Anda di halaman 1dari 7

Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah p-ISSN 2623-1611

Volume 3 Nomor 1 Halaman 143-149 April 2018 e-ISSN 2623-1980

JENIS GULMA RAWA SEBAGAI PESTISIDA NABATI TERHADAP ULAT GRAYAK


(Spodoptera litura F.)

Syaiful Asikin
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Banjarbaru

Abstrak
Hama ulat grayak merupakan jenis hama yang sangat sulit dikendalikan, karena hama ini cepat beradaptasi dengan
keadaan lingkungan. Hama ini dapat menyerang beberapa jenis tanaman terutama jenis tanaman sayuran. Pada
umumnya dalam mengendalikan hama ini selalu bertumpu dengan pestisida kimiawi. Akibat penggunaan pestisida
kimiawi yang kurang bijak, dapat menyebabkan berdampak negatif bagi lingkungan dan bagi pengguna dan hewan
peliharaan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dicari alternatif pengendalian yang ramah lingkungan yaitu dengan
menggunakan tanaman sebagai pestisida/insektisida nabati. Tanaman gulma pada umumnya selalu diartikan bersifat
negatif karena dapat menjadi sairangan dalam pengambilan hara dan dapat mengggangu proses fotosintesa karena
persaingan dalam mendapatkan sinar matahari. Tetapi dilain pihak ada juga gulma yang dapat dijadikan bahan
insektisida botani/nabati. Dari hasil penelitian jenis gulma tegari, babadotan, kirinyu, peletekan dan anting-anting
sebagai insektisida nabati dalam mengendalikan hama ulat grayak, dengan persentase mortalitas larva sekitar 81,33%,
80,0%, 82,66%, 80,00% dan 81,33%. Dengan demikian tanaman gulma tersebut perlu dilestarikan sekadar untuk
bahan penelitian pestisida/insektisida nabati dalam mengendalikan hama ulat grayak.

Kata Kunci: gulma, pestisida nabati, ulat grayak

1. PENDAHULUAN resistensi wereng batang coklat terhadap insektisida


imidakloprid dan tiametoksam umum terjadi di Asia
Dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman Timur dan Indochina, kecuali Filipina, sedangkan
sekarang ini masih bermitra dengan pestisida wereng batang coklat yang tahan terhadap
kimiawi dan apabila penggunaannya yang kurang insektisida fipronil ditemukan di Asia dan Asia
bijaksana akan menyebabkan terjadinya seperti Tenggara.
terbunuhnya musuh alami, terjadinya hama baru, Peran gulma di dalam ekosistem pertanian
terjadinya resistensi dan resurgensi, pencemaran dapat dipandang sebagai organisme pengganggu
lingkungan dan kesehatan manusia dan hewan tanaman, karena memiliki daya kompetisi yang
peliharaan. Namun, harus diakui bahwa dampak tinggi, dapat tumbuh secara cepat, dan daya serap
negatif penggunaan pestisida Indonesia merupakan yang tinggi terhadap unsur-unsur yang tersedia di
negara yang tidak bijaksana terhadap kesehatan tanah (Ross & Lembi 1988). Namun tidak semua
dan lingkungan sudah banyak dipublikasi sehingga gulma menjadi musuh bagi petani. Interaksi antara
berbagai upaya untuk memimalkan dampak gulma dan tanaman produksi menyebabkan
negatifnya perlu dilakukan. Penggunaan pestisida berkurangnya hasil tanaman produksi. Sinyalemen
dengan bahan aktif yang sangat toksik dan sulit ini berhubungan erat dengaan arah dan strategi
terdegradasi juga menimbulkan berbagai dampak pengelolaan gulma yang bertujuan untuk
negatif pada lingkungan, seperti hilangnya mengendalikannya seoptimal mungkin. Di sisi lain,
keragaman hayati, menurunnya populasi organisme penggunaan gulma secara langsung maupun tidak
berguna seperti musuh alami, dan pencemaran langsung, sangat bermanfaat untuk bahan baku
lingkungan (Isenring 2010). Munculnya OPT yang pupuk, industri, obat-obatan, sayuran, biofilter,
resisten terhadap pestisida sintetis sudah lama makanan ternak, makanan ikan, inang hama, dan
diketahui. Menurut Bellinger (1996), ada lebih dari alat penjernih limbah cair rumah tangga. Penggalian
500 spesies serangga dan tungau, 270 spesies berbagai potensi gulma itu, telah banyak yang
gulma, 150 patogen tanaman, dan beberapa melaporkan (Everaats 1981), dilakukan melalui
spesies tikus yang tahan terhadap pestisida. Di pengetahuan kearifan lokal, inventarisasi, koleksi
antaranya, terdapat lebih dari 1.000 kombinasi dan pelestarian plasma nuftahnya. Untuk
serangga/insektisida yang tahan (multiple resistan) pelestarian gulma yang bermanfaat masih ditemui
dan 17 spesies serangga yang tahan terhadap banyak permasalahan, terutama mengenai
hampir sebagian besar kelompok insektisida. budidaya gulma, karena pada saat ini gulma masih
Matsumura et al. (2009) menyatakan bahwa dikategorikan sebagai tumbuhan liar.

© Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat


143
Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah p-ISSN 2623-1611
Volume 3 Nomor 1 Halaman 143-149 April 2018 e-ISSN 2623-1980

Habitat tumbuhan rawa memegang peranan dimasukkan air sedikit demi sedikit ke dalam gelas
penting untuk kestabilan ekosistem pertanian, dan dicampur dengan air sebanyak 1000 ml untuk
karena didayagunakan petani di dalam budidaya setiap 1,5 g ekstrak padat (Wiratno 2011; Waratno
pertanian berkelanjutan. Budidaya pertanian & Siswanto 2012; Ariyadi 2012). Perlakuan
konvensional tidak dapat berdiri sendiri, tanpa dilaksanakan dengan cara mencelupkan selama 1-2
bantuan manusia dan masukan energi dari luar menit dan kemudian dikering anginkan. Setelah
(Oka 1995). Daur ulang/daur hidup tumbuhan rawa kering angin masukkan serangga uji tersebut.
yang berpotensi sebagai bahan organik merupakan Pengamatan dilakukan terhadap kematian serangga
sumber atau aset bagi petani, karena itu tumbuhan uji pada 12, 24, 36, 48, 60 dan 72 jam setelah
rawa selalu dipertahankan lestari. Adapun jenis infestasi serangga, pengatan terhadap gejala
gulma yang digunakan adalah gulma gulma tegari, keracunan, sifat racun, persentase larva menjadi
babadotan, kirinyu, pletekan dan anting-anting. pupa dan pupa menjadi imago.
Penelitian ini menggunakan tanaman gulma Pengamatan terhadap gejala keracunan,
sebagai pestisida nabati dalam mengendalikan mortalitas hama dilakukan pada setiap kali
hama ulat grayak (Spodoptera litura). pengamatan dengan membandingkan jumlah hama
Penelitian bertujuan untuk mengetahui yang mati dengan jumlah seluruh hama yang ada
keefektivan jenis ekstrak gulma rawa sebagai pada setiap perlakuan, dinyatakan dalam persen
insektisida dalam mengendalikan hama ulat grayak (%). Untuk menghitung presentase mortalitas larva
(Spodoptera litura). digunakan rumus (Kudra 1981; Leatemia dan
Rumthe 2011):
2. METODE PENELITIAN
2.1 Bahan dan Alat M = a/b x 100 %
Keterangan:
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hama M = persentase mortalitas; a = julah serangga/larva uji
yang mati; b = jumlah serangga/larva uji yang diinvestasi
Penyakit Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
pada musim tanam 2015 (Februari-Mei 2015).
Data yang diperoleh kemudian dilakukan
Sumber senyawa sekunder tumbuhan yang
analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan Uji
berfungsi sebagai bahan aktif pestisida nabati
Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5 persen.
adalah gulma tegari (Dianella sp), babadotan
(Ageratum conyzoides), kirinyu (Chromolaena
odorata), pletekan (Ruellia tuberosa L.) dan anting- 2.3 Pengambilan dan Pengumpulan Data
anting (Acalipha indica Linn.)
Bahan-bahan lainnya yang digunakan adalah Ulat grayak dikumpulkan dalam wadah (kotak
pelarut aseton 70%, Tween 40 atau 80, water bath, plastik) sebagai tempat untuk menyimpannya,
gelas kaca, alat pengaduk dan Serang uji yang sebelum dibawa ke laboratorium. Setibanya di
dipergunakan adalah larva ulat grayak (Spodoptera laboratorium ulat tersebut dipelihara selama dua
litura). hari dengan pemberian makan yang rutin sehingga
Alat yang digunakan pisau, parang, ulat-ulat tersebut bisa beradaptasi dengan
kantongan, karung, ember, tikar dan water bat lingkungan laboratorium, sebagai tempat tinggalnya
(untuk pemadatan), pelarut Aceton dan bahan yang baru. Ulat-ulat tersebut diberi daun sawi
pencampur Twen 40. (sebagai makanan) agar ulat tidak mati sebelum
penelitian ini dilaksanakan.
Benih sawi ditanam dalam pot ember
2.2 Rancangan Percobaan
berukuran 8 liter di rumah kasa sebanyak 20
pot/bak plastik. Tiap pot/bak plastik terdiri 2 - 5
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap
tanaman sawi sehingga tersedia tanaman sebakan
dengan 3 perlakuan eksktrak tumbuhan dan
bahan makanan bagi ulat-ulat krop kubis dan
ditambah dengan 3 kontrol yaitu Kontrol tanpa
plutella. Pada saat tanaman berumur 2 - 3 minggu
pengendalian. Kontrol pestisida nabati dan Kontrol
tanaman disungkup dengan kurungan kasa untuk
pestisida kimiawi diulang sebanyak 5 kali. Setiap
memelihara serangga dewasa jantan dan betina
perlakuan diujikan kepada 15 ekor larva instrar 2
(masing-masing hama) agar meletakkan telurnya
atau 2 pada makanan (daun sawi segar) yang diberi
pada tanaman tersebut. Kelompok telur yang telah
masing-masing perlakuan. Pestisida nabati
diletakkan oleh serangga betina pada tanaman sawi
diformulasikan dengan melarutkan ekstrak padat.
tersebut dibiarkan sampai menetas menjadi larva.
Mencampur ekstrak padat dengan Tween dilakukan
Larva yang baru menetas tersebut dipelihara di
pada plat kaca hingga merata kemudian

© Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat


144
Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah p-ISSN 2623-1611
Volume 3 Nomor 1 Halaman 143-149 April 2018 e-ISSN 2623-1980

laboratorium sampai tersedia instar larva 2 atau 3. perlakuan terutama dengan perlakuan kontrol tanpa
Sumber makanan larva yang dipelihara di pengendalian. gulma tegari, babadotan, kirinyu,
laboratorium tersebut adalah berasal dari peletekan dan anting-anting.
pertanaman sawi yang telah disiapkan di lapangan Pada pengamatan pertama, 12 jam setelah
pada lahan berukuran 10m x 10m. infestasi belum menunjukkan adanya tanda-tanda
keracunan bagi serangga uji, karena serangga
2.4 Penyediaan Ekstrak tersebut masih aktif jalan memutar-mutas untuk
mencari pakan yang bebas dari ekstrak tersebut.
Sebagai langkah awal dari serangkaian tahapan Sebab dilihat dari perlakuan kontrol aktifitas larva
kegiatan tersebut adalah pembuatan Insektisida pada umumnya melakukan makan pakan dan
nabati yaitu dibuat dalam bentuk ekstrak padat keadaan larvanya sehat-sehat dan aktif. Pada
(paste) dengan cara merendam bahan tumbuhan penganatan selanjutnya yaitu 24 jam setelah
segar kedalam pelarut (aseton) dengan infestasi, keadaan serangga hama dalam keadaan
perbandingan setiap 1000 gram bahan tumbuhan diam dan menggulung. Dari tanda-tanda tersebut
direndam dengan 3 - 5 l pelarut. Setelah direndam serangga tersebut mulai terjadi reaksi keracunan
selama 48 jam, kemudian disaring dan hasil yang bekerja pada perut. Pengamatan selanjutnya
saringan dievaporasi dengan vacum untuk hampir semua larva pada perlakuan ekstrak gulma
menghasilkan residu. Hasil residu dimasukkan ke tersebut diam dan menggulung dan ada sebagian
dalam cawan terbuka dan dipanaskan pada yang mulai mati. Menurut Utami et al. (2010),
waterbath dengan suhu 40oC-50oC. Untuk adapun gejala umum kematian larva, diawali
membentuk ekstrak padat, pemanasan harus dengan paralisis/kelumpuhan. Gejala keracunan
dilakukan selama kurang lebih 6-12 jam. Sebelum demikian biasa dikenal sebagai efek knock down.
aplikasi, terlebih dahulu ekstrak padat dicampur Tubuh larva yang mati berwarna hijau kehitaman
dengan minyak Tween 40 atau 80 dengan dan lama kelamaan menghitam dan lunak.
perbandingan 10 : 1 agar daya rekatnya pada Menurut Shahabuddin & Anshary (2010),
tanaman lebih kuat dan penyebarannya merata peningkatan persentase mortalitas larva karena
pada permukaan tanaman. Ekstrak padat dicampur semakin besarnya kadar bahan aktif yang bersifat
Tween pada plat kaca hingga merata kemudian toksik dalam ekstrak tersebut dan juga diduga
dimasukkan air sedikit demi sedikit ke dalam gelas karena kurangnya nutrisi yang dikomsumsi oleh
dan dicampur dengan air sebanyak 1000 ml untuk larva akibat adanya senyawa antimakan dalam
setiap 1,5 g ekstrak padat. ekstrak yang diperlakukan. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitrian Mutiah et al. (2013) bahwa ekstrak
2.5 Uji Toksisitas tumbuhan selalu bereaksi agak lambat
dibandingkan dengan insektisida kimiawi. Pada 24
Konsentrasi yang digunakan pada masing-masing jam setelah infestasi semua perlakuan ekstrak
ekstrak tumbuhan adalah 1,5 gr/liter air. Sebanyak menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
lima belas ekor larva instar II dimasukkan masing- terutama dengan kontrol tanpa pengendalian,
masing ke dalam vial yang telah berisi pakan menurut Asikin (2014) hal ini menunjukkan bahwa
mengandung ekstrak gulma-gulma rawa dengan perlakuan ekstrak tumbuhan gulma tegari,
berbagai konsentrasi. Pengamatan jumlah larva babadotan, kirinyu, peletekan dan anting-anting
yang mati dilakukan setiap 24 jam sekali. Nilai LD50 mempunyai nilai mortalitas tertinggi dibandingkan
dapat ditentukan berdasarkan analisis probit. Nilai dengan perlakuan ekstrak tumbuhan lainnya.
LD 50 ini akan digunakan untuk menentukan Karena pada umumnya ekstrak yang mempunyai
konsentrasi yang akan dipakai dalam uji anti makan daya racun juga diiringi oleh minyak atsiri yang
dan pengukuran efisiensi pemanfaatan makanan cukup banyak yang dihasilkan oleh tumbuhan
serangga uji. tersebut. Pada umumnya ekstrak tumbuhan
mengandung zat antifeedant atau antimakan yang
3. HASIL DAN PEMBAHASAN dikeluarkan oleh tanaman tersebut sehingga larva-
3.1 Gejala keracunan dan Sifat racun larva uji tersebut tidak melakukan makan.
Narasimhan et al. (2005) melaporkan bahwa
Pada pengamatan terhadap gejala keracunan, pada senyawa salanobutirolakton aktif sebagai
bermacam ekstrak tumbuhan gulma rawa, dan antifeedant atau antimakan, sedangkan senyawa
hampir semua ekstrak yang diuji menunjukkan desasetilsalanobutirolakton aktif sebagai insektisida
adanya perbedaan yang sangat nyata antar dan pertumbuhan regulasinya.

© Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat


145
Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah p-ISSN 2623-1611
Volume 3 Nomor 1 Halaman 143-149 April 2018 e-ISSN 2623-1980

Dengan demikian ekstrak gulma rawa yang tumbuhan merupakan bahan aktif sebagai
digunakan bersifat racun perut bagi serangga hama pengendali hama.
ulat grayak. Karena setelah larva makan dan Menurut Murfon & Norton (1984) dalam
melalui peruses dalam perutnya baru Budiarto (2000), suatu senyawa dikatakan efektif
memperlihatkan serangga tersebut mulai bila mampu mematikan 80% hewan uji. Batas–
mengalami gejala keracunan. batas ambang bawah dan ambang atas dapat
Pengamatan selanjutnya yaitu pada 48, 60 ditentukan berdasarkan hasil yang terlihat pada
dan 72 jam setelah infestasi, bahwa hampir seluruh Tabel 1 yaitu pada konsentarsi 0,5% dan 4%.
ekstrak gulma rawa menunjukkan persentase Ambang bawah yang digunakan pada konsentrasi
kematian atau mortalitas larva rata-rata mencapai 0,5% karena tingkat mortalitasnya 65% hewan uji
80-82%. Hal ini disebabkan oleh kandungan bahan bila dibanding dengan konsentrasi 1% tidak
aktif dari tumbuhan gulma tersebut. Tumbuhan menunjukan perbedaan yang signifikan (Hadi 2008).
gulma kirinyu dan babadotan mengandung zat aktif Sifat toksik ini kemungkinan disebabkan oleh
dan volatel-volatel lainnya yang dapat senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak
mempengaruhi hama ulat grayak. Pada daun kirinyu seperti, terpenoid, tanin, saponin dan
pengamatan pertama yaitu 12 jam setelah infestasi, sesquiterpene.
pada umumnya serangga uji masih bergerak bebas Senyawa–senyawa fenol, triterpenoid, alkaloid
dan aktif mencari makanan yang bebas dari ekstrak dan steroid yang terdapat pada tumbuhan
tersebut. merupakan bahan aktif sebagai pengendali hama.
Pada pengamatan selanjutnya yaitu 24 dan 36 Senyawa ini menyebabkan adanya aktifitas biologi
jam setelah infestasi, serangga atau larva uji sudah yang khas seperti toksik menghambat makan,
mulai menunjukkan adanya keracunan yang antiparasit, dan pestisida (Harborne 1987).
ditandai dengan tingkah laku dari larva tersebut Terdapatnya senyawa toksik dalam ekstrak daun
yang sudah mulaimelemah dan menggulung tidak kiriyuh akan memberikan respon dengan cara
aktif lagi (Tabel 1). menurunkan laju konsumsi dan efisiensi
pencernaan serta metabolismenya. Pengaruhnya
terlihat pada lamanya mortalitas.
Tabel 1. Tanaman yang diujikan pada hama ulat grayak pada musim Sifat toksik ini kemungkinan
tanam 2015
disebabkan oleh senyawa bioaktif
Jenis tumbuhan Pengamatan (%)
No. yang terkandung dalam ekstrak daun
gulma 12 24 36 48 60 72
1. Tegari 0 40,00b 78,66b 77,33b 81,33a 81,33a
kirinyu seperti, terpenoid, tanin,
2. Babadotan 0 38,66b 73,33b 73,33b 80,00a 80,00a saponin dan sesquiterpene.
3. Kirinyu 0 40,00b 77,33b 77,33b 82,66a 82,66a Senyawa–senyawa fenol, triterpenoid,
4. Anting-Anting 0 37,33b 73,33b 73,33b 80,00a 80,00a alkaloid dan steroid yang terdapat
5. Pletekan 0 40,00b 38,66b 77,33b 81,33a 81,33a pada tumbuhan merupakan bahan
5. Kontrol (Pes.kimia) 100 100a 100,00a 100a 100b 100a aktif sebagai pengendali hama.
6. Mimba (Pes botani) 0 38,00c 68,00c 73,33b 77,33c 73,33b Senyawa ini menyebabkan adanya
7. Tanpa pengendalian 0 0 0 0 0 0 aktifitas biologi yang khas seperti
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak toksik menghambat makan,
berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5% antiparasit, dan pestisida (Harborne
1987). Senyawa toksik dalam ekstrak daun kiriyuh
3.2 Mortalitas akan memberikan respon dengan cara menurunkan
laju konsumsi dan efisiensi pencernaan serta
Menurut Adegbite & Adesiyan (2005) kirinyuh metabolismenya.
mempunyai kandungan senyawa aktif yang bersifat Secara fisiologi, senyawa bioaktif yang
sebagai ovisidal dan juvenilsidal terhadap terkandung didalam ekstrak dapat merusak sistem
Meloidogyne spp. maka dari itu peneliti ingin syaraf serangga uji. Senyawa bioaktif yang mampu
mengetahui kemampuan senyawa aktif dalam merusak sistem syaraf pada rayap adalah senyawa
ekstrak kirinyuh terhadap daya hambat tetas telur sisquiterpen. Secara fisiologi, senyawa bioaktif
dan mortalitas juvenil II Meloidogyne spp. Adapun yang terkandung didalam ekstrak dapat merusak
kandungan yang dimiliki oleh ekstrak tumbuhan sistem syaraf serangga uji. Senyawa bioaktif yang
krinyu adalah terpenoid, tanin, saponin dan mampu merusak sistem syaraf pada rayap adalah
sesquiterpene. Senyawa–senyawa fenol, senyawa sisquiterpen. Menurut Harto (1998)
triterpenoid, alkaloid dan steroid yang terdapat pada masuknya senyawa sisquiterpen diketahui dapat
menghambat bekerjanya enzim asetilkolinesterase

© Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat


146
Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah p-ISSN 2623-1611
Volume 3 Nomor 1 Halaman 143-149 April 2018 e-ISSN 2623-1980

sehingga menyebabkan mortalitas pada rayap. Tumbuhan gulma anting-anting mengandung


Seperti dijelaskan pada Untung (1996 dalam Titisari senyawa kimia/fitokimia tumbuhan anting-anting
2000), bahwa dalam sistem syaraf serangga antara yang menunjukkan adanya golongan senyawa
sel syaraf dan sel otot terdapat synaps. Asetilkolin flavonoid, triterpenoid, steroid, dan saponin
yang dibentuk oleh sistem syaraf berfungsi pusat (Halimah 2010). Kandungan senyawa kimia dari
untuk menghantarkan impuls dari sel syaraf ke sel tanaman anting-anting berupa senyawa turunan
otot. Setelah implus dihantarkan, proses dihentikan saponin, triterpenoid, steroid,flavonoid, dan
oleh enzim asetilkolinesterase yang memecah senyawa lainnya menjadikan tanaman ini berpotensi
asetilkolin menjadi asetil ko-A dan lin. sebagai tumbuhan afrodisiak (Halimah 2010).
Terhambatnya kerja dari enzim asetilkolinesterase Gulma anting-anting (Acalypha indica L.)
sehingga terjadi penumpukan setilkolin yang akan merupakan gulma yang sangat umum ditemukan
menyebabkan terjadinya kekacauan pada sistem tumbuh liar di pinggir jalan, lapangan rumput
penghantar impuls ke otot yang dapat berakibat otot maupun di lereng gunung (Kawatu et al., 2013).
kejang, terjadi kelumpuhan dan berakhir ke Secara fitokimia tanaman ini telah dilaporkan
kematian. Ekstrak tumbuhan krinyu, umbuhan yang mengandung alkaloid. Flavonoid, khususnya
mempunyai potensi sebagai insektisida alami kaempferol mauritianin glycoside, clitorin,dan
adalah tumbuhan kirinyu (C.odorata) nicotiflorin biorobin, naringin, quercitrin, hesperitin
Menurut Hopkins & Hiiner (2004) dalam Yunita diisolasi dari bunga dan daun. Kandungan lainnya
et al. (2009) tanin menekan konsumsi makan, yaitu alkaloid, catachol, flavonoid, senyawa fenol,
tingkat pertumbuhan dan kemampuan bertahan. saponin dan steroid (Masih et al. 2011).
Seskuiterpenoid merupakan senyawa bioaktif yang Gulma pletekan salah satu jenis gulma yang
mampu merusak sistem syaraf pada serangga. banyak tumbuh dan ditemukan di Indonesia.
Masuknya senyawa tersebut diketahui dapat Kirsimaritin, kirsimarin, kirsiliol 4’-glukosida,
menghambat bekerjanya enzim asetilkolinesterase sorbifolin dan pedalitin (Lin 2006 dalam Roskiana
sehingga menyebabkan mortalitas pada rayap (Hadi 2012). Salah satu golongan yang dimiliki oleh
2008). Hal tersebut mengakibatkan otot kejang, tanaman pletekan adalah senyawa fenol, senyawa
terjadi kelumpuhan dan berakhir dengan kematian. fenoldapat menurunkan aktivitas enzim nxantin
Kemungkinan seskuiterpenoid yang terkandung oksidase dan dapat meredam radikal bebas.
dalam ekstrak etanol daun kirinyuh juga dapat Flavonoid yaitu Gulma pletekan mengandung
menyebabkan mortalitas pada wereng coklat. senyawa aktif hexadecanamide, 9-
Alkaloid jenis PAs (Pyrolizidine Alkaloids) yang Octadecenamide, (Z)-, Octadecenamide dan 1,2
terkandung dalam tumbuhan kirinyuh bersifat toksik, Benzenedicarboxylic acid (Nopiari et al. 2016).
sebagai penghambat makan dan insektisidal bagi Tumbuhan tegari mempunyai daun yang
serangga. Menurut Cahyadi (2009) senyawa keras, membujur dan membentuk pedang dengan
alkaloid dan flavonoid dapat bertindak sebagai panjang berkisar 30 cm. Bunga berwarna outih
stomach poisoning atau racun perut. Oleh karena dengan ukuran tidak beraturan, terletak pada satu
itu, bila senyawa alkaloid dan flavonoid tersebut tangkai bunga yang bergerombol. Buah muda
masuk ke dalam tubuh larva maka alat berwarna hijau dan jika tua berwarna biru metalik
pencernaannya akan terganggu. sampai ungu. Akar tanaman Tegari ternyata banyak
Gulma babadotan juga memiliki kemampuan mengandung racun. Racun ini dapat digunakan
sebagai insektisida nabati (racun serangga), karena untuk mengendalikan tikus sehingga populasinya
dalam babadotan terkandung senyawa penting atau terkendali sehingga tidak merusak pertanaman.
senyawa metabolit yang bersifat sebagai insektisida Bagian tanaman yang dipakai sebagai bahan
seperti alkaloid, flavonoid, kumarin, saponin, rodentisida adalah dari bagian akarnya. Akar Tegari
polifenol, dan minyak atsiri (Kardinan 2001). mengandung senyawa plumbagin yang merupakan
Scott et al. (2004) melaporkan penurunan hidrolisis dan oksidasi. Plumbagin adalah derivat
residu senyawa dapat disebabkan sinar mata hari. senyawa quinone yang digunakan sebagai obat dan
Lebih lanjut, peneliti ini melaporkan bahwa senyawa racun ,seperti Chimaphilin, Plumbagin dan
tefrosin dan deguelin dapat didegradasi oleh cahaya Eleutherin.
matahari.
Menurut Prijono (1999), beberapa kekurangan 3.3 Persentase pupa dan imago
insektisida botani antara lain persistensinya yang
rendah, sehingga pada tingkat populasi hama yang Pada pengamatan terhadap larva menjadi pupa dan
tinggi untuk mencapai keefektifan pengendalian imago masing-masing pada ekstrak tegari kematian
yang maksimum diperlukan aplikasi berulang-ulang. larva antra 80-82%. Larva menjadi pupa dan imago

© Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat


147
Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah p-ISSN 2623-1611
Volume 3 Nomor 1 Halaman 143-149 April 2018 e-ISSN 2623-1980

pada ekstrak terari yaitu jumlah larva 75 ekor dan Asikin S. 2012. Uji efikasi ekstrak tumbuhan rawa untuk
mati 61 ekor yang menjadi pupa sekitar 14 ekor. mengendalikan hama ulat grayak skala
Dari 14 ekor tersebut yang bentuknya kecil 7 ekor laboratorium. Jurnal Agroscientiae, 19(3), 178 –
dan yang agak besar 7 ekor. Dan yang menjadi 183.
Askari K, Vandalisna M, Aburaera. 2009. Evaluasi
imago 13 ekor dan yang tidak sempurna arau kecil
penyuluhan terhadap aplikasi pestisida nabati daun
sekitar 5 bekor dan yang sempurna sekitar 9 ekor sirsak sebagai pengendali ulat tritip pada tanaman
dan tidak jadi imago 1 ekor. Untuk ekstrak sawi. Jurnal Agrisistem, 5(1), 1-10.
babadotan dan ektrak anting-anting jumlah larva Bellinger RG. 1996. Pest Resistance to Pesticides.
yang mati sekitar 60 ekor dan pupa dan imago. Department of Entomology. Clemson University.
Jumlah imago sempurna 10 ekor dan tidak ipm.ncsu.edu/safety/factsheets/resistan.pdf.
sempurna 5 ekor. Basuki RS. 2009. Pengetahuan petani dan keefektifan
Ekstrak kirinyuh/krinyu, larva mati 62 ekor dan penggunaan insektisida oleh petani dalam
yang jadi pupa 13 ekor. Dari 13 pupa tersebut, pengendalian ulat Spodoptera exigua Hubn pada
yang menjadi imago 7 ekor tidak sempurna atau tanaman bawang merah di Brebes dan Cirebon.
Jurnal Hortikultura, 19(4), 459−474.
kecil, dan yang besar atau yang sempurna 6 ekor.
Correll DS, Schubert BG, Gentry HS, Hawley WD. 1955.
Dari hasil pengatan terhadap imago dewasa The search for plant precursors of cortisone.
sempurnya tersebut pada umumnya serangganya Economic Botany, 52, 307-375.
mandul atau tidak menghasilkan telur. Cooper J, Dobson H. 2007. The benefits of pesticides to
mankind and the environment. Crop Prot., 26,
4 KESIMPULAN 1337–1348
Cahyadi R. 2009. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Buah
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Pare (MomordicacharantiaL.) Terhadap Larva
tumbuhan gulma tegari, babadotan, kirinyu dan Artemiasalina Leach Dengan Metode Brine Shrimp
Lethality Test (BST). Skripsi (Tidak Dipublikasikan).
anting-anting dapat digunakan sebagai bahan
Universitas Diponegoro, Semarang.
pestisida nabati untuk mengendalikan hama ulat Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset
grayak yang ramah lingkungan dengan mortalitas Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT
berkisar antara 80-82%. Dengan demikian gulma- Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
gulma tersebut perlu dikonservasi agar tanaman Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian. 2012. Bahan
gulma tersebut tetap lestari sebatas sebagai Aktif yang Dilarang Untuk Semua Bidang
pestisida botani/nabati. Penggunaan Pestisida. Pedoman Teknis Kajian
Pestisida Terdaftar dan Beredar TA 2012.
5 DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana
Pertanian, Jakarta. 23 h.
Everaats AP. 1981. Weeds of Vegetables in the
Adiyoga W, Soetiarso TA. 1999. Strategi petani dalam
Highlands of Java. Horticultural Research Institute.
pengelolaan resiko pada usaha tani cabai merah.
Jakarta.
J. Hort., 8 (41)..
Halimah N. 2010. Uji Fitokimia dan Uji Toksisitas Ekstrak
Adegbite. 2011. Effects of some indigenous plant extracts
Tanaman Anting-Anting (Acalypha indica L.)
as inhibitors of egg hatch in Root-Knot Nematoda
Terhadap Larva Udang (Artemia salina Leach).
(Meloidogyne incognita race 2). Obafemi Awolowo
Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Universitas Islam
Universit Nigeria. American 1 Journal of
Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Experimental Agriculture, (3), 96-100.
Harahap N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan
Adegbite AA, Adesiyan SO. 2005. Root extracts of plants
Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan
to control Root-Knot Nematode on edible soybean.
Wilayah Pesisir. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Obafemi Awolowo University. Nigeria. World
Harwoko, Utami E. 2010. Aktivitas sitotoksin fraksi n-
Journal of Agricultural Sciences, 1(1), 18-21.
heksan: kloroform dari ekstrak metanol kulit batang
Arijadi T. (2012. Isolasi dan uji bioassay bakteri kotoran
mangrove (Rhizopora mucronata) pada sel kanker
cicak yang berpotensi sebagai pengendali larva
Myeloma. Majalah Obat Tradisional, 15(2), 51 – 55,
Aedes sp. Jurnal Unimus, 91-96.
2010.
Asikin S, Thamrin M. 2010. Tumbuhan rawa asal
Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat
Kalimantan Selatan dan Tengah yang berpotensi
Mangrove. Yogyakarta
sebagai insektisida nabati. Dalam: Sutiman,. B.S.;
Isenring R. 2010. Pesticides and the Loss of Biodiversity.
A.Molyono. , E. Budi.M., Cahyo.C., F. Rosi., T.
How Intensive Pesticide Use Affects Wildlife
Kustono. A., E. Setyawati., Novi. A., A. Aziz., M.
Population and Species Diversity. Pesticide Action
Jamhuri., Y. Eka Putrie dan Luluk. M. Prosiding
Network. Europe. 26 pp. Development House
Seminar Nasional Green Technologi. Fak.Sain
56−64 Leonard Street, London EC2A 4LT.
dan Teknologi Univ. Islam Negeri (UIN) Malang, 20
www.pan-europe.info.
Nov. 2010.

© Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat


148
Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah p-ISSN 2623-1611
Volume 3 Nomor 1 Halaman 143-149 April 2018 e-ISSN 2623-1980

Kundra. 1981. Dinamika Populasi. Institut Pertanian Prijono D. 1999. Prospek dan strategi pemanfaatan
Bogor, Bogor. insektisida alami dalam PHT. Dalam: Nugroho BW,
Kawatu C, Bodhi W, Mongi J. 2013. Uji efek ekstrak Dadang, Prijono D, penyunting. Bahan Pelatihan
etanol daun anting-anting (Acalypha indica L.) Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida
terhadap kadar gula darah tikus putih jantan galur Alami; Bogor, 9-13 Agustus 1999. Pusat Kajian
wistar (Rattus novergicus). Pharmacon. 2(1), 81- Pengendalian Hama Terpadu Institut Pertanian
85. Bogor, Bogor. H. 1-7.
Laba IW. 2010. Analisis empiris penggunaan insektisida Purnobasuki H. 2005. Tinjauan Perspektif Hutan
menuju pertanian berkelanjutan. Pengembangan Mangrove. irlangga University Press, Surabaya.
Inovasi Pertanian, 3(2),120−137 Ross MA, Lembi CA. 1985. Applied Weed Science.
Mutiah S, Lubis L, Pangestiningsih Y. 2013. Uji Burgess Publ. Co., Minneapolis.
efektivitas beberapa insektisida nabati untuk Roskiana AA. 2012. Isolasi dan Elusidasi Struktur
mengendalikan ulat grayak (Spodoptera litura F.) Antioksidan dan Penghambat Enzim Xantin
(Lepidoptera : Noctuidae) di laboratorium. Oksidasi Ekstrak Daun Pletekan (Ruellia tuberosa
JurnalcOnline Agroekoteknologi, 1(3), 560-569. L.). Tesis (Tidak Dipublikasikan). Program Studi
Masih M, Banerjee T, Banerjee B, Pal A. 2011. Magister Ilmu Kefarmasian, Fakultas Matematika
Antidiabetic activity of Acalypha indica Linn. on dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
normal and alloxan induced diabetic rats. Indonesia, Jakarta.
International. Journal of Pharmacy and Scott CA., Faruqui NI, Raschid-Sally L. 2004.
Pharmaceutical Science, 3(3), 51-54. Wastewater Use in Irrigated Agriculture:
Matsumura M, Takeuchi H, Satoh M, Sanada-Morimura Confronting the Livelihoods and Environmental
S, Otuka A, Watanabe T, Thanh DV. 2009. Current Realities. CABI Publishing, Wallingford, UK, p.193.
status of insecticide resistance in rice planthoppers Utami S. 2011. Bioaktivitas Insektisida Nabati Bintaro
in Asia. In: KL Heong, B Hardy (Eds.). (Cerbera odollam Gaertn.) sebagai Pengendali
Planthoppers: New Threats to the Sustainability of Hama Pteroma plagiophleps Hampson dan
Intensive Rice Production Systems in Asia. Spodoptera litura. Tesis (Tidak Dipublikasikan).
International Rice Research Institute, Los Baños, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor,
Philippines. pp. 233−244. Bogor.
Noor YR, Khazali M, Suryadiputra INN. 2006. Panduan Wiratno, Siswanto. 2012. Bioassay pestisida nabati
Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, berbasis tanaman jarak pagar dan cengkeh
Bogor. terhadap Nilaparvata lugens Stal. Prosiding
Nopiari IA, Adriani NP, Wiratmini NI. 2016. Identifikasi Seminar Minyak Atsiri, Solok.
senyawa daun pletekan (Ruellia tuberosa L.) using Wiratno. 2011. Efektifitas pestisida nabati berbasis
GC-MS. Jurnal Simbiosis, 4(2), 55-57. minyak jarak pagar, cengkeh, dan seraiwangi
Oka IN. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan terhadap mortalitas Nilaparvata lugens Stal.
implementasinya di Indonesia. Gajah Mada Prosiding Seminar Nasional Pestisida Nabati IV,
University Press, Yogyakarta. Solok, h. 251-260.

-----

© Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat


149

Anda mungkin juga menyukai