Anda di halaman 1dari 10

UAS Dinamika Masyarakat Dataran Tinggi, Rendah, dan Pesisir

Kerang Hijau dan Nelayan Kamal: Pemanfaatan Cangkang Kerang Hijau Sebagai
Bahan Land Levelling Pada Masyarakat Nelayan Kamal Muara
Junita Nur’Azizah (195110807111009)
Prodi Antropologi Universitas Brawijaya

PASIR KERANG HIJAU


Kali ini saya tidak akan membawa anda untuk bersantai dan bersenang-senang di daerah
pesisir sambil minum air kelapa muda. Namun, kali ini saya akan mengajak anda untuk menyusuri
gang pemukiman kumuh Kampung Nelayan yang berada di Kamal Muara, Jakarta Utara. Sambil
menikmati pemandangan rumah-rumah panggung yang mulai direnovasi oleh para penghuni
karena dirasa sudah cukup tua untuk ditinggali, namun dengan dasar yang sama yaitu cangkang
kerang hijau.
Ditemani Bu Kijing yang merupakan salah satu pekerja di rumah pengupasan kerang.
Sambil membawa 2 tentengan penuh dengan makanan pesanan para warga seperti seblak, ceker
mercon, dan juga baso aci. Berjualan makanan sebenarnya hal baru yang dilakukan oleh Bu Kijing
selama 2 tahun terakhir ini, kalau menurut Bu Kijing usaha yang dijalankan sekarang ini sebagai
mata pencaharian tambahan selain mengupas kerang.
Bu Kijing juga sedikit menceritakan mengenai sejarah Kampung Nelayan Muara Kamal
yang lebih dikenal sebagai Kampung Bugis atau Kampung Pelangi.
Kampung Nelayan di Kamal Muara lebih dikenal sebagai Kampung Bugis. Karena,
mayoritas warga yang mendiami Kampung Nelayan merupakan keturunan dari Suku Bugis. Dari
cerita Bu Kijing yang sebenarnya juga didapatkan dari para tetua yang ada disana mengatakan
bahwa pemukiman yang ada di Kampung Nelayan dimulai sekitar tahun 60-an dan dipelopori oleh
orang-orang dari Suku Bugis yang merantau ke Jakarta dengan cara berlayar.

“Ini dulunya kan hutan bakau, tapikan emang kalo orang Bugis ngerantau buat rumah
mesti di pinggiran laut kaya begini. Kalo kata orang-orang mah udah ciri khas orang bugis itu
bikin rumahnya di pesisir.”
Seiring berjalannya waktu Kampung Nelayan tidak hanya dihuni oleh orang-orang dari
Suku Bugis, namun juga dihuni oleh beberapa suku. Seperti, Suku Betawi, Suku Sunda, dan juga
Suku Jawa. meski begitu Suku Bugis masih mendominasi di kampung ini.
Wilayah Kampung Nelayan yang notabene merupakan kawasan mangrove, sebenarnya
sangat kaya akan biota laut, salah satunya adalah Perna viridis atau biasa dikenal sebagai kerang
hijau. Hal ini pula yang menjadikan kerang hijau sebagai komoditas utama di Kampung Nelayan.
“Gak cuman kerang ijo ada tiram ada juga kerang bambu, tapi pen kalo kerang ijo lebih
gampang kalo diternak pen cuman pake bambu sama tambang, murah lah modalnya kalo buat
ternak kerang ijo. Banyak dimari yang ternak juga ada kali 50 orang lebih kayanya.”
Saya pikir ini mengapa banyak sekali kios-kios penjual kerang hijau di sepanjang jalan
menuju kawasan Kampung Nelayan, hal ini juga yang mendorong warga untuk membuka usaha
rumah produksi pengupasan kerang hijau.
Ketika pertama kali saya datang ada beberapa hal yang sangat menarik bagi saya, yaitu bau
di sekitar pemukiman warga. Terutama di tempat yang berdekatan dengan lokasi pengupasan
kerang hijau.
Bau khas air laut bercampur lumpur dan limbah cangkang kerang hijau yang menumpuk
di sekitar pemukiman warga, bersatu menjadi kesatuan bau yang sangat unik. Bau yang
mengingatkan saya kepada aquarium air laut yang terlupakan selama beberapa minggu tanpa
adanya filter air yang menyala, serta beberapa ikan yang mengapung tak berdaya, dikarenakan
kotornya air yang ada di dalam aquarium dan juga kelaparan selama beberapa minggu.
Namun, untuk beberapa tempat bau tersebut tidak begitu menyengat, bahkan hanya ada
bau air laut. Saya pikir hal tersebut dipengaruhi oleh limbah cangkang kerang yang ada di tempat
ini sudah hancur serta bentuknya sudah menyerupai pasir. Namun, masih bisa dibedakan antara
pasir dan cangkang kerang yang hancur.
Ada hal menyenangkan yang saya temukan selama mengitari kawasan Kampung Nelayan.
Yaitu, bunyi yang timbul ketika berjalan di sekitar limbah cangkang kerang yang berserakan
karena, menimbulkan bunyi seperti seseorang yang sedang mengunyah keripik singkong.
Ramai adalah hal pertama yang saya rasakan ketika mendatangi salah satu rumah produksi
pengupasan kerang hijau yang dimiliki oleh pak botak. Namun, hal ini bukan kerana banyaknya
pekerja yang ada di sana, tapi kehadiran lalat yang lalu lalang seakan ikut meramaikan tempat
produksi pengupasan cangkang kerang. Mengingat memang di tempat pengupasan kerang yang
tadinya merupakan rumah panggung yang sekarang hanya menyisakan tiang yang berguna sebagai
penyangga atap dan juga tempat menggantungkan beberapa karung kosong berukuran 20kg dan 1
kamar mandi, sekilas memang terlihat seperti lembah cangkang kerang.

Foto 1. Keadaan tempat pengupasan kerang hijau milik Pak Botak.

Foto 2. Lalat yang mengerubungi wadah daging kerang yang sudah dipisahkan dari cangkangnya.

IMBAS PULAU BAUATAN

“Ish… sekarang mah kerang yang gede kulitnya doang, isinya mah kecit-kecit, dua hari
cuman dapet bangsal 7 kilo doang gw ngopek.”
Celoteh salah satu pekerja di tempat pengupas kerang hijau Pak Botak, ia juga sempat
bergumam bahwa sekarang ini jumlah kerang hijau yang dipanen tiap hari makin sedikit tidak
seperti 5 tahun lalu diamana setiap penghujung tahun dari bulan oktober sampai desember biasanya
jumlah kerang hijau yang dipanen sangat banyak bisa mencapai 20 tong per hari. Namun
belakangan ini kerang hasil panen paling banyak hanya 10 tong per hari.
Hal ini juga disetujui oleh Bang Rahmat yang merupakan salah satu peternak kerang hijau
yang menyuplai kebutuhan kerang hijau di rumah produksi milik Pak Botak. Hal ini disebakan
karena imbas dari adanya pembangunan pulau reklamasi yang menyebakan berkurangnya lahan
budidaya kerang hijau yang dimiliki Bang Rahmat.

“Dulu sebelum reklamasi saya punya sekitar 20 unit, ya sekarang mah tinggal 11 unit. ”

keberadaan pulau reklamasi nayatanya malah memperkalut keadaan nelayan kerang hijau,
menunjukan kerentantan masyarakat Kampung Nelayan. Meski kerang yang mereka dapatkan
merupakan hasil dari budidaya namun tetap saja laut merupakan common property bagi para
nelayan kerang hijau. Menurut Yistiarani (2020) kondisi laut yang tidak dapat dijadikan milik
perorangan pagi nelayan. Menjadikan kehidupan masyarakat nelayan penuh dengan
ketidakpastian.

Foto 3. Peta Kampung Nelayan yang berdekatan dengan Pulau Reklamasi.


Pekerjaan mengupas cangkang kerang atau memisahkan cangkang dan daging kerang
rebus mengingatkan saya pada konsep “freedom” Anna Tsing (2015). “Freedom” bisa memiliki
banyak arti bagi setiap pekerja jamur, begitu juga bagi para pekerja pengupas cangkang kerang di
Kampung Nelayan.
Para pekerja pengupas kerang yang rata-rata terdiri dari ibu-ibu rumah tangga, mereka bisa
datang sesuka hati karena, pada dasarnya pekerjaan ini tidak memiliki keterikatan. Bahkan ada
beberapa pekerja yang mengatakan bahwa mengupas kerang dilakukan hanya untuk membunuh
rasa bosan ketika dirumah.

“Ngopek kerang kaya begini iseng aja neng! Daripada di rumah bosen kaga dapet duit,
pen kalo ngopek kerang lumayan 3,000 juga bisa dipake buat beli bumbu dapur.”

Meski pemerintah Kota Jakarta sudah membangun tanggul dan jalan di sekitar Kampung
Nelayan. Namun di beberapa wilayah masih banyak warga yang menggunakan cangkang kerang
hijau untuk dijadikan bahan urugan untuk rumah dan juga jalan.

Foto 4. Para pekerja yang sedang melakukan pemisahan daging kerang hijau.

Menurut Bu Kijing, penggunaan cangkang kerang lebih efektif dan juga tidak memerlukan
banyak biaya. Karena, cangkang kerang hijau sudah tersedia secara percuma di sekitar tempat
tinggal mereka. Meski begitu ada beberapa pemilik usaha olahan kerang hijau rebus yang menjual
cangkang dengan tarif Rp.5,000 per karung beras ukuran 20 kg. Namun untuk ditempat
pengupasan milik Pak Botak tidak menjual limbah cangkang kerang hijau, ia menagatakan bahwa
jika ada warga yang butuh bisa langsung ambil dan tidak perlu mambayar, hanya saja biasanya
warga meminta bantua kepada remaja laki-laki sekitar untuk mengumpulkan cangkang kerang
dengan upah sebesar Rp.10.000 – Rp.20.000 per karung ukuran 20 kg.

“Kalo saya mah misal ada yang minta nih kaya Bu Dewi sekarang ini buat ngurug
rumahnya, ambil aja gratis, pen dikita juga ini kalo numpuk kebanyakan tempat buat ngopeknya
pen ketutupan ya… paling ini ngupahin yang ngangkutin aja tergatung kesepakan yang minta
sama yang ngangkutin aja bisa sepuluh ribu perkarung kadang ada juga yang ngupahin dua
puluh ribu .”

Foto 5. Cangkang kerang yang akan dijadikan sebagai bahan urugan salah satu rumah warga.

Sebenarnya penggunaan cangkang kerang sebagai bahan urugan sudah lama dilakukan
oleh warga Kampung Nelayan di Kamal Muara. Mengingat daerah tersebut dulunya adalah hutan
bakau. Penggunaan cangkang kerang juga menjadi alternatif bagi untuk menyelamatkan rumah
dari air pasang yang sering terjadi
“Dulu sebelum rame kaya sekarang orang-orang rumahnya masih modelan rumah
panggung begitu tapi dari bambu. Nah! Pas udah mulai rame mulai dah ini pake kulit kerang
buat ngurug biar ada dasarnya rumah, lagian juga kalo kaga pake kulit kerang pas lagi rob abis
rumah kerendem aer”

Sebenarnya penggunaan cangkang kerang sebagai bahan urugan sudah lama dilakukan
oleh warga Kampung Nelayan di Kamal Muara. Mengingat daerah tersebut dulunya adalah hutan
bakau. Penggunaan cangkang kerang juga menjadi alternatif bagi untuk menyelamatkan rumah
dari air pasang yang sering terjadi.
Menurut pernyataan dari Bang Rahmat bisa dibilang dalam melakukan budidaya atau
ternak kerang hijau tidak membutuhkan alat dan peralatan yang mahal, dari informasi yang saya
dapatkan rata-rata peternak kerang hijau atau bisa disebut sebagai nelayan kerang hijau di
Kampung Nelayan Kamal Muara menggunakan teknik rakit tancap dengan bahan dasar adalah
bambu dan juga tali, cara ini juga digunakan oleh Bang Rahmat dalam melakukan budidaya kerang
hijau.
Bambu digunakan sebagai rakit, spat tempat kerang akan menempel nantinya dan
juga pasak yang nantinya ditancapkan ke dasar perairan yang sudah ditentukan oleh para peternak.
Biasanya penempatan pasak sangat dipengaruhi oleh kedalam air. Sedangkan tali digunakan
sebagai spat atau tempat bibit kerang hijau nantinya atau biasa disebut sebagai kolektor.
Bibit kerang hijau biasanya dikumpulkan langsung dari alam. Pemilihan tempat budidaya
sangat dipengaruhi dengan kesuburan perairan, jumlah bambu yang dipasang oleh peternak. Panen
akan dilakukan setelah 5 atau 6 bulan setelah penempatan spat dan juga tali kolektor (WWF
Indonesia, 2015).
Pengantian bambu spat menurut Bang Rahmat sangat dipengaruhi oleh keberadaan remis
yang menjadi musuh utama bagi kerang hijau. Bagai benalu remis biasanya menempel pada
cangkang kerang dan juga bambu-bambu spat tempat budidaya. Remis seringkali melubangi
kerang dan juga bambu spat tempat budidaya, mau tidak mau para peternak harus mengganti
bambu spat dan juga tali paling lama 1 tahun sekali.
Dalam pemilihan tempat budidaya harus benar-benar diperhatikan, penempatan unit tidak
boleh terlalu dekat dengan pemukiman karena terlalu banyak sampah yang menggenang bisa
mengurangi jumlah kerang, budidaya juga harus dilakukan diperairan yang tenang.
Saya Bang Rahmat untuk memanen kerang hijau di salah satu unit yang ia miliki. Saya
agak sedikit takut karena tidak adanya jaket pelampung di kapal Bang Rahmat. Dari pengakuan
Bang Rahmat, ia sudah lebih dari 10 tahun menjadi peternak kerang hijau, ketika ia pertama kali
datang ke Kampung Nelayan pada tahun 2008, awal ia bekerja sebagai nelayan namun, ia
mengikuti jejak teman nelayan lainnya dan beralih menjadi peternak kerang hijau karena dirasa
lebih menguntungkan.

“kalo pake ego mungkin kurang ya penghasilan kalo cuman dari kerang, tapi kalo pake
rasa syukur mah cukup lah buat sehari-hari. Alhamdulillah dari kerang bisa kebangun rumah,
anak bisa sekolah, kebeli kapal juga meski gak gitu bagus”

Foto 6. Salah satu unit budidaya kerang hijau milik Bang Rahmat.
Dalam melakukan panen hanya dilakukan oleh para pria saja, karena dirasa bahwa terlalu
berisiko untuk dilakukan oleh perempuan, peran perempuan hanya dibutuhkan ketika proses
membersihkan remis yang menempel dan juga untuk pengupas kerang saja.
Dalam sekali menyelam biasanya didapatkan sekitar 10 Kg dan bisa sampai 15 tong atau
jaring yang setara dengan 150 kg dalam sekali panen pada 1 unit tempat budidaya. Bang Rahmat
biasanya dibantu oleh keponakannya ketika memanen kerang hijau. Untuk 1 bak kerang dihargai
dengan Rp.35.000.
Penentuan harga biasanya ditetapkan oleh kelompok peternak kerang, untuk pemilihan
wilayah juga ditentukan agar tidak mengangu mobilitas kapal nelayan lainnya
“kalo sekali panen paling banyak 1 tempat ini bisa 15 bak, 1 bak itu bisa 10 kilo-an. Tapi
kalo saya pribadi manen tergantung permintaan tempat ngopeknya aja berapa, misal minta 10
bak ya saya manen 10 bak. Tapikan saya sendiri gak cuman masok 1 tempat ngopek doang ada
juga kalo restoran mesen itu beda lagi. Buat harganya itu sekitar 35 ribu buat satu bak (yang
masih kotor)”
Daftar Pustaka
Tsing, A. L. (2015). The Mushroom at the End of the World. Priceton: Princeton University
Press.
WWF Indonesia. (2015, January 1). Budidaya Kerang Hijau (Perna virdis). Better Management
Practices (BMP) , pp. 2-41.
Yistiarani, W. D. (2020). Kehidupan Masyarakat Pesisir di Indonesia. BALAIRUNG: Jurnal
Multidisipliner Mahasiswa Indonesia, 7-11.

Anda mungkin juga menyukai