gemar, dan kebiasaan membaca remaja.
Untuk membangun kualitas program yang bermutu, perlu ditunjang oleh kelengkapan
sarana dan prasarana. Kualitas ruang baca dan perabotan mutlak diadakan dengan
pilihan yang relevan dengan karakter para remaja. Ruang baca dan perabotannya
merupakan unsur pertama yang dapat menarik perhatian remaja. Kualitas tidak hanya
dilihat dari kelengkapannya, tetapi juga dari warna, tata letak, dan dekorasi.
Evaluasi pada program peningkatan minat, gemar, dan kebiasaan membaca ditujukan
untuk mengukur perubahan yang terjadi pada siswa (Laksmi, 2007: 170). Pengukuran
difasilitasi dengan pre-test dan post-test. Dengan demikian, perubahan yang terjadi
dapat menjadi indikator berhasil tidaknya proses yang dilakukan. Indikator tersebut
dapat diuraikan ke dalam pertanyaan berikut:
Indikator keberhasilan program dapat dilihat pada perubahan kegiatan membaca pada
siswa. Kemampuan membaca seseorang dapat diukur melalui pemahamannya pada isi
bacaan. Meskipun demikian, perubahan minat, gemar, dan kebiasaan membaca tidak
37
terjadi dalam waktu singkat. Proses tersebut berkaitan dengan nilai dan keyakinan
masyarakat, serta tingkat adopsi masyarakat, terutama para remaja, sehingga proses
perubahan membutuhkan waktu dan kesabaran. Sementara itu, peningkatan kegiatan
membaca pada siswa juga ditandai dengan indikator-indikator yang ada di
perpustakaan sekolah sebagai berikut ini:
38
pada koleksi dan informasi yang dibutuhkan masyarakat dan meningkatkan mutu
layanan, yang semuanya ditujukan untuk dapat membantu program peningkatan
kegiatan membaca.
c. Media cetak. Berbagai jenis media cetak, seperti buku dan tabloid anak, majalah
remaja, koran, mendorong program peningkatan kegiatan membaca pada
masyarakat.
d. Penerbitan. Dengan tetap menjaga kualitas terbitan, produk mereka membantu
program peningkatan kegiatan membaca. Buku-buku bermutu sangat membantu
peningkatan kemampuan membaca anak.
e. Penulis. Hasil karya yang dihasilkan dari penulis yang berbobot, yang memiliki
idealisme, gagasan, dan konsep yang jelas, akan mudah menuangkannya ke
dalam tulisan yang sistematis dan dalam bahasa yang mudah dipahami. Dengan
demikian transfer ilmu akan lebih baik.
f. Kebijakan pemerintah. Pemerintah dapat melakukan dukungan pada program ini
melalui Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Deposit, memberikan
penghargaan pada penulis dan penerbit, memberi keringanan pajak pada
penerbit, melaksanakan program pemberantasan buta huruf.
g. Upaya perorangan dan organisasi swasta. Umumnya upaya mereka mendukung
program tersebut bersifat sukarela, misalnya seperti membangun perpustakaan
di daerah kumuh atau di desa, membuka sekolah gratis, menyelenggarakan
lomba mengarang, menyumbang buku pada masyarakat miskin, dan
sebagainya.
a. Faktor ekonomi. Penghambat yang berakar dari ekonomi merupakan faktor yang
sulit dihapus. Umumnya, masyarakat kelas bawah cenderung memberikan
prioritas pada sandang pangan, dibanding membeli buku. Masyarakat kelas
menengah atas dan kelas atas umumnya memprioritaskan kebutuhan pada
buku.
b. Sikap cepat merasa puas. Sikap ini menghambat program peningkatan kegiatan
membaca. Umumnya, orang yang sudah lulus sarjana dan mendapatkan
pekerjaan yang mapan, ia akan berhenti berupaya untuk meningkatkan diri. Ia
sudah merasa cukup puas dengan rutinitas kehidupan sehari-hari, yaitu
39
berangkat pagi, bekerja, pulang di sore hari, libur di hari Sabtu dan Minggu, dan
kembali bekerja di hari Senin.
c. Tradisi masyarakat menyampaikan informasi secara lisan. Faktor ini masih
terlihat jelas pada masyarakat kita. Di tempat kerja, masih banyak peraturan
yang tidak tertulis dan juga dokumen atau arsip yang tidak tertata rapi. Sehingga
kondisi tersebut seringkali memungkinkan munculnya kesalahpahaman dan
korupsi. Selama tradisi lisan belum diimbangi dengan tradisi tulis, kondisi ini
tetap menjadi penghambat dalam peningkatan program.
d. Sarana perpustakaan yang masih kurang. Di lembaga pendidikan, perpustakaan
sebagai sumber bacaan, masih belum menjadi prioritas utama. Bahkan masih
banyak sekolah dasar yang belum memiliki perpustakaan; yang sudah punya,
seringkali kurang dapat memenuhi kebutuhan akan koleksi; belum lagi dengan
masalah sumber daya manusia.
e. Pesatnya perkembangan teknologi. Dewasa ini, teknologi sudah benar-benar
menguasai kehidupan masyarakat. Televisi, internet, telepon genggam, menjadi
penghambat dalam program peningkatan kegiatan membaca. Masyarakat yang
terbiasa hidup dalam budaya lisan, ditambah dengan kebiasaan multimedia,
akan semakin jauh dengan budaya baca. Meskipun sebagian besar
beranggapan bahwa menonton televisi dapat merangsang minat baca,
semuanya tergantung pada kepribadian masing-masing.
f. Sarana yang sangat kurang dalam koleksi maupun sistem layanan.
Perpustakaan umumnya kesulitan dalam dana untuk pengadaan koleksi,
sehingga koleksinya tidak update. Selain itu, sistem layanan perpustakaan yang
kebanyakan masih manual, memberlakukan sensor, dan juga menutup akses
yang terlalu ketat untuk karya-karya tertentu, akan membuat masyarakat malas
membaca. Faktor ini menjadi faktor penghambat bagi perpustakaan itu sendiri
untuk mengadakan program peningkatan kegiatan membaca.
g. Kurangnya tindakan hukum terhadap plagiarisme. Faktor tersebut membuat
orang beranggapan bahwa membuat buku itu mudah, yaitu dengan mencontek
tulisan orang lain. Artinya, ia menjadi malas membaca buku karena
membutuhkan tenaga dan waktu yang lebih banyak.
h. Kurangnya penghargaan bagi penulis dan penerbit buku dalam penerbitan buku.
Penulis bekerja keras untuk membuat buku tetapi dihargai sangat rendah,
40
sementara penerbit dibebani oleh biaya produksi yang sangat tinggi dan
diwajibkan pula memenuhi undang-undang menyerahkan karya cetak dan karya
rekam kepada Perpustakaan Nasional.
i. Kurangnya keteladanan orangtua. Keluarga merupakan tempat pertama
tumbuhnya seorang anak, sehingga peran orangtua dalam menumbuhkan minat
baca anak sangat besar. Tetapi jika orangtua tidak terbiasa membaca, tidak
mendukung kegiatan membaca di rumah, bahkan seringkali tidak memajang satu
pun buku di salah satu rak di rumah, anak tidak akan memiliki minat dan
kebiasaan membaca.
lakukan strategi secara terintegrasi, hasil yang diperoleh akan lebih maksimal.
Kegiatan membaca pada siswa memiliki tahapan minat tertentu sesuai dengan tingkat
usia mereka. Tahapan minat yang umum dijumpai adalah sebagai berikut: Usia 2 – 4
tahun, minat anak pada cerita fantasi; Usia 4 – 8 tahun, minat anak pada cerita
dongeng; Usia 8 – 11/12 tahun, minat anak pada cerita petualangan; Usia 12 – 15
tahun, minat anak pada cerita kepahlawanan; Usia 15 – 20 tahun, minat anak pada
cerita romantis. Tahapan minat di atas akan terus berubah sesuai dengan
perkembangan anak-anak. Kegiatan membaca mencakup kemampuan mengingat dan
mengenali, menginterpretasi makna, mengaplikasikan konsep, menganalisis isi bacaan,
membuat sintesis, dan menilai isi bacaan. Tingkatan kemampuan membaca seseorang
41
dibedakan dalam 5 tingkatan, yaitu: tingkatan pemula, tingkatan mendapatkan impresi
secara umum, tingkatan mendapatkan pemahaman literer, tingkatan menginterpretasi,
dan tingkatan reading indepth.
Pada dasarnya, teknik membaca dibedakan menjadi dua, yaitu membaca ekstensif dan
membaca intensif. Membaca ekstensif adalah membaca secara luas dalam waktu yang
singkat. Sementara itu membaca intensif adalah membaca agar dapat memahami
keseluruhan isi bacaan secara mendalam. Teknik membaca ini mencakup kegiatan
menginterpretasi, mengevaluasi, menganalisis isi bacaan secara kritis, dan membaca
rekreatif.
42
yang dibutuhkan dalam pendekatan mereka dengan siswa (sikap yang fleksibel dan
luwes).
Setelah memperoleh hasil survei, observasi, dan wawancara, pengelola menyusun dan
menerapkan program peningkatan kegiatan membaca. Pertama, pengelola
perpustakaan mengintegrasikan program perpustakaan ke dalam kurikulum sekolah;
menyediakan sumber bacaan; menyediakan ruang baca dan perabotan yang memiliki
karakteristik remaja, termasuk tata ruangnya; menyusun berbagai kegiatan layanan
anak, yaitu bimbingan membaca, layanan mendongeng, layanan sirkulasi, layanan
referensi khusus anak, bimbingan penelusuran informasi, pemanfaatan buku referensi,
layanan mobil keliling. Program yang dapat ditawarkan adalah mengadakan diskusi
atau bedah buku; apresiasi film; atau lomba menulis resensi, dan lomba sejenis lainnya;
pemutaran film, pertunjukan boneka, pertunjukan drama, pertunjukan membaca puisi,
pertunjukan seni lainnya; temu penulis, pelatihan menulis, dan sejenisnya; melibatkan
pengguna dalam kegiatan perpustakaan; mengadakan program literasi informasi.
Kualitas program tergantung pada kondisi, budaya, dan kebutuhan masyarakat yang
menjadi target. Kualitas sumber bacaan diukur berdasarkan hasil survei dan catatan
peminjaman. Keduanya menunjukkan tingkat kesesuaian koleksi dengan kebutuhan
dan tingkat pemanfaatan koleksi. Selain menyesuaikan dengan kebutuhan remaja,
pengadaan koleksi dapat dikembangkan berdasarkan kebijakan terkait. Untuk
membangun kualitas program yang bermutu, program perlu ditunjang oleh kualitas
43
ruang baca dan perabotan yang memadai. Evaluasi pada program tersebut ditujukan
untuk mengukur perubahan yang terjadi pada siswa, seperti peningkatan pada tata
bahasa, kalimat, penyusunan gagasan; perubahan perilaku setelah membaca buku,
seperti diskusi dengan teman, menulis tinjauan buku, membentuk klub pecinta buku;
dan sebagainya.
Faktor penyebab yang menghambat program peningkatan minat, gemar, dan kebiasaan
membaca, adalah faktor ekonomi; sikap cepat merasa puas; tradisi masyarakat yang
menyampaikan informasi secara lisan; minimnya sarana perpustakaan, seperti jumlah
koleksi dan sistem layanan; pesatnya perkembangan teknologi; kurangnya tindakan
hukum terhadap plagiarisme; kurangnya penghargaan dalam penerbitan buku;
kurangnya keteladanan orangtua dalam budaya baca.
44
BAB V
PENUTUP
Upaya peningkatan minat, gemar, dan kebiasaan membaca perlu dievaluasi kembali.
Meskipun gerakan program tersebut sudah lama dan sudah sering dilakukan,
peningkatan yang terlihat sangat kecil. Artinya, kemungkinan metode yang digunakan
kurang sesuai dengan kondisi di lapangan yang sebenarnya. Penelitian perlu dilakukan
pada pengelola program, mulai dari perencanaan program, filosofinya, pelaksanaan,
hingga evaluasinya.
Dari tiga tahap program peningkatan, masyarakat kita masih banyak yang
membutuhkan dorongan untuk membangun minat membaca. Pengamatan pribadi
menunjukkan bahwa siswa di bangku wajib sekolah hingga para mahasiswa masih
memiliki minat membaca yang rendah. Kebanyakan dari mereka melakukan kegiatan
membaca hanya karena mendapat tugas dari sekolah. Sebagian besar yang sudah
memiliki kebiasaan membaca patut dihargai. Tetapi mereka kemungkinan besar belum
mampu mencapai tingkatan membaca yang mendalam. Sementara itu jumlah pembaca
45
yang sudah mencapai tingkat tersebut masih sedikit. Umumnya, mereka tidak hanya
membaca, tetapi mereka juga menulis. Dari tulisan yang ada, baik artikel dan buku,
tingkat pertumbuhan publikasi per tahunnya masih dianggap rendah dibandingkan
dengan negara Asia lainnya.
Sebagai penutup, program peningkatan minat, gemar, dan kebiasaan membaca harus
terus dilakukan di sekolah-sekolah. Kebijakan sekolah sebaiknya menekankan
perubahan kurikulum yang mengarah pada program peningkatan tersebut. Bahkan
program tersebut sebaiknya dapat mendorong para pasangan muda untuk mendorong
putra-putri mereka membaca sejak usia dini. Semakin dini usia anak untuk mulai
membaca, semakin baik kemampuan membacanya di kemudian hari.
46
DAFTAR PUSTAKA
Bonneff, Marcel. 1998. Komik Indonesia. Jakarta: KPG bekerja sama dengan Forum
Jakarta-Paris.
Bunanta, Murti. 2004. Buku, Mendongeng dan Minat Membaca. Jakarta: Pustaka
Tangga.
Elkin, Judith, Briony train, dan Debbie Denham. 2003. Reading and Reader
Development: The Pleasure of Reading. London: Facet publishing.
Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape
dan Mediascape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Jahja, Jeni Adria. 2006. “Perpustakaan sebagai Pusat Minat Baca Anak”. Dalam
Aksentuasi Perpustakaan dan Pustakawan. Jakarta: PD-IPI DKI Jakarta dan
Sagung Seto, pp. 271-281.
Lasa, Hs. 2007. Manajemen Perpustakaan Sekolah. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Mohanraj, V.M. 2004. Library Services for Children. New Delhi: Ess Ess Publications.
Mujiran, Paulus. 2008. “Menumbuhkan Kebiasaan Membaca Sejak Dini”. Dalam
Perpustakaan dalam Dinamika Pendidikan dan Kemasyarakatan. (Seri
Pengembangan Perpustakaan 5). Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata,
pp. 122-137.
Simanjuntak, Melling. 2011. “Memaknai Hakikat Minat Baca untuk Tujuan Praktis”. Viis
Pustaka, Vol. 13, no. 3, Desember, 2011. Diunduh pada 22 Juli 2012, dari
http://www.pnri.go.id.
Sudarsana, Undang dan Bastiano. 2007. “Pembinaan Minat Baca”. Buku Materi Pokok,
PUST2140/2 SKS/Modul 1 – 6. Edisi 2. Jakarta: Universitas Terbuka.
Perpustakaan Nasional RI. 2011. Standar Nasional Perpustakaan (SNP). Bidang
Perpustakaan Sekolah dan Perpustakaan Perguruan Tinggi. Jakarta: Perpusnas.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan.
47