Anda di halaman 1dari 43

DOA BELAJAR

“Aku ridho Allah SWT sebagai Tuhanku, Islam sebagai


agamaku, dan Nabi Muhammad sebagai Nabi dan
Rasul, Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu dan
berikanlah aku kefahaman”
LEGAL ASPEK DALAM PELAYANAN
KEBIDANAN

By Farida Kartini
Dasar Asuhan Kebidanan Persalinan
Juni 2019
Bekerjalah sesuai kewenangan dan prosedur
yang ada, jangan lupa setiap melakukan
tindakan/prosedur selalu diiringi do'a minta
selalu dilindungi Allah pada setiap
tindakan/prosedur yang kita kerjakan.
Capaian Pembelajaran

Memahami aspek legal dalam pelayanan


kebidanan
Ruang lingkup
Dalam pembahasan aspek legal bisa jadi
terdapat sudut pandang yang berbeda.

“Aspek legal” dapat dipahami sebagai “sisi


hukum, sudut pandang hukum, terkait dengan
“praktik bidan.”
Secara garis besar aspek hukum/yuridis pada praktik
bidan ada 3 aspek:
1. Aspek administrative
2. Aspek keperdataan
3. Aspek pidana

Ketiga aspek tersebut saling terkait.


- Aspek administrative, berarti berkaitan dengan
adinistrasi. Menurut KBBI, administrasi adalah usaha
dan kegiatan yg meliputi penetapan tujuan serta
penetapan cara cara penyelenggaraan pembinaan
organisasi, usaha dan kegiatan yg berkaitan dg
penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai tujuan.
Dalam konteks hokum administrasi Negara,
administrasi dalam arti sempit adalah segala kegiatan
tulis menulis, catat mencatat, surat menyurat serta
pengurusan masalah masalah yg bersifat ketata
usahaan
Dari pengertian tersebut maka dapat dipahami bahwa aspek
administrative dalam praktik bidan adalah segala kegiatan yg
meliputi penetaapan tujuan praktik bidan serta bagaimana
tujuan itu dicapai. Sebagaimana tertuang dalam Penjelasan
Umum Undang-undang No. 4 Tahun 2019 Tentang Kebidanan,
tujuan dari pelayanan kebidanan adalah merupakan bagian
dari upaya mencapai tujuan nasional, yaitu melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, turut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadian
sosial.
Guna mencapai tujuan tersebut, UU
Kebidanan secara garis besar mengatur tetang
bidan & kebidanan, pendidikan bidan,
perijinan, hak, kewajiban dan wenang serta
hal-hal lain terkait kebidanan, bidan dan
praktik bidan.

9
- Aspek keperdataan, menyagkut hubungan
bidan dengan klien/ pasien, terkait hak dan
kewajiban masing masing pihak.
- Aspek pidana, menyangkut hal-hal yg bisa
dikenai sanksi pidana terkait dengan
tindakan/ kejadian-kejadian dalam
menjalankan prakktik bidan.

10
ASPEK AMINISTRATIF
Aspek administrasi pada praktik bidan
berpokok pada perijinan dan kewenangan
seseorang untuk berpraktik sebagai bidan. Hal
tersebut bermula dari persyaratan pendidikan
minimal, dan dilanjutkan dengan ketentuan-
ketentuan adminstrasi lain.
Ingat!
A. Pendidikan
1. Pendidikan akademik (S1, S2, S3) => Ps 4 jo. Ps 5 (1)
2. Pendidikan vokasi (D III) => Ps 4 jo. Ps 6 (1)
3. Pendidikan Profesi => Ps 4
4. Pendidikan setara sarjana (D IV) Ps 6 (2)
B. Uji kompetensi
Uji kompetensi ditujukan untuk mencapai standar kompetensi
bidan, diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerjasama dg
organsisasi profesi, lembaga pelatihan tenaga kesehatan, atau
lembaga sertifikasi profesi tenaga kesehatan yg terakreditasi.
Uji kompetensi ini diperuntukan bagi pendidikan jenjang D III
dan pendidikan profesi.
Standar kompetensi bidan yang ada sampai saat ini, merujuk
Pasal 79 UU Kebidanan, masih mengacu pada Kepmenkes RI
No. 369/Menkes/SK/III/2007.
C. Registrasi & Ijin Praktik
Registrasi dan Ijin Praktik diatur dalam Bab III Pasal
21 sampai dengan Pasal 30 UU Kebidanan. Secara
umum ketentuan mengenai registrasi dan ijin praktik
menurut UU tersebut tidak banyak berbeda dengan
ketentuan yang ada sebelumnya, yaitu Permenkes
No. 1464/Menkes/Per/X/2010. Yang berbeda pada
jenjang pendidikan kebidanan yang boleh praktik
mandiri. Permenkes 1464/Menkes/Per/X/2010 
DIII, UU Kebidanan pendidikan profesi kebidanan.
Bidan DIII yang berpraktik mandiri sebelum lahirnya UU
kebidanan diberi waktu untuk mengadakan
penyesuaian selambat-lambatnya 7 tahun sejak UU
kebidanan di undangkan.
D. Kewenangan
Secara kronologis, kewenangan bidan diatur dg peraturan-
peraturan sebagai berikut :
1. Tahun 1963, Permenkes No. 5380/IX/1963, wewenang
bidan terbatas pada pertolongan persalinan normal
secara mandiri di samping tugas yang lain.
2. Tahun 1980 diterbitkan Permenkes Nomor
363/Menkes/Per/X/1980 yang kemudian diubah dengan
Permenkes 623/1989, wewenang bidan dibagi menjadi 2
yaitu wewenang umum dan khusus dalam hal ini bidan
melaksanakan tindakan dibawah pengawasan dokter.
3.Tahun 1996 kewenangan bidan diatur dalam
Permenkes no 572/VI/1996 tentang registrasi dan
praktek bidan.
4.Tahun 2002, Permenkes 572/96 dinyatakan tidak
berlaku dengan dikeluarkannya Keputusan Meneteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor
900/MENKES/SK/VII/2002 Tentang Registrasi dan
Praktek Bidan. Kewenangan bidan dalam regulasi
tahun 2002 lebih luas dibandingkan dengan regulasi
dalam peraturan sebelumnya.
5. Tahun 2010, kewenangan yang luas menurut Kepmenkes No.
900 tersebut kemudian dikurangi dengan diterbitkannya
peraturan yang menggantikannya yaitu Peraturan Menetri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010 Tentang Ijin dan Penyelenggaraan
Praktek Bidan.
6. Tahun 2019 diterbitkan UU No. 4 Tahun 2019 Tentang
Kebidanan. Namun karena peraturan pelaksana dari UU
tersebut belum diterbitkan, maka Permenkes No. 1464 masih
berlaku, sejauh ketentuannya tidak bertentangan dg UU.
Dari berbagai aturan hukum di atas, kewenangan bidan pada
asuhan persalinan dapat diuraikan sebagi berikut :

a. Pelayanan kesehatan ibu (Ps 49 UUKeb., jo. Ps 10 Permenkes


1464/2010)
Ruang lingkup:
1. Pelayanan konseling pada masa pra hamil
2. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
3. Pelayanan persalinan normal
4. Pelayanan ibu nifas normal
5. Pelayanan ibu menyusui
6. Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan
Kewenangan:
1. Episiotomi
2. Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II
3. Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan
4. Pemberian tablet Fe pada ibu hamil
5. Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas
6. Fasilitasi/ bimbingan inisiasi menyusu dini (IMD) dan promosi air susu ibu (ASI)
eksklusif
7. Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum
8. Penyuluhan dan konseling
9. Bimbingan pada kelompok ibu hamil
10. Pemberian surat keterangan kematian
11. Pemberian surat keterangan cuti bersalin
b. Pelayanan kesehatan anak (Ps 50 UUKeb., jo.
Ps 11 Permenkes 1464/2010)
Ruang lingkup:
1. Pelayanan bayi baru lahir
2. Pelayanan bayi
3. Pelayanan anak balita
4. Pelayanan anak pra sekolah
Kewenangan:
1. Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi,
pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini (IMD), injeksi vitamin K 1,
perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hari), dan
perawatan tali pusat
2. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk
3. Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan
4. Pemberian imunisasi rutin sesuai program Pemerintah
5. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah
6. Pemberian konseling dan penyuluhan
7. Pemberian surat keterangan kelahiran
8. Pemberian surat keterangan kematian
E. Informed consent
Informed consent sebagaimana diterangkan
dalam Permenkes Nomor
290/Memkes/Per/III/2008 Pasal 1 ke 1 adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat
setelah mendapat penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap
pasien.
Secara umum, pengaturan tentang informed consent dapat
dijumpai dalam beberapa peraturan perudang-udangan yaitu :

1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang


Kesehatan
2. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang
Tenaga Kesehatan
3. Permenkes Nomor 290/MENKES/Per/III/2008
4. Permenkes Nomor 1464/MENKES/Per/X/2010
F. Sanksi administrative
Secara umum, sanksi administrative bagi
profesi dalam berbagai peraturan perundang
undangan, biasanya berjenjang dari teguran
lisan, teguran tertulis, skrsing dan
pencaabutan ijin praktik.
ASPEK PERDATA
Suatu pelayanan bidan pada pasien, pada
hakikatnya adalah suatu bentuk hubungan
keperdataan, yaitu sebuah perjanjian antara
bidan degan pasien yang dengan itu
melahirkan hak dan kewajiban pada masing2
pihak.
Suatu perjanjian sah, sebagaimana diatur dalam Pasal
1320 KUHPdt adalah jika perjanjian tersebut
memenuhi syarat sebagai berikut :
1.Perjanjian tersebut dibuat atas dasar kesepakatan
para pihak yang membuatnya
2.Perjanjian tersebut dilakuan oleh para pihak yang
cakap
3.Perjanjian tersebut memiliki obyek yang jelas
4.Perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan
hukum/ memiliki kausa yang halal.
Sah atau tidaknya suatu perjanjian akan berdampak pada
dapat tidaknya salah satu pihak dituntut oleh pihak lain untuk
melaksanakan isi perjanjian dan pada dapat tidaknya satu
pihak menuntut ganti kerugian pada pihak lain.

Syarat nomor 1 dan 2 disebut syarat subyektif. Apabila salah


satu syarat tersebut tidak terpenuhi, atas permohonan pihak
yang bersangkutan perjanjian dapat dibatalkan oleh hakim,
artinya, sebelum perjanjian dibatalkan, perjanjian tetap
berlaku. Syarat nomr 3 dan 4 disebut syarat obyektif, jika
salah satunya tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi
hukum, perjanjian dianggap tidak pernah ada.
Ketentuan syarat sahnya perjanjian
sebagaimana disebutkan di atas diterapkan
dalam hubungan antara bidan dengan pasien
dalam layanan kebidanan oleh bidan, dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Adanya Kesepakatan Para Pihak
2. Adanya Kecakapan Para Pihak
3. Adanya Hal Tertentu/ Obyek Perjanjian
4. Kausa Yang Halal
ASPEK PIDANA
Berbeda dengan Undang-undang profesi lain yang
mengatur ketentuan pidana bagi orang yg berpraktik
dalam profesi yang bersangkutan (misalnya UU
Advokat & UU Praktik Kedokteran), UU Kebidanan
tidak memuat ketentuan pidana.

Ketentuan pidana dalam suatu UU ataupun aturan


pidana pada umumnya, antara lain mempunyai
tujuan untuk perlindungan masyarakat dari
perbuatan pidana.
MALPRAKTIS MEDIS
Menurut KBBI, malpraktik (malapraktik) adalah praktik kedokteran yang
dilakukan salah, atau tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode
etik. Munir Fuadi, sebagaimana dikutip oleh Alexandra Ide, mengartikan
malpraktik adalah segala tindakan oleh dokter atau orang di bawah
pengawasannya, atau penyedia layanan kesehatan, yang dilakukan
terhadap pasien, yg dilakukan secara melanggar hukum, kepaatutan,
kesusilaan dan prinsip2 profesional, baik sengaja atau karena kelalaian,
yang menyebabkan rasa sakit, cacat, kematian atau kerugiaan lain, yg
menyebabkan dokter atau perawat harus bertanggungjawab baik secara
administrasi, perdata, atau pidana. Definisi yang kurang lebih sama,
diberikan oleh Soekidjo Notoatmodjo Alexandra Ide, S.H.,M.Hum., Etika &
Hukum dalam Pelayanan Kesehatan, Grasia, Yogyakarta, 2012 hal. 291
Dari definisi di atas, tanpa menyebut kata “medis”,
malpraktik sudah menunjuk pada persoalan medis.
Batasan seperti ini kurang tepat, sebab dalam
kenyataan sehari hari, praktik buruk bisa terjadi
dalam berbagai bidang kehidupan. Maka berbeda dg
pendapat di atas, M. Yusuf Hanafiah mengartikan
malpraktik sebagai praktik yang buruk, bukan hanya
dalam profesi medis, tapi juga dalam profesi yang
lain seperti pengacara, akuntan dan wartawan
Dari simpulan mengenai malpraktik tersebut, maka untuk
menilai suatu tindakan itu malpraktik, harus dilihat ada atau
tidaknya hal-hal sebagai berikut:
1. Ada atau tidak adanya kerugian yg diderita oleh penerima
tindakan;
2. Ada atau tidak adanya persetujuan/ informed consent;
3. Terpenuhi atau tidaknya standar profesi pemberi/ pelaku
tindakan;
4. Sesuai atau tidak sesuainya tindakan dengan prosedur yang
seharusnya.
Prof. Dr. Bambang Purnomo, S.H., dalam sebuah seminar hukum
kesehatan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada th
1995, menentukan ada atau tidaknya malpraktik medis dengan
kriteria :
1. Standar Profesi;
2. Informed Consent;
3. Prosedur;
4. Rekam Medis.
- Tanpa mempersoalkan informed consent dan
hal lainnya, tindakan yg dilakuakn tanpa
adanya standar profesi, adalah malpraktik.
- Tanpa mempersoalkan prosedur dan hal
lainnya, tindakan yang dilakukan tanpa
adanya informed consent, adalah malpraktik.
- Begitu juga, tanpa mempersoalkan hal lain,
tindakan yang tidak sesuai prosedur, adalah
malpraktik.
Malpraktik, adalah suatu kesalahan tindakan
yang berakibat buruk bagi pasien. Tetapi, akibat
buruk dari suatu tindakan tidak selalu karena
malpraktik. Dapat diperkarakannya suatu
tindakan, itu harus dikarenakan adanya
malpraktik. Tapi tidak semua malpraktik harus
diperkaraan.
Tidak semua akibat buruk adalah karena kesalahan atau
kelalaian dokter (profesi), tetapi juka ada akibat di luar
kesalahan dokter, bahkan karena sesuatu yang tidak bisa
diprediksi, misalnya anafilaktik shock. Kejadian semacam
anafilaktik shock tidak bisa disebut malpraktik, dengan demikian
dokter tidak bisa dituntut karenanya. Dan sebaliknya, sesuatu
yang jelas malpraktik pun tidak selalu harus diperkarakan,
terganntung berat ringannya kerugian yang diderita dan
bagaimana para pihak bisa menyelesaikannya dengan baik, arif
dan bijaksana.
Secara hukum, jika suatu kejadian memenuhi kualifikasi
sebagai malpraktik, maka pelakunya dapat dituntut
baik secara pidana maupun perdata. Tuntutan pidana,
ditujukan pada tuntutan agar pelaku dipidana karena
kesalahan yg diakukannya, sedangkan tuntutan perdata
ditujukan agar kerugian pasien sedapat mungkin
dikurangi/dihilangkan. Jadi, titik berat pidana adalah
pada kesalahan pelaku, dan titik berat perdata adalah
pada kerugian korban.
Malpraktik adalah sebuah masalah, maka sebisa mungkin
dihindari/diantisipasi. Untuk mengantisipasi hal tersebut,
seorang professional (dalam hal ini bidan) harus melakukan hal-
hal sebagai berikut :
1. Selalu meningkatkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan
dalam bidang kebidanan, sebab salah satu tolok ukur malpraktik
adalah standar profesi. Secara legal, keilmuan ini akan tertuang
dalam sertifikat profesi/ sertifikat kompetensi. Ketika seseorang
telah memiliki sertifikat kompetensi/ sertifikat profesi, bukan
berarti boleh berhenti belajar, sebab ilmu pengetahuan selalu
berkembang. Ketertinggalan dalam ilmu, bidan bisa terkena
malpraktik bukan dari sisi standar profesi saja, tapi mungkin
terkena malpraktik dari sisi prosedur.
2. Selalu menerapkan informed consent sebelum melakukan
tindakan. Informed consent dapat bersifat implied consent
maupun expressed consent. Tindakan tanpa IC, adalah
malpraktik.

3. Selalu melakukan tindakan sesuai prosedur. Tindakan tidak


sesuai prosedur, adalah malpraktik.

4. Selalu mencatat rekam medis (atau nama lain semacamnya)


hal ini penting sebagai aspek legal dalam pembuktian
perkara hukum.
REFERENSI
S.F. Marbun & Moh Mahfud M.D., Pokok-pokok Hukum Administrasi Nagara, Liberty, Yogyakarta, 2006.
Mustika Sofyan, 50 Tahun Ikatan Bidan Indonesia, Bidan Menyongsong Masa Depan, PP IBI, 2003
Istri Yuliani, Analisis Korelasi Tingkat Pengetahuan Bidan Tentang Aspek Hukum Informed Consent Dan
Implementasinya Pada Pelayanan Persalinan Oleh Bidan Praktik Swasta Di Kabupaten Sleman,
respati.ac.id, http: //journal.respati.ac.id./index.php/medika/ article/download/113/109
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 2012.
Desriza Ratman, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi Terapeutik, Keni Media,
Bandung, 2013.
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan, Pertanggungjawaban Dokter, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2005.
Alexandra Ide, S.H.,M.Hum., Etika & Hukum dalam Pelayanan Kesehatan, Grasia, Yogyakarta, 2012.
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo, Etika & Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.
DOA SESUDAH BELAJAR
‫الر ِح ِيم‬
‫الر ْح َم ِن ه‬
‫َّللا ه‬
ِ ‫س ِم ه‬
ْ ِ‫ب‬

ُ‫ار ُز ْقنَا ا ْجتِنَابَه‬


ْ ‫اطالً َو‬ ِ َ‫ار ُز ْقنَا اتِـبَاعَه ُ َوأ َ ِرنَا ا ْلب‬
ِ َ‫اط َل ب‬ ‫اَلله ُه هم أ َ ِرنَا ا ْل َح ه‬
ْ ‫ق َحقًّا َو‬

Ya Allah, Tunjukkanlah kepada kami kebenaran


sehinggga kami dapat mengikutinya Dan
tunjukkanlah kepada kami kejelekan
sehingga kami dapat menjauhinya

Anda mungkin juga menyukai