Anda di halaman 1dari 47

PENINGKATAN MINAT BACA

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Minat baca pada siswa didik di Indonesia, dibandingkan dengan negara Asia lainnya
dinyatakan rendah (Jahja, 2006: 273). Lebih parah lagi, bukan hanya minat baca yang
rendah, tetapi juga kemampuan membaca dalam arti memahami isi bacaan, juga
rendah. Kondisi tersebut sudah lama tersebar di berbagai media dan hingga sekarang
masih terus berlangsung.

Fakta tersebut akan tetap demikian jika faktor penyebabnya tidak diubah. Faktor
penyebab paling mendasar adalah gaya hidup dalam keluarga. Pendidikan pertama
yang diperoleh seorang anak adalah di rumah. Orangtua yang tidak pernah mengajak
anak mengajak membaca atau paling tidak memberi contoh untuk membaca, akan
menciptakan anak yang tidak memiliki kebiasaan dan minat membaca (Mujiran, 2008:
127). Faktor penyebab lainnya adalah karena sistem pembelajaran di sekolah belum
dapat membuat anak tergerak untuk membaca (Ibid., 2008: 129, Jahja, 2006: 273).
Sistem satu arah yang selama ini diimplementasikan oleh sebagian besar guru, yaitu
bahwa guru menjadi satu-satunya nara sumber, menyebabkan siswa tidak aktif mencari
informasi yang dibutuhkan melalui buku-buku bacaan. Semuanya tergantung pada apa
yang diajarkan oleh guru di dalam kelas. Faktor terakhir adalah lingkungan elektronik di
mana para siswa terbiasa dengan fasilitas komputer yang memudahkan mereka
mencari informasi. Siswa hanya menginput kata kunci, semua informasi muncul.
Kemudahan tersebut menyebabkan mereka malas membuka buku.

Ketiga kebiasaan yang mendasar tersebut, jika tidak diwaspadai dan diubah, akan
terserap menjadi budaya yang tidak konstruktif. Kebiasaan yang membudaya akan sulit
diubah. Untuk mengatasi masalah tersebut terdapat dua solusi, dengan tidak menutup
kemungkinan solusi-solusi lainnya. Solusi pertama yang dapat diberikan adalah melalui
penanaman pemahaman kepada orangtua dan guru mengenai arti pentingnya
membaca. Solusi kedua adalah meningkatkan efektivitas perpustakaan sebagai sumber
bahan bacaan, termasuk efektivitas pustakawannya sebagai pengelolanya (Jahja,
2006: 276). Modul ini difokuskan pada solusi kedua, yaitu pemanfaatan perpustakaan

2
sekolah dalam meningkatkan minat, gemar, dan kebiasaan membaca masyarakat
Indonesia.

1.2 Deskripsi Singkat

Mata ajar diklat ini membekali peserta dengan pengetahuan tentang membangkitkan
minat dan gemar membaca, serta membangun kebiasaan membaca pada siswa
sekolah. Pengetahuan yang perlu dikuasai mencakup pengertian, tujuan dan manfaat,
serta berbagai jenis kegiatan membaca pada siswa, termasuk pengetahuan tentang
peran perpustakaan sekolah dalam peningkatan kegiatan membaca. Selain itu,
pengetahuan yang juga diberikan adalah mencakup pengetahuan tentang merancang
program peningkatan kegiatan membaca yang meliputi teknik mengidentifikasi kondisi
minat dan sarana kegiatan membaca, menerapkan program peningkatan minat dan
gemar membaca siswa melalui perpustakaan sekolah, dan meningkatkan kemampuan
siswa membaca kritis; serta faktor yang mempengaruhi keberhasilan program
peningkatan kegiatan membaca, termasuk kendala yang menghambat program. Mata
ajar ini disajikan dengan metode pelatihan dalam bentuk ceramah, tanya jawab, diskusi,
dan praktik.

1.3 Kompetensi Dasar

Setelah mengikuti mata ajar diklat ini, peserta diharapkan memiliki kompetensi dasar
dalam mengelola program peningkatan kegiatan membaca pada siswa, baik
membangun minat, gemar, dan kebiasaan membaca siswa didik.

Kompetensi dasar yang pertama yang sebaiknya dimiliki oleh peserta diklat adalah
kemampuan membaca. Seseorang yang menjadi instruktur peningkatan kegiatan
membaca, seperti pustakawan, guru pustakawan, atau guru, dalam melaksanakan
program tersebut membutuhkan kemampuan membaca agar dapat lebih mudah
menularkannya pada siswa.

Kompetensi dasar kedua adalah kompetensi personal. Kompetensi ini bersifat


individual, lebih condong pada kepribadian pengelola kegiatan atau pustakawan.
Mereka diharapkan mampu bersikap positif dan mampu mencarikan contoh-contoh
bacaan yang berkualitas, memberi petunjuk kepada siswa tentang teknik membaca
yang sesuai, menjelaskan manfaat membaca secara tepat, menularkan sikap antusias
dan kreatif, mampu berempati, mampu bercakap-cakap dengan semua jenis orang,

3
mampu melakukan persuasi, mampu menyimak, memiliki sikap hangat dan menghargai
orang lain, mampu „memasarkan‟ perpustakaan.

Kemampuan dasar berikutnya adalah kemampuan interpersonal. Kemampuan tersebut


dibutuhkan untuk mengadakan pendekatan kepada siswa, sehingga lebih mudah
menanamkan minat, gemar, dan kebiasaan membaca kepada mereka. Menghadapi
anak, terutama remaja yang sedang berada dalam masa labil, sebaiknya memiliki
pendekatan khusus. Pendekatan ditekankan pada rasa saling percaya, saling
menghargai, dan tidak menggurui. Kemampuan tersebut juga mencakup kemampuan
memotivasi dan menggerakkan siswa untuk mengubah perilaku dan kebiasaan
membaca siswa.

Kompetensi terakhir adalah kemampuan memahami situasi dan manajemen sekolah.


Dengan kemampuan tersebut, peserta diklat dapat mengintegrasikan program
peningkatan kegiatan membaca ke dalam kurikulum sekolah, serta kemampuan
mengevaluasi program peningkatan kegiatan membaca yang sudah dilakukan.

1.4 Indikator Keberhasilan

Indikator keberhasilan dari modul pembelajaran ini adalah meningkatnya minat,


kebiasaan, dan kemampuan membaca para siswa. Indikator ini tidak dapat terlihat
dalam waktu dekat, tergantung pada budaya dan gaya hidup para siswa. Perilaku dan
gaya hidup anak dan remaja pada era globalisasi ini diketahui sangat bebas, hedonis,
berorientasi pada gaya hidup barat, dan menjadi generasi internet. Jika sudah
membudaya, maka proses tersebut akan membutuhkan waktu lebih lama lagi.

ndikator keberhasilan lainnya dalam peningkatan minat, kebiasaan, dan kemampuan


membaca, juga dapat muncul pada perubahan layanan di perpustakaan sekolah.
Indikator tersebut antara lain akan muncul pada meningkatnya frekuensi peminjaman
buku dan frekuensi jumlah pengunjung. Keberhasilan tersebut akan terwujud apabila
antara pustakawan, guru pustakawan, atau guru, dan pengembang kurikulum sekolah
menjalin kerja sama yang baik yang terfokus pada program meningkatkan dan
membudayakan minat dan kebiasaan membaca. Mulai dari pengadaan koleksi,
pengolahan, hingga layanan perpustakaan diatur sedemikian rupa sehingga peran
perpustakaan sekolah bukan hanya sebagai tempat menyimpan buku, melainkan
sebagai pusat belajar atau learning resources bagi anak dan masyarakat sekitarnya.

4
BAB II

MINAT, GEMAR, DAN KEBIASAAN

MEMBACA PADA SISWA

2.1 Minat, Gemar, dan Kebiasaan Membaca

Minat, gemar, dan kebiasaan membaca siswa merupakan tindakan yang sifatnya
sangat individual (personal) dan manfaat secara langsung juga untuk kepentingan
individu (Elkin, 2003: 4). Pemahaman seseorang tentang makna membaca dan makna
buku akan membentuk minat, gemar, dan kebiasaan membaca. Karena setiap orang
memiliki nilai dan keyakinan yang berbeda-beda, maka mereka juga memiliki minat,
gemar, dan kebiasaan membaca yang berbeda-beda.

2.1.1 Pengertian Minat, Gemar, dan Kebiasaan Membaca

Ketiga istilah di atas memiliki pemahaman yang berbeda berdasarkan tahapan kegiatan
membaca. Tahap pertama adalah munculnya minat membaca (reading interest), yaitu
keinginan atau kemauan seseorang untuk membaca, tahap kedua adalah tindakan
membaca yang dilakukan berulang-ulang, termasuk gemar membaca, yang disebut
sebagai kebiasaan membaca (reading habit), dan tahap ketiga adalah terciptanya
budaya membaca (reading culture) (Melling, 2011). Makna budaya membaca itu
sendiri adalah kebiasaan membaca yang sudah didasari oleh nilai dan keyakinan yang
kuat yang tertanam dalam perilaku keseharian. Tetapi dalam bahan ajar diklat ini, tahap
terakhir yakni budaya membaca tidak dibahas. Berdasarkan tujuan diklat, program ini
lebih berfokus pada praktik membaca, sedangkan budaya membaca merupakan hasil
dari praktik-praktik yang dilakukan oleh individu.

Arti minat membaca adalah dorongan hati yang tinggi untuk membaca. Minat terjadi
pada kognisi manusia yang muncul karena stimulus eksternal. Misalnya, seseorang
yang mendengarkan cerita temannya tentang perjalanan ke Eropa yang baru
dilakukannya, sangat mengasyikkan. Oleh karena orang tersebut sangat tertarik dan ia
belum pernah ke sana, tentunya ia membutuhkan informasi tentang lokasi negara
tersebut, informasi tentang gaya hidup masyarakat di Eropa, lingkungan dan daya tarik
wisatanya, dan informasi tentang metode dan biaya perjalanan. Seluruh informasi yang

5
dicarinya ada pada bacaan. Pada contoh lain, ketika seseorang harus menyelesaikan
tugas membuat makalah dari sekolah dan isi makalah hanya dapat diperoleh dari
bacaan, maka suka tidak suka, ia akan langsung merujuk pada buku. Kondisi kedua
menciptakan kondisi terpaksa pada orang tersebut, sehingga kegiatan membaca akan
terjadi pada saat kondisi terpaksa itu saja. Dapat disimpulkan bahwa munculnya minat
untuk membaca, sebaiknya didorong oleh rasa suka pada sesuatu yang menarik dan
rasa penasaran.

Minat membaca pada setiap anak akan berubah sesuai dengan perkembangan jenjang
usia. Tahapan minat yang umum dijumpai adalah sebagai berikut (Sudarsana, 2007:
5.11):

1. Usia 2 – 4 tahun, minat anak pada usia ini condong pada cerita fantasi. Anak-
anak yang baru menyadari lingkungan tempat mereka tinggal ini sedang
mengembangkan imajinasi dan belajar memahami dunia berdasarkan kaca mata
mereka.
2. Usia 4 – 8 tahun, minat anak pada usia ini condong pada cerita dongeng. Di
usia antara balita dan remaja awal, anak sudah mengenal lingkungan dan dunia
mereka dengan lebih baik, tetapi mereka masih terus mengembangkan imajinasi.
3. Usia 8 – 11/12 tahun, minat anak pada usia ini condong pada cerita
petualangan. Di usia awal remaja ini, rasa ingin tahu mereka menjadi lebih
besar, sehingga mereka tertarik mengenal dunia petualangan.
4. Usia 12 – 15 tahun, minat anak pada usia ini condong pada cerita
kepahlawanan. Usia remaja, yaitu masa pubertas ketika perhatian anak terpusat
pada diri sendiri, atau mencari jati diri, cenderung ingin menonjolkan diri. Cerita
kepahlawanan memungkinkan mereka mendapatkan pegangan atau idola bagi
diri sendiri yang sedang mencari jati diri.
5. Usia 15 – 20 tahun, minat anak pada usia ini condong pada cerita romantis.
Usia remaja yang menuju ke arah usia dewasa membuat mereka lebih tertarik
pada cerita-cerita romantis, cerita yang menunjukkan hubungan kasih sayang
yang lebih ekspresif.

Tahapan minat di atas akan terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Generasi muda yang terlahir di masa teknologi yang saat ini sedang berkembang pesat,
sejak balita sudah terbiasa menekan tombol komputer. Karakternya sangat terlihat
berbeda dengan generasi tahun 60-an, masa ketika belum ada komputer. Generasi
6
yang akan datang tentunya juga akan terus berubah dan berkembang dalam praktik
membaca berdasarkan aspek kebutuhan, tuntutan, karakter, kebiasaan, serta pola
komunikasi perolehannya.

Sementara itu, arti gemar membaca adalah suka atau senang sekali untuk membaca.
Gemar membaca dapat dianggap sebagai tindakan setahap lebih maju dari minat
membaca. Setelah seseorang dapat menumbuhkan minat membaca di dalam dirinya, ia
akan menumbuhkan rasa suka pada kegiatan membaca. Dari rasa suka atau senang
sekali itu, ia akan melakukan kegiatan membaca.

Sedangkan arti kebiasaan membaca adalah kegiatan membaca yang dilakukan


berulang-ulang. Minat membaca yang diwujudkan ke dalam tindakan membaca dan
kemudian tindakan tersebut dilakukan secara berulang-ulang, maka minat tersebut
menjadi kebiasaan. Contohnya adalah ketika seseorang ingin melepas ketegangan, ia
akan membaca buku. Berdasarkan pengalamannya, ia memperoleh pengalaman
emosional yang menyenangkan setelah membaca buku. Jadi ketika ia merasa tegang,
ia akan mengulangi kegiatan membaca tersebut agar dapat memperoleh pengalaman
menyenangkan itu kembali. Lama-kelamaan, kegiatan membaca tersebut menjadi
kebiasaan, tidak harus dipicu oleh perasaan tegang terlebih dahulu.

Pengertian kemampuan membaca adalah kemampuan mengidentifikasi, menganalisis,


mengevaluasi, dan mengaplikasikan apa yang telah dibaca. Berdasarkan definisi
tersebut, kemampuan membaca melibatkan daya pikir dan daya ingat. Kedua daya
tersebut bekerja di dalam kognisi manusia dalam proses interpretasi isi bacaan,
sehingga dapat menghasilkan pemahaman. 1) Kemampuan mengingat dan mengenali
rincian dalam bacaan, seperti tokoh-tokoh cerita, mulai dari sifat, karakter, hingga peran
mereka, hubungan sebab-akibat, urutan alur cerita, serta unsur-unsur dalam bacaan
lainnya. Kemampuan mengingat dan mengenali rincian dalam bacaan merupakan
kemampuan pertama dalam kemampuan membaca. Kemampuan tersebut merupakan
modal dasar dalam membaca kritis. 2) Kemampuan menginterpretasi makna yang
tersirat berdasarkan konsep yang berkaitan. Kemampuan tersebut bukan hanya
sekedar membaca bacaan yang tersurat, melainkan memahami yang ada di balik yang
terlihat. Kemampuan tersebut membutuhkan kepekaan dan kedalaman pemikiran. 3)
Kemampuan mengaplikasikan konsep-konsep yang muncul dalam bacaan. Konsep
tersebut menuntun pembaca memahami situasi baru yang berkembang menjadi lebih
kompleks. Dalam memberikan layanan, seorang pustakawan di perpustakaan umum
7
harus memahami karakter, keinginan, dan kebutuhan informasi penggunanya. 4)
Kemampuan menganalisis isi bacaan mencakup kemampuan yang dapat memahami
unsur-unsur yang membentuk kesatuan bacaan, baik yang eksplisit maupun yang
implisit. Menganalisis unsur-unsur dalam bacaan dimulai dari mengelompokkan
gagasan utama dan penunjang, dari awal hingga akhir bacaan. 5) Kemampuan
membuat sintesis adalah kemampuan untuk membuat kesimpulan dari suatu bacaan.
Membuat kesimpulan dari sebuah bacaan adalah menarik benang merah untuk
menentukan alur gagasan utamanya, serta dapat membedakannya dengan gagasan
penunjang, menggabungkan semua unsur ke dalam satu kesatuan yang utuh. Dengan
kata lain, kemampuan tersebut memungkinkan seseorang dapat membedakan yang
penting, kurang penting, dan tidak penting. 6) Kemampuan menilai isi bacaan
mencakup menilai jenis pernyataan si penulis, sudut pandang penulis, menilai
kesimpulan si penulis, menilai penggunaan bahasa dan penyusunan kalimat. Salah
satu contoh hasil dari kemampuan ini adalah resensi buku. Pengertian resensi adalah
ulasan secara objektif mengenai kelebihan dan kekurangan sebuah buku, kritikan
tentang isi dan tema, termasuk argumentasi tentang perlu atau tidaknya buku tersebut
dibaca.

Dalam kegiatan membaca, setiap individu memiliki teknik yang berbeda, baik pada cara
membaca, tempat membaca, dan tujuan membaca. Pada dasarnya, teknik membaca
dibedakan menjadi dua, yaitu membaca ekstensif dan membaca intensif
(Sudarsana, 2007: 4.7). Membaca ekstensif adalah membaca secara luas dalam waktu
yang singkat. Teknik membaca tersebut membutuhkan kegiatan yang terfokus, mulai
dari memilah yang penting, kurang penting, dan tidak penting (selecting), membaca
hanya bagian-bagian yang dianggap penting (skipping), membaca cepat untuk
menemukan gagasan utama (skimming), dan membaca dengan cermat (scanning).
Teknik tersebut digunakan ketika seseorang sedang mendalami garis besar dari suatu
konsep dasar ilmu pengetahuan.

Sementara itu membaca intensif adalah membaca agar dapat memahami keseluruhan
isi bacaan secara mendalam. Teknik membaca ini mencakup kegiatan
menginterpretasi, mengevaluasi, dan menganalisis isi bacaan secara kritis. Membaca
intensif mencakup membaca rekreatif, yaitu teknik membaca untuk mencari
kesenangan dan mengisi waktu senggang.

8
Teknik membaca berkaitan dengan tingkatan pembaca. Semakin tinggi tingkatannya
dalam kegiatan membaca, maka teknik membacanya semakin canggih. Berikut adalah
tingkatan yang dimaksud (Sudarsana, 2007: 5.18):

1. tingkatan pemula. Pada tingkatan ini, pemula hanya memiliki kemampuan


mengucapkan huruf, kata, dan kalimat-kalimat sederhana. Ia sama sekali tidak
merujuk pada makna yang dikandung pada bacaan. Umumnya, tingkatan ini
terjadi pada usia kanak-kanak.
2. tingkatan mendapatkan impresi secara umum. Pada tingkatan kedua ini,
pembaca sudah dapat membaca rangkaian kata yang tertulis pada bacaan, dan
ia dapat memperoleh gambaran, suatu peristiwa, atau kisah, yang ada di dalam
bacaan tersebut. Bacaan anak menyajikan tulisan yang disertai dengan gambar,
sehingga pembaca memperoleh konteks yang tepat. Biasanya, tingkatan ini
muncul pada mereka yang baru belajar membaca.
3. tingkatan mendapatkan pemahaman literer. Seseorang dapat membaca
rangkaian kata dan ia juga sudah mampu mengingat dan mengenali unsur-unsur
yang ada dalam bacaan. Pada tingkatan ini, orang tersebut akan dapat
menjawab pertanyaan tentang segala sesuatu yang ada dalam bacaan.
4. tingkatan menginterpretasi. Tidak hanya mengenali dan mengingat, ia juga
sudah mampu menginterpretasi makna unsur-unsur yang ada di dalam bacaan.
Ia dapat menangkap gagasan utama, mengaitkan gagasan tersebut dengan
konsep lain yang terkait, dan menganalisisnya. Dengan daya analisis tersebut, ia
mampu mengkritisi dan mengambil kesimpulan.
5. tingkatan reading indepth. Tingkatan terakhir ini menunjukkan bahwa seseorang
dapat memahami makna yang tersirat maupun tersurat dari isi suatu bacaan.
Dengan pengalaman dan pemahaman konsep yang dimilikinya dari hasil
bacaan-bacaan sebelumnya, bahkan ia juga mampu menemukan gagasan atau
pandangan baru dari hasil pemikirannya sendiri.

Tingkatan kemampuan membaca ini diperlukan untuk mengidentifikasi kemampuan


membaca seseorang. Pemahaman tersebut menjadi pedoman agar ia mengetahui
posisinya dan dapat mengatur strategi untuk meningkatkannya. Dengan daftar
tingkatan tersebut, pengelola program dapat memantau perkembangan kemampuan
membaca siswa dalam kurun waktu tertentu.

9
2.1.2 Tujuan dan Manfaat membaca

Secara umum, tujuan membaca adalah untuk memperoleh informasi tertulis atau
terekam yang dibuat dan/atau disajikan oleh orang lain. Tetapi banyak juga orang yang
membaca untuk mengisi waktu luang dan menghibur diri (Sudarsana, 2007: 4.3).
Informasi yang disajikan dapat berupa data, berita, laporan, atau pengetahuan.
Sedangkan manfaat membaca cukup banyak, antara lain: menambah pengetahuan dan
wawasan, mengetahui peristiwa yang pernah terjadi, mengetahui gagasan atau
pendapat atau pengalaman orang lain, serta menjadikan wahana rekreasi ilmu. Manfaat
tersebut merupakan pemahaman dari sebagian besar masyarakat yang perlu diperbaiki
bahkan diubah. Konsep membaca bukan hanya memaknai rangkaian kata yang ada
dalam bacaan, tetapi juga mencakup proses mengingat, menilai, menghayati,
berimajinasi, proses mengorganisasi pengetahuan yang telah diperoleh, dan proses
memecahkan permasalahan. Melalui seluruh proses yang terjadi tanpa disadari
tersebut di dalam kognisi manusia, membaca bukan hanya sekedar membaca, tetapi
melatih daya analisis seseorang.

Apabila proses membaca dilakukan berulangkali, yang kemudian menjadi kebiasaan


atau yang disebut sebagai budaya baca, proses tersebut akan meningkatkan
intelektualitas. Proses tersebut juga akan lebih tertanam jika diikuti oleh proses menulis.
Seseorang yang cerdas dapat membedakan perilaku yang baik dan yang tidak baik,
sehingga dapat bersosialisasi di dalam masyarakat dengan lebih baik. Membaca
bacaan-bacaan yang menghibur juga dapat menjadi sumber inspirasi dan
menenangkan pikiran. Dapat disimpulkan bahwa manfaat membaca adalah sebagai
berikut (Sudarsana, 2007: 4.7; Jahja, 2006: Mujiran, 2008: 123; Elkin, et.al., 2003: 12):

1. Melatih daya analisis atau meningkatkan keterampilan membaca. Dengan


membaca buku, seseorang dapat melatih konsentrasi berpikir, kemampuan
membaca, kepekaan membaca, kemampuan menginterpretasi makna, dan
melatih pikirannya untuk merefleksikan isi bacaan. Daya analisis dapat cepat
terasah jika seseorang sering berdiskusi dengan orang yang tertarik atau
menguasai subjek yang sama.
2. Menambah pengetahuan dan wawasan. Membaca buku-buku ilmu
pengetahuan, bahkan tanpa harus melakukan sendiri, dapat meningkatkan
pengetahuan. Seseorang tidak harus melakukan penelitian ke bulan, tetapi dari

10
pengalaman manusia lain yang ditulis dalam buku, orang lain dapat memperoleh
pengetahuan yang sama.
3. Mengembangkan watak dan perilaku yang baik dalam bersosialisasi.
Membaca yang dilakukan dengan berdiskusi, saling berbagi pengetahuan,
membaca bersama, dapat meningkatkan hubungan antarmanusia. Selain dapat
menstimulasi pengembangan keterampilan bersosialisasi, membaca bersama
juga dapat meningkatkan rasa keingintahuan dan kreativitas seseorang.
4. Mengisi waktu luang dengan kesibukan yang berguna. Ketika seseorang
tidak tahu apa yang harus dilakukan pada waktu luang, ia dapat membaca buku.
Tidak menjadi persoalan jika buku yang dibaca tergolong buku picisan, atau
sekedar membaca iklan di surat kabar atau majalah, bahkan hanya melihat
gambar atau foto di dalamnya, paling tidak ia menanamkan kebiasaan membaca
pada dirinya. Kegiatan membaca masih lebih bermanfaat dibandingkan
menghabiskan waktu dengan berwisata ke mal atau tawuran.
5. Menenangkan pikiran dan biblioterapi. Informasi dalam buku menawarkan
banyak pilihan, seperti praktik menghadapi berbagai persoalan kehidupan,
praktik menghadapi perasaan bersalah, dan sebagainya. Sementara itu, buku-
buku novel atau buku cerita menawarkan berbagai kisah dan gaya penuturan
yang penuh misteri, ketegangan, atau penuh kelembutan. Seluruh jenis buku
dapat dijadikan sebagai sarana terapi.

Kelima manfaat di atas dapat menuntun seseorang menjalani hidup menjadi lebih
baik. Dengan kemampuan analisis dan pengetahuan yang terus berkembang, ia dapat
memahami permasalahan dunia yang dihadapinya. Dengan pemahaman yang utuh, ia
dapat menentukan prioritas dalam kehidupannya, selanjutnya dapat menentukan
langkah-langkah yang layak diambil. Dengan demikian ia dapat mengatasi masalah
kehidupan secara mandiri.

2.2 Membangun Minat, Gemar, dan Kebiasaan Membaca pada Siswa

Berdasarkan manfaat membaca yang telah diuraikan di atas, maka upaya membangun
minat, gemar, dan kebiasaan membaca pada siswa sangat penting dilakukan. Bagian
ini menjelaskan bahwa untuk dapat mencapai manfaat membaca, seseorang harus
membangun minat dan gemar membaca, kemudian mengarahkannya untuk menjadi
kebiasaan. Setelah minat dan kebiasaan membaca terbangun, ia perlu meningkatkan

11
diri agar mampu membaca dengan baik, sehingga ia mempu memahami isi bacaan
baik yang tersirat maupun yang tidak. Dengan memahami isi bacaan, ia dapat meraih
manfaat membaca.

2.2.1 Tujuan membangun minat dan gemar membaca pada siswa

Tujuan utama membangun minat dan gemar membaca adalah untuk memotivasi dan
mengarahkan minat dan gemar membaca pada anak. Membangun minat dan gemar
membaca sebaiknya dimulai sejak usia dini. Usia 0-5 tahun merupakan masa emas
pertumbuhan otak dan masa pembentukan karakter anak. Kondisi ini pada umumnya
berlangsung hingga usia remaja. Perilaku anak pun masih dapat diarahkan dan
dibentuk. Kebiasaan membaca sejak anak masih kecil, dapat mengasah bakat dan
potensi anak secara lebih intensif (Mujiran, 2008: 124).

Siswa didik yang dihitung mulai dari playgroup hingga sekolah menengah atas, berusia
antara 3 tahun hingga 18 tahun, merupakan sasaran program peningkatan minat dan
gemar membaca yang paling tepat. Dalam kurun usia tersebut, program akan lebih
mudah dilaksanakan. Berkaitan dengan masa sekolah, siswa didik juga akan terfokus
pada kegiatan pembelajaran, sehingga program perpustakaan yang dikaitkan dengan
kurikulum sekolah akan lebih mudah dilakukan.

Tujuan berikutnya akan perlunya membangun minat dan gemar membaca siswa adalah
untuk mengimbangi daya tarik dunia hiburan (Mujiran, 2008: 128). Dewasa ini, gaya
hidup masyarakat kebanyakan menawarkan semua hal yang semakin menjauhkan
seseorang dari kegiatan membaca buku, seperti pergi ke mal, internet, kafe, rumah
makan, dan sebagainya. Program peningkatan minat dan gemar membaca perlu
dilakukan secara menarik, baik cara maupun sarananya, sehingga dapat mengalihkan
perhatian siswa dari dunia hiburan, atau bahkan menggabungkan keduanya. Misalnya,
setelah siswa menonton sebuah tayangan di televisi atau bioskop, siswa diminta untuk
mencari referensinya atau mengembangkan topik dalam tayangan tersebut dari buku.
Mereka diwajibkan menulisnya sebagai laporan penelitian. Laporan terbaik akan diberi
nilai tinggi dan diberi insentif berupa uang atau voucher berbelanja buku di toko buku
tertentu.

12
2.2.2 Tujuan meningkatkan kebiasaan membaca pada siswa

Tujuan utama kegiatan meningkatkan kebiasaan membaca pada siswa didik adalah
untuk membudayakan kegiatan membaca. Terbangunnya minat, gemar, dan kebiasaan
membaca pada siswa tidaklah cukup. Mengingat siswa adalah aset bangsa, semua
potensi dan kemampuannya perlu dibina sedini mungkin dan sebaik mungkin, termasuk
kemampuan membaca. Dengan kemampuan tersebut, menciptakan generasi yang
tangguh, yang memiliki inovasi, kreativitas, dan kompetensi yang tinggi.

Era globalisasi merupakan era kompetitif. Setiap negara, bangsa, maupun


masyarakatnya dituntut memiliki kondisi yang lebih mampu, kompetens, inovatif, kreatif,
cekatan, dan dinamis dalam bersikap. Kondisi semacam ini hanya bisa dilakukan oleh
seseorang yang cerdas dan memiliki pengetahuan luas. Hal ini bisa terjadi bila
seseorang memiliki jiwa, semangat, kebiasaan, dan kemampuan untuk membaca
dalam kehidupannya (long life education).

Kemampuan membaca tidak bisa mendadak atau datang tiba-tiba. Kemampuan ini
harus dilatih dan bahkan dipaksa sampai menjadi kebiasaan dalam hidup seseorang.
Tingkat kebiasaan membaca seseorang perlu diukur. Untuk memudahkan pengukuran
keberhasilan dalam pembinaan kemampuan membaca, perlu dibuat indikator atau tolok
ukurnya. Indikator ini tidak harus satu, tetapi bisa dibuat dan dikembangkan untuk
masing-masing kegiatan pembinaan membaca. Misalnya, pengukuran untuk kecepatan
membaca (jumlah halaman per menit), jumlah buku yang dibaca per minggu,
kemampuan bercerita ulang dari isi buku, atau kemampuan mengaktualisasikan
kembali dari isi buku yang dibaca (melalui lomba dongeng atau mengarang) atau
jumlah kunjungan dan transaksi perpustakaan.

2.3 Peran Perpustakaan Sekolah Dalam Peningkatan


Kegiatan Membaca
Peran perpustakaan sekolah, sebagai bagian integral dari sistem pendidikan, adalah
untuk membantu sekolah mengakselerasi tujuan sekolah dalam membangun minat,
gemar, dan kebiasaan membaca siswa didik yang disesuaikan dengan proses belajar-
mengajar yang diterapkan sekolah. Peran dalam peningkatan kegiatan membaca
tersebut umumnya difokuskan pada perpustakaan sekolah, sebab perpustakaan
dianggap sebagai tempat yang tepat dalam kegiatan membaca.

13
2.3.1 Perpustakaan sebagai Sumber dan Wahana Belajar Sepanjang
Hayat
Perpustakaan sekolah, yang didefinisikan sebagai perpustakaan yang diselenggarakan
di sekolah untuk kepentingan proses belajar-mengajar di sekolah, memiliki fungsi dasar
sebagai pusat penyimpan pengetahuan (preservation of knowledge) (Sudarsana, 2007:
1.28). Sehubungan dengan hal tersebut, peran utama perpustakaan sekolah adalah
sebagai sumber dan wahana belajar sepanjang hayat. Berdasarkan Undang-undang
Republik Indondesia, No 43 tahun 2007 tentang perpustakaan, dinyatakan bahwa:

perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat, mengembangkan


potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam
mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional.

Berdasarkan peran tersebut, perpustakaan sekolah yang dianggap sebagai jantung di


lembaga sekolah sebaiknya dikelola secara profesional.

Dalam kaitannya dengan peningkatan kegiatan membaca, Perpustakaan Nasional RI


(2011: 8) menetapkan fungsinya adalah sebagai pusat sumber belajar, pusat kegiatan
literasi informasi, pusat penelitian, pusat kegiatan baca membaca, dan tempat kegiatan
kreatif, imajinatif, inspiratif, dan kegiatan lainnya yang menyenangkan. Sedangkan
peran dan fungsi perpustakaan sekolah sebagai sumber dan wahana belajar sepanjang
hayat dirinci ke dalam fungsi-fungsi sebagai berikut (Lasa, 2007: 13; Sudarsana, 2007:
1.30) :

1. Fungsi pendidikan atau sumber belajar. Fungsi ini membantu pelaksanaan


proses belajar-mengajar. Guru dan siswa didik dapat menemukan buku-buku
wajib dan buku pengayaan sesuai dengan kurikulum. Perpustakaan
menyediakan ruang baca untuk digunakan sebagai tempat membaca dan
berdiskusi. Mereka dapat belajar secara mandiri maupun berkelompok;
2. Fungsi penelitian. Guru dan siswa dapat melakukan penelitian, mulai dari
membuat proposal, mengumpulkan literatur, menelusur data, hingga
menyelesaikan laporan. Perpustakaan juga dapat dianggap sebagai laboratorium
kecil untuk melakukan penelitian mengenai perilaku dalam membaca,
bersosialisasi, pendidikan pemakai, atau pengenalan pada teknologi komputer
dan informasi;
14
3. Fungsi informasi. Perpustakaan sekolah menyediakan segala macam informasi,
baik yang bersifat tercetak, seperti kamus, ensiklopedi, almanak, manual,
biografi, dan seterusnya, dan yang bersifat elektronik, seperti internet. Informasi
tidak terbatas pada informasi akademis, tetapi juga informasi yang berkaitan
dengan kehidupan bermasyarakat, seperti informasi tentang pertunjukan seni,
informasi keagamaan, perubahan yang terjadi pada masyarakat, opini politik,
dan sebagainya;
4. Fungsi rekreatif. Perpustakaan dapat menjadi tempat bersantai ketika siswa dan
guru merasa lelah setelah proses belajar-mengajar. Mereka dapat beristirahat di
atas sofa yang nyaman, duduk di atas karpet, membaca novel atau bacaan
ringan lainnya, memainkan berbagai permainan, atau mendengarkan musik.

Keempat fungsi tersebut memungkinkan terciptanya kebiasaan membaca pada siswa


didik. Tidak hanya meningkatkan kegiatan membaca, mereka juga dikenalkan dengan
teknologi informasi, baik sebagai sarana mengakses informasi secara mandiri maupun
sebagai sarana pengolahan informasi secara lebih mendalam.

2.3.2 Strategi Perpustakaan Sekolah dalam Peningkatan Kegiatan


Membaca

Sebagai bagian integral dari sistem pendidikan, perpustakaan sekolah bukan sekedar
sebagai unit pelengkap, perannya sangat strategis dalam membudayakan kegiatan
membaca. Oleh sebab itu, perpustakaan harus dikelola secara profesional dan
dilaksanakan oleh petugas yang kompetens. Perpustakaan pada masa kini tidak dapat
lagi mengandalkan layanan pasif, layanan harus dijalankan secara proaktif dan juga
didukung dengan fasilitas akses yang berbasis pada teknologi informasi dan
komunikasi.

Perannya yang tidak hanya sekedar sebagai fasilitator tempat meminjam dan membaca
buku, perpustakaan sekolah juga berperan sebagai unit kerja yang memiliki
kemampuan membina minat, gemar, dan kebiasaan membaca, serta meningkatkan
kemampuan membaca siswa didik. Dengan peran inilah perpustakaan sekolah harus
mampu melihat perkembangan proses belajar-mengajar, dan perkembangan minat
baca dan kebutuhan siswa dan guru akan informasi. Dalam rangka meningkatkan
perannya, perpustakaan harus memiliki program strategis yang meliputi kegiatan
promosi, kegiatan sosialisasi, kegiatan kreatif, serta kerja sama antara kegiatan

15
perpustakan dan kurikulum yang sedang berjalan maupun yang akan datang. Di sinilah
diperlukan tenaga perpustakaan yang berjiwa entrepreneurship dan visioner, serta
memiliki kemampuan komunikasi, baik interpersonal maupun kelembagaan kerja.

Strategi perpustakaan sekolah dalam membangun minat, gemar, dan kebiasaan


membaca pada siswa bisa dilakukan melalui berbagai cara. Strategi pertama adalah
melakukan promosi minat baca. Promosi dapat dilakukan dengan berbagai cara,
mulai dari promosi yang dilakukan di dalam perpustakaan, hingga di luar perpustakaan.
Promosi di dalam perpustakaan dilakukan melalui berbagai layanan, hubungan baik
antar pustakawan dan pemustaka, atau melibatkan pemustaka dalam pekerjaan
perpustakaan, sedangkan promosi di luar perpustakaan adalah dengan
menyelenggarakan pameran buku murah dan menarik, atas kerjasama dengan komite
sekolah atau asosiasi penerbit. Promosi dapat juga dilakukan dengan
menyelenggarakan berbagai lomba terkait, seperti mengadakan lomba meringkas buku,
mengadakan acara mendongeng, dan masih banyak lagi. Manajemen perpustakaan
yang baik sangat ditunjang oleh kontribusi sekolah, baik dalam dana maupun dukungan
semangat.

Strategi perpustakaan sekolah pada pembinaan minat, gemar, dan kebiasaan


membaca pada siswa sangat tergantung pada kepedulian dan peran guru dan pimpinan
sekolah bersama pustakawan atau petugas/guru pengelola perpustakaan. Bina minat,
gemar, dan kebiasaan membaca melalui perpustakaan sekolah sejalan dengan tujuan
diadakannya perpustakaan sekolah, yaitu menumbuhkembangkan minat baca tulis guru
dan siswa (Lasa, 2007: 14).

Strategi perpustakaan sekolah berikutnya adalah memberdayakan peran pustakawan.


Peran seorang pustakawan sekolah memiliki karakteristik sendiri yang berbeda
dibandingkan dengan pustakawan di perpustakaan khusus dan umum. Perannya dapat
dikatakan sejajar dengan peran guru, yaitu mendidik siswa. Selain pustakawan,
petugas perpustakaan dapat diambil dari jajaran guru, sehingga posisinya disebut
sebagai guru pustakawan (Lasa, 2007: 40). Guru pustakawan minimal telah
mendapatkan pelatihan di bidang perpustakaan. Peran guru pustakawan sangat
strategis karena dapat menjadi jembatan antara kepala sekolah, guru, siswa, dan
perpustakaan.

16
Kebijakan sekolah juga sebaiknya berkontribusi untuk mewajibkan pelatihan bagi para
guru dan pustakawan untuk meningkatkan kemampuan membaca. Dengan
kemampuan tersebut, guru dan pustakawan dapat menularkannya pada siswa dengan
lebih mudah. Kebijakan tersebut mewajibkan pula bagi guru dan pustakawan untuk
memiliki sikap yang dibutuhkan dalam pendekatan mereka dengan siswa. Sikap yang
fleksibel dan luwes dalam memahami perilaku remaja mempengaruhi pola siswa
belajar, terutama dalam mengubah kebiasaan membaca. Misalnya, pustakawan yang
kaku dan galak akan membuat siswa takut dan enggan untuk datang ke perpustakaan.
Akibatnya siswa akan memiliki pandangan negatif terhadap perpustakaan.

Strategi perpustakaan sekolah berikutnya adalah mengintegrasikan program


perpustakaan dengan kurikulum. Sebenarnya program KTSP (Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan) merupakan dasar dari integrasi tersebut. Program pemerintah
tersebut menuntut siswa untuk belajar mandiri dan aktif, banyak membaca, dan dapat
menemukan sumber bacaan yang relevan, yang memungkinkan siswa menjadi
pembelajar seumur hidup dan diharapkan dapat memecahkan masalah yang dihadapi.

Strategi tersebut memungkinkan guru untuk memanfaatkan perpustakaan sekolah


sedemikian rupa dalam mata pelajaran masing-masing secara terintegrasi. Umumnya,
mata ajar bahasa Indonesia mengalokasikan waktu satu atau dua jam pelajaran bagi
siswa untuk belajar di perpustakaan. Siswa diwajibkan meringkas buku atau
mengerjakan tugas mata ajar lain yang mengharuskan mereka untuk menelusuri bahan
tugas di perpustakaan. Dalam kaitannya dengan kurikulum dan proses belajar-
mengajar, perpustakaan harus menyediakan sumber bacaan; megaitkan topik
pengajaran dengan sumber bacaan yang ada di luar sekolah (di rumah, di toko buku, di
perpustakaan umum, atau di koran/majalah atau brosur).

17
BAB III
PROGRAM PENINGKATAN

KEGIATAN MEMBACA PADA SISWA

3.1 Mengidentifikasi Kondisi Minat dan Sarana Kegiatan Membaca


pada Siswa

Kebiasaan membaca pada siswa diartikan sebagai kegiatan membaca yang sering
dilakukan siswa, sehingga menjadi kebutuhan. Sesuatu yang dilakukan secara
berulang-ulang akan meningkatkan kualitas kemampuan membaca. Umumnya,
seseorang yang sering membaca memiliki sikap lebih kritis dan lebih tanggap terhadap
lingkungan.

Untuk membuat program peningkatan minat, kebiasaan, dan kemampuan membaca,


pengelola perpustakaan perlu mengidentifikasi kebiasaan dan tingkat kemampuan
membaca. Identifikasi biasanya dilakukan melalui survei ke lapangan dan observasi
serta wawancara (Elkin, 2003: 198). Hasil dari kegiatan survei digunakan sebagai dasar
pijakan untuk memahami kondisi dan keinginan siswa. Dengan pemahaman tersebut,
pengelola perpustakaan dapat menentukan langkah atau program yang tepat bagi
siswa. Identifikasi dilakukan melalui survei dan sebaiknya dilakukan secara regular.

3.1.1 Melakukan Survei Minat, Gemar, dan Kebiasaan Membaca

Survei kebiasaan membaca pada siswa umumnya mencakup pertanyaan seputar


kegiatan membaca. Pertanyaan-pertanyaan berikut diambil dari berbagai sumber.

1. Tujuan siswa membaca? Kebanyakan siswa membaca adalah untuk


menyelesaikan tugas sekolah, menambah pengetahuan dan wawasan, dan juga
untuk mengisi waktu senggang, sekaligus mencari hiburan, menenangkan
pikiran dan sebagian kecil bertujuan untuk memenuhi hobi membaca.
2. Sumber bacaan yang menjadi favorit? Sebagian besar siswa memilih buku teks
sebagai sumber bacaan, sebab mereka memang sedang terfokus pada
pelajaran sekolah. Selain itu, sumber lain yang sering dijadikan acuan adalah
sumber dari internet, majalah, dan buku komik.

18
3. Subjek yang sering dibaca? Demikian pula dengan subjek yang sering dibaca,
siswa mengacu pada subjek pelajaran sekolah. Selain itu, subjek yang paling
dicari adalah cerita-cerita petualangan dan cerita cinta yang berbobot ringan.
Sebagian yang lain kebanyakan bertujuan untuk memenuhi keingintahuan atau
ketertarikan mereka pada sesuatu yang khusus, seperti mengetahui berita
terkini, baik dalam bidang olahraga, seni, dan politik.
4. Mengecek buku baru secara teratur? Biasanya, seseorang yang tertarik akan
buku akan mencaritahu buku-buku baru yang ada di toko buku, internet,
perpustakaan, atau teman. Ia akan mengecek buku-buku baru, sesuai minat dan
kebutuhannya, secara teratur, setiap dua minggu atau satu bulan sekali, dan
seterusnya.
5. Buku yang paling menarik yang pernah dibaca? Siswa yang senang membaca
buku akan mudah menjawab pertanyaan ini. Karena didasari oleh rasa suka dan
karena menghayati bacaan, mereka akan ingat judul dan isinya. Tanpa disadari,
ia pun akan menceritakannya kepada teman-temannya dan mempromosikan
buku yang disukainya itu.
6. Berapa buah buku yang dibaca dalam satu bulan? Kebanyakan siswa menjawab
hanya membaca satu buku per bulannya. Rata-rata buku yang dibaca adalah
komik, disusul dengan novel. Kebanyakan dari mereka mengira bahwa
membaca surat kabar atau majalah merupakan kegiatan membaca, padahal
makna kegiatan membaca bukan hanya memaknai rangkaian kata, tetapi
mencakup proses mengingat, menilai, menghayati, berimajinasi, proses
mengorganisasi pengetahuan yang telah diperoleh, dan proses memecahkan
permasalahan. Kegiatan tersebut tergantung pada teknik membaca, apakah
hanya membaca judul besarnya saja, atau benar-benar menghayati informasi
dalam bacaan.
7. Frekuensi kegiatan membaca dalam seminggu? Karena kebanyakan siswa atau
remaja melakukan kegiatan membaca hanya jika diminta guru atau ketika akan
melaksanakan ujian, maka frekuensinya terhitung setiap hari pada masa
sekolah, dan sesekali dalam seminggu ketika tidak sedang dalam masa sekolah.
8. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca dalam 1 hari? Kebanyakan
siswa membaca selama 1 hingga 2 jam dalam sehari. Mereka lebih banyak
menghabiskan waktu dalam kegiatan fisik, seperti bermain bola bersama teman,

19
mengikuti kursus, menyalurkan hobi mendaki gunung, berenang, bermain music,
dan masih banyak lagi.
9. Kapan waktu yang digunakan untuk membaca? Sesaat setelah bangun pagi,
sebelum tidur? Kebanyakan siswa melakukannya sebelum tidur di malam hari.
Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena mereka dapat lebih santai dan
suasana lebih tenang, sehingga mereka dapat fokus membaca.
10. Tempat yang biasa dipakai untuk membaca? Ketika mereka di sekolah, mereka
memilih membaca di ruang kelas dan perpustakaan. Ketika di rumah, mereka
memilih kamar tidur, ruang keluarga, dan di kebun. Kadang-kadang mereka
melakukannya sambil makan di meja makan, atau sambil menonton televisi.
Ketika di luar rumah, mereka memilih saat di atas kendaraan, di kafe, di rumah
teman.
11. Berapa persen uang saku yang disisihkan untuk membeli buku dalam 1 bulan?
Tidak banyak siswa yang melakukannya. Biasanya uang saku mereka habis
dibelanjakan untuk bersosialisasi, seperti makan bersama teman-teman,
membeli baju dan berbagai aksesori, atau berwisata bersama teman-teman
mereka. Tetapi, siswa yang menyisihkan uang saku untuk membeli buku akan
menghabiskan kurang lebih 20% dari total uang saku selama satu bulan.
12. Jika punya uang lebih apa yang dibeli? Kebanyakan siswa akan membeli
barang-barang yang, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik, atau
tepatnya untuk bersosialisasi, seperti pakaian dan asesori yang sesuai tren saat
itu, bahan untuk tata rias, dan lain sebagainya.
13. Jumlah buku yang dimiliki saat ini? Kebanyakan mereka memiliki 50 hingga 100
buku yang ada di rumah. Buku-buku tersebut adalah milik keluarga, jadi bukan
milik pribadi siswa. Rumah yang dihiasi oleh banyak buku, paling tidak akan
memotivasi anak untuk membaca.
14. Dukungan orangtua untuk membaca? Dukungan orangtua merupakan dukungan
yang paling berharga. Keluarga menjadi faktor pertama yang diterima seorang
anak, sejak ia dilahirkan, bahkan, hingga di usia dewasa. Orangtua dapat
mendorong anak melalui kegiatan mendongeng sebelum tidur, membelikan buku
bagi anak sesuai pilihannya, pergi ke perpustakaan satu minggu sekali,
mengatur waktu khusus untuk membaca bersama keluarga, membiasakan
memberikan hadiah ulang tahun berupa buku, dan masih banyak lagi.

20
15. Siapa yang mengajari membaca? Kebanyakan siswa menjawab ibu. Sedangkan
yang lain menjawab ayah, guru, nenek/kakek, saudara, teman. Mereka
merupakan orang kedua yang dipilih siswa dalam mengajari membaca. Jawaban
tersebut wajar, sebab peran ibu sangat dominan dalam pengasuhan anak.

Masih banyak pertanyaan lainnya yang tidak disebutkan di sini. Daftar pertanyaan
dapat disesuaikan dengan kondisi siswa yang bersangkutan, seperti tingkat pendidikan,
latar belakang keluarga, dan perilakunya terhadap buku bacaan.

3.1.2 Melakukan Observasi dan Wawancara

Observasi dan wawancara merupakan kegiatan yang membutuhkan waktu agak lama,
yaitu sekitar 2 hingga 3 tahun. Kedua kegiatan tersebut bertujuan untuk memperoleh
pemahaman kegiatan membaca siswa yang lebih mendalam dan dampak dari suatu
pembelajaran atau pelatihan. Selain itu, kedua kegiatan tersebut juga membutuhkan
kepekaan. Si pengamat atau si pewawancara membutuhkan kepekaan perasaan dan
juga kepekaan konsep. Ia harus bisa berempati dan juga memahami konsep membaca
(Laksmi, 2007). Sebaiknya kegiatan pengamatan dan wawancara dilakukan secara
tersamar, sehingga objek, yang tidak merasa sedang dievaluasi, akan lebih bersikap
terbuka, apa adanya, dan menjawan secara spontan dan jujur.

Kegiatan mengobservasi atau mengamati dapat dilakukan di sekolah maupun di rumah


siswa. Ketika mengamati kehidupan sehari-hari siswa di rumah, pengamatan dapat
difokuskan pada semua hal yang mengindikasikan pada kegiatan membaca, seperti
keadaan, suasana, dan dekorasi rumah serta kamar tidur siswa, semua perilaku dan
percakapan, perilaku setelah pulang sekolah, ketika mengisi waktu senggang, ketika
akan tidur, dan seterusnya.

Pengamatan dapat dilakukan secara terlibat maupun pasif. Dalam pengamatan terlibat,
pengamat ikut melakukan kegiatan yang dilakukan oleh orang yang diobservasi.
Misalnya, ketika siswa mengisi waktu luang sambil membaca sebuah buku, maka
pengamat juga melakukan hal yang sama dan ikut mendiskusikan isi buku. Observasi
demikian dapat diiringi dengan wawancara.

Kegiatan wawancara sebaiknya dilakukan dengan mengajukan pertanyaan terbuka.


Pengamat tetap memiliki pedoman garis besar pertanyaan yang nantinya berkembang
ketika wawancara berlangsung. Saat wawancara, pengamat juga harus melakukan

21
observasi pada perilaku objek dan situasi sekeliling. Kadang-kadang, tanpa disadari,
objek melakukan gerakan tertentu ketika ia berbohong, merasa tegang, merasa bosan,
atau merasa sedang tidak berniat diwawancara.

Ketika mendeskripsikan hasil pengamatan, baik melalui observasi maupun wawancara,


pengamat tidak menginterpretasikan fenomena, tetapi mendeskripsikannya secara rinci.
Misalnya:

Ikhsan, siswa kelas V SD tersebut, rajin membaca. Ia selalu mengisi waktu


luangnya dengan membaca.

Kata „rajin‟ merupakan interpretasi si pengamat. Pembaca belum tentu memiliki


penilaian yang sama. Pengamat perlu mendeskripsikan konteks, perilaku dan karakter
orang yang diamati, eksplorasi perasaan dan penghayatan pengamat atas peristiwa
yang sedang terjadi. Sebaiknya deskripsi kata rajin di atas digambarkan secara rinci:

Ikhsan, siswa kelas V SD tersebut, selepas pulang sekolah, biasanya mampir ke


perpustakaan umum yang terletak di samping sekolah. Ia akan meminjam dua
buku dan dibawanya pulang. Staf perpustakaan tersenyum ketika melihatnya
datang dan berkata, “Dik, dua hari lagi ada buku-buku cerita baru, termasuk
cerita detektif.” Kedua buku tersebut dibacanya satu - dua jam sebelum tidur.

Rincian kata rajin terlihat pada kebiasaan yang dilakukannya ketika jam pulang sekolah,
yaitu saat waktunya sedang senggang. Ia ke perpustakaan untuk mencari buku dan
kegiatan sebelum tidur di malam hari ia terbiasa membaca buku. Selain itu, fakta bahwa
staf perpustakaan tersenyum dan menawarkan buku baru, khususnya cerita detektif,
menunjukkan bahwa keduanya sudah saling mengenal. Artinya, Ikhsan sudah sering ke
sana dan kegemarannya pun sudah diketahui oleh si staf, yaitu membaca buku cerita
detektif.

Untuk mendapatkan gambaran yang utuh, sebelum melakukan observasi dan


wawancara, pengamat perlu membangun hubungan baik dengan objek. Hubungan baik
memungkinkan pengamat memahami latar belakang, kondisi psikologis, dan reaksi
objek pada suatu fenomena. Sementara itu, pengamat juga diharapkan membangun
suasana yang menyenangkan saat melakukan kegiatan tersebut. Suasana yang
nyaman memungkinkan objek dapat merasa aman dan berbicara secara terbuka.

22
Meskipun masih jarang dilakukan, kegiatan observasi dan wawancara dapat dikatakan
sebagai metode identifikasi yang tepat dan mendalam tentang kegiatan membaca
siswa. Dengan metode tersebut, akan diperoleh nilai sosial dan keyakinan yang muncul
di balik kebiasaan membaca siswa didik. Nilai dan keyakinan, yang merupakan pijakan
mendasar perilaku membaca, dapat berupa nilai dan keyakinan bahwa pendidikan itu
penting untuk membangun masa depan, satu-satunya harta yang tidak dapat dicuri;
ilmu tanpa iman pincang, iman tanpa ilmu buta; dan sebagainya.

3.1.3. Merumuskan Hasil Survei dan Strategi Peningkatan Kegiatan


Membaca

Hasil survei dan observasi mengenai kondisi kegiatan membaca pada anak perlu diolah
dan dianalisis. Hasil survei, yang terdiri dari jawaban-jawaban, selalu berupa angka.
Setelah dikelompokkan per topik, angka-angka tersebut dihitung, kemudian dianalisis.
Hasil hitungan dapat berupa tabulasi deskriptif atau pembobotan. Berdasarkan angka
terakhir, angka tersebut dianalisis dan diinterpretasi, kemudian disimpulkan
berdasarkan desain atau tujuan survei apakah sekedar melihat kondisi, permasalahan,
atau perkembangan.

Sementara itu, hasil observasi pada proses peningkatan kegiatan membaca lebih
berupa narasi. Tujuan observasi dan wawancara umumnya digunakan untuk meneliti
perilaku seseorang dan interaksi yang terjadi di antara individu. Hasil dari observasi dan
wawancara di lapangan, yang disebut sebagai catatan lapangan, dikelompok-
kelompokkan berdasarkan subtema, kemudian dianalisis dan diinterpretasi.

Berdasarkan hasil survei, observasi, dan wawancara, disusun kebijakan baru untuk
membangun minat dan kebiasaan membaca pada siswa. Kebijakan yang diperoleh
dalam peningkatan kegiatan kerja sama diterjemahkan ke dalam strategi atau langkah-
langkah yang perlu dilakukan oleh perpustakaan bersama para guru agar ke depan
lebih berhasil dan berdayaguna.

3.2 Menerapkan Program Peningkatan Kegiatan Membaca Siswa


Melalui Perpustakaan Sekolah

Promosi, sebagai salah satu metode untuk mengenalkan sesuatu kepada masyarakat
luas, bertujuan untuk menarik perhatian dan menciptakan kesan tertentu. Promosi
sangat tepat untuk meningkatkan program kegiatan membaca, sekaligus agar

23
perpustakaan dan koleksinya dimanfaatkan secara maksimal. Telah disebutkan
sebelumnya bahwa salah satu peran dan fungsi perpustakaan sekolah adalah
menumbuhkan dan meningkatkan minat, kebiasaan, dan kemampuan membaca para
siswa. Oleh sebab itu, sumber daya yang ada di perpustakaan, yaitu pustakawan,
orangtua siswa, sarana dan prasarana, termasuk koleksi, sebaiknya diberdayakan
secara terintegrasi.

3.2.1 Mengintegrasikan Program Perpustakaan Ke Dalam Kurikulum


Sekolah

Kerja sama antara perpustakaan sekolah dan kurikulum difokuskan pada peningkatan
kegiatan membaca. Komunikasi antara guru dan pustakawan perlu dilakukan secara
intens, agar dampaknya dapat diperoleh secara maksimal. Kerja sama tersebut adaah
sebagai berikut:

a. mengintegrasikan program perpustakaan ke dalam kurikulum sekolah. Integrasi


tersebut dapat berupa kegiatan kelas selama 1 atau 2 jam pelajaran yang
dilakukan di perpustakaan. Siswa dapat diminta membaca satu buah buku, lalu
diminta membuat ringkasannya atau menjawab pertanyaan yang dibuat
berdasarkan buku tersebut. Wajib kunjung perpustakaan bisa dilakukan dengan
perpustakaan di luar sekolah.
b. menyusun program perpustakaan ke dalam ekstrakurikuler. Umumnya, kegiatan
ekstrakurikuler adalah berupa basket, futsal, bela diri, dan sebagainya. Dalam
kaitannya dengan kegiatan membaca, pustakawan dapat membuat program
kerja bagi siswa untuk membantu pekerjaan perpustakaan. Bantuan pekerjaan
dapat berupa melayani transaksi peminjaman dan pengembalian koleksi,
menginput data koleksi ke komputer, memberi stempel, menyampul buku,
shelving, dan sebagainya.
c. menyusun program pendidikan pemakai bagi siswa baru. Program tersebut
biasanya berupa pengetahuan tentang cara pemanfaatan perpustakaan,
pemanfaatan buku rujukan, seperti kamus, ensiklopedi, biografi, index, dan
sebagainya. Demikian pula dengan pengetahuan tentang katalog, metode
penelusuran, prosedur peminjaman, dan pengembalian koleksi. Program juga
menjelaskan tentang hak cipta, plagiarisme, dan sensor.

24
Program kerja sama perlu dilakukan oleh tim yang kompak, yang terdiri dari
pustakawan, guru, siswa, dan kepala sekolah. Hubungan antara pustakawan dan guru
membutuhkan prosedur yang dapat diterima kedua belah pihak. Misalnya, ketika guru
meminta siswa membuat tugas dengan tema tertentu, ia harus yakin terlebih dahulu
apakah buku dengan tema tersebut ada di perpustakaan. Seluruh anggota perlu
memiliki persepsi yang sama tentang pentingnya kerja sama dan melaksanakan
program tersebut sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan.

Dari hasil pengamatan, sudah banyak sekolah yang sudah mengintegrasikan program
perpustakaan dan kurikulum sekolah. Berikut ini tiga contoh yang ada di lingkungan
sekolah:

- Salah satu sekolah SMA menerapkan imbalan bagi siswa yang paling banyak
meminjam dan membaca buku,
- Sementara sekolah lain mewajibkan sumbang buku bagi siswa yang baru lulus,
- Sekolah lain menerapkan program ekstrakurikuler yang melibatkan siswa dalam
pekerjaan perpustakaan,
- Wajib kunjung perpustakaan ke perpustakaan di luar sekolah baru saja dilakukan
beberapa Sekolah Dasar pada bulan Mei 2012. Dalam berita BPAD berjudul
Wajib Kunjungan Perpustakaan sebagai Upaya Memasyarakatkan Perpustakaan
dan Gemar Membaca, diberitakan bahwa sebanyak lima ratus siswa didik dari 10
SD yang ada di lima wilayah Kota Administrasi di DKI Jakarta mengikuti Kegiatan
Wajib Kunjungan Perpustakaan ke Perpustakaan Umum Provinsi DKI Jakarta, di
lt. 7 – 8 Gd. Nyi Ageng Serang, Jl. H.R. Rasuna Said Kav. C22, Kuningan,
Jakarta Selatan (Agung, http://www.bpadjakarta.net/, diunduh 16 September
2012).

3.2.2 Menyediakan dan Mengembangkan Sumber Bacaan

Keluhan yang banyak terdengar selama ini adalah bahwa jumlah koleksi sedikit, tidak
mutakhir, tidak menemukan buku yang dibutuhkan, dan tidak menarik. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, pustakawan sebaiknya memahami karakter siswa. Pada
masa sekolah menengah pertama dan atas, siswa merupakan remaja tanggung yang
sedang mencari jati diri. Mereka lebih tertarik pada pertumbuhan diri mereka sendiri,
sehingga subjek informasi yang dibutuhkan harus berkisar pada pertumbuhan remaja.

25
Jenis bacaan yang disukai siswa remaja saat ini adalah jenis elektronik. Untuk
memotivasi siswa, pustakawan perlu menyediakan sarana dan prasarana berupa
perangkat komputer dan sambungan internet. Fasilitas tersebut sebaiknya diimbangi
dengan buku tercetak, untuk mencegah mereka menjadi generasi yang tidak pernah
membaca buku cetak. Bagaimana pun siswa masih tetap perlu dibiasakan membaca
buku cetak. Untuk membangun budaya membaca di masyarakat, juga perlu
memperhatikan aspek-aspek dalam proses penyediaan dan sistem akses bahan
dan/atau sumber bacaan yang sesuai dan menarik untuk dibaca. Bahan bacaan yang
disediakan bisa dalam bentuk tercetak, digital atau terekam; atau berjenis monograf
atau lembar lepas atau publikasi berkala atau fulltexts, cerita bergambar, atau
campuran.

Cara mendefinisikan bacaan anak sebagai buku anak yang disesuaikan dengan tingkat
kemampuan membaca dan minat berdasarkan usia anak atau berdasarkan pada
tingkat pendidikan, mulai dari tingkat prasekolah hingga kelas enam sekolah dasar. Dari
definisi tersebut, jenis buku anak mencakup sastra tradisional, puisi, fantasi modern,
fiksi realistis kontemporer, fiksi sejarah, biografi, dan buku-buku berisi informasi.

Selain menyediakan ilmu pengetahuan, buku bacaan anak juga memberikan pedoman
berperilaku, berdasarkan moral dan nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat.
Tidak hanya sampai di sini, media anak juga mempengaruhi anak menghadapi dunia
pendidikan dan masa depan mereka. Bacaan anak mengonstruksi cita-cita anak yang
otomatis menentukan masa depan mereka. Di dunia imajinasi budaya populer,
orangtua dan masyarakat menginginkan dunia ideal yang dipenuhi dengan gelimang
kekayaan dan popularitas, maka dunia ideal tersebut dieksploitasi ke dalam media anak
(Ibrahim, 2007: 290). Karena imajinasi tersebut yang muncul dalam dunia anak, isu
menambah pengetahuan, berpikir kritis, dan menggantungkan cita-cita setinggi langit
pun bukan menjadi tujuan utama anak belajar di sekolah.

Jenis atau sumber bacaan anak dibedakan ke dalam buku referensi, buku ajar dan
buku pengayaan, dan koran/majalah/tabloid anak. Sumber bacaan jenis ini bukan untuk
dibaca secara menyeluruh, tetapi dibaca hanya pada topik atau informasi tertentu
tentang suatu objek, orang, atau peristiwa secara cepat dan mudah. Berikut ini adalah
penjelasan dan contohnya.

26
a. Buku referensi: ensiklopedi dan kamus anak. Bacaan anak berjenis ensiklopedia,
sejarah dan biografi tokoh-tokoh sejarah dunia, peta dunia, almanak, dan hasil
penelitian merupakan buku referensi yang menyampaikan informasi mengenai ilmu
pengetahuan. Sedangkan kamus, direktori, manual, serta indeks dan abstrak
merupakan buku referensi yang memberikan informasi tertentu.
b. Buku ajar dan buku pengayaan. Buku ajar adalah buku teks yang ditujukan
sebagai sarana pembelajaran siswa didik di sekolah, sebagai buku wajib. Biasanya
buku ajar didukung oleh buku pengayaan, atau buku teks tambahan yang dapat
digunakan atau tidak oleh anak didik untuk menambah pengetahuan yang terdapat
di buku ajar.

Buku ajar banyak menuai permasalahan. Berdasarkan hasil pengamatannya,


Bonneff berpendapat bahwa, pada tahun 90-an, kualitas buku pelajaran kurang
begitu baik, terutama dalam penyajiannya yang tidak menarik (1998: 96). Penyajian
yang monoton, dengan gambar dan foto yang sedikit, kurang dapat merangsang
inisiatif dan kreatifitas anak didik. Penyajian yang buruk tersebut ditambah dengan
sistem pendidikan kita pada masa itu yang lebih menekankan pada hafalan.

Tetapi pada tahun 2000-an, masalah tersebut dapat diatasi. Penampilan buku-buku
ajar saat ini berubah menjadi lebih menarik, dengan banyak gambar dan foto
berwarna, bahan kertas lebih baik, metode belajarnya pun menjadi lebih baik.

Selain penyajiannya, isi buku-buku tersebut bisa berbeda dengan fakta sebenarnya.
Kelompok buku ini dapat dimanipulasi oleh kepentingan di luar pendidikan.
Beberapa waktu yang lalu, buku-buku sejarah yang selama ini digunakan siswa
didik dan sudah disetujui oleh pemerintah dipermasalahkan keotentikan
substansinya. Para pakar historiografi menilai bahwa sejarah Negara Republik
Indonesia telah melakukan kebohongan publik. Peristiwa tersebut keras
dikemukakan oleh berbagai pihak, tapi berakhir tanpa ada penyelesaian yang jelas.

Salah satu contoh kekurangan tersebut muncul dalam protes masyarakat. Sebuah
surat pembaca pernah mempermasalahkan penjelasan tentang sampah di buku
PPKN. Sampah yang tidak dikelola dengan yang seharusnya merupakan masalah
lingkungan yang serius yang harus dipahami oleh anak. Salah satu pengelolaan
dalam memusnahkan sampah adalah dengan cara dibakar. Pembakaran yang akan

27
menciptakan karbondioksida tersebut tidak baik untuk lingkungan, tetapi buku ajar
telah lulus seleksi untuk resmi digunakan di sekolah.

c. Koran/majalah/tabloid anak. Bentuk lain dari bacaan anak adalah koran, majalah,
dan tabloid anak. Saat ini jenis yang mendominasi adalah majalah anak. Tidak
seperti pada era sebelum dan pada tahun 90-an. Majalah anak sangat langka
(Bonneff, 1998: 64). Jika pun ada, majalah tersebut merupakan usaha sukarela,
sebab tidak menghasilkan keuntungan bagi para penerbitnya yang tentu
membutuhkan biaya untuk memproduksinya. Majalah anak saat itu ditujukan untuk
anak-anak sekolah dasar, dan disebut majalah komik. Beberapa contoh muncul
dalam terbitan berkala Si Kuntjung, Gembira, Ken Arok (Yogyakarta), Kawanku, dan
seterusnya.

Sementara itu, koran anak sebagai sumber referensi mulai tumbuh. Beberapa surat
kabar menyediakan dua halaman atau lebih yang ditujukan khusus untuk anak.
Berbeda dengan terbitan berkala dewasa, penerbitan berkala untuk anak memiliki
gaya penulisan yang lebih sederhana, lebih banyak gambar dan foto, dan lebih
mementingkan pemahaman (Bunanta, 2004: 219).

Di lain pihak, media informasi yang terbungkus dalam fiksi, Koran, majalah, atau tabloid
perlu diwaspadai. Media anak merupakan suatu entitas tersendiri yang dibangun
berdasarkan berbagai kepentingan dari para pemilik modal, pendidik, orangtua, yang
masing-masing memiliki ideologinya sendiri mengenai dunia anak muda. Ideologi yang
ditawarkan tersebut bisa jadi menawarkan nilai sosial, tetapi dapat juga hanya menjadi
komoditas. Serupa dengan media anak lainnya, seperti televisi, radio, dan film, dunia
anak dieksploitasi untuk kepentingan mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu media
dipandang sebagai salah satu sarana pembentuk kesadaran sosial, terutama bagi para
kaum muda. Dengan membaca media tersebut, anak membentuk persepsi terhadap
dunia dan masyarakat yang ada di lingkungan mereka, merujuk dan meniru segala
sesuatu yang disajikan pada media.

Sayangnya, penelitian mengenai media anak belum banyak dilakukan. Dibandingkan


dengan media umum yang disebut sebagai mainstream media yang banyak
menonjolkan isu politik, kekuasaan, gender, dan isu-isu sosial lainnya, media anak yang
lebih menonjolkan informasi dan pengetahuan, bukan topic yang menarik bagi pemilik

28
modal dan juga peneliti. Padahal memperoleh akses informasi dan pengetahuan
termasuk dalam hak anak yang sudah tercantum dalam Konvensi PBB.

Sumber bacaan lain yang saat ini digemari oleh remaja adalah internet. Mereka hanya
perlu memberikan kata kunci dan ribuan informasi akan muncul. Sumber elektronik ini
tidak disarankan karena menyebabkan anak malas mencari informasi di dalam buku
(Sudarsana, 2007: 5.22). Membaca buku membutuhkan kemauan dan tenaga yang
kuat, karena harus membolak-balik lembaran kertas dan membaca beribu huruf. Waktu
yang dibutuhkan akan jauh lebih lama dibandingkan dengan mencarinya di internet.

Perpustakaan perlu menyediakan subjek yang bervariatif dan yang ditulis dari berbagai
perspektif. Semakin banyak pilihan, maka semakin besar pengetahuan dan wawasan
yang akan diperoleh oleh siswa. Semakin besar pula kesempatan mereka untuk
mengutarakan argumentasi.

3.2.3 Menyediakan Layanan, Ruang Baca, dan Perabotan Perpustakaan

Ruang baca yang nyaman dan perabotan yang menarik merupakan syarat mutlak untuk
memotivasi siswa agar mereka tertarik datang ke perpustakaan. Merancang ruang baca
sebaik mungkin selain dapat membantu perawatan dan keamanan koleksi,
menciptakan suasana yang kondusif untuk membaca, tujuannya juga untuk menarik
perhatian pengguna perpustakaan.

Tata ruang yang dianggap konvensional, yaitu meja dan kursi kayu, tanpa dekorasi,
penerangan yang redup, sudah lama ditinggalkan. Dewasa ini, perpustakaan berlomba
merancang tata ruang yang lebih berwarna yang dianggap sebagai lebih modern.
Banyak perpustakaan yang memiliki warna-warna cerah, seperti oranye, hijau muda,
biru muda, menggunakan lampu-lampu dengan nuansa romantis, memasang sofa,
karpet, dan bantal dalam berbagai warna. Dengan tata ruang dan perabotan semacam
itu, diharapkan dapat menarik para remaja. Gambar 1 berikut ini adalah contoh ruang
baca remaja yang sederhana. Gambar tersebut menunjukkan ruang baca di
perpustakaan Poulsbo Library di salah satu Negara Eropa :

29
Gambar 1. Ruang baca remaja di
Sumber: http://www.northkitsapherald.com/, diunduh 8 Agustus 2012

Perpustakaan yang khusus diperuntukkan bagi remaja tersebut, bukan hanya


menyediakan ruang baca dan tempat untuk belajar, tetapi sekaligus untuk tempat
bertemu dan mengobrol, serta minum-minum. Suasana yang dibuat senyaman mungkin
dan dekat dengan remaja, salah satunya adalah suasana seperti di kafe. Ruangan
ditata dengan gaya remaja, termasuk pemilihan warna dan dekorasi. Umumnya,
pengguna tidak diizinkan makan dan minum serta ngobrol di perpustakaan. Kebijakan
tersebut perlu ditanggapi secara bijaksana, sebab situasinya bersifat kontradiktif.
Mengingat gaya hidup remaja yang berubah, perpustakaan juga perlu memperhatikan
kepentingan pemeliharaan koleksi.

Ringkasnya, untuk menyediakan ruang baca dan perabotan yang menarik dibutuhkan
fasilitas sebagai berikut:

a. Menata dekorasi ruang dengan warna cerah. Warna oranye, biru, dan merah
muda merupakan warna-warna favorit remaja. Warna-warna cerah tersebut
dapat menstimulus perasaan semangat dan gembira;
b. Menyediakan perabotan yang nyaman, seperti sofa, karpet dengan bantal-bantal
besar dan kecil, beberapa stop kontak, serta perabotan lain yang membuat
remaja merasa nyaman. Kenyamanan tersebut sebaiknya juga ditunjang dengan
kenyamanan udara yang dilengkapi dengan penyejuk ruangan, sehingga dapat
menjaga konsentrasi pengguna perpustakaan;
c. Menyediakan ruang khusus yang kedap suara untuk berdiskusi. Siswa
membutuhkan tempat khusus untuk berbicara dengan leluasa dan biasanya

30
mereka tidak sekedar berdiskusi, tetapi juga kerap diselingi oleh canda tawa.
Karakter remaja yang demikian perlu diakomodasikan agar pengguna lain tidak
terganggu.
d. Menyediakan fasilitas sambungan dan layanan internet. Fasilitas ini merupakan
fasilitas yang paling dicari remaja, sehingga perpustakaan minimal menyediakan
dua atau tiga PC khusus untuk pengguna.

Fasilitas di atas tidak dimaksudkan untuk memanjakan para pengguna remaja, tetapi
lebih ditujukan agar mereka tertarik ke perpustakaan, baru kemudian tertarik untuk
membaca. Kebijakan inipun belum dikatakan cukup memberi motivasi para siswa.
Inovasi dan kreativitas perpustakaan dalam memberikan layanan juga diperlukan.
Karena itu kemampuan pustakawan dalam memasarkan dan mengemas kembali
informasi yang dimiliki perpustakaan merupakan salah satu faktor penting dalam
menyelenggarakan jasa perpustakaan. Jenis layanan dan sikap petugas yang
memesona pengunjung dalam layanan perpustakaan harus selalu dibina dan
ditingkatkan.

3.2.4. Menyusun Berbagai Program Peningkatan Kegiatan Membaca

Layanan anak terdiri dari layanan pemilihan pustaka yang sesuai, layanan
mendongeng, layanan sirkulasi, layanan referensi khusus anak, layanan mobil keliling.
Selain menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca, keseluruhan layanan tersebut
bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan, dan melatih anak-anak menjadi
kritis terhadap lingkungan dan kehidupan mereka sendiri. Secara rinci, penjelasannya
adalah sebagai berikut:

a. pemilihan pustaka atau bimbingan membaca. Layanan ini diberikan bagi semua
anak yang memerlukannya. Pustakawan sebaiknya proaktif dan memahami
kebutuhan akan bacaan dan permainan berdasarkan usia dan psikologis anak.
Pada layanan ini, pustakawan dapat dibantu oleh seorang psikolog.

b. layanan mendongeng. Layanan ini dapat diberikan oleh pustakawan sendiri, atau
seorang pendongeng profesional. Ceritanya diambil dari buku-buku yang ada di
perpustakaan. Pustakawan dapat menggunakan berbagai macam alat peraga,
mulai dari kertas karton, kain, boneka, dan lain sebagainya. Yang perlu dijaga
adalah penanaman nilai-nilai hidup.

31
c. layanan sirkulasi. Layanan ini cenderung lebih berfungsi untuk mengenalkan
cara kerja atau prosedur peminjaman dan pengembalian pustaka. Dalam
layanan ini, pustakawan dapat mengajarkan nilai-nilai kedisiplinan, waktu
meminjam atau mengembalikan, mereka harus antri; ketika mengembalikan,
mereka perlu memperhatikan jangka waktu peminjaman; dan sebagainya.

d. layanan referensi khusus anak. Layanan kepada anak-anak perlu juga dilengkapi
dengan layanan referensi. Anak-anak perlu diperkenalkan kepada buku-buku
referens sejak dini. Bahan referens untuk anak-anak mencakup ensiklopedia,
kamus, atlas, dan lain-lain. Pustakawan yang bertugas di bagian referens anak-
anak dapat memberi bimbingan bagaimana mencari informasi, cara
menggunakan buku referensi untuk menjawab pertanyaan.

e. layanan mobil keliling. Layanan ini diperuntukkan bagi anak-anak atau warga
lainnya yang tidak sempat ke perpustakaan umum permanen, atau mereka yang
sedang sakit. Layanan tersebut sebaiknya mengatur jadwal yang pasti kapan
berangkat, pos pemberian layanan, jadwal layanan, dan sebagainya. Layanan
tersebut sebaiknya dilengkapi dengan tempat duduk atau karpet, sehingga anak-
anak merasa nyaman.

Daftar layanan di atas berbeda-beda di setiap perpustakaan, tegantung kebijakan


masing-masing perpustakaan. Prinsipnya, layanan anak perlu diprioritaskan
dibandingkan dengan jenis layanan lain. Kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan
minat dan gemar membaca tersebut antara lain kegiatan yang dapat menarik
keingintahuan remaja, adalah sebagai berikut:

a. Mengadakan berbagai lomba, seperti lomba membuat sinopsis, lomba menulis,


lomba membuat ilustrasi buku/cerita, lomba mendongeng, dan sebagainya.
Rangsangan nuansa lomba, baik nuansa kompetisinya maupun imbalan yang akan
diperoleh, dapat lebih menggugah remaja untuk mencari inspirasi di dalam buku;
mengadakan lomba menulis resensi;
b. Mengadakan pemutaran film, pertunjukan boneka, pertunjukan drama, pertunjukan
membaca puisi, pertunjukan seni lainnya. Imajinasi para pengguna remaja yang
tertarik pada kegiatan visual akan dirangsang melalui gambar tiga dimensi. Imajinasi
yang berkembang memungkinkan mereka untuk mengembangkannya lebih jauh
pada buku;

32
c. Mengadakan temu penulis, mengadakan pelatihan menulis, dan sejenisnya.
Kegiatan tersebut mendorong pengguna untuk membaca dan menulis. Pertemuan
antara pengguna dan penulis dapat memberi kesempatan bagi kedua pihak untuk
berbagi pengalaman dan pengetahuan, sehingga diharapkan terjadi transfer
pengetahuan;
d. Melibatkan pengguna dalam kegiatan perpustakaan. Keterlibatan pengguna
umumnya sangat membantu pekerjaan pustakawan. Mereka dapat diperbantukan
untuk pekerjaan-pekerjaan ringan, seperti memberi label dan sampul buku,
menyusun buku di rak, atau membantu melayani pengguna lainnya. Keterlibatan
tersebut akan memberikan rasa bangga dan menciptakan saling percaya pada
pengguna atau siswa didik yang dilibatkan.
e. Mengadakan program literasi informasi. Pustakawan memberikan semacam
pelatihan atau pendidikan pemakai kepada pengguna siswa tentang seluk-beluk
perpustakaan, jenis buku referensi, teknik menelusur, baik secara manual maupun
elektronik, dan juga tentang hak mendapatkan informasi serta plagiarisme. Program
tersebut diharapkan dapat memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan
kepada pengguna agar lebih mandiri dalam menghadapi informasi.
f. mengadakan diskusi atau bedah buku. Kegiatan ini menuntut setiap peserta untuk
menganalisis buku yang akan didiskusikan. Biasanya peran utama dijalankan oleh
pembahas atau orang yang mengkritisi buku tersebut, lalu ditanggapi oleh peserta
lain. Si penulis akan hadir dalam acara tersebut, namun tidak memberikan
pernyataan apa pun, kecuali jika diminta dan ia bersedia.
g. mengadakan apresiasi film. Para peserta akan disuguhi sebuah film yang terpilih,
kemudian mereka akan membahas isi film bersama-sama. Film tersebut bisa berdiri
sendiri sebagai film, bisa juga merupakan hasil interprerasi dari sebuah buku.
BPAD DKI Jakarta pernah mengadakan lomba Abang dan None Buku untuk siswa
SMA. Gambar berikut ini malam pengumuman pemenang pada tahun 2007:

33
Gambar 2. Finalis lomba Abang dan none Buku

Program-program di atas akan merangsang kognisi siswa untuk bekerja secara aktif
dan membiasakan mereka untuk lebih peka menganalisis buku atau film. Sebaiknya,
kegiatan tersebut dirangsang dengan pemberian hadiah yang menarik bagi remaja,
seperti sejumlah uang, wisata gratis, dan suvenir bagi seluruh peserta yang tidak
menang. Jika diadakan secara teratur, pada akhirnya, akan meningkatkan kemampuan
membaca siswa didik.

34
BAB IV
FAKTOR KEBERHASILAN
PROGRAM PENINGKATAN KEGIATAN MEMBACA

4.1 Faktor Utama yang Mempengaruhi Program


Faktor yang mempengaruhi keberhasilan program peningkatan minat, gemar, dan
kebiasaan membaca adalah kualitas pengelola program dan kualitas program itu
sendiri.

4.1.1 Pengelola dan Strategi Program


Untuk keberhasilan program peningkatan minat, gemar, dan kebiasaan membaca,
pengelola program yaitu pustakawan, guru pustakawan, atau guru, perlu diberi panduan
dan pelatihan (Elkin, 2003: 100). Dengan pendidikan dan latar belakang pengalaman
yang berbeda, tentunya mereka memiliki pemahaman dan sikap yang berbeda
terhadap kegiatan membaca. Oleh sebab itu, mereka perlu diberi persepsi yang sama,
sehingga semua kegiatan terintegrasi dan memberikan hasil yang maksimal. Kegiatan
tersebut berupa pelatihan untuk meningkatkan kompetensi membaca, kompetensi
personal, dan pelatihan komunikasi interpersonal dalam memahami karakter remaja.

Kompetensi atau keterampilan membaca tersebut diintegrasikan ke dalam pekerjaan


rutin pengelola atau pustakawan. Mereka dilatih membuat abstrak buku setiap bulan,
atau dapat pula diminta membuat tinjauan buku. Untuk setiap latihan yang mereka
dibuat, pengawas sebaiknya membuat koreksi dan menunjukkan kesalahan pada
masing-masing individu. Dengan latihan yang dilakukan berulang-ulang, para pengelola
dilatih menjadi terampil membaca dan menulis.

Kompetensi personal, yaitu kompetensi atau keterampilan yang lebih condong pada
kepribadian pustakawan, dan ini digunakan untuk membujuk para remaja untuk
membaca. Mereka diharapkan mampu bersikap positif dan mampu mencarikan contoh-
contoh bacaan yang berkualitas, mereka juga diharapkan dapat memberi petunjuk
kepada siswa tentang teknik membaca yang sesuai, dan dapat menjelaskan manfaat
membaca secara tepat. Sikap yang dibutuhkan dalam pelaksanaan peningkatan
kegiatan membaca pada siswa adalah antusias dan kreatif, mampu berempati, mampu

35
bercakap-cakap dengan semua jenis orang, mampu melakukan persuasi, mampu
menyimak, memiliki sikap hangat dan menghargai orang lain, mampu „memasarkan‟
perpustakaan.

Para pengelola sebaiknya juga memiliki kompetensi atau keterampilan komunikasi


interpersonal (Laksmi, 2007: 169). Definisinya adalah komunikasi antara dua orang
atau lebih, yang memungkinkan para pelakunya memperoleh umpan balik secara
langsung. Efektivitas komunikasi jenis tersebut tergantung pada hubungan sosial antara
para pelaku, nilai, dan norma, seperti keterbukaan, kejujuran, empati, kesetaraan. Oleh
sebab itu, orangtua yang berkomunikasi dengan remaja, sebaiknya mempertimbangkan
nilai dan norma yang sesuai. Usia remaja berada pada masa labil. Mereka sedang
mencari jati diri dan mengalami masa pubertas. Masa tersebut menyebabkan perasaan
yang cepat tersinggung, perasaan putus asa, dan mudah kecewa. Komunikasi yang
perlu dilakukan adalah dengan menempatkan diri sejajar dengan remaja, yaitu dengan
menggunakan cara dan bahasa yang sama dengan yang biasa mereka gunakan, tidak
menggurui, dan penuh kesabaran. Rinciannya adalah sebagai berikut:

- memiliki pengetahuan yang baik tentang koleksi perpustakaan


- memiliki kebiasaan dan cinta membaca buku
- memiliki pengetahuan buku yang terbaik bagi remaja yang tidak membaca
- membantu remaja dalam menemukan buku yang menarik dan sesuai

Kompetensi terakhir adalah kemampuan memahami situasi dan manajemen sekolah.


Kemampuan manajerial, yaitu membuat perencanaan, mengorganisasikan sumber
daya, menggerakkan pekerja, dan mengawasi sebaiknya dimiliki oleh pengelola atau
pustakawan. Dengan kemampuan tersebut, pengelola dapat mengorganisasikan guru
dan pustakawan untuk bekerja sama mengintegrasikan program peningkatan kegiatan
membaca ke dalam kurikulum sekolah. Kemampuan manajerial juga mencakup
kemampuan mengevaluasi program. Evaluasi dapat mendeteksi penyimpangan yang
terjadi, serta mengantisipasi dan memprediksi langkah-langkah berikutnya yang lebih
efektif dan efisien, agar program peningkatan kegiatan membaca dapat memberikan
hasil yang lebih maksimal.

4.1.2 Kualitas dan Indikator Keberhasilan Program


Kualitas program yang dimaksud mencakup kualitas dalam pengadaan sumber bacaan
yang sesuai, kualitas dalam penyediaan ruang baca dan perabotan yang menarik, dan

36
kualitas dalam penyusunan berbagai kegiatan yang sesuai dengan karakter remaja.
Program yang berkualitas tidak memiliki standar baku, melainkan tergantung pada
kondisi, budaya, dan kebutuhan masyarakat yang menjadi target. Contoh yang paling
sederhana, masyarakat di daerah pedesaan belum membutuhkan fasilitas internet.
Sehingga untuk menarik minat mereka untuk membaca sebaiknya cukup dengan
menyediakan koleksi yang benar-benar dibutuhkan.

Kualitas sumber bacaan diukur berdasarkan hasil survei dan catatan peminjaman.
Indikator keduanya menunjukkan tingkat kesesuaian koleksi dengan kebutuhan dan
tingkat pemanfaatan koleksi. Selain menyesuaikan dengan kebutuhan remaja,
pengadaan koleksi dapat dikembangkan berdasarkan kebijakan sekolah untuk
meningkatkan minat, gemar, dan kebiasaan membaca remaja.

Untuk membangun kualitas program yang bermutu, perlu ditunjang oleh kelengkapan
sarana dan prasarana. Kualitas ruang baca dan perabotan mutlak diadakan dengan
pilihan yang relevan dengan karakter para remaja. Ruang baca dan perabotannya
merupakan unsur pertama yang dapat menarik perhatian remaja. Kualitas tidak hanya
dilihat dari kelengkapannya, tetapi juga dari warna, tata letak, dan dekorasi.

Evaluasi pada program peningkatan minat, gemar, dan kebiasaan membaca ditujukan
untuk mengukur perubahan yang terjadi pada siswa (Laksmi, 2007: 170). Pengukuran
difasilitasi dengan pre-test dan post-test. Dengan demikian, perubahan yang terjadi
dapat menjadi indikator berhasil tidaknya proses yang dilakukan. Indikator tersebut
dapat diuraikan ke dalam pertanyaan berikut:

a. Apakah ada peningkatan pada tata bahasa, penyusunan kalimat, penyusunan


gagasan?
b. Apa yang dilakukan setelah membaca buku: diskusi dengan teman, menulis
tinjauan buku
c. Apakah pernah terpikir pada para remaja untuk membentuk atau mengikuti klub
pecinta buku?
d. Apakah ada kesadaran pada para remaja bahwa membaca bermanfaat untuk
menjalani kehidupan?

Indikator keberhasilan program dapat dilihat pada perubahan kegiatan membaca pada
siswa. Kemampuan membaca seseorang dapat diukur melalui pemahamannya pada isi
bacaan. Meskipun demikian, perubahan minat, gemar, dan kebiasaan membaca tidak

37
terjadi dalam waktu singkat. Proses tersebut berkaitan dengan nilai dan keyakinan
masyarakat, serta tingkat adopsi masyarakat, terutama para remaja, sehingga proses
perubahan membutuhkan waktu dan kesabaran. Sementara itu, peningkatan kegiatan
membaca pada siswa juga ditandai dengan indikator-indikator yang ada di
perpustakaan sekolah sebagai berikut ini:

a. Indikator pertama, meningkatnya frekuensi kunjungan perpustakaan. Kenaikan


tersebut dapat diukur berdasarkan catatan buku tamu, atau semakin ramainya
perpustakaan.
b. Indikator kedua, meningkatnya frekuensi transaksi jasa perpustakaan. Hal
tersebut dapat diukur berdasarkan catatan dalam kartu peminjaman, atau
catatan di lembar peminjaman.
c. Indikator ketiga, meningkatnya permintaan pengembangan koleksi
perpustakaan, khususnya nonbuku wajib, berupa buku-buku pengayaan atau
buku rekreatif. Biasanya buku wajib dibeli oleh siswa, sebab frekuensi
pemakaiannya yang tinggi. Sementara itu buku pengayaan tidak dibeli sebab
jarang dipakai.
d. Indikator keempat, meningkatnya koordinasi dan kerja sama antara
perpustakaan sekolah dan kurikulum dalam kegiatan proses belajar-mengajar
atau meningkatnya komunikasi kerja antara guru dan pustakawan.

4.1.3 Kendala dan Faktor Pendukung Program


Minat baca sangat dipengaruhi oleh kebiasaan sehari-hari atau gaya hidup masyarakat,
termasuk keyakinan dan nilai sosial. Salah satu contoh yang banyak ditemui adalah
faktor kemiskinan. Di daerah pesisir, penduduknya menggantungkan hidupnya pada
mencari ikan, hidup keras berjuang melawan cuaca. Mereka lebih suka jika anak-anak
mereka membantu mencari nafkah. Berikut ini adalah rincian faktor pendukung dan
penghambat. Faktor pendukung yang dimaksud adalah (Sudarsana, 2007: 5.27):

a. Lembaga pendidikan. Mulai dari sekolah batita, sekolah taman kanak-kanak,


hingga perguruan tinggi, mereka mulai mengembangkan peningkatan program
minat baca, yang di perguruan tinggi dikenal dengan program literasi informasi.
b. Perpustakaan. Jenis dan jumlah perpustakaan dewasa ini semakin berkembang,
mulai dari perpustakaan pribadi, perpustakaan komunitas, hingga perpustakaan
perguruan tinggi. Mereka semua berupaya meningkatkan kemudahan akses

38
pada koleksi dan informasi yang dibutuhkan masyarakat dan meningkatkan mutu
layanan, yang semuanya ditujukan untuk dapat membantu program peningkatan
kegiatan membaca.
c. Media cetak. Berbagai jenis media cetak, seperti buku dan tabloid anak, majalah
remaja, koran, mendorong program peningkatan kegiatan membaca pada
masyarakat.
d. Penerbitan. Dengan tetap menjaga kualitas terbitan, produk mereka membantu
program peningkatan kegiatan membaca. Buku-buku bermutu sangat membantu
peningkatan kemampuan membaca anak.
e. Penulis. Hasil karya yang dihasilkan dari penulis yang berbobot, yang memiliki
idealisme, gagasan, dan konsep yang jelas, akan mudah menuangkannya ke
dalam tulisan yang sistematis dan dalam bahasa yang mudah dipahami. Dengan
demikian transfer ilmu akan lebih baik.
f. Kebijakan pemerintah. Pemerintah dapat melakukan dukungan pada program ini
melalui Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Deposit, memberikan
penghargaan pada penulis dan penerbit, memberi keringanan pajak pada
penerbit, melaksanakan program pemberantasan buta huruf.
g. Upaya perorangan dan organisasi swasta. Umumnya upaya mereka mendukung
program tersebut bersifat sukarela, misalnya seperti membangun perpustakaan
di daerah kumuh atau di desa, membuka sekolah gratis, menyelenggarakan
lomba mengarang, menyumbang buku pada masyarakat miskin, dan
sebagainya.

Sedangkan faktor penghambat program peningkatan minat, gemar, dan kebiasaan


membaca adalah (Sudarsana, 2007: 5.24):

a. Faktor ekonomi. Penghambat yang berakar dari ekonomi merupakan faktor yang
sulit dihapus. Umumnya, masyarakat kelas bawah cenderung memberikan
prioritas pada sandang pangan, dibanding membeli buku. Masyarakat kelas
menengah atas dan kelas atas umumnya memprioritaskan kebutuhan pada
buku.
b. Sikap cepat merasa puas. Sikap ini menghambat program peningkatan kegiatan
membaca. Umumnya, orang yang sudah lulus sarjana dan mendapatkan
pekerjaan yang mapan, ia akan berhenti berupaya untuk meningkatkan diri. Ia
sudah merasa cukup puas dengan rutinitas kehidupan sehari-hari, yaitu

39
berangkat pagi, bekerja, pulang di sore hari, libur di hari Sabtu dan Minggu, dan
kembali bekerja di hari Senin.
c. Tradisi masyarakat menyampaikan informasi secara lisan. Faktor ini masih
terlihat jelas pada masyarakat kita. Di tempat kerja, masih banyak peraturan
yang tidak tertulis dan juga dokumen atau arsip yang tidak tertata rapi. Sehingga
kondisi tersebut seringkali memungkinkan munculnya kesalahpahaman dan
korupsi. Selama tradisi lisan belum diimbangi dengan tradisi tulis, kondisi ini
tetap menjadi penghambat dalam peningkatan program.
d. Sarana perpustakaan yang masih kurang. Di lembaga pendidikan, perpustakaan
sebagai sumber bacaan, masih belum menjadi prioritas utama. Bahkan masih
banyak sekolah dasar yang belum memiliki perpustakaan; yang sudah punya,
seringkali kurang dapat memenuhi kebutuhan akan koleksi; belum lagi dengan
masalah sumber daya manusia.
e. Pesatnya perkembangan teknologi. Dewasa ini, teknologi sudah benar-benar
menguasai kehidupan masyarakat. Televisi, internet, telepon genggam, menjadi
penghambat dalam program peningkatan kegiatan membaca. Masyarakat yang
terbiasa hidup dalam budaya lisan, ditambah dengan kebiasaan multimedia,
akan semakin jauh dengan budaya baca. Meskipun sebagian besar
beranggapan bahwa menonton televisi dapat merangsang minat baca,
semuanya tergantung pada kepribadian masing-masing.
f. Sarana yang sangat kurang dalam koleksi maupun sistem layanan.
Perpustakaan umumnya kesulitan dalam dana untuk pengadaan koleksi,
sehingga koleksinya tidak update. Selain itu, sistem layanan perpustakaan yang
kebanyakan masih manual, memberlakukan sensor, dan juga menutup akses
yang terlalu ketat untuk karya-karya tertentu, akan membuat masyarakat malas
membaca. Faktor ini menjadi faktor penghambat bagi perpustakaan itu sendiri
untuk mengadakan program peningkatan kegiatan membaca.
g. Kurangnya tindakan hukum terhadap plagiarisme. Faktor tersebut membuat
orang beranggapan bahwa membuat buku itu mudah, yaitu dengan mencontek
tulisan orang lain. Artinya, ia menjadi malas membaca buku karena
membutuhkan tenaga dan waktu yang lebih banyak.
h. Kurangnya penghargaan bagi penulis dan penerbit buku dalam penerbitan buku.
Penulis bekerja keras untuk membuat buku tetapi dihargai sangat rendah,

40
sementara penerbit dibebani oleh biaya produksi yang sangat tinggi dan
diwajibkan pula memenuhi undang-undang menyerahkan karya cetak dan karya
rekam kepada Perpustakaan Nasional.
i. Kurangnya keteladanan orangtua. Keluarga merupakan tempat pertama
tumbuhnya seorang anak, sehingga peran orangtua dalam menumbuhkan minat
baca anak sangat besar. Tetapi jika orangtua tidak terbiasa membaca, tidak
mendukung kegiatan membaca di rumah, bahkan seringkali tidak memajang satu
pun buku di salah satu rak di rumah, anak tidak akan memiliki minat dan
kebiasaan membaca.

Dengan memahami faktor-faktor penyebab, diharapkan perpustakaan dapat mengatasi


hambatan tersebut. Faktor-faktor tersebut harus diatasi terlebih dahulu, apalagi yang
menyangkut diri individual, sehingga program yang direncanakan dapat dilaksanakan
dengan lancar. Yang lebih penting lagi adalah kerja sama antara pelaku yang terkait,
yaitu pustakawan, guru, sekolah, serta orangtua dan anak. Bila semua pelaku dapat me

lakukan strategi secara terintegrasi, hasil yang diperoleh akan lebih maksimal.

4.2 Rangkuman atau Review Materi


Peningkatan minat, gemar, dan kebiasaan membaca merupakan salah satu program
yang dilaksanakan di perpustakaan sekolah. Arti minat membaca adalah dorongan hati
yang tinggi untuk membaca, sedangkan arti gemar membaca adalah sangat suka
membaca, dan arti kebiasaan membaca adalah kegiatan membaca yang dilakukan
berulang-ulang. Berdasarkan definisi tersebut, kemampuan membaca melibatkan daya
pikir dan daya ingat. Kedua daya tersebut bekerja di dalam kognisi manusia dalam
proses interpretasi isi bacaan, sehingga dapat menghasilkan pemahaman.

Kegiatan membaca pada siswa memiliki tahapan minat tertentu sesuai dengan tingkat
usia mereka. Tahapan minat yang umum dijumpai adalah sebagai berikut: Usia 2 – 4
tahun, minat anak pada cerita fantasi; Usia 4 – 8 tahun, minat anak pada cerita
dongeng; Usia 8 – 11/12 tahun, minat anak pada cerita petualangan; Usia 12 – 15
tahun, minat anak pada cerita kepahlawanan; Usia 15 – 20 tahun, minat anak pada
cerita romantis. Tahapan minat di atas akan terus berubah sesuai dengan
perkembangan anak-anak. Kegiatan membaca mencakup kemampuan mengingat dan
mengenali, menginterpretasi makna, mengaplikasikan konsep, menganalisis isi bacaan,
membuat sintesis, dan menilai isi bacaan. Tingkatan kemampuan membaca seseorang

41
dibedakan dalam 5 tingkatan, yaitu: tingkatan pemula, tingkatan mendapatkan impresi
secara umum, tingkatan mendapatkan pemahaman literer, tingkatan menginterpretasi,
dan tingkatan reading indepth.

Pada dasarnya, teknik membaca dibedakan menjadi dua, yaitu membaca ekstensif dan
membaca intensif. Membaca ekstensif adalah membaca secara luas dalam waktu yang
singkat. Sementara itu membaca intensif adalah membaca agar dapat memahami
keseluruhan isi bacaan secara mendalam. Teknik membaca ini mencakup kegiatan
menginterpretasi, mengevaluasi, menganalisis isi bacaan secara kritis, dan membaca
rekreatif.

Manfaat membaca adalah melatih daya analisis atau meningkatkan keterampilan


membaca, menambah pengetahuan dan wawasan, mengembangkan watak dan
perilaku yang baik dalam bersosialisasi, mengisi waktu luang dengan kesibukan yang
berguna, menenangkan pikiran dan biblioterapi. Kelima manfaat di atas dapat
menuntun seseorang menjalani hidup menjadi lebih baik, seperti menentukan prioritas
dalam kehidupannya, dapat menentukan langkah-langkah yang layak diambil, dan
dapat mengatasi masalah kehidupan secara mandiri.

Berdasarkan manfaat membaca, maka peningkatan minat, gemar, dan kebiasaan


membaca pada siswa sangat penting dilakukan. Tujuan pertama program tersebut
adalah untuk membangun minat dan gemar membaca pada usia dini, kedua, untuk
mengimbangi kompetisi dengan dunia hiburan.

Kontribusi sekolah dilakukan melalui pembuatan kebijakan tentang integrasi kurikulum


dan program perpustakaan, pemberdayaan perpustakaan sekolah, dan pemberdayaan
pustakawan. Kontribusi sekolah yang kedua adalah pemberdayaan perpustakaan
sekolah, seperti menyediakan koleksi yang sesuai dengan kebutuhan para guru dan
siswa; menyediakan layanan berbasis teknologi; membangun kerja sama dengan
perpustakaan atau lembaga lain untuk mengembangkan koleksi; dukungan kegiatan
pengembangan minat baca siswa didik, seperti lomba meringkas buku, acara
mendongeng, dan masih banyak lagi. Kontribusi sekolah dalam pemberdayaan peran
pustakawan, dapat menjadikan pustakawan sebagai jembatan antara kepala sekolah,
guru, dan siswa. Kebijakan sekolah juga sebaiknya mewajibkan pelatihan bagi para
guru dan pustakawan untuk meningkatkan kemampuan membaca, untuk memiliki sikap

42
yang dibutuhkan dalam pendekatan mereka dengan siswa (sikap yang fleksibel dan
luwes).

Untuk membuat program peningkatan minat, gemar, dan kebiasaan membaca,


pengelola perpustakaan perlu mengidentifikasi minat, gemar, dan kebiasaan membaca
pada siswa. Identifikasi biasanya dilakukan melalui survei, serta observasi dan
wawancara. Kedua kegiatan tersebut bertujuan untuk memperoleh pemahaman
kegiatan membaca siswa yang lebih mendalam dan dampak dari suatu pembelajaran
atau pelatihan. Selain itu, kedua kegiatan tersebut juga membutuhkan kepekaan
perasaan dan juga kepekaan konsep.

Setelah memperoleh hasil survei, observasi, dan wawancara, pengelola menyusun dan
menerapkan program peningkatan kegiatan membaca. Pertama, pengelola
perpustakaan mengintegrasikan program perpustakaan ke dalam kurikulum sekolah;
menyediakan sumber bacaan; menyediakan ruang baca dan perabotan yang memiliki
karakteristik remaja, termasuk tata ruangnya; menyusun berbagai kegiatan layanan
anak, yaitu bimbingan membaca, layanan mendongeng, layanan sirkulasi, layanan
referensi khusus anak, bimbingan penelusuran informasi, pemanfaatan buku referensi,
layanan mobil keliling. Program yang dapat ditawarkan adalah mengadakan diskusi
atau bedah buku; apresiasi film; atau lomba menulis resensi, dan lomba sejenis lainnya;
pemutaran film, pertunjukan boneka, pertunjukan drama, pertunjukan membaca puisi,
pertunjukan seni lainnya; temu penulis, pelatihan menulis, dan sejenisnya; melibatkan
pengguna dalam kegiatan perpustakaan; mengadakan program literasi informasi.

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan program peningkatan minat, gemar, dan


kebiasaan membaca dipengaruhi oleh kualitas pengelola program dan kualitas program
itu sendiri. Pengelola program yaitu pustakawan, guru pustakawan, atau guru, perlu
diberi panduan dan pelatihan dalam keterampilan membaca, keterampilan personal,
dan keterampilan komunikasi interpersonal.

Kualitas program tergantung pada kondisi, budaya, dan kebutuhan masyarakat yang
menjadi target. Kualitas sumber bacaan diukur berdasarkan hasil survei dan catatan
peminjaman. Keduanya menunjukkan tingkat kesesuaian koleksi dengan kebutuhan
dan tingkat pemanfaatan koleksi. Selain menyesuaikan dengan kebutuhan remaja,
pengadaan koleksi dapat dikembangkan berdasarkan kebijakan terkait. Untuk
membangun kualitas program yang bermutu, program perlu ditunjang oleh kualitas

43
ruang baca dan perabotan yang memadai. Evaluasi pada program tersebut ditujukan
untuk mengukur perubahan yang terjadi pada siswa, seperti peningkatan pada tata
bahasa, kalimat, penyusunan gagasan; perubahan perilaku setelah membaca buku,
seperti diskusi dengan teman, menulis tinjauan buku, membentuk klub pecinta buku;
dan sebagainya.

Faktor penyebab yang menghambat program peningkatan minat, gemar, dan kebiasaan
membaca, adalah faktor ekonomi; sikap cepat merasa puas; tradisi masyarakat yang
menyampaikan informasi secara lisan; minimnya sarana perpustakaan, seperti jumlah
koleksi dan sistem layanan; pesatnya perkembangan teknologi; kurangnya tindakan
hukum terhadap plagiarisme; kurangnya penghargaan dalam penerbitan buku;
kurangnya keteladanan orangtua dalam budaya baca.

44
BAB V
PENUTUP
Upaya peningkatan minat, gemar, dan kebiasaan membaca perlu dievaluasi kembali.
Meskipun gerakan program tersebut sudah lama dan sudah sering dilakukan,
peningkatan yang terlihat sangat kecil. Artinya, kemungkinan metode yang digunakan
kurang sesuai dengan kondisi di lapangan yang sebenarnya. Penelitian perlu dilakukan
pada pengelola program, mulai dari perencanaan program, filosofinya, pelaksanaan,
hingga evaluasinya.

Meskipun demikian, program yang perlu dilakukan adalah menanamkan pemahaman


tentang makna membaca yang sebenarnya. Membaca bukan sekedar memahami
rangkaian kata yang tertulis, tetapi juga mencakup proses mengingat, menilai,
menghayati, berimajinasi, proses mengorganisasi pengetahuan yang telah diperoleh,
dan proses memecahkan permasalahan. Banyak yang masih memaknai membaca
sebagai kegiatan reseptif atau berpasrah diri, begitu membaca, ingat, dan selesai.
Demikian pula dengan kebiasaan bahwa membaca hanya jika ada tugas sekolah atau
tugas kantor. Ketika makna membaca tersebut sudah dihayati oleh semua pihak, baik
pengelola maupun masyarakat sasaran, pemahaman tersebut dengan sendirinya akan
terwujud dalam perilaku.

Sayangnya, fakta mengatakan bahwa pemahaman masyarakat tentang membaca


masih sebatas pada pemahaman untuk memperoleh pengetahuan dan wawasan.
Masyarakat memahami bahwa mambaca dapat mengubah kehidupan menjadi lebih
baik, tanpa memahami „bagaimana‟ dan „mengapa‟. Proses pemahaman mencakup
perubahan dalam nilai dan keyakinan. Oleh karena itu, selama pemahaman yang
sesungguhnya tentang membaca belum sepenuhnya mencapai intinya, perilaku
masyarakat tidak akan berubah.

Dari tiga tahap program peningkatan, masyarakat kita masih banyak yang
membutuhkan dorongan untuk membangun minat membaca. Pengamatan pribadi
menunjukkan bahwa siswa di bangku wajib sekolah hingga para mahasiswa masih
memiliki minat membaca yang rendah. Kebanyakan dari mereka melakukan kegiatan
membaca hanya karena mendapat tugas dari sekolah. Sebagian besar yang sudah
memiliki kebiasaan membaca patut dihargai. Tetapi mereka kemungkinan besar belum
mampu mencapai tingkatan membaca yang mendalam. Sementara itu jumlah pembaca
45
yang sudah mencapai tingkat tersebut masih sedikit. Umumnya, mereka tidak hanya
membaca, tetapi mereka juga menulis. Dari tulisan yang ada, baik artikel dan buku,
tingkat pertumbuhan publikasi per tahunnya masih dianggap rendah dibandingkan
dengan negara Asia lainnya.

Sebagai penutup, program peningkatan minat, gemar, dan kebiasaan membaca harus
terus dilakukan di sekolah-sekolah. Kebijakan sekolah sebaiknya menekankan
perubahan kurikulum yang mengarah pada program peningkatan tersebut. Bahkan
program tersebut sebaiknya dapat mendorong para pasangan muda untuk mendorong
putra-putri mereka membaca sejak usia dini. Semakin dini usia anak untuk mulai
membaca, semakin baik kemampuan membacanya di kemudian hari.

46
DAFTAR PUSTAKA

Bonneff, Marcel. 1998. Komik Indonesia. Jakarta: KPG bekerja sama dengan Forum
Jakarta-Paris.
Bunanta, Murti. 2004. Buku, Mendongeng dan Minat Membaca. Jakarta: Pustaka
Tangga.
Elkin, Judith, Briony train, dan Debbie Denham. 2003. Reading and Reader
Development: The Pleasure of Reading. London: Facet publishing.
Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape
dan Mediascape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Jahja, Jeni Adria. 2006. “Perpustakaan sebagai Pusat Minat Baca Anak”. Dalam
Aksentuasi Perpustakaan dan Pustakawan. Jakarta: PD-IPI DKI Jakarta dan
Sagung Seto, pp. 271-281.

Laksmi. 2007.“The Effectiveness of Reading Habit Promotion in Public Libraries of DKI


Jakarta Province”. Dalam Abrizah Abdullah, et al. (Eds.). ICOLIS 2007. Kuala
Lumpur: LISU, FCSIT, pp 165-172.

Lasa, Hs. 2007. Manajemen Perpustakaan Sekolah. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.

Mohanraj, V.M. 2004. Library Services for Children. New Delhi: Ess Ess Publications.
Mujiran, Paulus. 2008. “Menumbuhkan Kebiasaan Membaca Sejak Dini”. Dalam
Perpustakaan dalam Dinamika Pendidikan dan Kemasyarakatan. (Seri
Pengembangan Perpustakaan 5). Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata,
pp. 122-137.
Simanjuntak, Melling. 2011. “Memaknai Hakikat Minat Baca untuk Tujuan Praktis”. Viis
Pustaka, Vol. 13, no. 3, Desember, 2011. Diunduh pada 22 Juli 2012, dari
http://www.pnri.go.id.
Sudarsana, Undang dan Bastiano. 2007. “Pembinaan Minat Baca”. Buku Materi Pokok,
PUST2140/2 SKS/Modul 1 – 6. Edisi 2. Jakarta: Universitas Terbuka.
Perpustakaan Nasional RI. 2011. Standar Nasional Perpustakaan (SNP). Bidang
Perpustakaan Sekolah dan Perpustakaan Perguruan Tinggi. Jakarta: Perpusnas.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan.

47

Anda mungkin juga menyukai