Anda di halaman 1dari 43

PROPOSAL PENELITIAN TESIS

TINDAK PIDANA ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN

MENURUT UNDANG-UNDANG NO.36 TAHUN 2009

TENTANG KESEHATAN

Oleh :

ANDINI CHAIRANI RAMADHANTI

NIM : 2021023024009

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM SUMPAH PEMUDA

PROGRAM PASCA SARAJANA

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM

PALEMBANG, 2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Permenkes 28 tahun 2017 tentang Izin Praktik Bidan disebutkan

bahwa Bidan merupakan salah satu dari jenis tenaga kesehatan yang memiliki

kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan

bidang keahlian yang dimiliki. Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari

pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Bidan adalah tenaga kesehatan yang sejak dulu tersedia hingga ke pelosok

desa-desa. Bidan melakukan praktik-praktik kebidanan yang saat ini disebut

dengan bentuk asuhan kebidanan. Ibu-ibu hamil hingga melahirkan anaknya yang

sehat tak lepas dari praktik asuhan kebidanan yang bertangan dingin. Untuk

menjalankan Praktik Kebidanan, Bidan paling rendah memiliki kualifikasi jenjang

pendidikan diploma tiga kebidanan.

Praktik Kebidanan adalah kegiatan pemberian pelayanan yang dilakukan oleh

Bidan dalam bentuk asuhan kebidanan. Bidan biasanya juga berpraktik mandiri,

dapat juga berpraktik di klinik ataupun rumah sakit, maupun fasilitas layanan

kesehatan lainnya. Bidan yang berpraktik sendiri tempatnya disebut sebagai

Praktik Mandiri Bidan. Praktik Mandiri Bidan adalah tempat pelaksanaan

rangkaian kegiatan pelayanan kebidanan yang dilakukan oleh Bidan secara

perorangan.

1
2

Hak dan Kewajiban Bidan dalam melaksanakan praktik kebidanannya, Bidan

memiliki hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan

pelayanannya sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar

prosedur operasional; memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien

dan/atau keluarganya; melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan

kewenangan; dan menerima imbalan jasa profesi.

Dalam melaksanakan praktik kebidanannya, Bidan berkewajiban untuk

menghormati hak pasien; memberikan informasi tentang masalah kesehatan

pasien dan pelayanan yang dibutuhkan; merujuk kasus yang bukan

kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan tepat waktu; meminta

persetujuan tindakan yang akan dilakukan; menyimpan rahasia pasien sesuai

dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan; melakukan pencatatan

asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya yang diberikan secara sistematis;

mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional;

melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan Praktik Kebidanan

termasuk pelaporan kelahiran dan kematian; pemberian surat rujukan dan surat

keterangan kelahiran; dan meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan

mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan

pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.1

1. https://www.jogloabang.com/kesehatan/permenkes-28-2017-izin-praktik-bidan
3

Pertimbangan terbitnya Permenkes 28 tahun 2017 tentang Izin Praktik Bidan

adalah:

1. bahwa dalam rangka melindungi masyarakat penerima pelayanan

kesehatan, setiap tenaga kesehatan yang akan menjalankan praktik

keprofesiannya harus memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

2. bahwa Bidan merupakan salah satu dari jenis tenaga kesehatan yang

memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan asuhan kebidanan

sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki;

3. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010

tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan perlu disesuaikan dengan

perkembangan dan kebutuhan hukum;

4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

huruf b, huruf c, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (5)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan perlu menetapkan

Peraturan Menteri Kesehatan tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik

Bidan;

Dasar hukum keluarnya Permenkes 28 tahun 2017 tentang Izin Praktik Bidan

adalah:
4

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5063);


5

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)

sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5679);

3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);

4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem

Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan; (Berita Negara Republik

Indonesia Tahun 2012 Nomor 122);

5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi

Tenaga Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor

977);

6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2013 tentang

Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing (Berita Negara

Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1320);

7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015

tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1508);


5

8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 369/Menkes/SK/III/2007 tentang

Standar Profesi Bidan;

Aborsi ialah (1) suatu tindakan menghentian kehamilan sebelum janin dapat

hidup diluar kandungan (sebelum usia 20 minggu kehamilan), bukan semata

untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dalam keadaan darurat tetapi juga bisa

karena sang ibu dalam keadaan darurat dan juga bisa karena sang ibu tidak

menghendaki kehamilan itu, (2) pengguguran kandungan yaitu dikeluarkannya

janin sebelum waktunya, baik secara sengaja maupun tidak. Biasanya dilakukan

saat janin masih berusia muda (sebelum bulan keempat masa kehamilan)2.

Abortus provocatus criminalis ialah keguguran yang berupa keluarnya

embrio atau fetus semata-mata bukan karena terjadi secara spontan/alami, tetapi

karena disengaja atau terjadi karena adanya campur tangan manusia (tenaga medis

: bidan) tanpa adanya indikasi medis. Penjelasannya, tindakan abortus ini ada

yang bersifat medis, jika terdapat indikasi medis yang menunjukkan tanda-tanda

bahwa kehamilan tersebut harus digugurkan dengan tujuan menyelematkan nyawa

si ibu. Apabila tanpa indikasi medis sering kali disebut dengan istilah abortus

provocatus crimimalis.

2..
Rocky Marbun, Deni Bram, Yuliasara Isnaeni dan Nusya A., 2012, Kamus Hukum
Lengkap (Mencakup Istilah Hukum & Perundang-Undangan Terbaru, Cetakan Pertama,
Visimedia, Jakarta, hlm. 2.
6

Menurut Data WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa 15-

50% kematian ibu disebabkan oleh pengguguran kandungan yang tidak aman.

Dari 20 juta pengguguran kandungan tidak aman yang dilakukan tiap tahun,

ditemukan 70.000 perempuan meninggal dunia. Dengan kata lain, 1 dari 8 ibu

meninggal dunia akibat aborsi yang tidak aman. Di Indonesia sendiri, angka

pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. Angka yang tidak sedikit

mengingat besarnya tingkat kehamilan di Indonesia. Selain itu, ada yang

mengkategorikan aborsi itu pembunuhan3.

Perkembangan teknologi dan semakin luasnya cakupan pergaulan tentunya

memiliki dampak positif dan negatif bagi masyarakat Indonesia. Pergaulan bebas

dan kurangnya kesadaran terhadap bahaya sex bebas mengakibatkan adanya

kehamilan yang tidak diinginkan sampai berujung pada tindakan aborsi. Hingga

saat ini masih terjadi pro dan kontra maupun perdebatan yang tidak ada akhirnya,

dari berbagai pihak yang mendukung aborsi maupun yang kontra aborsi. Di

Indonesia hak aborsi dibenarkan secara hukum jika dilakukan karena adanya

alasan pertimbangan medis atau kedaruratan medis, apabila dilakukan tidak

bertentangan dengan hukum dan agama. Aborsi dan masalah-masalah yang

berhubungan dengan aborsi menjadi topik menonjol dalam politik nasional di

banyak negara sering kali melibatkan gerakan menentang aborsi pro-kehidupan

dan pro-pilihan atas aborsi di seluruh dunia.

Ibid. hlm. 54.


3..
7

Membahas persoalan aborsi sudah bukan merupakan rahasia umum dan hal yang

tabu untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah

menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi di mana-mana dan bisa

saja dilakukan oleh berbagai kalangan, baik itu dilakukan secara legal ataupun

dilakukan secara illegal. Dalam pandangan dan kedudukan hukum aborsi di

Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan (UU

kesehatan) Indonesia dapat digolongkan dalam hukum yang memperbolehkan

aborsi dengan syarat yang rumit karena keadaan darurat merupakan kata kunci

untuk menggugurkan kandungan dalam upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil itu

sendiri. Dalam arti sempit indikasi medis sangat terbatas. Indikasi vital yaitu

aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan jiwa ibu apabila si ibu yang sedang

mengandung teracam bahaya maut yang tidak dapat dielakkan dengan cara

apapun kecuali dengan cara menggugurkan kandungan4.

Undang-Undang kesehatan menyatakan, tindak medis (aborsi) sebagai upaya

untuk menyelamatkan ibu hamil dan janinnya dapat dilakukan oleh tenaga

kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk dilakukan sesuai

dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan tim ahli5.

4..
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190905083743-255-427668/alasan-alasan-
medis-yang-anjurkan-perempuan-untuk-aborsi, Diakses pada tanggal 24 November 2022 pukul 17
:00 wib.

. R. Abdoel Djamali, 1984. Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali, Jakarta, hlm.169.


5 .
8

Aborsi yang dilakukan secara hukum dan segala perbuatan yang dilakukan

oleh tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan bukan merupakan

suatu tindak pidana atau kejahatan, aborsi oleh tenaga medis (bidan) dilakukan

bila mana ada indikasi medis misalnya ibu dengan penyakit berat yang mengacam

nyawa6.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tertulis aborsi dengan berbagai

alasan dapat dianggap sebagai pelanggaran pidana. Aturan yang menimbulkan

masalah baru dengan munculnya praktek aborsi secara illegal, praktek aborsi

illegal sering berdampak, komplikasi, pendarahan dan berujung kematian dari ibu.

Kitab Umum Hukum Pidana menyebutkan soal aborsi termasuk dalam pasal

(299,346,347, dan 348) yang mengatur hukum bukan hanya bagi pelaku yang

melakukan tindakan aborsi termasuk dokter, perawat, dan bidan. Dalam Undang-

Undang no.23 tahun 1992 tentang kesehatan, persoaalan ini coba diselesaikan

dengan memberikan peluang tindakan aborsi dalam kondisi darurat untuk

menyelamakan jiwa ibu hamil.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan tegas melarang aborsi

dengan alasan apapun, sedangkan Undang-Undang Kesehatan memperbolehkan

aborsi atas indikasi medis maupun karena adanya pemerkosaan. Seorang bidan

harus memiliki kompetensi bidang yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan

perilaku dalam melaksanakan praktek kebidanan secara aman dan bertanggung

jawab dalam berbagai tatanan pelayanan kesehatan.

6
.Ita Musyarofa, Wacana Hak Asasi Manusia Dalam Perbedatan “Aborsi’’ Jurnal Studi
Gender Indonesia, Vol 02, No. 01, Agustus 2011, hlm. 37.
9

Kompetensi bidan tidak terlepas dari kewenangan bidan yang telah diatur dalam

peraturan Kepmenkes RI Nomor 900/Menkes/SK/II/2002, yang merupakan

landasan hukum dari pelaksanaan praktek kebidanan. Aborsi secara spontan

merupakan mekanisme alamiah keluarnya hasil konsepsi yang abnormal

(keguguran). Sedangkan abortus buatan atau juga disebut terminasi kehamilan

yang mempunyai dua macam yakni:

1. Bersifat Legal Aborsi dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan) yang

berkompeten berdasarkan indikasi medis, dan dengan persetujuan ibu hamil dan

suami.

2. Bersifat Illegal Aborsi dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan) yang tidak

berkompeten, melalui cara-cara diluar medis (pijat, jamu atau ramuan-ramuan),

dengan persetujuan ibu hamil dan atau suaminya. Aborsi illegal sering juga

dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan) yang kompeten, tetapi tidak mempunyai

indikasi medis7.

Praktek aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

sebagaimana disebut di atas merupakan aborsi illegal. Sanksi pidana bagi pelaku

aborsi illegal di atur dalam pasal 1945 UU kesehatan yang berbunyi “Setiap aborsi

yang bertentangan dengan perarturan perundang-undangan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dapat dipidana dengan penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)’’.

Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika & Hukum Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm.
7.

135–136.
10

Selain itu, sanksi pidana bagi pelaku aborsis illegal juga diatur dalam kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuannya antara lain.

1. Pasal 299

a. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh

supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena

pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diacam dengan penjara paling

lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 45.000,- (empat

puluh lima ribu rupiah).

b. Jika yang bersalah berubah demikian untuk mencari keuntungan, atau

menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia

seorang tabib, bidan atau juru -obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.

c. Jika yang bermasalah melakukan kejahatan tersebut dalam jabatannya dapat

ia diberhentikan/dipecat dari pekerjaannya itu. (KUHP 10, 35, 37, 283, 346s,

544s)

2. Pasal 346 : “Seorang Wanita yang sengaja menggurkan atau mematikan

kadungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diacam dengan pidan penjara

paling lama 4 (empat) tahun”.

3. Pasal 347 ayat (1) : “Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau

mematikan kandungan seorang Wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan

pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun”.


11

4. Pasal 348 ayat (1) : “Barang siapa dengan sengaja menggurkan atau mematikan

kandungan seorang wanita dengan persetujuaanya, diacam dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan”.

5. Pasal 349 : “Jika seorang bidan membatu melakukan kejahatan berdasarkan

pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan

yang diterangkan dalam 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal

itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk mejalankan

pekerjaan dalam mana kejahatan masyarakat dapat melaporkan bidan tersebut

kepolisian untuk diselidiki, selanjutnya bila memang ada bukti yang cukup bidan

tersebut dengan sengaja telah melakukan aborsi illegal terhadap pasien-pasiennya,

maka proses pidana akan dilanjutkan oleh penyidik dan jaksa melalui proses di

pengadilan8. Tenaga kesehatan dikelompokkan ke dalam tenaga medis, tenaga

psikologis, tenaga klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga

kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga

gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisan medis, tenaga teknik biomedika,

tenaga kesehatan tradisional, dan tenaga kesehatan lain.

8
.https://mh.uma.ac.id/ancaman-pidana-aborsi-ilegal/ Diakses pada tanggal 26 November
2022 pukul 20 :00 wib.
Tenaga Kebidanan yaitu bidan yang baik bekerja sebagai Pegawai Negeri

Sipil (PNS), Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau bidan yang

diberikan tugas khusus, mereka sama-sama memiliki tugas sebagai tenaga

kesehatan yang memiliki hak dan kewajiban sebagai tenaga kesehatan. Pada
12

Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 tertulis:

1. Pasal 57

(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah

dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.

(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:

a. perintah undang-undang;

b. perintah pengadilan;

c. izin yang bersangkutan;

d. kepentingan masyarakat;

e. kepentingan orang tersebut.

2. Pasal 58

(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga

kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian

akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku

bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau

pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Pasal 59

(1) Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi

menjadi:
13

a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan

b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.

(2) Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan

manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan kesehatan

tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan

Pemerintah9.

Kewenangan bidan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang RI No.

36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Menurut penjelasan Pasal 62 ayat (1)

huruf c, yang dimaksud dengan “kewenangan berdasarkan kompetensinya”

adalah kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan secara mandiri sesuai

dengan lingkup dan tingkat kompentensinya, antara lain untuk bidan adalah ia

memiliki kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan ibu, pelayanan

kesehatan anak, pelayanan kesehatan reproduksi dan Keluarga Berencana.

9.
Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, hlm. 58-60.

Jika bidan tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-

Undang RI No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dikenai sanksi

administratif. Ketentuan sanksi ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-

Undang RI No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Sanksi yang dikenal
14

dalam Undang- Undang RI No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan adalah

sanksi administratif, yakni sanksi ini dijatuhkan jika bidan yang bersangkutan

dalam menjalankan prakteknya tidak sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.

Dengan kata lain, jika memang memberikan obat atau suntikan sanksi yang

berlaku padanya adalah sanksi administratif bukan sanksi pidana. Akan tetapi,

apabila ternyata pertolongan persalinan itu merupakan suatu kelalaian berat yang

menyebabkan penerima pelayanan kesehatan menderita luka berat, maka bidan

yang bersangkutan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)

tahun. Sedangkan jika kelalaian berat itu mengakibatkan kematian, bidan

tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun10.

Mengenai tenaga kesehatan (bidan) dapat memberikan pelayanan kesehatan yang

dilakukan oleh bidan di luar kewenangannya karena mendapat pelimpahan

wewenang. Pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh bidan atau perawat

dilakukan di luar kewenangannya karena mendapat pelimpahan wewenang.

Pelayanan di luar kewenangannya juga diatur dalam Pasal 63 ayat (1) Undang-

Undang RI No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan : “Dalam keadaan

tertentu Tenaga Kesehatan dapat memberikan pelayanan diluar

kewenangannya”.

10
.Undang-Undang RI No.36 Tahun 2014, Pasal 84 tentang tenaga kesehatan.
Dalam penjelasan Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2014

tentang Tenaga Kesehatan dikatakan bahwa yang dimaksud “keadaan tertentu”

yakni suatu kondisi tidak adanya tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan

untuk melakukan tindakan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan serta tidak


15

dimungkinkan untuk dirujuk.

Dalam peraturan yang lebih khusus lagi dikatakan bahwa bidan adalah

seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi

sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan. Demikian yang disebut dalam

Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :

1464/Menkes/Per/X/2010 Tahun 2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktek

Bidan. Bidan dapat menjalankan praktek mandiri dan/atau bekerja di fasilitas

pelayanan kesehatan (Pasal 2 ayat (1) Permenkes 1464/2010). Dalam

menjalankan praktek-praktek bidan, tentunya bidan yang bersangkutan harus

memiliki izin, yaitu Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktek Bidan

(SIPB) untuk bidan yang menjalankan prakteknya secara mandiri (bukti tertulis

yang diberikan kepada bidan yang sudah memenuhi persyaratan) atau Surat Izin

Kerja Bidan (SIKB) untuk bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan

(bukti tertulis yang diberikan kepada bidan yang sudah memenuhi persyaratan).

Pengertian keduanya terdapat dalam Bidan dapat menjalankan praktek mandiri

dan/atau bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan (Pasal 2 ayat (1) Permenkes

1464/2010).

Kode etik diharapkan mampu menjadi sebuah pedoman yang nyata bagi para

bidan dalam menjalankan tugasnya. Tapi pada kenyataannya para bidan masih

banyak yang melakukan pelanggaran terhadap kode etiknya sendiri dalam

pemberian pelayanan terhadap masyarakat. Bentuk dari pelanggaran ini

bermacam-macam. Seperti pemberian pelayanan yang tidak sesuai dengan

kewenangan bidan yang telah diatur dalam Permenkes Nomor :


16

1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan praktek Bidan.

Contoh pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh bidan adalah penanganan

kasus kelahiran sungsang, melakukan aborsi, menolong partus patologis dan

yang lainnya. Untuk kasus kelahiran sungsang jika bidan melakukan pertolongan

sendiri maka bertentangan dengan:

1. Undang-Undang Kesehatan Pasal 5 Ayat (2) yang menyatakan bahwa

“Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan

yang aman”.

2. Permenkes RI tentang Izin dan Penyelenggaraan praktek Bidan pada Pasal

10 point (d) disebutkan bahwa “Pelayanan kebidanan kepada ibu meliputi

pertolongan persalinan normal”.

Bagi bidan yang melaksanakan pelayanan kebidanan tidak sesuai dengan

ketentuan yang berlaku maka akan diberikan sanksi sesuai dengan Permenkes

RI Nomor : 1464/Menkes/PER/X/2010 tentang izin dan penyelenggaraan

praktek bidan. Sanksi yang diberikan kepada bidan bisa berupa pencabutan ijin

praktek bidan, pencabutan SIPB sementara, atau bisa juga berupa denda. Selain

itu bidan juga bisa mendapat sanksi hukuman penjara jika melakukan

pelanggaran terhadap Peraturan Undang-Undangan. Apabila seorang bidan

melakukan pelanggaran kode etik maka penyelesaian atas hal tersebut

dilakukan oleh wadah profesi bidan yaitu IBI. Dan pemberian sanksi dilakukan

berdasarkan peraturan- peraturan yang berlaku di dalam organisasi IBI

tersebut.11
17

Beberapa contoh kasus perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh bidan, yaitu:

1. Kasus di palembang, pelaku IY terhadap Rusmiati 17 maret 2016. (Chai

dir

anwar tanjung), “Bayi meninggal dalam kondisi mengenaskan, pasutri di

palembang melaporkan bidan”, 12

2. Kasus di klinik pratama sang timur, pelaku bidan yuda yulia terhadap Naya

3 september 2017 (“malpraktek dari rahim jebol sampai dijahit acak- acakan,

ibu satu anak ini curhat di facebook”.13

Selain dapat ditinjau dari hukum pidana seiring dengan meningkatnya

kesadaran hukum masyarakat dalam perkembangan selanjutnya timbul

permasalahan tanggung jawab pidana dengan seorang tenaga kesehatan khusus

yang menyangkut dengan kelalaian hal mana dilandaskan pada teori hukum

pidana.14

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan bahwa tindakan

penggguran kandungan yang disengaja (abortus) di atur dalam kedua BAB XIV

tentang kejahatan kesusilaaan khususs pasal 299, dan Bab XIX pasal 346 sampai

dengan pasal 349, dan digolongkan kedalam kejahatan terhadap nyawa, yang

isinya menyatakan apabila seorang bidan meramu obat-obatan atau membantu

melakukan kejahataan tersebut maka ancaman pidana di tambah sepertiga serta

dapat dicabut ijin prakteknya.

Chanzawi menjabarkan unsur-unsur kejahatan yang dirumuskan pada pasal

299 KUHP ayat (1) dijelaskan dalam buku berjudul tindak pidana mengenai
18

kesopanan mengenai unsur objek pertama yaitu perbuataan mengobati. Perbuatan

mengobati (in bebandeling nemen) yang dihubungkan dengan unsur-unsur lain

dalam pasal ini adalah melakukan perbuatan mengobati seorang perempuan

dengan cara bagaimanapun misalnya dengan memberi obat, memijat-mijat bagian

tubuh korban dengan terlebih dahulu memberitahukan kepada korban bahwa

dengan demikian janin yang dikandungnya dapat menjadi gugur atau memberikan

harapan pada korban bahwa kehamilan digugurkan.15

Pada perbuatan menyuruh mengobati si pembuat tidak melakukannya sendiri

pengobatan itu tetapi menyuruh orang lain untuk melakukan pengobatan terhadap

perempuan itu atau menyuruh perempuan itu sendiri untuk melakukan

pengobatan dengan petunjuk dan saran maupun keterangan.16

Perkataan menyuruh dan mengobati tidak sama artinya dengan menyuruh

lakukan (doomplegen) dalam pasal 55 ayat (1) butir 1, karena menyuruh lakukan

pada pasal 55 ayat (1) terdapat syarat bahwa orang yang disuruh melakukan tidak

dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena itu dia tidak boleh dipidana

tetapi orang yang disuruh mengobati dalam pengertian kejahatan ini adalah orang

yang dapat di pertanggungjawabkan sehingga dapat dipidana kecuali apabila

dalam menyuruh mengobati itu dilakukan sedemikian rupa sehingga orang yang

disuruh mengobati itu menjadi tidak berdaya misalnya dia dipaksa dengan

ancaman kekerasan akan dibunuh jika tidak mau mengobati. Apabila perempuan

itu sendiri yang mengobati, tidak penting apakah dengan cara demikian, masuk

akal atau tidak, apabila hamilnya menjadi gugur atau tidak perempuan yang
19

melakukan pengguguran kandungannya sendiri dengan cara demikian tidak dapat

dikenakan pasal 29 KUHP, melainkan dikenakan pasal 346 KUHP.17

Pihak ketiga yang disuruh melakukan pegobatan dikenakan pasal 299 KUHP

sebagai pembuat yang mengobati sedangkan pihak kedua yang menyuruh apabila

kepada perempuan tersebut memberitahukan atau menimbulkan harapannya itu

bahwa dengan cara pengobatan dukun tadi hamilnya dapat digugurkan, juga dia

telah melakukan kejahatan itu sebagai pembuat karena menyuruh mengobati

memberitahu atau menimbulkan harapan. Pada pasal 55 ayat (1) butir (2)

sedangkan pihak pertama berkualitas sebagai pembuat pelaksanaannya [299

Juncto 55 ayat (1) butir (1)], dan bukan sebagai pembuat tunggal (dader).

Unsur subjektif nya adalah unsur segala yang ditetapkan pada permulaan

rumusan dengan mendahului semua unsur dari pasal 299 tersebut. Oleh karena

itu, kesengajaan itu harus ditunjukan pada semua unsur dibelakangnya. Artinya

ialah :

1. Sipembuat menghendaki untuk melakukan perbuatan pengobatan atau

menyuruh mengobati.

2. Diketahuai bahwa yang diobatinya itu atau yang disuruh diobatinya itu adalah

seorang perempuan hamil, atau menurut keyakinannya dia hamil.

11.
Permenkes RI Nomor : 1464/Menkes/PER/X/2010.
12.
https://news.detik.com/berita/d-3168361/bayi-meninggal-dalam-kondisi-mengenaskan-
pasutri-di- palembang-laporkan-bidan,
13.
https://manaberita.com/2017/12/malpraktek-dari-rahim-jebol-sampai-dijahit-acak-acakan-
ibu-satu-anak-ini-curhat-di-facebook/
14.
Rahardjo, Soetjipto. 1983. Permasalahan Hukum Di Indonesia. Bandung: Alumni
15. .
Chazawi, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Raja Grafimdo Persada,Jakarta,
hlm.124.
16.
Ibid.,hlm125.
17.
Ibid.,hlm126.
20

3. Disadari bahwa dengan pengobatan demikian sipembuat telah diberitahukan

atau menimbulkan harapan bahwa hamilnya dapat digugurkan.

Kesengajaan seperti itula yang harus dibuktiakan oleh jaksa penuntun umum

disidang pengadilan. Ayat (2) merumuskan tentang dasar pemberatan pidana. Dari

ketentuan pasal 346--349 KUHP dapat diketahui, bahwa aborsi menurut kontruksi

yuridis peraturan perundang-undangan di Indonesia yang terdapat di KUHP

adalah tindakan pengguguran atau mematikan kandungan yang dilakukan oleh

seorang wanita atau orang yang disuruh melakukan itu. Wanita dalam hal ini

adalah wanita hamil yang atas kehendaknya ingin menggugurkan kandungannya

sedangkan tindakan yang menurut KUHP pidana.18 Disahkannya undang-undang

kesehatan yang menggantikan undang-undang permasalahan aborsi memperoleh

legitimasi dan penegasan. Secara ekplisit, dalam undang-undang ini terdapat pasal

yang mengatur mengenai aborsi. Meskipun undang-undang melarang praktek

aborsi, tetapi dalam keadaan tertentu terdapat kebolehan. Pada pasal 9 ayat (1)

Undang-undang hak asasi manusia dijelaskan bahwa pasal 9 ayat (1) setiap orang

berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf

kehidupannya aborsi ditinjau dari perspektif HAM, setiap janin mempunyai hak

hidup yang harus dilindungi apabila aborsi dilakukan makan melanggar HAM.

Tetapi seorang Wanita mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan aborsi

karena merupakan bagian dari hak kesehatan reproduksi yang sangat mendasar

apabila kehamilannya itu membahayakan ibu janin.

18..
Eny Kusmiran, 2011, Kejabatan Reproduksi Remaja dan Wanita, Selemba Medika,
Jakarta, hlm.18.
21

Di dalam undang-undang kesehatan pasal 72 juga memuat ketentuan mengenai

jaminan setiap orang untuk melakukan reproduksi. Dalam kasus ini aborsi dapat

dibenarkan berdasarkan prinsip legalimate defense (pembelaan diri yang sah).19

Adapun upaya perlindungan hukum bagi pelaku tindak pidana di atur dalam

Pasal 50--68 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana, mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat

perlindungan dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Peraturan Pemerintah

Nomor 61 tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Bab IV Indikasi

Kedaruratan Medis dan Perkosaan Sebagai Pengecualian Atas Larangan Aborsi

pada pasal20 :

1. Pasal 31

(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis; atau

b. kehamilan akibat perkosaan.

(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat

puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

19.
CB. Kusmaryanto, SCJ, .2022, Kontoversi Aborsi, Gramedia Widiasarana Indonesia
Jakarta, hlm.85.

20. .
https://www.jogloabang.com/kesehatan/pp-61-2014-kesehatan-reproduksi.

2. Pasal 32
22

(1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)

huruf a meliputi:

a. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau

b. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang

menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat

diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.

(2) Penanganan indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan sesuai dengan standar.

3. Pasal 33

(1) Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 32 dilakukan oleh tim kelayakan aborsi.

(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari 2 (dua)

orang tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan

kewenangan.

(3) Dalam menentukan indikasi kedaruratan medis, tim sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) harus melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar.

(4) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tim

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat surat keterangan kelayakan aborsi.

4. Pasal 34
23

(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)

huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan

dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan

dengan:

a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh

surat keterangan dokter; dan

b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan

perkosaan.

5. Pasal 35

(1) Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat

perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab.

(2) Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar;

b. dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang

ditetapkan oleh Menteri;

c. atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan;

d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;

e. tidak diskriminatif; dan

f. tidak mengutamakan imbalan materi.


24

(3) Dalam hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c

tidak dapat memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh

keluarga yang bersangkutan.

(4) Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) huruf d diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.

6. Pasal 36

(1) Dokter yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan

kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf

a harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi.

(2) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan anggota tim

kelayakan aborsi atau dokter yang memberikan surat keterangan usia kehamilan

akibat perkosaan.

(3) Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak mencukupi, dokter

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari anggota tim kelayakan

aborsi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diatur dengan Peraturan Menteri.

7. Pasal 37

(1) Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat

perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling.


25

(2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konseling pra

tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh

konselor.

(3) Konseling pra tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan

dengan tujuan:

a. menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi;

b. menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan

aborsi bahwa tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan

hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang;

c. menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan

kemungkinan efek samping atau komplikasinya;

d. membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil

keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk

melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi; dan

e. menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.

(4) Konseling pasca tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan

dengan tujuan:

a. mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi;

b. membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani

aborsi;

c. menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling

lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan; dan


26

d. menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah

terjadinya kehamilan.

8. Pasal 38

(1) Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk

melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf d atau tidak memenuhi ketentuan untuk

dilakukan tindakan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), korban

perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan.

(2) Anak yang dilahirkan dari ibu korban perkosaan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat diasuh oleh keluarga.

(3) Dalam hal keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menolak untuk

mengasuh anak yang dilahirkan dari korban perkosaan, anak menjadi anak asuh

yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

9. Pasal 39

(1) Setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan

kabupaten/kota dengan tembusan kepala dinas kesehatan provinsi.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pimpinan

fasilitas pelayanan kesehatan.


27

Apabila mengacu pasal 10 KUHP pokok dan pidana tambahan yang terdiri21 :

1. Pidana pokok : pidana mati : pidana penjara Kurungan denda

2. Pidana tambahan : pencabutan hak tertentu ; perampasan barang tertentu ;

pengumuman hakim.

Malpraktek kesehatan merupakan padanan atau terjemahan dari istilah dalam

bahasa inggris yaitu istilah Medical Malpractice sering pula dalam bahasa inggris

digunakan istilah Medical Negligence. Di Amerika Serikat sering disebut Medical

Error sebagai padaan kata Medical Malpractice atau Medical Negligence,

penulisan menggunakan istilah malpraktek kesehatan memberi definisi mengenai

Medical Malpractice.22

Karena pelaku malpraktek kesehatan bermacam-macam yaitu terdiri atas

tenaga medis, tenaga kesehatan, dan fasilitas pelayanan kesehatan. Apabila pelaku

malpraktek adalah bidan maka disebut malpraktek kebidanan, demikian pula

seterusnya.

Sehubungan dengan makin maraknya malpraktek kesehatan di Indonesia

pemerintah hendaknya dari waktu ke waktu selalu menyemnpurnakan berbagai

peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan sebagai pelaksanaan amanat

pasal 34 ayat (3) UUD 1945 tersebut maka disarankan agar pemerintah

malakukan dalam menyempurnakan Undang-Undang dan peraturan perundang-

undangan di bidang kesehatan yang telah ada.

21.
Alexandra Ide, 2012, Etika Hukum dalam Pelayanan Kesehatan, Grasia Book,
Publisher, Yogyakarta, hlm.60.
22.
Prof. dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH, Hukum Malpraktek Tenaga Medis, Jilid I, hlm.51.
28

UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan mengantikan UU Nomor 6

Tahun 1963 tentang Tenaga Medis.Kemudian UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang

Kesehatan telah digantikan oleh UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka Penulis memberikan

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana izin dan penyelenggaraan praktek bidan ?

2. Bagaimana pertanggung jawaban tindak pidana aborsi yang dilakukan

oleh bidan ?

C. Ruang Lingkup

Setiap penelitian diperlukan adanya ruang lingkup/fokus penelitian, untuk

membatasi studi dan untuk menetukan kriteria-kriteria kemudian memasukkan

atau mengeluarkan suatu informasi yang diperoleh di lapangan. Artinya metode

kuantitatif merupakan metode penelitian yang berbasis pada filsafat positivisme,

yang mana digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu, yang

umumnya pengambilan sampelnya dilakukan secara random, dan data

dikumpulkan menggunakan instrumen penelitian, lalu dianalisis secara

kuantitatif/statistik dengan tujuan menguji hipotesis yang telah ditetapkan.23

Sugiyono, 2014 ,Metode Penelitian kuantitatif, kualitatif dan R & D .Alphabeta:


23.

Bandung, hlm. 5.
29

Sejalan dengan hal tersebut, peneliti mengadakan rekonfirmasi data. Adapun

fokus dalam penelitian ini adalah izin dan penyelenggaraan praktek bidan serta

pertanggung jawaban tindak pidana aborsi yang dilakukan oleh bidan di Dinas

Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan Undang-Undang RI No. 36

Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

D. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai pada penulisan ini, yaitu:

a. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pelaku

melakukan aborsi.

b. Untuk mengetahui upaya penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan

aborsi.

c. Untuk mengetahui hambatan apa saja yang dialami para penegak hukum

dalam menanggulangi kejahatan aborsi.

d. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materil terhadap pelaku

penyertaan dalam tindak pidana aborsi.

e. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan

putusan terhadap pelaku penyertaan dalam tindak pidana aborsi.

2. Manfaat Penelitian
30

Hasil penelitian tersebut diharapkan mampu memberikan manfaat-manfaat

sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat perkembangan wawasan

keilmuan bidang hukum pidana, terutama dalam hal tindak pidana aborsi.

Menambah bahan referensi bagi mahasiswa fakultas hukum pada umumnya dan

pada khususnya bagi Penulis sendiri dalam menambah pengetahuan tentang ilmu

hukum kususnya tentang tindak pidana aborsi dan menjadi salah satu bahan

informasi atau masukan bagi proses pembinaan kesadaran hukum bagi masyarakat

untuk mencegah terulangnya peristiwa yang serupa

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan sekiranya dapat memberikan suatu pemecahan atau

penyelesaian masalah bagi kalangan akademisi dan ilmuwan khususnya dalam

bidang hukum terhadap pelaku tindak pidana aborsi. Memberikan sumbangsih

terhadap perkembangan hukum di Indonesia, khususnya di bidang kesehatan dan

menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi pemerintah agar lebih

memperhatikan penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam penegakan

hukum terhadap tindak pidana aborsi.


31

E. Kerangka Teori

1. Kerangka Teoritis

Sesuai judul yang penulis bahas yaitu Tindak Pidana Aborsi Yang Dilakukan

Oleh Bidan Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Menurut

Black’s Law Dictionary, keguguran yang berupa keluarnya embrio atau fetus

semata-mata bukan karena terjadi secara alami (spontan), tapi juga karena

disengaja atau terjadi karena adanya campur tangan (provokasi) manusia.24

Teori keadilan menurut Plato, ialah diluar kemampuan manusia biasa yang

mana keadilan tersebut hanya ada di dalam suatu hukum dan juga perundang-

undangan yang dibuat oleh para ahli. Macam atau jenis keadilan menurut

Plato,yaitu:

a. Keadilan Moral ialah suatu keadilan yang terjadi jika mampu untuk dapat

memberikan perlakukan seimbang antara hak dan juga kewajibannya.

b. Keadilan Prosedural ialah suatu keadilan yang terjadi jika seseorang dapat

melaksanakan perbuatan sesuai dengan sesuai tata cara yang diharapkan.

Plato berpikir sangat realistis mengenai tujuan dan pentingnya hukum dan

undang-undang itu sendiri. Menurut Plato, hukum bukan semata-mata untuk

menjaga ketertiban saja, melainkan sebagai obat untuk menyembuhkan kejahatan

manusia.25 Jadi, hukum menurut Plato adalah sebagai obat untuk menyembuhkan

penyakit rasional jiwa manusia, yaitu kejahatan. Dengan pembuatan hukum oleh
32

pemimpin yang cerdas, bermoral, dan bijaksana, yaitu filsuf-raja, maka hukum

dapat memenuhi fungsinya tersebut sehingga dapat mewujudkan sebuah negara

yang ideal yang diharapkan oleh Plato.

24.
Suryono Ekotama,et.al, op.cit., h. 31.
25.
J.H Rapar, Filsafat Politik, Grafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 83.

Enrico Ferri berpendapat bahwa kejahatan dapat dijelaskan melalui studi

pengaruh-pengaruh interaktif di antara faktor-faktor fisik (seperti ras, geografis,

serta temperatur), dan faktor-faktor social seperti (umur, jenis kelamin, variable-

variable psikologis). Dia juga berpendapat bahwa kejahatan dapat dikontrol atau

diatasi dengan perubahan-perubahan sosial, misalnya subsidi perumahan, kontrol

kelahiran, kebebasan menikah dan bercerai, fasilitas rekreasi, dan sebagainya.26

Pendapat Enrico Ferri tersebut dapat ditemukan pada edisi pertama bukunya

Sosiologia Criminale,yang mengkalsifikasikan lima kelompok penjahat :

a. The born criminals atau instinctive criminals.

b. The insane criminals (secara klinis diidentifikasi sebagai sakit mental).

c. The passion criminals (melakukan kejahatan sebagai akibat problem mental

atau keadaan emosional yang panjang serta kronis)


33

d. The occasional criminals (merupakan produk dari kondisikondisi keluarga

dan sosial lebih dari problem fisik atau mental yang abnormal).

e. The habitual criminals (memperoleh kebiasaan dari lingkungan social)

Pada edisi kelima dari bukunya Enrico Ferri menambah satu lagi penjelasan baru

tentang kejahatan yaitu the involuntary criminals.27

26.
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, kriminologi, Cetakan X, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2010, h. 39.
27.
Ibid, h. 40.
Teori Efek Jera Menurut Wayne R Lafave menyebutkan bahwa salah satu

tujuan pidana adalah sebagai deterrence effect atau efek jera agar pelaku kejahatan

tidak lagi mengulangi perbuatannya. Tujuan sebagai deterrence effect pada

hakikatnya sama dengan teori relative terkait dengan prevensi khusus.Jika

prevensi umum bertujuan agar orang lain tidak melakukan tindak pidana, prevensi

khusus ditujukan terhadap pelaku kejahatan yang telah dijatuhi hukuman agar

tidak lagi mengulangi kejahatannya.28

2. Kerangka Konseptual

Untuk memberikan pedoman yang lebih jelas mengenai penelitian ini,maka perlu

memahami definisi-definisi berikut:

a. Kesehatan Reproduksi

Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan

sosial secar utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang
34

berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan

perempuan, khususnya lebih mengutamakan pada kesehatan perempuan

karena meliputi; saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah

melahirkan; pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual;

dan kesehatan sistem reproduksi29.

28.
Wayne R Lafave, 2010, Principle Of Criminal Law,West A Thomson Reuters Business,
Hlm.2.
29.
Sri Siswati,Op.Cit., h. 71
b. Korban

Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan

orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang

bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. 30

c. Kriminologi

Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang

kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Topinard (1830-1911)

seorang ahli antropologi Perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen”

yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu

pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tetang kejahatan atau

penjahat.31

F. Metode Penelitian
35

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif.Penelitian deskriptif menurut

Sugiyono, yaitu penelitian yang dilakukan tanpa membuat perbandingan atau

menghubungkan dengan variabel yang lainnya.32 Sedangkan pendekatan

kuantitatif adalah metode penelitian metode ilmiah karena telah memenuhi

kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit, objektif, terukur, rasional dan sistematis.

Metode pendekatan kuantitatif cocok digunakan untuk mendapatkan informasi

yang luas tetapi tidak mendalam. Bila populasi terlalu luas, maka penelitian dapat

menggunakan sampel yang diambil dari populasi tersebut.

1. Jenis dan Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah Penelitian Hukum Normatif

(Yuridis Normatif) yaitu Penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan norma

dan kaidah dan peraturan perundangan, khususnya yang berkaitan dengan tindak

pidana aborsi. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum deskriptif

analisis. Dalam artian penelitian ini diharapkan mampu melukiskan gambaran

secara sistematis, terperinci dan menyeluruh tentang Tindak Pidana Aborsi Yang

Dilakukan Oleh Bidan Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Dalam hal ini pembahasan analisis mengenai ruang lingkup tindak pidana aborsi

dimaksudkan untuk dapat memperoleh pemaparan yang lebih jelas tentang

pertanggungjawaban pelaku tindak pidana aborsi.

2. Sumber Data
36

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menganalisis data tersebut

adalah dengan data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti

dari berbagai sumber yang telah ada. Data dapat diperoleh dari berbagai sumber

seperti studi kepustakaan, wawancara, dengan cara mempelajari berbagai buku

sebagai bahan acuan, laporan, jurnal, putusan pengadilan, dan lain-lain. Bahan

Hukum Sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu sebagai berikut :

a) Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang undangan secara

hierarki dan putusan-putusan pengadilan.

b) Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang terdiri atas buku, jurnal, pendapat para pakar.

c) Bahan Hukum Tersier

Yaitu Bahan hukum yang berbentuk kamus hukum serta ensklopedi yang

berkaitan dengan bidang hukum.

3. Teknik Analisis Data

Pengolahan data menggunakan metode deskriptif analisis yaitu data yang

digunakan melalui pendekatan kualitatif terhadap fakta sosial sebagai kajian

hukum empiris. Yang dimaksud di sini adalah dengan mengambarkan suatu gejala

yang timbul dalam masyarakat melalui pengamatan yang dilakukan oleh penulis
37

untuk menentukan isi dan makna dari aturan hukum yang dijadikan pedoman

dalam menyelesaikan pemasalahan hukum yang telah menjadi objek kajian.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis sesuai dengan pedoman yang ada dalam

penulisan laporan penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, ruang

lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan

konseptual, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

30.
Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, jakarta,
2011, h. 9.
31.
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa,Op.Cit., h. 9
32.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. hlm. 6

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan teori, azas, sistem, doktrin, dalil, konsepsi

tentang hukum. Ruang lingkup tinjauan pustaka meliputi segala

hal yang bersumber pada bahan-bahan informasi ilmiah, hasil

seminar, diskusi, hasil penelitian yang tertuang di dalam desertasi,

tesis, skripsi, dan karya-karya penelitian yang lain.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraian mengenai hasil penelitian yang diperoleh dan

analisis hasil penelitian penulis.


38

BAB IV : PENUTUP

Bab ini menguraian mengenai kesimpulan dan saran-saran dari

hasil penelitian penulis.


39

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Rocky Marbun, Deni Bram, Yuliasara Isnaeni dan Nusya A., 2012, Kamus
Hukum Lengkap (Mencakup Istilah Hukum & Perundang-Undangan Terbaru,
Cetakan Pertama, Visimedia, Jakarta, hlm. 2.

Ibid. hlm. 54.

R. Abdoel Djamali, 1984. Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali, Jakarta,


hlm.169.

Ita Musyarofa, Wacana Hak Asasi Manusia Dalam Perbedatan “Aborsi’’


Jurnal Studi Gender Indonesia, Vol 02, No. 01, Agustus 2011, hlm. 37.

Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika & Hukum Kesehatan, PT Rineka Cipta,


Jakarta, hlm. 135–136.

Rahardjo, Soetjipto. 1983. Permasalahan Hukum Di Indonesia. Bandung:


Alumni

Chazawi, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Raja Grafimdo


Persada,Jakarta, hlm.124.

Ibid.,hlm125.

Ibid.,hlm126.

Eny Kusmiran, 2011, Kejabatan Reproduksi Remaja dan Wanita, Selemba


Medika, Jakarta, hlm.18.

CB. Kusmaryanto, SCJ, .2022, Kontoversi Aborsi, Gramedia Widiasarana


Indonesia Jakarta, hlm.85.

Alexandra Ide, 2012, Etika Hukum dalam Pelayanan Kesehatan, Grasia


Book, Publisher, Yogyakarta, hlm.60.

Prof. dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH, Hukum Malpraktek Tenaga Medis, Jilid
I, hlm.51.
40

Sugiyono, 2014, Metode Penelitian kuantitatif, kualitatif dan R &


D .Alphabeta: Bandung, hlm. 5.

Suryono Ekotama,et.al, op.cit., h. 31.

J. H Rapar, Filsafat Politik, Grafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 83.

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, kriminologi, Cetakan X, Raja


Grafindo Persada,
Jakarta, 2010, h. 39.

Ibid, h. 40.

Wayne R Lafave, 2010, Principle Of Criminal Law,West A Thomson Reuters


Business, Hlm.2.
Sri Siswati,Op.Cit., h. 71

Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar


Grafika, jakarta,
2011, h. 9.

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa,Op.Cit., h. 9

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. hlm. 6

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, hlm. 58-60.

Undang-Undang RI No.36 Tahun 2014, Pasal 84 tentang tenaga kesehatan.

Permenkes RI Nomor : 1464/Menkes/PER/X/2010.

C. Internet :

https://www.jogloabang.com/kesehatan/permenkes-28-2017-izin-praktik-
bidan
41

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190905083743-255-427668/
alasan-alasan-medis-yang-anjurkan-perempuan-untuk-aborsi, Diakses pada
tanggal 24 November 2022 pukul 17 :00 wib.
https://mh.uma.ac.id/ancaman-pidana-aborsi-ilegal/ Diakses pada tanggal 26
November 2022 pukul 20 :00 wib.
https://news.detik.com/berita/d-3168361/bayi-meninggal-dalam-kondisi-
mengenaskan-pasutri-di- palembang-laporkan-bidan,

https://manaberita.com/2017/12/malpraktek-dari-rahim-jebol-sampai-dijahit-
acak-acakan-ibu-satu-anak-ini-curhat-di-facebook/
.
https://www.jogloabang.com/kesehatan/pp-61-2014-kesehatan-reproduksi.

Anda mungkin juga menyukai