Anda di halaman 1dari 3

Tentang sebuah kehidupan yang bermoral rendah.

Mereka tidak tahu


harus berbuat apa dalam hal kebaikan. Bahkan mereka sendiri pun tak
memiliki kamus ‘kebaikan’ di dalam dirinya. Apapun yang mereka lakukan
adalah sesuatu yang benar dan wajar, tanpa perlu memperdulikan
selainnya. “Harta, jabatan dan kepuasan”, itulah kemutlakan bagi mereka.
Berhias demi sebuah daya tarik, bergerak demi sebuah kepopuleran,
menipu sana-sini hanya untuk menghasilkan cuan dan berbuat semena-
mena untuk menciptakan kenikmatan dengan dalih ‘kedamaian’.

Itulah kabar angin yang sampai kepadaku saat di tengah perjalanan.


Di saat aku sedang asik menikmati waktu istirahatku di hutan, terlihat di
ujung sana dua orang sedang berlari terengah-engah dan memasang wajah
cemasnya – bak dikejar oleh hewan buas.

Aku pun menghampiri mereka dan memilih menaiki pohon besar


yang berada di dekatnya. Aku harus sebisa mungkin menjaga jarak agar
tidak lengah – itulah yang selalu aku lakukan ketika bertemu dengan orang
asing – ataukah hanya karena aku ingin mengambil informasi tanpa
ketahuan?

Aku segera membuat hembusan angin dari tanganku dan menuju


pucuk pohon besar itu.

“Apakah kita, sudah berada di jarak yang aman? Atau, pasukan


kerajaan itu, masih mengejar kita?” Tanya salah seorang dengan nafas
kencangnya.

“Belum! pasukan kerajaan bisa melacak penduduk Aisen yang diberi


tanda khusus. Buruknya, setiap dari kita sudah ditanamkan tanda itu
sedari lahir.” Jawaban dari salah seorang yang lain.

Mereka berdua sepertinya baru saja kabur dari kerajaanya.


Nampaknya, kebijakan di sana tidak memperbolehkan penduduknya pergi
dari sana.

“Kalau seperti itu, kita tidak bisa kabur dari mereka-”

Temannya menutup mulutnya dengan jari telunjuk


“Memang kamu rela hidup seperti itu, El?” Temannya memotong
perkataan Si El itu.

“Kamu rela akan ada korban yang terus menjadi sasaran empuk
kerajaan? Kamu mau melepaskan begitu saja dendam yang kita pendam
selama ini untuk kerajaan? Apakah kamu lupa detik-detik terakhir ayahmu
memberikan senyum terakhirnya hanya untuk menyelamatkan kakakmu
yang diculik kerajaan, lantas diperkosa sana-sini bagaikan hewan
pinggiran? Kamu…” Di tengah mereka menjadi hening. Ia tidak sempat
meneruskannya, terlihat matanya yang berkaca-kaca dan nafasnya
tersendat. Nampaknya, Si teman El itu mengalami hal serupa atau lebih
buruk dari itu.

Beberapa detik untuk menenangkan dirinya, Si temannya El menatap


tajam kedua mata El.

“Ini sudah kita rencanakan dari dulu, El. Maafkan aku yang
berbohong bahwa kita bisa selamat jika pergi dari Aisen. Karena tidak ada
penduduk yang berani pergi tanpa rasa aman. Meskipun begitu, aku
memerlukan satu orang untuk membuat rencana ini berjalan lancar dan
aku akan menjamin keselamatan hidupmu, El.”

El hanya bisa mengangguk dan menunduk, rasa takut antara hidup-


mati serta takut akan kerajaan berbuat lebih dari ini.

Si temannya El pun langsung berjalan untuk menutupi


kesedihannya. Ia tak mau berlarut-larut hanya untuk merenungi hal yang
sudah terjadi. Dendam yang begitu kuat membuatnya memiliki tekad untuk
melawan. Kendati demikian, ia sudah tak peduli dengan nasib atas
pilihannya – hidup ataupun mati – ia hanya ingin melakukan yang
seharusnya dia lakukan.

“Mau ke mana, Key?” Tanya Si El.

“Ikuti saja aku! Kita tidak punya banyak waktu.”

Anda mungkin juga menyukai